Matn Al-Luma'

مُقَدِّمَةٌ

مُقَدِّمَةٌ

Pendahuluan

...

...

خُطْبَةُ الكِتَابِ

Muqaddimah Kitab

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada junjungan kami Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya

الحَمْدُ لِلَّهِ كَمَا هُوَ أَهْلُهُ وَصَلَوَاتُهُ عَلَى مُحَمَّدٍ خَاتَمِ النَّبِيِّينَ وَسَيِّدِ المُرْسَلِينَ.

Segala puji bagi Allah sebagaimana Dia berhak mendapatkannya, dan shalawat-Nya atas Muhammad penutup para nabi dan pemimpin para rasul.

سَأَلَنِي بَعْضُ إِخْوَانِي أَنْ أُصَنِّفَ لَهُ مُخْتَصَرًا فِي المَذْهَبِ فِي أُصُولِ الفِقْهِ، لِيَكُونَ ذَلِكَ مُضَافًا إِلَى مَا عَمِلْتُ مِنَ التَّبْصِرَةِ فِي الخِلَافِ، فَأَجَبْتُهُ إِلَى ذَلِكَ إِيجَابًا لِمَسْأَلَتِهِ وَقَضَاءً لِحَقِّهِ وَأَشَرْتُ فِيهِ إِلَى ذِكْرِ الخِلَافِ وَمَا لَا بُدَّ مِنْهُ مِنَ الدَّلِيلِ فَرُبَّمَا وَقَعَ ذَلِكَ إِلَى مَنْ لَيْسَ عِنْدَهُ مَا عَمِلْتُ مِنَ الخِلَافِ وَإِلَى اللهِ تَعَالَى أَرْغَبُ أَنْ يُوَفِّقَنِي لِلصَّوَابِ وَيُجْزِلَ لِي الأَجْرَ وَالثَّوَابَ إِنَّهُ كَرِيمٌ وَهَّابٌ.

Beberapa saudara saya meminta saya untuk menyusun ringkasan mazhab dalam ushul fiqh, agar hal itu menjadi tambahan dari apa yang telah saya kerjakan dalam at-Tabshirah tentang khilaf. Maka saya memenuhi permintaan mereka untuk menjawab pertanyaan mereka dan memenuhi hak mereka. Saya menyinggung di dalamnya penyebutan khilaf dan dalil yang diperlukan, mungkin hal itu sampai kepada orang yang tidak memiliki apa yang telah saya kerjakan tentang khilaf. Kepada Allah Ta'ala saya memohon agar Dia memberi saya taufik untuk kebenaran, melimpahkan pahala dan ganjaran kepada saya. Sesungguhnya Dia Maha Mulia lagi Maha Pemberi.

وَلَمَّا كَانَ الْغَرَضُ بِهَذَا الْكِتَابِ أُصُولَ الْفِقْهِ وَجَبَ بَيَانُ الْعِلْمِ وَالظَّنِّ وَمَا يَتَّصِلُ بِهِمَا، لِأَنَّ بِهِمَا يُدْرَكُ جَمِيعُ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْفِقْهِ، ثُمَّ نَذْكُرُ النَّظَرَ وَالدَّلِيلَ وَمَا يَتَّصِلُ بِهِمَا، لِأَنَّ بِذَلِكَ يَحْصُلُ الْعِلْمُ وَالظَّنُّ، ثُمَّ نُبَيِّنُ الْفِقْهَ وَأُصُولَ الْفِقْهِ إِنْ شَاءَ اللهُ ﷿.

Karena tujuan dari kitab ini adalah ushul fiqh, maka wajib menjelaskan ilmu dan zhan serta hal-hal yang terkait dengannya, karena dengan keduanya dapat dipahami semua yang berkaitan dengan fiqh. Kemudian kita menyebutkan nazhar dan dalil serta hal-hal yang terkait dengannya, karena dengan itu diperoleh ilmu dan zhan. Kemudian kita menjelaskan fiqh dan ushul fiqh insya Allah ﷿.

بَابُ بَيَانِ الْعِلْمِ وَالظَّنِّ

Bab Penjelasan Ilmu dan Zhan

وَنُقَدِّمُ عَلَى ذَلِكَ بَيَانَ الْحَدِّ لِأَنَّ بِهِ يُعْرَفُ حَقِيقَةُ كُلِّ مَا نُرِيدُ ذِكْرَهُ، وَالْحَدُّ هُوَ عِبَارَةٌ عَلَى الْمَقْصُودِ بِمَا يَحْصُرُهُ وَيُحِيطُ بِهِ إِحَاطَةً تَمْنَعُ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ أَوْ يَخْرُجَ مِنْهُ مَا هُوَ مِنْهُ وَمِنْ حُكْمِ الْحَدِّ أَنْ يَطَّرِدَ وَيَنْعَكِسَ فَيُوجَدُ الْمَحْدُودُ بِوُجُودِهِ وَيَنْعَدِمُ بِعَدَمِهِ.

Kami mendahulukan penjelasan tentang definisi (hadd) karena dengannya dapat diketahui hakikat segala sesuatu yang ingin kita sebutkan. Hadd adalah ungkapan tentang maksud dengan sesuatu yang membatasinya dan melingkupinya dengan lingkupan yang mencegah masuknya sesuatu yang bukan bagian darinya atau keluarnya sesuatu yang merupakan bagian darinya. Termasuk hukum hadd adalah harus mencakup (muttarid) dan berbalik (mun'akis), sehingga yang didefinisikan (mahdud) ada dengan adanya hadd dan tidak ada dengan tiadanya hadd.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا الْعِلْمُ فَهُوَ مَعْرِفَةُ الْمَعْلُومِ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ. وَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ: هُوَ اعْتِقَادُ الشَّيْءِ عَلَى مَا هُوَ بِهِ مَعَ سُكُونِ النَّفْسِ إِلَيْهِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ هَذَا يُبْطِلُ بِاعْتِقَادِ الْعَاصِي فِيمَا يَعْتَقِدُهُ فَإِنَّ هَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِيهِ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِعِلْمٍ.

Adapun ilmu adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Mu'tazilah berkata: Ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana adanya disertai ketenangan jiwa terhadapnya. Ini tidak benar, karena pendapat ini terbantahkan dengan keyakinan orang yang bermaksiat terhadap apa yang diyakininya. Makna ini ada padanya namun itu bukanlah ilmu.

فَصْلٌ

Pasal

وَالْعِلْمُ ضَرْبَانِ: قَدِيمٌ وَمُحْدَثٌ. فَالْقَدِيمُ عِلْمُ اللهِ ﷿ وَهُوَ مُتَعَلِّقٌ بِجَمِيعِ الْمَعْلُومَاتِ وَلَا يُوصَفُ ذَلِكَ بِأَنَّهُ ضَرُورِيٌّ وَلَا مُكْتَسَبٌ، وَالْمُحْدَثُ عِلْمُ الْخَلْقِ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ ضَرُورِيًّا وَقَدْ يَكُونُ مُكْتَسَبًا، فَالضَّرُورِيُّ كُلُّ عِلْمٍ لَزِمَ الْمَخْلُوقَ عَلَى وَجْهٍ لَا يُمْكِنُهُ دَفْعُهُ عَنْ نَفْسِهِ بِشَكٍّ وَلَا شُبْهَةٍ وَذَلِكَ كَالْعِلْمِ الْحَاصِلِ عَنِ الْحَوَاسِّ الْخَمْسِ الَّتِي هِيَ السَّمْعُ وَالْبَصَرُ وَالشَّمُّ وَالذَّوْقُ وَاللَّمْسُ وَالْعِلْمُ بِمَا تَوَاتَرَتْ بِهِ الْأَخْبَارُ مِنْ ذِكْرِ الْأُمَمِ السَّالِفَةِ وَالْبِلَادِ النَّائِيَةِ وَمَا يَحْصُلُ فِي النَّفْسِ مِنَ الْعِلْمِ بِحَالِ نَفْسِهِ مِنَ الصِّحَّةِ وَالسُّقْمِ وَالْغَمِّ وَالْفَرَحِ وَمَا يَعْلَمُهُ مِنْ غَيْرِهِ مِنَ النَّشَاطِ وَالْفَرَحِ وَالْغَمِّ وَالتَّرَحِ وَخَجَلِ الْخَجَلِ وَوَجَلِ الْوَجَلِ وَمَا أَشْبَهَهُ مِمَّا يَضْطَرُّ إِلَى مَعْرِفَتِهِ، وَالْمُكْتَسَبُ كُلُّ عِلْمٍ يَقَعُ عَلَى نَظَرٍ وَاسْتِدْلَالٍ كَالْعِلْمِ بِحُدُوثِ الْعَالَمِ وَإِثْبَاتِ الصَّانِعِ وَصِدْقِ الرُّسُلِ وَوُجُوبِ الصَّلَاةِ وَأَعْدَادِهَا وَوُجُوبِ الزَّكَاةِ وَنُصَبِهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يُعْلَمُ بِالنَّظَرِ وَالِاسْتِدْلَالِ.

Dan ilmu ada dua jenis: qadim dan muhdats. Ilmu qadim adalah ilmu Allah ﷿ yang berkaitan dengan semua hal yang diketahui dan tidak disifati sebagai dharuri (niscaya) atau muktasab (diperoleh). Sedangkan ilmu muhdats adalah ilmu makhluk yang bisa jadi dharuri atau muktasab. Ilmu dharuri adalah setiap ilmu yang melekat pada makhluk dengan cara yang tidak mungkin baginya untuk menolaknya dengan keraguan atau syubhat, seperti ilmu yang diperoleh dari panca indera yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa, dan sentuhan, serta ilmu yang diperoleh dari berita-berita mutawatir tentang umat-umat terdahulu dan negeri-negeri yang jauh, dan apa yang terjadi dalam diri seseorang berupa ilmu tentang kondisi dirinya dari kesehatan, sakit, sedih, gembira, dan apa yang diketahuinya dari selainnya berupa semangat, kegembiraan, kesedihan, duka cita, rasa malu, ketakutan, dan yang serupa dengannya yang terpaksa untuk diketahui. Sedangkan ilmu muktasab adalah setiap ilmu yang diperoleh melalui penalaran dan istidlal seperti ilmu tentang haditsnya alam, penetapan Pencipta, kebenaran para rasul, kewajiban shalat dan bilangannya, kewajiban zakat dan nishabnya, dan selain itu yang diketahui melalui penalaran dan istidlal.

فَصْلٌ

Pasal

وَحَدُّ الْجَهْلِ تَصَوُّرُ الْمَعْلُومِ عَلَى خِلَافِ مَا هُوَ بِهِ، وَالظَّنُّ تَجْوِيزُ أَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَظْهَرُ مِنَ الْآخَرِ كَاعْتِقَادِ الْإِنْسَانِ فِيمَا يُخْبِرُ بِهِ الثِّقَةُ أَنَّهُ عَلَى مَا أَخْبَرَ بِهِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ بِخِلَافِهِ وَظَنِّ الْإِنْسَانِ فِي الْغَيْمِ الْمُشِفِّ الثَّخِينِ أَنَّهُ يَجِيءُ مِنْهُ الْمَطَرُ وَإِنْ جَوَّزَ أَنْ يَنْقَشِعَ عَنْ غَيْرِ مَطَرٍ وَاعْتِقَادِ الْمُجْتَهِدِينَ فِيمَا يُفْتُونَ بِهِ فِي مَسَائِلِ الْخِلَافِ وَإِنْ جَوَّزُوا أَنْ يَكُونَ الْأَمْرُ بِخِلَافِ ذَلِكَ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُقْطَعُ بِهِ.

Dan batasan kebodohan adalah membayangkan sesuatu yang diketahui berbeda dengan kenyataannya, sedangkan dugaan adalah membolehkan dua kemungkinan di mana salah satunya lebih jelas daripada yang lain, seperti keyakinan seseorang terhadap apa yang diberitakan oleh orang yang dipercaya bahwa hal itu sesuai dengan apa yang diberitakan meskipun ada kemungkinan berbeda dengannya, dan dugaan seseorang terhadap awan tebal yang tipis bahwa hujan akan turun darinya meskipun ada kemungkinan awan itu akan menghilang tanpa hujan, serta keyakinan para mujtahid terhadap fatwa yang mereka berikan dalam masalah-masalah khilafiyah meskipun mereka membolehkan kemungkinan bahwa kenyataannya berbeda dengan itu, dan selain itu yang tidak dapat dipastikan.

فَصْلٌ

Pasal

وَالشَّكُّ تَجْوِيزُ أَمْرَيْنِ لَا مَزِيَّةَ لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ كَشَكِّ الْإِنْسَانِ فِي الْغَيْمِ

Dan keraguan adalah membolehkan dua kemungkinan tanpa ada keunggulan salah satunya atas yang lain, seperti keraguan seseorang terhadap awan

غَيْرُ الْمُشِفِّ أَنَّهُ يَكُونُ مِنْهُ مَطَرٌ أَمْ لَا وَشَكِّ الْمُجْتَهِدِ فِيمَا لَمْ يَقْطَعْ بِهِ مِنَ الْأَقْوَالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الَّتِي لَا يَغْلِبُ فِيهَا أَحَدُ التَّجَوُّزَيْنِ عَلَى الْآخَرِ.

Bukan yang transparan apakah akan turun hujan darinya atau tidak, dan keraguan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dapat dipastikan dari pendapat-pendapat, dan selain itu dari perkara-perkara yang salah satu dari dua kemungkinan tidak lebih kuat dari yang lain.

بَابُ النَّظَرِ وَالدَّلِيلِ

Bab Penalaran dan Dalil

وَالنَّظَرُ هُوَ الْفِكْرُ فِي حَالِ الْمَنْظُورِ فِيهِ وَهُوَ طَرِيقٌ إِلَى مَعْرِفَةِ الْأَحْكَامِ إِذَا وُجِدَ بِشُرُوطِهِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ أَنْكَرَ النَّظَرَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْعِلْمَ يَحْصُلُ بِالْحُكْمِ عِنْدَ وُجُودِهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ طَرِيقٌ لَهُ.

Penalaran adalah berpikir tentang keadaan sesuatu yang dipikirkan, dan itu adalah jalan untuk mengetahui hukum-hukum jika ditemukan dengan syarat-syaratnya. Di antara manusia ada yang mengingkari penalaran, dan ini adalah kesalahan karena ilmu diperoleh dengan hukum ketika ada, maka ini menunjukkan bahwa penalaran adalah jalan untuk memperoleh ilmu.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا شُرُوطُهُ فَأَشْيَاءُ. أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ النَّاظِرُ كَامِلَ الْآلَةِ عَلَى مَا نَذْكُرُهُ فِي بَابِ الْمُفْتِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى. وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ نَظَرُهُ فِي دَلِيلٍ لَا فِي شُبْهَةٍ. وَالثَّالِثُ: أَنْ يَسْتَوْفِيَ الدَّلِيلَ وَيُرَتِّبَهُ عَلَى حَقِّهِ فَيُقَدِّمَ مَا يَجِبُ تَقْدِيمُهُ وَيُؤَخِّرَ مَا يَجِبُ تَأْخِيرُهُ.

Adapun syarat-syaratnya adalah beberapa hal. Pertama: bahwa yang melakukan penalaran harus memiliki kemampuan yang sempurna sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam bab tentang mufti insya Allah Ta'ala. Kedua: bahwa penalarannya harus berdasarkan dalil, bukan syubhat. Ketiga: bahwa ia harus memenuhi dalil dan menyusunnya sesuai haknya, mendahulukan apa yang harus didahulukan dan mengakhirkan apa yang harus diakhirkan.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الدَّلِيلُ فَهُوَ الْمُرْشِدُ إِلَى الْمَطْلُوبِ وَلَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ مَا يَقَعُ بِهِ مِنَ الْأَحْكَامِ وَبَيْنَ مَالَا يَقَعُ بِهِ. وَقَالَ أَكْثَرُ الْمُتَكَلِّمِينَ: لَا يُسْتَعْمَلُ الدَّلِيلُ إِلَّا فِيمَا يُؤَدِّي إِلَى الْعِلْمِ، فَأَمَّا فِيمَا يُؤَدِّي إِلَى الظَّنِّ فَلَا يُقَالُ لَهُ دَلِيلٌ وَإِنَّمَا يُقَالُ لَهُ أَمَارَةٌ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْعَرَبَ لَا تُفَرِّقُ فِي تَسْمِيَةِ بَيْنَ مَا يُؤَدِّي إِلَى الْعِلْمِ أَوِ الظَّنِّ فَلَمْ يَكُنْ لِهَذَا الْفَرْقِ وَجْهٌ.

Adapun dalil, ia adalah petunjuk kepada yang dicari, dan tidak ada perbedaan dalam hal itu antara apa yang terjadi dengannya dari hukum-hukum dan antara apa yang tidak terjadi dengannya. Kebanyakan mutakallimun berkata: Dalil tidak digunakan kecuali pada apa yang mengarah kepada ilmu. Adapun pada apa yang mengarah kepada dugaan, maka tidak disebut dalil, melainkan disebut amarah (tanda). Ini adalah kesalahan, karena orang Arab tidak membedakan dalam penyebutan antara apa yang mengarah kepada ilmu atau dugaan, maka tidak ada wajah (alasan) untuk pembedaan ini.

وَأَمَّا الدَّالُّ فَهُوَ النَّاصِبُ لِلدَّلِيلِ وَهُوَ اللهُ ﷿، وَقِيلَ: هُوَ وَالدَّلِيلُ وَاحِدٌ كَالْعَالِمِ وَالْعَلِيمِ وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا أَبْلَغُ وَالْمُسْتَدِلُ هُوَ الطَّالِبُ لِلدَّلِيلِ وَيَقَعُ عَلَى السَّائِلِ لِأَنَّهُ يَطْلُبُ الدَّلِيلَ مِنَ الْمَسْؤُولِ وَعَلَى الْمَسْؤُولِ لِأَنَّهُ يَطْلُبُ الدَّلِيلَ مِنَ الْأُصُولِ. وَالْمُسْتَدَلُّ عَلَيْهِ هُوَ الْحُكْمُ الَّذِي هُوَ التَّحْرِيمُ وَالتَّحْلِيلُ. وَالْمُسْتَدَلُّ لَهُ يَقَعُ عَلَى الْحُكْمِ لِأَنَّ الدَّلِيلَ يُطْلَبُ لَهُ وَيَقَعُ عَلَى السَّائِلِ لِأَنَّ الدَّلِيلَ يُطْلَبُ لَهُ، وَالِاسْتِدْلَالُ هُوَ طَلَبُ الدَّلِيلِ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ مِنَ السَّائِلِ لِلْمَسْؤُولِ وَقَدْ يَكُونُ مِنَ الْمَسْؤُولِ فِي الْأُصُولِ.

Adapun dalil, maka dia adalah yang menegakkan dalil, yaitu Allah ﷿. Ada yang mengatakan: dia dan dalil adalah satu, seperti al-'Alim dan al-'Alim, meskipun salah satunya lebih kuat. Mustadil adalah orang yang mencari dalil, dan berlaku pada penanya karena dia mencari dalil dari yang ditanya, dan pada yang ditanya karena dia mencari dalil dari usul. Mustadal 'alaih adalah hukum yang merupakan pengharaman dan penghalalan. Mustadal lahu berlaku pada hukum karena dalil dicari untuknya, dan berlaku pada penanya karena dalil dicari untuknya. Istidlal adalah mencari dalil, dan itu bisa dari penanya kepada yang ditanya, dan bisa dari yang ditanya dalam usul.

بَابُ بَيَانِ الفِقْهِ وَأُصُولِ الفِقْهِ

Bab penjelasan tentang fikih dan ushul fikih

وَالْفِقْهُ مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي طَرِيقُهَا الِاجْتِهَادُ، وَالْأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةُ وَهِيَ الْوَاجِبُ وَالْمَنْدُوبُ، وَالْمُبَاحُ وَالْمَحْظُورُ، وَالْمَكْرُوهُ؛ وَالصَّحِيحُ وَالْبَاطِلُ. فَالْوَاجِبُ مَا تَعَلَّقَ الْعِقَابُ بِتَرْكِهِ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَالزَّكَوَاتِ وَرَدِّ الْوَدَائِعِ وَالْمَغْصُوبِ وَغَيْرِ ذَلِكَ. وَالْمَنْدُوبُ مَا يَتَعَلَّقُ الثَّوَابُ بِفِعْلِهِ وَلَا يَتَعَلَّقُ الْعِقَابُ بِتَرْكِهِ كَصَلَوَاتِ النَّفْلِ وَصَدَقَاتِ التَّطَوُّعِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْقُرَبِ الْمُسْتَحَبَّةِ. وَالْمُبَاحُ مَا لَا ثَوَابَ بِفِعْلِهِ وَلَا عِقَابَ فِي تَرْكِهِ كَأَكْلِ الطَّيِّبِ وَلُبْسِ النَّاعِمِ وَالنَّوْمِ وَالْمَشْيِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمُبَاحَاتِ. وَالْمَحْظُورُ مَا تَعَلَّقَ الْعِقَابُ بِفِعْلِهِ كَالزِّنَا وَاللِّوَاطِ وَالْغَصْبِ وَالسَّرِقَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَعَاصِي. وَالْمَكْرُوهُ مَا تَرْكُهُ أَفْضَلُ مِنْ فِعْلِهِ كَالصَّلَاةِ مَعَ الِالْتِفَاتِ وَالصَّلَاةِ فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ وَاشْتِمَالِ الصَّمَّاءِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا نُهِيَ عَنْهُ عَلَى وَجْهِ التَّنْزِيهِ. وَالصَّحِيحُ مَا تَعَلَّقَ بِهِ النُّفُوذُ وَحَصَلَ بِهِ الْمَقْصُودُ كَالصَّلَوَاتِ الْجَائِزَةِ وَالْبُيُوعِ الْمَاضِيَةِ. وَالْبَاطِلُ مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ النُّفُوذُ وَلَا يَحْصُلُ بِهِ الْمَقْصُودُ كَالصَّلَاةِ بِغَيْرِ طَهَارَةٍ وَبَيْعِ مَا لَا يُمْلَكُ غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُعْتَدُّ بِهِ مِنَ الْأُمُورِ الْفَاسِدَةِ.

Dan fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang jalannya adalah ijtihad, dan hukum-hukum syariat yaitu wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh; serta sah dan batal. Wajib adalah apa yang terkait dengan hukuman jika ditinggalkan seperti shalat lima waktu, zakat, mengembalikan titipan dan barang rampasan, dan lain-lain. Sunnah adalah apa yang terkait dengan pahala jika dilakukan dan tidak terkait dengan hukuman jika ditinggalkan seperti shalat sunnah, sedekah sunnah, dan lain-lain dari ibadah yang dianjurkan. Mubah adalah apa yang tidak ada pahala jika dilakukan dan tidak ada hukuman jika ditinggalkan seperti makan yang baik, memakai yang lembut, tidur, berjalan, dan lain-lain dari hal-hal yang diperbolehkan. Haram adalah apa yang terkait dengan hukuman jika dilakukan seperti zina, liwath, merampas, mencuri, dan lain-lain dari perbuatan maksiat. Makruh adalah apa yang meninggalkannya lebih utama daripada melakukannya seperti shalat sambil menoleh, shalat di kandang unta, berselimut dengan selimut yang sempit, dan lain-lain yang dilarang secara tanzih. Sah adalah apa yang terkait dengannya berlaku dan tercapai tujuannya seperti shalat yang diperbolehkan dan jual beli yang berlaku. Batal adalah apa yang tidak terkait dengannya berlaku dan tidak tercapai tujuannya seperti shalat tanpa bersuci dan menjual apa yang tidak dimiliki selain itu dari hal-hal yang rusak yang tidak diperhitungkan.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا أُصُولُ الْفِقْهِ فَهِيَ الْأَدِلَّةُ الَّتِي يُبْنَى عَلَيْهَا الْفِقْهُ وَمَا يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى الْأَدِلَّةِ عَلَى سَبِيلِ الْإِجْمَالِ. وَالْأَدِلَّةُ هَاهُنَا خِطَابُ اللهِ ﷿، وَخِطَابُ رَسُولِهِ ﷺ وَأَفْعَالُهُ وَإِقْرَارُهُ، وَإِجْمَاعُ الْأُمَّةِ وَالْقِيَاسُ وَالْبَقَاءُ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ عِنْدَ عَدَمِ هَذِهِ الْأَدِلَّةِ، وَفَتْيَا الْعَالِمِ فِي حَقِّ الْعَامَّةِ، وَمَا يَتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى الْأَدِلَّةِ فَهُوَ الْكَلَامُ عَلَى تَفْصِيلِ هَذِهِ الْأَدِلَّةِ وَوَجْهِهَا وَتَرْتِيبِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضٍ.

Adapun ushul fiqh adalah dalil-dalil yang menjadi landasan fiqh dan apa yang digunakan untuk mencapai dalil-dalil secara global. Dalil-dalil di sini adalah khitab Allah ﷿, khitab Rasul-Nya ﷺ, perbuatan-perbuatan beliau, dan pengakuan beliau, ijma' umat, qiyas, tetap pada hukum asal ketika tidak ada dalil-dalil ini, dan fatwa ulama bagi orang awam. Apa yang digunakan untuk mencapai dalil-dalil adalah pembahasan tentang perincian dalil-dalil ini, aspeknya, dan pengurutan sebagiannya atas sebagian yang lain.

وَأَوَّلُ مَا يُبْدَأُ بِهِ الْكَلَامُ عَلَى خِطَابِ اللهِ ﷿ وَخِطَابِ رَسُولِهِ ﷺ لِأَنَّهُمَا أَصْلٌ لِمَا سِوَاهُمَا مِنَ الْأَدِلَّةِ وَيَدْخُلُ فِي ذَلِكَ أَقْسَامُ الْكَلَامِ وَالْحَقِيقَةُ وَالْمَجَازُ وَالْأَمْرُ وَالنَّهْيُ وَالْعُمُومُ وَالْخُصُوصُ الْمُجْمَلُ وَالْمُبَيَّنُ وَالْمَفْهُومُ وَالْمُؤَوَّلُ وَالنَّاسِخُ وَالْمَنْسُوخُ ثُمَّ الْكَلَامُ فِي أَفْعَالِ رَسُولِ اللهِ ﷺ

Hal pertama yang dibahas adalah khitab Allah ﷿ dan khitab Rasul-Nya ﷺ karena keduanya adalah dasar bagi dalil-dalil selain keduanya. Termasuk dalam hal itu adalah pembagian kalam, hakikat, majaz, perintah, larangan, umum, khusus, mujmal, mubayyan, mafhum, mu'awwal, nasikh, dan mansukh. Kemudian pembahasan tentang perbuatan-perbuatan Rasulullah ﷺ.

وَإِقْرَارِهِ لِأَنَّهُمَا يَجْرِيَانِ مَجْرَى أَقْوَالِهِ فِي الْبَيَانِ، ثُمَّ الْكَلَامُ فِي الْأَخْبَارِ لِأَنَّهَا طَرِيقٌ إِلَى مَعْرِفَةِ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ ثُمَّ الْكَلَامُ فِي الْإِجْمَاعِ لِأَنَّهُ ثَبَتَ كَوْنُهُ دَلِيلًا بِخِطَابِ اللهِ ﷿ وَخِطَابِ رَسُولِهِ ﷺ وَعَنْهُمَا يَنْعَقِدُ، ثُمَّ الْكَلَامُ فِي الْقِيَاسِ لِأَنَّهُ ثَبَتَ كَوْنُهُ دَلِيلًا بِمَا ذُكِرَ مِنَ الْأَدِلَّةِ وَإِلَيْهَا يَسْتَنِدُ، ثُمَّ نَذْكُرُ حُكْمَ الْأَشْيَاءِ فِي الْأَصْلِ لِأَنَّ الْمُجْتَهِدَ إِنَّمَا يُفْزَعُ إِلَيْهِ عِنْدَ عَدَمِ هَذِهِ الْأَدِلَّةِ ثُمَّ نَذْكُرُ فُتْيَا الْعَالِمِ وَصِفَةَ الْمُفْتِي وَالْمُسْتَفْتِي لِأَنَّهُ إِنَّمَا يَصِيرُ طَرِيقًا لِلْحُكْمِ بَعْدَ الْعِلْمِ بِمَا ذَكَرْنَاهُ ثُمَّ نَذْكُرُ الِاجْتِهَادَ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى.

Dan pengakuannya karena keduanya berjalan seperti perkataannya dalam penjelasan, kemudian pembahasan tentang khabar karena ia merupakan jalan untuk mengetahui apa yang telah kami sebutkan dari perkataan dan perbuatan, kemudian pembahasan tentang ijma' karena telah ditetapkan bahwa ia merupakan dalil dengan khitab Allah ﷿ dan khitab Rasul-Nya ﷺ dan dari keduanya terbentuk, kemudian pembahasan tentang qiyas karena telah ditetapkan bahwa ia merupakan dalil dengan apa yang telah disebutkan dari dalil-dalil dan kepadanya bersandar, kemudian kami menyebutkan hukum segala sesuatu pada asalnya karena mujtahid hanya berlindung kepadanya ketika tidak adanya dalil-dalil ini, kemudian kami menyebutkan fatwa ulama, sifat mufti dan mustafti karena ia hanya menjadi jalan kepada hukum setelah mengetahui apa yang telah kami sebutkan, kemudian kami menyebutkan ijtihad dan apa yang berkaitan dengannya insya Allah Ta'ala.

بَابُ أَقْسَامِ الْكَلَامِ

Bab Pembagian Kalam

جَمِيعُ مَا يُتَلَفَّظُ بِهِ مِنَ الْكَلَامِ ضَرْبَانِ: مُهْمَلٌ وَمُسْتَعْمَلٌ، فَالْمُهْمَلُ: مَا لَمْ يُوضَعْ لِلْإِفَادَةِ وَالْمُسْتَعْمَلُ مَا وُضِعَ لِلْإِفَادَةِ وَذَلِكَ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا مَا يُفِيدُ مَعْنًى فِيمَا وُضِعَ لَهُ وَهِيَ الْأَلْقَابُ كَزَيْدٍ وَعَمْرٍو وَمَا أَشْبَهَهُ. وَالثَّانِي مَا يُفِيدُ مَعْنًى فِيمَا وُضِعَ لَهُ وَلِغَيْرِهِ وَذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: اسْمٌ وَفِعْلٌ وَحَرْفٌ عَلَى مَا يُسَمِّيهِ أَهْلُ النَّحْوِ، فَالِاسْمُ كُلُّ كَلِمَةٍ دَلَّتْ عَلَى مَعْنًى فِي نَفْسِهَا مُجَرَّدٌ عَنْ زَمَانٍ مَخْصُوصٍ كَالرَّجُلِ وَالْفَرَسِ وَالْحِمَارِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، وَالْفِعْلُ كُلُّ كَلِمَةٍ دَلَّتْ عَلَى مَعْنًى فِي نَفْسِهَا مُقْتَرِنٌ بِزَمَانٍ كَقَوْلِكَ ضَرَبَ وَيَقُومُ وَمَا أَشْبَهَهُ، وَالْحَرْفُ مَا لَا يَدُلُّ عَلَى مَعْنًى فِي نَفْسِهِ وَدَلَّ عَلَى مَعْنًى فِي غَيْرِهِ كَمِنْ وَإِلَى وَعَلَى وَأَمْثَالِهِ وَأَقَلُّ كَلَامٍ مُفِيدٍ مَا بُنِيَ مِنْ اسْمَيْنِ كَقَوْلِكَ زَيْدٌ قَائِمٌ وَعَمْرٌو أَخُوكَ أَوْ مَا بُنِيَ مِنِ اسْمٍ وَفِعْلٍ كَقَوْلِكَ خَرَجَ زَيْدٌ وَيَقُومُ عَمْرٌو: وَأَمَّا مَا بُنِيَ مِنْ فِعْلَيْنِ أَوْ مِنْ حَرْفَيْنِ أَوْ مِنْ حَرْفٍ وَاسْمٍ أَوْ حَرْفٍ وَفِعْلٍ فَلَا يُفِيدُ إِلَّا أَنْ يُقَدَّرَ فِيهِ شَيْءٌ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ كَقَوْلِكَ يَا زَيْدُ فَإِنَّ مَعْنَاهُ أَدْعُو زَيْدًا.

Semua yang diucapkan dari perkataan ada dua jenis: diabaikan dan digunakan. Yang diabaikan adalah yang tidak ditetapkan untuk memberi manfaat, sedangkan yang digunakan adalah yang ditetapkan untuk memberi manfaat, dan itu ada dua jenis: pertama, yang memberikan makna pada apa yang ditetapkan untuknya, yaitu gelar seperti Zaid, Amr, dan sejenisnya. Yang kedua adalah yang memberikan makna pada apa yang ditetapkan untuknya dan untuk yang lainnya, dan itu ada tiga hal: ism (kata benda), fi'l (kata kerja), dan harf (partikel) sebagaimana yang dinamakan oleh ahli nahwu. Ism adalah setiap kata yang menunjukkan makna pada dirinya sendiri yang terpisah dari waktu tertentu, seperti laki-laki, kuda, keledai, dan lainnya. Fi'l adalah setiap kata yang menunjukkan makna pada dirinya sendiri yang terkait dengan waktu, seperti perkataanmu "telah memukul", "akan berdiri", dan sejenisnya. Harf adalah yang tidak menunjukkan makna pada dirinya sendiri, tetapi menunjukkan makna pada yang lainnya, seperti "dari", "ke", "atas", dan sejenisnya. Perkataan yang bermanfaat paling sedikit adalah yang dibangun dari dua ism, seperti perkataanmu "Zaid berdiri" dan "Amr saudaramu", atau yang dibangun dari ism dan fi'l, seperti perkataanmu "Zaid telah keluar" dan "Amr akan berdiri". Adapun yang dibangun dari dua fi'l, dua harf, harf dan ism, atau harf dan fi'l, maka tidak bermanfaat kecuali jika diperkirakan padanya sesuatu dari apa yang telah kami sebutkan, seperti perkataanmu "Wahai Zaid", karena maknanya adalah "Aku memanggil Zaid".

بَابٌ فِي الْحَقِيقَةِ وَالْمَجَازِ

Bab tentang Hakikat dan Majaz

وَالْكَلَامُ الْمُفِيدُ يَنْقَسِمُ إِلَى حَقِيقَةٍ وَمَجَازٍ وَقَدْ وَرَدَتِ اللُّغَةُ بِالْجَمِيعِ وَنَزَلَ بِهِ الْقُرْآنُ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ أَنْكَرَ الْمَجَازَ فِي اللُّغَةِ. وَقَالَ ابْنُ دَاوُدَ: لَيْسَ فِي الْقُرْآنِ مَجَازٌ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ﴾ ١ وَنَحْنُ نَعْلَمُ ضَرُورَةً أَنَّهُ

Kalimat yang berfaedah terbagi menjadi hakikat dan majaz. Bahasa telah datang dengan keduanya dan Al-Qur'an diturunkan dengannya. Di antara manusia ada yang mengingkari majaz dalam bahasa. Ibnu Daud berkata: "Tidak ada majaz dalam Al-Qur'an." Ini adalah kesalahan berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dinding yang hampir roboh, lalu dia menegakkannya." (Al-Kahf: 77). Kita tahu dengan pasti bahwa

_________
١ سُورَةُ الْكَهْفِ الْآيَةُ: ٧٧.
1 Surat Al-Kahf ayat: 77.

لَا إِرَادَةَ لِلْجِدَارِ وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ﴾ ١وَنَحْنُ نَعْلَمُ ضَرُورَةً أَنَّ الْقَرْيَةَ لَا تُخَاطَبُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ مَجَازٌ.

Dinding tidak memiliki kehendak, dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan tanyalah penduduk negeri itu."¹ Kita tahu dengan pasti bahwa negeri (desa) tidak bisa diajak bicara, sehingga ini menunjukkan bahwa itu adalah majaz.

فَأَمَّا الْحَقِيقَةُ فَهِيَ الْأَصْلُ وَحَدُّهَا: كُلُّ لَفْظٍ يُسْتَعْمَلُ فِيمَا وُضِعَ لَهُ مِنْ غَيْرِ نَقْلٍ وَقِيلَ مَا اسْتُعْمِلَ فِيمَا اصْطُلِحَ عَلَى التَّخَاطُبِ بِهِ، وَقَدْ يَكُونُ لِلْحَقِيقَةِ مَجَازٌ كَالْبَحْرِ حَقِيقَةٌ لِلْمَاءِ الْمُجْتَمِعِ الْكَثِيرِ وَمَجَازٌ فِي الْفَرَسِ الْجَوَادِ وَالرَّجُلِ الْعَالِمِ فَإِذَا وَرَدَ اللَّفْظُ حُمِلَ عَلَى الْحَقِيقَةِ بِإِطْلَاقِهِ وَلَا يُحْمَلُ عَلَى الْمَجَازِ إِلَّا بِدَلِيلٍ وَقَدْ لَا يَكُونُ لَهُ مَجَازٌ وَهُوَ أَكْثَرُ اللُّغَاتِ فَيُحْمَلُ عَلَى مَا وُضِعَ لَهُ.

Adapun haqiqah adalah asal, dan batasannya: setiap lafaz yang digunakan pada makna yang ditetapkan untuknya tanpa dipindahkan. Dan dikatakan, apa yang digunakan sesuai dengan kesepakatan untuk berbicara dengannya. Haqiqah mungkin memiliki majaz, seperti "laut" secara haqiqah berarti air yang terkumpul banyak, dan secara majaz berarti kuda yang gagah atau pria yang berilmu. Jika suatu lafaz disebutkan, maka ia dibawa kepada makna haqiqah secara mutlak, dan tidak dibawa kepada majaz kecuali dengan dalil. Terkadang tidak ada majaz baginya, dan ini adalah kebanyakan bahasa, sehingga ia dibawa kepada makna yang ditetapkan untuknya.

وَأَمَّا الْمَجَازُ فَحَدُّهُ مَا نُقِلَ عَمَّا وُضِعَ لَهُ وَقَلَّ التَّخَاطُبُ بِهِ وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ بِزِيَادَةٍ وَنُقْصَانٍ وَتَقْدِيمٍ وَتَأْخِيرٍ وَاسْتِعَارَةٍ فَالزِّيَادَةُ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ﴾ ٢.وَالْمَعْنَى لَيْسَ مِثْلُهُ شَيْءٌ وَالْكَافُ زَائِدَةٌ وَالنُّقْصَانُ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ﴾ وَالْمُرَادُ أَهْلُ الْقَرْيَةِ فَحَذَفَ الْمُضَافَ وَأَقَامَ الْمُضَافَ إِلَيْهِ مَقَامَهُ وَالتَّقْدِيمُ وَالتَّأْخِيرُ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى﴾ ٣. وَالْمُرَادُ أَخْرَجَ الْمَرْعَى أَحْوَى فَجَعَلَهُ غُثَاءً فَقَدَّمَ وَأَخَّرَ وَالِاسْتِعَارَةُ كَقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ﴾ ٤ فَاسْتَعَارَ فِيهِ لَفْظَ الْإِرَادَةِ وَمَا مِنْ مَجَازٍ إِلَّا وَلَهُ حَقِيقَةٌ لِأَنَّا قَدْ بَيَّنَّا أَنَّ الْمَجَازَ مَا نُقِلَ عَمَّا وُضِعَ لَهُ وَمَا وُضِعَ لَهُ هُوَ الْحَقِيقَةُ.

Adapun majaz, definisinya adalah apa yang dipindahkan dari apa yang ditetapkan untuknya dan jarang digunakan dalam percakapan. Hal itu bisa terjadi dengan penambahan, pengurangan, pendahuluan, pengakhiran, dan isti'arah (metafora). Contoh penambahan adalah firman Allah: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya" (Asy-Syura: 11). Maknanya adalah tidak ada yang menyerupai-Nya, dan huruf kaf adalah tambahan. Contoh pengurangan adalah firman Allah: "Dan tanyalah (penduduk) negeri itu" (Yusuf: 82). Yang dimaksud adalah penduduk negeri itu, lalu mudhaf (kata yang disandarkan) dihapus dan mudhaf ilaih (kata yang disandari) menempati posisinya. Contoh pendahuluan dan pengakhiran adalah firman Allah: "Dan yang menumbuhkan rerumputan, lalu dijadikan-Nya rerumputan itu kering kehitam-hitaman" (Al-A'la: 4-5). Maksudnya adalah menumbuhkan rerumputan kehitam-hitaman lalu menjadikannya kering, maka didahulukan dan diakhirkan. Contoh isti'arah adalah firman Allah: "dinding yang hampir roboh" (Al-Kahf: 77), di mana kata "ingin" dipinjam padanya. Setiap majaz pasti memiliki makna hakiki, karena kami telah menjelaskan bahwa majaz adalah apa yang dipindahkan dari apa yang ditetapkan untuknya, dan apa yang ditetapkan untuknya adalah makna hakiki.

فَصْلٌ:

Pasal:

وَيُعْرَفُ الْمَجَازُ مِنَ الْحَقِيقَةِ بِوُجُوهٍ مِنْ أَنْ يُصَرِّحُوا بِأَنَّهُ مَجَازٌ وَقَدْ بَيَّنَ أَهْلُ اللُّغَةِ ذَلِكَ وَصَنَّفَ أَبُو عُبَيْدَةَ كِتَابَ الْمَجَازِ فِي الْقُرْآنِ وَبَيَّنَ جَمِيعَ مَا فِيهِ مِنَ الْمَجَازِ، وَمِنْهَا أَنْ يُسْتَعْمَلَ اللَّفْظُ فِيمَا لَا يَسْبِقُ إِلَى الْفَهْمِ عِنْدَ سَمَاعِهِ كَقَوْلِهِمْ فِي الْبَلِيدِ حِمَارٌ وَالْأَبْلَهِ تَيْسٌ وَمِنْهَا أَنْ يُوصَفَ الشَّيْءُ وَيُسَمَّى بِمَا يَسْتَحِيلُ وُجُودُهُ كَقَوْلِهِ ﴿وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ﴾ ٥ وَمِنْهَا أَنْ لَا يَجْرِيَ وَلَا يَطَّرِدَ كَقَوْلِهِمْ فِي الرَّجُلِ

Majaz dapat dibedakan dari hakikat dengan beberapa cara, di antaranya mereka menyatakan dengan jelas bahwa itu adalah majaz, dan para ahli bahasa telah menjelaskan hal itu. Abu Ubaidah menyusun kitab Al-Majaz fi Al-Qur'an dan menjelaskan semua majaz yang ada di dalamnya. Di antaranya, lafaz digunakan untuk sesuatu yang tidak langsung dipahami ketika mendengarnya, seperti perkataan mereka tentang orang yang bodoh dengan 'keledai' dan orang yang dungu dengan 'kambing'. Di antaranya, sesuatu disifati dan dinamai dengan sesuatu yang mustahil adanya, seperti firman-Nya "Dan tanyalah penduduk negeri itu" (Yusuf: 82). Dan di antaranya, tidak berlaku umum dan tidak konsisten, seperti perkataan mereka tentang seorang laki-laki...

_________
١ سُورَةُ يُوسُفَ جُزْءٌ مِنَ الْآيَةِ: ٨٢.
1 Surat Yusuf bagian dari ayat: 82.
٢ سُورَةُ الشُّورَى جُزْءٌ مِنَ الْآيَةِ: ١١.
2 Surat Asy-Syura bagian dari ayat: 11.
٣ سُورَةُ الْأَعْلَى الْآيَةُ: ٤، ٥.
3 Surat Al-A'la ayat: 4, 5.
٤ سُورَةُ الْكَهْفِ الْآيَةُ: ٧٧.
4 Surat Al-Kahf ayat: 77.
٥ سُورَةُ يُوسُفَ الْآيَةُ: ٨٢.
5 Surat Yusuf ayat: 82.

الثَّقِيلُ جَبَلٌ ثُمَّ لَا يُقَالُ ذَلِكَ فِي غَيْرِهِ وَفِي الطَّوِيلِ نَخْلَةٌ ثُمَّ لَا يُقَالُ ذَلِكَ فِي غَيْرِ الْآدَمِيِّ، وَمِنْهَا أَنْ لَا يَتَصَرَّفَ فِيمَا اسْتُعْمِلَ فِيهِ كَتَصَرُّفِهِ فِيمَا وُضِعَ لَهُ حَقِيقَةً كَالْأَمْرِ فِي مَعْنَى الْفِعْلِ لَا تَقُولُ فِيهِ أَمَرَ يَأْمُرُ كَمَا تَقُولُ فِي الْأَمْرِ بِمَعْنَى الْقَوْلِ.

Berat itu gunung, kemudian tidak dikatakan demikian pada selainnya. Pada yang tinggi itu pohon kurma, kemudian tidak dikatakan demikian pada selain manusia. Di antaranya, ia tidak bertasharruf (berubah bentuk) pada apa yang digunakan padanya sebagaimana tasharruf-nya pada apa yang ditetapkan untuknya secara hakikat, seperti amr (perintah) dalam makna fi'il (kata kerja), engkau tidak mengatakan padanya amara ya'muru sebagaimana engkau mengatakan pada amr (perintah) dengan makna perkataan.

بَابُ بَيَانِ الْوُجُوهِ الَّتِي تُؤْخَذُ مِنْهَا الْأَسْمَاءُ وَاللُّغَاتُ

Bab penjelasan sisi-sisi dari mana nama-nama dan bahasa diambil

اِعْلَمْ أَنَّ الْأَسْمَاءَ وَاللُّغَاتِ تُؤْخَذُ مِنْ أَرْبَعِ جِهَاتٍ مِنَ اللُّغَةِ وَالْعُرْفِ وَالشَّرْعِ وَالْقِيَاسِ. فَأَمَّا اللُّغَةُ فَمَا تَخَاطَبَ بِهِ الْعَرَبُ مِنَ اللُّغَاتِ وَهِيَ عَلَى ضَرْبَيْنِ، فَمِنْهَا مَا يُفِيدُ مَعْنًى وَاحِدًا فَيُحْمَلُ عَلَى مَا وُضِعَ لَهُ اللَّفْظُ كَالرَّجُلِ وَالْفَرَسِ وَالتَّمْرِ وَالْبُرِّ وَغَيْرِ ذَلِكَ، وَمِنْهُ مَا يُفِيدُ مَعَانِيَ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ.

Ketahuilah bahwa nama-nama dan bahasa diambil dari empat sisi: bahasa, 'urf (kebiasaan), syariat, dan qiyas (analogi). Adapun bahasa, maka apa yang orang Arab gunakan untuk bercakap-cakap dari bahasa-bahasa, dan itu ada dua macam. Di antaranya ada yang memberi faedah satu makna, maka dibawa kepada apa yang lafaz itu ditetapkan untuknya, seperti ar-rajul (lelaki), al-faras (kuda), at-tamr (kurma matang), al-burr (gandum), dan selain itu. Di antaranya ada yang memberi faedah beberapa makna, dan itu ada dua macam.

أَحَدُهُمَا: مَا يُفِيدُ مَعَانِيَ مُتَّفِقَةً كَاللَّوْنِ يَتَنَاوَلُ الْبَيَاضَ وَالسَّوَادَ وَسَائِرَ الْأَلْوَانِ وَالْمُشْرِكُ يَتَنَاوَلُ الْيَهُودِيَّ وَالنَّصْرَانِيَّ فَيُحْمَلُ عَلَى جَمِيعِ مَا يَتَنَاوَلُهُ أَمَّا عَلَى سَبِيلِ الْجَمْعِ إِنْ كَانَ اللَّفْظُ يَقْتَضِي الْجَمْعَ أَوْ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُ عَلَى سَبِيلِ الْبَدَلِ إِنْ لَمْ يَقْتَضِ اللَّفْظُ الْجَمْعَ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ شَيْءٌ بِعَيْنِهِ فَيُحْمَلُ عَلَى مَا دَلَّ عَلَيْهِ الدَّلِيلُ.

Salah satunya: apa yang memberikan makna yang selaras seperti warna mencakup putih, hitam, dan warna lainnya, dan musyrik mencakup Yahudi dan Nasrani, maka dipahami mencakup semua yang tercakup, baik dengan cara mengumpulkan jika lafaz menuntut bentuk jamak atau pada setiap satu darinya dengan cara penggantian jika lafaz tidak menuntut bentuk jamak, kecuali jika dalil menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sesuatu yang spesifik maka dipahami sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh dalil.

وَالثَّانِي: مَا يُفِيدُ مَعَانِيَ مُخْتَلِفَةً كَالْبَيْضَةِ تَقَعُ عَلَى الْخُوذَةِ وَبَيْضِ الدَّجَاجَةِ وَالنَّعَامَةِ، وَالْقُرْءُ يَقَعُ عَلَى الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ فَإِنْ دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِعَيْنِهِ حُمِلَ عَلَيْهِ وَأَنْ دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ، أَحَدُهُمَا وَلَمْ يُعَيِّنْ لَمْ يُحْمَلْ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِلَّا بِدَلِيلٍ إِذْ لَيْسَ أَحَدُهُمَا بِأَوْلَى مِنَ الْآخَرِ وَإِنْ لَمْ يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا حُمِلَ عَلَيْهِمَا وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ وَبَعْضُ الْمُعْتَزِلَةِ لَا يَجُوزُ حَمْلُ اللَّفْظِ الْوَاحِدِ عَلَى مَعْنَيَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ أَنَّهُ لَا تَنَافِيَ بَيْنَ الْمَعْنَيَيْنِ وَاللَّفْظُ يَحْتَمِلُهُمَا فَوَجَبَ الْحَمْلُ عَلَيْهِمَا كَمَا قُلْنَا فِي الْقِسْمِ الَّذِي قَبْلَهُ.

Dan yang kedua: apa yang mengandung makna yang berbeda seperti al-baidhah (telur) yang bisa merujuk pada helm dan telur ayam atau burung unta, dan al-qur' yang bisa merujuk pada haid atau suci. Jika ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah salah satunya secara spesifik, maka dibawa kepada makna itu. Jika ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah salah satunya tanpa menentukan yang mana, maka tidak dibawa kepada salah satunya kecuali dengan dalil, karena tidak ada yang lebih utama dari yang lain. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan salah satunya, maka dibawa kepada keduanya. Para pengikut Abu Hanifah dan sebagian Mu'tazilah berpendapat: tidak boleh membawa satu lafaz kepada dua makna yang berbeda. Dalil yang membolehkan hal itu adalah bahwa tidak ada pertentangan antara dua makna tersebut dan lafaz itu mengandung keduanya, maka wajib membawanya kepada keduanya sebagaimana yang kami katakan pada bagian sebelumnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْعُرْفُ: فَهُوَ مَا غَلَبَ الِاسْتِعْمَالُ فِيهِ عَلَى مَا وُضِعَ لَهُ فِي اللُّغَةِ بِحَيْثُ إِذَا أُطْلِقَ سَبَقَ الْفَهْمُ إِلَى مَا غَلَبَ عَلَيْهِ دُونَ مَا وُضِعَ لَهُ كَالدَّابَّةِ وُضِعَ فِي

Adapun 'urf: yaitu apa yang penggunaannya lebih dominan daripada makna aslinya dalam bahasa, sehingga ketika diucapkan maka pemahaman lebih cenderung kepada makna yang dominan itu daripada makna aslinya, seperti kata ad-dābbah yang digunakan untuk

الأَصْلُ لِكُلِّ مَا دَبَّ ثُمَّ غَلَبَ عَلَيْهِ الاسْتِعْمَالُ فِي الفَرَسِ، وَالغَائِطُ وُضِعَ فِي الأَصْلِ لِلْمَوْضِعِ المُطْمَئِنِّ مِنَ الأَرْضِ ثُمَّ غَلَبَ عَلَيْهِ الاسْتِعْمَالُ فِيمَا يَخْرُجُ مِنَ الإِنْسَانِ فَيَصِيرُ حَقِيقَةً فِيمَا غَلَبَ عَلَيْهِ فَإِذَا أُطْلِقَ حُمِلَ عَلَى مَا يَثْبُتُ لَهُ مِنَ العُرْفِ.

Asal dari segala yang merayap kemudian penggunaannya mendominasi pada kuda, dan al-ghaa'ith pada awalnya digunakan untuk tempat yang rendah dari bumi kemudian penggunaannya mendominasi pada sesuatu yang keluar dari manusia sehingga menjadi hakikat pada apa yang mendominasinya, maka jika diucapkan secara mutlak, ia dibawa kepada apa yang tetap baginya dari 'urf.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الشَّرْعُ فَهُوَ مَا غَلَبَ الشَّرْعُ فِيهِ عَلَى مَا وُضِعَ لَهُ اللَّفْظُ فِي اللُّغَةِ بِحَيْثُ إِذَا أُطْلِقَ لَمْ يُفْهَمْ مِنْهُ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَيْهِ الشَّرْعُ كَالصَّلَاةِ اسْمٌ لِلدُّعَاءِ فِي اللُّغَةِ ثُمَّ جُعِلَ فِي الشَّرْعِ اسْمًا لِهَذِهِ الْمَعْرُوفَةِ. وَالْحَجُّ اسْمٌ لِلْقَصْدِ ثُمَّ نُقِلَ فِي الشَّرْعِ إِلَى هَذِهِ الْأَفْعَالِ فَصَارَ حَقِيقَةً فِيمَا غَلَبَ عَلَيْهِ الشَّرْعُ فَإِذَا أُطْلِقَ حُمِلَ عَلَى مَا يَثْبُتُ لَهُ مِنْ عُرْفِ الشَّرْعِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَيْسَ فِي الْأَسْمَاءِ شَيْءٌ مَنْقُولٌ إِلَى الشَّرْعِ بَلْ كُلُّهَا مُبْقَاةٌ عَلَى مَوْضُوعِهَا فِي اللُّغَةِ، فَالصَّلَاةُ اسْمٌ لِلدُّعَاءِ وَإِنَّمَا الرُّكُوعُ وَالسُّجُودُ زِيَادَاتٌ أُضِيفَتْ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَيْسَتْ مِنَ الصَّلَاةِ كَمَا أُضِيفَتْ إِلَى الطَّهَارَةِ وَلَيْسَتْ مِنْهَا وَكَذَلِكَ الْحَجُّ اسْمٌ لِلْقَصْدِ وَالطَّوَافُ وَالسَّعْيُ زِيَادَاتٌ أُضِيفَتْ إِلَى الْحَجِّ وَلَيْسَتْ مِنَ الْحَجِّ فَإِذَا أُطْلِقَ اسْمُ الصَّلَاةِ حُمِلَ عَلَى الدُّعَاءِ وَإِذَا أُطْلِقَ اسْمُ الْحَجِّ حُمِلَ عَلَى الْقَصْدِ وَهُوَ قَوْلُ الْأَشْعَرِيَّةِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّ هَذِهِ الْأَسْمَاءَ إِذَا أُطْلِقَتْ فِي الشَّرْعِ لَمْ يُعْقَلْ مِنْهَا الْمَعَانِي الَّتِي وُضِعَتْ لَهَا فِي اللُّغَةِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا مَنْقُولَةٌ.

Adapun syariat adalah apa yang didominasi oleh syariat di dalamnya atas apa yang ditetapkan untuk lafaz dalam bahasa, sehingga jika diucapkan tidak dipahami darinya kecuali apa yang didominasi oleh syariat, seperti shalat adalah nama untuk doa dalam bahasa, kemudian dijadikan dalam syariat sebagai nama untuk yang dikenal ini. Dan haji adalah nama untuk tujuan, kemudian dipindahkan dalam syariat kepada perbuatan-perbuatan ini, sehingga menjadi hakikat pada apa yang didominasi oleh syariat. Jika diucapkan, maka dibawa kepada apa yang ditetapkan baginya dari 'urf syariat. Dan di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam nama-nama yang dipindahkan ke syariat, bahkan semuanya dibiarkan pada tempatnya dalam bahasa. Maka shalat adalah nama untuk doa, dan ruku' serta sujud adalah tambahan-tambahan yang ditambahkan kepada shalat dan bukan termasuk shalat, sebagaimana ditambahkan kepada bersuci dan bukan termasuknya. Demikian pula haji adalah nama untuk tujuan, dan thawaf serta sa'i adalah tambahan-tambahan yang ditambahkan kepada haji dan bukan termasuk haji. Jika diucapkan nama shalat, maka dibawa kepada doa, dan jika diucapkan nama haji, maka dibawa kepada tujuan. Ini adalah pendapat Asy'ariyah. Yang pertama lebih shahih, dan dalilnya adalah bahwa nama-nama ini jika diucapkan dalam syariat, tidak dipahami darinya makna-makna yang ditetapkan untuknya dalam bahasa, maka menunjukkan bahwa ia dipindahkan.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا وَرَدَ لَفْظٌ قَدْ وُضِعَ فِي اللُّغَةِ لِمَعْنًى وَفِي الْعُرْفِ لِمَعْنًى حُمِلَ عَلَى مَا ثَبَتَ لَهُ فِي الْعُرْفِ لِأَنَّ الْعُرْفَ طَارِئٌ عَلَى اللُّغَةِ فَكَانَ الْحُكْمُ لَهُ، وَإِنْ كَانَ قَدْ وُضِعَ فِي اللُّغَةِ لِمَعْنًى وَفِي الشَّرْعِ لِمَعْنًى حُمِلَ عَلَى عُرْفِ الشَّرْعِ لِأَنَّهُ طَارِئٌ عَلَى اللُّغَةِ وَلِأَنَّ الْقَصْدَ بَيَانُ حُكْمِ الشَّرْعِ فَالْحَمْلُ عَلَيْهِ أَوْلَى.

Jika suatu lafaz telah ditetapkan dalam bahasa untuk suatu makna dan dalam 'urf untuk makna lain, maka ia dibawa kepada apa yang telah ditetapkan baginya dalam 'urf, karena 'urf itu datang kemudian atas bahasa, maka hukumnya untuknya. Jika ia telah ditetapkan dalam bahasa untuk suatu makna dan dalam syariat untuk makna lain, maka ia dibawa kepada 'urf syariat, karena ia datang kemudian atas bahasa dan karena tujuannya adalah menjelaskan hukum syariat, maka membawanya kepadanya lebih utama.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَهُوَ مِثْلُ تَسْمِيَةِ اللِّوَاطِ زِنًا قِيَاسًا عَلَى وَطْءِ النِّسَاءِ وَتَسْمِيَةِ

Adapun qiyas, maka ia seperti menamai liwath sebagai zina dengan mengqiyaskan kepada wathi' (bersetubuh dengan) para wanita dan menamai

النَّبِيذُ خَمْرًا قِيَاسًا عَلَى عَصِيرِ الْعِنَبِ وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ. فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَجُوزُ إِثْبَاتُ اللُّغَاتِ وَالْأَسْمَاءِ بِالْقِيَاسِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَأَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ ذَلِكَ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ الْعَرَبَ سَمَّتْ مَا كَانَ فِي زَمَانِهَا مِنَ الْأَعْيَانِ بِأَسْمَاءَ ثُمَّ انْقَرَضُوا وَانْقَرَضَتْ تِلْكَ الْأَعْيَانُ وَأَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى تَسْمِيَةِ أَمْثَالِهَا بِتِلْكَ الْأَسْمَاءِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ قَاسُوهَا عَلَى الْأَعْيَانِ الَّتِي سَمَّوْهَا.

Nabidz (minuman keras) dianggap sebagai khamr (minuman memabukkan) berdasarkan qiyas (analogi) dengan jus anggur, dan para sahabat kami berbeda pendapat tentang hal ini. Di antara mereka ada yang mengatakan: Diperbolehkan menetapkan bahasa dan nama-nama berdasarkan qiyas, dan ini adalah pendapat Abu Al-'Abbas dan Abu Ali bin Abi Hurairah. Di antara mereka ada yang mengatakan: Hal itu tidak diperbolehkan, dan yang pertama lebih benar karena orang Arab menamai benda-benda yang ada pada zaman mereka dengan nama-nama, kemudian mereka punah dan benda-benda itu juga punah, dan orang-orang sepakat untuk menamai yang serupa dengannya dengan nama-nama itu, maka ini menunjukkan bahwa mereka mengqiyaskannya dengan benda-benda yang mereka namai.

الكَلَامُ فِي الأَمْرِ وَالنَّهْيِ

بَابُ القَوْلِ فِي بَيَانِ الأَمْرِ وَصِيغَتِهِ

الكَلَامُ فِي الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ

Pembahasan tentang Perintah dan Larangan

بَابُ الْقَوْلِ فِي بَيَانِ الْأَمْرِ وَصِيغَتِهِ

Bab Penjelasan tentang Perintah dan Bentuknya

اِعْلَمْ أَنَّ الْأَمْرَ قَوْلٌ يُسْتَدْعَى بِهِ الْفِعْلُ مِمَّنْ هُوَ دُونَهُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ زَادَ فِيهِ عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ فَأَمَّا الْأَفْعَالُ الَّتِي لَيْسَتْ بِقَوْلٍ فَإِنَّهَا تُسَمَّى أَمْرًا عَلَى سَبِيلِ الْمَجَازِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَيْسَ بِمَجَازٍ قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَيَّدَهُ اللهُ وَقَدْ نَصَرْتُ ذَلِكَ فِي التَّبْصِرَةِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ حَقِيقَةً فِي الْفِعْلِ كَمَا هُوَ حَقِيقَةٌ فِي الْقَوْلِ لَتَصَرَّفَ فِي الْفِعْلِ كَمَا تَصَرَّفَ فِي الْقَوْلِ فَيُقَالُ أَمَرَ يَأْمُرُ كَمَا يُقَالُ ذَلِكَ إِذَا أُرِيدَ بِهِ الْقَوْلُ.

Ketahuilah bahwa amr (perintah) adalah perkataan yang menuntut perbuatan dari orang yang lebih rendah darinya. Sebagian sahabat kami menambahkan bahwa itu adalah kewajiban. Adapun perbuatan yang bukan perkataan, maka itu disebut amr secara majaz (metafora). Sebagian sahabat kami mengatakan itu bukan majaz. Syaikh al-Imam, semoga Allah menguatkannya, berkata: "Aku telah mendukung hal itu dalam kitab at-Tabshirah, dan pendapat pertama lebih sahih. Karena seandainya amr itu hakikat pada perbuatan sebagaimana ia hakikat pada perkataan, tentu ia akan ditashrif (diubah bentuknya) pada perbuatan sebagaimana ditashrif pada perkataan. Maka dikatakan amara ya'muru sebagaimana dikatakan demikian jika yang dimaksud adalah perkataan."

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ مَا لَيْسَ فِيهِ اسْتِدْعَاءٌ كَالتَّهْدِيدِ مِثْلَ قَوْلِهِ ﷿: ﴿اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ﴾ ١ وَالتَّعْجِيزِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ﴾ ٢ وَالْإِبَاحَةِ مِثْلَ قَوْلِهِ ﷿: ﴿وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا﴾ ٣

Demikian pula apa yang tidak mengandung permintaan seperti ancaman, seperti firman-Nya ﷿: ﴿Berbuatlah apa yang kamu kehendaki﴾ ١ dan at-ta'jiz seperti firman-Nya Ta'ala: ﴿Katakanlah: "Maka datangkanlah sepuluh surah yang sebanding dengannya (Al-Qur'an) yang dibuat-buat﴾ ٢ dan al-ibahah seperti firman-Nya ﷿: ﴿Dan apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu﴾ ٣

فَذَلِكَ كُلُّهُ لَيْسَ بِأَمْرِهِ وَقَالَ الْبَلْخِيُّ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ: الْإِبَاحَةُ أَمْرٌ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْإِبَاحَةَ هِيَ الْإِذْنُ وَذَلِكَ لَا يُسَمَّى أَمْرًا أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا اسْتَأْذَنَ مَوْلَاهُ فِي الِاسْتِرَاحَةِ وَتَرْكِ الْخِدْمَةِ فَأَذِنَ لَهُ فِي ذَلِكَ لَا يُقَالُ إِنَّهُ أَمَرَهُ بِذَلِكَ.

Maka semua itu bukanlah perintah-Nya. Al-Balkhi dari kalangan Mu'tazilah berkata: "Al-Ibahah adalah perintah". Ini adalah kesalahan, karena al-ibahah adalah izin dan itu tidak disebut perintah. Tidakkah kamu perhatikan bahwa jika seorang hamba meminta izin tuannya untuk beristirahat dan meninggalkan pelayanan, lalu tuannya mengizinkannya, maka tidak dikatakan bahwa tuannya memerintahkannya melakukan hal itu.

٢-فَصْلٌ

2-Pasal

وَكَذَلِكَ مَا كَانَ مِنَ النَّظِيرِ لِلنَّظِيرِ وَمِنَ الْأَدْنَى لِلْأَعْلَى فَلَيْسَ بِأَمْرٍ وَإِنْ

Demikian pula apa yang berasal dari sesama untuk sesama dan dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, maka itu bukanlah perintah meskipun

_________
١ سُورَةُ فُصِّلَتْ الْآيَةُ: ٤٠.
١ Surah Fussilat ayat: 40.
٢ سُورَةُ هُودٍ الْآيَةُ: ١٣.
٢ Surah Hud ayat: 13.
٣ سُورَةُ الْمَائِدَةِ الْآيَةُ: ٢.
٣ Surah Al-Maidah ayat: 2.

كَانَ صِيغَتُهُ صِيغَةَ أَمْرٍ وَذَلِكَ كَقَوْلِ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي فَإِنَّ ذَلِكَ مَسْأَلَةٌ وَرَغْبَةٌ.

Itu adalah bentuk perintah seperti perkataan seorang hamba kepada Tuhannya, "Ampunilah aku dan rahmatilah aku," karena itu adalah permohonan dan keinginan.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الِاسْتِدْعَاءُ عَلَى وَجْهِ النَّدْبِ فَلَيْسَ بِأَمْرٍ حَقِيقَةً وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ هُوَ أَمْرٌ حَقِيقَةً وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِأَمْرٍ قَوْلُهُ ﷺ: "لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ". وَمَعْلُومٌ أَنَّ السِّوَاكَ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ وَقَدْ أَخْبَرَ أَنَّهُ لَمْ يَأْمُرْ بِهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمَنْدُوبَ إِلَيْهِ غَيْرُ مَأْمُورٍ بِهِ.

Adapun permintaan dalam bentuk anjuran, maka itu bukanlah perintah yang sebenarnya. Sebagian sahabat kami mengatakan bahwa itu adalah perintah yang sebenarnya. Dalil bahwa itu bukanlah perintah adalah sabda Nabi ﷺ, "Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka bersiwak pada setiap salat." Telah diketahui bahwa bersiwak pada setiap salat adalah sunnah, dan beliau telah mengabarkan bahwa beliau tidak memerintahkannya. Ini menunjukkan bahwa perkara sunnah bukanlah perkara yang diperintahkan.

فَصْلٌ

Pasal

لِلْأَمْرِ صِيغَةٌ مَوْضُوعَةٌ فِي اللُّغَةِ تَقْتَضِي الْفِعْلَ وَهُوَ قَوْلُهُ افْعَلْ وَقَالَتِ الْأَشْعَرِيَّةُ: لَيْسَتْ لِلْأَمْرِ صِيغَةٌ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ لَهُ صِيغَةً أَنَّ أَهْلَ اللِّسَانِ قَسَّمُوا الْكَلَامَ فَقَالُوا فِي جُمْلَتِهَا أَمْرٌ وَنَهْيٌ فَالْأَمْرُ قَوْلُكَ افْعَلْ وَالنَّهْيُ قَوْلُكَ لَا تَفْعَلْ فَجَعَلُوا قَوْلَهُ افْعَلْ بِمُجَرَّدِهِ أَمْرًا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ لَهُ صِيغَةً.

Perintah memiliki bentuk yang ditetapkan dalam bahasa yang menuntut perbuatan, yaitu perkataan if'al (lakukan). Kelompok Asy'ariyah mengatakan: Perintah tidak memiliki bentuk. Dalil bahwa perintah memiliki bentuk adalah bahwa ahli bahasa membagi kalimat dan mengatakan di antaranya ada perintah dan larangan. Perintah adalah perkataanmu if'al (lakukan), dan larangan adalah perkataanmu laa taf'al (jangan lakukan). Mereka menjadikan perkataan if'al semata sebagai perintah, ini menunjukkan bahwa perintah memiliki bentuk.

بَابُ مَا يَقْتَضِي الأَمْرُ مِنَ الإِيجَابِ

بَابُ مَا يَقْتَضِي الْأَمْرُ مِنَ الْإِيجَابِ

Bab tentang apa yang dituntut oleh perintah dari kewajiban

إِذَا تَجَرَّدَتْ صِيغَةُ الْأَمْرِ اقْتَضَتِ الْوُجُوبَ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا ثُمَّ اخْتَلَفَ هَؤُلَاءِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ بِوَضْعِ اللُّغَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ بِالشَّرْعِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَقْتَضِي النَّدْبَ. وَقَالَ بَعْضُ الْأَشْعَرِيَّةِ لَا يَقْتَضِي الْوُجُوبَ وَلَا غَيْرَهُ إِلَّا بِدَلِيلٍ وَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ الْأَمْرُ يَقْتَضِي إِرَادَةَ الْفِعْلِ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مِنْ حَكِيمٍ اقْتَضَتِ النَّدْبَ وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِهِ لَمْ يَقْتَضِ أَكْثَرَ مِنَ الْإِرَادَةِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهَا تَقْتَضِي الْوُجُوبَ قَوْلُهُ ﷺ: "لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ". فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَوْ أَمَرَ لَوَجَبَ وَلَوْ شَقَّ وَلِأَنَّ السَّيِّدَ مِنَ الْعَرَبِ إِذَا قَالَ لِعَبْدِهِ اسْقِنِي مَاءً فَلَمْ يَسْقِهِ اسْتَحَقَّ الذَّمَّ وَالتَّوْبِيخَ فَلَوْ لَمْ يَقْتَضِ الْوُجُوبَ لَمَا اسْتَحَقَّ الذَّمَّ عَلَيْهِ.

Jika bentuk perintah itu mutlak, maka menurut mayoritas sahabat kami, ia menuntut kewajiban. Kemudian mereka berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ia menuntut kewajiban berdasarkan penggunaan bahasa, dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ia menuntut kewajiban berdasarkan syariat. Sebagian sahabat kami mengatakan bahwa ia menuntut anjuran (an-nadb). Sebagian Asy'ariyah mengatakan bahwa ia tidak menuntut kewajiban atau yang lainnya kecuali dengan dalil. Mu'tazilah mengatakan bahwa perintah menuntut kehendak untuk melakukan perbuatan. Jika itu dari Yang Mahabijaksana, maka ia menuntut anjuran. Jika dari selain-Nya, maka ia tidak menuntut lebih dari sekadar kehendak. Dalil bahwa ia menuntut kewajiban adalah sabda Nabi ﷺ, "Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak pada setiap salat." Ini menunjukkan bahwa seandainya beliau memerintahkan, niscaya hukumnya wajib meskipun memberatkan. Juga karena jika seorang tuan dari bangsa Arab berkata kepada budaknya, "Beri aku minum air," lalu ia tidak memberinya minum, maka ia berhak mendapat celaan dan teguran. Seandainya perintah itu tidak menuntut kewajiban, tentu ia tidak berhak mendapat celaan karenanya.

فَصْلٌ

Pasal

سَوَاءٌ وَرَدَتْ هَذِهِ الصِّيغَةُ ابْتِدَاءً أَوْ وَرَدَتْ بَعْدَ الْحَظْرِ فَإِنَّهَا تَقْتَضِي

Baik bentuk ini muncul pada awalnya atau muncul setelah larangan, maka ia menuntut

الوُجُوبُ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إِذَا وَرَدَتْ بَعْدَ الحَظْرِ اقْتَضَتِ الإِبَاحَةَ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهَا تَقْتَضِي الوُجُوبَ أَنَّ كُلَّ لَفْظٍ اقْتَضَى الإِيجَابَ إِذَا لَمْ يَتَقَدَّمْهُ حَظْرٌ اقْتَضَى الإِيجَابَ وَإِنْ تَقَدَّمَهُ حَظْرٌ كَقَوْلِهِ: أَوْجَبْتُ وَفَرَضْتُ.

Wajib. Beberapa sahabat kami berkata: Jika datang setelah larangan, maka menuntut kebolehan. Dalil bahwa ia menuntut kewajiban adalah bahwa setiap lafaz yang menuntut wajib jika tidak didahului larangan, maka ia menuntut wajib. Jika didahului larangan, seperti perkataannya: Aku wajibkan dan Aku fardhukan.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يُرِدْ بِالأَمْرِ الوُجُوبَ لَمْ يَجُزِ الاحْتِجَاجُ بِهِ فِي الجَوَازِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَجُوزُ وَالأَوَّلُ أَظْهَرُ لِأَنَّ الأَمْرَ لَمْ يُوضَعْ لِلْجَوَازِ وَإِنَّمَا وُضِعَ لِلْإِيجَابِ وَالجَوَازُ يَدْخُلُ فِيهِ عَلَى سَبِيلِ التَّبَعِ فَإِذَا سَقَطَ الوُجُوبُ سَقَطَ مَا دَخَلَ فِيهِ عَلَى سَبِيلِ التَّبَعِ.

Jika dalil menunjukkan bahwa perintah tidak dimaksudkan untuk wajib, maka tidak boleh berhujjah dengannya dalam hal boleh. Sebagian sahabat kami ada yang mengatakan boleh, namun yang pertama lebih jelas. Karena perintah tidak diletakkan untuk kebolehan, melainkan untuk kewajiban. Kebolehan masuk ke dalamnya dengan cara mengikuti. Maka jika kewajiban gugur, gugur pula apa yang masuk ke dalamnya dengan cara mengikuti.

بَابٌ فِي أَنَّ الأَمْرَ يَقْتَضِي الفِعْلَ مَرَّةً وَاحِدَةً أَوِ التَّكْرَارَ

بَابٌ فِي أَنَّ الْأَمْرَ يَقْتَضِي الْفِعْلَ مَرَّةً وَاحِدَةً أَوِ التَّكْرَارَ

Bab tentang perintah yang menuntut perbuatan satu kali atau berulang kali

إِذَا وَرَدَتْ صِيغَةُ الْأَمْرِ لِإِيجَابِ فِعْلٍ وَجَبَ الْعَزْمُ عَلَى الْفِعْلِ وَيَجِبُ تَكْرَارُ ذَلِكَ كُلَّمَا ذُكِرَ الْأَمْرُ لِأَنَّهُ إِذَا ذُكِرَ وَلَمْ يَعْزِمْ عَلَى الْفِعْلِ صَارَ مُصِرًّا عَلَى الْعِنَادِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ وَأَمَّا الْفِعْلُ الْمَأْمُورُ بِهِ فَإِنْ كَانَ فِي اللَّفْظِ مَا يَدُلُّ عَلَى تَكْرَارِهِ وَجَبَ تَكْرَارُهُ وَإِنْ كَانَ مُطْلَقًا فَفِيهِ وَجْهَانِ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَجِبُ تَكْرَارُهُ عَلَى حَسَبِ الطَّاقَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يَجِبُ أَكْثَرُ مِنْ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ إِلَّا بِدَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى التَّكْرَارِ وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ إِطْلَاقَ الْفِعْلِ يَقْتَضِي مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ حَلَفَ لَيَفْعَلَنَّ بَرَّ بِمَرَّةٍ وَاحِدَةٍ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاقَ لَا يَقْتَضِي أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ.

Jika bentuk perintah datang untuk mewajibkan suatu perbuatan, maka wajib bertekad untuk melakukan perbuatan tersebut dan wajib mengulanginya setiap kali perintah itu disebutkan. Karena jika perintah itu disebutkan dan tidak bertekad untuk melakukannya, maka itu menjadi bersikeras dalam pembangkangan, dan ini tidak diperbolehkan. Adapun perbuatan yang diperintahkan, jika dalam lafaznya terdapat petunjuk untuk mengulanginya, maka wajib mengulanginya. Jika mutlak, maka ada dua pendapat. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan: wajib mengulanginya sesuai kemampuan. Ada juga yang mengatakan: tidak wajib lebih dari satu kali kecuali dengan dalil yang menunjukkan pengulangan, dan ini yang benar. Dalil bahwa mutlaknya perbuatan menuntut apa yang jatuh pada namanya, tidakkah kamu melihat bahwa jika seseorang bersumpah untuk melakukan sesuatu, maka ia telah memenuhi sumpahnya dengan melakukannya satu kali. Ini menunjukkan bahwa kemutlakan tidak menuntut lebih dari itu.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا عُلِّقَ الْأَمْرُ بِشَرْطٍ بِأَنْ يَقُولَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَهَلْ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ إِنْ قُلْنَا إِنَّ مُطْلَقَ الْأَمْرِ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ فَالْمُعَلَّقُ بِالشَّرْطِ مِثْلُهُ؛ وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ مُطْلَقَهُ لَا يَقْتَضِي التَّكْرَارَ فَفِي الْمُعَلَّقِ بِالشَّرْطِ وَجْهَانِ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَقْتَضِي التَّكْرَارَ كُلَّمَا تَكَرَّرَ الشَّرْطُ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَا يَقْتَضِي وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ كُلَّ مَا لَا يَقْتَضِي التَّكْرَارَ إِذَا كَانَ مُطْلَقًا لَمْ يَقْتَضِ التَّكْرَارَ إِذَا

Adapun jika perintah dikaitkan dengan syarat, seperti mengatakan "jika matahari tergelincir", apakah hal itu menuntut pengulangan? Jika kita katakan bahwa mutlak perintah menuntut pengulangan, maka yang dikaitkan dengan syarat sama dengannya. Jika kita katakan bahwa mutlaknya tidak menuntut pengulangan, maka dalam hal yang dikaitkan dengan syarat ada dua pendapat. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan: ia menuntut pengulangan setiap kali syarat terulang, dan di antara mereka ada yang mengatakan tidak menuntut, dan ini yang lebih sahih, karena setiap yang tidak menuntut pengulangan jika mutlak, maka tidak menuntut pengulangan jika

كَانَ بِالشَّرْطِ كَالطَّلَاقِ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَقُولَ أَنْتِ طَالِقٌ وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَأَنْتِ طَالِقٌ.

Itu seperti talak bersyarat, tidak ada perbedaan antara mengatakan "Kamu ditalak" dan mengatakan "Jika matahari terbenam, maka kamu ditalak".

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا تَكَرَّرَ الْأَمْرُ بِالْفِعْلِ الْوَاحِدِ بِأَنْ قَالَ: صَلِّ ثُمَّ قَالَ: صَلِّ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ مُطْلَقَ الْأَمْرِ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ فَتَكْرَارُ الْأَمْرِ يَقْتَضِي التَّأْكِيدَ، وَإِنْ قُلْنَا أَنَّهُ يَقْتَضِي الْفِعْلَ مَرَّةً وَاحِدَةً فَفِي التَّكْرَارِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ تَأْكِيدٌ وَهُوَ قَوْلُ الصَّيْرَفِيِّ. وَالثَّانِي: إِنَّهُ اسْتِئْنَافٌ وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَمْرَيْنِ يَقْتَضِي إِيجَادَ الْفِعْلِ عِنْدَ الِانْفِرَادِ فَإِذَا اجْتَمَعَا أَوْجَبَا التَّكْرَارَ كَمَا لَوْ كَانَا فِعْلَيْنِ.

Adapun jika perintah untuk satu perbuatan diulang, seperti ia berkata: "Shalatlah", kemudian berkata lagi: "Shalatlah", maka jika kita katakan bahwa mutlak perintah menuntut pengulangan, maka pengulangan perintah menuntut penekanan. Jika kita katakan bahwa perintah menuntut perbuatan satu kali, maka dalam pengulangan ada dua pendapat: Pertama, bahwa itu adalah penekanan, dan ini adalah pendapat al-Shairafi. Kedua, bahwa itu adalah permulaan baru, dan ini adalah pendapat yang benar. Dalilnya adalah bahwa setiap satu dari dua perintah itu menuntut adanya perbuatan ketika sendirian, maka jika keduanya berkumpul, keduanya mewajibkan pengulangan, seperti halnya jika keduanya adalah dua perbuatan.

بَابٌ فِي أَنَّ الأَمْرَ هَلْ يَقْتَضِي الفِعْلَ عَلَى الفَوْرِ أَمْ لَا

بَابٌ فِي أَنَّ الْأَمْرَ هَلْ يَقْتَضِي الْفِعْلَ عَلَى الْفَوْرِ أَمْ لَا

Bab tentang apakah perintah mengharuskan tindakan segera atau tidak

إِذَا وَرَدَ الْأَمْرُ بِالْفِعْلِ مُطْلَقًا وَجَبَ الْعَزْمُ عَلَى الْفِعْلِ عَلَى الْفَوْرِ كَمَا مَضَى فِي الْبَابِ قَبْلَهُ وَهَلْ يَقْتَضِي الْفِعْلَ عَلَى الْفَوْرِ بِنِيَّةٍ عَلَى التَّكْرَارِ، فَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْأَمْرَ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ عَلَى حَسَبِ الِاسْتِطَاعَةِ وَجَبَ عَلَى الْفَوْرِ لِأَنَّ الْحَالَةَ الْأُولَى دَاخِلَةٌ فِي الِاسْتِطَاعَةِ فَلَا يَجُوزُ إِخْلَاؤُهَا مِنَ الْفِعْلِ، وَإِنْ قُلْنَا إِنَّ الْأَمْرَ يَقْتَضِي مَرَّةً وَاحِدَةً فَهَلْ يَقْتَضِي ذَلِكَ عَلَى الْفَوْرِ أَمْ لَا؟ فِيهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا. أَحَدُهُمَا أَنَّهُ لَا يَقْتَضِي الْفِعْلَ عَلَى الْفَوْرِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَقْتَضِي ذَلِكَ عَلَى الْفَوْرِ وَهُوَ قَوْلُ الصَّيْرَفِيِّ وَالْقَاضِي أَبِي حَامِدٍ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ قَوْلَهُ أَفْعَلْ يَقْتَضِي إِيجَادَ الْفِعْلِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِالزَّمَانِ الْأَوَّلِ دُونَ الثَّانِي فَإِذَا صَارَ مُمْتَثِلًا بِالْفِعْلِ فِي الزَّمَانِ الْأَوَّلِ وَجَبَ أَنْ يَصِيرَ مُمْتَثِلًا بِالْفِعْلِ فِي الزَّمَانِ الثَّانِي.

Jika perintah untuk melakukan suatu perbuatan datang secara mutlak, maka wajib bertekad untuk segera melakukannya seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Apakah perintah itu menuntut perbuatan segera dengan niat untuk mengulanginya? Jika kita mengatakan bahwa perintah itu menuntut pengulangan sesuai kemampuan, maka wajib segera dilakukan karena keadaan pertama termasuk dalam kemampuan, sehingga tidak boleh mengosongkannya dari perbuatan. Jika kita mengatakan bahwa perintah itu menuntut sekali saja, apakah itu menuntut segera atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama kami. Salah satunya adalah bahwa perintah itu tidak menuntut perbuatan segera, dan sebagian ulama kami mengatakan bahwa itu menuntut segera, dan ini adalah pendapat al-Shairafi dan al-Qadhi Abu Hamid. Yang pertama lebih benar, karena ucapannya "Lakukan" menuntut mewujudkan perbuatan tanpa mengkhususkan waktu pertama daripada yang kedua. Jika seseorang telah mematuhi dengan melakukan perbuatan pada waktu pertama, maka ia wajib mematuhi dengan melakukan perbuatan pada waktu kedua.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا وَرَدَ الْأَمْرُ مُقَيَّدًا بِزَمَانٍ نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَ الزَّمَانُ يَسْتَغْرِقُ الْعِبَادَةَ كَالصِّيَامِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ لَزِمَهُ فِعْلُهَا عَلَى الْفَوْرِ عِنْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ وَإِنْ كَانَ الزَّمَانُ أَوْسَعَ مِنْ قَدْرِ الْعِبَادَةِ كَصَلَاةِ الزَّوَالِ مَا بَيْنَ الظُّهْرِ إِلَى أَنْ يَصِيرَ ظِلُّ كُلِّ

Adapun jika perintah itu dibatasi dengan waktu, maka perhatikanlah. Jika waktunya mencakup seluruh ibadah seperti puasa di bulan Ramadhan, maka wajib melakukannya segera ketika waktu itu masuk. Namun jika waktunya lebih luas dari kadar ibadah seperti shalat Zawal antara Zhuhur hingga bayangan setiap benda menjadi

شَيْءٌ مِثْلُهُ وَجَبَ الْفِعْلُ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ وُجُوبًا مُوَسَّعًا، ثُمَّ اخْتَلَفُوا هَلْ يَجِبُ الْعَزْمُ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ بَدَلًا عَنِ الصَّلَاةِ فَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُوجِبْ وَمِنْهُمْ مَنْ أَوْجَبَ الْعَزْمَ بَدَلًا عَنِ الْفِعْلِ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ.

Sesuatu yang serupa dengannya, wajib melakukan perbuatan di awal waktu dengan kewajiban yang luas, kemudian mereka berbeda pendapat apakah wajib berniat di awal waktu sebagai ganti shalat. Di antara mereka ada yang tidak mewajibkan dan ada yang mewajibkan niat sebagai ganti perbuatan di awal waktu.

وَقَالَ أَبُو الْحَسَنِ الْكَرْخِيُّ: يَتَعَلَّقُ الْوُجُوبُ أَحَدَ شَيْئَيْنِ إِمَّا بِالْفِعْلِ أَوْ بِأَنْ يَضِيقَ الْوَقْتُ. وَقَالَ أَكْثَرُ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ: يَتَعَلَّقُ الْوُجُوبُ بِآخِرِ الْوَقْتِ. وَاخْتَلَفَ هَؤُلَاءِ فِيمَنْ صَلَّى فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ أَنَّ ذَلِكَ نَفْلٌ فَإِنْ جَاءَ آخِرُ الْوَقْتِ وَلَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْوُجُوبِ فَلَا كَلَامَ فِي أَنَّ مَا فَعَلَهُ كَانَ نَفْلًا وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْوُجُوبِ مَنَعَ ذَلِكَ النَّفْلَ الَّذِي فَعَلَهُ مِنْ تَوَجُّهِ الْفَرْضِ عَلَيْهِ فِي آخِرِ الْوَقْتِ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ فِعْلُهُ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ مُرَاعًى فَإِنْ جَاءَ آخِرُ الْوَقْتِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْوُجُوبِ عَلِمْنَا أَنَّهُ فَعَلَ وَاجِبًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْوُجُوبِ عَلِمْنَا أَنَّهُ فَعَلَ نَفْلًا وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ الْمُقْتَضِيَ لِلْوُجُوبِ هُوَ الْأَمْرُ وَقَدْ تَنَاوَلَ ذَلِكَ أَوَّلَ الْوَقْتِ بِقَوْلِهِ ﴿أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ﴾ ١ فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ فِي أَوَّلِهِ.

Abu Al-Hasan Al-Karkhi berkata: Kewajiban terkait dengan salah satu dari dua hal, yaitu dengan perbuatan atau dengan menyempitnya waktu. Mayoritas sahabat Abu Hanifah berkata: Kewajiban terkait dengan akhir waktu. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang shalat di awal waktu. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa itu adalah shalat sunnah. Jika datang akhir waktu dan dia bukan termasuk orang yang wajib shalat, maka tidak ada pembicaraan bahwa apa yang dia lakukan adalah shalat sunnah. Jika dia termasuk orang yang wajib shalat, maka shalat sunnah yang dia lakukan itu mencegah kewajiban shalat fardhu atasnya di akhir waktu. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa perbuatannya di awal waktu itu ditangguhkan. Jika datang akhir waktu dan dia termasuk orang yang wajib shalat, maka kita tahu bahwa dia telah melakukan shalat wajib. Jika dia bukan termasuk orang yang wajib shalat, maka kita tahu bahwa dia telah melakukan shalat sunnah. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa yang mengharuskan kewajiban adalah perintah, dan perintah itu telah mencakup awal waktu dengan firman-Nya "Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir" ¹, maka wajib hukumnya di awal waktu.

فَصْلٌ

Pasal

فَإِنْ فَاتَ الْوَقْتُ الَّذِي عُلِّقَ عَلَيْهِ الْعِبَادَةُ فَلَمْ يَفْعَلْ فَهَلْ يَجِبُ الْقَضَاءُ أَمْ لَا؟ فِيهِ وَجْهَانِ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَجِبُ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَا يَجِبُ إِلَّا بِأَمْرٍ ثَانٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ مَا بَعْدَ الْوَقْتِ لَمْ يَتَنَاوَلْهُ الْأَمْرُ فَلَا يَجِبُ الْفِعْلُ فِيهِ كَمَا قَبْلَ الْوَقْتِ.

Jika waktu yang ditetapkan untuk ibadah telah berlalu dan belum dilakukan, apakah wajib mengqadha atau tidak? Ada dua pendapat dari sahabat kami, sebagian mengatakan wajib dan sebagian lagi mengatakan tidak wajib kecuali dengan perintah kedua, dan ini yang lebih shahih. Karena setelah waktu berlalu tidak tercakup dalam perintah, maka tidak wajib melakukannya seperti sebelum waktu.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا أَمَرَ بِأَمْرِ بِعِبَادَةٍ فِي وَقْتٍ مُعَيَّنٍ فِي وَقْتٍ مُعَيَّنٍ فَفَعَلَهَا فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ سُمِّيَ أَدَاءً عَلَى سَبِيلِ الْحَقِيقَةِ وَلَا يُسَمَّى قَضَاءً إِلَّا مَجَازًا كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ﴾ ٢ وَكَمَا قَالَ: ﴿فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي

Jika diperintahkan untuk melakukan ibadah pada waktu tertentu dan dilakukan pada waktu itu, maka disebut menunaikan (ada') secara hakikat dan tidak disebut mengqadha kecuali secara majaz, seperti firman Allah Ta'ala: "Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berdzikirlah" (Al-Baqarah: 200), dan seperti firman-Nya: "Maka apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah di

_________
١ سُورَةُ الْإِسْرَاءِ الْآيَةُ: ٧٨.
1 Surat Al-Isra' ayat: 78.
٢ سُورَةُ الْبَقَرَةِ جُزْءٌ مِنَ الْآيَةِ: ٢٠٠.
2 Surat Al-Baqarah bagian dari ayat: 200.

الْأَرْضِ﴾ ١ أَمَّا إِذَا دَخَلَ فِيهَا فَأَفْسَدَهَا أَوْ نَسِيَ شَرْطًا مِنْ شُرُوطِهَا فَأَعَادَهَا وَالْوَقْتُ بَاقٍ سُمِّيَ إِعَادَةً وَأَدَاءً وَإِنْ فَاتَ الْوَقْتُ فَفَعَلَهَا بَعْدَ فَوَاتِ الْوَقْتِ سُمِّيَ قَضَاءً.

Bumi﴾ ١ Adapun jika ia memasuki shalat tersebut lalu merusaknya atau lupa salah satu syaratnya kemudian mengulanginya sementara waktunya masih tersisa, maka itu disebut i'adah (pengulangan) dan ada' (pelaksanaan). Jika waktunya telah berlalu lalu ia melakukannya setelah berlalunya waktu, maka itu disebut qadha'.

_________
١ سُورَةُ الْجُمُعَةِ الْآيَةُ: ١٠.
١ Surat Al-Jumu'ah ayat: 10.

بَابُ الأَمْرِ بِأَشْيَاءَ عَلَى جِهَةِ التَّخْيِيرِ وَالتَّرْتِيبِ

بَابُ الْأَمْرِ بِأَشْيَاءَ عَلَى جِهَةِ التَّخْيِيرِ وَالتَّرْتِيبِ

Bab Perintah Melakukan Sesuatu dengan Cara Memilih dan Berurutan

إِذَا خَيَّرَ اللهُ تَعَالَى بَيْنَ أَشْيَاءَ مِثْلَ كَفَّارَةِ الْيَمِينِ خَيَّرَ فِيهَا بَيْنَ الْعِتْقِ وَالْإِطْعَامِ وَالْكِسْوَةِ فَالْوَاجِبُ مِنْهَا وَاحِدٌ غَيْرُ مُعَيَّنٍ فَأَيُّهَا فَعَلَ فَقَدْ فَعَلَ الْوَاجِبَ وَإِنْ فَعَلَ الْجَمِيعَ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْهُ بِوَاحِدٍ مِنْهَا وَالْبَاقِي تَطَوُّعٌ، وَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ: الثَّلَاثَةُ كُلُّهَا وَاجِبَةٌ فَإِنْ أَرَادُوا بِوُجُوبِ الْجَمِيعِ تَسَاوِي الْجَمِيعِ فِي الْخِطَابِ فَهُوَ وِفَاقٌ وَإِنَّمَا يَحْصُلُ الْخِلَافُ فِي الْعِبَارَةِ دُونَ الْمَعْنَى وَإِنْ أَرَادُوا بِوُجُوبِ الْجَمِيعِ أَنَّهُ مُخَاطَبٌ بِفِعْلِ الْجَمِيعِ فَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِهِ أَنَّهُ إِذَا تَرَكَ الْجَمِيعَ لَمْ يُعَاقَبْ عَلَى الْجَمِيعِ وَلَوْ كَانَ الْجَمِيعُ وَاجِبًا لَعُوقِبَ عَلَى الْجَمِيعِ فَلَمَّا لَمْ يُعَاقَبْ إِلَّا عَلَى وَاحِدٍ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ هُوَ الْوَاجِبُ.

Jika Allah Ta'ala memberikan pilihan di antara beberapa hal seperti kafarat sumpah, di mana Dia memberikan pilihan antara membebaskan budak, memberi makan, atau memberi pakaian, maka yang wajib hanyalah salah satunya tanpa ditentukan. Jadi, mana pun yang dilakukan, ia telah melakukan kewajiban. Jika ia melakukan semuanya, maka kewajiban gugur darinya dengan melakukan salah satunya, dan sisanya adalah amalan sunnah. Mu'tazilah berpendapat: Ketiganya wajib. Jika yang mereka maksud dengan wajibnya semuanya adalah kesetaraan semuanya dalam khitab (perintah), maka itu adalah kesepakatan dan perbedaan hanya terjadi dalam ungkapan, bukan makna. Jika yang mereka maksud dengan wajibnya semuanya adalah bahwa ia dituntut untuk melakukan semuanya, maka dalil atas rusaknya pendapat ini adalah jika ia meninggalkan semuanya, ia tidak akan dihukum atas semuanya. Seandainya semuanya wajib, tentu ia akan dihukum atas semuanya. Ketika ia hanya dihukum atas satu hal saja, ini menunjukkan bahwa itulah yang wajib.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا أَمَرَ بِأَشْيَاءَ عَلَى التَّرْتِيبِ كَالْمُظَاهِرِ أَمَرَ بِالْعِتْقِ عِنْدَ وُجُودِ الرَّقَبَةِ وَبِالصِّيَامِ عِنْدَ عَدَمِهَا بِالْإِطْعَامِ عِنْدَ الْعَجْزِ عَنِ الْجَمِيعِ فَالْوَاجِبُ مِنْ ذَلِكَ وَاحِدٌ مُعَيَّنٌ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا فَفَرْضُهُ الْعِتْقُ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَفَرْضُهُ الصِّيَامُ وَإِنْ كَانَ عَاجِزًا فَفَرْضُهُ الْإِطْعَامُ فَإِنْ جَمَعَ مَنْ فَرْضُهُ الْعِتْقُ بَيْنَ الْجَمِيعِ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْهُ بِالْعِتْقِ وَمَا عَدَاهُ تَطَوُّعٌ وَإِنْ جَمَعَ مَنْ فَرْضُهُ الصِّيَامُ بَيْنَ الْجَمِيعِ فَفَرْضُهُ أَحَدُ الْأَمْرَيْنِ مِنَ الْعِتْقِ أَوِ الصِّيَامِ وَالْإِطْعَامُ تَطَوُّعٌ وَإِنْ جَمَعَ مَنْ فَرْضُهُ الْإِطْعَامُ بَيْنَ الْجَمِيعِ فَفَرْضُهُ وَاحِدٌ مِنَ الثَّلَاثَةِ كَالْكَفَّارَةِ الْمُخَيَّرَةِ.

Adapun jika seseorang diperintahkan untuk melakukan sesuatu secara berurutan seperti orang yang melakukan zhihar, ia diperintahkan untuk membebaskan budak jika ia memilikinya, berpuasa jika tidak memilikinya, dan memberi makan jika tidak mampu melakukan keduanya. Maka yang wajib dari itu adalah salah satu yang ditentukan sesuai dengan kondisinya. Jika ia kaya, maka kewajibannya adalah membebaskan budak. Jika ia miskin, maka kewajibannya adalah berpuasa. Jika ia tidak mampu, maka kewajibannya adalah memberi makan. Jika orang yang wajib membebaskan budak melakukan semuanya, maka kewajiban gugur darinya dengan membebaskan budak, dan yang lainnya adalah sunnah. Jika orang yang wajib berpuasa melakukan semuanya, maka kewajibannya adalah salah satu dari dua hal, yaitu membebaskan budak atau berpuasa, dan memberi makan adalah sunnah. Jika orang yang wajib memberi makan melakukan semuanya, maka kewajibannya adalah salah satu dari tiga hal, seperti kaffarah yang boleh dipilih.

مَشْرُوطًا بِذَلِكَ الْغَيْرِ كَالِاسْتِطَاعَةِ فِي الْحَجِّ وَالْمَالِ فِي الزَّكَاةِ لَمْ يَكُنِ الْأَمْرُ بِالْحَجِّ وَالزَّكَاةِ أَمْرًا بِتَحْصِيلٍ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِالْحَجِّ لَمْ يَتَنَاوَلْ مَنْ لَا اسْتِطَاعَةَ لَهُ وَفِي الزَّكَاةِ مَنْ لَا مَالَ لَهُ فَلَوْ أَلْزَمْنَاهُ تَحْصِيلَ ذَلِكَ لِيَدْخُلَ فِي الْأَمْرِ لَأَسْقَطْنَا شَرْطَ الْأَمْرِ وَهَذَا لَا يَجُوزُ وَإِنْ كَانَ الْأَمْرُ مُطْلَقًا غَيْرَ مَشْرُوطٍ كَانَ الْأَمْرُ بِالْفِعْلِ أَمْرًا بِهِ وَبِمَا لَا يَتِمُّ إِلَّا بِهِ وَذَلِكَ كَالطَّهَارَةِ لِلصَّلَاةِ الْأَمْرُ بِالصَّلَاةِ أَمْرٌ بِالطَّهَارَةِ أَوْ كَغَسْلِ شَيْءٍ مِنَ الرَّأْسِ لِاسْتِيفَاءِ الْفَرْضِ عَنِ الْوَجْهِ، فَلَوْ لَمْ يَلْزَمْهُ مَا يَتِمُّ بِهِ الْفِعْلُ الْمَأْمُورُ بِهِ أَقْسَطْنَا الْوُجُوبَ فِي الْمَأْمُورِ وَلِهَذَا قُلْنَا فِيمَنْ نَسِيَ صَلَاةً مِنْ صَلَوَاتِ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ وَلَمْ يَعْرِفْ عَيْنَهَا أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاءُ خَمْسِ صَلَوَاتٍ لِتَدْخُلَ الْمَنْسِيَّةُ فِيهَا.

Jika disyaratkan dengan sesuatu yang lain seperti kemampuan dalam haji dan harta dalam zakat, maka perintah haji dan zakat bukanlah perintah untuk memperolehnya. Karena perintah haji tidak mencakup orang yang tidak mampu, dan zakat tidak mencakup orang yang tidak memiliki harta. Jika kita mewajibkan mereka untuk memperoleh itu agar masuk dalam perintah, maka kita telah menggugurkan syarat perintah, dan ini tidak boleh. Jika perintah itu mutlak tanpa syarat, maka perintah untuk melakukan perbuatan adalah perintah untuk melakukannya dan apa yang tidak sempurna kecuali dengannya, seperti bersuci untuk shalat. Perintah shalat adalah perintah untuk bersuci, atau seperti membasuh sebagian kepala untuk memenuhi kewajiban wajah. Jika tidak diwajibkan baginya apa yang menyempurnakan perbuatan yang diperintahkan, maka kita telah membagi kewajiban dalam yang diperintahkan. Oleh karena itu, kami mengatakan tentang orang yang lupa shalat dari shalat siang dan malam dan tidak mengetahui waktunya, bahwa dia wajib mengqadha lima shalat agar yang terlupa masuk di dalamnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا إِذَا أَمَرَ بِصِفَةِ عِبَادَةٍ فَإِنْ كَانَتِ الصِّفَةُ وَاجِبَةً كَالطُّمَأْنِينَةِ فِي الرُّكُوعِ دَلَّ عَلَى وُجُوبِ الرُّكُوعِ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالصِّفَةِ الْوَاجِبَةِ إِلَّا بِفِعْلِ الْمَوْصُوفِ وَإِنْ كَانَتِ الصِّفَةُ نَدْبًا كَرَفْعِ الصَّوْتِ بِالتَّلْبِيَةِ لَمْ يَدُلَّ ذَلِكَ عَلَى وُجُوبِ التَّلْبِيَةِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: تَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ التَّلْبِيَةِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ قَدْ يُنْدَبُ إِلَى صِفَةِ مَا هُوَ وَاجِبٌ وَمَا هُوَ نَدْبٌ فَلَمْ يَكُنْ فِي النَّدْبِ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ الْأَصْلِ.

Dan jika diperintahkan dengan sifat ibadah, jika sifat tersebut wajib seperti tuma'ninah dalam ruku', maka itu menunjukkan wajibnya ruku' karena tidak mungkin baginya untuk melakukan sifat wajib kecuali dengan melakukan yang disifati. Jika sifat tersebut sunnah seperti mengeraskan suara talbiyah, maka itu tidak menunjukkan wajibnya talbiyah. Sebagian orang mengatakan: itu menunjukkan wajibnya talbiyah, dan ini adalah kesalahan karena terkadang disunnahkan sifat dari sesuatu yang wajib dan sesuatu yang sunnah, sehingga dalam sunnah tidak ada dalil atas wajibnya asal.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا أَمَرَ بِشَيْءٍ كَانَ ذَلِكَ نَهْيًا عَنْ ضِدِّهِ مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ الْأَمْرُ وَاجِبًا كَانَ النَّهْيُ عَنْ ضِدِّهِ عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ. وَإِنْ كَانَ نَدْبًا كَانَ النَّهْيُ عَنْ ضِدِّهِ عَلَى سَبِيلِ النَّدْبِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَيْسَ بِنَهْيٍ عَنْ ضِدِّهِ وَهُوَ قَوْلُ الْمُعْتَزِلَةِ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ اِنَّهُ لَا يُتَوَصَّلُ إِلَى فِعْلِ الْمَأْمُورِ إِلَّا بِتَرْكِ الضِّدِّ فَهُوَ كَالطَّهَارَةِ فِي الصَّلَاةِ.

Dan jika diperintahkan dengan sesuatu, maka itu adalah larangan dari lawannya dari segi makna. Jika perintah itu wajib, maka larangan dari lawannya adalah wajib. Jika itu sunnah, maka larangan dari lawannya adalah sunnah. Sebagian sahabat kami mengatakan itu bukan larangan dari lawannya, dan ini adalah pendapat Mu'tazilah. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa tidak mungkin melakukan yang diperintahkan kecuali dengan meninggalkan lawannya, maka itu seperti bersuci dalam shalat.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا أَمَرَ بِاجْتِنَابِ شَيْءٍ وَلَمْ يُمْكِنْهُ الِاجْتِنَابُ إِلَّا بِاجْتِنَابِ غَيْرِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ.

Jika dia memerintahkan untuk menghindari sesuatu dan tidak mungkin menghindarinya kecuali dengan menghindari yang lain, maka ini ada dua jenis.

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ فِي اجْتِنَابِ الْجَمِيعِ مَشَقَّةٌ فَيَسْقُطُ حُكْمُ الْمُحَرَّمِ فِيهِ فَيَسْقُطُ عَنْهُ فَرْضُ الِاجْتِنَابِ وَهُوَ كَمَا إِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ الْكَثِيرِ نَجَاسَةٌ أَوِ اخْتَلَطَتْ أُخْتُهُ بِنِسَاءِ بَلَدٍ فَلَا يَمْنَعُ مِنَ الْوُضُوءِ بِالْمَاءِ وَلَا مِنْ نِكَاحِ نِسَاءِ ذَلِكَ الْبَلَدِ.

Pertama: Jika dalam menghindari semuanya terdapat kesulitan, maka hukum yang diharamkan di dalamnya gugur, sehingga kewajiban untuk menghindarinya juga gugur. Ini seperti ketika najis jatuh ke dalam air yang banyak, atau saudara perempuannya bercampur dengan para wanita di suatu negeri, maka tidak dilarang untuk berwudhu dengan air tersebut atau menikahi wanita-wanita di negeri itu.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يَكُونَ فِي اجْتِنَابِ الْجَمِيعِ مَشَقَّةٌ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ.

Kedua: Jika tidak ada kesulitan dalam menghindari semuanya, maka ini terbagi menjadi dua jenis.

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْمُحَرَّمُ مُخْتَلِطًا بِالْمُبَاحِ كَالنَّجَاسَةِ فِي الْمَاءِ الْقَلِيلِ وَالْجَارِيَةِ الْمُشْتَرَكَةِ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ فَيَجِبُ اجْتِنَابُ الْجَمِيعِ.

Pertama: Jika yang haram bercampur dengan yang mubah, seperti najis dalam air yang sedikit dan budak perempuan yang dimiliki bersama oleh dua orang laki-laki, maka wajib menghindari semuanya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُخْتَلِطٍ إِلَّا أَنَّهُ لَا يُعْرَفُ الْمُبَاحُ بِعَيْنِهِ فَهَذَا عَلَى ضَرْبَيْنِ: ضَرْبٌ يَجُوزُ فِيهِ التَّحَرِّي وَهُوَ كَالْمَاءِ الطَّاهِرِ إِذَا اشْتَبَهَ بِالْمَاءِ النَّجِسِ فَيَتَحَرَّى "صَفْحَةٌ ١٠" فِيهِ وَضَرْبٌ لَا يَجُوزُ فِيهِ التَّحَرِّي وَهُوَ الْأُخْتُ إِذَا اخْتَلَطَتْ بِأَجْنَبِيَّةٍ وَالْمَاءُ إِذَا اشْتَبَهَ بِالْبَوْلِ فَيَجِبُ اجْتِنَابُ الْجَمِيعِ.

Kedua: Jika tidak bercampur, tetapi yang mubah tidak diketahui secara pasti, maka ini terbagi menjadi dua jenis: jenis yang boleh dilakukan tahaarriy (mencari yang lebih yakin) padanya, yaitu seperti air suci yang mirip dengan air najis, maka dilakukan tahaarriy "halaman 10" padanya; dan jenis yang tidak boleh dilakukan tahaarriy padanya, yaitu saudara perempuan jika bercampur dengan wanita asing, dan air jika mirip dengan air kencing, maka wajib menghindari semuanya.

بَابُ إِيجَابِ مَا لَا يَتِمُّ المَأْمُورُ إِلَّا بِهِ

بَابُ إِيجَابِ مَا لَا يَتِمُّ الْمَأْمُورُ إِلَّا بِهِ

Bab tentang kewajiban melakukan sesuatu yang tanpanya perintah tidak dapat terlaksana

إِذَا أَمَرَ بِفِعْلٍ وَلَمْ يَتِمَّ ذَلِكَ الْفِعْلُ إِلَّا بِغَيْرِهِ نَظَرْتُ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ الْأَمْرُ

Jika seseorang diperintahkan untuk melakukan suatu perbuatan dan perbuatan tersebut tidak dapat terlaksana kecuali dengan melakukan perbuatan lain, maka aku mempertimbangkan jika perintah tersebut

بَابُ الأَمْرِ يَدُلُّ عَلَى إِجْزَاءِ المَأْمُورِ بِهِ

بَابُ الْأَمْرِ يَدُلُّ عَلَى إِجْرَاءِ الْمَأْمُورِ بِهِ

Bab perintah menunjukkan pelaksanaan perkara yang diperintahkan

وَاعْلَمْ أَنَّهُ إِذَا أَمَرَ اللهُ تَعَالَى بِفِعْلٍ لَمْ يَخْلُ الْمَأْمُورُ إِمَّا أَنْ يَفْعَلَ الْمَأْمُورَ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي تَنَاوَلَهُ الْأَمْرُ أَوْ يَزِيدَ عَلَى مَا تَنَاوَلَهُ الْأَمْرُ أَوْ يَنْقُصَ، فَإِنْ فَعَلَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي تَنَاوَلَهُ الْأَمْرُ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ بِمُجَرَّدِ الْأَمْرِ وَقَالَ بَعْضُ الْمُعْتَزِلَةِ: الْأَمْرُ لَا يَدُلُّ عَلَى الْإِجْزَاءِ بَلْ يَحْتَاجُ الْآخَرُ إِلَى دَلِيلٍ آخَرَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ قَدْ فَعَلَ الْمَأْمُورَ بِهِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي تَنَاوَلَهُ الْأَمْرُ فَوَجَبَ أَنْ يَعُودَ إِلَى مَا كَانَ قَبْلَ الْأَمْرِ.

Ketahuilah bahwa jika Allah Ta'ala memerintahkan suatu perbuatan, maka orang yang diperintah tidak lepas dari melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan cara yang dicakup oleh perintah tersebut, atau menambahkan apa yang dicakup oleh perintah, atau menguranginya. Jika ia melakukannya sesuai dengan cara yang dicakup oleh perintah, maka itu sudah cukup baginya hanya dengan perintah tersebut. Sebagian Mu'tazilah mengatakan: Perintah tidak menunjukkan kecukupan, melainkan membutuhkan dalil lain. Ini adalah kesalahan, karena ia telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan cara yang dicakup oleh perintah, maka wajib baginya untuk kembali kepada keadaan sebelum adanya perintah.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا زَادَ عَلَى الْمَأْمُورِ بِأَنْ يَأْمُرَهُ بِالرُّكُوعِ فَيَزِيدُ عَلَى مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنْهُ بِأَدْنَى مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ وَالزِّيَادَةُ عَلَى ذَلِكَ تَطَوُّعٌ لَا يَدْخُلُ فِي الْأَمْرِ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: الْجَمِيعُ وَاجِبٌ دَاخِلٌ فِي الْأَمْرِ وَهَذَا بَاطِلٌ لِأَنَّ مَا زَادَ عَلَى الِاسْمِ يَجُوزُ لَهُ تَرْكُهُ عَلَى الْإِطْلَاقِ فَإِذَا فَعَلَهُ لَمْ يَكُنْ وَاجِبًا كَسَائِرِ النَّوَافِلِ.

Adapun jika seseorang melakukan lebih dari yang diperintahkan, seperti diperintahkan untuk ruku' namun ia melakukan lebih dari apa yang disebut ruku', maka kewajiban telah gugur darinya dengan melakukan sekadar yang disebut ruku'. Tambahan di atas itu adalah sunnah yang tidak termasuk dalam perintah. Sebagian orang mengatakan bahwa semuanya wajib dan termasuk dalam perintah, namun ini adalah pendapat yang batil. Karena apa yang melebihi dari yang disebut ruku', ia boleh meninggalkannya secara mutlak. Jika ia melakukannya, itu bukanlah kewajiban seperti halnya amalan-amalan sunnah lainnya.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا نَقَصَ عَنِ الْمَأْمُورِ نَظَرْتَ فَإِنْ نَقَصَ مِنْهُ مَا هُوَ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهِ كَالصَّلَاةِ بِغَيْرِ قِرَاءَةٍ لَمْ يُجْزِهِ وَلَمْ يَدْخُلْ فِي الْأَمْرِ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِالْمَأْمُورِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي أُمِرَ بِهِ وَإِنْ نَقَصَ مِنْهُ مَا لَيْسَ بِشَرْطٍ كَالتَّسْمِيَةِ فِي الطَّهَارَةِ أَجْزَأَهُ فِي الْمَأْمُورِ وَهَلْ يَدْخُلُ ذَلِكَ فِي الْأَمْرِ الظَّاهِرِ؟ مِنْ قَوْلِ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ فِي الْأَمْرِ وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ: يَدْخُلُ فِي الْأَمْرِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْمَكْرُوهَ مَنْهِيٌّ عَنْهُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَ فِي لَفْظِ الْأَمْرِ كَالْمُحَرَّمِ.

Adapun jika seseorang melakukan kurang dari yang diperintahkan, maka perhatikanlah. Jika yang dikurangi adalah sesuatu yang menjadi syarat sahnya, seperti shalat tanpa membaca (Al-Fatihah), maka itu tidak mencukupinya dan tidak termasuk dalam perintah, karena ia tidak melakukan yang diperintahkan dengan cara yang diperintahkan. Jika yang dikurangi bukan syarat, seperti basmalah dalam bersuci, maka itu mencukupinya dalam hal yang diperintahkan. Apakah itu termasuk dalam perintah yang jelas? Menurut pendapat sahabat-sahabat kami, itu tidak termasuk dalam perintah. Sedangkan sahabat-sahabat Abu Hanifah berpendapat: itu termasuk dalam perintah. Ini tidak benar, karena yang makruh adalah yang dilarang, sehingga tidak boleh masuk dalam lafaz perintah, seperti yang haram.

بَابُ مَنْ يَدْخُلُ فِي الأَمْرِ وَمَنْ لَا يَدْخُلُ فِيهِ

بَابُ مَنْ يَدْخُلُ فِي الْأَمْرِ وَمَنْ لَا يَدْخُلُ فِيهِ

Bab tentang siapa yang termasuk dalam perintah dan siapa yang tidak termasuk di dalamnya

اِعْلَمْ أَنَّ السَّاهِيَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَ فِي الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ لِأَنَّ الْقَصْدَ إِلَى التَّقَرُّبِ بِالْفِعْلِ وَالتَّرْكِ يَتَضَمَّنُ الْعِلْمَ بِهِ حَتَّى يَصِحَّ الْقَصْدُ إِلَيْهِ وَهَذَا يَسْتَحِيلُ فِي حَقِّ النَّاسِي أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ قِيلَ لَهُ: لَا تَتَكَلَّمْ فِي صَلَاتِكَ وَأَنْتَ سَاهٍ لَوَجَبَ أَنْ يَقْصِدَ إِلَى تَرْكِ مَا يَعْلَمُ أَنَّهُ سَاهٍ فِيهِ وَعِلْمُهُ بِأَنَّهُ سَاهٍ يَمْنَعُ كَوْنَهُ سَاهِيًا فَبَطَلَ خِطَابُهُ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ.

Ketahuilah bahwa orang yang lalai tidak boleh masuk dalam perintah dan larangan karena niat untuk mendekatkan diri dengan perbuatan dan meninggalkan mengandung pengetahuan tentangnya sehingga niat itu sah. Ini mustahil bagi orang yang lupa. Tidakkah Anda melihat bahwa jika dikatakan kepadanya: Jangan berbicara dalam shalatmu saat kamu lalai, maka dia harus berniat meninggalkan apa yang dia ketahui bahwa dia lalai di dalamnya, dan pengetahuannya bahwa dia lalai mencegahnya menjadi lalai. Jadi, khithabnya (perintah/larangan) dengan sifat ini menjadi batal.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ خِطَابُ النَّائِمِ وَلَا الْمَجْنُونِ وَلَا السَّكْرَانِ لِأَنَّهُ لَوْ جَازَ خِطَابُهُمْ مَعَ زَوَالِ الْعَقْلِ لَجَازَ خِطَابُ الْبَهِيمَةِ وَالطِّفْلِ فِي الْمَهْدِ وَهَذَا لَا يَقُولُهُ أَحَدٌ.

Demikian pula, tidak boleh mengkhithab (memberi perintah/larangan) kepada orang yang tidur, orang gila, dan orang mabuk. Karena seandainya boleh mengkhithab mereka saat akal hilang, tentu boleh pula mengkhithab binatang dan bayi dalam buaian. Ini tidak dikatakan oleh siapa pun.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْمُكْرَهُ فَيَصِحُّ دُخُولُهُ فِي الْخِطَابِ وَالتَّكْلِيفِ وَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ لَا يَصِحُّ دُخُولُهُ تَحْتَ التَّكْلِيفِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَصِحَّ تَكْلِيفُهُ لَمَا كُلِّفَ تَرْكَ الْقَتْلِ مَعَ الْإِكْرَاهِ وَلِأَنَّهُ عَالِمٌ قَاصِدٌ إِلَى مَا يَفْعَلُهُ فَهُوَ كَغَيْرِ الْمُكْرَهِ.

Adapun orang yang dipaksa, maka sah masuknya dalam khitab dan taklif. Mu'tazilah berpendapat tidak sah masuknya dalam taklif, dan ini adalah kesalahan. Karena seandainya tidak sah membebaninya, niscaya ia tidak dibebani untuk meninggalkan pembunuhan dalam keadaan dipaksa. Dan karena ia mengetahui dan bermaksud terhadap apa yang dilakukannya, maka ia seperti orang yang tidak dipaksa.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الصَّبِيُّ فَلَا يَدْخُلُ فِي خِطَابِ التَّكْلِيفِ فَإِنَّ الشَّرْعَ قَدْ وَرَدَ بِإِسْقَاطِ

Adapun anak kecil, maka ia tidak termasuk dalam khitab taklif, karena syariat telah datang dengan menggugurkan

التَّكْلِيفُ عَنْهُ وَأَمَّا إِيجَابُ الحُقُوقِ فِي مَالِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ كَالزَّكَوَاتِ وَالنَّفَقَاتِ فَإِنَّ التَّكْلِيفَ وَالخِطَابَ فِي ذَلِكَ عَلَى وَلِيِّهِ دُونَهُ.

Pembebasan dari taklif (kewajiban agama) untuknya. Adapun kewajiban hak-hak pada hartanya, maka boleh memasukkannya seperti zakat dan nafkah, karena taklif dan khithab (tuntutan syariat) dalam hal itu adalah pada walinya, bukan pada dirinya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا العَبِيدُ فَإِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ فِي الخِطَابِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَدْخُلُونَ فِي خِطَابِ الشَّرْعِ إِلَّا بِدَلِيلٍ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الخِطَابَ يَصْلُحُ لَهُمْ كَمَا يَصْلُحُ لِلْأَحْرَارِ.

Adapun para budak, mereka termasuk dalam khithab (tuntutan syariat). Sebagian sahabat kami mengatakan: Mereka tidak termasuk dalam khithab syariat kecuali dengan dalil, dan ini adalah kesalahan. Karena khithab itu sesuai bagi mereka sebagaimana sesuai bagi orang-orang merdeka.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الكُفَّارُ فَإِنَّهُمْ يَدْخُلُونَ أَيْضًا فِي الخِطَابِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يَدْخُلُونَ فِي الشَّرْعِيَّاتِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ يَدْخُلُونَ فِي المَنْهِيَّاتِ دُونَ المَأْمُورَاتِ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُمْ يَدْخُلُونَ فِي الجَمِيعِ قَوْلُهُ ﷿ ﴿مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ﴾ ١ وَلَوْ لَمْ يَكُونُوا مُخَاطَبِينَ بِالصَّلَاةِ لَمَا عَاقَبَهُمْ عَلَيْهَا وَلِأَنَّ صَلَاحَ الخِطَابِ لَهُمْ كَصَلَاحِهِ لِلْمُسْلِمِينَ فَكَمَا دَخَلَ المُسْلِمُونَ وَجَبَ أَنْ يَدْخُلَ الكُفَّارُ.

Adapun orang-orang kafir, mereka juga termasuk dalam khithab (tuntutan syariat). Sebagian sahabat kami mengatakan mereka tidak termasuk dalam perkara-perkara syariat. Sebagian orang mengatakan mereka termasuk dalam larangan-larangan, bukan perintah-perintah. Dalil bahwa mereka termasuk dalam semuanya adalah firman Allah ﷿ ﴿Apa yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat."﴾ Seandainya mereka tidak dikhithab (dituntut) dengan shalat, tentu Allah tidak akan menghukum mereka karenanya. Dan karena khithab itu sesuai bagi mereka sebagaimana sesuai bagi kaum muslimin. Maka sebagaimana kaum muslimin termasuk (dalam khithab), maka orang-orang kafir juga wajib termasuk.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا النِّسَاءُ: فَإِنَّهُنَّ لَا يَدْخُلْنَ فِي خِطَابِ الرِّجَالِ وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ بْنُ دَاوُدَ وَأَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ يَدْخُلْنَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ لِلنِّسَاءِ لَفْظًا مَخْصُوصًا كَمَا أَنَّ لِلرِّجَالِ لَفْظًا مَخْصُوصًا فَكَمَا لَمْ تَدْخُلِ الرِّجَالُ فِي خِطَابِ النِّسَاءِ لَمْ تَدْخُلِ النِّسَاءُ فِي خِطَابِ الرِّجَالِ.

Adapun wanita: mereka tidak termasuk dalam khitab laki-laki. Abu Bakar bin Daud dan para sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita termasuk dalam khitab laki-laki, namun ini adalah kesalahan. Karena wanita memiliki lafaz khusus sebagaimana laki-laki memiliki lafaz khusus. Maka sebagaimana laki-laki tidak termasuk dalam khitab wanita, wanita juga tidak termasuk dalam khitab laki-laki.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَإِنَّهُ يَدْخُلُ فِي كُلِّ خِطَابٍ خُوطِبَ بِهِ الْأُمَّةُ كَقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ﴾ وَ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا﴾ وَغَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ صَلَاحَ اللَّفْظِ لَهُ كَصَلَاحِهِ لِكُلِّ أَحَدٍ مِنَ الْأُمَّةِ فَكَمَا دَخَلَتِ الْأُمَّةُ دَخَلَ النَّبِيُّ

Adapun Rasulullah ﷺ, beliau termasuk dalam setiap khitab yang ditujukan kepada umat, seperti firman Allah Ta'ala ﴿Wahai manusia﴾ dan ﴿Wahai orang-orang yang beriman﴾ dan lainnya. Karena kebaikan lafaz baginya seperti kebaikannya bagi setiap individu dari umat. Maka sebagaimana umat termasuk, Nabi juga termasuk.

_________
١ سُورَةُ الْمُدَّثِّرِ الْآيَةُ: ٤٢، ٤٣.
1 Surat Al-Muddaththir ayat 42, 43.

وَأَمَّا إِذَا خُوطِبَ النَّبِيُّ ﷺ بِخِطَابٍ خَاصٍّ لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُ غَيْرُهُ إِلَّا بِدَلِيلٍ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ﴾ ١ وَقَوْلِهِ: ﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ﴾ ٢ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ مَا ثَبَتَ أَنَّهُ شُرِعَ لَهُ دَخَلَ غَيْرُهُ مَعَهُ فِيهِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْخِطَابَ مَقْصُورٌ عَلَيْهِ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ غَيْرَهُ يَدْخُلُ فِيهِ فَقَدْ خَالَفَ مُقْتَضَى الْخِطَابِ.

Adapun jika Nabi ﷺ disapa dengan sapaan khusus, maka tidak ada yang lain termasuk di dalamnya kecuali dengan dalil, seperti firman Allah Ta'ala: "Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari" (1) dan firman-Nya: "Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu" (2). Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa apa yang ditetapkan sebagai syariat baginya, maka yang lain juga termasuk di dalamnya, dan ini adalah kesalahan karena khitab (sapaan) itu terbatas pada beliau. Maka barangsiapa yang mengklaim bahwa selain beliau termasuk di dalamnya, maka sungguh dia telah menyelisihi konsekuensi dari khitab tersebut.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا أَمَرَ ﷺ أُمَّتَهُ بِشَيْءٍ لَمْ يَدْخُلْ هُوَ فِيهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَدْخُلُ فِيمَا يَأْمُرُ بِهِ الْأُمَّةَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ مَا خَاطَبَ بِهِ الْأُمَّةَ مِنَ الْخِطَابِ لَا يَصِحُّ لَهُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ مِنْ غَيْرِ دَلِيلٍ.

Adapun jika beliau ﷺ memerintahkan sesuatu kepada umatnya, maka beliau tidak termasuk di dalamnya. Sebagian sahabat kami mengatakan bahwa beliau termasuk dalam apa yang diperintahkan kepada umat, dan ini adalah kesalahan. Karena apa yang disampaikan kepada umat dari khitab (sapaan) tidak sah bagi beliau, maka tidak boleh beliau termasuk di dalamnya tanpa adanya dalil.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَا خَاطَبَ اللهُ ﷿ بِهِ الْخَلْقَ خِطَابَ الْمُوَاجَهَةِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ﴾ وَ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا﴾ فَإِنَّهُ لَا يَدْخُلُ فِيهِ سَائِرُ مَنْ لَمْ يُخْلَقْ مِنْ جِهَةِ الصِّيغَةِ وَاللَّفْظِ لِأَنَّ هَذَا الْخِطَابَ لَا يَصْلُحُ إِلَّا لِمَنْ هُوَ مَوْجُودٌ عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي مَتَى ذَكَرَهَا فَأَمَّا مَنْ لَمْ يُخْلَقْ فَلَا يَصْلُحُ لَهُ هَذَا الْخِطَابُ وَكَذَلِكَ إِذَا خَاطَبَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِخِطَابٍ لَمْ يَدْخُلْ غَيْرُهُ فِيهِ مِنْ جِهَةِ اللَّفْظِ لِأَنَّ الَّذِي خَاطَبَهُ بِهِ لَا يَتَنَاوَلُ غَيْرَهُ وَإِنَّمَا يَدْخُلُ الْغَيْرُ فِي حُكْمِ ذَلِكَ الْخِطَابِ بِدَلِيلٍ وَهُوَ قَوْلُهُ ﷺ: "حُكْمِي عَلَى وَاحِدٍ حُكْمِي عَلَى الْجَمَاعَةِ". وَالْقِيَاسُ وَهُوَ أَنْ يُوجَدَ الْمَعْنَى الَّذِي حَكَمَ بِهِ فِيمَنْ حَكَمَ عَلَيْهِ فِي غَيْرِهِ فَيُقَاسُ عَلَيْهِ.

Adapun apa yang Allah ﷿ gunakan untuk menyapa makhluk-Nya dengan sapaan langsung seperti firman-Nya ﴿Wahai manusia﴾ dan ﴿Wahai orang-orang yang beriman﴾, maka tidak termasuk di dalamnya seluruh makhluk yang belum diciptakan dari segi bentuk dan lafaz, karena sapaan ini hanya sesuai bagi yang ada dengan sifat yang disebutkan. Adapun yang belum diciptakan, maka sapaan ini tidak sesuai untuknya. Demikian pula jika Rasulullah ﷺ menyapa dengan suatu sapaan, maka tidak termasuk selainnya dari segi lafaz, karena yang disapa dengannya tidak mencakup selainnya. Selainnya hanya masuk dalam hukum sapaan itu dengan dalil, yaitu sabdanya ﷺ: "Hukumku atas satu orang adalah hukumku atas jamaah". Dan qiyas, yaitu ditemukannya makna yang dengannya dihukumi pada orang yang dihukumi dalam selainnya, lalu diqiyaskan kepadanya.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا وَرَدَ الْخِطَابُ بِلَفْظِ الْعُمُومِ دَخَلَ فِيهِ كُلُّ مَنْ صَلُحَ لَهُ الْخِطَابُ وَلَا يَسْقُطُ ذَلِكَ الْفِعْلُ عَنْ بَعْضِهِمْ بِفِعْلِ الْبَعْضِ إِلَّا فِيمَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ وَقَرَّرَهُ أَنَّهُ

Jika sebuah khitab datang dengan lafaz umum, maka termasuk di dalamnya setiap orang yang sesuai dengan khitab tersebut, dan perbuatan itu tidak gugur dari sebagian mereka dengan perbuatan sebagian yang lain, kecuali dalam hal yang syariat tentukan dan tetapkan bahwa

_________
١ سُورَةُ الْمُزَّمِّلِ الْآيَةُ: ١، ٢.
1 Surah Al-Muzzammil ayat: 1, 2.
٢ سُورَةُ الْأَحْزَابِ الْآيَةُ: ٢٨. وَالْآيَةُ: ٥٩.
2 Surah Al-Ahzab ayat: 28. dan ayat: 59.

فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْجِهَادِ وَتَكْفِينِ الْمَيِّتِ وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَدَفْنِهِ فَإِنَّهُ إِذَا قَامَ بِهِ مَنْ يَقَعُ بِهِ الْكِفَايَةُ سَقَطَ عَنِ الْبَاقِينَ.

Fardhu kifayah seperti jihad, mengkafani mayit, menshalati dan menguburkannya. Jika telah dilakukan oleh orang yang mencukupi maka gugurlah kewajiban atas yang lainnya.

بَابُ بَيَانِ الفَرْضِ وَالوَاجِبِ وَالسُّنَّةِ وَالنَّدْبِ

بَابُ بَيَانِ الْفَرْضِ وَالْوَاجِبِ وَالسُّنَّةِ وَالنَّدْبِ

Bab Penjelasan tentang Fardhu, Wajib, Sunnah, dan Nadb

وَالْوَاجِبُ وَالْفَرْضُ وَالْمَكْتُوبَةُ وَاحِدٌ وَهُوَ مَا يُعَلَّقُ الْعِقَابُ بِتَرْكِهِ. وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ الْوَاجِبُ مَا ثَبَتَ وُجُوبُهُ بِدَلِيلٍ مُجْتَهَدٍ فِيهِ كَالْوِتْرِ وَالْأُضْحِيَةِ عِنْدَهُمْ وَالْفَرْضُ مَا ثَبَتَ وُجُوبُهُ بِدَلِيلٍ مَقْطُوعٍ بِهِ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَالزَّكَوَاتِ الْمَفْرُوضَةِ وَمَا أَشْبَهَهَا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ طَرِيقَ الْأَسْمَاءِ الشَّرْعُ وَاللُّغَةُ وَالِاسْتِعْمَالُ وَلَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فَرْقٌ بَيْنَ مَا ثَبَتَ بِدَلِيلٍ مَقْطُوعٍ بِهِ أَوْ بِطَرِيقٍ مُجْتَهَدٍ فِيهِ.

Wajib, fardhu, dan maktuubah adalah satu, yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan akan mendapatkan hukuman. Para pengikut Abu Hanifah mengatakan bahwa wajib adalah sesuatu yang kewajiban ditetapkan berdasarkan dalil yang masih bisa diinterpretasi seperti witir dan kurban menurut mereka. Sedangkan fardhu adalah sesuatu yang kewajibannya ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti seperti shalat lima waktu, zakat yang diwajibkan, dan yang serupa dengannya. Ini adalah kesalahan karena cara penetapan istilah adalah berdasarkan syariat, bahasa, dan penggunaan. Tidak ada perbedaan dalam hal itu antara sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti atau berdasarkan ijtihad.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا السُّنَّةُ فَمَا رُسِمَ لِيُحْتَذَى بِهِ عَلَى سَبِيلِ الِاسْتِحْبَابِ وَهِيَ وَالنَّفْلُ وَالنَّدْبُ بِمَعْنًى وَاحِدٍ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ السُّنَّةُ مَا تَرَتَّبَ كَالسُّنَنِ الرَّاتِبَةِ مَعَ الْفَرَائِضِ وَالنَّفْلُ وَالنَّدْبُ مَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ وَهَذَا لَا يَصِحُّ لِأَنَّ كُلَّ مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِاسْتِحْبَابِهِ فَهُوَ سُنَّةٌ سَوَاءٌ كَانَ رَاتِبًا أَوْ غَيْرَ رَاتِبٍ فَلَا مَعْنَى لِهَذَا الْفَرْقِ.

Adapun sunnah adalah sesuatu yang ditetapkan untuk diikuti sebagai anjuran, dan sunnah, nafl, dan nadb memiliki makna yang sama. Sebagian orang mengatakan bahwa sunnah adalah sesuatu yang rutin seperti sunnah rawatib yang menyertai shalat fardhu, sedangkan nafl dan nadb adalah sesuatu yang lebih dari itu. Ini tidak benar karena setiap sesuatu yang disebutkan dalam syariat sebagai anjuran adalah sunnah, baik itu rutin atau tidak, sehingga tidak ada makna dari perbedaan ini.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا قَالَ الصَّحَابِيُّ أَمَرَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِكَذَا وَجَبَ قَبُولُهُ وَيَصِيرُ كَمَا لَوْ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَمَرْتُ بِكَذَا، وَقَالَ دَاوُدُ لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَنْقُلَ لَفْظَهُ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّ الرَّاوِيَ مُصَدَّقٌ فِيمَا يَرْوِيهِ وَهُوَ عَارِفٌ بِالْأَمْرِ وَالنَّهْيِ لِأَنَّهُ لُغَتُهُ فَوَجَبَ أَنْ يُقْبَلَ كَسَائِرِ مَا يَرْوِيهِ.

Jika seorang sahabat berkata, "Rasulullah ﷺ memerintahkan demikian", maka wajib menerimanya dan menjadi seolah-olah Rasulullah ﷺ bersabda, "Aku memerintahkan demikian". Dawud berkata, "Tidak diterima hingga ia meriwayatkan lafazhnya." Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa perawi dipercaya dalam apa yang ia riwayatkan dan ia mengetahui perintah dan larangan karena itu adalah bahasanya, maka wajib menerima seperti riwayat-riwayat lainnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ إِنْ قَالَ مِنَ السُّنَّةِ كَذَا حُمِلَ عَلَى سُنَّةِ النَّبِيِّ ﷺ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ أَمَرَ فُلَانٌ بِكَذَا أَوْ أَمَرَنَا أَوْ نُهِينَا وَلَمْ يُسَمِّ الْآمِرَ حُمِلَ ذَلِكَ عَلَى الرَّسُولِ ﷺ وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ: لَا يُحْمَلُ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا

Demikian pula jika ia berkata, "Dari sunnah adalah demikian", maka diartikan sebagai sunnah Nabi ﷺ. Adapun jika ia berkata, "Fulan memerintahkan demikian" atau "Kami diperintahkan" atau "Kami dilarang" dan tidak menyebutkan yang memerintahkan, maka itu diartikan sebagai Rasulullah ﷺ. Para pengikut Abu Hanifah berkata, "Tidak diartikan demikian kecuali

بِدَلِيلٍ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الصَّيْرَفِيِّ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الَّذِي يُحْتَجُّ بِأَمْرِهِ وَنَهْيِهِ وَسُنَّتِهِ هُوَ الرَّسُولُ ﷺ فَإِذَا أَطْلَقَ الصَّحَابِيُّ ذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُحْمَلَ عَلَيْهِ.

Dengan bukti, yaitu perkataan Abu Bakr Ash-Shairafi, dan ini tidak benar karena yang dijadikan hujjah dengan perintah, larangan, dan sunnahnya adalah Rasulullah ﷺ. Maka jika seorang sahabat mutlak menyebutkan hal itu, wajib diartikan merujuk kepada Rasulullah ﷺ.

بَابُ القَوْلِ فِي النَّهْيِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي النَّهْيِ

Bab Perkataan tentang Larangan

فَصْلٌ

Pasal

النَّهْيُ يُقَارِبُ الْأَمْرَ فِي أَكْثَرِ مَا ذَكَرْنَاهُ إِلَّا أَنِّي أُشِيرُ إِلَيْهِ عَلَى جِهَةِ الِاخْتِصَارِ وَأُبَيِّنُ مَا يُخَالِفُ الْأَمْرَ فِيهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى وَبِهِ الثِّقَةُ، فَأَمَّا حَقِيقَتُهُ فَهُوَ الْقَوْلُ الَّذِي يُسْتَدْعَى بِهِ تَرْكُ الْفِعْلِ مِمَّنْ هُوَ دُونَهُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ زَادَ فِيهِ عَلَى سَبِيلِ الْوُجُوبِ كَمَا ذَكَرْنَاهُ فِي الْأَمْرِ.

Larangan itu mirip dengan perintah dalam sebagian besar hal yang telah kami sebutkan, hanya saja saya akan menyinggungnya secara ringkas dan menjelaskan apa yang berbeda dengan perintah di dalamnya insya Allah Ta'ala, dan kepada-Nya lah bertawakal. Adapun hakikatnya, maka ia adalah perkataan yang dengannya diminta untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih rendah darinya. Di antara sahabat kami ada yang menambahkan padanya dengan cara wajib sebagaimana telah kami sebutkan dalam pembahasan tentang perintah.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَهُ صِيغَةٌ تَدُلُّ عَلَيْهِ فِي اللُّغَةِ وَهُوَ قَوْلُهُ: لَا تَفْعَلْ وَقَالَتِ الْأَشْعَرِيَّةُ: لَيْسَ لَهُ صِيغَةٌ وَقَدْ مَضَى الدَّلِيلُ عَلَيْهِ فِي الْأَمْرِ.

Larangan memiliki bentuk yang menunjukkannya dalam bahasa, yaitu perkataan: "Jangan lakukan". Kelompok Asy'ariyah berkata: "Larangan tidak memiliki bentuk". Dalil tentang hal ini telah berlalu dalam pembahasan tentang perintah.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا تَجَرَّدَتْ صِيغَتُهُ اقْتَضَتِ التَّحْرِيمَ وَقَالَتِ الْأَشْعَرِيَّةُ: لَا تَقْتَضِي لِتَحْرِيمٍ وَلَا غَيْرِهِ إِلَّا بِدَلِيلٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ السَّيِّدَ مِنَ الْعَرَبِ إِذَا قَالَ لِعَبْدِهِ: لَا تَفْعَلْ كَذَا فَفَعَلَ اسْتَحَقَّ الذَّمَّ وَالتَّوْبِيخَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي التَّحْرِيمَ.

Jika bentuk larangan itu berdiri sendiri, maka ia menuntut keharaman. Kelompok Asy'ariyah berkata: "Larangan tidak menuntut keharaman atau lainnya kecuali dengan dalil". Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa jika seorang tuan dari bangsa Arab berkata kepada budaknya: "Jangan lakukan ini", lalu ia melakukannya, maka ia berhak mendapatkan celaan dan teguran. Hal ini menunjukkan bahwa larangan itu seharusnya bermakna pengharaman.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا تَجَرَّدَتْ صِيغَتُهُ اقْتَضَتِ التَّرْكَ عَلَى الدَّوَامِ وَعَلَى الْفَوْرِ بِخِلَافِ الْأَمْرِ وَذَلِكَ أَنَّ الْأَمْرَ يَقْتَضِي إِيجَادَ الْفِعْلِ فَإِذَا فَعَلَ مَرَّةً فِي أَيِّ زَمَانٍ فَعَلَ سُمِّيَ مُمْتَثِلًا وَفِي النَّهْيِ لَا يُسَمَّى مُنْتَهِيًا إِلَّا إِذَا سَارَعَ إِلَى التَّرْكِ عَلَى الدَّوَامِ.

Dan jika bentuknya murni, itu mengharuskan meninggalkan secara terus-menerus dan segera, berbeda dengan perintah. Hal itu karena perintah menuntut untuk melakukan perbuatan, sehingga jika dilakukan sekali pada waktu kapan pun maka disebut mematuhi. Sedangkan dalam larangan, tidak disebut meninggalkan kecuali jika bersegera meninggalkan secara terus-menerus.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا نَهَى عَنْ شَيْءٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ ضِدٌّ وَاحِدٌ فَهُوَ أَمْرٌ بِذَلِكَ الضِّدِّ كَالصَّوْمِ

Dan jika Dia melarang sesuatu, jika ia memiliki satu lawan, maka itu adalah perintah terhadap lawan tersebut, seperti puasa

فِي الْعِيدَيْنِ وَإِنْ كَانَ لَهُ أَضْدَادٌ كَالزِّنَا فَهُوَ أَمْرٌ بِضِدٍّ مِنْ أَضْدَادِ هـ لِأَنَّهُ لَا يُتَوَصَّلُ إِلَى تَرْكِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ إِلَّا بِمَا ذَكَرْنَاهُ.

Pada dua hari raya, meskipun memiliki lawan seperti zina, itu adalah perintah dengan lawan dari lawan-lawannya, karena tidak mungkin meninggalkan yang dilarang kecuali dengan apa yang telah kami sebutkan.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا نَهَى عَنْ أَحَدِ شَيْئَيْنِ كَانَ ذَلِكَ نَهْيًا عَنِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا وَيَجُوزُ لَهُ فِعْلُ أَحَدِهِمَا وَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ: يَكُونُ ذَلِكَ نَهْيًا عَنْهُمَا فَلَا يَجُوزُ فِعْلُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّ النَّهْيَ أَمْرٌ بِالتَّرْكِ كَمَا أَنَّ الْأَمْرَ أَمْرٌ بِالْفِعْلِ ثُمَّ الْأَمْرُ بِفِعْلِ أَحَدِهِمَا لَا يَقْتَضِي وُجُوبَهُمَا فَكَذَلِكَ الْأَمْرُ بِتَرْكِ أَحَدِهِمَا لَا يَقْتَضِي وُجُوبَ تَرْكِهِمَا.

Jika dia melarang salah satu dari dua hal, itu adalah larangan untuk menggabungkan keduanya, dan dia boleh melakukan salah satunya. Mu'tazilah berkata: Itu adalah larangan untuk keduanya, jadi tidak boleh melakukan salah satunya. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa larangan adalah perintah untuk meninggalkan sebagaimana perintah adalah perintah untuk melakukan. Kemudian perintah untuk melakukan salah satunya tidak mengharuskan keduanya, demikian pula perintah untuk meninggalkan salah satunya tidak mengharuskan meninggalkan keduanya.

فَصْلٌ

Pasal

وَالنَّهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَصْحَابِنَا كَمَا يَدُلُّ الْأَمْرُ عَلَى أَجْزَاءِ الْمَأْمُورِ بِهِ، ثُمَّ اخْتَلَفَ هَؤُلَاءِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَقْتَضِي الْفَسَادَ مِنْ جِهَةِ الْوَضْعِ فِي اللُّغَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَقْتَضِي الْفَسَادَ مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: النَّهْيُ لَا يَدُلُّ عَلَى الْفَسَادِ وَحُكِيَ عَنِ الشَّافِعِيِّ ﵀ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَكْثَرِ الْمُتَكَلِّمِينَ وَاخْتَلَفَ الْقَائِلُونَ بِذَلِكَ فِي الْفَصْلِ بَيْنَ مَا يَفْسُدُ وَبَيْنَ مَا لَا يَفْسُدُ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنْ كَانَ فِي فِعْلِ الْمَنْهِيِّ إِخْلَالٌ بِشَرْطٍ فِي صِحَّتِهِ إِنْ كَانَ عِبَادَةً أَوْ فِي نُفُوذِهِ إِنْ كَانَ عَقْدًا أَوْجَبَ الْقَضَاءَ بِفَسَادِهِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنْ كَانَ النَّهْيُ يَخْتَصُّ بِالْفِعْلِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ كَالصَّلَاةِ فِي الْمَكَانِ النَّجِسِ اقْتَضَى الْفَسَادَ وَإِنْ لَمْ يَخْتَصَّ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ كَالصَّلَاةِ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوبَةِ لَمْ يَقْتَضِ الْفَسَادَ: وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ يَقْتَضِي الْفَسَادَ عَلَى الْإِطْلَاقِ أَنَّهُ إِذَا أَمَرَ بِعِبَادَةٍ مُجَرَّدَةٍ عَنِ النَّهْيِ فَفَعَلَ عَلَى وَجْهٍ مَنْهِيٍّ عَنْهُ فَإِنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِالْمَأْمُورِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي اقْتَضَاهُ الْأَمْرُ فَوَجَبَ أَنْ تَبْقَى الْعِبَادَةُ عَلَيْهِ كَمَا كَانَتْ.

Larangan menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang menurut pendapat mayoritas sahabat kami, sebagaimana perintah menunjukkan bagian-bagian dari sesuatu yang diperintahkan. Kemudian mereka berbeda pendapat, di antara mereka ada yang mengatakan: Larangan menuntut kerusakan dari segi bahasa, dan di antara mereka ada yang mengatakan: Larangan menuntut kerusakan dari segi syariat. Sebagian sahabat kami mengatakan: Larangan tidak menunjukkan kerusakan, dan diriwayatkan dari Imam Syafi'i ﵀ apa yang menunjukkan hal itu, dan itu adalah pendapat sekelompok sahabat Abu Hanifah dan mayoritas mutakallimin. Mereka yang berpendapat demikian berbeda pendapat dalam membedakan antara apa yang rusak dan apa yang tidak rusak. Sebagian mereka mengatakan: Jika dalam melakukan sesuatu yang dilarang terdapat pelanggaran terhadap syarat sahnya jika itu ibadah, atau dalam keberlakuannya jika itu akad, maka itu mengharuskan putusan rusaknya. Sebagian mereka mengatakan: Jika larangan khusus pada perbuatan yang dilarang seperti shalat di tempat najis maka itu menuntut kerusakan, dan jika yang dilarang tidak khusus seperti shalat di rumah hasil ghasab maka itu tidak menuntut kerusakan. Dalil bahwa larangan menuntut kerusakan secara mutlak adalah bahwa jika seseorang diperintahkan untuk beribadah yang terlepas dari larangan, lalu dia melakukannya dengan cara yang dilarang, maka dia tidak melakukan apa yang diperintahkan dengan cara yang dituntut oleh perintah tersebut, sehingga ibadah itu tetap wajib atasnya sebagaimana sebelumnya.

بَابُ القَوْلِ فِي العُمُومِ وَالخُصُوصِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الْعُمُومِ وَالْخُصُوصِ

Bab Perkataan tentang Umum dan Khusus

ذِكْرُ حَقِيقَةِ الْعُمُومِ وَبَيَانُ مُقْتَضَاهُ

Menyebutkan hakikat umum dan penjelasan tuntutannya

وَالْعُمُومُ كُلُّ لَفْظٍ عَمَّ شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا وَقَدْ يَكُونُ مُتَنَاوِلًا لِشَيْئَيْنِ كَقَوْلِكَ عَمَّمْتُ زَيْدًا وَعَمْرًا بِالْعَطَاءِ وَقَدْ يَتَنَاوَلُ جَمِيعَ الْجِنْسِ كَقَوْلِكَ عَمَّمْتُ النَّاسَ بِالْعَطَاءِ وَأَقَلُّ مَا يَتَنَاوَلُ شَيْئَيْنِ وَأَكْثَرُهُ مَا اسْتَغْرَقَ الْجِنْسَ.

Umum adalah setiap lafaz yang mencakup dua hal atau lebih. Terkadang ia mencakup dua hal seperti perkataanmu, "Aku mengumumkan Zaid dan Amr dengan pemberian." Terkadang ia mencakup seluruh jenis seperti perkataanmu, "Aku mengumumkan manusia dengan pemberian." Paling sedikit ia mencakup dua hal dan paling banyak ia mencakup seluruh jenis.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَلْفَاظُهُ أَرْبَعَةُ أَنْوَاعٍ:

Lafaz-lafaznya ada empat jenis:

أَحَدُهَا اسْمُ الْجَمْعِ إِذَا عُرِّفَ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ كَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْأَبْرَارِ وَالْفُجَّارِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ: وَأَمَّا الْمُنْكَرُ مِنْهُ كَقَوْلِكَ مُسْلِمُونَ وَمُشْرِكُونَ وَأَبْرَارٌ وَفُجَّارٌ فَلَا يَقْتَضِي الْعُمُومَ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ هُوَ لِلْعُمُومِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الْجُبَّائِيِّ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ ذَلِكَ أَنَّهُ نَكِرَةٌ فَلَمْ يَقْتَضِ الْجِنْسَ كَقَوْلِكَ رَجُلٌ وَمُسْلِمٌ.

Pertama, isim jamak jika dimarifatkan dengan al (ال) seperti al-muslimin, al-musyrikin, al-abrar, al-fujjar, dan yang serupa dengan itu. Adapun yang nakirah seperti perkataanmu muslimun, musyrikun, abrar, dan fujjar, maka tidak menuntut keumuman. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa itu untuk keumuman, yaitu pendapat Abu Ali al-Jubba'i. Dalil atas rusaknya pendapat itu adalah bahwa ia nakirah sehingga tidak menuntut jenis seperti perkataanmu "seorang laki-laki" dan "seorang muslim".

فَصْلٌ

Pasal

وَالثَّانِي اسْمُ الْجِنْسِ إِذَا عُرِفَ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ كَقَوْلِكَ الرَّجُلُ وَالْمُسْلِمُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: هُوَ لِلْعَهْدِ دُونَ الْجِنْسِ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لِلْجِنْسِ قَوْلُهُ ﷿ ﴿وَالْعَصْرِ إِنَّ الْأِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ﴾ ١ وَالْمُرَادُ بِهِ الْجِنْسُ أَلَا تَرَى أَنَّهُ اسْتَثْنَى مِنْهُ الْجَمْعَ فَقَالَ ﴿إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا﴾ وَتَقُولُ الْعَرَبُ: أَهْلَكَ النَّاسَ الدِّينَارُ وَالدِّرْهَمُ وَيُرِيدُونَ الْجِنْسَ.

Dan yang kedua adalah isim jenis jika diketahui dengan alif dan lam, seperti perkataanmu: ar-rajul (laki-laki) dan al-muslim (orang Islam). Di antara sahabat kami ada yang mengatakan: itu untuk al-'ahd (sesuatu yang telah diketahui) bukan untuk jenis. Dalil bahwa itu untuk jenis adalah firman-Nya ﷿ "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian," (Al-'Ashr: 1-2). Yang dimaksud dengannya adalah jenis, tidakkah kamu perhatikan bahwa Dia mengecualikan darinya sekelompok orang, maka Dia berfirman, "kecuali orang-orang yang beriman." Orang Arab berkata: dinar dan dirham telah membinasakan manusia. Mereka menghendaki jenis.

فَصْلٌ

Pasal

وَالثَّالِثُ: الْأَسْمَاءُ الْمُبْهَمَةُ وَذَلِكَ مَنْ فِيمَنْ يَعْقِلُ وَمَا فِيمَا لَا يَعْقِلُ فِي الِاسْتِفْهَامِ وَالشَّرْطِ وَالْجَزَاءِ تَقُولُ فِي الِاسْتِفْهَامِ: مَنْ عِنْدَكَ وَمَا عِنْدَكَ وَفِي

Dan yang ketiga: isim-isim yang samar, yaitu man untuk yang berakal dan mā untuk yang tidak berakal dalam istifhām (pertanyaan), syarat, dan jawab (balasan). Kamu mengatakan dalam istifhām: man 'indaka (siapa yang ada di sisimu) dan mā 'indaka (apa yang ada di sisimu). Dan dalam

_________
١ سُورَةُ الْعَصْرِ الْآيَةُ: ١، ٢.
1 Surat Al-'Ashr ayat: 1, 2.

الجَزَاءُ تَقُولُ مَنْ أَكْرَمَنِي أَكْرَمْتُهُ وَمَنْ جَاءَنِي رَفَعْتُهُ، وَأَيٌّ فِيمَا يُعْقَلُ وَفِيمَا لَا يُعْقَلُ فِي الِاسْتِفْهَامِ وَفِي الشَّرْطِ وَالْجَزَاءِ تَقُولُ فِي الِاسْتِفْهَامِ أَيُّ شَيْءٍ عِنْدَكَ وَفِي الشَّرْطِ وَالْجَزَاءِ: أَيُّ رَجُلٍ أَكْرَمَنِي أَكْرَمْتُهُ وَأَيْنَ وَحَيْثُ فِي الْمَكَانِ، وَمَتَى فِي الزَّمَانِ تَقُولُ اذْهَبْ أَيْنَ شِئْتَ وَحَيْثُ شِئْتَ وَاطْلُبْنِي مَتَى شِئْتَ.

Dalam balasan, Anda mengatakan siapa yang menghormati saya, saya akan menghormatinya, dan siapa yang datang kepada saya, saya akan mengangkatnya. Dan "ayy" digunakan untuk yang berakal dan yang tidak berakal dalam pertanyaan, syarat, dan balasan. Anda mengatakan dalam pertanyaan, "Ayyu syay'in 'indaka" (Apa yang Anda miliki?), dan dalam syarat dan balasan, "Ayyu rajulin akramanī akramtuhu" (Pria mana pun yang menghormati saya, saya akan menghormatinya). Dan "ayna" (di mana) dan "ḥaythu" (di mana saja) digunakan untuk tempat, dan "matā" (kapan) untuk waktu. Anda mengatakan, "Pergilah ke mana pun Anda mau, dan carilah saya kapan pun Anda mau."

فَصْلٌ

Pasal

وَالرَّابِعُ: النَّفْيُ فِي النَّكِرَاتِ تَقُولُ: مَا عِنْدِي شَيْءٌ وَلَا رَجُلَ فِي الدَّارِ.

Dan yang keempat: Penafian dalam kata benda indefinit. Anda mengatakan, "Mā 'indī shay'un" (Saya tidak memiliki apa pun), dan "Lā rajula fī al-dāri" (Tidak ada pria di rumah).

فَصْلٌ

Pasal

أَقَلُّ الْجَمْعِ ثَلَاثَةٌ فَإِذَا وَرَدَ لَفْظُ الْجَمْعِ كَقَوْلِهِ: مُسْلِمُونَ وَرِجَالٌ حُمِلَ عَلَى ثَلَاثَةٍ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: هُوَ اثْنَانِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَابْنِ دَاوُدَ وَنِفْطَوَيْهِ وَطَائِفَةٍ مِنَ الْمُتَكَلِّمِينَ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ ﵄ احْتَجَّ عَلَى عُثْمَانَ ﵁ فِي حَجْبِ الْأُمِّ بِالْأَخَوَيْنِ وَقَالَ: لَيْسَ الْأَخَوَانِ أَخَوَةً فِي لِسَانِ قَوْمِكَ فَقَالَ عُثْمَانُ: لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَنْقُضَ أَمْرًا كَانَ قَبْلِي وَتَوَارَثَهُ النَّاسُ وَمَضَى فِي الْأَمْصَارِ فَادَّعَى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ الْأَخَوَيْنِ لَيْسَ بِأَخَوَةٍ فَأَقَرَّهُ عُثْمَانُ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَلَى ذَلِكَ وَإِنَّمَا اعْتَذَرَ عَنْهُ بِالْإِجْمَاعِ وَلِأَنَّهُمْ فَرَّقُوا بَيْنَ الْوَاحِدِ وَالِاثْنَيْنِ وَالْجَمْعِ فَقَالُوا: رَجُلٌ وَرَجُلَانِ وَرِجَالٌ فَلَوْ كَانَ الِاثْنَانِ جَمْعًا كَالثَّلَاثَةِ لَمَا خَالَفُوا بَيْنَهُمَا فِي اللَّفْظِ.

Jumlah minimal adalah tiga. Jika kata jamak disebutkan seperti dalam perkataan: muslimun dan rijal, maka itu merujuk pada tiga. Sebagian sahabat kami mengatakan: itu adalah dua, dan ini adalah pendapat Malik, Ibnu Daud, Nifthawayh, dan sekelompok mutakallimin. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa Ibnu Abbas ﵄ berhujjah kepada Utsman ﵁ dalam menghalangi ibu dengan dua saudara laki-laki, dan berkata: Dua saudara laki-laki bukanlah ikhwah (saudara-saudara) dalam bahasa kaummu. Maka Utsman berkata: Aku tidak bisa membatalkan perkara yang ada sebelumku dan diwariskan oleh manusia serta berlaku di berbagai negeri. Ibnu Abbas mengklaim bahwa dua saudara laki-laki bukanlah ikhwah, dan Utsman, semoga Allah memuliakan wajahnya, mengakui hal itu. Dia hanya meminta maaf darinya dengan ijma'. Karena mereka membedakan antara satu, dua, dan jamak. Mereka berkata: rajul, rajulan, dan rijal. Seandainya dua itu jamak seperti tiga, niscaya mereka tidak akan membedakan antara keduanya dalam lafaz.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا تَجَرَّدَتْ أَلْفَاظُ الْعُمُومِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا اقْتَضَتِ الْعُمُومَ وَاسْتِغْرَاقَ الْجِنْسِ وَالطَّبَقَةِ وَقَالَتِ الْأَشْعَرِيَّةُ: لَيْسَ لِلْعُمُومِ صِيغَةٌ مَوْضُوعَةٌ وَهَذِهِ الْأَلْفَاظُ تَحْتَمِلُ الْعُمُومَ وَالْخُصُوصَ فَإِذَا وَرَدَتْ وَجَبَ التَّوَقُّفُ فِيهَا حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى مَا يُرَادُ بِهَا مِنَ الْخُصُوصِ وَالْعُمُومِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا تُحْمَلُ عَلَى الْعُمُومِ فِي الْأَخْبَارِ وَتُحْمَلُ فِي الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: تُحْمَلُ عَلَى أَقَلِّ الْجَمْعِ وَيُتَوَقَّفُ فِيمَا زَادَ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ أَنَّ الْعَرَبَ فَرَّقَتْ بَيْنَ الْوَاحِدِ وَالِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثَةِ فَقَالُوا: رَجُلٌ وَرَجُلَانِ وَرِجَالٌ كَمَا فَرَّقَتْ بَيْنَ الْأَعْيَانِ فِي الْأَسْمَاءِ

Jika lafadz-lafadz umum yang telah kami sebutkan berdiri sendiri, maka ia menuntut keumuman dan mencakup seluruh jenis dan tingkatan. Ulama Asy'ariyah berpendapat: Tidak ada shighah khusus untuk umum, dan lafadz-lafadz ini mengandung kemungkinan umum dan khusus. Jika ia disebutkan, maka wajib tawaqquf (menahan diri) padanya hingga ada dalil yang menunjukkan apa yang dimaksud dengannya, apakah kekhususan atau keumuman. Di antara manusia ada yang berpendapat: Lafadz umum tidak dibawa kepada keumuman dalam khabar (berita), tetapi dibawa dalam perintah dan larangan. Di antara manusia juga ada yang berpendapat: Lafadz umum dibawa kepada jumlah paling sedikit, dan ditangguhkan pada jumlah yang lebih banyak. Dalil atas apa yang kami sebutkan adalah bahwa orang Arab membedakan antara satu, dua, dan tiga. Mereka berkata: rajulun (seorang laki-laki), rajulaani (dua orang laki-laki), dan rijaalun (beberapa laki-laki), sebagaimana mereka membedakan antara benda-benda dalam penamaan.

فَقَالُوا: رَجُلٌ وَفَرَسٌ وَحِمَارٌ فَلَوْ كَانَ احْتِمَالُ لَفْظِ الْجَمْعِ لِلْوَاحِدِ وَالِاثْنَيْنِ كَاحْتِمَالِهِ لِمَا زَادَ لَمْ يَكُنْ لِهَذَا التَّفْرِيقِ مَعْنًى وَلِأَنَّ الْعُمُومَ مِمَّا تَدْعُو الْحَاجَةُ إِلَى الْعِبَارَةِ عَنْهُ فِي مُخَاطَبَاتِهِمْ فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونُوا قَدْ وَضَعُوا لَهُ لَفْظًا يَدُلُّ عَلَيْهِ كَمَا وَضَعُوا لِكُلِّ مَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ مِنَ الْأَعْيَانِ فَأَمَّا مَنْ قَالَ أَنَّهُ يُحْمَلُ عَلَى الثَّلَاثِ وَيَتَوَقَّفُ فِيمَا زَادَ فَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّ تَنَاوُلَ اللَّفْظِ لِلثَّلَاثِ وَلِمَا زَادَ عَلَيْهِ وَاحِدٌ فَإِذَا وَجَبَ الْحَمْلُ عَلَى الثَّلَاثِ وَجَبَ الْحَمْلُ عَلَى مَا زَادَ.

Mereka berkata: seorang pria, seekor kuda, dan seekor keledai. Seandainya kemungkinan lafadz jamak untuk satu dan dua sama dengan kemungkinannya untuk yang lebih dari itu, maka pembedaan ini tidak akan memiliki makna. Karena keumuman adalah sesuatu yang perlu diungkapkan dalam percakapan mereka, maka pasti mereka telah menetapkan lafadz yang menunjukkannya, sebagaimana mereka menetapkan untuk segala sesuatu yang mereka butuhkan dari benda-benda. Adapun orang yang mengatakan bahwa lafadz jamak ditanggung atas tiga dan berhenti pada yang lebih dari itu, maka dalilnya adalah bahwa cakupan lafadz untuk tiga dan untuk yang lebih darinya satu. Maka jika wajib menanggungnya atas tiga, wajib pula menanggungnya atas yang lebih dari itu.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا فَرْقَ فِي أَلْفَاظِ الْعُمُومِ بَيْنَ مَا قُصِدَ بِهَا الْمَدْحُ أَوِ الذَّمُّ أَوْ قُصِدَ بِهَا الْحُكْمُ فِي الْحَمْلِ عَلَى الْعُمُومِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: أَنْ قُصِدَ بِهَا الْمَدْحُ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ﴾ ١ وَالذَّمُّ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ﴾ ٢ لَمْ يُحْمَلْ عَلَى الْعُمُومِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ ذِكْرَ الْمَدْحِ وَالذَّمِّ يُؤَكِّدُ فِي الْحَثِّ عَلَيْهِ وَالزَّجْرِ عَنْهُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَانِعًا مِنَ الْعُمُومِ.

Tidak ada perbedaan dalam lafal-lafal umum antara yang dimaksudkan untuk pujian atau celaan atau dimaksudkan untuk hukum dalam membawa kepada keumuman. Sebagian sahabat kami berkata: Jika dimaksudkan untuk pujian seperti firman-Nya ﷿: ﴿Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya﴾ 1 dan celaan seperti firman-Nya Ta'ala: ﴿Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak﴾ 2 maka tidak dibawa kepada keumuman. Ini adalah kesalahan karena penyebutan pujian dan celaan menegaskan dalam mendorong kepadanya dan mencegah darinya, maka tidak boleh menjadi penghalang dari keumuman.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا وَرَدَتْ أَلْفَاظُ الْعُمُومِ فَهَلْ يَجِبُ اعْتِقَادُ عُمُومِهَا وَالْعَمَلُ بِمُوجَبِهَا قَبْلَ الْبَحْثِ عَمَّا يُخَصُّهَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصَّيْرَفِيُّ: يَجِبُ الْعَمَلُ بِمُوجَبِهَا وَاعْتِقَادُ عُمُومِهَا مَا لَمْ يُعْلَمْ مَا يُخَصُّهَا وَذَهَبَ عَامَّةُ أَصْحَابِنَا أَبُو الْعَبَّاسِ وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَصْطَخْرِيُّ وَأَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيُّ إِلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ اعْتِقَادُ عُمُومِهَا حَتَّى يَبْحَثَ عَنِ الدَّلَائِلِ فَإِذَا بَحَثَ فَلَمْ يَجِدْ مَا يُخَصُّهَا اعْتَقَدَ حِينَئِذٍ عُمُومَهَا وَهُوَ الصَّحِيحُ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّ الْمُقْتَضَى لِلْعُمُومِ وَهُوَ الصِّيغَةُ الْمُتَجَرِّدَةُ وَلَا يُعْلَمُ التَّجَرُّدُ إِلَّا بَعْدَ النَّظَرِ وَالْبَحْثِ فَلَا يَجُوزُ اعْتِقَادُ الْعُمُومِ قَبْلَهُ.

Dan jika lafal-lafal umum disebutkan, apakah wajib meyakini keumumannya dan mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya sebelum mencari dalil-dalil yang mengkhususkannya? Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Bakr al-Shairafi berkata: Wajib mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya dan meyakini keumumannya selama tidak diketahui dalil yang mengkhususkannya. Mayoritas sahabat kami, Abu al-'Abbas, Abu Sa'id al-Astakhri, dan Abu Ishaq al-Marwazi berpendapat bahwa tidak wajib meyakini keumumannya hingga mencari dalil-dalil. Jika telah mencari dan tidak menemukan dalil yang mengkhususkannya, maka saat itu diyakini keumumannya. Ini adalah pendapat yang benar. Dalilnya adalah bahwa yang menuntut keumuman adalah shighat (bentuk kata) yang murni, dan kemurnian itu tidak diketahui kecuali setelah menelaah dan mencari dalil, maka tidak boleh meyakini keumuman sebelum itu.

_________
١ سُورَةُ الْمُؤْمِنُونَ الْآيَةُ: ٥.
1 Surat Al-Mu'minun ayat: 5.
٢ سُورَةُ التَّوْبَةِ الْآيَةُ: ٣٤.
2 Surat At-Taubah ayat: 34.

بَابُ بَيَانِ مَا يَصِحُّ دَعْوَى العُمُومِ فِيهِ وَمَا لَا يَصِحُّ

بَابُ بَيَانِ مَا يَصِحُّ دَعْوَى الْعُمُومِ فِيهِ وَمَا لَا يَصِحُّ

Bab penjelasan tentang apa yang sah untuk mengklaim keumuman di dalamnya dan apa yang tidak sah

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْعُمُومَ يَصِحُّ دَعْوَاهُ فِي نُطْقٍ ظَاهِرٍ يَسْتَغْرِقُ الْجِنْسَ بِلَفْظِهِ كَالْأَلْفَاظِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا فِي الْبَابِ الْأَوَّلِ وَأَمَّا الْأَفْعَالُ فَلَا يَصِحُّ فِيهَا دَعْوَى

Intinya adalah bahwa keumuman dapat diklaim secara sah dalam ucapan yang jelas yang mencakup seluruh jenis dengan lafaznya, seperti lafaz-lafaz yang telah kami sebutkan di bab pertama. Adapun perbuatan, maka tidak sah mengklaim (keumuman) di dalamnya.

الْعُمُومُ لِأَنَّهَا تَقَعُ عَلَى صِفَةٍ وَاحِدَةٍ فَإِنْ عُرِفَتْ تِلْكَ الصِّفَةُ اخْتَصَّ الْحُكْمُ بِهَا وَإِنْ لَمْ تُعْرَفْ صَارَ مُجْمَلًا مِمَّا عُرِفَ صِفَتُهُ مِثْلُ مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ فَهَذَا مَقْصُورٌ عَلَى مَا رُوِيَ فِيهِ وَهُوَ السَّفَرُ لَا يُحْمَلُ عَلَى الْعُمُومِ فِيمَا لَمْ يَرِدْ فِيهِ وَمَا لَمْ يُعْرَفْ مِثْلَمَا رَوَى أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ فَلَا يُعْلَمُ أَنَّهُ كَانَ فِي سَفَرٍ طَوِيلٍ أَوْ سَفَرٍ قَصِيرٍ إِلَّا أَنَّهُ مَعْلُومٌ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ إِلَّا فِي سَفَرٍ وَاحِدٍ فَإِذَا لَمْ يُعْلَمْ ذَلِكَ بِعَيْنِهِ وَجَبَ التَّوَقُّفُ فِيهِ حَتَّى يُعْرَفَ وَلَا يُدَّعَى فِيهِ الْعُمُومُ.

Keumuman karena ia terjadi pada satu sifat. Jika sifat tersebut diketahui, maka hukum khusus dengannya. Jika tidak diketahui, maka menjadi mujmal dari apa yang diketahui sifatnya. Seperti apa yang diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mengumpulkan dua shalat dalam safar, maka ini terbatas pada apa yang diriwayatkan di dalamnya, yaitu safar. Tidak dibawa kepada keumuman pada apa yang tidak disebutkan di dalamnya dan apa yang tidak diketahui. Seperti apa yang diriwayatkan bahwa beliau mengumpulkan dua shalat dalam safar, maka tidak diketahui apakah itu dalam safar yang panjang atau safar yang pendek. Hanya saja diketahui bahwa itu tidak terjadi kecuali dalam satu safar. Jika hal itu tidak diketahui secara spesifik, maka wajib berhenti padanya hingga diketahui, dan tidak boleh mengklaim keumuman padanya.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ الْقَضَايَا فِي الْأَعْيَانِ لَا يَجُوزُ دَعْوَى الْعُمُومِ فِيهَا وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَرْوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَضَى بِالشُّفْعَةِ لِلْجَارِ وَقَضَى فِي الْإِفْطَارِ بِالْكَفَّارَةِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ فَلَا يَجُوزُ دَعْوَى الْعُمُومِ فِيهَا بَلْ يَجِبُ التَّوَقُّفُ فِيهِ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَضَى بِالشُّفْعَةِ لِجَارٍ لِصِفَةٍ يَخْتَصُّ بِهَا وَقَضَى بِكَفَّارَةٍ بِإِفْطَارٍ فِي جِمَاعٍ أَوْ غَيْرِهِ مِمَّا يَخْتَصُّ بِهِ الْمَحْكُومُ لَهُ وَعَلَيْهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْكَمَ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي الْخَبَرِ لَفْظٌ يَدُلُّ عَلَى الْعُمُومِ. وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: إِنْ كَانَ قَدْ رُوِيَ أَنَّهُ قَضَى بِكَفَّارَةٍ بِالْإِفْطَارِ وَبِالشُّفْعَةِ لِلْجَارِ لَمْ يَدَّعِ فِيهِ الْعُمُومَ وَإِنْ كَانَ قَدْ رُوِيَ أَنَّهُ قَضَى بِأَنَّ الْكَفَّارَةَ فِي الْإِفْطَارِ وَبِأَنَّ الشُّفْعَةَ لِلْجَارِ تَعَلَّقَ بِعُمُومِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ حِكَايَةُ قَوْلٍ فَكَأَنَّهُ قَالَ: الْكَفَّارَةُ فِي الْإِفْطَارِ وَالشُّفْعَةُ لِلْجَارِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنْ رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ يَقْضِي تَعَلَّقَ بِعُمُومِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ لِلدَّوَامِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ يُقَالُ: فُلَانٌ كَانَ يُقْرِي الضَّيْفَ وَيَصْنَعُ الْمَعْرُوفَ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

Demikian pula kasus-kasus yang berkaitan dengan individu, tidak boleh mengklaim keumuman di dalamnya. Contohnya, jika diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memutuskan hak syuf'ah bagi tetangga, dan memutuskan kewajiban kaffarah karena berbuka puasa, dan yang serupa dengan itu, maka tidak boleh mengklaim keumuman di dalamnya. Sebaliknya, wajib berhenti padanya karena boleh jadi beliau memutuskan hak syuf'ah bagi tetangga karena sifat khusus yang dimilikinya, dan memutuskan kaffarah karena berbuka puasa dengan jima' atau lainnya yang khusus bagi orang yang dihukumi. Oleh karena itu, tidak boleh menghukumi selainnya kecuali jika dalam hadits terdapat lafaz yang menunjukkan keumuman. Sebagian orang mengatakan: Jika diriwayatkan bahwa beliau memutuskan kaffarah karena berbuka puasa dan hak syuf'ah bagi tetangga, maka tidak boleh mengklaim keumuman padanya. Namun jika diriwayatkan bahwa beliau memutuskan bahwa kaffarah berlaku pada berbuka puasa dan bahwa hak syuf'ah adalah bagi tetangga, maka terkait dengan keumumannya karena itu adalah hikayat perkataan, seakan-akan beliau bersabda: "Kaffarah berlaku pada berbuka puasa dan hak syuf'ah adalah bagi tetangga." Sebagian mereka mengatakan: Jika diriwayatkan bahwa beliau biasa memutuskan, maka terkait dengan keumumannya karena itu menunjukkan kontinuitas. Tidakkah engkau perhatikan bahwa dikatakan: Si fulan biasa menghormati tamu dan berbuat kebaikan. Allah Ta'ala berfirman:

﴿وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ﴾ ١ وَأَرَادَ التَّكْرَارَ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ بِلَفْظِ إِنْ أَوْ غَيْرِهِ لِأَنَّهُ قَدْ يُرْوَى لَفْظَةَ إِنْ فِي الْقَضَاءِ بِمَعْنَى الْحُكْمِ فِي الْقِصَّةِ الْمَقْضِيِّ فِيهَا وَلَا يَقْتَضِي الْحُكْمَ فِي غَيْرِهَا وَلَا فَرْقَ أَيْضًا بَيْنَ أَنْ يَقُولَ كَانَ وَبَيْنَ غَيْرِهِ لِأَنَّهُ وَإِنِ اقْتَضَى الْكِرَارَ إِلَّا أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ التَّكْرَارُ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ لَا يُشَارِكُهَا فِيهِ سَائِرُ الصِّفَاتِ.

"Dan dia menyuruh keluarganya untuk shalat" 1 dan dia menginginkan pengulangan. Yang benar adalah bahwa tidak ada perbedaan antara menggunakan kata "in" atau yang lainnya, karena kata "in" mungkin diriwayatkan dalam keputusan dengan arti hukum dalam kisah yang diputuskan, dan tidak mengharuskan hukum pada yang lainnya. Juga tidak ada perbedaan antara mengatakan "kana" dan yang lainnya, karena meskipun itu mengharuskan pengulangan, tetapi boleh jadi pengulangannya dalam sifat tertentu yang tidak diikuti oleh sifat-sifat lainnya.

_________
١ سُورَةُ مَرْيَمَ الْآيَةُ: ٥٥.
1 Surat Maryam ayat: 55.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ الْمُجْمَلُ مِنَ الْقَوْلِ الْمُفْتَقِرُ إِلَى إِضْمَارِهِ لَا يُدْعَى فِي إِضْمَارِهِ الْعُمُومَ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ ﷿:

Demikian pula ungkapan yang bersifat global yang membutuhkan penyembunyian makna, tidak diklaim memiliki keumuman dalam penyembunyian maknanya, seperti firman-Nya ﷿:

﴿الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ﴾ ١ فَإِنَّهُ يَفْتَقِرُ إِلَى إِضْمَارِهِ فَبَعْضُهُمْ يُضْمِرُ وَقْتَ إِحْرَامِ الْحَجِّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ وَبَعْضُهُمْ يُضْمِرُ وَقْتَ أَفْعَالِ الْحَجِّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَالْحَمْلُ عَلَيْهِمَا لَا يَجُوزُ بَلْ يُحْمَلُ عَلَى مَا يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ يُرَادُ بِهِ لِأَنَّ الْعُمُومَ مِنْ صِفَاتِ النُّطْقِ فَلَا يَجُوزُ دَعْوَاهُ فِي الْمَعَانِي وَعَلَى هَذَا مَنْ جَعَلَ قَوْلَهُ ﷺ: "لَا صَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ، وَلَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَلَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِجُنُبٍ وَلَا لِحَائِضٍ، وَرُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ". وَمَا أَشْبَهَهُ مُجْمَلًا مَنَعَ مِنْ دَعْوَى الْعُمُومِ فِيهِ لِأَنَّهُ يَجْعَلُ الْمُرَادَ مَعْنًى غَيْرَ مَذْكُورٍ وَيَجُوزُ أَنْ يُرِيدَ شَيْئًا دُونَ شَيْءٍ فَلَا يَجُوزُ دَعْوَى الْعُمُومِ فِيهِ وَمِنَ الْفُقَهَاءِ مَنْ يَحْمِلُ فِي مِثْلِ هَذَا عَلَى الْعُمُومِ فِي كُلِّ مَا يَحْتَمِلُهُ لِأَنَّهُ أَعَمُّ فَائِدَةً وَمِنْهُمْ مَنْ يَحْمِلُهُ عَلَى الْحُكْمِ الْمُخْتَلَفِ فِيهِ لِأَنَّ مَا سِوَاهُ مَعْلُومٌ بِالْإِجْمَاعِ وَهَذَا كُلُّهُ خَطَأٌ لِمَا بَيَّنَّاهُ مِنْ أَنَّ الْحَمْلَ عَلَى الْجَمِيعِ لَا يَجُوزُ وَلَيْسَ هُنَاكَ لَفْظٌ يَقْتَضِي الْعُمُومَ وَلَا يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى مَوْضِعِ الْخِلَافِ لِأَنَّ احْتِمَالَهُ لِمَوْضِعِ الْخِلَافِ وَلِغَيْرِهِ وَاحِدٌ فَلَا يَجُوزُ تَخْصِيصُهُ لِمَوْضِعِ الْخِلَافِ..

"Haji itu pada bulan-bulan yang dimaklumi" (QS. Al-Baqarah: 197). Ayat ini membutuhkan penyembunyian (idhmar), sebagian ulama menyembunyikan waktu ihram haji pada bulan-bulan yang dimaklumi, dan sebagian lagi menyembunyikan waktu pelaksanaan haji pada bulan-bulan yang dimaklumi. Membawanya kepada keduanya tidak boleh, tetapi dibawa kepada apa yang ditunjukkan oleh dalil bahwa itulah yang dimaksud, karena keumuman adalah sifat dari ucapan, maka tidak boleh mendakwakannya pada makna-makna. Berdasarkan ini, orang yang menjadikan sabda Nabi ﷺ: "Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid, tidak ada nikah kecuali dengan wali, aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan haid, dan pena diangkat dari tiga golongan", dan yang serupa dengannya sebagai mujmal, maka ia mencegah untuk mendakwakan keumuman padanya, karena ia menjadikan yang dimaksud adalah makna yang tidak disebutkan, dan boleh jadi ia menghendaki sesuatu tanpa sesuatu yang lain, maka tidak boleh mendakwakan keumuman padanya. Di antara para fuqaha ada yang membawanya dalam hal seperti ini kepada keumuman dalam semua yang mungkin, karena itu lebih umum manfaatnya. Di antara mereka ada yang membawanya kepada hukum yang diperselisihkan, karena selain itu telah diketahui berdasarkan ijma'. Semua ini adalah keliru berdasarkan apa yang telah kami jelaskan, bahwa membawanya kepada semuanya tidak boleh, dan di sana tidak ada lafaz yang menuntut keumuman, dan tidak boleh membawanya kepada tempat perselisihan, karena kemungkinannya untuk tempat perselisihan dan selainnya adalah sama, maka tidak boleh mengkhususkannya untuk tempat perselisihan.

_________
١ سُورَةُ البَقَرَةِ جُزْءٌ مِنَ الْآيَةِ: ١٩٧
1 Surah Al-Baqarah bagian dari ayat: 197

بَابُ القَوْلِ فِي الخُصُوصِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الْخُصُوصِ

Bab Pembahasan tentang Kekhususan

التَّخْصِيصُ تَمْيِيزُ بَعْضِ الْجُمْلَةِ بِالْحُكْمِ وَلِهَذَا نَقُولُ خَصَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِكَذَا وَخَصَّ الْغَيْرَ بِكَذَا. وَأَمَّا تَخْصِيصُ الْعُمُومِ فَهُوَ بَيَانُ مَا لَمْ يُرَدْ بِاللَّفْظِ الْعَامِّ.

Takhshish adalah membedakan sebagian kalimat dengan hukum, oleh karena itu kami mengatakan Rasulullah ﷺ mengkhususkan ini dan mengkhususkan yang lain itu. Adapun takhshish al-'umum adalah menjelaskan apa yang tidak dimaksudkan dengan lafaz umum.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ دُخُولُ التَّخْصِيصِ فِي جَمِيعِ أَلْفَاظِ الْعُمُومِ مِنَ الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ وَالْخَبَرِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ التَّخْصِيصُ فِي الْخَبَرِ كَمَا لَا يَجُوزُ النَّسْخُ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّا قَدْ بَيَّنَّا أَنَّ التَّخْصِيصَ مَا لَمْ يُرَدْ بِاللَّفْظِ الْعَامِّ وَهَذَا يَصِحُّ فِي الْخَبَرِ كَمَا يَصِحُّ فِي الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ

Diperbolehkan masuknya takhshish pada semua lafaz umum, baik perintah, larangan, maupun khabar. Sebagian orang mengatakan: Tidak boleh takhshish pada khabar sebagaimana tidak boleh nasakh. Ini adalah kesalahan, karena kami telah menjelaskan bahwa takhshish adalah apa yang tidak dimaksudkan dengan lafaz umum, dan ini sah pada khabar sebagaimana sah pada perintah dan larangan.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ التَّخْصِيصُ إلَى أَنْ يَبْقَى مِنَ اللَّفْظِ الْعَامِّ وَاحِدٌ وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الْقَفَّالُ مِنْ أَصْحَابِنَا: يَجُوزُ التَّخْصِيصُ فِي أَسْمَاءِ الْجُمُوعِ إلَى أَنْ يَبْقَى ثَلَاثَةٌ وَلَا يَجُوزُ أَكْثَرُ مِنْهُ وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ هُوَ أَنَّهُ لَفْظٌ مِنْ أَلْفَاظِ الْعُمُومِ فَجَازَ تَخْصِيصُهُ إلَى أَنْ يَبْقَى وَاحِدٌ دَلِيلُهُ الْأَسْمَاءُ الْمُبْهَمَاتُ كَـ "مَنْ" "وَمَا".

Dan diperbolehkan takhsis (pengkhususan) hingga tersisa satu dari lafaz umum. Abu Bakr Al-Qaffal, salah seorang sahabat kami, berkata: Diperbolehkan takhsis pada asma' al-jumu' (kata yang menunjukkan makna jamak) hingga tersisa tiga, dan tidak boleh lebih dari itu. Dalil diperbolehkannya hal tersebut adalah bahwa ia merupakan lafaz dari alfaz umum, maka boleh ditakhsis hingga tersisa satu, dengan dalil asma' mubhamat seperti "man" dan "ma".

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا خُصَّ مِنَ الْعُمُومِ شَيْءٌ لَمْ يَصِرِ اللَّفْظُ مَجَازًا فِيمَا بَقِيَ. وَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ: يَصِيرُ مَجَازًا. وَقَالَ الْكَرْخِيُّ: إِنْ خُصَّ بِلَفْظٍ مُتَّصِلٍ كَالِاسْتِثْنَاءِ وَالشَّرْطِ لَمْ يَصِرْ مَجَازًا وَإِنْ خُصَّ بِلَفْظٍ مُنْفَصِلٍ صَارَ مَجَازًا وَهُوَ قَوْلُ الْقَاضِي أَبِي بَكْرٍ الْأَشْعَرِيِّ فَالدَّلِيلُ عَلَى الْمُعْتَزِلَةِ خَاصَّةً هُوَ أَنَّ الْأَصْلَ فِي الِاسْتِعْمَالِ الْحَقِيقَةُ وَقَدْ وَجَدْنَا الِاسْتِثْنَاءَ وَالشَّرْطَ فِي الِاسْتِعْمَالِ كَغَيْرِهِمَا مِنْ أَنْوَاعِ الْكَلَامِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ حَقِيقَةٌ وَالدَّلِيلُ عَلَى الْجَمِيعِ أَنَّ اللَّفْظَ تَنَاوَلَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْجِنْسِ فَإِذَا خَرَجَ بَعْضُهُ بِالدَّلِيلِ بَقِيَ الْبَاقِي عَلَى مَا اقْتَضَاهُ اللَّفْظُ وَتَنَاوَلَهُ فَكَانَ حَقِيقَةً فِيهِ.

Dan jika sesuatu dikhususkan dari keumuman, lafaz tidak menjadi majaz pada yang tersisa. Mu'tazilah berkata: Menjadi majaz. Al-Karkhi berkata: Jika dikhususkan dengan lafaz yang bersambung seperti pengecualian dan syarat, tidak menjadi majaz. Jika dikhususkan dengan lafaz yang terpisah, menjadi majaz. Ini pendapat Qadhi Abu Bakar Al-Asy'ari. Dalil khusus atas Mu'tazilah adalah asal pada penggunaan adalah hakikat. Kita dapati pengecualian dan syarat dalam penggunaan seperti jenis-jenis kalam lainnya, menunjukkan bahwa itu adalah hakikat. Dalil atas semuanya, lafaz mencakup setiap satu dari jenis. Jika sebagiannya keluar dengan dalil, sisanya tetap pada yang dituntut lafaz dan dicakupnya, maka ia hakikat padanya.

بَابُ ذِكْرِ مَا يَجُوزُ تَخْصِيصُهُ وَمَا لَا يَجُوزُ

بَابُ ذِكْرِ مَا يَجُوزُ تَخْصِيصُهُ وَمَا لَا يَجُوزُ

Bab tentang penyebutan apa yang boleh dispesifikkan dan apa yang tidak boleh

وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ يَجُوزُ تَخْصِيصُ أَلْفَاظِ الْعُمُومِ. وَأَمَّا تَخْصِيصُ مَا عُرِفَ مِنْ فَحْوَى الْخِطَابِ كَتَخْصِيصِ مَا عُرِفَ قَوْلُهُ ﷿: ﴿فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ﴾ ١ فَلَا يَجُوزُ لِأَنَّ التَّخْصِيصَ إِنَّمَا يَلْحَقُ الْقَوْلَ وَهَذَا مَعْنَى الْقَوْلِ وَلِأَنَّ تَخْصِيصَهُ نَقْضٌ لِلْمَعْنَى الَّذِي تَعَلَّقَ الْمَنْعُ بِهِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ قَالَ: وَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَكِنْ أَضْرِبْهُمَا كَانَ ذَلِكَ مُنَاقَضَةً فَصَارَ كَتَخْصِيصِ الْقِيَاسِ.

Intinya adalah bahwa diperbolehkan untuk mengkhususkan lafal-lafal umum. Adapun mengkhususkan apa yang diketahui dari fahwa al-khitab seperti mengkhususkan apa yang diketahui dari firman-Nya ﷿: ﴿Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"﴾ (1), maka tidak boleh karena pengkhususan itu hanya terkait dengan perkataan dan ini adalah makna perkataan, dan karena pengkhususannya membatalkan makna yang terkait dengan larangan tersebut. Tidakkah kamu perhatikan bahwa seandainya Dia berfirman: "Dan janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah', tetapi pukullah keduanya", niscaya itu adalah kontradiksi, maka jadilah seperti mengkhususkan qiyas.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا تَخْصِيصُ دَلِيلِ الْخِطَابِ فَيَجُوزُ لِأَنَّهُ كَالنُّطْقِ فَجَازَ تَخْصِيصُهُ فَإِذَا قَالَ فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ زَكَاةٌ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي الْمَعْلُوفَةِ جَازَ أَنْ يُخَصَّ لَا زَكَاةَ فِي الْمَعْلُوفَةِ فَيُحْمَلُ عَلَى مَعْلُوفَةٍ دُونَ مَعْلُوفَةٍ.

Adapun mengkhususkan dalil khitab maka boleh, karena ia seperti perkataan maka boleh mengkhususkannya. Jika ia berkata tentang kambing yang digembalakan ada zakat, maka menunjukkan bahwa tidak ada zakat pada kambing yang diberi makan, maka boleh mengkhususkan tidak ada zakat pada kambing yang diberi makan, sehingga dipahami pada sebagian kambing yang diberi makan, bukan semua kambing yang diberi makan.

_________
١ سُورَةُ الْإِسْرَاءِ الْآيَةُ: ٢٣.
1 Surat Al-Isra' ayat: 23.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا النَّصُّ: فَلَا يَجُوزُ تَخْصِيصُهُ كَقَوْلِهِ ﷺ لِأَبِي بُرْدَةَ: "يُجْزِئُكَ وَلَا يُجْزِئُ أَحَدًا بَعْدَكَ". لِأَنَّ التَّخْصِيصَ أَنْ يُخْرِجَ بَعْضَ مَا تَنَاوَلَهُ وَهَذَا لَا يَصِحُّ فِي النَّصِّ عَلَى شَيْءٍ بِعَيْنِهِ.

Adapun nash: tidak boleh men-takhshish-nya seperti sabda Nabi ﷺ kepada Abu Burdah: "Hal itu cukup bagimu dan tidak cukup bagi siapa pun setelahmu". Karena takhshish adalah mengeluarkan sebagian dari apa yang dicakupnya, dan ini tidak sah dalam nash yang menunjuk pada sesuatu secara spesifik.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ مَا وَقَعَ مِنَ الْأَفْعَالِ لَا يَجُوزُ تَخْصِيصُهُ لِمَا بَيَّنَّا فِيمَا تَقَدَّمَ أَنَّ الْفِعْلَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ عَلَى صِفَتَيْنِ فَيُخْرِجَ إِحْدَاهُمَا بِدَلِيلٍ فَإِنْ دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَقَعْ إِلَّا عَلَى صِفَةٍ مِنَ الصِّفَتَيْنِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ تَخْصِيصًا.

Demikian pula apa yang terjadi dari perbuatan-perbuatan, tidak boleh men-takhshish-nya karena apa yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa perbuatan tidak boleh terjadi dengan dua sifat lalu mengeluarkan salah satunya dengan dalil. Jika dalil menunjukkan bahwa perbuatan itu hanya terjadi dengan satu sifat dari dua sifat, maka itu bukanlah takhshish.

بَابُ بَيَانِ الأَدِلَّةِ الَّتِي يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهَا وَمَا لَا يَجُوزُ

بَابُ بَيَانِ الْأَدِلَّةِ الَّتِي يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهَا وَمَا لَا يَجُوزُ

Bab penjelasan tentang dalil-dalil yang boleh ditakhsis dan yang tidak boleh

وَالْأَدِلَّةُ الَّتِي يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهَا ضَرْبَانِ: مُتَّصِلٌ وَمُنْفَصِلٌ فَالْمُتَّصِلُ هُوَ الِاسْتِثْنَاءُ وَالشَّرْطُ وَالتَّقْيِيدُ بِالصِّفَةِ وَلَهَا أَبْوَابٌ تَأْتِي إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى وَبِهِ الثِّقَةُ. وَأَمَّا الْمُنْفَصِلُ فَضَرْبَانِ مِنْ جِهَةِ الْعَقْلِ وَمِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ فَالَّذِي مِنْ جِهَةِ الْعَقْلِ ضَرْبَانِ أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ وُرُودُ الشَّرْعِ بِخِلَافِهِ وَذَلِكَ مَا يَقْتَضِيهِ الْعَقْلُ مِنْ بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ فَهَذَا لَا يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ إِنَّمَا يُسْتَدَلُّ بِهِ لِعَدَمِ الشَّرْعِ فَإِذَا وَرَدَ الشَّرْعُ سَقَطَ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ وَصَارَ الْحُكْمُ لِلشَّرْعِ. وَالثَّانِي: مَا لَا يَجُوزُ وُرُودُ الشَّرْعِ بِخِلَافِهِ وَذَلِكَ مِثْلُ مَا دَلَّ عَلَيْهِ الْعَقْلُ مِنْ نَفْيِ الْخَلْقِ عَنْ صِفَاتِهِ فَيَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ وَلِهَذَا خَصَّصْنَا قَوْلَهُ تَعَالَى ﴿اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ﴾ ١ فِي الصِّفَاتِ وَقُلْنَا الْمُرَادُ مَا خَلَا الصِّفَاتِ لِأَنَّ الْعَقْلَ قَدْ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَخْلُقَ صِفَاتِهِ فَخَصَّصْنَا الْعُمُومَ بِهِ.

Dan dalil-dalil yang boleh ditakhsis ada dua jenis: muttashil (bersambung) dan munfashil (terpisah). Yang muttashil adalah istitsna' (pengecualian), syarat, dan pembatasan dengan sifat, dan ini memiliki bab-bab yang akan datang insya Allah Ta'ala, dan kepada-Nya lah kepercayaan. Adapun yang munfashil ada dua jenis: dari sisi akal dan dari sisi syariat. Yang dari sisi akal ada dua jenis, salah satunya: tidak boleh datangnya syariat yang menyelisihinya, yaitu apa yang dituntut oleh akal berupa bebasnya tanggungan, maka ini tidak boleh ditakhsis dengannya karena hal itu hanyalah dijadikan dalil karena tidak adanya syariat. Jika syariat telah datang, maka gugur pengambilan dalil dengannya dan hukum menjadi milik syariat. Yang kedua: apa yang tidak boleh datangnya syariat yang menyelisihinya, seperti apa yang ditunjukkan oleh akal berupa penafian penciptaan dari sifat-sifat-Nya. Maka boleh mentakhsis dengannya, dan karena inilah kami mentakhsis firman Allah Ta'ala "Allah adalah Pencipta segala sesuatu" (QS. Az-Zumar: 62) pada sifat-sifat dan kami katakan bahwa yang dimaksud adalah selain sifat-sifat, karena akal telah menunjukkan bahwa tidak boleh Dia menciptakan sifat-sifat-Nya. Maka kami mentakhsis keumuman dengannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الَّذِي مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ فَوُجُوهٌ نَطَقَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَمَفْهُومُهُمَا وَأَفْعَالُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَإِقْرَارُهُ وَإِجْمَاعُ الْأُمَّةِ وَالْقِيَاسُ. فَأَمَّا الْكِتَابُ

Adapun yang berkaitan dengan syariat, ada beberapa aspek yang disebutkan dalam Al-Qur'an, Sunnah, pemahaman keduanya, perbuatan Rasulullah ﷺ, persetujuannya, ijma' umat, dan qiyas. Adapun Al-Qur'an

_________
١ سُورَةُ الزُّمَرِ الْآيَةُ: ٦٢.
1 Surah Az-Zumar ayat: 62.

فَيَجُوزُ تَخْصِيصُ الْكِتَابِ بِهِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ﴾ ١ خَصَّ بِهِ قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ﴾ ٢ وَيَجُوزُ تَخْصِيصُ السُّنَّةِ بِهِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ لَا يَجُوزُ وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِهِ هُوَ أَنَّ الْكِتَابَ مَقْطُوعٌ بِصِحَّةِ طَرِيقِهِ وَالسُّنَّةُ غَيْرُ مَقْطُوعٍ بِطَرِيقِهَا فَإِذَا جَازَ تَخْصِيصُ الْكِتَابِ بِهِ فَتَخْصِيصُ السُّنَّةِ بِهِ أَوْلَى.

Maka diperbolehkan mengkhususkan Al-Kitab dengannya, seperti firman Allah Ta'ala ﴿Dan (dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu﴾ ١ yang mengkhususkan firman Allah Ta'ala: ﴿Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman﴾ ٢ Dan diperbolehkan mengkhususkan As-Sunnah dengannya. Sebagian orang mengatakan tidak boleh. Dalil atas kebolehannya adalah bahwa Al-Kitab dipastikan kesahihan jalurnya, sedangkan As-Sunnah tidak dipastikan jalurnya. Maka jika boleh mengkhususkan Al-Kitab dengannya, maka mengkhususkan As-Sunnah dengannya lebih utama.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا السُّنَّةُ: فَيَجُوزُ تَخْصِيصُ الكِتَابِ بِهَا وَذَلِكَ كَقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ". خَصَّ بِهِ قَوْلَهُ ﷿: ﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ﴾ ٣ وَقَالَ بَعْضُ الْمُتَكَلِّمِينَ: لَا يَجُوزُ تَخْصِيصُ الْكِتَابِ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ. وَقَالَ عِيسَى بْنُ أَبَانَ: إِنْ دَخَلَهُ التَّخْصِيصُ بِدَلِيلٍ جَازَ تَخْصِيصُهُ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْهُ التَّخْصِيصُ لَمْ يَجُزْ؛ وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ أَنَّهُمَا دَلِيلَانِ أَحَدُهُمَا خَاصٌّ وَالْآخَرُ عَامٌّ فَقَضَى بِالْخَاصِّ مِنْهُمَا عَلَى الْعَامِّ كَمَا لَوْ كَانَا مِنَ الْكِتَابِ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ قَدْ خُصَّ بِغَيْرِهِ أَوْ لَمْ يُخَصَّ هُوَ أَنَّهُ إِنَّمَا خُصَّ بِهِ إِذَا دَخَلَهُ التَّخْصِيصُ لِأَنَّهُ يَتَنَاوَلُ الْحُكْمَ بِلَفْظٍ غَيْرِ مُحْتَمَلٍ وَالْعُمُومُ يَتَنَاوَلُهُ بِلَفْظٍ مُحْتَمَلٍ وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْهُ التَّخْصِيصُ. وَيَجُوزُ تَخْصِيصُ السُّنَّةِ بِالسُّنَّةِ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ ﷺ: "هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ". يُخَصُّ بِهِ قَوْلَهُ ﷺ: "لَا تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمَيْتَةِ بِشَيْءٍ". وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ مِنْ جِهَةِ أَنَّ السُّنَّةَ جُعِلَتْ بَيَانًا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَفْتَقِرَ الْبَيَانُ إِلَى بَيَانٍ. وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الظَّاهِرِ: يَتَعَارَضُ الْخَاصُّ وَالْعَامُّ وَهُوَ قَوْلُ الْقَاضِي أَبِي بَكْرٍ الْأَشْعَرِيِّ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ يَجِيءُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.

Adapun Sunnah: diperbolehkan mengkhususkan Al-Kitab dengannya, seperti sabda Nabi ﷺ: "Pembunuh tidak mewarisi". Ini mengkhususkan firman Allah ﷿: ﴿Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu﴾ (An-Nisa': 11). Sebagian mutakallimin berpendapat: tidak boleh mengkhususkan Al-Kitab dengan khabar ahad. Isa bin Aban berkata: Jika takhsis masuk padanya dengan dalil, boleh mengkhususkannya dengan khabar ahad. Jika takhsis tidak masuk padanya, tidak boleh. Dalil dibolehkannya hal itu adalah keduanya merupakan dua dalil; yang satu khusus dan yang lain umum, maka yang khusus didahulukan atas yang umum, seperti halnya jika keduanya dari Al-Kitab. Dalil bagi yang membedakan antara jika ia telah dikhususkan dengan selainnya atau belum dikhususkan adalah bahwa ia hanya dikhususkan jika takhsis masuk padanya, karena ia mencakup hukum dengan lafaz yang tidak muhtamal (bermakna lain), sedangkan umum mencakupnya dengan lafaz yang muhtamal. Makna ini ada meskipun takhsis tidak masuk padanya. Diperbolehkan mengkhususkan Sunnah dengan Sunnah, seperti sabda Nabi ﷺ: "Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya lalu kalian samak dan memanfaatkannya". Ini mengkhususkan sabdanya ﷺ: "Janganlah kalian memanfaatkan bangkai sedikitpun". Sebagian orang berpendapat: tidak boleh, karena Sunnah dijadikan sebagai penjelas, maka tidak boleh penjelas itu membutuhkan penjelas lagi. Sebagian ahli zahir berpendapat: yang khusus dan yang umum saling bertentangan. Ini pendapat Al-Qadhi Abu Bakr Al-Asy'ari. Dalil atas apa yang kami katakan akan datang insya Allah Ta'ala.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْمَفْهُومُ فَضَرْبَانِ: فَحْوَى الْخِطَابِ وَدَلِيلُ الْخِطَابِ.

Adapun mafhum itu ada dua jenis: fahwal khithab dan dalilul khithab.

فَأَمَّا فَحْوَى الْخِطَابِ: فَهُوَ التَّنْبِيهُ وَيَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَلَا

Adapun fahwal khithab: yaitu at-tanbih dan boleh men-takhshish dengannya seperti firman Allah Ta'ala: "Maka janganlah

_________
١ سُورَةُ الْمَائِدَةِ الْآيَةُ: ٥.
1 Surat Al-Maidah ayat: 5.
٢ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ٢٢١.
2 Surat Al-Baqarah ayat: 221.
٣ سُورَةُ النِّسَاءِ الْآيَةُ: ١١.
3 Surat An-Nisa ayat: 11.

﴿وَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا﴾ ١ لِأَنَّ هَذَا فِي قَوْلِ الشَّافِعِيِّ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ يَدُلُّ عَلَى الْحُكْمِ بِمَعْنَاهُ إِلَّا أَنَّهُ مَعْنًى جَلِيٌّ وَعَلَى قَوْلِهِ يَدُلُّ عَلَى الْحُكْمِ بِلَفْظِهِ فَهُوَ كَالنَّصِّ.

"Dan janganlah kamu mengatakan kepada keduanya 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka" 1 Karena ini menurut pendapat Imam Syafi'i rahimahullah menunjukkan hukum dengan maknanya, hanya saja itu adalah makna yang jelas. Dan menurut pendapatnya, itu menunjukkan hukum dengan lafaznya, maka itu seperti nash.

وَأَمَّا دَلِيلُ الْخِطَابِ الَّذِي هُوَ مُقْتَضَى النُّطْقِ فَيَجُوزُ تَخْصِيصُ الْعُمُومِ بِهِ وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ ابْنُ سُرَيْجٍ: لَا يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْعِرَاقِ لِأَنَّ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ لَيْسَ بِدَلِيلٍ وَالْكَلَامُ مَعَهُمْ يَجِيءُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى وَعِنْدَنَا هُوَ دَلِيلٌ كَالنُّطْقِ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ وَكَالْقِيَاسِ فِي الْوَجْهِ الْآخَرِ وَأَيُّهُمَا كَانَ فِي جَازَ التَّخْصِيصُ.

Adapun dalil khitab yang merupakan konsekuensi dari ucapan, maka boleh mengkhususkan keumuman dengannya. Abu Al-Abbas Ibnu Suraij berkata: Tidak boleh mengkhususkan dengannya, dan ini adalah pendapat orang-orang Irak, karena menurut mereka itu bukanlah dalil. Pembahasan dengan mereka akan datang insya Allah Ta'ala. Menurut kami, itu adalah dalil seperti ucapan dalam salah satu dari dua sisi, dan seperti qiyas dalam sisi yang lain. Dan yang mana pun di antara keduanya, maka boleh mengkhususkan.

فَصْلٌ فِي تَعَارُضِ اللَّفْظَيْنِ

Pasal tentang pertentangan dua lafaz

إِذَا تَعَارَضَ لَفْظَانِ فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَا خَاصَّيْنِ أَوْ عَامَّيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا خَاصًّا وَالْآخَرُ عَامًّا أَوْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَامًّا مِنْ وَجْهٍ خَاصًّا مِنْ وَجْهٍ فَإِنْ كَانَا خَاصَّيْنِ مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: لَا تَقْتُلُوا الْمُرْتَدَّ وَاقْتُلُوا الْمُرْتَدَّ وَصَلُّوا مَا لَهَا سَبَبٌ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَلَا تُصَلُّوا مَا لَا سَبَبَ لَهَا عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ فَهَذَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَرِدَ إِلَّا فِي وَقْتَيْنِ وَيَكُونُ أَحَدُهُمَا نَاسِخًا لِلْآخَرِ، فَإِنْ عُرِفَ التَّارِيخُ نُسِخَ الْأَوَّلُ بِالثَّانِي وَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ وَجَبَ التَّوَقُّفُ وَإِنْ كَانَا عَامَّيْنِ مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: مَنْ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ وَمَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَلَا تَقْتُلُوهُ وَصَلُّوا عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَلَا تُصَلُّوا عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ فَهَذَا إِنْ أَمْكَنَ اسْتِعْمَالُهُمَا فِي حَالَيْنِ اسْتُعْمِلَا كَمَا قَالَ ﷺ: "خَيْرُ الشُّهُودِ مَنْ شَهِدَ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدَ". وَقَالَ: "شَرُّ الشُّهُودِ مَنْ شَهِدَ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدَ". فَقَالَ أَصْحَابُنَا: الْأَوَّلُ مَحْمُولٌ عَلَيْهِ إِذَا شَهِدَ وَصَاحِبُ الْحَقِّ لَا يَعْلَمُ أَنَّ لَهُ شَاهِدًا فَإِنَّ الْأَوْلَى أَنْ يَشْهَدَ وَإِنْ لَمْ يُسْتَشْهَدْ لِيَصِلَ الْمَشْهُودُ لَهُ إِلَى حَقِّهِ وَالثَّانِي مَحْمُولٌ عَلَيْهِ إِذَا عَلِمَ مَنْ لَهُ الْحَقُّ أَنَّ لَهُ شَاهِدًا فَلَا يَجُوزُ لِلشَّاهِدِ أَنْ يَبْدَأَ بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَشْهَدَ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ

Jika ada dua lafadz yang bertentangan, maka tidak lepas dari kemungkinan keduanya bersifat khusus atau umum, atau salah satunya khusus dan yang lain umum, atau masing-masing dari keduanya umum dari satu sisi dan khusus dari sisi lain. Jika keduanya khusus, seperti jika dikatakan: Jangan bunuh orang murtad dan bunuhlah orang murtad, serta shalatlah yang ada sebabnya ketika matahari terbit dan jangan shalat yang tidak ada sebabnya ketika matahari terbit, maka ini tidak boleh terjadi kecuali pada dua waktu dan salah satunya menasakh yang lain. Jika diketahui waktunya, maka yang pertama dinasakh oleh yang kedua. Jika tidak diketahui, maka wajib berhenti. Jika keduanya umum, seperti jika dikatakan: Barangsiapa agamanya maka bunuhlah dia, dan barangsiapa mengganti agamanya maka jangan bunuh dia, serta shalatlah ketika matahari terbit dan jangan shalat ketika matahari terbit, maka jika mungkin mengamalkan keduanya dalam dua keadaan, maka diamalkan sebagaimana sabda Nabi ﷺ: "Sebaik-baik saksi adalah yang bersaksi sebelum diminta". Dan beliau bersabda: "Seburuk-buruk saksi adalah yang bersaksi sebelum diminta". Para sahabat kami berkata: Yang pertama dipahami jika dia bersaksi dan pemilik hak tidak tahu bahwa dia memiliki saksi, maka yang utama adalah dia bersaksi meskipun tidak diminta agar yang disaksikan untuknya mendapatkan haknya. Yang kedua dipahami jika pemilik hak tahu bahwa dia memiliki saksi, maka tidak boleh bagi saksi untuk memulai kesaksian sebelum diminta. Jika tidak mungkin

_________
١ سُورَةُ الْإِسْرَاءِ الْآيَةُ: ٢٣.
1 Surah Al-Isra' Ayat: 23.

اسْتِعْمَالُهُمَا وَجَبَ التَّوَقُّفُ كَالْقِسْمِ الَّذِي قَبْلَهُ وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا عَامًّا وَالْآخَرُ خَاصًّا مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ﴾ ١. مَعَ قَوْلِهِ ﷺ: "أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ". وَقَوْلِهِ: "فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ". مَعَ قَوْلِهِ: "لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنَ التَّمْرِ صَدَقَةٌ". فَالْوَاجِبُ فِي مِثْلِ هَذَا وَأَمْثَالِهِ أَنْ يُقْضَى بِالْخَاصِّ عَلَى الْعَامِّ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: كَانَ الْخَاصُّ مُتَأَخِّرًا وَالْعَامُّ مُتَقَدِّمًا نَسَخَ الْخَاصُّ مِنَ الْعُمُومِ بِقَدْرِهِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ تَأْخِيرَ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْخِطَابِ لَا يَجُوزُ وَهَذَا قَوْلُ الْمُعْتَزِلَةِ. وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الظَّاهِرِ: يَتَعَارَضُ الْخَاصُّ وَالْعَامُّ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الْأَشْعَرِيِّ، وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ إِنْ كَانَ الْخَاصُّ مُخْتَلَفًا فِيهِ وَالْعَامُّ مُجْمَعًا عَلَيْهِ لَمْ يُقْضَ بِهِ عَلَى الْعَامِّ وَإِنْ كَانَ مُتَّفَقًا عَلَيْهِ قُضِيَ بِهِ. وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ أَنَّ الْخَاصَّ هُوَ أَقْوَى مِنَ الْعَامِّ لِأَنَّ الْخَاصَّ يَتَنَاوَلُ الْحُكْمَ بِلَفْظٍ لَا احْتِمَالَ فِيهِ وَالْعَامُّ يَتَنَاوَلُهُ بِلَفْظٍ مُحْتَمَلٍ فَوَجَبَ أَنْ يُقْضَى بِالْخَاصِّ عَلَيْهِ.

Penggunaan keduanya harus dihentikan seperti bagian sebelumnya, meskipun salah satunya bersifat umum dan yang lainnya khusus, seperti firman Allah Ta'ala: "Diharamkan bagimu bangkai" ١. dengan sabda Nabi ﷺ: "Kulit hewan apa pun yang disamak maka menjadi suci". Dan sabdanya: "Pada apa yang diairi oleh hujan, zakatnya sepersepuluh". dengan sabdanya: "Tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari lima wasaq". Maka yang wajib dalam hal ini dan sejenisnya adalah memutuskan dengan yang khusus atas yang umum. Sebagian sahabat kami mengatakan: Yang khusus itu datang belakangan dan yang umum lebih dulu, maka yang khusus menasakh sebagian dari yang umum sesuai kadarnya, berdasarkan bahwa menunda penjelasan dari waktu khitab tidak boleh, dan ini adalah pendapat Mu'tazilah. Sebagian ahli zhahir mengatakan: Yang khusus dan yang umum saling bertentangan, dan ini adalah pendapat Abu Bakr Al-Asy'ari. Sahabat-sahabat Abu Hanifah mengatakan jika yang khusus diperselisihkan sedangkan yang umum disepakati, maka tidak diputuskan dengannya atas yang umum. Jika disepakati maka diputuskan dengannya. Dalil atas apa yang kami sebutkan adalah bahwa yang khusus lebih kuat daripada yang umum, karena yang khusus mencakup hukum dengan lafaz yang tidak ada kemungkinan di dalamnya, sedangkan yang umum mencakupnya dengan lafaz yang memiliki kemungkinan, maka wajib memutuskan dengan yang khusus atasnya.

وَأَمَّا إِذَا كَانَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَامًّا مِنْ وَجْهٍ خَاصًّا مِنْ وَجْهٍ يُمْكِنُ أَنْ يُخَصَّ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عُمُومُ الْآخَرِ مِثْلَ مَا رُوِيَ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ: "نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ". مَعَ قَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا". فَإِنَّهُ يُحْمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالنَّهْيِ عَنِ الصَّلَاةِ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ مَا لَا سَبَبَ لَهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ بِدَلِيلِ قَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا". وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا فِي غَيْرِ طُلُوعِ الشَّمْسِ". بِدَلِيلِ مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ فَالْوَاجِبُ فِي مِثْلِ هَذَا أَنْ لَا يُقَدَّمَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ إِلَّا بِدَلِيلٍ شَرْعِيٍّ مِنْ غَيْرِهِمَا يَدُلُّ عَلَى الْمَخْصُوصِ مِنْهُمَا أَوْ تَرْجِيحٍ يَثْبُتُ لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ كَمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ وَعَلِيٍّ ﵄ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ أَحَلَّتْهُمَا آيَةٌ وَحَرَّمَتْهُمَا آيَةٌ وَالتَّحْرِيمُ أَوْلَى وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَخْلُوَا

Dan adapun jika salah satu dari keduanya bersifat umum dari satu sisi dan khusus dari sisi lain, maka memungkinkan untuk mengkhususkan setiap satu dari keduanya dengan keumuman yang lain, seperti apa yang diriwayatkan: bahwa Nabi ﷺ: "Melarang shalat ketika matahari terbit". Bersamaan dengan sabdanya ﷺ: "Barangsiapa tertidur dari shalat atau melupakannya, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika ia mengingatnya". Maka dipahami bahwa yang dimaksud dengan larangan shalat ketika matahari terbit adalah shalat yang tidak memiliki sebab, berdasarkan sabdanya ﷺ: "Barangsiapa tertidur dari shalat atau melupakannya, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika ia mengingatnya". Dan memungkinkan bahwa yang dimaksud dengan sabdanya ﷺ: "Barangsiapa tertidur dari shalat atau melupakannya, maka hendaklah ia melaksanakannya di selain waktu terbit matahari". Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melarang shalat ketika matahari terbit. Maka yang wajib dalam hal seperti ini adalah tidak mendahulukan salah satunya atas yang lain kecuali dengan dalil syar'i dari selain keduanya yang menunjukkan kekhususan salah satunya atau tarjih yang berlaku bagi salah satunya atas yang lain, seperti apa yang diriwayatkan dari Utsman dan Ali ﵄ dalam mengumpulkan dua saudara perempuan dengan kepemilikan tangan kanan, satu ayat menghalalkan keduanya dan satu ayat mengharamkan keduanya, dan pengharaman lebih utama. Dan apakah boleh jika kosong

_________
١ سُورَةُ الْمَائِدَةِ الْآيَةُ: ٣
1 Surah Al-Maidah Ayat: 3

مِثْلُ هَذَا مِنَ التَّرْجِيحِ مِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ لَا يَجُوزُ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يَجُوزُ، وَإِذَا خَلَى تَعَارَضَا وَسَقَطَا وَرَجَعَ الْمُجْتَهِدُ إِلَى بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ.

Seperti ini dari tarjih (pengunggulan) dari manusia ada yang mengatakan tidak boleh dan ada yang mengatakan boleh, dan jika dibiarkan maka keduanya saling bertentangan dan gugur, dan mujtahid kembali kepada bebasnya tanggungan.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا أَفْعَالُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَيَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهَا وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يُحَرِّمَ أَشْيَاءَ بِلَفْظٍ عَامٍّ ثُمَّ يَفْعَلَ بَعْضَهَا فَيُخَصَّ بِذَلِكَ الْعَامَّ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ التَّخْصُّصُ بِهَا وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِنَا لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَخْصُوصًا بِهِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّهُ وَإِنْ جَازَ أَنْ يَكُونَ مَخْصُوصًا إِلَّا أَنَّ الْأَصْلَ مُشَارَكَةُ الْأُمَّةِ فِي الْأَحْكَامِ وَلِهَذَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ﴾ ١.

Adapun perbuatan Rasulullah ﷺ, maka boleh takhshish (pengkhususan) dengannya, yaitu seperti mengharamkan sesuatu dengan lafaz umum kemudian melakukan sebagiannya, maka dikhususkan dengan yang umum itu. Di antara manusia ada yang mengatakan: tidak boleh takhshish dengannya, dan ini adalah pendapat sebagian sahabat kami, karena boleh jadi ia dikhususkan dengannya. Yang pertama lebih shahih, karena meskipun boleh ia dikhususkan, tetapi pada asalnya umat bersekutu dalam hukum-hukum, dan karena inilah Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (QS. Al-Ahzab: 21)

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْإِقْرَارُ فَيَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ كَمَا رَأَى قَيْسًا يُصَلِّي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ بَعْدَ الصُّبْحِ فَأَقَرَّهُ عَلَيْهِ فَيُخَصُّ بِهِ نَهْيُهُ ﷺ عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَرَى مُنْكَرًا فَيُقِرَّ عَلَيْهِ فَلَمَّا أَقَرَّهُ دَلَّ عَلَى جَوَازِهِ.

Adapun pengakuan, maka boleh takhshish (pengkhususan) dengannya, seperti ketika beliau ﷺ melihat Qais shalat dua rakaat fajar setelah Subuh lalu beliau membiarkannya, maka dikhususkan dengan itu larangan beliau ﷺ dari shalat setelah Subuh, karena tidak boleh beliau melihat kemungkaran lalu membiarkannya. Maka ketika beliau membiarkannya, itu menunjukkan kebolehannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الإِجْمَاعُ فَيَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ لِأَنَّهُ أَقْوَى مِنَ الظَّوَاهِرِ فَإِذَا جَازَ التَّخْصِيصُ بِالظَّوَاهِرِ فَبِالإِجْمَاعِ أَوْلَى.

Adapun ijma', diperbolehkan takhsis dengannya karena ia lebih kuat daripada zahir. Jika takhsis dengan zahir diperbolehkan, maka dengan ijma' lebih utama.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا قَوْلُ الْوَاحِدِ مِنَ الصَّحَابَةِ إِذَا انْتَشَرَ وَلَمْ يُعْرَفْ لَهُ مُخَالِفٌ فَهُوَ حُجَّةٌ يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَنْشُرْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مُخَالِفٌ لَمْ يَجُزْ التَّخْصِيصُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مُخَالِفٌ فَهَلْ يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ يُبْنَى عَلَى الْقَوْلَيْنِ فِي أَنَّهُ حُجَّةٌ أَمْ لَا فَإِذَا قُلْنَا لَيْسَ بِحُجَّةٍ لَمْ يَجُزْ التَّخْصِيصُ بِهِ وَإِذَا قُلْنَا أَنَّهُ حُجَّةٌ فَهَلْ يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ. فِيهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا. يَجُوزُ. وَالثَّانِي لَا يَجُوزُ.

Adapun perkataan seorang sahabat, jika tersebar dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya, maka ia menjadi hujjah yang diperbolehkan untuk takhsis dengannya. Jika tidak tersebar, jika ada yang menyelisihinya maka tidak boleh takhsis dengannya. Jika tidak ada yang menyelisihinya, apakah boleh takhsis dengannya? Ini dibangun di atas dua pendapat apakah ia hujjah atau bukan. Jika kita katakan bukan hujjah, maka tidak boleh takhsis dengannya. Jika kita katakan ia hujjah, apakah boleh takhsis dengannya? Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: boleh. Kedua: tidak boleh.

_________
١ سُورَةُ الْأَحْزَابِ الْآيَةُ: ٢١.
1 Surat Al-Ahzab ayat: 21.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْقِيَاسُ فَيَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الْجُبَائِيِّ وَاخْتِيَارُ الْقَاضِي أَبِي بَكْرٍ الْأَشْعَرِيِّ. وَقَالَ عِيسَى بْنُ أَبَانَ: إِذَا ثَبَتَ تَخْصِيصُهُ بِدَلِيلٍ يُوجِبُ الْعِلْمَ جَازَ التَّخْصِيصُ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ تَخْصِيصُهُ بِدَلِيلٍ يُوجِبُ الْعِلْمَ لَمْ يَجُزْ. وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِرَاقِ: إِنْ دَخَلَهُ التَّخْصِيصُ بِدَلِيلٍ غَيْرِ الْقِيَاسِ جَازَ التَّخْصِيصُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْهُ التَّخْصِيصُ بِغَيْرِهِ لَمْ يَجُزْ. وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ أَنَّ الْقِيَاسَ يَتَنَاوَلُ الْحُكْمَ فِيمَا يَخُصُّهُ بِلَفْظٍ غَيْرِ مُحْتَمَلٍ فَخَصَّ بِهِ الْعُمُومَ كَاللَّفْظِ الْخَاصِّ.

Adapun qiyas, maka boleh men-takhshish dengannya. Di antara sahabat kami ada yang berpendapat: tidak boleh men-takhshish dengannya, ini adalah pendapat Abu Ali Al-Jubba'i dan pilihan Al-Qadhi Abu Bakr Al-Asy'ari. Isa bin Aban berkata: Jika terbukti pen-takhshish-annya dengan dalil yang mewajibkan ilmu, maka boleh men-takhshish dengannya. Jika tidak terbukti pen-takhshish-annya dengan dalil yang mewajibkan ilmu, maka tidak boleh. Sebagian penduduk Irak berkata: Jika takhshish masuk padanya dengan dalil selain qiyas, maka boleh men-takhshish dengannya. Jika takhshish tidak masuk padanya dengan selainnya, maka tidak boleh. Dalil atas kebolehan hal itu adalah bahwa qiyas mencakup hukum pada apa yang dikhususkannya dengan lafaz yang tidak muhtamal (mengandung kemungkinan makna lain), maka ia men-takhshish 'umum seperti lafaz khusus.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا قَوْلُ الرَّاوِي: فَلَا يَجُوزُ تَخْصِيصُ الْعُمُومِ بِهِ. وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللهُ: يَجُوزُ. وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ هُوَ أَنَّ تَخْصِيصَهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِدَلِيلٍ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِشُبْهَةٍ فَلَا يُتْرَكُ الظَّاهِرُ بِالشَّكِّ وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ تَرْكُ شَيْءٍ مِنَ الظَّوَاهِرِ بِقَوْلِهِ مِثْلَ أَنْ يَحْتَمِلَ الْخَبَرُ أَمْرَيْنِ وَهُوَ فِي أَحَدِهِمَا أَظْهَرُ فَيَصْرِفُهُ الرَّاوِي إِلَى الْآخَرِ فَلَا يُقْبَلُ ذَلِكَ مِنْهُ لِمَا بَيَّنَاهُ فِي تَخْصِيصِ الْعُمُومِ. وَأَمَّا إِذَا احْتَمَلَ اللَّفْظُ أَمْرَيْنِ احْتِمَالًا وَاحِدًا فَصَرَفَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا مِثْلَ مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ أَنَّهُ حَمَلَ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا" إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ عَلَى الْقَبْضِ فِي الْمَجْلِسِ فَقَدْ قِيلَ إِنَّهُ يُقْبَلُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ أَعْرَفُ بِمَعْنَى الْخِطَابِ. وَقَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ رَحِمَهُ اللهُ وَفِيهِ نَظَرٌ عِنْدِي.

Adapun perkataan perawi: Maka tidak boleh mengkhususkan keumuman dengannya. Dan berkata para sahabat Abu Hanifah rahimahullah: Boleh. Dan dalil atas bahwa hal itu tidak boleh adalah bahwa pengkhususannya boleh jadi dengan dalil dan boleh jadi dengan syubhat, maka tidak boleh meninggalkan yang zhahir dengan keraguan. Demikian pula tidak boleh meninggalkan sesuatu dari yang zhahir dengan perkataannya, seperti jika khabar mengandung dua kemungkinan dan ia pada salah satunya lebih zhahir, lalu perawi memalingkannya kepada yang lain, maka hal itu tidak diterima darinya karena apa yang telah kami jelaskan dalam pengkhususan keumuman. Adapun jika lafazh mengandung dua kemungkinan dengan satu kemungkinan, lalu ia memalingkannya kepada salah satunya, seperti apa yang diriwayatkan dari Umar karramallahu wajhahu bahwa ia membawa sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam: "Emas dengan emas adalah riba" kecuali serah terima di majelis, maka telah dikatakan bahwa hal itu diterima karena ia lebih mengetahui makna khithab. Dan berkata Syaikh Al-Imam rahimahullah: Di dalamnya ada pandangan menurutku.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْعُرْفُ وَالْعَادَةُ فَلَا يَجُوزُ تَخْصِيصُ الْعُمُومِ بِهِ لِأَنَّ الشَّرْعَ لَمْ يُوضَعْ عَلَى الْعَادَةِ وَإِنَّمَا وُضِعَ فِي قَوْلِ بَعْضِ النَّاسِ عَلَى حَسَبِ الْمَصْلَحَةِ وَفِي قَوْلِ الْبَاقِينَ عَلَى مَا أَرَادَ اللَّهُ تَعَالَى وَذَلِكَ لَا يَقِفُ عَلَى الْعَادَةِ.

Adapun 'urf dan adat, maka tidak boleh mengkhususkan keumuman dengannya karena syariat tidak ditetapkan berdasarkan adat. Sebaliknya, syariat ditetapkan menurut sebagian orang berdasarkan kemaslahatan, dan menurut pendapat yang lain berdasarkan apa yang dikehendaki Allah Ta'ala, dan hal itu tidak tergantung pada adat.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا تَخْصِيصُ أَوَّلِ الْآيَةِ بِآخِرِهَا وَآخِرِهَا بِأَوَّلِهَا فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ

Adapun mengkhususkan awal ayat dengan akhirnya dan akhirnya dengan awalnya, maka hal itu tidak boleh, seperti firman-Nya

تَعَالَى: ﴿وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ﴾ ١ وَهَذَا عَامٌّ فِي الرَّجْعِيَّةِ وَغَيْرِهَا ثُمَّ قَالَ فِي آخِرِ الْآيَةِ: ﴿وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ﴾ ٢ وَهَذَا خَاصٌّ بِالرَّجْعِيَّاتِ فَيُحْمَلُ أَوَّلُ الْآيَةِ عَلَى الْعُمُومِ وَآخِرُهَا عَلَى الْخُصُوصِ وَلَا يُخَصُّ أَوَّلُهَا بِآخِرِهَا لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَصَدَ بِآخِرِ الْآيَةِ بَيَانَ بَعْضِ مَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ أَوَّلُ الْآيَةِ فَلَا يَجُوزُ تَرْكُ الْعُمُومِ بِأَوَّلِهَا.

Allah Ta'ala berfirman: "Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru'" ¹ Ini bersifat umum baik untuk raj'iyyah maupun lainnya. Kemudian Allah berfirman di akhir ayat: "Dan para suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka" ² Ini khusus untuk raj'iyyat. Maka awal ayat dipahami secara umum dan akhirnya secara khusus. Awal ayat tidak dikhususkan dengan akhirnya karena boleh jadi maksud akhir ayat adalah menjelaskan sebagian apa yang tercakup pada awal ayat. Maka tidak boleh meninggalkan keumuman pada awalnya.

_________
١ سُورَةُ الْبَقَرَةِ جُزْءٌ مِنَ الْآيَةِ: ٢٢٨.
¹ Surat Al-Baqarah bagian dari ayat: 228.
٢ سُورَةُ الْبَقَرَةِ جُزْءٌ مِنَ الْآيَةِ: ٢٢٨.
² Surat Al-Baqarah bagian dari ayat: 228.

بَابُ القَوْلِ فِي اللَّفْظِ الوَارِدِ عَلَى سَبَبٍ

بَابُ الْقَوْلِ فِي اللَّفْظِ الْوَارِدِ عَلَى سَبَبٍ

Bab Perkataan tentang Lafaz yang Datang karena Suatu Sebab

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ اللَّفْظَ الْوَارِدَ عَلَى سَبَبٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَخْرُجَ السَّبَبُ مِنْهُ لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى تَأْخِيرِ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَهَلْ يَدْخُلُ فِيهِ غَيْرُهُ نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَ اللَّفْظُ لَا يَسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ كَانَ ذَلِكَ مَقْصُورًا عَلَى مَا وَرَدَ فِيهِ مِنَ السَّبَبِ وَيَصِيرُ الْحُكْمُ مَعَ السَّبَبِ كَالْجُمْلَةِ الْوَاحِدَةِ فَإِنْ كَانَ لَفْظُ السَّائِلِ عَامًّا مِثْلَ أَنْ قَالَ: أَفْطَرْتُ قَالَ: أَعْتِقْ. حُمِلَ الْجَوَابُ عَلَى الْعُمُومِ فِي كُلِّ مُفْطِرٍ كَأَنَّهُ قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ فَعَلَيْهِ الْعِتْقُ مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى لَا مِنْ جِهَةِ اللَّفْظِ وَذَلِكَ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَسْتَفْصِلْ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَخْتَلِفُ أَوْ لَمَّا نَقَلَ السَّبَبَ وَهُوَ الْفِطْرُ فَحَكَمَ فِيهِ بِالْعِتْقِ صَارَ كَأَنَّهُ عَلَّلَ بِذَلِكَ لِأَنَّ ذِكْرَ السَّبَبِ فِي الْحُكْمِ تَعْلِيلٌ وَإِنْ كَانَ خَاصًّا مِثْلَ إِنْ قَالَ: جَامَعْتُ فَقَالَ اعْتِقْ حُمِلَ الْجَوَابُ عَلَى الْخُصُوصِ فِي الْمُجَامِعِ لَا يَتَعَدَّى إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْمُفْطِرِينَ فَكَأَنَّهُ قَالَ مَنْ جَامَعَ فِي رَمَضَانَ فَعَلَيْهِ الْعِتْقُ وَأَمَّا إِذَا كَانَ اللَّفْظُ يَسْتَقِلُّ بِنَفْسِهِ اعْتُبِرَ حُكْمُ اللَّفْظِ فَإِنْ كَانَ خَاصًّا حُمِلَ عَلَى خُصُوصِهِ وَإِنْ كَانَ عَامًّا حُمِلَ عَلَى عُمُومِهِ وَلَا يُخَصُّ بِالسَّبَبِ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ وَذَلِكَ مِثْلُ مَا سُئِلَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ فَقِيلَ: إِنَّكَ تَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَأَنَّهُ يُطْرَحُ فِيهَا الْمَحَائِضُ وَلُحُومُ الْكِلَابِ وَمَا يَنْحَى النَّاسُ فَقَالَ ﷺ: "الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ" فَهَذَا يُحْمَلُ عَلَى عُمُومِهِ وَلَا يُخَصُّ بِمَا وَرَدَ فِيهِ مِنَ السَّبَبِ. وَقَالَ الْمُزَنِيُّ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ الدَّقَّاقُ مِنْ أَصْحَابِنَا يُقْصَرُ عَلَى مَا وَرَدَ فِيهِ مِنَ السَّبَبِ. وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا

Intinya adalah bahwa lafadz yang datang karena suatu sebab tidak boleh keluar dari sebab tersebut karena hal itu akan menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan, dan itu tidak diperbolehkan. Apakah lafadz itu mencakup selain sebabnya? Jika lafadz itu tidak berdiri sendiri, maka itu terbatas pada sebab yang ada padanya, dan hukum menjadi satu kesatuan dengan sebabnya. Jika lafadz penanya bersifat umum, seperti jika ia berkata, "Aku berbuka," lalu dijawab, "Merdekakanlah (budak)," maka jawaban itu dipahami secara umum untuk setiap orang yang berbuka, seolah-olah ia berkata, "Barangsiapa berbuka, maka ia wajib memerdekakan (budak)," dari segi makna, bukan dari segi lafadz. Hal itu karena ketika ia tidak merinci, menunjukkan bahwa hukumnya tidak berbeda. Atau ketika ia menyebutkan sebab, yaitu berbuka, lalu dihukumi dengan memerdekakan (budak), maka seolah-olah ia menjadikan itu sebagai 'illat (alasan hukum), karena penyebutan sebab dalam hukum adalah ta'lil (penetapan 'illat). Jika lafadz penanya bersifat khusus, seperti jika ia berkata, "Aku berjimak," lalu dijawab, "Merdekakanlah (budak)," maka jawaban itu dipahami secara khusus untuk orang yang berjimak, tidak melampaui selain orang yang berbuka, seolah-olah ia berkata, "Barangsiapa berjimak di bulan Ramadhan, maka ia wajib memerdekakan (budak)." Adapun jika lafadz itu berdiri sendiri, maka yang dipertimbangkan adalah hukum lafadz. Jika lafadz itu khusus, maka dipahami secara khusus. Jika lafadz itu umum, maka dipahami secara umum dan tidak dikhususkan dengan sebab yang ada padanya. Contohnya seperti ketika Nabi ﷺ ditanya tentang sumur Budha'ah. Dikatakan, "Engkau berwudhu dari sumur Budha'ah, padahal di dalamnya dibuang kain haid, daging anjing, dan kotoran manusia." Beliau ﷺ bersabda, "Air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya." Hadits ini dipahami secara umum dan tidak dikhususkan dengan sebab yang ada padanya. Al-Muzani, Abu Tsaur, dan Abu Bakr ad-Daqqaq dari kalangan kami berpendapat bahwa hadits itu terbatas pada sebab yang ada padanya. Dalil atas apa yang

قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّ الْحُجَّةَ فِي قَوْلِ الرَّسُولِ ﷺ دُونَ السَّبَبِ فَوَجَبَ أَنْ يُعْتَبَرَ عُمُومُهُ.

Kami telah mengatakan bahwa hujjah itu ada pada perkataan Rasulullah ﷺ tanpa sebab, maka wajib mempertimbangkan keumumannya.

بَابُ القَوْلِ فِي الاسْتِثْنَاءِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الِاسْتِثْنَاءِ

Bab Perkataan tentang Pengecualian

وَالِاسْتِثْنَاءُ يَجُوزُ تَخْصِيصُ اللَّفْظِ بِهِ وَهُوَ مَأْخُوذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ: ثَنَيْتُ فُلَانًا عَنْ رَأْيِهِ إِذَا صَرَفْتَهُ عَنْهُ. وَقِيلَ: أَنَّهُ مَأْخُوذٌ مِنْ تَثْنِيَةِ الْخَبَرِ بَعْدَ الْخَبَرِ وَمِنْ شَرْطِهِ أَنْ يَكُونَ مُتَّصِلًا بِالْمُسْتَثْنَى مِنْهُ. وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ﵄ جَوَازُ تَأْخِيرِهِ وَحُكِيَ عَنْ قَوْمٍ جَوَازُ تَأْخِيرِهِ إِذَا أُورِدَ مَعَهُ كَلَامٌ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ اسْتِثْنَاءٌ مِمَّا تَقَدَّمَ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: جَاءَنِي النَّاسُ ثُمَّ يَقُولُ بَعْدَ زَمَانٍ إِلَّا زَيْدًا وَهُوَ اسْتِثْنَاءٌ مِمَّا كُنْتُ قُلْتُ فَأَمَّا الْمَحْكِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ﵄ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ عَنْهُ وَهُوَ بَعِيدٌ لِأَنَّهُمْ لَا يَسْتَعْمِلُونَ الِاسْتِثْنَاءَ إِلَّا مُتَّصِلًا بِالْكَلَامِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ إِذَا قَالَ جَاءَنِي النَّاسُ ثُمَّ قَالَ بَعْدَ شَهْرٍ إِلَّا زَيْدًا لَمْ يُعَدْ ذَلِكَ كَلَامًا فَدَلَّ عَلَى بُطْلَانِهِ وَمَا حُكِيَ عَنْ غَيْرِهِ خَطَأٌ لِأَنَّهُ لَوْ جَازَ ذَلِكَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي قَالَهُ لَجَازَ أَنْ يُؤَخِّرَ خَبَرَ الْمُبْتَدَأِ ثُمَّ يُخْبِرَ بِهِ مَعَ كَلَامٍ يَدُلُّ عَلَيْهِ بِأَنْ يَقُولَ زَيْدٌ ثُمَّ يَقُولُ بَعْدَ حِينٍ قَائِمٌ وَيَقْرِنَهُ بِمَا يَدُلُّ عَلَى اِنَّهُ خَبَرٌ عَنْهُ وَهَذَا مِمَّا لَا يَقُولُهُ أَحَدٌ وَلَا يُعَدُّ كَلَامًا فِي اللُّغَةِ فَبَطَلَ.

Pengecualian diperbolehkan untuk mengkhususkan lafaz dengannya, dan itu diambil dari perkataan mereka: Aku memalingkan si fulan dari pendapatnya jika engkau memalingkannya darinya. Dan dikatakan: Sesungguhnya itu diambil dari pengulangan khabar setelah khabar, dan syaratnya adalah harus bersambung dengan yang dikecualikan darinya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ﵄ bolehnya mengakhirkannya, dan diriwayatkan dari suatu kaum bolehnya mengakhirkannya jika disertai dengan perkataan yang menunjukkan bahwa itu adalah pengecualian dari apa yang telah lalu, yaitu jika ia berkata: Orang-orang telah datang kepadaku, kemudian ia berkata setelah beberapa waktu: kecuali Zaid, dan itu adalah pengecualian dari apa yang telah aku katakan. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ﵄, maka yang zhahir adalah tidak sah darinya, dan itu jauh (dari kebenaran) karena mereka tidak menggunakan pengecualian kecuali bersambung dengan perkataan. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia berkata: Orang-orang telah datang kepadaku, kemudian ia berkata setelah sebulan: kecuali Zaid, maka itu tidak dianggap perkataan, maka menunjukkan atas kebatilannya. Dan apa yang diriwayatkan dari selainnya adalah kesalahan, karena jika itu boleh atas wajah yang ia katakan, niscaya boleh mengakhirkan khabar mubtada kemudian mengkhabarkannya dengan perkataan yang menunjukkan atasnya, dengan berkata: Zaid, kemudian berkata setelah beberapa saat: berdiri, dan menyandingkannya dengan apa yang menunjukkan bahwa itu adalah khabar darinya, dan ini adalah sesuatu yang tidak dikatakan oleh seorang pun dan tidak dianggap perkataan dalam bahasa, maka batallah ia.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ أَنْ يَتَقَدَّمَ الاِسْتِثْنَاءُ عَلَى الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ كَمَا يَجُوزُ أَنْ يَتَأَخَّرَ كَقَوْلِ الْكُمَيْتِ:

Dan boleh mendahulukan pengecualian (istitsna') atas yang dikecualikan darinya (mustatsna minhu), sebagaimana boleh mengakhirkannya, seperti perkataan Al-Kumait:

فَمَالِي إِلَّا آلَ أَحْمَدَ شِيعَةً ... وَمَالِي إِلَّا مَشْعَبَ الْحَقِّ مَشْعَبُ

Maka tidak ada bagiku kecuali keluarga Ahmad sebagai pengikut ... Dan tidak ada bagiku kecuali jalan kebenaran yang kuikuti

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ الِاسْتِثْنَاءُ مِنْ جِنْسِهِ كَقَوْلِكَ: رَأَيْتُ النَّاسَ إِلَّا زَيْدًا وَكَذَلِكَ اسْتِثْنَاءُ بَعْضِ مَا دَخَلَ تَحْتَ الِاسْمِ كَقَوْلِكَ: رَأَيْتُ زَيْدًا إِلَّا وَجْهَهُ. وَأَمَّا الِاسْتِثْنَاءُ مِنْ غَيْرِ الْجِنْسِ فَهُوَ مُسْتَعْمَلٌ وَقَدْ وَرَدَ بِهِ الْقُرْآنُ وَالْأَشْعَارُ. قَالَ اللهُ

Dan boleh mengecualikan dari jenisnya, seperti perkataanmu: Aku melihat orang-orang kecuali Zaid. Demikian pula mengecualikan sebagian dari apa yang termasuk dalam suatu kata, seperti perkataanmu: Aku melihat Zaid kecuali wajahnya. Adapun pengecualian dari selain jenisnya, maka itu digunakan dan telah disebutkan dalam Al-Qur'an dan syair-syair. Allah berfirman

﷿: ﴿فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ إِلَّا إِبْلِيسَ﴾ ١ فَاسْتَثْنَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ وَلَيْسَ مِنَ الْمَلَائِكَةِ وَقَالَ الشَّاعِرُ:

﷿: "Maka bersujudlah para malaikat semuanya kecuali Iblis" 1 Maka Dia mengecualikan Iblis dari para malaikat padahal ia bukan dari golongan malaikat. Penyair berkata:

وَقَفْتُ فِيهَا أَصِيلًا لَا أُسَائِلُهَا ... أَعْيَتْ جَوَابًا وَمَا بِالرَّبْعِ مِنْ أَحَدِ

Aku berdiri di sana pada sore hari, tidak menanyainya ... Dia lelah menjawab dan tidak ada seorang pun di tempat itu

أَلَا أَوَارِيَ لَأْيًا مَا أُبَيِّنُهَا ... وَالنُّؤَى كَالْحَوْضِ بِالْمَظْلُومَةِ الْجَلَدِ

Tidakkah aku menyembunyikan tanda-tanda yang tidak aku jelaskan ... Dan gundukan pasir seperti kolam di tanah keras yang teraniaya

فَاسْتَثْنَى الْأَوَارِيَ مِنَ النَّاسِ وَهَلْ هُوَ حَقِيقَةٌ أَمْ لَا فِيهِ وَجْهَانِ. مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: هُوَ حَقِيقَةٌ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ. هُوَ مَجَازٌ وَهَذَا الْأَظْهَرُ لِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ مُشْتَقٌّ مِنْ قَوْلِهِمْ ثَنَيْتُ عِنَانَ الدَّابَّةِ إِذَا صَرَفْتَهَا أَوْ مِنْ تَثْنِيَةِ الْخَبَرِ بَعْدَ الْخَبَرِ وَهَذَا لَا يُوجَدُ إِلَّا فِيمَا دَخَلَ فِي الْكَلَامِ ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْهُ.

Maka dia mengecualikan al-awari dari manusia, apakah itu hakikat atau tidak, ada dua pendapat. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan: itu hakikat, dan di antara mereka ada yang mengatakan: itu majaz, dan ini yang lebih jelas. Karena istitsna (pengecualian) berasal dari perkataan mereka "tsanaytu 'inana ad-daabbah" jika aku memalingkannya, atau dari pengulangan khabar setelah khabar, dan ini tidak ditemukan kecuali pada sesuatu yang masuk dalam perkataan kemudian keluar darinya.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ أَنْ يُسْتَثْنَى الْأَكْثَرُ مِنَ الْجُمْلَةِ وَقَالَ أَحْمَدُ لَا يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ الْقَاضِي أَبِي بَكْرٍ الْأَشْعَرِيِّ وَابْنِ دُرُسْتَوَيْهِ. وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِهِ أَنَّ الْقُرْآنَ وَرَدَ بِهِ قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ﴾ ٢ ثُمَّ قَالَ: ﴿فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ﴾ ٣ فَاسْتَثْنَى الْغَاوِينَ مِنَ الْعِبَادِ وَاسْتَثْنَى الْعِبَادَ مِنَ الْغَاوِينَ وَأَيُّهُمَا كَانَ أَكْثَرَ فَقَدِ اسْتَثْنَاهُ مِنَ الْآخَرِ وَلِأَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ مَعْنًى يُوجِبُ تَخْصِيصَ اللَّفْظِ الْعَامِّ فَجَازَ فِي الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ كَالتَّخْصِيصِ بِالدَّلِيلِ الْمُنْفَصِلِ.

Dan diperbolehkan untuk mengecualikan sebagian besar dari kalimat. Ahmad berkata tidak boleh, dan itu adalah pendapat Qadhi Abu Bakr Al-Asy'ari dan Ibnu Durustawaih. Dalil diperbolehkannya hal itu adalah bahwa Al-Qur'an datang dengannya. Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat." (Al-Hijr: 42) Kemudian Allah berfirman: "Maka demi kemuliaan-Mu, sesungguhnya aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka." (Shad: 82-83) Maka Allah mengecualikan orang-orang yang sesat dari hamba-hamba dan mengecualikan hamba-hamba dari orang-orang yang sesat. Dan mana saja yang lebih banyak, maka Dia telah mengecualikannya dari yang lain. Karena istitsna (pengecualian) adalah makna yang mengharuskan pengkhususan lafaz umum, maka boleh pada yang sedikit dan yang banyak seperti pengkhususan dengan dalil yang terpisah.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا تَعَقَّبَ الِاسْتِثْنَاءُ جُمَلًا عُطِفَ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَجُمِعَ ذَلِكَ إِلَى الْجَمِيعِ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ ﷿:

Jika pengecualian (istitsna') mengikuti beberapa kalimat yang sebagiannya diatafkan kepada sebagian yang lain, maka hal itu dikumpulkan kepada semuanya, seperti firman-Nya ﷿:

﴿وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا﴾ ٤ وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀: يَرْجِعُ إِلَى مَا يَلِيهِ، وَقَالَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ: يَتَوَقَّفُ فِيهِ وَلَا يُرَدُّ إِلَى شَيْءٍ مِنْهُمَا إِلَّا بِدَلِيلٍ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا

"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat" (An-Nur: 4-5). Para sahabat Abu Hanifah ﵀ berkata: Kembali kepada apa yang mengikutinya. Al-Qadhi Abu Bakr berkata: Berhenti padanya dan tidak dikembalikan kepada sesuatu dari keduanya kecuali dengan dalil. Dan dalil atas apa

_________
١ سُورَةُ الحِجْرِ الآيَةُ: ٣٠، ٣١.
1 Surat Al-Hijr ayat 30-31.
٢ سُورَةُ الحِجْرِ الآيَةُ: ٤٢.
2 Surat Al-Hijr ayat 42.
٣ سُورَةُ ص الآيَةُ: ٨٢، ٨٣.
3 Surat Shad ayat 82-83.
٤ سُورَةُ النُّورِ الآيَةُ ٤، ٥.
4 Surat An-Nur ayat 4-5.

قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ كَالشَّرْطِ فِي التَّخْصِيصِ ثُمَّ الشَّرْطُ يَرْجِعُ إِلَى الْجَمِيعِ وَهُوَ إِذَا قَالَ: امْرَأَتِي طَالِقٌ وَعَبْدِي حُرٌّ وَمَالِي صَدَقَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى فَكَذَلِكَ الِاسْتِثْنَاءُ.

Kami mengatakan bahwa pengecualian (istitsna') seperti syarat dalam pengkhususan (takhshish), kemudian syarat itu kembali kepada semuanya. Yaitu jika dia berkata: "Istriku tertalak, budakku merdeka, dan hartaku menjadi sedekah insya Allah Ta'ala", maka begitu pula dengan pengecualian (istitsna').

فَصْلٌ

Pasal

وَإِنْ دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ رُجُوعُهُ إِلَى جُمْلَةٍ مِنَ الْجُمَلِ الْمَذْكُورَةِ فِي آيَةِ الْقَذْفِ فَإِنَّ الدَّلِيلَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ الِاسْتِثْنَاءُ فِيهَا إِلَى الْحَدِّ رَجَعَ إِلَى مَا بَقِيَ مِنَ الْجُمَلِ، وَكَذَا أَنْ تَعْقُبَ الِاسْتِثْنَاءَ جُمْلَةٌ وَاحِدَةٌ وَدَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ رُجُوعُهُ إِلَى بَعْضِهَا كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً﴾ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ﴾ ١ فَإِنَّهُ قَدْ دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ لَا يَجُوزُ رُجُوعُهُ إِلَى الصِّغَارِ وَالْمَجَانِينِ رَجَعَ إِلَى مَا بَقِيَ مِنَ الْجُمْلَةِ لِأَنَّ تَرْكَ الظَّاهِرِ فِيمَا قَامَ عَلَيْهِ الدَّلِيلُ لَا يُوجِبُ تَرْكَهُ فِيمَا لَمْ يَقُمْ عَلَيْهِ الدَّلِيلُ.

Dan jika dalil menunjukkan bahwa tidak boleh kembali kepada salah satu kalimat yang disebutkan dalam ayat qadzaf, maka dalil menunjukkan bahwa tidak boleh pengecualian di dalamnya kembali kepada had, kembali kepada kalimat yang tersisa. Demikian pula jika pengecualian diikuti oleh satu kalimat dan dalil menunjukkan bahwa tidak boleh kembali kepada sebagiannya, seperti firman-Nya ﷿: ﴿Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya padahal kamu sudah menentukan maharnya﴾ hingga firman-Nya: ﴿kecuali jika mereka memaafkan﴾ 1, maka dalil telah menunjukkan bahwa pengecualian tidak boleh kembali kepada anak-anak dan orang-orang gila, kembali kepada kalimat yang tersisa, karena meninggalkan zhahir pada apa yang dalil tegakkan tidak mewajibkan meninggalkannya pada apa yang dalil tidak tegakkan.

_________
١ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ٢٣٧.
1 Surat Al-Baqarah ayat: 237.

بَابُ التَّخْصِيصِ فِي الشَّرْطِ

بَابُ التَّخْصِيصِ فِي الشَّرْطِ

Bab Pengkhususan dalam Syarat

وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّرْطَ مَا لَا يَصِحُّ الْمَشْرُوطُ إِلَّا بِهِ وَقَدْ ثَبَتَ ذَلِكَ بِدَلِيلٍ مُنْفَصِلٍ كَاشْتِرَاطِ الْقُدْرَةِ فِي الْعِبَادَاتِ وَاشْتِرَاطِ الطَّهَارَةِ فِي الصَّلَاةِ وَقَدْ دَخَلَ ذَلِكَ فِيمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ تَخْصِيصِ الْعُمُومِ وَقَدْ يَكُونُ مُتَّصِلًا بِالْكَلَامِ وَذَلِكَ قَدْ يَكُونُ بِلَفْظِ الشَّرْطِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا﴾ ٢ وَقَدْ يَكُونُ بِلَفْظِ الْغَايَةِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ﴾ ٣

Ketahuilah bahwa syarat adalah sesuatu yang tidak sah sesuatu yang disyaratkan kecuali dengannya, dan hal itu telah ditetapkan dengan dalil yang terpisah seperti mensyaratkan kemampuan dalam ibadah dan mensyaratkan bersuci dalam shalat. Hal itu telah masuk dalam apa yang kami sebutkan tentang pengkhususan keumuman. Terkadang syarat itu bersambung dengan kalimat, dan itu bisa dengan lafaz syarat seperti firman Allah Ta'ala: "Maka barangsiapa tidak mendapatkan (budak), maka (diwajibkan atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut" hingga firman-Nya: "Maka barangsiapa tidak mampu, maka (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin." (2) Dan terkadang dengan lafaz batasan seperti firman Allah Ta'ala: "Hingga mereka memberikan jizyah dengan patuh." (3)

وَيَجُوزُ تَخْصِيصُ الْحُكْمِ بِالْجَمِيعِ فَيَكُونُ الصِّيَامُ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الرَّقَبَةَ وَالْقَتْلُ فِيمَنْ لَمْ يُؤَدِّ الْجِزْيَةَ.

Boleh mengkhususkan hukum dengan semuanya, maka puasa adalah bagi orang yang tidak mendapatkan budak, dan membunuh adalah bagi orang yang tidak menunaikan jizyah.

فَصْلٌ

Pasal

يَجُوزُ أَنْ يَتَقَدَّمَ الشَّرْطُ فِي اللَّفْظِ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَأَخَّرَ كَمَا يَجُوزُ

Boleh mendahulukan syarat dalam lafaz, dan boleh mengakhirkannya sebagaimana boleh

_________
٢ سُورَةُ الْمُجَادَلَةِ الْآيَةُ: ٤.
2 Surat Al-Mujadilah ayat: 4.
٣ سُورَةُ التَّوْبَةِ الْآيَةُ: ٢٩.
3 Surat At-Taubah ayat: 29.

فِي الِاسْتِثْنَاءِ وَلِهَذَا لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ قَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ وَبَيْنَ قَوْلِهِ إِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ.

Dalam pengecualian, dan karena itu tidak ada perbedaan antara ucapannya "Engkau ditalak jika engkau memasuki rumah" dan ucapannya "Jika engkau memasuki rumah maka engkau ditalak".

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا تَعَقَّبَ الشَّرْطُ جُمَلًا رَجَعَ إِلَى جَمِيعِهَا كَمَا قُلْنَا فِي الِاسْتِثْنَاءِ وَلِهَذَا إِذَا قَالَ امْرَأَتِي طَالِقٌ وَعَبْدِي حُرٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمْ تُطَلَّقْ الْمَرْأَةُ وَلَمْ يُعْتَقْ الْعَبْدُ.

Jika syarat diikuti oleh beberapa kalimat, maka ia kembali kepada semuanya sebagaimana yang telah kami katakan dalam pengecualian. Oleh karena itu, jika ia berkata "Istriku ditalak dan budakku merdeka jika Allah menghendaki", maka istrinya tidak ditalak dan budaknya tidak dimerdekakan.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا دَخَلَ الشَّرْطُ فِي بَعْضِ الْجُمَلِ الْمَذْكُورَةِ دُونَ بَعْضٍ لَمْ يَرْجِعِ الشَّرْطُ إِلَّا إِلَى الْمَذْكُورَةِ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ﴾ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ﴾ ١ فَشَرَطَ الْحَمْلَ فِي الْإِنْفَاقِ دُونَ السُّكْنَى فَيَرْجِعُ الشَّرْطُ إِلَى الْإِنْفَاقِ وَلَا يَرْجِعُ إِلَى السُّكْنَى وَهَكَذَا لَوْ ثَبَتَ الشَّرْطُ بِدَلِيلٍ مُنْفَصِلٍ فِي بَعْضِ الْجُمَلِ لَمْ يَجِبْ إِثْبَاتُهُ فِيمَا عَدَاهُ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ﴾ ٢ فَإِنَّ الدَّلِيلَ قَدْ دَلَّ عَلَى أَنَّ الرَّدَّ فِي الرَّجْعِيَّاتِ فَيَرْجِعُ ذَلِكَ إِلَى الرَّجْعِيَّاتِ وَلَا يُوجِبُ ذَلِكَ تَخْصِيصَ أَوَّلِ الْآيَةِ وَهَكَذَا إِذَا ذَكَرَ جُمَلًا وَعَطَفَ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ لَمْ يَقْتَضِ الْوُجُوبَ فِي الْجَمِيعِ أَوْ يَقْتَضِي الْعُمُومَ فِي الْجَمِيعِ ثُمَّ دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ فِي بَعْضِهَا لَمْ يُرِدِ الْوُجُوبَ أَوْ فِي بَعْضِهَا لَيْسَ عَلَى الْعُمُومِ لَمْ يَجِبْ حَمْلُهُ فِي الْبَاقِي عَلَى غَيْرِ الْوُجُوبِ وَلَا "صَفْحَةٌ ٢٣" عَلَى غَيْرِ الْعُمُومِ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ﴾ ٣ فَأَمَرَ بِالْأَكْلِ وَإِيتَاءِ الْحَقِّ وَالْأَكْلُ لَا يَجِبُ وَالْإِيتَاءُ وَاجِبٌ وَالْأَكْلُ عَامٌّ فِي الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ وَالْإِيتَاءُ خَاصٌّ فِي خَمْسَةِ أَوْسُقٍ، فَمَا قَامَ الدَّلِيلُ عَلَيْهِ خَرَجَ مِنَ اللَّفْظِ وَبَقِيَ الْبَاقِي عَلَى ظَاهِرِهِ.

Jika syarat masuk pada sebagian kalimat yang disebutkan tanpa sebagian yang lain, maka syarat itu hanya kembali kepada yang disebutkan. Contohnya seperti firman Allah Ta'ala: "Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu" hingga firman-Nya: "Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya" (QS. Ath-Thalaq: 6). Maka hamil menjadi syarat dalam pemberian nafkah, bukan dalam tempat tinggal. Syarat itu kembali kepada pemberian nafkah dan tidak kembali kepada tempat tinggal. Demikian pula jika syarat ditetapkan dengan dalil terpisah pada sebagian kalimat, maka tidak wajib menetapkannya pada selain itu, seperti firman Allah ﷿: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" hingga firman-Nya: "Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka" (QS. Al-Baqarah: 228). Dalil telah menunjukkan bahwa kembali itu berlaku pada wanita yang ditalak raj'i, maka itu kembali kepada wanita yang ditalak raj'i dan tidak mengharuskan pengkhususan awal ayat. Demikian pula jika disebutkan beberapa kalimat dan sebagiannya diatafkan kepada sebagian yang lain, maka tidak mengharuskan kewajiban pada semuanya atau mengharuskan keumuman pada semuanya. Kemudian dalil menunjukkan bahwa pada sebagiannya tidak dimaksudkan kewajiban atau pada sebagiannya tidak berlaku keumuman, maka tidak wajib membawanya pada selain kewajiban atau "halaman 23" pada selain keumuman. Contohnya seperti firman Allah Ta'ala: "Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)" (QS. Al-An'am: 141). Allah memerintahkan untuk makan dan menunaikan hak. Makan tidak wajib sedangkan menunaikan hak adalah wajib. Makan berlaku umum pada yang sedikit dan banyak, sedangkan menunaikan hak khusus pada lima wasaq. Apa yang dalil menunjukkan kepadanya, maka ia keluar dari lafaz dan sisanya tetap pada zahirnya.

_________
١ سُورَةُ الطَّلَاقِ الْآيَةُ: ٦.
1 Surah Ath-Thalaq Ayat: 6.
٢ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ٢٢٨.
2 Surah Al-Baqarah Ayat: 228.
٣ سُورَةُ الْأَنْعَامِ الْآيَةُ: ١٤١.
3 Surah Al-An'am Ayat: 141.

فَصْلٌ

Pasal

وَهَكَذَا كُلُّ شَيْئَيْنِ قُرِنَ بَيْنَهُمَا فِي اللَّفْظِ ثُمَّ ثَبَتَ لِأَحَدِهِمَا حُكْمٌ بِالْإِجْمَاعِ لَمْ يَجِبْ أَنْ يَثْبُتَ ذَلِكَ الْحُكْمُ لِلْآخَرِ مِنْ غَيْرِ لَفْظٍ يُوجِبُ التَّسْوِيَةَ بَيْنَهُمَا أَوْ عِلَّةٍ تُوجِبُ الْجَمْعَ بَيْنَهُمَا وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ إِذَا ثَبَتَ لِأَحَدِهِمَا نَفْعُ حُكْمٍ ثَبَتَ لِقَرِينِهِ مِثْلُهُ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْحُكْمَ الَّذِي ثَبَتَ لِأَحَدِهِمَا ثَبَتَ بِدَلِيلٍ يَخُصُّهُ مِنْ لَفْظٍ أَوْ إِجْمَاعٍ وَذَلِكَ غَيْرُ مَوْجُودٍ فِي الْآخَرِ فَلَا تَجِبُ التَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا إِلَّا بِعِلَّةٍ تَتَجَمَّعُ بَيْنَهُمَا.

Demikian pula, setiap dua hal yang digabungkan dalam lafaz kemudian ditetapkan hukum bagi salah satunya berdasarkan ijma', maka tidak wajib menetapkan hukum tersebut bagi yang lainnya tanpa adanya lafaz yang mengharuskan persamaan di antara keduanya atau 'illah yang mengharuskan penggabungan di antara keduanya. Di antara sahabat kami ada yang berpendapat, jika ditetapkan manfaat hukum bagi salah satunya, maka ditetapkan pula yang serupa bagi pasangannya. Ini tidak benar, karena hukum yang ditetapkan bagi salah satunya ditetapkan dengan dalil khusus dari lafaz atau ijma', dan hal itu tidak ada pada yang lainnya. Maka, tidak wajib menyamakan di antara keduanya kecuali dengan 'illah yang menggabungkan di antara keduanya.

بَابُ القَوْلِ فِي المُطْلَقِ وَالمُقَيَّدِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الْمُطْلَقِ وَالْمُقَيَّدِ

Bab Perkataan tentang Mutlak dan Muqayyad

وَاعْلَمْ أَنَّ تَقْيِيدَ الْعَامِّ بِالصِّفَةِ يُوجِبُ التَّخْصِيصَ كَمَا يُوجِبُ الشَّرْطَ وَالِاسْتِثْنَاءَ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى:

Ketahuilah bahwa membatasi yang umum dengan sifat mewajibkan pengkhususan sebagaimana mewajibkan syarat dan pengecualian, contohnya seperti firman Allah Ta'ala:

﴿فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ﴾ ١ فَإِنَّهُ لَوْ أَطْلَقَ الرَّقَبَةَ لَعَمَّ الْمُؤْمِنَةَ وَالْكَافِرَةَ فَلَمَّا قَيَّدَهُ بِالْمُؤْمِنَةِ وَجَبَ التَّخْصِيصُ.

"Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak yang beriman."¹ Seandainya Dia mutlakkan (kata) budak, tentu mencakup yang mukmin dan yang kafir. Maka tatkala Dia membatasinya dengan (sifat) mukmin, wajib pengkhususan.

فَصْلٌ

Pasal

فَإِنْ وَرَدَ الْخِطَابُ مُطْلَقًا لَا مُقَيَّدَ لَهُ حُمِلَ عَلَى إِطْلَاقِهِ وَإِنْ وَرَدَ مُقَيَّدًا لَا مُطْلَقَ لَهُ حُمِلَ عَلَى تَقْيِيدِهِ وَإِنْ وَرَدَ مُطْلَقًا فِي مَوْضِعٍ وَمُقَيَّدًا فِي مَوْضِعٍ آخَرَ نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي حُكْمَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ مِثْلَ أَنْ يُقَيِّدَ الصِّيَامَ بِالتَّتَابُعِ وَيُطْلِقَ الْإِطْعَامَ لَمْ يُحْمَلْ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ بَلْ يُعْتَبَرُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِنَفْسِهِ لِأَنَّهُمَا لَا يَشْتَرِكَانِ فِي لَفْظٍ وَلَا مَعْنًى، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي حُكْمٍ وَاحِدٍ وَسَبَبٍ وَاحِدٍ مِثْلَ أَنْ يَذْكُرَ الرَّقَبَةَ فِي كَفَّارَةِ الْقَتْلِ مُقَيَّدَةً بِالْإِيمَانِ ثُمَّ يُعِيدَهَا فِي الْقَتْلِ مُطْلَقَةً كَانَ الْحُكْمُ لِلْمُقَيَّدِ لِأَنَّ ذَلِكَ حُكْمٌ وَاحِدٌ اسْتَوْفَى بَيَانَهُ فِي أَحَدِ الْمَوْضِعَيْنِ وَلَمْ يَسْتَوْفِ فِي الْمَوْضِعِ الْآخَرِ، وَإِنْ كَانَ فِي حُكْمٍ وَاحِدٍ وَشَيْئَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ نَظَرْتَ فِي الْمُقَيَّدِ فَإِنْ عَارَضَهُ مُقَيَّدٌ آخَرُ لَمْ يُحْمَلْ الْمُطْلَقُ عَلَى وَاحِدٍ مِنَ الْقَيْدَيْنِ وَذَلِكَ مِثْلُ الصَّوْمِ فِي الظِّهَارِ قَيَّدَهُ بِالتَّتَابُعِ وَفِي التَّمَتُّعِ قَيَّدَهُ بِالتَّفْرِيقِ وَأَطْلَقَ فِي كَفَّارَةِ الْيَمِينِ فَلَا يُحْمَلُ الْمُطْلَقُ فِي الْيَمِينِ عَلَى الظِّهَارِ وَلَا عَلَى التَّمَتُّعِ بَلْ

Jika khitab (seruan) datang secara mutlak tanpa batasan, maka ia dibawa kepada kemutlakannya. Jika datang secara terbatas tanpa kemutlakan, maka ia dibawa kepada pembatasannya. Jika datang secara mutlak di satu tempat dan terbatas di tempat lain, maka perhatikanlah. Jika itu terjadi pada dua hukum yang berbeda, seperti membatasi puasa dengan berturut-turut dan memutlakkan memberi makan, maka tidak dibawa salah satunya kepada yang lain, melainkan masing-masing dianggap sendiri-sendiri karena keduanya tidak bersekutu dalam lafaz maupun makna. Jika itu terjadi pada satu hukum dan satu sebab, seperti menyebutkan budak dalam kafarat pembunuhan yang dibatasi dengan iman kemudian mengulanginya dalam pembunuhan secara mutlak, maka hukumnya untuk yang terbatas karena itu adalah satu hukum yang penjelasannya telah sempurna di salah satu tempat dan belum sempurna di tempat lain. Jika itu terjadi pada satu hukum dan dua hal yang berbeda, maka perhatikanlah pada yang terbatas. Jika ia bertentangan dengan batasan lain, maka yang mutlak tidak dibawa kepada salah satu dari dua batasan itu. Contohnya seperti puasa dalam zhihar, ia membatasinya dengan berturut-turut, dan dalam tamattu' ia membatasinya dengan terpisah-pisah, serta memutlakkannya dalam kafarat sumpah. Maka yang mutlak dalam sumpah tidak dibawa kepada zhihar maupun tamattu', melainkan

_________
١ سُورَةُ النِّسَاءِ الْآيَةُ: ٩٢.
1 Surah An-Nisa' Ayat: 92.

يَعْتَبِرُ بِنَفْسِهِ إِذْ لَيْسَ حَمْلُهُ عَلَى أَحَدِهِمَا بِأَوْلَى مِنَ الْحَمْلِ عَلَى الْآخَرِ وَإِنْ لَمْ يُعَارِضِ الْمُقَيَّدَ مُقَيَّدٌ آخَرُ كَالرَّقَبَةِ فِي كَفَّارَةِ الْقَتْلِ وَالرَّقَبَةِ فِي الظِّهَارِ قُيِّدَتْ بِالْإِيمَانِ فِي الْقَتْلِ وَأُطْلِقَتْ فِي الظِّهَارِ حُمِلَ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ، فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يُحْمَلُ مِنْ جِهَةِ اللُّغَةِ لِأَنَّ الْقُرْآنَ مِنْ فَاتِحَتِهِ إِلَى خَاتِمَتِهِ كَالْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِ-١- وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يُحْمَلُ مِنْ جِهَةِ الْقِيَاسِ وَهُوَ الْأَصَحُّ وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ رَحِمَهُ: اللهُ لَا يَجُوزُ حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ لِأَنَّ ذَلِكَ زِيَادَةٌ فِي النَّصِّ وَذَلِكَ نَسْخٌ بِالْقِيَاسِ وَرُبَّمَا قَالَ لِأَنَّهُ حَمْلٌ مَنْصُوصٌ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُحْمَلُ مِنْ جِهَةِ اللُّغَةِ أَنَّ اللَّفْظَ الَّذِي وَرَدَ فِيهِ التَّقْيِيدُ وَهُوَ الْقَتْلُ لَا يَتَنَاوَلُ الْمُطْلَقَ وَهُوَ الظِّهَارُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْكَمَ فِيهِ بِحُكْمِهِ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ كَلَفْظِ الْبُرِّ لَمَّا لَمْ يَتَنَاوَلِ الْأَرُزَّ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُحْكَمَ فِيهِ بِحُكْمِهِ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ فَكَذَلِكَ هَاهُنَا، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ يُحْمَلُ عَلَيْهِ بِالْقِيَاسِ هُوَ أَنَّ حَمْلَ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ تَخْصِيصُ عُمُومٍ بِالْقِيَاسِ فَصَارَ كَتَخْصِيصِ سَائِرِ الْعُمُومَاتِ.

Ia dianggap dengan sendirinya karena membawanya pada salah satunya tidak lebih utama daripada membawanya pada yang lain. Jika muqayyad tidak bertentangan dengan muqayyad lain seperti raqabah dalam kafarat pembunuhan dan raqabah dalam zhihar, maka dibatasi dengan iman dalam pembunuhan dan dimutlakkan dalam zhihar, mutlak dibawa pada muqayyad. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan dibawa dari segi bahasa karena Al-Qur'an dari awal hingga akhir seperti satu kata-1-. Di antara mereka ada yang mengatakan dibawa dari segi qiyas dan ini yang lebih shahih. Sahabat Abu Hanifah rahimahullah berkata: Tidak boleh membawa mutlak pada muqayyad karena itu tambahan dalam nash dan itu nasakh dengan qiyas. Terkadang ia berkata karena itu membawa manshush. Dalil bahwa ia tidak dibawa dari segi bahasa adalah lafazh yang datang padanya taqyid yaitu pembunuhan tidak mencakup mutlak yaitu zhihar, maka tidak boleh dihukumi padanya dengan hukumnya tanpa illat seperti lafazh beras ketika tidak mencakup beras tidak boleh dihukumi padanya dengan hukumnya tanpa illat, maka begitu pula di sini. Dalil bahwa ia dibawa padanya dengan qiyas adalah membawa mutlak pada muqayyad adalah takhshish umum dengan qiyas, maka menjadi seperti takhshish semua umum.

بَابُ القَوْلِ فِي مَفْهُومِ الخِطَابِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي مَفْهُومِ الْخِطَابِ

Bab Perkataan tentang Konsep Khitab

اِعْلَمْ أَنَّ مَفْهُومَ الْخِطَابِ عَلَى أَوْجُهٍ:

Ketahuilah bahwa konsep khitab memiliki beberapa aspek:

أَحَدُهَا فَحْوَى الْخِطَابِ وَهُوَ مَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ مِنْ جِهَةِ التَّنْبِيهِ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ﴾ وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ﴾ ١ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِمَّا يُنَصُّ فِيهِ عَلَى الْأَدْنَى لِيُنَبِّهَ بِهِ عَلَى الْأَعْلَى وَعَلَى الْأَعْلَى لِيُنَبِّهَ بِهِ عَلَى الْأَدْنَى وَهَلْ يُعْلَمُ مَا دَلَّ عَلَيْهِ التَّنْبِيهُ مِنْ جِهَةِ اللُّغَةِ أَوْ مِنْ جِهَةِ الْقِيَاسِ فِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مِنْ جِهَةِ اللُّغَةِ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْمُتَكَلِّمِينَ وَأَهْلِ الظَّاهِرِ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: هُوَ مِنْ جِهَةِ الْقِيَاسِ الْجَلِيِّ وَيُحْكَى ذَلِكَ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ لَفْظَ التَّأْفِيفِ لَا يَتَنَاوَلُ الضَّرْبَ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ بِمَعْنَاهُ وَهُوَ الْأَدْنَى فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ قِيَاسٌ.

Pertama adalah fahwa al-khitab, yaitu apa yang ditunjukkan oleh lafaz dari segi peringatan, seperti firman-Nya ﷿: "Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya 'ah'", dan firman-Nya Ta'ala: "Di antara Ahli Kitab ada yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu" ¹, dan yang serupa dengan itu yang menyebutkan yang lebih rendah untuk mengingatkan yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi untuk mengingatkan yang lebih rendah. Apakah yang ditunjukkan oleh peringatan itu diketahui dari segi bahasa atau dari segi qiyas? Ada dua pendapat: salah satunya bahwa itu dari segi bahasa, dan ini adalah pendapat kebanyakan mutakallimin dan ahli zahir. Di antara mereka ada yang mengatakan: itu dari segi qiyas yang jelas, dan itu diriwayatkan dari Imam Syafi'i, dan itu yang lebih sahih, karena lafaz ta'fif (mengatakan "ah") tidak mencakup pukulan, tetapi menunjukkannya dengan maknanya, yaitu yang lebih rendah, maka menunjukkan bahwa itu adalah qiyas.

فَصْلٌ

Pasal

وَالثَّانِي: لَحْنُ الْخِطَابِ وَهُوَ مَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ مِنَ الضَّمِيرِ الَّذِي لَا يَتِمُّ

Dan yang kedua: makna tersirat dari suatu ungkapan, yaitu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafal dari dhamir yang tidak sempurna

_________
١ سُورَةُ آلِ عِمْرَانَ الْآيَةُ: ٧٥.
1 Surat Ali 'Imran ayat: 75.

الْكَلَامُ إِلَّا بِهِ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ ﷿: ﴿اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ﴾ ١ وَمَعْنَاهُ: فَضَرَبَ فَانْفَجَرَتْ وَمِنْ ذَلِكَ أَيْضًا حَذْفُ الْمُضَافِ وَإِقَامَةُ الْمُضَافِ إِلَيْهِ مَقَامَهُ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ﴾ ٢

Perkataan itu tidak lengkap kecuali dengannya, seperti firman Allah ﷿: ﴿Pukullah batu itu dengan tongkatmu, lalu memancarlah﴾ ١ yang maknanya: lalu dia memukul maka memancarlah. Termasuk juga menghapus mudhaf (kata yang disandarkan) dan menjadikan mudhaf ilaih (kata yang disandari) menempati posisinya, seperti firman-Nya ﷿: ﴿Dan tanyalah penduduk negeri itu﴾ ٢

وَمَعْنَاهُ أَهْلَ الْقَرْيَةِ وَلَا خِلَافَ إِنَّ هَذَا كَالْمَنْطُوقِ بِهِ فِي الْإِفَادَةِ وَالْبَيَانِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُضْمَرَ فِي مِثْلِ هَذَا إِلَّا مَا تَدْعُو الْحَاجَةُ إِلَيْهِ فَإِنِ اسْتَقَلَّ الْكَلَامُ بِإِضْمَارِ وَاحِدٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُضَافَ إِلَيْهِ غَيْرُهُ إِلَّا بِدَلِيلٍ فَإِنْ تَعَارَضَ فِيهِ إِضْمَارَانِ أُضْمِرَ مَا دَلَّ عَلَيْهِ الدَّلِيلُ مِنْهُمَا وَقَدْ حَكَيْنَا فِي مِثْلِ هَذَا الْخِلَافَ عَمَّنْ يَقُولُ أَنَّهُ يُضْمَرُ فِيهِ مَا هُوَ أَعَمُّ فَائِدَةً أَوْ مَوْضِعَ الْخِلَافِ وَبَيَّنَا فَسَادَ ذَلِكَ.

Maknanya adalah penduduk negeri itu. Tidak ada perselisihan bahwa ini seperti yang diucapkan dalam hal faedah dan penjelasan. Tidak boleh mengira-ngirakan pada yang seperti ini kecuali apa yang dibutuhkan. Jika ucapan itu sempurna dengan mengira-ngirakan satu hal, maka tidak boleh menambahkan yang lainnya kecuali dengan dalil. Jika terdapat pertentangan antara dua perkiraan, maka diambil apa yang ditunjukkan oleh dalil di antara keduanya. Kami telah menceritakan perselisihan seperti ini dari orang yang mengatakan bahwa yang diperkirakan adalah yang lebih umum manfaatnya atau tempat perselisihan, dan kami telah menjelaskan rusaknya pendapat tersebut.

فَصْلٌ

Pasal

وَالثَّالِثُ دَلِيلُ الْخِطَابِ وَهُوَ أَنْ يُعَلِّقَ الْحُكْمَ عَلَى إِحْدَى صِفَتَيِ الشَّيْءِ فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا عَدَاهَا بِخِلَافِهِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا﴾ ٣ فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ إِنْ جَاءَ عَدْلٌ لَمْ يَتَبَيَّنْ وَكَقَوْلِهِ ﷺ: "فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ زَكَاةٌ". فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَعْلُوفَةَ لَا زَكَاةَ، فِيهَا وَقَالَ عَامَّةُ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ وَأَكْثَرُ الْمُتَكَلِّمِينَ: لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا عَدَاهُ بِخِلَافِهِ بَلْ حُكْمُ مَا عَدَاهُ مَوْقُوفٌ عَلَى الدَّلِيلِ، وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ بْنُ سُرَيْجٍ: إِنْ كَانَ بِلَفْظِ الشَّرْطِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا﴾ دَلَّ عَلَى أَنَّ مَا عَدَاهُ بِخِلَافِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِلَفْظِ الشَّرْطِ لَمْ يَدُلَّ وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀، وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ الصَّحَابَةَ اخْتَلَفَتْ فِي إِيجَابِ الْغُسْلِ مِنَ الْجِمَاعِ مِنْ غَيْرِ إِنْزَالٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا يَجِبُ وَاحْتَجُّوا بِدَلِيلِ الْخِطَابِ فِي قَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: "الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ" وَأَنَّهُ لَمَّا أَوْجَبَ مِنَ الْمَاءِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ مِنْ غَيْرِ مَاءٍ وَمَنْ أَوْجَبَ ذَكَرَ أَنَّ "الْمَاءَ مِنَ الْمَاءِ" مَنْسُوخٌ فَدَلَّ عَلَى ذَكَرْنَاهُ وَلِأَنَّ تَقْيِيدَ الْحُكْمِ بِالصِّفَةِ يُوجِبُ تَخْصِيصَ الْخِطَابِ فَاقْتَضَى بِإِطْلَاقِهِ النَّفْيَ وَالْإِثْبَاتَ كَالِاسْتِثْنَاءِ.

Dan yang ketiga adalah dalil khithab, yaitu menggantungkan hukum pada salah satu sifat sesuatu, maka menunjukkan bahwa selain sifat tersebut berbeda hukumnya. Seperti firman Allah Ta'ala: "Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti" (QS. Al-Hujurat: 6). Ini menunjukkan bahwa jika yang datang adalah orang adil, maka tidak perlu diperiksa. Dan seperti sabda Nabi ﷺ: "Pada hewan ternak yang digembalakan terdapat zakat". Ini menunjukkan bahwa hewan yang diberi makan tidak ada zakat padanya. Mayoritas sahabat Abu Hanifah ﵀ dan kebanyakan mutakallimin berpendapat: Tidak menunjukkan bahwa selain sifat tersebut berbeda hukumnya, tetapi hukum selain sifat tersebut tergantung pada dalil. Abu Al-Abbas bin Suraij berkata: Jika menggunakan lafaz syarat seperti firman Allah Ta'ala: "Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti", maka menunjukkan bahwa selain sifat tersebut berbeda hukumnya. Jika tidak menggunakan lafaz syarat, maka tidak menunjukkan. Ini adalah pendapat sebagian sahabat Abu Hanifah ﵀. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa para sahabat berbeda pendapat dalam mewajibkan mandi dari jima' tanpa inzal (mengeluarkan mani). Sebagian mereka berkata: Tidak wajib. Mereka berdalil dengan dalil khithab pada sabda Nabi ﷺ: "Air (mandi) karena air (mani)". Ketika beliau mewajibkan karena air (mani), maka menunjukkan bahwa tidak wajib karena selain air (mani). Orang yang mewajibkan menyebutkan bahwa hadits "Air (mandi) karena air (mani)" telah dihapus (mansukh). Ini menunjukkan apa yang kami sebutkan. Juga karena membatasi hukum dengan sifat mengharuskan pengkhususan khithab, maka menuntut dengan kemutlakannya penafian dan penetapan seperti pengecualian.

_________
١ سُورَةُ البَقَرَةِ الآيَةُ: ٦٠.
1 Surah Al-Baqarah Ayat: 60.
٢ سُورَةُ يُوسُفَ جُزْءٌ مِنَ الآيَةِ: ٨٢.
2 Surah Yusuf bagian dari Ayat: 82.
٣ سُورَةُ الحُجُرَاتِ الآيَةُ: ٦.
3 Surah Al-Hujurat Ayat: 6.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا إِذَا عُلِّقَ الْحُكْمُ بِغَايَةٍ فَإِنَّهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا عَدَاهَا بِخِلَافِهَا وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ مَنْ أَنْكَرَ الْقَوْلَ بِدَلِيلِ الْخِطَابِ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يَدُلُّ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَكُونَ حُكْمُ مَا بَعْدَ الْغَايَةِ مُوَافِقًا لِمَا قَبْلَهَا خَرَجَ عَنْ أَنْ يَكُونَ غَايَةً وَهَذَا لَا يَجُوزُ.

Adapun jika hukum dikaitkan dengan suatu batasan (ghayah), maka hal itu menunjukkan bahwa apa yang selain batasan tersebut adalah berbeda hukumnya. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama yang mengingkari istidlal dengan mafhum mukhalafah (dalil al-khithab). Di antara mereka ada yang berpendapat: Hal itu tidak menunjukkan (perbedaan hukum). Dalil atas pendapat kami adalah seandainya boleh hukum setelah batasan (ghayah) itu sama dengan hukum sebelumnya, maka batasan tersebut tidak lagi menjadi batasan (ghayah). Ini tidak diperbolehkan.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا إِذَا عُلِّقَ الْحُكْمُ عَلَى صِفَةٍ بِلَفْظِ إِنَّمَا كَقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ". وَقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ اعْتَقَ". دَلَّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ مَا عَدَاهَا بِخِلَافِهَا وَبِهِ قَالَ كَثِيرٌ مِمَّنْ لَمْ يَقُلْ بِدَلِيلِ الْخِطَابِ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا عَدَاهَا بِخِلَافِهَا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ هَذِهِ اللَّفْظَةَ لَا تُسْتَعْمَلُ إِلَّا لِإِثْبَاتِ الْمَنْطُوقِ بِهِ وَنَفْيِ مَا عَدَاهُ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَقُولَ إِنَّمَا فِي الدَّارِ زَيْدٌ، وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ لَيْسَ فِي الدَّارِ إِلَّا زَيْدٌ وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ إِنَّمَا اللَّهُ وَاحِدٌ وَبَيْنَ أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا وَاحِدٌ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ يَتَضَمَّنُ النَّفْيَ وَالْإِثْبَاتَ.

Adapun jika hukum dikaitkan dengan sifat dengan lafaz innamā seperti sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya". Dan sabdanya ﷺ: "Sesungguhnya wala' (hak perwalian) itu bagi orang yang memerdekakan". Ini juga menunjukkan bahwa apa yang selain itu berbeda dengannya, dan ini dikatakan oleh banyak orang yang tidak mengatakan dengan dalil khithāb. Sebagian mereka berkata: Ini tidak menunjukkan bahwa apa yang selain itu berbeda dengannya, dan ini adalah kesalahan karena lafaz ini tidak digunakan kecuali untuk menetapkan apa yang diucapkan dan menafikan selainnya. Tidakkah Anda melihat bahwa tidak ada perbedaan antara mengatakan "Sesungguhnya di rumah hanya ada Zaid", dan antara mengatakan "Tidak ada di rumah kecuali Zaid", dan antara mengatakan "Sesungguhnya Allah itu Esa" dan antara mengatakan "Tidak ada Tuhan selain Yang Esa", maka ini menunjukkan bahwa ia mencakup penafian dan penetapan.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا عَلَّقَ الْحُكْمَ عَلَى صِفَةٍ فِي جِنْسٍ كَقَوْلِهِ ﷺ: "فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ زَكَاةٌ". دَلَّ ذَلِكَ عَلَى نَفْيِ الزَّكَاةِ عَنْ مَعْلُوفَةِ الْغَنَمِ دُونَ مَا عَدَاهَا، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَدُلُّ عَلَى نَفْيِهَا عَمَّا عَدَاهَا فِي جَمِيعِ الْأَجْنَاسِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الدَّلِيلَ يَقْتَضِي النُّطْقَ فَإِذَا اقْتَضَى النُّطْقُ الْإِيجَابَ فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ وَجَبَ أَنْ يَقْتَضِيَ الدَّلِيلُ نَفْيَهَا عَنْ مَعْلُوفَةِ الْغَنَمِ.

Jika hukum dikaitkan dengan sifat dalam suatu jenis, seperti sabda Nabi ﷺ: "Pada kambing yang digembalakan ada zakat". Ini menunjukkan penafian zakat pada kambing yang diberi makan, bukan yang lainnya. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa ini menunjukkan penafian zakat pada selain kambing yang digembalakan di semua jenis, dan ini adalah kesalahan. Karena dalil menuntut pengucapan, jika pengucapan menuntut kewajiban pada kambing yang digembalakan, maka dalil harus menuntut penafiannya pada kambing yang diberi makan.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا عَلَّقَ الْحُكْمَ عَلَى مُجَرَّدِ الِاسْمِ مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: فِي الْغَنَمِ زَكَاةٌ فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَدُلُّ عَلَى نَفْيِ الزَّكَاةِ عَمَّا عَدَا الْغَنَمِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَدُلُّ كَالصِّفَةِ، وَالْمَذْهَبُ الْأَوَّلُ لِأَنَّهُ قَدْ يُخَصُّ اسْمٌ بِالذِّكْرِ وَهُوَ وَغَيْرُهُ سَوَاءٌ. أَلَا

Adapun jika hukum dikaitkan dengan sekadar nama, seperti mengatakan: Pada kambing ada zakat, maka hal itu tidak menunjukkan penafian zakat pada selain kambing. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa itu menunjukkan seperti sifat, dan pendapat yang pertama adalah mazhab kami. Karena terkadang suatu nama dikhususkan dengan penyebutan, padahal ia dan yang lainnya sama. Ingatlah

تَرَى أَنَّهُمْ يَقُولُونَ: اشْتَرِ غَنَمًا وَإِبِلًا وَبَقَرًا فَيَنُصُّ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا مَعَ إِرَادَةِ جَمِيعِهَا وَلَا يَضُمُّ الصِّفَةَ إِلَى الِاسْمِ وَهِيَ وَغَيْرُهَا سَوَاءٌ، أَلَا تَرَى أَنَّهُمْ لَا يَقُولُونَ اشْتَرِ غَنَمًا سَائِمَةً وَهِيَ وَالْمَعْلُوفَةُ عِنْدَهُمْ سَوَاءٌ فَافْتَرَقَا.

Anda melihat bahwa mereka berkata: Belilah kambing, unta, dan sapi, maka dia menyebutkan setiap satu dari hewan-hewan itu dengan keinginan untuk semuanya, dan dia tidak menggabungkan sifat dengan isim, dan keduanya sama saja. Tidakkah Anda melihat bahwa mereka tidak mengatakan: Belilah kambing yang digembalakan, padahal kambing yang digembalakan dan kambing yang diberi makan sama saja bagi mereka, maka keduanya berbeda.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا أَدَّى الْقَوْلُ بِالدَّلِيلِ إِلَى إِسْقَاطِ الْخِطَابِ سَقَطَ الدَّلِيلُ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ ﷺ: "لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ" فَإِنَّ دَلِيلَهُ يَقْتَضِي جَوَازَ بَيْعِ مَا هُوَ عِنْدَهُ وَإِنْ كَانَ غَائِبًا عَنِ الْعَيْنِ وَإِذَا أَجَزْنَا ذَلِكَ لَزِمَنَا أَلَّا نُجِيزَ بَيْعَ مَا لَيْسَ عِنْدَهُ لِأَنَّ أَحَدًا لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَهُمَا وَإِذَا أَجَزْنَا ذَلِكَ سَقَطَ الْخِطَابُ وَهُوَ قَوْلُهُ ﷺ: "لَا تَبِعْ مَالَ لَيْسَ عِنْدَكَ" فَيَسْقُطُ الدَّلِيلُ وَيَبْقَى الْخِطَابُ لِأَنَّ الدَّلِيلَ فَرْعُ الْخِطَابِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَعْتَرِضَ الْفَرْعُ عَلَى الْأَصْلِ بِالْإِسْقَاطِ.

Jika perkataan dengan dalil mengarah pada pengguguran khitab, maka dalil tersebut gugur, seperti sabda Nabi ﷺ: "Jangan menjual apa yang tidak ada padamu." Karena dalilnya menunjukkan bolehnya menjual apa yang ada padanya meskipun tidak terlihat. Jika kita membolehkan hal itu, maka kita harus tidak membolehkan menjual apa yang tidak ada padanya, karena tidak ada yang membedakan antara keduanya. Jika kita membolehkan hal itu, maka gugurlah khitab, yaitu sabda Nabi ﷺ: "Jangan menjual harta yang tidak ada padamu." Maka gugurlah dalil dan tetaplah khitab, karena dalil adalah cabang dari khitab dan tidak boleh cabang menentang asal dengan pengguguran.

الكَلَامُ فِي المُجْمَلِ وَالمُبَيَّنِ

بَابُ ذِكْرِ وُجُوهِ المُبَيَّنِ

الكَلَامُ فِي المُجْمَلِ وَالمُبَيِّنِ

Pembahasan tentang Mujmal dan Mubayyan

بَابُ ذِكْرِهِ وُجُوهَ المُبَيِّنِ

Bab Penyebutan Aspek-Aspek Mubayyan

فَأَمَّا المُبَيِّنُ: فَهُوَ مَا اسْتَقَلَّ بِنَفْسِهِ فِي الكَشْفِ عَنِ المُرَادِ وَلَا يَفْتَقِرُ فِي مَعْرِفَةِ المُرَادِ إِلَى غَيْرِهِ وَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ: ضَرْبٌ يُفِيدُ بِنُطْقِهِ، وَضَرْبٌ يُفِيدُ بِمَفْهُومِهِ، فَالَّذِي يُفِيدُ بِنُطْقِهِ هُوَ النَّصُّ وَالظَّاهِرُ وَالعُمُومُ، فَالنَّصُّ كُلُّ لَفْظٍ دَلَّ عَلَى الحُكْمِ بِصَرِيحِهِ عَلَى وَجْهٍ لَا احْتِمَالَ فِيهِ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ ﷿: ﴿مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ﴾ ١ وَكَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى﴾ ٢ ﴿وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ﴾ ٣ وَكَقَوْلِهِ ﷺ: "فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ، فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنَ الإِبِلِ فَمَا دُونَهَا الغَنَمُ" وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الأَلْفَاظِ الصَّرِيحَةِ فِي بَيَانِ الأَحْكَامِ.

Adapun Mubayyan: yaitu apa yang berdiri sendiri dalam mengungkap maksud dan tidak membutuhkan selainnya untuk mengetahui maksud tersebut. Hal itu ada dua jenis: jenis yang bermanfaat dengan pengucapannya, dan jenis yang bermanfaat dengan pemahamannya. Yang bermanfaat dengan pengucapannya adalah nash, zhahir, dan umum. Nash adalah setiap lafaz yang menunjukkan hukum dengan jelas tanpa ada kemungkinan lain, seperti firman-Nya ﷿: ﴿Muhammad adalah utusan Allah﴾ (1), firman-Nya Ta'ala: ﴿Dan janganlah kamu mendekati zina﴾ (2), ﴿Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar﴾ (3), dan sabda Nabi ﷺ: "Pada setiap lima ekor (unta), zakatnya seekor kambing. Pada dua puluh empat ekor unta ke bawah, zakatnya kambing", dan lafaz-lafaz lain yang jelas dalam menjelaskan hukum-hukum.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الظَّاهِرُ فَهُوَ كُلُّ لَفْظٍ احْتَمَلَ أَمْرَيْنِ وَفِي أَحَدِهِمَا أَظْهَرُ كَالْأَمْرِ وَالنَّهْيِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الْخِطَابِ الْمَوْضُوعَةِ لِلْمَعَانِي الْمَخْصُوصَةِ الْمُحْتَمِلَةِ لِغَيْرِهَا.

Adapun yang zhahir adalah setiap lafazh yang mengandung dua kemungkinan makna, dan salah satunya lebih jelas, seperti perintah, larangan, dan jenis-jenis khithab lainnya yang ditetapkan untuk makna-makna tertentu yang mungkin memiliki makna lain.

فَصْلٌ

Pasal

وَالْعُمُومُ كُلُّ لَفْظٍ عَمَّ شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ﴾ وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا﴾ وَغَيْرِ

Keumuman adalah setiap lafazh yang mencakup dua hal atau lebih, seperti firman Allah Ta'ala: "Maka bunuhlah orang-orang musyrik", dan firman-Nya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya", dan lainnya

_________
١ سُورَةُ الْفَتْحِ الْآيَةُ: ٢٩.
1 Surat Al-Fath ayat: 29.
٢ سُورَةُ الْإِسْرَاءِ الْآيَةُ: ٣٢.
2 Surat Al-Isra' ayat: 32.
٣ سُورَةُ الْأَنْعَامِ الْآيَةُ: ١٥١.
3 Surat Al-An'am ayat: 151.
٤ سُورَةُ التَّوْبَةِ جُزْءٌ مِنَ الْآيَةِ: ٥.
4 Surat At-Taubah bagian dari ayat: 5.
٥ سُورَةُ الْمَائِدَةِ الْآيَةُ: ٣٨.
5 Surat Al-Maidah ayat: 38.

ذَلِكَ فَهَذِهِ كُلُّهَا مِنَ الْمُبَيَّنِ الَّذِي لَا يَفْتَقِرُ فِي مَعْرِفَةِ الْمُرَادِ إِلَى غَيْرِهِ وَإِنَّمَا يَفْتَقِرُ إِلَى غَيْرِهِ فِي مَعْرِفَةِ مَا لَيْسَ بِمُرَادٍ بِهِ فَيَصِحُّ الِاحْتِجَاجُ بِهَذِهِ الْأَنْوَاعِ. وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ وَعِيسَى بْنُ أَبَانَ الْعُمُومُ إِذَا دَخَلَهُ التَّخْصِيصُ صَارَ مُجْمَلًا لَا يُحْتَجُّ بِظَاهِرِهِ. وَقَالَ أَبُو الْحَسَنِ الْكَرْخِيُّ إِنْ خُصَّ بِدَلِيلٍ مُتَّصِلٍ لَمْ يَصِرْ مُجْمَلًا وَإِنْ خُصَّ بِدَلِيلٍ مُنْفَصِلٍ صَارَ مُجْمَلًا وَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْبَصْرِيُّ إِنْ كَانَ حُكْمُهُ يَفْتَقِرُ إِلَى شُرُوطٍ كَآيَةِ السَّرِقَةِ فَهِيَ مُجْمَلَةٌ لَا يُحْتَجُّ بِهَا إِلَّا بِدَلِيلٍ وَإِنْ لَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى شُرُوطٍ لَمْ يَصِرْ مُجْمَلًا وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّ الْمُجْمَلَ مَا لَا يُعْقَلُ مَعْنَاهُ مِنْ لَفْظِهِ وَيَفْتَقِرُ فِي مَعْرِفَةِ الْمُرَادِ إِلَى غَيْرِهِ وَهَذِهِ الْآيَاتُ يُعْقَلُ مَعْنَاهَا مِنْ لَفْظِهَا وَلَا يَفْتَقِرُ فِي مَعْرِفَةِ الْمُرَادِ بِهَا إِلَى غَيْرِهَا فَهِيَ كَغَيْرِهَا مِنَ الْآيَاتِ.

Oleh karena itu, semua ini termasuk yang jelas yang tidak membutuhkan selainnya untuk mengetahui maksudnya. Hanya saja membutuhkan selainnya untuk mengetahui apa yang tidak dimaksudkan dengannya. Maka sah berhujjah dengan jenis-jenis ini. Abu Tsaur dan Isa bin Aban berkata: "Keumuman jika dimasuki takhshish (pengkhususan) menjadi mujmal, tidak bisa dijadikan hujjah dengan zhahirnya." Abu Al-Hasan Al-Karkhi berkata: "Jika dikhususkan dengan dalil yang muttashil (bersambung), tidak menjadi mujmal. Jika dikhususkan dengan dalil yang munfashil (terpisah), menjadi mujmal." Abu Abdullah Al-Bashri berkata: "Jika hukumnya membutuhkan syarat-syarat seperti ayat pencurian, maka ia mujmal, tidak bisa dijadikan hujjah kecuali dengan dalil. Jika tidak membutuhkan syarat-syarat, tidak menjadi mujmal." Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa mujmal adalah sesuatu yang maknanya tidak bisa dipahami dari lafazhnya dan membutuhkan selainnya untuk mengetahui maksudnya. Sedangkan ayat-ayat ini, maknanya bisa dipahami dari lafazhnya dan tidak membutuhkan selainnya untuk mengetahui maksudnya. Maka ia seperti ayat-ayat lainnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَا يُفِيدُ بِمَفْهُومِهِ فَهُوَ فَحْوَى الْخِطَابِ وَلَحْنُ الْخِطَابِ وَدَلِيلُ الْخِطَابِ وَقَدْ بَيَّنْتُهَا قَبْلَ هَذَا الْبَابِ فَأَغْنَى عَنِ الْإِعَادَةِ

Adapun yang bermanfaat dengan konsepnya adalah fah̩wā al-khiṭāb, lah̩n al-khiṭāb, dan dalīl al-khiṭāb, dan saya telah menjelaskannya sebelum bab ini, sehingga tidak perlu diulang.

بَابُ ذِكْرِ وُجُوهِ المُجْمَلِ

بَابُ ذِكْرِ وُجُوهِ الْمُجْمَلِ

Bab Penyebutan Aspek-Aspek Mujmal

وَأَمَّا الْمُجْمَلُ فَهُوَ مَا لَا يُعْقَلُ مَعْنَاهُ مِنْ لَفْظِهِ وَيَفْتَقِرُ فِي مَعْرِفَةِ الْمُرَادِ إِلَى غَيْرِهِ وَذَلِكَ عَلَى وُجُوهٍ:

Adapun mujmal adalah apa yang maknanya tidak dapat dipahami dari lafaznya dan membutuhkan selain lafaznya untuk mengetahui maksudnya, dan itu dalam beberapa aspek:

مِنْهَا أَنْ يَكُونَ اللَّفْظُ لَمْ يُوضَعْ لِلدَّلَالَةِ عَلَى شَيْءٍ بِعَيْنِهِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ﴾ ١ وَكَقَوْلِهِ ﷺ: "أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا" فَإِنَّ الْحَقَّ مَجْهُولُ الْجِنْسِ وَالْقَدْرِ فَيَفْتَقِرُ إِلَى الْبَيَانِ.

Di antaranya adalah bahwa lafaz tidak ditetapkan untuk menunjukkan sesuatu secara spesifik, seperti firman Allah Ta'ala: "Dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya" (QS. Al-An'am: 141), dan seperti sabda Nabi ﷺ: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaaha illallah. Jika mereka mengucapkannya, maka darah dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya." Maka hak tersebut tidak diketahui jenis dan kadarnya sehingga membutuhkan penjelasan.

فَصْلٌ

Pasal

وَمِنْهَا أَنْ يَكُونَ اللَّفْظُ فِي الْوَضْعِ مُشْتَرَكًا بَيْنَ شَيْئَيْنِ كَالْقُرْءِ يَقَعُ عَلَى الْحَيْضِ وَيَقَعُ عَلَى الطُّهْرِ فَيَفْتَقِرُ إِلَى الْبَيَانِ.

Dan di antaranya adalah bahwa lafaz dalam penggunaannya memiliki makna ganda antara dua hal, seperti al-qur' yang bisa berarti haid dan bisa juga berarti suci, sehingga membutuhkan penjelasan.

_________
١ سُورَةُ الْأَنْعَامِ الْآيَةُ: ١٤١.
1 Surat Al-An'am ayat 141.

فَصْلٌ

Pasal

وَمِنْهَا أَنْ يَكُوْنَ اللَّفْظُ مَوْضُوْعًا لِجُمْلَةٍ مَعْلُوْمَةٍ إِلَّا أَنَّهُ دَخَلَهَا اسْتِثْنَاءٌ مَجْهُوْلٌ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ﴾ ١ فَإِنَّهُ قَدْ صَارَ مُجْمَلًا بِمَا دَخَلَهُ مِنَ الِاسْتِثْنَاءِ وَمِنْ هَذَا الْمَعْنَى الْعُمُوْمُ إِذَا عُلِمَ أَنَّهُ مَخْصُوْصٌ وَلَمْ يُعْلَمْ مَا خُصَّ مِنْهُ فَهَذَا أَيْضًا مُجْمَلٌ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الْعَمَلُ بِهِ قَبْلَ مَعْرِفَةِ مَا خُصَّ مِنْهُ.

Dan di antaranya adalah jika lafaz itu ditetapkan untuk suatu kalimat yang diketahui, hanya saja ia mengandung pengecualian yang tidak diketahui, seperti firman-Nya ﷿: ﴿Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu﴾ ١. Maka sesungguhnya ia telah menjadi mujmal karena adanya pengecualian yang masuk padanya. Dan dari makna ini adalah keumuman jika diketahui bahwa ia dikhususkan tetapi tidak diketahui apa yang dikhususkan darinya, maka ini juga mujmal karena tidak mungkin mengamalkannya sebelum mengetahui apa yang dikhususkan darinya.

فَصْلٌ

Pasal

وَمِنْ ذَلِكَ أَيْضًا أَنْ يَفْعَلَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِعْلًا يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ احْتِمَالًا وَاحِدًا مِثْلَ مَا رُوِيَ أَنَّهُ جَمَعَ فِي السَّفَرِ فَإِنَّهُ مُجْمَلٌ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي سَفَرٍ طَوِيلٍ أَوْ فِي سَفَرٍ قَصِيرٍ فَلَا يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ إِلَّا بِدَلِيلٍ. وَكَذَلِكَ إِذَا قَضَى فِي عَيْنٍ تَحْتَمِلُ حَالَيْنِ احْتِمَالًا وَاحِدًا مِثْلَ أَنْ يُرْوَى أَنَّ الرَّجُلَ أَفْطَرَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ ﷺ بِالْكَفَّارَةِ فَهُوَ مُجْمَلٌ فَإِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَفْطَرَ بِجِمَاعٍ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَفْطَرَ بِأَكْلٍ فَلَا يَجُوزُ حَمْلُهُ عَلَى أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ إِلَّا بِدَلِيلٍ فَهَذِهِ الْوُجُوهُ لَا يَخْتَلِفُ الْمَذْهَبُ فِي إِجْمَالِهَا وَافْتِقَارِهَا إِلَى الْبَيَانِ.

Demikian pula, jika Rasulullah ﷺ melakukan suatu perbuatan yang mengandung dua kemungkinan dengan satu kemungkinan, seperti yang diriwayatkan bahwa beliau menjamak shalat dalam perjalanan, maka hal itu bersifat mujmal (global) karena boleh jadi dalam perjalanan panjang atau dalam perjalanan pendek, sehingga tidak boleh membawanya kepada salah satunya tanpa dalil. Demikian pula jika beliau memutuskan dalam suatu perkara yang mengandung dua kemungkinan dengan satu kemungkinan, seperti diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berbuka puasa lalu Nabi ﷺ memerintahkannya untuk membayar kafarat, maka hal itu bersifat mujmal karena boleh jadi dia berbuka dengan jima' dan boleh jadi dia berbuka dengan makan, sehingga tidak boleh membawanya kepada salah satunya tanpa dalil. Maka wajah-wajah ini tidak ada perbedaan mazhab dalam ke-mujmal-annya dan kebutuhannya kepada penjelasan.

فَصْلٌ

Pasal

وَاخْتَلَفَ الْمَذْهَبُ فِي أَلْفَاظٍ فَمِنْهَا قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا﴾ ٢ وَفِيهِ قَوْلَانِ قَالَ فِي أَحَدِهِمَا هُوَ مُجْمَلٌ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَحَلَّ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا، وَالرِّبَا هُوَ الزِّيَادَةُ وَمَا مِنْ بَيْعٍ إِلَّا وَفِيهِ زِيَادَةٌ وَقَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَافْتَقَرَ إِلَى بَيَانِ مَا يَحِلُّ مِمَّا يَحْرُمُ. وَقَالَ فِي الْقَوْلِ الثَّانِي لَيْسَ بِمُجْمَلٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ الْبَيْعَ مَعْقُولٌ فِي اللُّغَةِ فَحُمِلَ عَلَى الْعُمُومِ إِلَّا فِيمَا خَصَّهُ لِدَلِيلٍ.

Mazhab berbeda pendapat tentang lafaz-lafaz, di antaranya firman Allah Ta'ala: "Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" ٢. Dalam hal ini ada dua pendapat. Dalam salah satunya dikatakan bahwa ayat ini bersifat global (mujmal) karena Allah Ta'ala menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, sedangkan riba adalah tambahan, dan tidak ada jual beli kecuali di dalamnya terdapat tambahan. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, sehingga membutuhkan penjelasan tentang apa yang halal dan apa yang haram. Dalam pendapat kedua dikatakan bahwa ayat ini tidak bersifat global (mujmal), dan ini adalah pendapat yang lebih shahih, karena jual beli dapat dipahami dalam bahasa, sehingga dibawa kepada keumuman kecuali pada apa yang dikhususkan oleh dalil.

_________
١ سُورَةُ الْمَائِدَةِ الْآيَةُ: ١.
١ Surah Al-Maidah ayat: 1.
٢ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ٢٧٥.
٢ Surah Al-Baqarah ayat: 275.

فَصْلٌ

Pasal

وَمِنْهَا الْآيَاتُ الَّتِي ذُكِرَ فِيهَا الْأَسْمَاءُ الشَّرْعِيَّةُ وَهُوَ قَوْلُهُ ﷿: ﴿وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ﴾ ١ وَقَوْلُهُ: ﴿فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾ ٢ وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ﴾ ٣ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: هِيَ عَامَّةٌ غَيْرُ مُجْمَلَةٍ فَتُحْمَلُ الصَّلَاةُ عَلَى كُلِّ دُعَاءٍ وَالصَّوْمُ عَلَى كُلِّ إِمْسَاكٍ وَالْحَجُّ عَلَى كُلِّ قَصْدٍ إِلَّا مَا قَامَ الدَّلِيلُ عَلَيْهِ وَهَذِهِ طَرِيقَةُ مَنْ قَالَ لَيْسَ فِي الْأَسْمَاءِ شَيْءٌ مَنْقُولٌ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: هِيَ مُجْمَلَةٌ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِهَا مَعَانٍ لَا يَدُلُّ اللَّفْظُ عَلَيْهَا فِي اللُّغَةِ وَإِنَّمَا تُعْرَفُ مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ فَافْتَقَرَ إِلَى الْبَيَانِ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ﴾ ٤ وَهَذِهِ طَرِيقَةُ مَنْ قَالَ: إِنَّ هَذِهِ الْأَسْمَاءَ مَنْقُولَةٌ وَهُوَ الْأَصَحُّ.

Dan di antaranya adalah ayat-ayat yang menyebutkan istilah-istilah syar'i, yaitu firman-Nya ﷿: "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat" ¹ dan firman-Nya: "Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa" ² dan firman-Nya Ta'ala: "Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah" ³. Sebagian ulama kami berpendapat: Ayat-ayat tersebut bersifat umum, tidak mujmal, sehingga shalat mencakup setiap doa, puasa mencakup setiap menahan diri, dan haji mencakup setiap tujuan, kecuali yang ada dalil yang menunjukkannya. Ini adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa tidak ada istilah yang dipindahkan maknanya. Sebagian lagi berpendapat: Ayat-ayat tersebut mujmal karena yang dimaksud adalah makna-makna yang tidak ditunjukkan oleh lafaz dalam bahasa, tetapi hanya diketahui dari syariat, sehingga membutuhkan penjelasan, seperti firman-Nya ﷿: "Dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya" ⁴. Ini adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa istilah-istilah ini dipindahkan maknanya, dan ini pendapat yang lebih sahih.

فَصْلٌ

Pasal

وَمِنْهَا الْأَلْفَاظُ الَّتِي عُلِّقَ التَّحْلِيلُ وَالتَّحْرِيمُ فِيهَا عَلَى أَعْيَانٍ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ﴾ ٥ فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إِنَّهَا مُجْمَلَةٌ لِأَنَّ الْعَيْنَ لَا تُوصَفُ بِالتَّحْلِيلِ وَالتَّحْرِيمِ وَإِنَّمَا الَّذِي يُوصَفُ بِذَلِكَ أَفْعَالُنَا وَأَفْعَالُنَا غَيْرُ مَذْكُورَةٍ فَافْتَقَرَ إِلَى بَيَانِ مَا يُحَرَّمُ مِنَ الْأَفْعَالِ مِمَّا لَا يُحَرَّمُ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِمُجْمَلَةٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ التَّحْلِيلَ وَالتَّحْرِيمَ فِي مِثْلِ هَذَا إِذَا أُطْلِقَ عُقِلَ مِنْهَا التَّصَرُّفَاتُ الْمَقْصُودَةُ فِي اللُّغَةِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ إِذَا قَالَ لِغَيْرِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْكَ هَذَا الطَّعَامَ عَقَلَ مِنْهُ تَحْرِيمَ الْأَكْلِ وَمَا عُقِلَ الْمُرَادُ مِنْ لَفْظِهِ لَمْ يَكُنْ مُجْمَلًا.

Dan di antaranya adalah lafaz-lafaz yang dikaitkan dengan kehalalan dan keharaman pada benda-benda seperti firman Allah Ta'ala: "Diharamkan atas kamu bangkai" (QS. Al-Maidah: 3). Sebagian sahabat kami berkata: Sesungguhnya itu adalah mujmal karena benda tidak disifati dengan kehalalan dan keharaman, dan yang disifati dengan itu adalah perbuatan kita, sedangkan perbuatan kita tidak disebutkan, maka membutuhkan penjelasan tentang perbuatan apa yang diharamkan dan apa yang tidak diharamkan. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa itu bukan mujmal, dan ini adalah pendapat yang lebih shahih, karena kehalalan dan keharaman dalam hal seperti ini jika diucapkan, maka dipahami darinya tindakan-tindakan yang dimaksud dalam bahasa. Tidakkah Anda melihat bahwa jika seseorang berkata kepada orang lain, "Aku mengharamkan makanan ini atasmu," maka dipahami darinya pengharaman memakannya, dan apa yang dipahami maksudnya dari lafaznya tidak menjadi mujmal.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ اخْتَلَفُوا فِي الْأَلْفَاظِ الَّتِي تَتَضَمَّنُ نَفْيًا وَإِثْبَاتًا كَقَوْلِهِ ﵌: "إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ" وَقَوْلِهِ ﷺ: "لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ" وَمَا أَشْبَهَهُ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّ ذَلِكَ مُجْمَلٌ لِأَنَّ الَّذِي نَفَاهُ هُوَ

Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang lafaz-lafaz yang mengandung penafian dan penetapan, seperti sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada niat" dan sabdanya ﷺ: "Tidak ada nikah kecuali dengan wali" dan yang serupa dengannya. Di antara mereka ada yang mengatakan: Sesungguhnya itu adalah mujmal karena yang dinafikan adalah

_________
١ سُورَةُ البَقَرَةِ الآيَةُ: ٤٣، وَالآيَةُ: ١١٠.
1 Surah Al-Baqarah Ayat: 43, dan Ayat: 110.
٢ سُورَةُ البَقَرَةِ الآيَةُ: ١٨٥.
2 Surah Al-Baqarah Ayat: 185.
٣ سُورَةُ آلِ عِمْرَانَ الآيَةُ: ٩٧.
3 Surah Ali 'Imran Ayat: 97.
٤ سُورَةُ الأَنْعَامِ الآيَةُ: ١٤١.
4 Surah Al-An'am Ayat: 141.
٥ سُورَةُ المَائِدَةِ الآيَةُ: ٣.
5 Surah Al-Ma'idah Ayat: 3.

الْعَمَلُ وَالنِّكَاحُ وَذَلِكَ مَوْجُودٌ فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِهِ نَفْيُ صِفَةٍ غَيْرِ مَذْكُورَةٍ فَافْتَقَرَ إِلَى بَيَانِ تِلْكَ الصِّفَةِ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَيْسَ بِمُجْمَلٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ صَاحِبَ الشَّرْعِ لَا يَنْفِي وَلَا يُثْبِتُ الْمُشَاهَدَاتِ وَإِنَّمَا يَنْفِي وَيُثْبِتُ الشَّرْعِيَّاتِ فَكَأَنَّهُ قَالَ لَا عَمَلَ فِي الشَّرْعِ إِلَّا بِنِيَّةٍ وَلَا نِكَاحَ فِي الشَّرْعِ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَذَلِكَ مَعْقُولٌ مِنَ اللَّفْظِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُجْمَلًا.

Amal dan nikah itu ada, maka harus ada maksud untuk menafikan sifat yang tidak disebutkan, sehingga membutuhkan penjelasan sifat tersebut. Di antara mereka ada yang mengatakan: itu tidak mujmal dan ini yang lebih shahih, karena pemilik syariat tidak menafikan atau menetapkan hal-hal yang dapat disaksikan, melainkan hanya menafikan dan menetapkan hal-hal yang bersifat syar'i. Seakan-akan beliau bersabda "Tidak ada amal dalam syariat kecuali dengan niat, dan tidak ada nikah dalam syariat kecuali dengan wali", dan itu dapat dipahami dari lafazh tersebut sehingga tidak boleh menjadi mujmal.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ اخْتَلَفُوا فِي قَوْلِهِ ﷺ: "رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ" فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: هُوَ مُجْمَلٌ لِأَنَّ الَّذِي رَفَعَهُ هُوَ الْخَطَأُ وَذَلِكَ مَوْجُودٌ فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِهَا مَعْنًى غَيْرَ مَذْكُورٍ فَافْتَقَرَ إِلَى الْبَيَانِ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ غَيْرُ مُجْمَلٍ هُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّهُ مَعْقُولُ الْمَعْنَى فِي اللُّغَةِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ إِذَا قَالَ لِعَبْدِهِ رَفَعْتُ عَنْكَ جِنَايَتَكَ عُقِلَ مِنْهُ رَفْعُ الْمُؤَاخَذَةِ بِكُلِّ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِنَايَةِ مِنَ التَّبِعَاتِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ مُجْمَلٌ.

Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang sabda Nabi ﷺ: "Umatku dimaafkan dari kesalahan dan kelupaan". Di antara mereka ada yang mengatakan: itu mujmal karena yang diangkat adalah kesalahan dan itu ada, maka harus ada maksud makna lain yang tidak disebutkan sehingga membutuhkan penjelasan. Di antara mereka ada yang mengatakan tidak mujmal dan ini yang lebih shahih, karena maknanya dapat dipahami secara bahasa. Tidakkah kamu perhatikan, jika dia berkata kepada budaknya "Aku angkat darimu jinayahmu", maka dipahami darinya pengangkatan tuntutan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan jinayah tersebut. Ini menunjukkan bahwa hadits tersebut mujmal.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْمُتَشَابِهُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: هُوَ وَالْمُجْمَلُ وَاحِدٌ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: الْمُتَشَابِهُ مَا اسْتَأْثَرَ اللهُ تَعَالَي بِعِلْمِهِ وَمَا لَمْ يُطْلِعْ عَلَيْهِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِهِ. وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: الْمُتَشَابِهُ هُوَ الْقِصَصُ وَالْأَمْثَالُ وَالْحِكَمُ وَالْحَلَالُ وَالْحَرَامُ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: الْمُتَشَابِهُ الْحُرُوفُ الْمَجْمُوعَةُ فِي أَوَائِلِ السُّوَرِ كَـ "الم" وَ"المر" وَغَيْرُ ذَلِكَ وَالصَّحِيحُ هُوَ الْأَوَّلُ لِأَنَّ حَقِيقَةَ الْمُتَشَابِهِ مَا اشْتَبَهَ مَعْنَاهُ وَأَمَّا مَا ذَكَرُوهُ فَلَا يُوصَفُ بِذَلِكَ.

Adapun mutasyabih, para sahabat kami berbeda pendapat tentangnya. Di antara mereka ada yang mengatakan: itu sama dengan mujmal. Di antara mereka ada yang mengatakan: mutasyabih adalah apa yang Allah Ta'ala khususkan ilmu-Nya dan tidak diperlihatkan kepada siapa pun dari makhluk-Nya. Di antara manusia ada yang mengatakan: mutasyabih adalah kisah-kisah, perumpamaan-perumpamaan, hikmah-hikmah, halal dan haram. Di antara mereka ada yang mengatakan: mutasyabih adalah huruf-huruf yang terkumpul di awal surat seperti "Alif Lam Mim" dan "Alif Lam Mim Ra" dan selain itu. Yang benar adalah pendapat pertama karena hakikat mutasyabih adalah apa yang samar maknanya, adapun apa yang mereka sebutkan maka tidak disifati demikian.

بَابُ الكَلَامِ فِي البَيَانِ وَوُجُوهِهِ

بَابُ الكَلَامِ فِي البَيَانِ وَوُجُوهِهِ

Bab tentang pembahasan Al-Bayan dan aspek-aspeknya

اِعْلَمْ أَنَّ البَيَانَ هُوَ الدَّلِيلُ الَّذِي يُتَوَصَّلُ بِصَحِيحِ النَّظَرِ إِلَى مَا هُوَ دَلِيلٌ عَلَيْهِ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: هُوَ إِخْرَاجُ الشَّيْءِ مِنْ حَيِّزِ الأَشْكَالِ إِلَى حَيِّزِ التَّجَلِّي

Ketahuilah bahwa Al-Bayan adalah dalil yang dengannya dapat sampai melalui penalaran yang benar kepada apa yang menjadi petunjuk atasnya. Sebagian sahabat kami berkata: "Al-Bayan adalah mengeluarkan sesuatu dari ranah keraguan menuju ranah kejelasan."

فَصْلٌ

Pasal

وَيَقَعُ الْبَيَانُ بِالْقَوْلِ. وَمَفْهُومِ الْقَوْلِ. وَالْفِعْلِ. وَالْإِقْرَارِ. وَالْإِشَارَةِ. وَالْكِتَابَةِ. وَالْقِيَاسِ. فَأَمَّا الْبَيَانُ بِالْقَوْلِ كَقَوْلِهِ ﷺ: "فِي الرِّقَةِ رُبْعُ الْعُشْرِ" وَقَوْلِهِ ﷺ: "فِي خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ شَاةٌ".

Dan penjelasan itu terjadi dengan perkataan, pemahaman perkataan, perbuatan, pengakuan, isyarat, tulisan, dan qiyas. Adapun penjelasan dengan perkataan seperti sabda Nabi ﷺ: "Pada perak zakatnya seperempat dari sepersepuluh" dan sabdanya ﷺ: "Pada lima ekor unta zakatnya seekor kambing".

وَأَمَّا الْمَفْهُومُ فَقَدْ يَكُونُ تَنْبِيهًا كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ﴾ فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ الضَّرْبَ أَوْلَى بِالْمَنْعِ وَقَدْ يَكُونُ دَلِيلًا كَقَوْلِهِ ﷺ: "فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ زَكَاةٌ" فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي الْمَعْلُوفَةِ.

Adapun pemahaman, terkadang berupa peringatan seperti firman Allah Ta'ala: "Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah'", yang menunjukkan bahwa memukul lebih utama untuk dilarang. Dan terkadang berupa dalil seperti sabda Nabi ﷺ: "Pada hewan ternak kambing yang digembalakan terdapat zakat", yang menunjukkan bahwa tidak ada zakat pada kambing yang diberi makan.

وَأَمَّا بِالْفِعْلِ فَمِثْلُ بَيَانِ مَوَاقِيتِ الصَّلَاةِ وَأَفْعَالِهَا وَالْحَجِّ وَمَنَاسِكِهِ بِفِعْلِهِ ﷺ.

Adapun dengan perbuatan, seperti penjelasan waktu-waktu shalat, tata caranya, haji dan manasiknya melalui perbuatan Nabi ﷺ.

وَأَمَّا الْإِقْرَارُ: فَهُوَ كَمَا رُوِيَ أَنَّهُ رَأَى قَيْسًا يُصَلِّي بَعْدَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ رَكْعَتَا الْفَجْرِ وَلَمْ يُنْكِرْ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ التَّنَفُّلِ بَعْدَ الصُّبْحِ.

Adapun pengakuan: Seperti yang diriwayatkan bahwa beliau melihat Qais shalat dua rakaat setelah Subuh, lalu beliau bertanya kepadanya. Qais menjawab, "(Itu adalah) shalat sunnah Fajar," dan beliau tidak mengingkarinya. Ini menunjukkan bolehnya shalat sunnah setelah Subuh.

وَأَمَّا بِالْإِشَارَةِ فَكَمَا قَالَ ﷺ: "الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا" وَحَبَسَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ.

Adapun dengan isyarat, seperti sabda Nabi ﷺ: "Bulan itu begini dan begini" sambil menahan ibu jarinya pada kali yang ketiga.

وَأَمَّا الكِتَابَةُ فَكَمَا بَيَّنَ فَرَائِضَ الزَّكَاةِ وَغَيْرَهَا مِنَ الأَحْكَامِ فِي كُتُبٍ كَتَبَهَا.

Adapun tentang penulisan, seperti yang dijelaskan tentang kewajiban zakat dan hukum-hukum lainnya dalam kitab-kitab yang ditulisnya.

وَأَمَّا القِيَاسُ فَكَمَا نَصَّ عَلَى أَرْبَعَةِ أَعْيَانٍ فِي الرِّبَا وَدَلَّ القِيَاسُ عَلَى أَنَّ غَيْرَهَا مِنَ المَطْعُومَاتِ مِثْلُهَا.

Adapun tentang qiyas, seperti yang dinyatakan secara tekstual pada empat benda dalam riba, dan qiyas menunjukkan bahwa selain itu dari makanan-makanan seperti itu juga.

بَابُ تَأْخِيرِ البَيَانِ

بَابُ تَأْخِيرِ الْبَيَانِ

Bab Penundaan Penjelasan

وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الِاحْتِفَالُ مِنْ غَيْرِ بَيَانٍ، وَأَمَّا تَأْخِيرُهُ عَنْ وَقْتِ الْخِطَابِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ: أَحَدُهَا: يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَأَبِي سَعِيدٍ الْأَصْطَخْرِيِّ وَأَبِي بَكْرٍ الْقَفَّالِ، وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ

Dan tidak boleh menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan karena tidak mungkin berhati-hati tanpa penjelasan. Adapun penundaannya dari waktu khitab, maka ada tiga pendapat: Pertama, boleh, dan ini adalah pendapat Abu Al-'Abbas, Abu Sa'id Al-Astakhri, dan Abu Bakr Al-Qaffal. Kedua, tidak boleh.

وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الصَّيْرَفِيِّ وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ وَهُوَ قَوْلُ الْمُعْتَزِلَةِ. وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ يَجُوزُ تَأْخِيرُ بَيَانِ الْمُجْمَلِ وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ بَيَانِ الْعُمُومِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْحَسَنِ الْكَرْخِيِّ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: يَجُوزُ ذَلِكَ فِي الْإِخْبَارِ دُونَ الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يَجُوزُ فِي الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ دُونَ الْأَخْبَارِ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَجُوزُ فِي جَمِيعِ مَا ذَكَرْنَاهُ وَلِأَنَّ تَأْخِيرَهَا لَا يُخِلُّ بِالِامْتِثَالِ فَجَازَ كَتَأْخِيرِ بَيَانِ النَّسْخِ.

Dan ini adalah pendapat Abu Bakr al-Shairafi, Abu Ishaq al-Marwazi, dan pendapat Mu'tazilah. Yang ketiga: boleh menunda penjelasan mujmal (global) dan tidak boleh menunda penjelasan umum, ini adalah pendapat Abu al-Hasan al-Karkhi. Sebagian orang berpendapat: boleh menunda penjelasan dalam khabar bukan dalam amar dan nahi, sebagian lagi berpendapat boleh dalam amar dan nahi bukan dalam akhbar. Yang benar boleh dalam semua yang telah kami sebutkan, karena menundanya tidak mengganggu kepatuhan, maka boleh seperti menunda penjelasan nasakh.

الكَلَامُ فِي النَّسْخِ

بَابُ بَيَانِ النَّسْخِ

الكَلَامُ فِي النَّسْخِ

Pembahasan tentang Nasakh

بَابُ بَيَانِ النَّسْخِ

Bab Penjelasan Nasakh

وَالنَّسْخُ فِي اللُّغَةِ يُسْتَعْمَلُ فِي الرَّفْعِ وَالْإِزَالَةِ. يُقَالُ: نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ وَنَسَخَتِ الرِّيَاحُ الْآثَارَ إِذَا إِزَالَتْهَا وَيُسْتَعْمَلُ فِي النَّقْلِ. يُقَالُ: نَسَخْتُ الْكِتَابَ إِذَا نَقَلْتُ مَا فِيهِ وَإِنْ لَمْ تُزِلْ شَيْئًا عَنْ مَوْضِعِهِ. وَأَمَّا فِي الشَّرْعِ عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ فِي اللُّغَةِ وَهُوَ الْإِزَالَةُ فَحَدُّهُ الْخِطَابُ الدَّالُّ عَلَى ارْتِفَاعِ الْحُكْمِ الثَّابِتِ بِالْخِطَابِ الْمُتَقَدِّمِ عَلَى وَجْهٍ لَوْلَاهُ لَكَانَ ثَابِتًا بِهِ مَعَ تَرَاخِيهِ عَنْهُ وَلَا يَلْزَمُ مَا سَقَطَ عَنِ الْإِنْسَانِ بِالْمَوْتِ فَإِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِنَسْخٍ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِخِطَابٍ وَلَا يَلْزَمُ رَفْعُ مَا كَانُوا عَلَيْهِ كَشُرْبِ الْخَمْرِ وَغَيْرِهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بِنَسْخٍ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ بِخِطَابٍ وَلَا يَلْزَمُ مَا أَسْقَطَهُ بِكَلَامٍ مُتَّصِلٍ كَالِاسْتِثْنَاءِ وَالْغَايَةِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ﴾ ١ فَإِنَّهُ لَيْسَ بِنَسْخٍ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَرَاخٍ عَنْهُ. وَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ: هُوَ الْخِطَابُ الدَّالُّ عَلَى أَنَّ مِثْلَ الْحُكْمِ الثَّابِتِ بِالْمَنْسُوخِ غَيْرُ ثَابِتٍ عَلَى وَجْهٍ لَوْلَاهُ لَكَانَ ثَابِتًا بِالنَّصِّ الْأَوَّلِ وَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّهُ إِذَا حُدَّ بِهَذَا لَمْ يَكُنِ النَّاسِخُ مُزِيلًا لِمَا ثَبَتَ بِالْخِطَابِ الْأَوَّلِ، لِأَنَّ مِثْلَ الْحُكْمِ مَا ثَبَتَ بِالْمَنْسُوخِ حَتَّى يُزِيلَهُ بِالنَّاسِخِ وَقَدْ بَيَّنَّا أَنَّ النَّسْخَ فِي اللُّغَةِ هُوَ الْإِزَالَةُ وَالرَّفْعُ.

Naskh dalam bahasa digunakan untuk mengangkat dan menghilangkan. Dikatakan: matahari menghapus bayangan dan angin menghapus jejak jika menghilangkannya, dan digunakan dalam pemindahan. Dikatakan: Aku menyalin buku jika aku memindahkan apa yang ada di dalamnya meskipun aku tidak menghilangkan sesuatu dari tempatnya. Adapun dalam syariat, pada aspek pertama dalam bahasa yaitu penghapusan, maka batasannya adalah khitab yang menunjukkan terangkatnya hukum yang tetap dengan khitab terdahulu dengan cara seandainya tidak ada naskh maka hukum itu tetap dengannya meskipun terjadi penundaan darinya. Tidak wajib apa yang gugur dari manusia karena kematian, karena itu bukanlah naskh karena bukan khitab. Tidak wajib mengangkat apa yang mereka lakukan seperti meminum khamr dan lainnya karena itu bukanlah naskh karena tidak ditetapkan dengan khitab. Tidak wajib apa yang digugurkan dengan perkataan yang bersambung seperti pengecualian dan batasan, seperti firman Allah Ta'ala: "Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam hari" ¹ karena itu bukanlah naskh karena tidak tertunda darinya. Mu'tazilah berkata: Itu adalah khitab yang menunjukkan bahwa seperti hukum yang tetap dengan yang di-naskh tidak tetap dengan cara seandainya tidak ada naskh maka hukum itu tetap dengan nash pertama. Ini batil karena jika dibatasi dengan ini maka yang me-naskh tidak menghilangkan apa yang tetap dengan khitab pertama, karena seperti hukum apa yang tetap dengan yang di-naskh sehingga dihilangkan oleh yang me-naskh. Telah kami jelaskan bahwa naskh dalam bahasa adalah penghapusan dan pengangkatan.

فَصْلٌ

Pasal

وَالنَّسْخُ جَائِزٌ فِي الشَّرْعِ، وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنَ الْيَهُودِ: لَا يَجُوزُ. وَبِهِ قَالَ شِرْذِمَةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ التَّكْلِيفَ فِي قَوْلِ بَعْضِ النَّاسِ إِلَى اللهِ تَعَالَى يَفْعَلُ فِيهِ مَا يَشَاءُ وَعَلَى قَوْلِ بَعْضِهِمُ التَّكْلِيفُ عَلَى سَبِيلِ الْمَصْلَحَةِ فَإِنْ كَانَ إِلَى مَشِيئَتِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَشَاءَ فِي وَقْتٍ تَكْلِيفَ فَرْضٍ وَفِي وَقْتٍ إِسْقَاطَهُ وَإِنْ كَانَ

Nasakh (penghapusan hukum) diperbolehkan dalam syariat, namun sekelompok Yahudi berpendapat bahwa hal itu tidak diperbolehkan. Pendapat ini juga dianut oleh segelintir kaum muslimin, dan ini adalah kesalahan. Sebab menurut sebagian orang, taklif (pembebanan hukum) itu tergantung pada kehendak Allah Ta'ala, Dia berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Sementara menurut sebagian yang lain, taklif itu berdasarkan maslahat. Jika taklif itu tergantung pada kehendak-Nya, maka boleh saja Dia menghendaki pada suatu waktu untuk memberlakukan suatu kewajiban dan menghapuskannya pada waktu yang lain. Jika taklif itu

_________
١ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ١٨٧.
1 Surat Al-Baqarah ayat: 187.

عَلَى وَجْهِ الْمَصْلَحَةِ فَيَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْمَصْلَحَةُ فِي وَقْتٍ فِي أَمْرٍ وَفِي وَقْتٍ آخَرَ فِي غَيْرِهِ فَلَا وَجْهَ لِلْمَنْعِ مِنْهُ.

Dalam hal kemaslahatan, maka boleh jadi kemaslahatan itu pada suatu waktu dalam suatu perkara dan pada waktu yang lain dalam perkara yang lain, maka tidak ada alasan untuk melarangnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْبَدَاءُ فَهُوَ أَنْ يَظْهَرَ لَهُ مَا كَانَ خَفِيًّا عَلَيْهِ مِنْ قَوْلِهِمْ: بَدَا لِي الْفَجْرُ إِذَا ظَهَرَ لَهُ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ فِي الشَّرْعِ. وَقَالَ بَعْضُ الرَّافِضَةِ: يَجُوزُ الْبَدَاءُ عَلَى اللهِ تَعَالَى وَقَالَ مِنْهُمْ زُرَارَةُ بْنُ أَعْيَنَ فِي شِعْرِهِ:

Adapun al-bada' adalah tampak baginya apa yang tersembunyi darinya, dari perkataan mereka: "Fajar telah tampak bagiku" jika telah tampak baginya. Dan hal itu tidak boleh dalam syariat. Sebagian Rafidhah berkata: "Boleh al-bada' atas Allah Ta'ala." Dan di antara mereka, Zurarah bin A'yan berkata dalam syairnya:

وَلَوْلَا الْبَدَا سَمَّيْتُهُ غَيْرَ هَائِبٍ ... وَذَكَرَ الْبَدَا نَعْتٌ لِمَنْ يَتَقَلَّبُ

Seandainya bukan karena al-bada', niscaya aku akan menamainya tanpa rasa takut ... Dan menyebut al-bada' adalah sifat bagi orang yang berubah-ubah

وَلَوْلَا الْبَدَا مَا كَانَ فِيهِ تَصَرُّفٌ ... وَكَانَ كَنَارٍ دَهْرَهَا تَتَلَهَّبُ

Seandainya bukan karena al-bada', niscaya tidak ada perubahan di dalamnya ... Dan ia seperti api yang selamanya menyala

وَكَانَ كَضَوْءٍ مُشْرِقٍ بِطَبِيعَةٍ ... وَبِاللهِ عَنْ ذِكْرِ الطَّبَائِعِ يَرْغَبُ

Dan ia seperti cahaya yang bersinar karena tabiatnya ... Dan kepada Allah, ia berpaling dari menyebut tabiat-tabiat

وَزَعَمَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُ يَجُوزُ عَلَى اللهِ تَعَالَى الْبَدَاءُ فِيمَا لَمْ يُطْلِعْ عَلَيْهِ عِبَادَهُ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُمْ إِنْ أَرَادُوا بِالْبَدَاءِ مَا بَيَّنَّاهُ مِنْ أَنَّهُ يَظْهَرُ لَهُ مَا كَانَ خَفِيًّا عَنْهُ فَهَذَا كُفْرٌ وَتَعَالَى اللهُ ﷿ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيرًا وَإِنْ كَانُوا أَرَادُوا بِهِ تَبْدِيلَ الْعِبَادَاتِ وَالْفُرُوضِ فَهَذَا لَا نُنْكِرُهُ إِلَّا أَنَّهُ لَا يُسَمَّى بَدَاءً لِأَنَّ حَقِيقَةَ الْبَدَاءِ مَا بَيَّنَّا وَلَمْ يَكُنْ لِهَذَا الْقَوْلِ وَجْهٌ.

Dan sebagian dari mereka mengklaim bahwa al-Bada' (perubahan pengetahuan Allah) boleh terjadi pada Allah Ta'ala terhadap apa yang tidak diketahui oleh hamba-hamba-Nya. Ini adalah kesalahan, karena jika yang mereka maksud dengan al-Bada' adalah apa yang telah kami jelaskan, yaitu bahwa menjadi jelas bagi-Nya apa yang sebelumnya tersembunyi dari-Nya, maka ini adalah kekufuran. Maha Suci Allah ﷿ dari hal itu dengan ketinggian yang agung. Jika yang mereka maksud adalah penggantian ibadah dan kewajiban, maka kami tidak mengingkari hal ini, hanya saja itu tidak disebut al-Bada', karena hakikat al-Bada' adalah apa yang telah kami jelaskan, dan pendapat ini tidak memiliki dasar.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا نَسْخُ الْفِعْلِ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِهِ فَيَجُوزُ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِبَدَاءٍ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ ذَلِكَ وَهُوَ قَوْلُ الْمُعْتَزِلَةِ وَزَعَمُوا أَنَّ ذَلِكَ بَدَاءٌ، وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى أَمَرَ إِبْرَاهِيمَ ﵇ بِذَبْحِ ابْنِهِ ثُمَّ نَسَخَهُ قَبْلَ وَقْتِ الْفِعْلِ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِبَدَاءٍ مَا بَيَّنَّاهُ مِنْ أَنَّ الْبَدَاءَ ظُهُورُ مَا كَانَ خَفِيًّا عَنْهُ وَلَيْسَ فِي النَّسْخِ قَبْلَ الْوَقْتِ هَذَا الْمَعْنَى.

Adapun menghapus (me-nasakh) perbuatan sebelum masuk waktunya, maka itu boleh dan itu bukanlah al-Bada'. Sebagian sahabat kami berpendapat: Itu tidak boleh, dan ini adalah pendapat Mu'tazilah. Mereka mengklaim bahwa itu adalah al-Bada'. Dalil atas kebolehan hal itu adalah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan Ibrahim ﵇ untuk menyembelih anaknya, kemudian Dia me-nasakh-nya sebelum waktu perbuatan itu, sehingga ini menunjukkan kebolehannya. Dalil bahwa itu bukanlah al-Bada' adalah apa yang telah kami jelaskan, yaitu al-Bada' adalah tampaknya apa yang sebelumnya tersembunyi dari-Nya, sedangkan dalam nasakh sebelum waktunya tidak terdapat makna ini.

بَابُ بَيَانِ مَا يَجُوزُ نَسْخُهُ مِنَ الأَحْكَامِ وَمَا لَا يَجُوزُ

بَابُ بَيَانِ مَا يَجُوزُ نَسْخُهُ مِنَ الْأَحْكَامِ وَمَا لَا يَجُوزُ

Bab penjelasan tentang hukum-hukum yang boleh di-nasakh dan yang tidak boleh

اِعْلَمْ أَنَّ النَّسْخَ لَا يَجُوزُ إِلَّا فِيمَا يَصِحُّ وُقُوعُهُ عَلَى وَجْهَيْنِ كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْعِبَادَاتِ الشَّرْعِيَّةِ فَأَمَّا مَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ إِلَّا عَلَى وَجْهٍ وَاحِدٍ مِثْلَ التَّوْحِيدِ وَصِفَاتِ الذَّاتِ كَالْعِلْمِ وَالْقُدْرَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَلَا يَجُوزُ فِيهِ النَّسْخُ وَكَذَلِكَ مَا

Ketahuilah bahwa nasakh (penghapusan hukum) tidak diperbolehkan kecuali pada hal-hal yang dapat terjadi dalam dua bentuk, seperti puasa, shalat, dan ibadah-ibadah syar'i. Adapun hal-hal yang tidak mungkin terjadi kecuali dalam satu bentuk saja, seperti tauhid dan sifat-sifat Dzat seperti ilmu, qudrah (kekuasaan), dan lainnya, maka tidak boleh ada nasakh padanya. Demikian pula apa yang

أَخْبَرَ اللهُ ﷿ عَنْهُ مِنْ أَخْبَارِ الْقُرُونِ الْمَاضِيَةِ وَالْأُمَمِ السَّالِفَةِ فَلَا يَجُوزُ فِيهَا النَّسْخُ وَكَذَلِكَ مَا أَخْبَرَ عَنْ وُقُوعِهِ فِي الْمُسْتَقْبَلِ كَخُرُوجِ الدَّجَّالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ لَمْ يَجُزْ فِيهِ النَّسْخُ: وَحُكِيَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الدَّقَّاقِ أَنَّهُ قَالَ: مَا وَرَدَ مِنَ الْأَمْرِ بِصِيغَةِ الْخَبَرِ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ﴾ ١

Allah ﷿ telah memberitahukan tentang berita-berita umat terdahulu dan bangsa-bangsa yang telah lalu, maka tidak boleh di-nasakh (dihapus hukumnya). Demikian pula apa yang diberitakan akan terjadi di masa depan seperti keluarnya Dajjal dan lainnya, tidak boleh di-nasakh. Diriwayatkan dari Abu Bakar Ad-Daqqaq bahwa ia berkata: Apa yang datang berupa perintah dalam bentuk khabar (berita) seperti firman-Nya ﷿: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." ١

يَجُوزُ نَسْخُهُ. وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: يَجُوزُ ﴿وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ﴾ وَإِنْ كَانَ لَفْظُهُ لَفْظَ الْخَبَرِ إِلَّا أَنَّهُ أَمْرٌ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْمُخَالَفَةُ وَلَوْ كَانَ خَبَرًا لَمْ يَصِحَّ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْمُخَالَفَةُ وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّهُ أَمْرٌ جَازَ نَسْخُهُ كَسَائِرِ الْأَوَامِرِ وَالدَّلِيلُ عَلَى الْقَائِلِ الْآخَرِ أَنَّا إِذَا جَوَّزْنَا النَّسْخَ فِي الْخَبَرِ صَارَ أَحَدُ الْخَبَرَيْنِ كَذِبًا وَهَذَا لَا يَجُوزُ.

Boleh di-nasakh. Sebagian orang berkata: Boleh "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)" meskipun lafaznya adalah lafaz khabar (berita), tetapi sebenarnya itu adalah perintah. Tidakkah Anda melihat bahwa boleh terjadi perbedaan di dalamnya? Seandainya itu khabar (berita), tentu tidak sah terjadi perbedaan di dalamnya. Jika telah tetap bahwa itu adalah perintah, maka boleh di-nasakh seperti perintah-perintah lainnya. Dalil bagi pendapat lain adalah jika kita membolehkan nasakh pada khabar (berita), maka salah satu dari dua khabar itu menjadi dusta, dan ini tidak boleh.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ نَسْخُ الْإِجْمَاعِ لِأَنَّ الْإِجْمَاعَ لَا يَكُونُ إِلَّا بَعْدَ مَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَالنَّسْخُ لَا يَجُوزُ بَعْدَ مَوْتِهِ.

Demikian pula, tidak diperbolehkan menghapus ijma' karena ijma' hanya terjadi setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, dan penghapusan tidak diperbolehkan setelah kematiannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ نَسْخُ الْقِيَاسِ لِأَنَّ الْقِيَاسَ تَابِعٌ الْأُصُولَ وَالْأُصُولُ ثَابِتَةٌ فَلَا يَجُوزُ نَسْخُ تَابِعِهَا، فَأَمَّا إِذَا ثَبَتَ الْحُكْمُ فِي عَيْنٍ بِعِلَّةٍ وَقِيسَ عَلَيْهَا غَيْرُهَا ثُمَّ نُسِخَ الْحُكْمُ فِي تِلْكَ الْعَيْنِ بَطَلَ الْحُكْمُ فِي الْفَرْعِ الْمَقِيسِ عَلَيْهِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَبْطُلُ وَهُوَ قَوْلُ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْفَرْعَ تَابِعٌ لِلْأَصْلِ فَإِذَا بَطَلَ الْحُكْمُ فِي الْأَصْلِ بَطَلَ فِي الْفَرْعِ.

Demikian pula, tidak diperbolehkan menghapus qiyas karena qiyas mengikuti ushul dan ushul itu tetap, sehingga tidak boleh menghapus pengikutnya. Adapun jika hukum ditetapkan pada sesuatu dengan suatu 'illah dan yang lainnya diqiyaskan kepadanya, kemudian hukum pada sesuatu itu dihapus, maka batallah hukum pada cabang yang diqiyaskan kepadanya. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan: tidak batal, dan itu adalah pendapat sahabat Abu Hanifah ﵀, dan ini tidak benar karena cabang mengikuti asal, maka jika hukum pada asal batal, maka batal pula pada cabang.

_________
١ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ٢٢٨.
1 Surat Al-Baqarah ayat: 228.

بَابُ بَيَانِ وُجُوهِ النَّسْخِ

بَابُ بَيَانِ وُجُوهِ النَّسْخِ

Bab Penjelasan Aspek-Aspek Nasakh

فَصْلٌ

Pasal

اِعْلَمْ أَنَّ النَّسْخَ يَجُوزُ فِي الرَّسْمِ٢ دُونَ الْحُكْمِ كَآيَةِ الشَّيْخِ وَالشَّيْخَةِ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ فَهَذَا نَسْخُ رَسْمِهِ وَحُكْمُهُ بَاقٍ وَيَجُوزُ فِي الْحُكْمِ دُونَ الرَّسْمِ

Ketahuilah bahwa nasakh diperbolehkan pada rasm٢ tanpa hukum seperti ayat tentang lelaki tua dan perempuan tua jika keduanya berzina maka rajamlah keduanya dengan pasti. Ini adalah penghapusan rasmnya sedangkan hukumnya tetap berlaku. Dan diperbolehkan pada hukum tanpa rasm.

_________
٢ اُنْظُرْ: كِتَابَ الْإِتْقَانِ لِلسُّيُوطِيِّ.
٢ Lihat: Kitab al-Itqan karya as-Suyuthi.

كَالْعِدَّةِ كَانَتْ١ حَوْلًا ثُمَّ نُسِخَتْ بِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَرَسْمُهَا بَاقٍ وَهُوَ قَوْلُهُ: ﴿مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ﴾ ٢ وَيَجُوزُ فِي الرَّسْمِ وَالْحُكْمِ كَتَحْرِيمِ الرَّضَاعِ كَانَ بِعَشْرِ رَضَعَاتٍ وَكَانَ مِمَّا يُتْلَى٣ فَنُسِخَ الرَّسْمُ وَالْحُكْمُ جَمِيعًا وَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ نَسْخُ الْحُكْمِ وَبَقَاءُ التِّلَاوَةِ لِأَنَّهُ يَبْقَى الدَّلِيلُ وَلَا مَدْلُولَ مَعَهُ وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: لَا يَجُوزُ نَسْخُ التِّلَاوَةِ مَعَ بَقَاءِ الْحُكْمِ لِأَنَّ الْحُكْمَ تَابِعٌ التِّلَاوَةِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْتَفِعَ الْأَصْلُ وَيَبْقَى التَّابِعُ وَهَذَا خَطَأٌ٤ لِأَنَّ التِّلَاوَةَ وَالْحُكْمَ فِي الْحَقِيقَةِ حُكْمَانِ فَجَازَ رَفْعُ أَحَدِهِمَا وَتَبْقِيَةُ الْآخَرِ كَمَا تَقُولُ فِي عِبَادَتَيْنِ يَجُوزُ أَنْ تُنْسَخَ إِحْدَاهُمَا وَتُبْقِي الْأُخْرَى.

Seperti 'iddah yang awalnya١ satu tahun kemudian dihapus menjadi empat bulan sepuluh hari, namun tulisannya tetap ada yaitu firman-Nya: ﴿Memberi nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkan (dari rumah)﴾ ٢. Dan diperbolehkan dalam tulisan dan hukum seperti pengharaman menyusui yang awalnya dengan sepuluh kali susuan dan itu termasuk yang dibaca (dalam Al-Qur'an)٣, lalu dihapus tulisan dan hukumnya sekaligus. Sekelompok ulama berpendapat bahwa tidak boleh menghapus hukum dan membiarkan bacaannya, karena dalil tetap ada namun tidak ada yang ditunjukkan bersamanya. Kelompok lain mengatakan: Tidak boleh menghapus bacaan dengan tetap memberlakukan hukumnya, karena hukum mengikuti bacaan, maka tidak boleh mengangkat yang asli dan membiarkan yang mengikuti. Ini adalah kesalahan٤ karena bacaan dan hukum pada hakikatnya adalah dua hukum, maka boleh mengangkat salah satunya dan membiarkan yang lain, seperti yang kamu katakan tentang dua ibadah, boleh menghapus salah satunya dan membiarkan yang lain.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ النَّسْخُ إِلَى غَيْرِ بَدَلٍ كَالْعِدَّةِ نَسْخَ مَا زَادَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا إِلَى غَيْرِ بَدَلٍ وَيَجُوزُ النَّسْخُ إِلَى بَدَلٍ كَنَسْخِ الْقِبْلَةِ مِنْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ إِلَى الْكَعْبَةِ وَيَجُوزُ النَّسْخُ إِلَى أَخَفَّ مِنَ الْمَنْسُوخِ كَنَسْخِ مُصَابَرَةِ الْوَاحِدِ لِلْعَشَرَةِ نَسْخَ إِلَى اثْنَيْنِ وَيَجُوزُ إِلَى مَا هُوَ أَغْلَظُ مِنْهُ كَالصَّوْمِ كَانَ مُخَيَّرًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْفِطْرِ ثُمَّ نُسِخَ إِلَى الِانْحِتَامِ بِقَوْلِهِ ﷿: ﴿فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾ ٥ وَيَجُوزُ النَّسْخُ فِي الْحَظْرِ إِلَى الْإِبَاحَةِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى:

Dan diperbolehkan naskh (penghapusan hukum) tanpa adanya pengganti seperti 'iddah, menghapus kelebihan dari empat bulan sepuluh hari tanpa adanya pengganti. Dan diperbolehkan naskh dengan adanya pengganti seperti pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah. Dan diperbolehkan naskh kepada yang lebih ringan dari yang dihapus seperti menghapus ketentuan satu orang melawan sepuluh menjadi satu lawan dua. Dan diperbolehkan (naskh) kepada yang lebih berat darinya seperti puasa, dahulu diperbolehkan memilih antara berpuasa dan berbuka, kemudian dihapus menjadi wajib berdasarkan firman-Nya ﷿: "Maka barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa." Dan diperbolehkan naskh dalam larangan menjadi kebolehan seperti firman Allah Ta'ala:

﴿لِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ﴾ ٦ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الْمُبَاشَرَةَ. ثُمَّ أُبِيحَ لَهُمْ ذَلِكَ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا لَا يَجُوزُ النَّسْخُ إِلَى مَا هُوَ أَغْلَظُ مِنَ الْمَنْسُوخِ وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الظَّاهِرِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّا قَدْ وَجَدْنَا ذَلِكَ فِي الشَّرْعِ وَهُوَ التَّخْيِيرُ بَيْنَ الصَّوْمِ وَالْفِطْرِ إِلَى انْحِتَامِ الصَّوْمِ وَلِأَنَّهُ إِذَا جَازَ أَنْ يُوجِبَ تَغْلِيظًا لَمْ يَكُنْ فَلِأَنْ يَجُوزَ أَنْ يَنْسَخَ وَاجِبًا بِمَا هُوَ أَغْلَظُ أَوْلَى.

"Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati dirimu sendiri, lalu Dia menerima taubatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka." (QS. Al-Baqarah: 187) Awalnya, bersetubuh diharamkan bagi mereka. Kemudian hal itu dibolehkan bagi mereka. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa tidak boleh menghapus (nasakh) suatu hukum dengan hukum yang lebih berat dari hukum yang dihapus. Ini adalah pendapat Ahluzh Zhahir. Ini adalah kesalahan, karena kami telah menemukan hal itu dalam syariat, yaitu pilihan antara berpuasa dan berbuka hingga diwajibkannya puasa. Karena jika boleh mewajibkan sesuatu yang memberatkan, maka lebih utama boleh menghapus kewajiban dengan sesuatu yang lebih berat.

_________
١ قَوْلُهُ كَالْعِدَّةِ كَانَتْ الخ: ذَهَبَ كَثِيرٌ إِلَى أَنَّ الْآيَتَيْنِ مُحْكَمَتَانِ لَانَسْخَ فِي إِحْدَاهُمَا لِلْأُخْرَى. هَذَا مَارَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ. وَحَكَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ. اهـ. جَمَا الدِّينِ.
1 Perkataannya "Seperti 'iddah itu adalah ..." dan seterusnya: Banyak ulama berpendapat bahwa kedua ayat tersebut adalah muhkamat (jelas maknanya), tidak ada nasakh (penghapusan) pada salah satunya terhadap yang lain. Ini adalah riwayat yang disampaikan oleh Bukhari dalam Shahih-nya. Hal ini juga diceritakan oleh lebih dari satu mufassir. Intaha. Jama Ad-Din.
٢ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ٢٤٠.
2 Surat Al-Baqarah ayat: 240.
٣ انْظُرْ: كِتَابَ الْإِتْقَانِ لِلسُّيُوطِيِّ.
3 Lihat: Kitab Al-Itqan karya As-Suyuthi.
٤ قَوْلُهُ وَهَذَا خَطَأٌ: فِي كِتَابِ الْإِتْقَانِ أَدِلَّةٌ أُخْرَى لِلْقَائِلِينَ فَانْظُرْهُ. اهـ. جَمَالُ الدِّينِ.
4 Perkataannya dan ini adalah kesalahan: Dalam kitab Al-Itqan terdapat dalil-dalil lain bagi mereka yang berpendapat demikian, maka perhatikanlah. Intaha. Jamal Ad-Din.
٥ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ١٨٥.
5 Surah Al-Baqarah ayat: 185.
٦ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ١٨٧.
6 Surah Al-Baqarah ayat: 187.

بَابُ مَا يَجُوزُ بِهِ النَّسْخُ وَمَا لَا يَجُوزُ

بَابُ مَا يَجُوزُ بِهِ النَّسْخُ وَمَا لَا يَجُوزُ

Bab tentang apa yang diperbolehkan untuk me-nasakh dan apa yang tidak diperbolehkan

...

...

بَانَ مَا يَجُوزُ بِهِ النَّسْخُ وَمَا لَا يَجُوزُ

Telah jelas apa yang diperbolehkan untuk me-nasakh dan apa yang tidak diperbolehkan

وَيَجُوزُ نَسْخُ الْكِتَابِ بِالْكِتَابِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا﴾ ١.

Dan diperbolehkan me-nasakh Al-Kitab dengan Al-Kitab berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya." ١

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ يَجُوزُ نَسْخُ السُّنَّةِ بِالسُّنَّةِ كَمَا يَجُوزُ نَسْخُ الْكِتَابِ بِالْكِتَابِ الْآحَادِ بِالْآحَادِ وَالتَّوَاتُرِ بِالتَّوَاتُرِ وَالْآحَادِ بِالتَّوَاتُرِ، فَأَمَّا التَّوَاتُرُ بِالْآحَادِ فَلَا يَجُوزُ لِأَنَّ التَّوَاتُرَ يُوجِبُ الْعِلْمَ فَلَا يَجُوزُ نَسْخُهُ بِمَا يُوجِبُ الظَّنَّ.

Demikian pula diperbolehkan me-nasakh Sunnah dengan Sunnah sebagaimana diperbolehkan me-nasakh Al-Kitab dengan Al-Kitab, khabar ahad dengan khabar ahad, mutawatir dengan mutawatir, dan khabar ahad dengan mutawatir. Adapun me-nasakh mutawatir dengan khabar ahad tidak diperbolehkan karena mutawatir menghasilkan ilmu yakin sehingga tidak boleh di-nasakh dengan sesuatu yang menghasilkan dugaan.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ نَسْخُ الْفِعْلِ بِالْفِعْلِ لِأَنَّهُمَا كَالْقَوْلِ مَعَ الْقَوْلِ وَكَذَلِكَ نَسْخُ الْقَوْلِ بِالْفِعْلِ وَالْفِعْلِ بِالْقَوْلِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ لَا يَجُوزُ نَسْخُ الْقَوْلِ بِالْفِعْلِ وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِهِ أَنَّ الْفِعْلَ كَالْقَوْلِ فِي الْبَيَانِ فَكَمَا يَجُوزُ بِالْقَوْلِ جَازَ بِالْفِعْلِ.

Dan diperbolehkan me-nasakh perbuatan dengan perbuatan karena keduanya seperti perkataan dengan perkataan. Demikian pula me-nasakh perkataan dengan perbuatan dan perbuatan dengan perkataan. Di antara manusia ada yang mengatakan tidak boleh me-nasakh perkataan dengan perbuatan. Dalil kebolehannya adalah bahwa perbuatan seperti perkataan dalam penjelasan, maka sebagaimana diperbolehkan dengan perkataan, diperbolehkan pula dengan perbuatan.

فَصْلٌ

Pasal

أَمَّا نَسْخُ السُّنَّةِ بِالْقُرْآنِ فَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ السُّنَّةَ بَيَانًا لِلْقُرْآنِ فَقَالَ تَعَالَى: ﴿لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ﴾ ٢ فَلَوْ جَوَّزْنَا نَسْخَ السُّنَّةِ بِالْقُرْآنِ لَجَعَلْنَا الْقُرْآنَ بَيَانًا لِلسُّنَّةِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ وَهُوَ الصَّحِيحُ لِأَنَّ الْقُرْآنَ أَقْوَى مِنَ السُّنَّةِ فَإِذَا جَازَ نَسْخُ السُّنَّةِ بِالسُّنَّةِ فَلِأَنْ يَجُوزَ بِالْقُرْآنِ أَوْلَى.

Adapun menghapus sunnah dengan Al-Qur'an, ada dua pendapat: Pertama, tidak boleh karena Allah Ta'ala menjadikan sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur'an, sebagaimana firman-Nya: "Agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka" (An-Nahl: 44). Seandainya kita membolehkan menghapus sunnah dengan Al-Qur'an, maka kita menjadikan Al-Qur'an sebagai penjelas bagi sunnah. Kedua, boleh dan ini pendapat yang benar. Karena Al-Qur'an lebih kuat dari sunnah. Jika boleh menghapus sunnah dengan sunnah, maka menghapusnya dengan Al-Qur'an lebih utama.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا نَسْخُ الْقُرْآنِ بِالسُّنَّةِ: فَلَا يَجُوزُ مِنْ جِهَةِ السَّمْعِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ مِنْ جِهَةِ السَّمْعِ وَلَا مِنْ جِهَةِ الْعَقْلِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ. وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ: يَجُوزُ بِالْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْمُتَكَلِّمِينَ وَحُكِيَ ذَلِكَ عَنْ أَبِي

Adapun menghapus Al-Qur'an dengan sunnah, maka tidak boleh dari segi dalil sam'i (wahyu). Di antara sahabat kami ada yang mengatakan: Tidak boleh dari segi dalil sam'i maupun akal, dan pendapat pertama lebih benar. Pengikut Abu Hanifah berpendapat: Boleh dengan khabar mutawatir, dan ini pendapat mayoritas ahli kalam. Hal itu diriwayatkan dari Abu

_________
١ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ١٠٦.
1 Surat Al-Baqarah ayat 106.
٢ سُورَةُ النَّحْلِ الْآيَةُ: ٤٤.
2 Surat An-Nahl ayat 44.

العَبَّاسُ بْنُ سَرِيجٍ وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ مِنْ جِهَةِ العَقْلِ أَنَّهُ لَيْسَ فِي العَقْلِ مَا يَمْنَعُ جَوَازَهُ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ مِنْ جِهَةِ السَّمْعِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا﴾ وَالسُّنَّةُ لَيْسَتْ مِنْ مِثْلِ القُرْآنِ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يُثَابُ عَلَى تِلَاوَةِ السُّنَّةِ كَمَا يُثَابُ عَلَى تِلَاوَةِ القُرْآنِ وَلَا إِعْجَازَ فِي لَفْظِهِ كَمَا فِي لَفْظِ القُرْآنِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ مِثْلَهُ.

Al-'Abbas bin Sarij dan dalil atas hal itu dari segi akal adalah bahwa tidak ada dalam akal yang mencegah kebolehannya. Dan dalil atas tidak bolehnya dari segi pendengaran adalah firman Allah Ta'ala: "Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya." Dan Sunnah bukanlah seperti Al-Qur'an. Tidakkah kamu perhatikan bahwa tidak ada pahala atas tilawah Sunnah sebagaimana pahala atas tilawah Al-Qur'an, dan tidak ada kemukjizatan pada lafazhnya sebagaimana pada lafazh Al-Qur'an. Maka ini menunjukkan bahwa Sunnah tidak seperti Al-Qur'an.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا النَّسْخُ بِالإِجْمَاعِ فَلَا يَجُوزُ لِأَنَّ الإِجْمَاعَ حَادِثٌ بَعْدَ مَوْتِ النَّبِيِّ ﷺ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْسَخَ مَا يَتَقَرَّرُ فِي شَرْعِهِ وَلَكِنْ يُسْتَدَلُّ بِالإِجْمَاعِ عَلَى النَّسْخِ فَإِنَّ الأُمَّةَ لَا تَجْتَمِعُ عَلَى الخَطَأِ، فَإِذَا رَأَيْنَاهُمْ قَدْ أَجْمَعُوا عَلَى خِلَافِ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ دَلَّنَا ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوخٌ.

Adapun nasakh dengan ijma' maka tidak boleh, karena ijma' terjadi setelah wafatnya Nabi ﷺ. Maka tidak boleh menasakh apa yang telah ditetapkan dalam syariatnya. Akan tetapi ijma' bisa menjadi dalil atas adanya nasakh, karena umat tidak akan bersepakat dalam kesalahan. Maka jika kita melihat mereka telah bersepakat atas sesuatu yang berbeda dengan apa yang datang dalam syariat, maka itu menunjukkan kepada kita bahwa hal itu telah di-nasakh.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ النَّسْخُ بِدَلِيلِ الْخِطَابِ لِأَنَّهُ مَعْنَى النُّطْقِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيحِ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ جَعَلَهُ كَالْقِيَاسِ فَعَلَى هَذَا لَا يَجُوزُ النَّسْخُ بِهِ وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ، وَأَمَّا النَّسْخُ بِفَحْوَى الْخِطَابِ وَهُوَ التَّنْبِيهُ فَلَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ قِيَاسٌ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: النَّسْخُ بِهِ لِأَنَّهُ كَالنُّطْقِ.

Naskh (penghapusan hukum) diperbolehkan dengan dalil khithab karena itu adalah makna dari perkataan menurut mazhab yang shahih. Sebagian sahabat kami menjadikannya seperti qiyas, maka berdasarkan ini naskh tidak diperbolehkan dengannya, dan yang pertama lebih jelas. Adapun naskh dengan fahwa al-khithab yaitu at-tanbih maka tidak diperbolehkan karena itu adalah qiyas. Sebagian sahabat kami mengatakan: naskh dengannya diperbolehkan karena itu seperti perkataan.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا يَجُوزُ النَّسْخُ بِالْقِيَاسِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَجُوزُ بِالْجَلِيِّ مِنْهُ دُونَ الْخَفِيِّ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: يَجُوزُ بِكُلِّ دَلِيلٍ يَقَعُ بِهِ الْبَيَانُ وَالتَّخْصِيصُ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْقِيَاسَ إِنَّمَا يَصِحُّ إِذَا لَمْ يُعَارِضْهُ نَصٌّ فَإِذَا كَانَ هُنَاكَ نَصٌّ يُخَالِفُ الْقِيَاسَ لَمْ يَكُنْ لِلْقِيَاسِ حُكْمٌ فَلَا يَجُوزُ النَّسْخُ بِهِ.

Naskh tidak diperbolehkan dengan qiyas. Sebagian sahabat kami mengatakan: Diperbolehkan dengan qiyas yang jelas, bukan yang samar. Sebagian orang mengatakan: Diperbolehkan dengan setiap dalil yang dengannya terjadi penjelasan dan pengkhususan. Ini adalah kesalahan, karena qiyas hanya sah jika tidak bertentangan dengan nash. Jika ada nash yang menyelisihi qiyas, maka qiyas tidak memiliki hukum, sehingga naskh tidak diperbolehkan dengannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا يَجُوزُ النَّسْخُ بِأَدِلَّةِ الْعَقْلِ لِأَنَّ دَلِيلَ الْعَقْلِ ضَرْبَانِ: ضَرْبٌ لَا يَجُوزُ أَنْ يَرِدَ الشَّرْعُ بِخِلَافِهِ فَلَا يُتَصَوَّرُ نَسْخُ الشَّرْعِ بِهِ، وَضَرْبٌ يَجُوزُ أَنْ يَرِدَ الشَّرْعُ بِخِلَافِهِ

Naskh tidak diperbolehkan dengan dalil-dalil akal, karena dalil akal ada dua macam: Macam yang tidak mungkin syariat datang menyelisihinya, maka tidak terbayangkan naskh syariat dengannya. Dan macam yang mungkin syariat datang menyelisihinya.

وَهُوَ الْبَقَاءُ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ وَذَلِكَ إِنَّمَا يُوجِبُ الْعَمَلَ بِهِ عِنْدَ عَدَمِ الشَّرْعِ فَإِذَا وُجِدَ الشَّرْعُ بَطَلَتْ دَلَالَتُهُ فَلَا يَجُوزُ النَّسْخُ بِهِ.

Dan itu adalah tetap pada hukum asal, dan itu hanya mewajibkan beramal dengannya ketika tidak ada syariat. Maka jika ditemukan syariat, batallah petunjuknya, maka tidak boleh menasakh dengannya.

بَابُ مَا يُعْرَفُ بِهِ النَّاسِخُ مِنَ المَنْسُوخِ

بَابُ مَا يُعْرَفُ بِهِ النَّاسِخُ مِنَ الْمَنْسُوخِ

Bab tentang cara mengetahui nasikh dan mansukh

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّسْخَ قَدْ يُعْلَمُ بِصَرِيحِ النَّطْقِ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ﴾ ١ وَقَدْ يُعْلَمُ بِالْإِجْمَاعِ وَهُوَ أَنْ تَجْمَعَ الْأُمَّةُ عَلَى خِلَافِ مَا وَرَدَ مِنَ الْخَبَرِ فَيُسْتَدَلُّ بِذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوخٌ لِأَنَّ الْأُمَّةَ لَا تَجْتَمِعُ عَلَى الْخَطَأِ، وَقَدْ يُعْلَمُ بِتَأْخِيرِ أَحَدِ اللَّفْظَيْنِ عَنِ الْآخَرِ مَعَ التَّعَارُضِ وَذَلِكَ مِثْلُ مَا رُوِيَ أَنَّهُ قَالَ: "الثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ" ثُمَّ رُوِيَ أَنَّهُ رَجَمَ مَاعِزًا وَلَمْ يَجْلِدْهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْجَلْدَ مَنْسُوخٌ.

Ketahuilah bahwa nasakh dapat diketahui melalui pernyataan eksplisit seperti firman Allah: "Sekarang Allah telah meringankan kamu" (QS. 8:66). Nasakh juga dapat diketahui melalui ijma', yaitu ketika umat bersepakat atas sesuatu yang bertentangan dengan khabar, sehingga hal itu menunjukkan bahwa khabar tersebut telah dihapus, karena umat tidak akan bersepakat dalam kesalahan. Nasakh juga dapat diketahui dengan mendahulukan salah satu dari dua lafaz yang saling bertentangan, seperti riwayat bahwa Nabi bersabda: "Pezina muhshan didera seratus kali dan dirajam", kemudian diriwayatkan bahwa beliau merajam Ma'iz tanpa menderanya, sehingga menunjukkan bahwa hukum dera telah dihapus.

فَصْلٌ

Pasal

وَيُعْلَمُ التَّأْخِيرُ فِي الْأَخْبَارِ بِالنَّطْقِ كَقَوْلِهِ ﷺ: "كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا" وَيُعْلَمُ بِأَخْبَارِ الصَّحَابَةِ أَنَّ هَذَا نَزَلَ بَعْدَ هَذَا وَوَرَدَ هَذَا بَعْدَ هَذَا، كَمَا رُوِيَ أَنَّهُ كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ. فَأَمَّا إِذَا كَانَ رَاوِي أَحَدِ الْخَبَرَيْنِ أَقْدَمَ صُحْبَةً وَالْآخَرُ أَحْدَثَ صُحْبَةً كَابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ لَمْ يَجُزْ نَسْخُ خَبَرِ الْأَقْدَمِ بِخَبَرِ الْأَحْدَثِ، لِأَنَّهُمَا عَاشَا إِلَى أَنْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْأَقْدَمُ سَمِعَ مَا رَوَاهُ بَعْدَ سَمَاعِ الْأَحْدَثِ، وَلِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْأَحْدَثُ أَرْسَلَهُ عَمَّنْ قَدَّمَتْ صُحْبَتُهُ وَلَا تَكُونُ رِوَايَتُهُ مُتَأَخِّرَةً عَنْ رِوَايَةِ الْأَقْدَمِ فَلَا يَجُوزُ النَّسْخُ مَعَ الِاحْتِمَالِ. وَأَمَّا إِذَا كَانَ رَاوِي أَحَدِ الْخَبَرَيْنِ أَسْلَمَ بَعْدَ مَوْتِ الْآخَرِ أَوْ بَعْدَ قِصَّتِهِ مِثْلَ مَا رَوَى طَلْقُ بْنُ عَلِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ سُئِلَ عَنْ مَسِّ الذَّكَرِ وَهُوَ يَبْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ فَلَمْ يُوجِبْ مِنْهُ الْوُضُوءَ وَرَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ إِيجَابَ الْوُضُوءِ وَهُوَ أَسْلَمَ عَامَ حُنَيْنٍ بَعْدَ بِنَاءِ الْمَسْجِدِ، فَيَحْتَمِلُ أَنْ يَنْسَخَ حَدِيثَ طَلْقٍ بِحَدِيثِهِ لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ مَا رَوَاهُ إِلَّا بَعْدَ

Dan diketahui penundaan dalam berita-berita dengan perkataan seperti sabda Nabi ﷺ: "Aku telah melarang kalian dari ziarah kubur, maka ziarahlah" dan diketahui dari berita-berita sahabat bahwa ini turun setelah ini dan ini datang setelah ini, sebagaimana diriwayatkan bahwa itu adalah perkara terakhir dari Rasulullah ﷺ: meninggalkan wudhu dari apa yang disentuh api. Adapun jika perawi salah satu dari dua khabar lebih dahulu persahabatannya dan yang lain lebih baru persahabatannya seperti Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, maka tidak boleh menasakh khabar yang lebih dahulu dengan khabar yang lebih baru, karena keduanya hidup hingga Rasulullah ﷺ wafat, maka boleh jadi yang lebih dahulu mendengar apa yang diriwayatkannya setelah yang lebih baru mendengar, dan karena boleh jadi yang lebih baru meriwayatkannya dari orang yang lebih dahulu persahabatannya dan riwayatnya tidak terlambat dari riwayat yang lebih dahulu, maka tidak boleh nasakh dengan adanya kemungkinan. Adapun jika perawi salah satu dari dua khabar masuk Islam setelah wafatnya yang lain atau setelah kisahnya seperti apa yang diriwayatkan Thalq bin Ali bahwa Nabi ﷺ ditanya tentang menyentuh kemaluan dan beliau sedang membangun masjid Madinah, maka beliau tidak mewajibkan wudhu darinya, dan Abu Hurairah meriwayatkan kewajiban wudhu dan dia masuk Islam pada tahun Hunain setelah pembangunan masjid, maka mungkin hadits Thalq dinasakh dengan haditsnya karena yang zhahir bahwa dia tidak mendengar apa yang diriwayatkannya kecuali setelah

_________
١ سُورَةُ الْأَنْفَالِ الْآيَةُ: ٦٦.
1 Surah Al-Anfal Ayat: 66.

هَذِهِ الْقِصَّةُ فَنَسْخُهُ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ لَا يُنْسَخَ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدْ سَمِعَهُ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ وَأَرْسَلَهُ عَمَّنْ قَدَّمَ إِسْلَامَهُ.

Kisah ini dinasakh, dan ada kemungkinan tidak dinasakh karena boleh jadi dia telah mendengarnya sebelum masuk Islam dan meriwayatkannya dari orang yang lebih dahulu masuk Islam.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا قَالَ الصَّحَابِيُّ هَذِهِ الْآيَةُ مَنْسُوخَةٌ أَوْ هَذَا الْخَبَرُ مَنْسُوخٌ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ حَتَّى يُبَيِّنَ النَّاسِخَ فَيُنْظَرَ فِيهِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: يُنْسَخُ بِخَبَرِهِ وَيُقَلَّدُ فِيهِ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنْ ذَكَرَ النَّاسِخَ لَمْ يُقَلَّدْ بَلْ يُنْظَرُ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يَذْكُرِ النَّاسِخَ نُسِخَ وَقُلِّدَ فِيهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ هُوَ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَدِ اعْتَقَدَ النَّسْخَ بِطَرِيقٍ لَا يُوجِبُ النَّسْخَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُتْرَكَ الْحُكْمُ الثَّابِتُ مِنْ غَيْرِ نَظَرٍ وَبِاللهِ التَّوْفِيقُ.

Adapun jika seorang sahabat mengatakan ayat ini mansukh atau khabar ini mansukh, maka tidak diterima darinya hingga ia menjelaskan nasikh-nya lalu dipertimbangkan. Di antara manusia ada yang mengatakan: dinasakh dengan khabarnya dan ditaklid padanya. Di antara mereka ada yang mengatakan: jika ia menyebutkan nasikh maka tidak ditaklid, tetapi dipertimbangkan, dan jika ia tidak menyebutkan nasikh maka dinasakh dan ditaklid padanya. Dalil bahwa hal itu tidak diterima adalah bahwa boleh jadi ia meyakini nasakh dengan cara yang tidak mewajibkan nasakh, dan tidak boleh meninggalkan hukum yang tetap tanpa pertimbangan, dan kepada Allah-lah kita memohon pertolongan.

بَابُ الكَلَامِ فِي نَسْخِ بَعْضِ العِبَادَةِ وَالزِّيَادَةِ فِيهَا

بَابُ الكَلَامِ فِي نَسْخِ بَعْضِ العِبَادَةِ وَالزِّيَادَةِ فِيهَا

Bab tentang pembahasan mengenai penghapusan sebagian ibadah dan penambahan di dalamnya

إِذَا نُسِخَ شَيْئًا يَتَعَلَّقُ بِالعِبَادَةِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ نَسْخًا لِلْعِبَادَةِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: إِنَّ ذَلِكَ نَسْخٌ لِلْعِبَادَةِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: إِنْ كَانَ ذَلِكَ بَعْضًا مِنَ العِبَادَةِ كَالرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ مِنَ الصَّلَاةِ كَانَ ذَلِكَ نَسْخًا لَهَا، وَإِنْ كَانَ شَيْئًا مُنْفَصِلًا مِنْهَا كَالطَّهَارَةِ لَمْ يَكُنْ نَسْخًا لَهَا، وَقَالَ بَعْضُ المُتَكَلِّمِينَ: إِنْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا لَا تُجْزِئُ العِبَادَةُ قَبْلَ النَّسْخِ بِهِ إِلَّا بِهِ كَانَ نَسْخًا لَهَا سَوَاءٌ كَانَ جُزْأً مِنْهَا أَوْ مُنْفَصِلًا عَنْهَا، وَإِنْ كَانَ مِمَّا تُجْزِئُ العِبَادَةُ قَبْلَ النَّسْخِ مَعَ عَدَمِهِ كَالوُقُوفِ عَلَى يَمِينِ الإِمَامِ وَدُعَاءِ التَّوَجُّهِ وَمَا أَشْبَهَهُ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ نَسْخًا لَهَا، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِنَسْخٍ. أَنَّ البَاقِيَ مِنَ الجُمْلَةِ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ لَمْ يَزَلْ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ مَنْسُوخًا كَمَا لَوْ أَمَرَ بِصَوْمٍ وَصَلَاةٍ ثُمَّ نَسَخَ أَحَدَهُمَا.

Jika sesuatu yang berkaitan dengan ibadah dihapus, maka itu bukanlah penghapusan ibadah. Sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah penghapusan ibadah. Sebagian lagi mengatakan jika itu adalah bagian dari ibadah seperti rukuk dan sujud dalam shalat, maka itu adalah penghapusannya. Jika itu adalah sesuatu yang terpisah darinya seperti bersuci, maka itu bukanlah penghapusannya. Sebagian ahli kalam mengatakan jika itu adalah sesuatu yang ibadah tidak sah sebelum penghapusan kecuali dengannya, maka itu adalah penghapusannya, baik itu bagian darinya atau terpisah darinya. Jika itu adalah sesuatu yang ibadah sah sebelum penghapusan tanpanya, seperti berdiri di sebelah kanan imam, doa tawajjuh dan sejenisnya, maka itu bukanlah penghapusannya. Dalil bahwa itu bukanlah penghapusan adalah bahwa yang tersisa dari keseluruhan tetap seperti semula, sehingga tidak boleh dijadikan mansukh, seperti jika diperintahkan puasa dan shalat kemudian salah satunya dihapus.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا زَادَ فِي الْعِبَادَةِ شَيْئًا لَمْ يَكُنْ ذَٰلِكَ نَسْخًا وَقَالَ أَهْلُ الْعِرَاقِ إِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ تُوجِبُ تَعْيِينَ الْحُكْمِ الْمَزِيدِ عَلَيْهِ كَإِيجَابِ النِّيَّةِ فِي الْوُضُوءِ، وَالتَّغْرِيبِ فِي الْحَدِّ كَانَ نَسْخًا وَإِنْ كَانَ ذَٰلِكَ فِي نَصِّ الْقُرْآنِ لَمْ يَجُزْ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ وَالْقِيَاسِ. وَقَالَ بَعْضُ الْمُتَكَلِّمِينَ: إِنْ كَانَتِ الزِّيَادَةُ شَرْطًا فِي الْمَزِيدِ كَزِيَادَةِ

Namun, jika ada penambahan dalam ibadah, itu tidak dianggap sebagai naskh (penghapusan hukum). Ulama Irak berpendapat bahwa jika penambahan itu mewajibkan penentuan hukum yang ditambahkan, seperti mewajibkan niat dalam wudhu dan pengasingan dalam had, maka itu adalah naskh. Jika itu terdapat dalam nash Al-Qur'an, maka tidak boleh dengan khabar ahad dan qiyas. Sebagian mutakallimin berpendapat: Jika penambahan itu merupakan syarat dalam yang ditambahkan, seperti penambahan

رَكْعَةُ الصَّلَاةِ كَانَتْ نَسْخًا وَإِنْ لَمْ تَكُنْ شَرْطًا فِي الْمَزِيدِ لَمْ تَكُنْ نَسْخًا، وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّ النَّسْخَ هُوَ الرَّفْعُ وَالْإِزَالَةُ، وَهَذَا لَمْ ذَلِكَ نَسْخًا.

Rakaat shalat adalah naskh (penghapusan hukum) meskipun bukan syarat dalam tambahan, maka tidak menjadi naskh. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa naskh adalah pengangkatan dan penghapusan, dan ini bukanlah naskh.

بَابُ القَوْلِ فِي شَرْعِ مَنْ قَبْلَنَا وَمَا ثَبَتَ فِي الشَّرْعِ وَلَمْ يَتَّصِلْ بِالأُمَّةِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي شَرْعِ مَنْ قَبْلَنَا وَمَا ثَبَتَ فِي الشَّرْعِ وَلَمْ يَتَّصِلْ بِالْأُمَّةِ

Bab tentang pendapat mengenai syariat umat sebelum kita dan apa yang tetap dalam syariat namun tidak sampai kepada umat ini

اِخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي شَرْعِ مَنْ قَبْلَنَا عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَيْسَ بِشَرْعٍ لَنَا. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: هُوَ شَرْعٌ لَنَا إِلَّا مَا ثَبَتَ نَسْخُهُ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: شَرْعُ إِبْرَاهِيمَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ وَحْدَهُ شَرْعٌ لَنَا دُونَ غَيْرِهِ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: شَرْعُ مُوسَى شَرْعٌ لَنَا إِلَّا مَا نُسِخَ بِشَرِيعَةِ عِيسَى صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: شَرِيعَةُ عِيسَى ﷺ شَرْعٌ لَنَا دُونَ غَيْرِهِ.

Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai syariat umat sebelum kita dalam tiga pendapat: Di antara mereka ada yang mengatakan: Itu bukan syariat bagi kita. Di antara mereka ada yang mengatakan: Itu adalah syariat bagi kita kecuali apa yang telah ditetapkan penghapusannya. Di antara mereka ada yang mengatakan: Hanya syariat Ibrahim ﷺ saja yang menjadi syariat bagi kita, bukan yang lainnya. Di antara mereka ada yang mengatakan: Syariat Musa adalah syariat bagi kita kecuali apa yang telah dihapus oleh syariat Isa ﷺ. Dan di antara mereka ada yang mengatakan: Syariat Isa ﷺ adalah syariat bagi kita, bukan yang lainnya.

وَقَالَ الشَّيْخُ الإِمَامُ ﵀ وَنُورُ ضَرِيحِهِ: وَالَّذِي نَصَرْتُ فِي التَّبْصِرَةِ أَنَّ الْجَمِيعَ شُرِعَ لَنَا إِلَّا مَا ثَبَتَ نَسْخُهُ وَالَّذِي يَصِحُّ الْآنَ عِنْدِي أَنَّ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ لَيْسَ بِشَرْعٍ لَنَا، وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَمْ يَرْجِعْ فِي شَيْءٍ مِنَ الْأَحْكَامِ وَلَا أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ إِلَى شَيْءٍ مِنْ كُتُبِهِمْ وَلَا إِلَى خَبَرٍ مِنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ شَرْعًا لَنَا لَبَحَثُوا عَنْهُ وَرَجَعُوا إِلَيْهِ وَلَمَّا لَمْ يَفْعَلُوا ذَلِكَ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى مَا قُلْنَاهُ.

Dan Syaikh Imam ﵀ dan cahaya kuburnya berkata: Apa yang saya dukung dalam At-Tabshirah adalah bahwa semuanya disyariatkan bagi kita kecuali apa yang terbukti dinasakh. Dan yang benar sekarang menurut saya adalah bahwa tidak ada satu pun dari itu yang merupakan syariat bagi kita. Dalilnya adalah bahwa Rasulullah ﷺ tidak merujuk pada sesuatu pun dari hukum-hukum, dan tidak pula seorang pun dari para sahabat merujuk pada sesuatu pun dari kitab-kitab mereka atau pada kabar dari orang yang masuk Islam di antara mereka. Seandainya itu merupakan syariat bagi kita, niscaya mereka akan mencarinya dan merujuk kepadanya. Ketika mereka tidak melakukan itu, itu menunjukkan apa yang telah kami katakan.

فَصْلٌ

Pasal

مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ أَوْ نَزَلَ بِهِ الْوَحْيُ عَلَى الرَّسُولِ ﷺ وَلَمْ يَتَّصِلْ بِالْأُمَّةِ مِنْ حُكْمٍ مُبْتَدَأٍ أَوْ نَسْخِ أَمْرٍ كَانُوا عَلَيْهِ فَهَلْ يَثْبُتُ ذَلِكَ مِنْ حَقِّ الْأُمَّةِ فِيهِ وَجْهَانِ. مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: إِنَّهُ يَثْبُتُ فِي حَقِّ الْأُمَّةِ فَإِنْ كَانَتْ فِي عِبَادَةٍ وَجَبَ الْقَضَاءُ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يَجِبُ الْقَضَاءُ وَهُوَ الصَّحِيحُ لِأَنَّ الْقِبْلَةَ قَدْ حُوِّلَتْ إِلَى الْكَعْبَةِ وَأَهْلُ قُبَاءٍ يُصَلُّونَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَأُخْبِرُوا بِذَلِكَ وَهُمْ فِي الصَّلَاةِ، فَاسْتَدَارُوا وَلَمْ يُؤْمَرُوا بِالْإِعَادَةِ فَلَوْ كَانَ قَدْ ثَبَتَ فِي حَقِّهِمْ ذَلِكَ لَأُمِرُوا بِالْقَضَاءِ.

Apa yang ditetapkan oleh syariat atau diturunkan oleh wahyu kepada Rasulullah ﷺ dan tidak sampai kepada umat dari hukum yang baru atau penghapusan perintah yang mereka lakukan, apakah hal itu berlaku bagi umat? Ada dua pendapat. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan: Itu berlaku bagi umat, jika itu dalam ibadah maka wajib mengqadha. Dan di antara mereka ada yang mengatakan: Tidak wajib mengqadha, dan ini yang benar. Karena kiblat telah diubah ke Ka'bah dan penduduk Quba sedang shalat menghadap Baitul Maqdis, lalu mereka diberitahu tentang hal itu ketika mereka sedang shalat, maka mereka berpaling dan tidak diperintahkan untuk mengulangi. Seandainya hal itu berlaku bagi mereka, tentu mereka akan diperintahkan untuk mengqadha.

بَابُ القَوْلِ فِي حُرُوفِ المَعَانِي

بَابُ الْقَوْلِ فِي حُرُوفِ الْمَعَانِي

Bab Pembahasan tentang Huruf-Huruf Makna

وَاعْلَمْ أَنَّ الْكَلَامَ فِي هَذَا الْبَابِ كَلَامٌ فِي بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ النَّحْوِ غَيْرَ أَنَّهُ لَمَّا كَثُرَ احْتِيَاجُ الْفُقَهَاءِ إِلَيْهِ ذَكَرَهَا الْأُصُولِيُّونَ وَأَنَا أُشِيرُ إِلَى مَا يَكْثُرُ مِنْ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى فَمِنْ ذَلِكَ.

Ketahuilah bahwa pembahasan dalam bab ini adalah pembahasan dalam salah satu bab nahwu. Namun, karena para ahli fikih sangat membutuhkannya, para ahli ushul menyebutkannya. Saya akan mengisyaratkan apa yang banyak dari itu insya Allah Ta'ala, di antaranya:

مِنْ: ذَلِكَ مِنْ وَيَدْخُلُ ذَلِكَ فِي الِاسْتِفْهَامِ وَالشَّرْطِ وَالْجَزَاءِ وَالْخَبَرِ. وَتَقُولُ فِي الِاسْتِفْهَامِ مَنْ عِنْدَكَ وَمَنْ جَاءَكَ وَتَقُولُ فِي الشَّرْطِ وَالْجَزَاءِ مَنْ جَاءَنِي أَكْرَمْتُهُ وَمَنْ عَصَانِي عَاقَبْتُهُ وَتَقُولُ فِي الْخَبَرِ جَاءَنِي مَنْ أُحِبُّهُ وَيَخْتَصُّ بِذَلِكَ مَنْ يَعْقِلُ دُونَ مَنْ لَا يَعْقِلُ.

Min: Termasuk min, dan itu masuk dalam istifham (pertanyaan), syarat, jaza' (balasan), dan khabar (berita). Dalam istifham, kamu mengatakan, "Man 'indaka" (Siapa yang ada di sisimu?) dan "Man ja'aka" (Siapa yang datang kepadamu?). Dalam syarat dan jaza', kamu mengatakan, "Man ja'ani akramtuhu" (Siapa yang datang kepadaku, aku memuliakannya) dan "Man 'ashani 'aqabtuhu" (Siapa yang membangkangku, aku menghukumnya). Dalam khabar, kamu mengatakan, "Ja'ani man uhibbuhu" (Telah datang kepadaku orang yang aku cintai). Itu khusus untuk yang berakal, bukan yang tidak berakal.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَيُّ: تَدْخُلُ فِي الِاسْتِفْهَامِ وَالشَّرْطِ وَالْجَزَاءِ وَالْخَبَرِ تَقُولُ فِي الِاسْتِفْهَامِ أَيُّ شَيْءٍ تُحِبُّهُ وَأَيُّ شَيْءٍ عِنْدَكَ، وَفِي الشَّرْطِ وَالْجَزَاءِ تَقُولُ أَيُّ رَجُلٍ جَاءَنِي أَكْرَمْتُهُ، وَفِي الْخَبَرِ أَيُّهُمْ قَامَ ضَرَبْتُهُ وَيُسْتَعْمَلُ ذَلِكَ فِيمَنْ يَعْقِلُ وَفِيمَا لَا يَعْقِلُ.

Ayyu: Masuk dalam istifham, syarat, jaza', dan khabar. Dalam istifham, kamu mengatakan, "Ayyu syai'in tuhibbuhu" (Apa yang kamu sukai?) dan "Ayyu syai'in 'indaka" (Apa yang ada di sisimu?). Dalam syarat dan jaza', kamu mengatakan, "Ayyu rajulin ja'ani akramtuhu" (Laki-laki mana yang datang kepadaku, aku memuliakannya). Dalam khabar, "Ayyuhum qama darabtuhu" (Siapa pun di antara mereka yang berdiri, aku memukulnya). Itu digunakan untuk yang berakal dan yang tidak berakal.

فَصْلٌ

Pasal

مَا: تَدْخُلُ لِلنَّفْيِ وَالتَّعَجُّبِ وَالِاسْتِفْهَامِ تَقُولُ فِي النَّفْيِ: مَا رَأَيْتُ زَيْدًا وَفِي التَّعَجُّبِ تَقُولُ: مَا أَحْسَنَ زَيْدًا. وَفِي الِاسْتِفْهَامِ: مَا عِنْدَكَ وَيَدْخُلُ فِي الِاسْتِفْهَامِ عَمَّا لَا يُعْقَلُ وَقَدْ قِيلَ: أَنَّهُ يَدْخُلُ أَيْضًا لِمَا يُعْقَلُ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا﴾ ١.

Mā: masuk untuk menafikan, mengagumi, dan bertanya. Anda mengatakan dalam penafian: Saya tidak melihat Zaid. Dalam kekaguman, Anda mengatakan: Betapa baiknya Zaid. Dan dalam pertanyaan: Apa yang Anda miliki? Dan itu masuk dalam pertanyaan tentang apa yang tidak berakal. Dan telah dikatakan: Itu juga masuk untuk apa yang berakal, seperti firman-Nya Ta'ala: "Demi langit dan apa yang membangunnya." 1.

فَصْلٌ

Pasal

وَمِنْ: تَدْخُلُ لِابْتِدَاءِ الْغَايَةِ وَالتَّبْعِيضِ وَالصِّلَةِ تَقُولُ فِي ابْتِدَاءِ الْغَايَةِ سِرْتُ مِنَ الْبَصْرَةِ وَوَرَدَ الْكِتَابُ مِنْ فُلَانٍ وَفِي التَّبْعِيضِ تَقُولُ: خُذْ مِنْ هَذِهِ

Dan min: masuk untuk permulaan tujuan, sebagian, dan hubungan. Anda mengatakan pada permulaan tujuan: Saya bepergian dari Basrah dan surat itu datang dari si Fulan. Dan dalam sebagian, Anda mengatakan: Ambillah dari ini

_________
١ سُورَةُ الشَّمْسِ الْآيَةُ: ٥.
1 Surah Asy-Syams ayat: 5.

الدَّرَاهِمُ وَأَخَذْتُ مِنْ عِلْمِ فُلَانٍ وَفِي الصِّلَةِ تَقُولُ مَا جَاءَنِي مِنْ أَحَدٍ، وَمَا بِالرَّبْعِ مِنْ أَحَدٍ.

Dirham dan saya mengambil dari ilmu si fulan, dan dalam ungkapan kamu berkata, "Tidak ada seorang pun yang datang kepadaku," dan "Tidak ada seorang pun di tempat ini."

وَإِلَى: تَدْخُلُ لِانْتِهَاءِ الْغَايَةِ كَقَوْلِكَ رَكِبْتُ إِلَى زَيْدٍ وَقَدْ تُسْتَعْمَلُ بِمَعْنَى مَعَ إِلَّا أَنَّهُ لَا تُحْمَلُ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا بِدَلِيلٍ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ﴾ وَالْمُرَادُ بِهِ مَعَ الْمَرَافِقِ. وَزَعَمَ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ يُسْتَعْمَلُ فِي مَعْنَى مَعَ عَلَى سَبِيلِ الْحَقِيقَةِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ لَا خِلَافَ أَنَّهُ لَوْ قَالَ لِفُلَانٍ عَلَيَّ مِنْ دِرْهَمٍ إِلَى عَشَرَةٍ لَمْ يَلْزَمْهُ الدِّرْهَمُ الْعَاشِرُ وَكَذَلِكَ إِذَا قَالَ لِامْرَأَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ مِنْ وَاحِدٍ إِلَى ثَلَاثٍ لَمْ تَقَعْ الطَّلْقَةُ الثَّالِثَةُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لِلْغَايَةِ.

Dan "ila": digunakan untuk menunjukkan batas akhir seperti dalam perkataan Anda "Saya berkendara hingga Zaid", dan terkadang digunakan dengan makna "bersama" kecuali jika ada dalil yang menunjukkan hal tersebut, seperti firman Allah: "dan tangan-tangan kalian sampai ke siku-siku", yang dimaksud adalah bersama siku-siku. Sekelompok pengikut Abu Hanifah mengklaim bahwa kata tersebut digunakan dalam arti "bersama" secara hakiki, namun ini keliru karena tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika seseorang berkata kepada si fulan, "Saya berhutang dari satu dirham hingga sepuluh", maka dia tidak wajib membayar dirham kesepuluh. Demikian pula, jika dia berkata kepada istrinya, "Kamu ditalak dari satu hingga tiga", maka talak ketiga tidak jatuh, yang menunjukkan bahwa kata tersebut untuk menunjukkan batas akhir.

فَصْلٌ

Pasal

وَالْوَاوُ: لِلْجَمْعِ وَالتَّشْرِيكِ فِي الْعَطْفِ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: هِيَ لِلتَّرْتِيبِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ لِلتَّرْتِيبِ لَمَا جَازَ أَنْ يُسْتَعْمَلَ فِيهِ لَفْظُ الْمُقَارَنَةِ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ جَاءَنِي زَيْدٌ وَعَمْرٌو مَعًا كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: جَاءَنِي زَيْدٌ ثُمَّ عَمْرٌو مَعًا، وَتَدْخُلُ بِمَعْنَى رُبَّ فِي ابْتِدَاءِ الْكَلَامِ كَقَوْلِهِ:

Dan waw: untuk menggabungkan dan mengikutsertakan dalam 'athaf. Sebagian sahabat kami berkata: ia untuk mengurutkan dan ini adalah kesalahan karena jika ia untuk mengurutkan maka tidak boleh digunakan padanya lafadz muqaranah yaitu engkau mengatakan "Zaid dan Amr datang kepadaku bersama-sama" sebagaimana tidak boleh dikatakan: "Zaid kemudian Amr datang kepadaku bersama-sama", dan ia masuk dengan makna rubba di awal kalimat seperti perkataannya:

وَمَهْمَهٍ مُغْبَرَّةٍ أَرْجَاؤُهُ

Dan padang pasir yang berdebu sekelilingnya

أَيْ: وَرُبَّ مَهْمَهٍ، وَفِي الْقَسَمِ تَقُومُ مَقَامَ الْبَاءِ تَقُولُ وَاللَّهِ بِمَعْنَى بِاللَّهِ.

Yakni: dan betapa banyak padang pasir, dan dalam sumpah ia menempati posisi ba', engkau mengatakan "demi Allah" dengan makna "dengan nama Allah".

فَصْلٌ

Pasal

وَالْفَاءُ: لِلتَّعْقِيبِ وَالتَّرْتِيبِ تَقُولُ: جَاءَنِي زَيْدٌ فَعَمْرٌو وَمَعْنَاهُ جَاءَنِي عَمْرٌو عَقِيبَ زَيْدٍ، وَإِذَا دَخَلْتَ السُّوقَ فَاشْتَرِ كَذَا يَقْتَضِي ذَلِكَ عَقِيبَ الدُّخُولِ.

Dan fa': untuk mengiringi dan mengurutkan, engkau mengatakan: "Zaid datang kepadaku lalu Amr" dan maknanya Amr datang kepadaku setelah Zaid, dan jika engkau memasuki pasar maka belilah ini, itu menuntut setelah masuk.

فَصْلٌ

Pasal

وَثُمَّ: لِلتَّرْتِيبِ مَعَ الْمُهْلَةِ وَالتَّرَاخِي وَتَقُولُ جَاءَنِي زَيْدٌ ثُمَّ عَمْرٌو وَيَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ بَعْدَهُ بِفَصْلٍ.

Dan tsumma: untuk mengurutkan disertai jeda dan penundaan, dan engkau mengatakan "Zaid datang kepadaku kemudian Amr" dan itu menuntut bahwa ia terjadi setelahnya dengan jeda.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمْ: لِلِاسْتِفْهَامِ تَقُولُ: أَكَلْتَ أَمْ لَا وَتَدْخُلُ بِمَعْنَى أَوْ تَقُولُ: سَوَاءٌ أَحْسَنْتَ أَمْ لَمْ تُحْسِنْ.

Dan am: untuk pertanyaan, engkau mengatakan: "Apakah engkau makan atau tidak" dan ia masuk dengan makna aw, engkau mengatakan: "Sama saja apakah engkau berbuat baik atau tidak berbuat baik".

فَصْلٌ

Pasal

وَأَوْ: تَدْخُلُ فِي الشَّكِّ لِلْخَبَرِ تَقُولُ كَلَّمَنِي زَيْدٌ أَوْ عَمْرٌو، وَتَدْخُلُ فِي التَّخْيِيرِ فِي الْأَمْرِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى:

Dan 'atau': masuk dalam keraguan untuk khabar, kamu berkata Zaid atau Amr berbicara kepada saya, dan masuk dalam pilihan dalam perintah seperti firman Allah Ta'ala:

﴿إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ﴾ ١ وَقَالَ بَعْضُهُمْ: فِي النَّهْيِ تَدْخُلُ لِلْجَمْعِ وَالْأَوَّلُ هُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ النَّهْيَ أَمْرٌ بِالتَّرْكِ كَالْأَمْرِ أَمْرٌ بِالْفِعْلِ فَإِذَا لَمْ يَقْتَضِ الْجَمْعَ فِي الْأَمْرِ لَمْ يَقْتَضِ فِي النَّهْيِ.

"Memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan tengah yang kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka" ¹ Dan sebagian mereka berkata: dalam larangan masuk untuk mengumpulkan dan yang pertama adalah yang paling benar karena larangan adalah perintah untuk meninggalkan seperti perintah adalah perintah untuk melakukan, maka jika tidak mengharuskan mengumpulkan dalam perintah maka tidak mengharuskan dalam larangan.

فَصْلٌ

Pasal

وَالْبَاءُ: تَدْخُلُ لِلْإِلْصَاقِ كَقَوْلِكَ: مَرَرْتُ بِزَيْدٍ وَكَتَبْتُ بِالْقَلَمِ وَتَدْخُلُ لِلتَّبْعِيضِ كَقَوْلِكَ مَسَحْتُ بِالرَّأْسِ. وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀: لَا تَدْخُلُ لِلتَّبْعِيضِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُمْ أَجْمَعُوا عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ قَوْلِهِ أَخَذْتُ قَمِيصَهُ وَبَيْنَ قَوْلِهِ أَخَذْتُ بِقَمِيصِهِ فَعَقَلُوا مِنَ الْأَوَّلِ أَخْذَ جَمِيعِهِ وَمِنَ الثَّانِي الْأَخْذَ بِبَعْضِهِ فَدَلَّ عَلَى مَا قُلْنَاهُ.

Dan 'ba': masuk untuk melekatkan seperti perkataanmu: Saya melewati Zaid dan saya menulis dengan pena, dan masuk untuk sebagian seperti perkataanmu saya mengusap kepala. Dan para sahabat Abu Hanifah ﵀ berkata: Tidak masuk untuk sebagian dan ini tidak benar karena mereka sepakat atas perbedaan antara perkataannya saya mengambil bajunya dan antara perkataannya saya mengambil dengan bajunya, maka mereka memahami dari yang pertama mengambil semuanya dan dari yang kedua mengambil sebagiannya, maka menunjukkan apa yang kami katakan.

فَصْلٌ

Pasal

وَاللَّامُ: تَقْتَضِي التَّمْلِيكَ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀: تَقْتَضِي الِاخْتِصَاصَ دُونَ الْمِلْكِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ لَا خِلَافَ أَنَّهُ لَوْ قَالَ هَذِهِ الدَّارُ لِزَيْدٍ اقْتَضَى أَنَّهَا مِلْكُهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ مُقْتَضَاهُ، وَتَدْخُلُ أَيْضًا لِلتَّعْلِيلِ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ﴾ ٢ وَتَدْخُلُ لِلْغَايَةِ فِيهِ وَالصَّيْرُورَةِ كَقَوْلِهِ ﷿: ﴿فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا﴾ ٣.

Dan lam: menunjukkan kepemilikan. Sebagian sahabat Abu Hanifah ﵀ berkata: menunjukkan kekhususan tanpa kepemilikan. Ini tidak benar karena tidak ada perselisihan bahwa jika seseorang berkata "rumah ini milik Zaid", itu menunjukkan bahwa rumah itu adalah miliknya. Ini menunjukkan bahwa itulah yang dimaksudkan. Lam juga bisa masuk untuk alasan seperti firman-Nya ﷿: "Agar tidak ada hujjah bagi manusia atas Allah setelah para rasul" ٢. Dan masuk untuk tujuan dan menjadi seperti firman-Nya ﷿: "Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun agar ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka" ٣.

فَصْلٌ

Pasal

وَعَلَى: لِلْإِيجَابِ كَقَوْلِهِ لِفُلَانٍ عَلَيَّ كَذَا وَمَعْنَاهُ وَاجِبٌ.

Dan 'ala: untuk mewajibkan, seperti perkataan seseorang "Fulan memiliki hak atas saya sekian", maknanya adalah wajib.

_________
١ سُورَةُ الْمَائِدَةِ الْآيَةُ: ٨٩.
١ Surah Al-Maidah ayat: 89.
٢ سُورَةُ النِّسَاءِ الْآيَةُ: ١٦٥.
٢ Surah An-Nisa' ayat: 165.
٣ سُورَةُ الْقَصَصِ الْآيَةُ: ٨.
٣ Surah Al-Qasas ayat: 8.

فَصْلٌ

Pasal

وَفِي: لِلظَّرْفِ تَقُولُ عَلَى تَمْرٍ فِي جِرَابٍ وَمَعْنَاهُ أَنَّ ذَلِكَ فِيهِ.

Dan "fī": untuk keterangan, Anda mengatakan "'alā tamrin fī jirābin" yang berarti bahwa itu ada di dalamnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَمَتَى: ظَرْفُ زَمَانٍ تَقُولُ مَتَى رَأَيْتَهُ.

Dan "matā": keterangan waktu, Anda mengatakan "matā ra'aytahu".

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذْ، وَإِذَا: ظَرْفٌ لِلزَّمَانِ إِلَّا أَنَّ إِذْ لِمَا مَضَى تَقُولُ: أَنْتَ طَالِقٌ إِذْ دَخَلْتَ الدَّارَ مَعْنَاهُ فِي الْمَاضِي، وَإِذَا لِلْمُسْتَقْبَلِ تَقُولُ: أَنْتَ طَالِقٌ إِذَا دَخَلْتَ الدَّارَ وَمَعْنَاهُ فِي الْمُسْتَقْبَلِ.

Dan "idz", dan "idzā": keterangan waktu, hanya saja "idz" untuk masa lalu, Anda mengatakan: "anta ṭāliqun idz dakhalta ad-dāra" yang berarti di masa lalu, dan "idzā" untuk masa depan, Anda mengatakan: "anta ṭāliqun idzā dakhalta ad-dāra" yang berarti di masa depan.

فَصْلٌ

Pasal

وَحَتَّى: لِلْغَايَةِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ﴾ ١ وَتَدْخُلُ لِلْعَطْفِ كَالْوَاوِ إِلَّا أَنَّهُ لَا يُعْطَفُ بِهِ إِلَّا عَلَى وَجْهِ التَّعْظِيمِ وَالتَّحْقِيرِ تَقُولُ فِي التَّعْظِيمِ جَاءَنِي النَّاسُ حَتَّى السُّلْطَانُ وَتَقُولُ فِي التَّحْقِيرِ كَلَّمَنِي كُلُّ أَحَدٍ حَتَّى الْعَبِيدُ وَتَدْخُلُ لِيُبْتَدَأَ الْكَلَامُ بَعْدَهُ كَقَوْلِكَ: قَامَ النَّاسُ حَتَّى زَيْدٌ قَائِمٌ.

Dan "ḥattā": untuk batas akhir seperti firman Allah Ta'ala: "ḥattā maṭla'i al-fajri" ¹ dan masuk untuk 'aṭaf (penghubung) seperti "waw" hanya saja tidak dihubungkan dengannya kecuali dalam bentuk pengagungan dan penghinaan, Anda mengatakan dalam pengagungan "jā'anī an-nāsu ḥattā as-sulṭānu" dan Anda mengatakan dalam penghinaan "kallamanī kullu aḥadin ḥattā al-'abīdu" dan masuk agar kalimat dimulai setelahnya seperti perkataan Anda: "qāma an-nāsu ḥattā zaydun qā'imun".

فَصْلٌ

Pasal

وَإِنَّمَا: لِلْحَصْرِ وَهُوَ جَمْعُ الشَّيْءِ فِيمَا أُشِيرَ إِلَيْهِ وَنَفْيُهُ عَمَّا سِوَاهُ تَقُولُ إِنَّمَا فِي الدَّارِ زَيْدٌ أَيْ لَيْسَ فِيهَا غَيْرُهُ، وَإِنَّمَا اللَّهُ وَاحِدٌ أَيْ لَا إِلَهَ إِلَّا وَاحِدٌ.

Dan "innamā": untuk pembatasan, yaitu mengumpulkan sesuatu dalam apa yang ditunjukkan dan menafikannya dari selainnya, Anda mengatakan "innamā fī ad-dāri zaydun" yaitu tidak ada selainnya di dalamnya, dan "innamā Allāhu wāḥidun" yaitu tidak ada ilah kecuali Yang Maha Esa.

_________
١ سُورَةُ الْقَدْرِ الْآيَةُ: ٥.
¹ Surat Al-Qadr ayat: 5.

بَابُ الكَلَامِ فِي أَفْعَالِ رَسُولِ اللهِ ﷺ

بَابُ الكَلَامِ فِي أَفْعَالِ رَسُولِ اللهِ ﷺ

Bab pembahasan tentang perbuatan-perbuatan Rasulullah ﷺ

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْأَفْعَالَ لَا تَخْلُو إِمَّا أَنْ تَكُونَ قُرْبَةً أَوْ لَيْسَ بِقُرْبَةٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ قُرْبَةً كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَاللِّبَاسِ وَالْقِيَامِ وَالْقُعُودِ فَهُوَ يَدُلُّ عَلَى الْإِبَاحَةِ لِأَنَّهُ لَا يُقِرُّ عَلَى الْحَرَامِ فَإِنْ كَانَ قُرْبَةً لَمْ يَخْلُ مِنْ ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ.

Ringkasnya, perbuatan-perbuatan itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi merupakan perbuatan mendekatkan diri (kepada Allah) atau bukan. Jika bukan perbuatan mendekatkan diri seperti makan, minum, berpakaian, berdiri, dan duduk, maka itu menunjukkan kebolehan (ibahah), karena beliau tidak membiarkan perbuatan yang haram. Jika itu adalah perbuatan mendekatkan diri (kepada Allah), maka tidak lepas dari tiga kemungkinan.

أَحَدُهَا: أَنْ يَفْعَلَ بَيَانًا لِغَيْرِهِ فَحُكْمُهُ مَأْخُوذٌ مِنَ الْمُبَيَّنِ فَإِنْ كَانَ الْمُبَيَّنُ وَاجِبًا كَانَ الْبَيَانُ وَاجِبًا وَإِنْ كَانَ نَدْبًا كَانَ الْبَيَانُ نَدْبًا، وَيُعْرَفُ بِأَنَّهُ بَيَانٌ لِذَلِكَ بِأَنْ يُصَرِّحَ بِأَنَّ ذَلِكَ بَيَانٌ لِذَلِكَ، أَوْ يُعْلَمَ فِي الْقُرْآنِ آيَةٌ مُجْمَلَةٌ تَفْتَقِرُ إِلَى الْبَيَانِ وَلَمْ يَظْهَرْ بَيَانُهَا بِالْقَوْلِ فَيُعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْفِعْلَ بَيَانٌ لَهَا.

Pertama: Bahwa ia melakukan sebagai penjelasan bagi yang lain, maka hukumnya diambil dari yang dijelaskan. Jika yang dijelaskan wajib, maka penjelasannya wajib, dan jika yang dijelaskan sunnah, maka penjelasannya sunnah. Diketahui bahwa itu adalah penjelasan bagi sesuatu dengan menyatakan bahwa itu adalah penjelasan baginya, atau diketahui dalam Al-Qur'an ada ayat yang mujmal yang membutuhkan penjelasan dan belum tampak penjelasannya melalui perkataan, maka diketahui bahwa perbuatan ini adalah penjelasan baginya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَفْعَلَ امْتِثَالًا لِأَمْرٍ فَيُعْتَبَرُ أَيْضًا بِالْأَمْرِ فَإِنْ كَانَ عَلَى الْوُجُوبِ عَلِمْنَا أَنَّهُ فَعَلَ وَاجِبًا وَإِنْ كَانَ عَلَى النَّدْبِ عَلِمْنَا أَنَّهُ فَعَلَ نَدْبًا.

Kedua: Bahwa ia melakukan sebagai kepatuhan terhadap perintah, maka juga dianggap berdasarkan perintah tersebut. Jika perintah itu wajib, maka kita tahu bahwa ia melakukan sesuatu yang wajib, dan jika perintah itu sunnah, maka kita tahu bahwa ia melakukan sesuatu yang sunnah.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَفْعَلَ ابْتِدَاءً مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ:

Ketiga: Bahwa ia melakukan tanpa adanya sebab, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat:

أَحَدُهَا: أَنَّهُ عَلَى الْوُجُوبِ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى غَيْرِهِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَأَبِي سَعِيدٍ وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَكْثَرِ أَهْلِ الْعِرَاقِ.

Pertama: Bahwa itu menunjukkan kewajiban kecuali ada dalil yang menunjukkan selainnya, dan ini adalah pendapat Abu Al-'Abbas dan Abu Sa'id, dan ini adalah mazhab Malik dan mayoritas penduduk Irak.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَلَى النَّدْبِ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى الْوُجُوبِ.

Kedua: Bahwa itu menunjukkan kesunnahan kecuali ada dalil yang menunjukkan kewajiban.

وَالثَّالِثُ: أَنَّهُ عَلَى الوَقْفِ فَلَا يُحْمَلُ عَلَى الوُجُوبِ وَلَا عَلَى النَّدْبِ إِلَّا بِدَلِيلٍ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الصَّيْرَفِيِّ وَهُوَ الأَصَحُّ، وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّ احْتِمَالَ الفِعْلِ لِلْوُجُوبِ كَاحْتِمَالِهِ لِلنَّدْبِ فَوَجَبَ التَّوَقُّفُ فِيهِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ.

Dan yang ketiga: bahwa dalam keadaan berhenti, tidak boleh diartikan sebagai wajib atau sunnah kecuali dengan dalil, dan ini adalah pendapat Abu Bakr al-Shairafi yang lebih shahih. Dalilnya adalah bahwa kemungkinan perbuatan itu wajib sama dengan kemungkinannya sunnah, maka wajib berhenti sampai ada dalil yang menunjukkan.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ شَيْئًا وَعُرِفَ أَنَّهُ فَعَلَهُ عَلَى وَجْهِ الوُجُوبِ أَوْ عَلَى وَجْهِ النَّدْبِ كَانَ ذَلِكَ شَرْعًا لَنَا إِلَّا أَنْ يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى تَخْصِيصِهِ بِذَلِكَ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الدَّقَّاقُ: لَا يَكُونُ ذَلِكَ شَرْعًا لَنَا إِلَّا بِدَلِيلٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ ذَلِكَ قَوْلُهُ ﷿: ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ﴾ ١ وَلِأَنَّ الصَّحَابَةَ كَانُوا يَرْجِعُونَ فِيمَا أَشْكَلَ عَلَيْهِمْ إِلَى أَفْعَالِهِ فَيَقْتَدُونَ بِهِ فِيهَا فَدَلَّ عَلَى انه شَرْعٌ فِي حَقِّ الجَمِيعِ.

Jika Rasulullah ﷺ melakukan sesuatu dan diketahui bahwa beliau melakukannya dengan cara wajib atau sunnah, maka itu menjadi syariat bagi kita kecuali ada dalil yang menunjukkan kekhususannya. Abu Bakr al-Daqqaq berkata: Itu tidak menjadi syariat bagi kita kecuali dengan dalil. Dalil rusaknya pendapat itu adalah firman Allah ﷿: ﴿Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu﴾ (Al-Ahzab: 21). Dan karena para sahabat kembali kepada perbuatan-perbuatannya dalam hal yang tidak jelas bagi mereka, lalu mereka mengikutinya. Ini menunjukkan bahwa itu adalah syariat bagi semua orang.

_________
١ سُورَةُ الْأَحْزَابِ الْآيَةُ: ٢١.
1 Surat Al-Ahzab ayat: 21.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَقَعُ بِالْفِعْلِ جَمِيعُ أَنْوَاعِ الْبَيَانِ مِنْ بَيَانِ الْمُجْمَلِ وَتَخْصِيصِ الْعُمُومِ وَتَأْوِيلِ الظَّاهِرِ وَالنَّسْخِ. فَأَمَّا بَيَانُ الْمُجْمَلِ فَهُوَ كَمَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِلصَّلَاةِ وَالْحَجِّ فَكَانَ فِي فِعْلِهِ بَيَانُ الْمُجْمَلِ الَّذِي فِي الْقُرْآنِ. وَأَمَّا تَخْصِيصُ الْعُمُومِ فَكَمَا رُوِيَ أَنَّهُ ﷺ نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ ثُمَّ رُوِيَ أَنَّهُ ﷺ صَلَّى بَعْدَ الْعَصْرِ صَلَاةً لَهَا سَبَبٌ فَكَانَ فِي ذَلِكَ تَخْصِيصُ عُمُومِ النَّهْيِ. وَأَمَّا تَأْوِيلُ الظَّاهِرِ فَكَمَا رُوِيَ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ نَهَى عَنِ الْقَوْدِ فِي الطَّرَفِ قَبْلَ الِانْدِمَالِ فَيُعْلَمُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالنَّهْيِ الْكَرَاهِيَةُ دُونَ التَّحْرِيمِ. وَأَمَّا النَّسْخُ فَكَمَا رُوِيَ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ". ثُمَّ رُوِيَ أَنَّهُ ﷺ رَجَمَ مَاعِزًا وَلَمْ يَجْلِدْهُ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ مَنْسُوخٌ.

Dan semua jenis penjelasan (bayan) terjadi melalui perbuatan, seperti penjelasan yang global (mujmal), pengkhususan yang umum, penafsiran yang zhahir, dan penghapusan (nasakh). Adapun penjelasan yang global, seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ terhadap shalat dan haji, maka dalam perbuatannya terdapat penjelasan terhadap yang global dalam Al-Qur'an. Adapun pengkhususan yang umum, seperti yang diriwayatkan bahwa beliau ﷺ melarang shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam, kemudian diriwayatkan bahwa beliau ﷺ shalat setelah Ashar karena ada sebab, maka dalam hal itu terdapat pengkhususan terhadap keumuman larangan. Adapun penafsiran yang zhahir, seperti yang diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau melarang qisas pada anggota tubuh sebelum sembuh, maka diketahui bahwa yang dimaksud dengan larangan adalah makruh, bukan haram. Adapun nasakh, seperti yang diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau bersabda: "Perawan dengan perawan dijilid seratus kali dan diasingkan setahun, dan janda dengan janda dijilid seratus kali dan dirajam". Kemudian diriwayatkan bahwa beliau ﷺ merajam Ma'iz dan tidak menjilidnya, maka menunjukkan bahwa hal itu telah dihapus (mansukh).

فَصْلٌ

Pasal

وَإِنْ تَعَارَضَ قَوْلٌ وَفِعْلٌ فِي الْبَيَانِ فَفِيهِ أَوْجُهٌ: مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: الْقَوْلُ أَوْلَى، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: الْفِعْلُ أَوْلَى، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: هُمَا سَوَاءٌ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْبَيَانِ هُوَ الْقَوْلُ: أَلَا تَرَاهُ يَتَعَدَّى بِصِيغَتِهِ وَالْفِعْلُ لَا يَتَعَدَّى إِلَّا بِدَلِيلٍ فَكَانَ الْقَوْلُ أَوْلَى.

Jika perkataan dan perbuatan bertentangan dalam penjelasan, maka ada beberapa pendapat: sebagian sahabat kami mengatakan bahwa perkataan lebih utama, sebagian lagi mengatakan perbuatan lebih utama, dan sebagian lagi mengatakan keduanya setara. Pendapat pertama lebih tepat karena pada dasarnya penjelasan itu adalah perkataan. Tidakkah Anda melihat bahwa perkataan dapat disampaikan dengan lafaznya, sedangkan perbuatan tidak dapat disampaikan kecuali dengan dalil, maka perkataan lebih utama.

بَابُ القَوْلِ فِي الإِقْرَارِ وَالسُّكُوتِ عَنِ الحُكْمِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الْإِقْرَارِ وَالسُّكُوتِ عَنِ الْحُكْمِ

Bab Perkataan tentang Pengakuan dan Diam terhadap Hukum

وَالْإِقْرَارُ: أَنْ يَسْمَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ شَيْئًا فَلَا يُنْكِرُهُ أَوْ يَرَى فِعْلًا فَلَا يُنْكِرُهُ مَعَ عَدَمِ الْمَوَانِعِ فَيَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى جَوَازِهِ، وَذَلِكَ مِثْلُ مَا رُوِيَ أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ الرَّجُلُ يَجِدُ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا إِنْ قَتَلَ قَتَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَكَلَّمَ جَلَدْتُمُوهُ وَإِنْ سَكَتَ، سَكَتَ عَلَى غَيْظٍ أَمْ كَيْفَ يَصْنَعُ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ إِذَا قَتَلَ قُتِلَ وَإِذَا قَذَفَ جُلِدَ وَكَمَا رُوِيَ أَنَّهُ ﷺ: رَأَى قَيْسًا يُصَلِّي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ بَعْدَ الصُّبْحِ فَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ فَدَلَّ عَلَى

Dan pengakuan adalah: Rasulullah ﷺ mendengar sesuatu dan tidak mengingkarinya, atau melihat suatu perbuatan dan tidak mengingkarinya padahal tidak ada penghalang, maka hal itu menunjukkan kebolehannya. Contohnya seperti yang diriwayatkan bahwa beliau mendengar seorang laki-laki berkata, "Seorang laki-laki mendapati laki-laki lain bersama istrinya. Jika dia membunuhnya, kalian akan membunuhnya. Jika dia berbicara, kalian akan menderanya. Jika dia diam, apakah dia diam karena marah atau bagaimana dia harus berbuat?" Beliau tidak mengingkarinya. Ini menunjukkan bahwa jika dia membunuh maka dia dibunuh, dan jika dia menuduh zina maka dia didera. Juga seperti yang diriwayatkan bahwa beliau ﷺ melihat Qais shalat dua rakaat Fajar setelah Subuh dan beliau tidak mengingkarinya. Ini menunjukkan

جَوَازُ مَا لَهَا سَبَبٌ بَعْدَ الصُّبْحِ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَرَى مُنْكَرًا فَلَا يُنْكِرُهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ لِأَنَّ فِي تَرْكِ الْإِنْكَارِ إِيهَامَ أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ.

Diperbolehkan apa yang memiliki sebab setelah Subuh karena mungkin saja seseorang melihat kemungkaran namun tidak mengingkarinya meskipun mampu melakukannya, karena meninggalkan pengingkaran mengesankan bahwa hal tersebut diperbolehkan.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَا فُعِلَ فِي زَمَانِهِ ﷺ فَلَمْ يُنْكِرْهُ فَإِنَّهُ يُنْظَرُ فِيهِ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَجُوزُ أَنْ يَخْفَى عَلَيْهِ مِنْ طَرِيقِ الْعَادَةِ كَانَ بِمَنْزِلَةِ مَا لَوْ رَآهُ فَلَمْ يُنْكِرْهُ، وَذَلِكَ مِثْلُ مَا رُوِيَ أَنَّ مُعَاذًا كَانَ يُصَلِّي الْعِشَاءَ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ يَأْتِي قَوْمَهُ فِي بَنِي سَلْمَى فَيُصَلِّي بِهِمْ هِيَ لَهُ تَطَوُّعٌ وَلَهُمْ فَرِيضَةُ الْعِشَاءِ فَيَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى جَوَازِ الِافْتِرَاضِ خَلْفَ الْمُتَنَفِّلِ وَإِنْ كَانَ مِثْلُ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَخْفَى عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ لَا يَجُوزُ لَأَنْكَرَ.

Adapun apa yang dilakukan pada zamannya ﷺ dan beliau tidak mengingkarinya, maka hal itu perlu diperhatikan. Jika hal itu termasuk sesuatu yang tidak mungkin tersembunyi darinya secara adat, maka itu sama saja seolah-olah beliau melihatnya dan tidak mengingkarinya. Contohnya seperti yang diriwayatkan bahwa Mu'adz shalat Isya bersama Nabi ﷺ kemudian mendatangi kaumnya di Bani Salma lalu shalat bersama mereka, yang mana itu baginya adalah shalat sunnah dan bagi mereka adalah shalat fardhu Isya. Hal itu menunjukkan bolehnya shalat fardhu di belakang orang yang shalat sunnah. Jika hal seperti itu tidak mungkin tersembunyi darinya, maka jika itu tidak boleh tentu beliau akan mengingkarinya.

وَأَمَّا مَا يَجُوزُ إِخْفَاؤُهُ عَلَيْهِ وَذَلِكَ مِثْلُ مَا رُوِيَ عَنْ بَعْضِ الْأَنْصَارِ أَنَّهُ قَالَ كُنَّا نُجَامِعُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَنَكْسَلُ وَلَا نَغْتَسِلُ فَهَذَا لَا يَدُلُّ عَلَى الْحُكْمِ لِأَنَّ ذَلِكَ يُفْعَلُ سِرًّا وَيَجُوزُ أَنْ لَا يَعْلَمَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَهُمْ لَا يَغْتَسِلُونَ لِأَنَّ الْأَصْلَ أَنْ لَا يَجِبَ الْغُسْلُ فَلَا يُحْتَجُّ بِهِ فِي إِسْقَاطِ الْغُسْلِ وَلِهَذَا قَالَ عَلِيٌّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ: حِينَ رُوِيَ لَهُ ذَلِكَ أَوْ عَلِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَأَقَرَّكُمْ عَلَيْهِ فَقَالُوا: لَا فَقَالَ: فَمَهْ١.

Adapun apa yang mungkin tersembunyi darinya, seperti yang diriwayatkan dari sebagian Anshar bahwa ia berkata, "Kami berjimak pada masa Rasulullah ﷺ dan kami malas dan tidak mandi." Ini tidak menunjukkan hukum karena hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan mungkin saja Rasulullah ﷺ tidak mengetahuinya. Mereka tidak mandi karena pada dasarnya mandi tidak wajib, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah untuk menggugurkan kewajiban mandi. Oleh karena itu, Ali ra berkata ketika riwayat itu disampaikan kepadanya, "Apakah Rasulullah ﷺ mengetahuinya lalu membiarkan kalian melakukannya?" Mereka menjawab, "Tidak." Maka Ali berkata, "Diamlah."_________

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا السُّكُوتُ عَنِ الْحُكْمِ: فَهُوَ أَنْ يَرَى رَجُلًا يَفْعَلُ فِعْلًا فَلَا يُوجِبُ فِيهِ حُكْمًا فَيَنْظُرُ فِيهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَوْضِعَ حَاجَةٍ وَلَمْ يَكُنْ فِي سُكُوتِهِ دَلِيلٌ عَلَى الْإِيجَابِ وَلَا إِسْقَاطٍ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَخَّرَ الْبَيَانَ إِلَى وَقْتِ الْحَاجَةِ وَإِنْ كَانَ مَوْضِعَ حَاجَةٍ مِثْلَ الْأَعْرَابِيِّ الَّذِي سَأَلَهُ عَنِ الْجِمَاعِ فِي رَمَضَانَ فَأَوْجَبَ عَلَيْهِ الْعِتْقَ وَلَمْ يُوجِبْ عَلَى الْمَرْأَةِ دَلَّ سُكُوتُهُ عَلَى أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَيْهِ لِأَنَّ تَأْخِيرَ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لَا يَجُوزُ.

Adapun diam terhadap hukum: yaitu seseorang melihat seorang laki-laki melakukan suatu perbuatan, lalu dia tidak mewajibkan hukum padanya. Maka dia memperhatikannya, jika hal itu bukan pada tempat yang dibutuhkan dan diamnya tidak menunjukkan kewajiban atau pembatalan, karena boleh jadi dia menunda penjelasan sampai waktu dibutuhkan. Jika itu pada tempat yang dibutuhkan, seperti orang Arab Badui yang bertanya kepadanya tentang jima' (hubungan intim) di bulan Ramadhan, lalu dia mewajibkan atasnya memerdekakan budak dan tidak mewajibkan atas wanita, maka diamnya menunjukkan bahwa itu wajib atasnya, karena menunda penjelasan dari waktu dibutuhkan tidak boleh.

_________
١ أَيْ: فَاسْكُتْ
1 Yakni: diamlah

بَابُ القَوْلِ فِي الأَخْبَارِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الْأَخْبَارِ

Bab Perkataan tentang Kabar

بَيَانُ الْخَبَرِ وَإِثْبَاتُ صِيغَتِهِ

Penjelasan tentang Khabar dan Penetapan Bentuknya

الْخَبَرُ الَّذِي لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ صِدْقًا أَوْ كَذِبًا وَلَهُ صِيغَةٌ مَوْضُوعَةٌ فِي اللُّغَةِ تَدُلُّ عَلَيْهِ وَهُوَ قَوْلُهُ: زَيْدٌ قَائِمٌ وَعَمْرٌو قَاعِدٌ وَمَا أَشْبَهَهُمَا. وَقَالَتِ الْأَشْعَرِيَّةُ: لَا صِيغَةَ لَهُ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ ذَلِكَ أَنَّ أَهْلَ اللُّغَةِ قَسَّمُوا الْكَلَامَ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ فَقَالُوا: أَمْرٌ وَنَهْيٌ وَخَبَرٌ وَاسْتِخْبَارٌ. فَالْأَمْرُ قَوْلُكَ: افْعَلْ. وَالنَّهْيُ قَوْلُكَ: لَا تَفْعَلْ. وَالْخَبَرُ قَوْلُكَ: زَيْدٌ فِي الدَّارِ. وَالِاسْتِخْبَارُ قَوْلُكَ: أَزَيْدٌ فِي الدَّارِ فَدَلَّ عَلَى مَا قُلْنَاهُ.

Khabar yang tidak lepas dari kebenaran atau kebohongan dan memiliki bentuk yang ditetapkan dalam bahasa yang menunjukkannya, yaitu perkataannya: Zaid berdiri dan Amr duduk dan yang serupa dengannya. Asy'ariyah berkata: Tidak ada bentuk untuknya. Dalil atas rusaknya hal itu adalah bahwa ahli bahasa membagi kalam menjadi empat bagian. Mereka berkata: perintah, larangan, khabar, dan pertanyaan. Perintah adalah perkataanmu: Lakukan. Larangan adalah perkataanmu: Jangan lakukan. Khabar adalah perkataanmu: Zaid di rumah. Pertanyaan adalah perkataanmu: Apakah Zaid di rumah? Maka ini menunjukkan apa yang kami katakan.

بَابُ القَوْلِ فِي الخَبَرِ المُتَوَاتِرِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ

Bab Perkataan tentang Khabar Mutawatir

اِعْلَمْ أَنَّ الْخَبَرَ ضَرْبَانِ: مُتَوَاتِرٌ وَآحَادٌ. فَأَمَّا الْآحَادُ فَلَهُ بَابٌ يَأْتِي الْكَلَامُ فِيهِ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى وَبِهِ الثِّقَةُ. وَأَمَّا الْمُتَوَاتِرُ فَهُوَ كُلُّ خَبَرٍ عَلِمَ مُخْبِرُهُ ضَرُورَةً وَذَلِكَ ضَرْبَانِ تَوَاتُرٌ مِنْ جِهَةِ اللَّفْظِ كَالْأَخْبَارِ الْمُتَّفِقَةِ عَنِ الْقُرُونِ الْمَاضِيَةِ وَالْبِلَادِ النَّائِيَةِ وَتَوَاتُرٌ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى كَالْأَخْبَارِ الْمُخْتَلِفَةِ عَنْ سَخَاءِ حَاتِمٍ وَشَجَاعَةِ عَلِيٍّ ﵁ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ وَيَقَعُ الْعِلْمُ بِكِلَا الضَّرْبَيْنِ وَقَالَ الْبَرَاهِمَةُ: لَا يَقَعُ الْعِلْمُ بِشَيْءٍ مِنَ الْأَخْبَارِ وَهَذَا جَهْلٌ فَإِنَّا نَجِدُ أَنْفُسَنَا عَالِمَةً بِمَا يُؤَدِّي إِلَيْهَا الْخَبَرُ الْمُتَوَاتِرُ أَخْبَارُ مَكَّةَ وَخُرَاسَانَ وَغَيْرِهِمَا كَمَا نَجِدُهَا عَالِمَةً بِمَا تُؤَدِّي إِلَيْهِ الْحَوَاسُّ فَكَمَا لَا يَجُوزُ إِنْكَارُ الْعِلْمِ الْوَاقِعِ بِالْحَوَاسِّ لَمْ يَجُزْ إِنْكَارُ الْعِلْمِ الْوَاقِعِ بِالْأَخْبَارِ.

Ketahuilah bahwa khabar ada dua jenis: mutawatir dan ahad. Adapun ahad, ia memiliki bab tersendiri yang akan dibahas nanti insya Allah Ta'ala dan ia dapat dipercaya. Adapun mutawatir, ia adalah setiap khabar yang diketahui oleh penyampainya secara pasti. Itu ada dua jenis: tawatur dari segi lafaz seperti khabar-khabar yang sepakat tentang abad-abad yang lalu dan negeri-negeri yang jauh, dan tawatur dari segi makna seperti khabar-khabar yang berbeda tentang kedermawanan Hatim, keberanian Ali ﵁, dan yang serupa dengannya. Ilmu dapat diperoleh dengan kedua jenis tersebut. Kaum Brahmana berkata: "Ilmu tidak dapat diperoleh dengan khabar apapun." Ini adalah kebodohan, karena kita mendapati diri kita mengetahui apa yang disampaikan oleh khabar mutawatir seperti khabar tentang Makkah, Khurasan, dan lainnya sebagaimana kita mendapati diri kita mengetahui apa yang disampaikan oleh indra. Maka sebagaimana tidak boleh mengingkari ilmu yang diperoleh dengan indra, tidak boleh pula mengingkari ilmu yang diperoleh dengan khabar.

فَصْلٌ

Pasal

وَالْعِلْمُ الَّذِي يَقَعُ بِهِ ضَرُورِيٌّ. وَقَالَ الْبَلْخِيُّ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ: الْعِلْمُ الْوَاقِعُ بِهِ الْكِتَابُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الدَّقَّاقِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ نَفْيُ مَا يَقَعُ بِهِ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ نَفْسِهِ بِالشَّكِّ وَالشُّبْهَةِ فَكَانَ ضَرُورِيًّا كَالْعِلْمِ الْوَاقِعِ عَنِ الْحَوَاسِّ.

Dan ilmu yang terjadi dengannya adalah dharuri (niscaya). Al-Balkhi dari Mu'tazilah berkata: "Ilmu yang terjadi dengannya adalah Al-Kitab", dan ini adalah pendapat Abu Bakr Ad-Daqqaq. Ini adalah kesalahan, karena tidak mungkin menafikan ilmu yang terjadi dengannya dari dirinya sendiri dengan keraguan dan syubhat, maka ia adalah dharuri (niscaya) seperti ilmu yang terjadi dari indra.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا يَقَعُ الْعِلْمُ الضَّرُورِيُّ بِالتَّوَاتُرِ إِلَّا بِثَلَاثِ شَرَائِطَ.

Ilmu dharuri (niscaya) tidak terjadi dengan tawatur kecuali dengan tiga syarat.

إِحْدَاهَا: أَنْ يَكُونَ الْمُخْبِرُونَ عَدَدًا لَا يَصِحُّ مِنْهُمُ التَّوَاطُؤُ عَلَى الْكَذِبِ وَإِنْ يَسْتَوِي طَرَفَاهُ وَوَسَطُهُ فَيَرْوِي هَذَا الْعَدَدُ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى أَنْ يَتَّصِلَ بِالْمُخْبَرِ عَنْهُ. وَأَنْ يَكُونَا لْخَبَرُ فِي الْأَصْلِ عَنْ مُشَاهَدَةٍ أَوْ سَمَاعٍ.

Salah satunya: bahwa para pelapor harus berjumlah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk bersekongkol dalam kebohongan, meskipun kedua ujungnya dan tengahnya sama, sehingga jumlah ini meriwayatkan dari yang serupa hingga terhubung dengan yang diberitakan. Dan bahwa khabar pada asalnya harus berdasarkan penyaksian atau pendengaran.

فَأَمَّا إِذَا كَانَ عَنْ نَظَرٍ وَاجْتِهَادٍ مِثْلَ أَنْ يَجْتَهِدَ الْعُلَمَاءُ فَيُؤَدِّيهِمُ الِاجْتِهَادُ إِلَى شَيْءٍ لَمْ يَقَعِ الْعِلْمُ الضَّرُورِيُّ بِذَلِكَ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنِ اعْتَبَرَ أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ مُسْلِمِينَ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْعَدَدُ أَقَلَّ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ أَقَلُّهُ سَبْعُونَ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: ثَلَاثُمِائَةٍ وَأَكْثَرُ وَهَذَا كُلُّهُ خَطَأٌ لِأَنَّ وُقُوعَ الْعِلْمِ بِهِ لَا يَخْتَصُّ بِشَيْءٍ مِمَّا ذَكَرُوهُ فَسَقَطَ اعْتِبَارُ ذَلِكَ.

Adapun jika berdasarkan pandangan dan ijtihad, seperti para ulama berijtihad lalu ijtihad membawa mereka kepada sesuatu yang tidak terjadi padanya ilmu yang dharuri, dan di antara sahabat kami ada yang mempertimbangkan bahwa jumlahnya harus Muslim. Di antara manusia ada yang mengatakan: Tidak boleh jumlahnya kurang dari dua belas, dan di antara mereka ada yang mengatakan minimal tujuh puluh, dan di antara mereka ada yang mengatakan: tiga ratus atau lebih. Semua ini adalah kesalahan, karena terjadinya ilmu dengannya tidak khusus dengan sesuatu yang mereka sebutkan, maka gugur pertimbangan itu.

بَابُ القَوْلِ فِي أَخْبَارِ الآحَادِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي أَخْبَارِ الْآحَادِ

Bab Perkataan tentang Khabar Ahad

وَاعْلَمْ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ مَا انْحَطَّ عَنْ حَدِّ التَّوَاتُرِ وَهُوَ ضَرْبَانِ مُسْنَدٌ وَمُرْسَلٌ. فَأَمَّا الْمُرْسَلُ فَلَهُ بَابٌ يَجِيءُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى. وَأَمَّا الْمُسْنَدُ فَضَرْبَانِ:

Ketahuilah bahwa khabar wahid adalah apa yang lebih rendah dari batas mutawatir, dan itu ada dua jenis: musnad dan mursal. Adapun mursal, maka ia memiliki bab tersendiri yang akan datang insya Allah Ta'ala. Adapun musnad, maka ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: يُوجِبُ الْعِلْمَ وَهُوَ عَلَى أَوْجُهٍ مِنْهَا خَبَرُ اللهِ ﷿ وَخَبَرُ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَمِنْهَا أَنْ يَحْكِيَ الرَّجُلُ بِحَضْرَةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ شَيْئًا وَيَدَّعِي عِلْمَهُ فَلَا يُنْكِرُ عَلَيْهِ فَيُقْطَعُ بِهِ عَلَى صِدْقِهِ؛ وَمِنْهَا أَنْ يَحْكِيَ الرَّجُلُ شَيْئًا بِحَضْرَةِ جَمَاعَةٍ كَثِيرَةٍ وَيَدَّعِي عِلْمَهُمْ فَلَا يُنْكِرُونَهُ فَيُعْلَمُ بِذَلِكَ صِدْقُهُ، وَمِنْهَا خَبَرُ الْوَاحِدِ الَّذِي تَلَقَّتْهُ الْأُمَّةُ بِالْقَبُولِ فَيُقْطَعُ بِصِدْقِهِ سَوَاءٌ عَمِلَ الْكُلُّ بِهِ أَوْ عَمِلَ الْبَعْضُ وَتَأَوَّلَهُ الْبَعْضُ فَهَذِهِ الْأَخْبَارُ تُوجِبُ الْعَمَلَ وَيَقَعُ الْعِلْمُ بِهَا اسْتِدْلَالًا.

Pertama: yang mewajibkan ilmu, dan itu ada beberapa sisi, di antaranya khabar Allah ﷿ dan khabar Rasulullah ﷺ, dan di antaranya seseorang menceritakan sesuatu di hadapan Rasulullah ﷺ dan mengklaim pengetahuannya, lalu beliau tidak mengingkarinya, maka dipastikan kejujurannya; dan di antaranya seseorang menceritakan sesuatu di hadapan jamaah yang banyak dan mengklaim pengetahuan mereka, lalu mereka tidak mengingkarinya, maka diketahui kejujurannya, dan di antaranya khabar wahid yang diterima umat dengan penerimaan, maka dipastikan kejujurannya, baik semua mengamalkannya atau sebagian mengamalkannya dan sebagian menta'wilkannya. Maka khabar-khabar ini mewajibkan amal dan menghasilkan ilmu secara istidlal.

وَالثَّانِي: يُوجِبُ العَمَلَ وَلَا يُوجِبُ العِلْمَ وَذَلِكَ مِثْلُ الْأَخْبَارِ الْمَرْوِيَّةِ فِي السُّنَنِ وَالصِّحَاحِ وَمَا أَشْبَهَهَا. وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ: تُوجِبُ الْعِلْمَ وَقَالَ بَعْضُ الْمُحَدِّثِينَ مَا يُحْكَى إِسْنَادُهُ أَوْجَبَ الْعِلْمَ وَقَالَ النَّظَّامُ يَجُوزُ أَنْ يُوجِبَ الْعِلْمَ إِذَا قَارَنَهُ سَبَبٌ مِثْلَ أَنْ يَرَى رَجُلٌ مُخَرَّقَ الثِّيَابِ فَيَجِيءُ وَيُخْبِرُ بِمَوْتِ قَرِيبٍ لَهُ وَقَالَ الْقَاشَانِيُّ وَابْنُ دَاوُدَ: لَا يُوجِبُ الْعِلْمَ وَهُوَ مَذْهَبُ الرَّافِضَةِ ثُمَّ اخْتَلَفَ هَؤُلَاءِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: الْعَقْلُ يَمْنَعُ الْعَمَلَ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ الْعَقْلُ لَا يَمْنَعُ إِلَّا أَنَّ الشَّرْعَ لَمْ يَرِدْ بِهِ فَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُوجِبُ الْعِلْمَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ

Dan yang kedua: mewajibkan amal tetapi tidak mewajibkan ilmu, seperti hadits-hadits yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunan dan Shahih serta yang serupa dengannya. Sebagian ulama berpendapat: hadits-hadits itu mewajibkan ilmu. Sebagian ahli hadits mengatakan, apa yang disebutkan sanadnya mewajibkan ilmu. An-Nazhzham berkata, "Boleh jadi hadits itu mewajibkan ilmu jika disertai sebab, seperti seseorang melihat orang yang compang-camping pakaiannya lalu datang dan mengabarkan kematian kerabatnya." Al-Qasyani dan Ibnu Daud berkata, "Hadits itu tidak mewajibkan ilmu." Ini adalah mazhab Rafidhah. Kemudian mereka berselisih pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan, akal melarang mengamalkannya. Ada pula yang mengatakan, akal tidak melarang, hanya saja syariat tidak membawanya. Dalil bahwa hadits itu tidak mewajibkan ilmu adalah seandainya ia mewajibkan ilmu, tentu

يُوجِبُ العِلْمَ لَوَقَعَ العِلْمُ بِخَبَرِ كُلِّ مُخْبِرٍ مِمَّنْ يَدَّعِي النُّبُوَّةَ أَوْ مَالًا عَلَى غَيْرِهِ وَلَمَّا لَمْ يَقَعِ العِلْمُ بِذَلِكَ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يُوجِبُ العِلْمَ. وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ العَقْلَ لَا يَمْنَعُ مِنَ التَّعَبُّدِ بِهِ هُوَ أَنَّهُ إِذَا جَازَ التَّعَبُّدُ بِخَبَرِ المُفْتِي وَشَهَادَةِ الشَّاهِدِ وَلَمْ يَمْنَعِ العَقْلُ مِنْهُ جَازَ بِخَبَرِ المُخْبِرِ وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ العَمَلِ بِهِ مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ أَنَّ الصَّحَابَةَ ﵃ رَجَعَتْ إِلَيْهِمَا فِي الأَحْكَامِ فَرَجَعَ عُمَرُ إِلَى حَدِيثِ حَمْلِ بْنِ مَالِكٍ فِي دِيَةِ الجَنِينِ وَقَالَ: لَوْ لَمْ نَسْمَعْ هَذَا لَقَضَيْنَا بِغَيْرِهِ وَرَجَعَ عُثْمَانُ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ فِي السُّكْنَى إِلَى حَدِيثِ فُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ وَكَانَ عَلِيٌّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ يَرْجِعُ إِلَى أَخْبَارِ الآحَادِ وَيَسْتَظْهِرُ فِيهَا بِالْيَمِينِ وَقَالَ إِذَا حَدَّثَنِي أَحَدٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ أَحْلَفْتُهُ فَإِذَا حَلَفَ لِي صَدَّقْتُهُ إِلَّا أَبَا بَكْرٍ وَحَدَّثَنِي أَبُو بَكْرٍ وَصَدَقَ أَبُو بَكْرٍ، وَرَجَعَ ابْنُ عُمَرَ إِلَى خَبَرِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ فِي المُخَابَرَةِ وَرَجَعَتِ الصَّحَابَةُ إِلَى حَدِيثِ عَائِشَةَ ﵂ فِي الْتِقَاءِ الخِتَانَيْنِ، فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ العَمَلِ بِهِ.

Jika ilmu mengharuskan, maka ilmu akan terjadi dengan khabar setiap orang yang mengaku kenabian atau harta atas orang lain. Ketika ilmu tidak terjadi dengan itu, menunjukkan bahwa ilmu tidak mengharuskannya. Adapun dalil bahwa akal tidak mencegah untuk beribadah dengannya adalah bahwa jika boleh beribadah dengan khabar mufti dan kesaksian saksi, dan akal tidak mencegahnya, maka boleh dengan khabar mukhbir. Adapun dalil atas wajibnya beramal dengannya dari sisi syariat adalah bahwa para sahabat ﵃ kembali kepada keduanya dalam hukum-hukum. Umar kembali kepada hadits Haml bin Malik tentang diyat janin dan berkata: "Seandainya kami tidak mendengar ini, tentu kami akan memutuskan dengan yang lain." Utsman karramallahu wajhah kembali dalam masalah tempat tinggal kepada hadits Furai'ah binti Malik. Ali karramallahu wajhah merujuk kepada khabar-khabar ahad dan meminta sumpah padanya. Ia berkata: "Jika seseorang menceritakan kepadaku dari Rasulullah ﷺ, aku menyuruhnya bersumpah. Jika ia bersumpah untukku, aku membenarkannya kecuali Abu Bakar. Abu Bakar menceritakan kepadaku dan Abu Bakar benar." Ibnu Umar kembali kepada khabar Rafi' bin Khadij tentang mukhabarah. Para sahabat kembali kepada hadits Aisyah ﵂ tentang bertemunya dua khitan. Ini menunjukkan wajibnya beramal dengannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَرْوِيَهُ وَاحِدٌ أَوِ اثْنَانِ وَقَالَ أَبُو عَلِيٍّ الْجُبَائِيُّ: لَا يُقْبَلُ حَتَّى يَرْوِيَهُ اثْنَانِ عَنِ اثْنَيْنِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ إِخْبَارٌ عَنْ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ فَجَازَ قَبُولُهُ مِنْ وَاحِدٍ كَالْفُتْيَا.

Tidak ada perbedaan antara satu orang atau dua orang yang meriwayatkannya. Abu Ali Al-Jubba'i berkata: Tidak diterima hingga diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang. Ini adalah kesalahan, karena ini adalah pemberitaan tentang hukum syar'i, sehingga boleh diterima dari satu orang seperti fatwa.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجِبُ الْعَمَلُ بِهِ فِيمَا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى وَفِيمَا لَا تَعُمُّ وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀: لَا يَجُوزُ الْعَمَلُ بِهِ فِيمَا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ ذَلِكَ أَنَّهُ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ فَجَازَ إِثَابَتُهُ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ قِيَاسًا عَلَى مَا لَا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى.

Wajib mengamalkannya pada perkara yang umum terjadi dan yang tidak umum terjadi. Para pengikut Abu Hanifah ﵀ berkata: Tidak boleh mengamalkannya pada perkara yang umum terjadi. Dalil yang menunjukkan rusaknya pendapat tersebut adalah bahwa ia merupakan hukum syar'i yang diperbolehkan berijtihad padanya, sehingga boleh menetapkannya dengan khabar ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu orang) dengan mengqiyaskannya kepada perkara yang tidak umum terjadi.

فَصْلٌ

Pasal

وَيُقْبَلُ أَنْ خَالَفَ الْقِيَاسَ وَيُقَدَّمُ عَلَيْهِ وَقَالَ أَصْحَابُ مَالِكٍ ﵀: إِذَا خَالَفَ الْقِيَاسَ لَمْ يُقْبَلْ. وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ ﵁: إِذَا خَالَفَ

Diterima meskipun menyalahi qiyas dan didahulukan atasnya. Para pengikut Malik ﵀ berkata: Jika menyalahi qiyas maka tidak diterima. Para pengikut Abu Hanifah ﵁ berkata: Jika menyalahi

الْقِيَاسُ الْأُصُولُ لَمْ يَقْبَلْ وَذَكَرُوا ذَلِكَ فِي خَبَرِ التَّفْلِيسِ وَالْقُرْعَةِ وَالْمُصَرَّاةِ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَصْحَابِ مَالِكٍ أَنَّ الْخَبَرَ يَدُلُّ عَلَى قَصْدِ صَاحِبِ الشَّرْعِ بِصَرِيحِهِ وَالْقِيَاسُ يَدُلُّ عَلَى قَصْدِهِ بِالِاسْتِدْلَالِ وَالصَّرِيحُ أَقْوَى فَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ بِالتَّقْدِيمِ أَوْلَى. وَأَمَّا أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ فَإِنَّهُمْ إِنْ أَرَادُوا بِالْأُصُولِ الْقِيَاسَ عَلَى مَا ثَبَتَ بِالْأُصُولِ فَهُوَ الَّذِي قَالَهُ أَصْحَابُ مَالِكٍ وَقَدْ دَلَلْنَا عَلَى فَسَادِهِ، وَإِنْ أَرَادُوا نَفْسَ الْأُصُولِ الَّتِي هِيَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَلَيْسَ مَعَهُمْ فِي الْمَسَائِلِ الَّتِي رَدُّوا فِيهَا خَبَرَ الْوَاحِدِ كِتَابٌ وَلَا سُنَّةٌ وَلَا إِجْمَاعٌ فَسَقَطَ مَا قَالُوهُ.

Qiyas ushul tidak diterima dan mereka menyebutkan hal itu dalam khabar at-taflis, al-qur'ah, dan al-musharrah. Dalil bagi para sahabat Malik adalah bahwa khabar menunjukkan maksud Pembuat Syariat dengan jelas, sedangkan qiyas menunjukkan maksud-Nya dengan istidlal, dan yang jelas lebih kuat sehingga harus lebih didahulukan. Adapun para sahabat Abu Hanifah ﵀, jika mereka menghendaki dengan ushul adalah qiyas atas apa yang tetap dengan ushul, maka itulah yang dikatakan oleh para sahabat Malik dan kami telah menunjukkan rusaknya. Jika mereka menghendaki ushul itu sendiri yaitu Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma', maka tidak ada bersama mereka dalam masalah-masalah yang mereka menolak khabar al-wahid padanya, baik Al-Kitab, As-Sunnah maupun Ijma', sehingga gugur apa yang mereka katakan.

﵁ اسْتِئْنَاسًا بِهَا لَا أَنَّهَا حُجَّةٌ، فَأَمَّا إِذَا قَالَ أَخْبَرَنِي الثِّقَةُ عَنِ الزُّهْرِيِّ فَهُوَ كَالْمُرْسَلِ لِأَنَّ الثِّقَةَ مَجْهُولٌ عِنْدَنَا فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ لَمْ يَذْكُرْهُ أَصْلًا وَأَمَّا خَبَرُ الْعَنْعَنَةِ إِذَا قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ فَهُوَ مُسْنَدٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ حُكْمُهُ حُكْمُ الْمُرْسَلِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهُ سَمَاعٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ وَإِنْ كَانَ بِلَفْظِ الْعَنْعَنَةِ فَوَجَبَ أَنْ يُقْبَلَ.

﵁ Sebagai referensi, bukan sebagai hujjah. Jika seseorang berkata, "Seorang yang tsiqah memberitahuku dari Az-Zuhri," maka itu seperti mursal karena orang yang tsiqah itu tidak dikenal oleh kita, sehingga sama saja dengan tidak menyebutkannya sama sekali. Adapun khabar 'an'anah, jika seseorang berkata, "Malik memberitahu kami dari Az-Zuhri," maka itu musnad. Sebagian orang mengatakan hukumnya sama dengan mursal, namun ini keliru karena secara zhahir itu adalah pendengaran dari Az-Zuhri meskipun dengan lafaz 'an'anah, sehingga wajib diterima.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا إِذَا قَالَ أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ١ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ عَنِ الْجَدِّ الْأَدْنَى وَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَيَكُونُ مُرْسَلًا وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ عَنْ جَدِّهِ الْأَعْلَى فَيَكُونُ مُسْنَدًا فَلَا يُحْتَجُّ بِهِ لِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ الْإِرْسَالَ وَالْإِسْنَادَ فَلَا يَجُوزُ إِثْبَاتُهُ بِالشَّكِّ إِلَّا أَنْ يَثْبُتَ أَنَّهُ لَيْسَ يَرْوِي إِلَّا عَنْ جَدِّهِ الْأَعْلَى فَحِينَئِذٍ يُحْتَجُّ بِهِ.

Adapun jika seseorang berkata, "Umar bin Syu'aib memberitahuku dari ayahnya¹ dari kakeknya dari Nabi ﷺ," maka ada kemungkinan itu dari kakek yang lebih dekat yaitu Muhammad bin Abdullah bin Amr sehingga menjadi mursal, dan ada kemungkinan dari kakek yang lebih jauh sehingga menjadi musnad. Maka tidak bisa dijadikan hujjah karena mengandung kemungkinan irsal dan isnad, sehingga tidak boleh menetapkannya dengan keraguan, kecuali jika terbukti bahwa ia hanya meriwayatkan dari kakeknya yang lebih jauh, maka saat itu bisa dijadikan hujjah.

_________
١ أَبُوهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ.
¹ Ayahnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Amr bin Al-Ash.

بَابُ القَوْلِ فِي المَرَاسِيلِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الْمَرَاسِيلِ

Bab Perkataan tentang Hadits Mursal

وَالْمُرْسَلُ مَا انْقَطَعَ إِسْنَادُهُ وَهُوَ أَنْ يَرْوِيَ عَمَّنْ لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ فَيَتْرُكَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ وَاحِدٌ فِي الْوَسَطِ فَلَا يَخْلُو ذَلِكَ مِنْ أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَرَاسِيلَ الصَّحَابَةِ أَوْ مِنْ غَيْرِهَا فَإِنْ كَانَ مِنْ مَرَاسِيلِ الصَّحَابَةِ وَجَبَ الْعَمَلُ بِهِ لِأَنَّ الصَّحَابَةَ ﵃ مَقْطُوعٌ بِعَدَالَتِهِمْ.

Hadits mursal adalah hadits yang terputus sanadnya, yaitu meriwayatkan dari seseorang yang tidak didengar darinya, sehingga ada satu orang yang ditinggalkan di tengah. Hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi mursal dari sahabat atau dari selain mereka. Jika mursal dari sahabat, maka wajib mengamalkannya karena para sahabat ﵃ dipastikan keadilannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِنْ كَانَ مِنْ مَرَاسِيلِ غَيْرِهِمْ نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَ مِنْ مَرَاسِيلِ غَيْرِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ لَمْ يُعْمَلْ بِهِ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ ﵄: يُعْمَلُ بِهِ كَالْمُسْنَدِ وَقَالَ عِيسَى بْنُ أَبَانَ: إِنْ كَانَ مِنْ مَرَاسِيلِ التَّابِعِينَ وَتَابِعِي التَّابِعِينَ قُبِلَ وَإِنْ كَانَ مِنْ مَرَاسِيلِ غَيْرِهِمْ لَمْ يُقْبَلْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمُرْسِلُ إِمَامًا فَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ الْعَدَالَةَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْخَبَرِ وَالَّذِي تَرَكَ تَسْمِيَتَهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَدْلًا وَيَجُوزُ أَنْ لَا يَكُونَ عَدْلًا فَلَا يَجُوزُ قَبُولُ خَبَرِهِ حَتَّى يُعْلَمَ.

Jika mursal dari selain sahabat, maka perhatikanlah. Jika mursal dari selain Sa'id bin Al-Musayyib, maka tidak diamalkan. Malik dan Abu Hanifah ﵄ berkata: Diamalkan seperti hadits musnad. Isa bin Aban berkata: Jika mursal dari tabi'in dan tabi'ut tabi'in, maka diterima. Jika mursal dari selain mereka, maka tidak diterima kecuali jika yang meriwayatkan secara mursal adalah seorang imam. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa keadilan merupakan syarat sahnya khabar. Orang yang tidak disebutkan namanya, bisa jadi adil dan bisa jadi tidak adil. Maka tidak boleh menerima khabarnya sampai diketahui keadilannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِنْ كَانَ مِنْ مَرَاسِيلِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ فَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ ﵁ مَرَاسِيلُهُ عِنْدَنَا حَسَنٌ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ مَرَاسِيلُهُ حُجَّةٌ لِأَنَّهَا تُتُبِّعَتْ فَوُجِدَتْ كُلُّهَا مَسَانِيدُ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: هِيَ كَغَيْرِهَا وَإِنَّمَا اسْتَحْسَنَهَا الشَّافِعِيُّ

Jika itu dari mursal Ibnu Al-Musayyib, maka Imam Syafi'i ﵁ telah berkata bahwa mursal-mursalnya menurut kami adalah hasan. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa mursal-mursalnya adalah hujjah karena telah ditelusuri dan ditemukan semuanya musnad. Dan di antara mereka ada yang mengatakan: itu seperti yang lainnya, hanya saja Imam Syafi'i menganggapnya baik.

بَابُ صِفَةِ الرَّاوِي وَمَنْ يُقْبَلُ خَبَرُهُ

بَابُ صِفَةِ الرَّاوِي وَمَنْ يُقْبَلُ خَبَرُهُ

Bab tentang sifat perawi dan siapa yang khabarnya diterima

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ الْخَبَرُ حَتَّى يَكُونَ الرَّاوِي فِي حَالِ السَّمَاعِ مُمَيِّزًا ضَابِطًا لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ بِهَذِهِ الصِّفَةِ عِنْدَ السَّمَاعِ لَمْ يَعْلَمْ مَا يَرْوِيهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَالِغًا عِنْدَ السَّمَاعِ جَازَ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ يُعْتَبَرُ أَنْ يَكُونَ فِي حَالِ السَّمَاعِ بَالِغًا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ اجْمَعُوا عَلَى قَبُولِ خَبَرِ أَحْدَاثِ الصَّحَابَةِ وَالْعَمَلِ بِمَا سَمِعُوهُ فِي حَالِ الصِّغَرِ كَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَالنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ وَغَيْرِهِمْ فَدَلَّ عَلَى مَا قُلْنَاهُ.

Ketahuilah bahwa khabar tidak diterima kecuali jika perawi pada saat mendengar adalah orang yang mampu membedakan dan dhabit (kuat hafalannya), karena jika tidak demikian sifatnya ketika mendengar, maka ia tidak mengetahui apa yang ia riwayatkan. Jika ia belum baligh ketika mendengar, maka diperbolehkan. Sebagian orang mengatakan bahwa disyaratkan ia harus baligh ketika mendengar, dan ini adalah kesalahan. Karena umat Islam telah sepakat untuk menerima khabar dari para sahabat yang masih muda dan mengamalkan apa yang mereka dengar ketika masih kecil, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, An-Nu'man bin Basyir, dan lainnya. Ini menunjukkan apa yang kami katakan.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ عَدْلًا مُجْتَنِبًا لِلْكَبَائِرِ مُتَنَزِّهًا عَنْ كُلِّ مَا يُسْقِطُ الْمُرُوءَةَ مِنَ الْمُجُونِ وَالسَّخَفِ وَالْأَكْلِ فِي السُّوقِ وَالْبَوْلِ فِي قَارِعَةِ الطَّرِيقِ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ بِهَذِهِ الصِّفَةِ لَمْ يُؤْمَنْ مِنْ أَنْ يَتَسَاهَلَ فِي رِوَايَةِ مَالَا أَصْلَ لَهُ وَلِهَذَا رَدَّ أَمِيرُ

Hendaknya ia adil, menjauhi dosa-dosa besar, menjaga diri dari segala hal yang menggugurkan kehormatan diri seperti perbuatan mesum, kesia-siaan, makan di pasar, dan kencing di tengah jalan. Karena jika ia tidak memiliki sifat ini, maka tidak aman dari kemungkinan ia meremehkan dalam meriwayatkan sesuatu yang tidak ada dasarnya. Oleh karena itu, Amir menolak...

الْمُؤْمِنِينَ عَلِيّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ حَدِيثُ أَبِي سِنَانٍ الْأَشْجَعِيِّ وَقَالَ: بِوَالٍ عَلَى عَقِبَيْهِ.

Hadits Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dari Abu Sinan Al-Asyja'i, dan ia berkata: "Dengan kencing di atas tumitnya."

فَصْلٌ

Pasal

وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ ثِقَةً مَأْمُونًا لَا يَكُونُ كَذَّابًا وَلَا مِمَّنْ يَزِيدُ فِي الْحَدِيثِ مَا لَيْسَ مِنْهُ فَإِنْ عُرِفَ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يُقْبَلْ حَدِيثُهُ لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ أَنْ يُضِيفَ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ مَا لَمْ يَقُلْهُ.

Hendaknya ia seorang yang terpercaya, dapat dipercaya, bukan seorang pendusta, dan bukan pula orang yang menambahkan sesuatu yang bukan bagian dari hadits. Jika ia dikenal melakukan hal tersebut, maka haditsnya tidak diterima karena dikhawatirkan ia menambahkan sesuatu kepada Rasulullah ﷺ yang beliau tidak mengatakannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُبْتَدِعٍ يَدْعُو النَّاسَ إِلَى الْبِدْعَةِ فَإِنَّهُ لَا يُؤْمَنُ أَنْ يَضَعَ الْحَدِيثَ عَلَى وَفْقِ بِدْعَتِهِ، وَأَمَّا إِذَا لَمْ يَدْعُ النَّاسَ إِلَى الْبِدْعَةِ فَقَدْ قِيلَ أَنَّ رِوَايَتَهُ تُقْبَلُ.

Demikian pula, ia harus bukan seorang ahli bid'ah yang mengajak orang kepada bid'ah, karena dikhawatirkan ia akan membuat hadits yang sesuai dengan bid'ahnya. Adapun jika ia tidak mengajak orang kepada bid'ah, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa riwayatnya diterima.

قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ ﵀: وَالصَّحِيحُ عِنْدِي أَنَّهَا لَا تُقْبَلُ لِأَنَّ الْمُبْتَدِعَ فَاسِقٌ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقْبَلَ خَبَرُهُ.

Syaikh Al-Imam ﵀ berkata: "Yang benar menurutku adalah riwayatnya tidak diterima, karena ahli bid'ah adalah orang fasik, maka tidak boleh menerima kabarnya."

فَصْلٌ

Pasal

وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ غَيْرَ مُدَلِّسٍ وَالتَّدْلِيسُ هُوَ أَنْ يَرْوِيَ عَمَّنْ لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ وَيُوهِمُ أَنَّهُ سَمِعَ مِنْهُ وَيَرْوَى عَنْ رَجُلٍ يُعْرَفُ بِنَسَبٍ أَوْ اسْمٍ فَيَعْدِلُ عَنْ ذَلِكَ إِلَى مَا لَا يُعْرَفُ بِهِ مِنْ أَسْمَائِهِ يُوهِمُ أَنَّهُ غَيْرُ ذَلِكَ الرَّجُلِ الْمَعْرُوفِ، وَقَالَ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يُكْرَهُ ذَلِكَ إِلَّا أَنَّهُ لَا يَقْدَحُ ذَلِكَ فِي رِوَايَتِهِ وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ أَصْحَابِنَا لِأَنَّهُ لَمْ يُصَرِّحْ بِكَذِبٍ. وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ يُرَدُّ حَدِيثُهُ لِأَنَّهُ فِي الْإِيهَامِ عَمَّنْ لَمْ يَسْمَعْ تَوْهِيمُ مَا لَا أَصْلَ لَهُ فَهُوَ كَالْمُصَرِّحِ بِالْكَذِبِ وَفِي الْعُدُولِ عَنِ الِاسْمِ الْمَشْهُورِ إِلَى غَيْرِهِ تَغْرِيرٌ بِالرِّوَايَةِ عَمَّنْ لَعَلَّهُ غَيْرُ مَرْضِيٍّ فَوَجَبَ التَّوَقُّفُ عَنْ حَدِيثِهِ.

Dan ia harus bukan seorang mudallis. Tadlis adalah meriwayatkan dari orang yang tidak ia dengar darinya dan memberi kesan bahwa ia mendengar darinya. Juga meriwayatkan dari seorang yang dikenal dengan nasab atau nama, lalu ia beralih dari itu kepada nama-namanya yang tidak dikenal dengannya, memberi kesan bahwa ia bukan orang yang terkenal itu. Banyak ahli ilmu mengatakan itu makruh, hanya saja hal itu tidak mencela riwayatnya. Ini pendapat sebagian sahabat kami karena ia tidak secara tegas berdusta. Sebagian orang mengatakan riwayatnya ditolak karena dalam memberi kesan dari orang yang tidak ia dengar, ia memberi kesan sesuatu yang tidak ada asalnya, maka ia seperti orang yang tegas berdusta. Dalam beralih dari nama yang masyhur kepada selainnya terdapat penipuan dalam riwayat dari orang yang mungkin tidak diridhai, maka wajib berhenti dari haditsnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ ضَابِطًا حَالَ الرِّوَايَةِ مُحَصِّلًا لِمَا يَرْوِيهِ فَأَمَّا إِذَا كَانَ مُغَفَّلًا لَمْ يُقْبَلْ خَبَرُهُ فَإِنَّهُ لَا يُؤْمَنُ أَنْ يَرْوِيَ بِمَا لَمْ يَسْمَعْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ حَالُ غَفْلَةٍ

Dan wajib ia memiliki hafalan yang kuat ketika meriwayatkan, menguasai apa yang ia riwayatkan. Adapun jika ia lalai, maka kabarnya tidak diterima karena tidak aman dari meriwayatkan apa yang tidak ia dengar. Jika ia memiliki keadaan lalai

وَحَالَ تَيَقُّظٍ فَمَا يَرْوِيهِ فِي حَالِ تَيَقُّظِهِ مَقْبُولٌ، وَإِنْ رُوِيَ عَنْهُ حَدِيثًا وَلَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ رَوَاهُ فِي حَالِ التَّيَقُّظِ أَوِ الْغَفْلَةِ لَمْ يُعْمَلْ بِهِ.

Dan dalam keadaan terjaga, apa yang dia riwayatkan dalam keadaan terjaga itu diterima. Jika sebuah hadits diriwayatkan darinya dan tidak diketahui apakah dia meriwayatkannya dalam keadaan terjaga atau lalai, maka hadits itu tidak diamalkan.

بَابُ القَوْلِ فِي الجَرْحِ وَالتَّعْدِيلِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيلِ

Bab Perkataan tentang Jarh dan Ta'dil

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الرَّاوِيَ لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ مَعْلُومَ الْعَدَالَةِ أَوْ مَعْلُومَ الْفِسْقِ أَوْ مَجْهُولَ الْحَالِ، فَإِنْ كَانَتْ عَدَالَتُهُ مَعْلُومَةً كَالصَّحَابَةِ ﵃ أَوْ أَفَاضِلِ التَّابِعِينَ كَالْحَسَنِ وَعَطَاءٍ وَالشَّعْبِيِّ وَالنَّخَعِيِّ وَأَجِلَّاءِ الْأَئِمَّةِ كَمَالِكٍ وَسُفْيَانَ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَمَنْ يَجْرِي مَجْرَاهُمْ وَجَبَ قَبُولُ خَبَرِهِ وَلَمْ يَجِبِ الْبَحْثُ عَنْ عَدَالَتِهِ، وَذَهَبَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْمُبْتَدِعَةُ إِلَى أَنَّ فِي الصَّحَابَةِ فُسَّاقًا وَهُمُ الَّذِينَ قَتَلُوا عَلِيًّا كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ وَأَهْلِ الشَّامِ حَتَّى اجْتَرَءُوا وَلَمْ يَخَافُوا اللهَ ﷿ وَأَطْلَقُوا هَذَا الْقَوْلَ عَلَى طَلْحَةَ وَالزُّبَيْرِ وَعَائِشَةَ ﵃ وَهَذَا قَوْلٌ عَظِيمٌ فِي السَّلَفِ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ قَوْلِهِمْ أَنَّ عَدَالَتَهُمْ قَدْ ثَبَتَتْ وَنَزَاهَتَهُمْ قَدْ عُرِفَتْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَزُولَ عَمَّا عَرَفْنَاهُ إِلَّا بِدَلِيلٍ قَاطِعٍ وَلِأَنَّهُمْ لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ مَعْصِيَةٌ اعْتَمَدُوهَا وَإِنَّمَا دَارَتْ بَيْنَهُمْ حُرُوبٌ كَانُوا فِيهَا مُتَأَوِّلِينَ وَلِهَذَا امْتَنَعَ خَلْقٌ كَثِيرٌ مِنْ خِيَارِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ عَنْ مُعَاوِيَةَ فِي قِتَالِ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ عَلَى ذَلِكَ وَاسْتَعْفَوْا عَنِ الْقِتَالِ مَعَهُ لِمَا دَخَلَ عَلَيْهِمْ مِنَ الشُّبْهَةِ فِي ذَلِكَ كَسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَصْحَابِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَغَيْرِهِمْ وَلِهَذَا كَانَ عَلِيٌّ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ يَأْذَنُ فِي قَبُولِ شَهَادَتِهِمْ وَالصَّلَاةِ مَعَهُمْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْدَحَ ذَلِكَ فِي عَدَالَتِهِمْ.

Intinya adalah bahwa perawi tidak lepas dari salah satu dari tiga kemungkinan: diketahui keadilannya, diketahui kefasikannya, atau tidak diketahui keadaannya. Jika keadilannya diketahui seperti para sahabat ﵃ atau tabi'in yang utama seperti al-Hasan, 'Atha', asy-Sya'bi, an-Nakha'i, dan para imam yang mulia seperti Malik, Sufyan, Abu Hanifah, asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, dan yang semisal mereka, maka wajib menerima riwayatnya dan tidak wajib meneliti keadilannya. Mu'tazilah dan ahli bid'ah berpendapat bahwa di antara sahabat ada yang fasik, yaitu mereka yang membunuh Ali karramallahu wajhah dari penduduk Irak dan Syam, sampai mereka berani dan tidak takut kepada Allah ﷿. Mereka mengatakan hal ini tentang Thalhah, az-Zubair, dan Aisyah ﵃. Ini adalah perkataan yang besar terhadap salaf. Dalil rusaknya pendapat mereka adalah bahwa keadilan para sahabat telah tetap dan kesucian mereka telah diketahui, maka tidak boleh hilang dari apa yang kita ketahui kecuali dengan dalil yang pasti. Juga karena tidak tampak dari mereka kemaksiatan yang mereka yakini. Yang terjadi di antara mereka hanyalah peperangan di mana mereka berijtihad. Karena itulah banyak dari sahabat dan tabi'in yang baik menahan diri dari Mu'awiyah dalam memerangi Ali karramallahu wajhah karena adanya syubhat yang masuk kepada mereka dalam hal itu, seperti Sa'd bin Abi Waqqash, para sahabat Ibnu Mas'ud dan lainnya. Karena itu, Ali rahmatullah 'alaih mengizinkan untuk menerima kesaksian mereka dan shalat bersama mereka. Maka tidak boleh hal itu mencela keadilan mereka.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا أَبُو بَكْرَةَ وَمَنْ جُلِدَ مَعَهُ فِي الْقَذْفِ فَإِنَّ أَخْبَارَهُمْ تُقْبَلُ لِأَنَّهُمْ لَمْ يَخْرُجُوا مَخْرَجَ الْقَذْفِ بَلْ أَخْرَجُوهُ مَخْرَجَ الشَّهَادَةِ وَإِنَّمَا جَلَدَهُمْ عُمَرُ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ بِاجْتِهَادِهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْدَحَ بِذَلِكَ فِي عَدَالَتِهِمْ وَلَمْ يُرَدَّ خَبَرُهُمْ.

Adapun Abu Bakrah dan orang-orang yang dicambuk bersamanya dalam kasus tuduhan zina, maka kabar mereka diterima karena mereka tidak keluar dari konteks tuduhan, melainkan mereka mengeluarkannya dalam konteks kesaksian. Umar, semoga Allah memuliakan wajahnya, mencambuk mereka berdasarkan ijtihadnya, maka tidak boleh mencela keadilan mereka dengan hal itu dan kabar mereka tidak ditolak.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِنْ كَانَ مَعْلُومَ الْفِسْقِ لَمْ يُقْبَلْ خَبَرُهُ سَوَاءٌ كَانَ فِسْقًا بِتَأْوِيلٍ أَوْ بِغَيْرِ

Jika diketahui kefasikannya, maka kabarnya tidak diterima, baik kefasikan itu karena ta'wil atau bukan.

تَأْوِيلٌ، وَقَالَ بَعْضُ الْمُتَكَلِّمِينَ يُقْبَلُ الْفَاسِقُ بِتَأْوِيلٍ إِذَا كَانَ أَمِينًا فِي دُنْيَاهُ حَتَّى الْكَافِرُ. وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ قَوْلُهُ ﷿: ﴿إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا﴾ ١ وَلَمْ يُفَرِّقْ، وَلِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يُخْرِجْهُ التَّأْوِيلُ عَنْ كَوْنِهِ كَافِرًا أَوْ فَاسِقًا لَمْ يُخْرِجْهُ عَنْ أَنْ يَكُونَ مَرْدُودَ الْخَبَرِ.

Interpretasi, dan beberapa ahli kalam mengatakan bahwa orang fasik dapat diterima dengan interpretasi jika dia dapat dipercaya dalam urusan dunianya, bahkan orang kafir sekalipun. Dalil atas apa yang kami katakan adalah firman Allah ﷿: "Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti" (QS. Al-Hujurat: 6), dan tidak ada perbedaan. Karena jika interpretasi tidak mengeluarkannya dari kekufuran atau kefasikan, maka tidak mengeluarkannya dari penolakan berita.

الْفَصْلُ

Pasal

فَإِذَا كَانَ مَجْهُولَ الْحَالِ لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى تَثْبُتَ عَدَالَتُهُ، وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ يُقْبَلُ، وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ كُلَّ خَبَرٍ لَمْ يُقْبَلْ مِنَ الْفَاسِقِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْ مَجْهُولِ الْعَدَالَةِ كَالشَّهَادَةِ.

Jika kondisinya tidak diketahui, maka tidak diterima sampai terbukti keadilannya. Para sahabat Abu Hanifah ﵀ mengatakan diterima. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa setiap berita yang tidak diterima dari orang fasik, tidak diterima dari orang yang tidak diketahui keadilannya, seperti kesaksian.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجِبُ الْبَحْثُ عَنِ الْعَدَالَةِ الْبَاطِنَةِ كَمَا يَجِبُ ذَلِكَ فِي الشَّهَادَةِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَكْفِي السُّؤَالُ عَنِ الْعَدَالَةِ فِي الظَّاهِرِ فَإِنَّ مَبْنَاهُ عَلَى الظَّاهِرِ وَحُسْنِ الظَّنِّ وَلِهَذَا يَجُوزُ قَبُولُهُ مِنَ الْعَبْدِ.

Wajib meneliti keadilan batin sebagaimana wajib dalam kesaksian. Sebagian sahabat kami mengatakan cukup bertanya tentang keadilan secara lahir, karena dasarnya adalah lahiriah dan berbaik sangka. Oleh karena itu, boleh menerimanya dari seorang hamba.

فَصْلٌ

Pasal

فَإِنِ اشْتَرَكَ رَجُلَانِ فِي الِاسْمِ وَالنَّسَبِ وَأَحَدُهُمَا عَدْلٌ وَالْآخَرُ فَاسِقٌ فَرُوِيَ خَبَرٌ عَنْ هَذَا الِاسْمِ لَمْ يُقْبَلْ حَتَّى يُعْلَمَ أَنَّهُ عَنِ الْعَدْلِ.

Jika ada dua orang yang memiliki nama dan nasab yang sama, salah satunya adil dan yang lainnya fasik, kemudian diriwayatkan sebuah khabar dari nama ini, maka tidak diterima sampai diketahui bahwa itu dari yang adil.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَثْبُتُ التَّعْدِيلُ وَالْجَرْحُ فِي الْخَبَرِ بِوَاحِدٍ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يَثْبُتُ إِلَّا مِنْ نَفْسَيْنِ كَتَزْكِيَةِ الشُّهُودِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ الْخَبَرَ يُقْبَلُ مِنْ وَاحِدٍ فَكَذَلِكَ تَزْكِيَةُ الْمُخْبِرِ.

Penilaian positif (ta'dil) dan negatif (jarh) pada khabar ditetapkan oleh satu orang. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa itu tidak ditetapkan kecuali oleh dua orang seperti penilaian para saksi. Yang pertama lebih shahih karena khabar diterima dari satu orang, maka demikian pula penilaian terhadap pembawa berita.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا يُقْبَلُ التَّعْدِيلُ إِلَّا مِمَّنْ يَعْرِفُ شُرُوطَ الْعَدَالَةِ وَمَا يَفْسُقُ بِهِ الْإِنْسَانُ

Penilaian positif (ta'dil) tidak diterima kecuali dari orang yang mengetahui syarat-syarat keadilan dan hal-hal yang membuat seseorang menjadi fasik

_________
١ سُورَةُ الْحُجُرَاتِ الْآيَةُ: ٦
1 Surat Al-Hujurat ayat: 6

لِأَنَّا لَوْ قَبِلْنَا مِمَّنْ لَا يَعْرِفُ لَمْ نَأْمَنْ أَنْ نَشْهَدَ بِعَدْلٍ مَنْ هُوَ فَاسِقٌ أَوْ فِسْقٍ مَنْ هُوَ عَدْلٌ.

Karena jika kita menerima dari orang yang tidak mengetahui, kita tidak aman untuk bersaksi dengan adil terhadap orang yang fasik atau kefasikan orang yang adil.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَكْفِي فِي التَّعْدِيلِ أَنْ يَقُولَ هُوَ عَدْلٌ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَحْتَاجُ أَنْ يَقُولَ هُوَ عَدْلٌ عَلَى وَلِيٍّ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ لَا بُدَّ مِنْ ذِكْرِ مَا صَارَ بِهِ عَدْلًا، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ يَكْفِي قَوْلُهُ عَدْلٌ أَنَّ قَوْلَهُ عَدْلٌ يَجْمَعُ أَنَّهُ عَدْلٌ عَلَيْهِ وَلَهُ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى ذِكْرِ مَا يَصِيرُ بِهِ عَدْلًا أَنَّا لَا نَقْبَلُ إِلَّا قَوْلَ مَنْ تَعْرِفُ فِيهِ شُرُوطَ الْعَدَالَةِ فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى بَيَانِ شُرُوطِ الْعَدَالَةِ.

Cukup dalam ta'dil (penilaian adil) dengan mengatakan dia adil. Sebagian sahabat kami mengatakan perlu mengatakan dia adil atas wali. Sebagian orang mengatakan harus menyebutkan apa yang membuatnya menjadi adil. Dalil bahwa cukup dengan mengatakan adil adalah perkataannya adil mencakup bahwa dia adil atasnya dan untuknya, tidak perlu tambahan atasnya. Dalil bahwa tidak perlu menyebutkan apa yang membuatnya menjadi adil adalah kita tidak menerima kecuali perkataan orang yang diketahui padanya syarat-syarat keadilan, maka tidak perlu penjelasan syarat-syarat keadilan.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا يُقْبَلُ الْجَرْحُ إِلَّا مُفَسَّرًا فَأَمَّا إِذَا قَالَ هُوَ ضَعِيفٌ أَوْ فَاسِقٌ لَمْ يُقْبَلْ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ ﵀: إِذَا قَالَ هُوَ فَاسِقٌ قُبِلَ مِنْ غَيْرِ تَفْسِيرٍ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ النَّاسَ يَخْتَلِفُونَ فِيمَا يُرَدُّ بِهِ الْخَبَرُ وَيُفْسَقُ بِهِ الْإِنْسَانُ فَرُبَّمَا اعْتَقَدَ فِي أَمْرٍ أَنَّهُ جَرْحٌ وَلَيْسَ بِجَرْحٍ فَوَجَبَ بَيَانُهُ.

Jarh (penilaian cacat) tidak diterima kecuali dijelaskan. Adapun jika dia mengatakan dia lemah atau fasik maka tidak diterima. Abu Hanifah ﵀ berkata: Jika dia mengatakan dia fasik maka diterima tanpa penjelasan. Ini tidak benar karena orang-orang berbeda pendapat tentang apa yang ditolak dengannya khabar dan apa yang membuat seseorang menjadi fasik. Terkadang dia meyakini suatu perkara bahwa itu adalah jarh padahal bukan jarh, maka wajib menjelaskannya.

فَصْلٌ

Pasal

فَإِنْ عَدَّلَهُ وَاحِدٌ وَجَرَحَهُ آخَرُ قُدِّمَ الْجَرْحُ عَلَى التَّعْدِيلِ لِأَنَّ مَعَ شَاهِدِ الْجَرْحِ زِيَادَةَ عِلْمٍ فَقُدِّمَ عَلَى الْمُزَكِّي.

Jika satu orang menganggapnya adil dan yang lain mencacatnya, maka jarh (pencacatan) didahulukan atas ta'dil (penganggapan adil) karena bersama saksi jarh terdapat tambahan ilmu, maka ia didahulukan atas orang yang menta'dilkan.

فَصْلٌ

Pasal

فَإِنْ رُوِيَ عَنِ الْمَجْهُولِ عَدْلٌ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ تَعْدِيلًا وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إِنَّ ذَلِكَ تَعْدِيلٌ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ ذَلِكَ هُوَ أَنَّا نَجِدُ الْعُدُولَ يَرْوُونَ عَنِ الْمُدَلِّسِينَ وَالْكَذَّابِينَ وَلِهَذَا قَالَ الشَّعْبِيُّ: أَخْبَرَنِي الْحَارِثُ الْأَعْوَرُ وَكَانَ وَاللهِ كَذَّابًا فَلَمْ يَكُنْ فِي الرِّوَايَةِ عَنْهُ دَلِيلٌ عَلَى التَّعْدِيلِ.

Jika diriwayatkan dari orang yang tidak dikenal seorang yang adil, maka itu bukanlah ta'dil (penganggapan adil). Sebagian sahabat kami berkata: Sesungguhnya itu adalah ta'dil. Dalil atas rusaknya pendapat tersebut adalah bahwa kita mendapati orang-orang yang adil meriwayatkan dari para mudallis (orang yang menyembunyikan cacat) dan para pendusta. Oleh karena itu, Asy-Sya'bi berkata: Al-Harits Al-A'war telah mengabarkan kepadaku, dan demi Allah, dia adalah seorang pendusta. Maka tidak ada dalam periwayatan darinya dalil atas ta'dil.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا عَمِلَ الْعَدْلُ بِخَبَرِهِ وَصَرَّحَ بِأَنَّهُ بِخَبَرِهِ فَهُوَ تَعْدِيلٌ لِأَنَّهُ يَجُوزُ

Adapun jika orang yang adil mengamalkan khabarnya dan menyatakan bahwa itu adalah khabarnya, maka itu adalah ta'dil karena hal itu boleh

أَنْ يَعْمَلَ بِهِ إِلَّا وَقَدْ قَبِلَهُ وَإِنْ عَمِلَ بِمُوجَبِ خَبَرِهِ وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ أَنَّهُ عَمِلَ بِالْخَبَرِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ تَعْدِيلًا لِأَنَّهُ قَدْ يَعْمَلُ بِمُوجَبِ الْخَبَرِ مِنْ جِهَةِ الْقِيَاسِ وَدَلِيلِ غَيْرِهِ فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ تَعْدِيلًا.

Bahwa ia beramal dengannya kecuali ia telah menerimanya. Jika ia mengamalkan berdasarkan khabar-nya dan ia tidak mendengar darinya bahwa ia telah mengamalkan khabar tersebut, maka hal itu bukanlah ta'dil (penguatan), karena ia mungkin saja mengamalkan muatan khabar tersebut berdasarkan qiyas atau dalil lainnya. Maka hal itu tidak dianggap sebagai ta'dil.

بَابُ القَوْلِ فِي حَقِيقَةِ الرِّوَايَةِ وَمَا يَتَّصِلُ بِهِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي حَقِيقَةِ الرِّوَايَةِ وَمَا يَتَّصِلُ بِهِ

Bab Perkataan tentang Hakikat Riwayat dan Hal-hal yang Berkaitan dengannya

وَالِاخْتِيَارُ فِي الرِّوَايَةِ أَنْ يَرْوِيَ الْخَبَرَ بِلَفْظِهِ لِقَوْلِهِ ﷺ: "نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا ثُمَّ أَدَّاهَا" كَمَا سَمِعَ: "رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ" فَإِنْ أَوْرَدَ الرِّوَايَةَ بِالْمَعْنَى نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَعْرِفُ مَعْنَى الْحَدِيثِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ أَنْ يُغَيِّرَ مَعْنَى الْحَدِيثِ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَعْرِفُ مَعْنَى الْحَدِيثِ نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي خَبَرٍ مُحْتَمَلٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُرْوَى بِالْمَعْنَى لِأَنَّهُ رُبَّمَا نَقَلَ بِلَفْظٍ لَا يُؤَدِّي مُرَادَ الرَّسُولِ ﷺ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ وَإِنْ كَانَ خَبَرًا ظَاهِرًا فَفِيهِ وَجْهَانِ: مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ رُبَّمَا كَانَ التَّعَبُّدُ بِاللَّفْظِ كَتَكْبِيرِ لِلصَّلَاةِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ لِأَنَّهُ يُؤَدِّي مَعْنَاهُ فَقَامَ مَقَامَهُ وَلِهَذَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا أَصَبْتَ الْمَعْنَى فَلَا بَأْسَ".

Pilihan dalam periwayatan adalah meriwayatkan hadits dengan lafadznya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar perkataanku lalu menghafalnya kemudian menyampaikannya" sebagaimana yang ia dengar: "Betapa banyak pembawa ilmu fikih kepada orang yang lebih fakih darinya". Jika seseorang meriwayatkan hadits dengan maknanya, maka perhatikanlah. Jika ia termasuk orang yang tidak mengetahui makna hadits, maka tidak boleh karena dikhawatirkan ia akan mengubah makna hadits. Jika ia termasuk orang yang mengetahui makna hadits, maka perhatikanlah. Jika hadits tersebut mengandung kemungkinan makna lain, maka tidak boleh diriwayatkan dengan makna karena bisa jadi ia menyampaikan dengan lafadz yang tidak sesuai dengan maksud Rasulullah ﷺ sehingga tidak boleh mengubahnya. Jika hadits tersebut jelas maknanya, maka ada dua pendapat: sebagian ulama kami berpendapat tidak boleh karena bisa jadi ibadah itu terkait dengan lafadznya seperti takbir dalam shalat. Pendapat kedua: boleh, dan ini pendapat yang lebih jelas, karena ia telah menyampaikan maknanya sehingga menempati posisi lafadznya. Oleh karena itu, diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: "Jika engkau telah tepat maknanya maka tidak mengapa".

فَصْلٌ

Pasal

وَالْأَوْلَى أَنْ يُرْوَى الْحَدِيثُ بِتَمَامِهِ فَإِنْ رُوِيَ الْبَعْضُ وَتُرِكَ الْبَعْضُ لَمْ يَجُزْ ذَلِكَ عَلَى قَوْلِ مَنْ يَقُولُ إِنَّ نَقْلَ الْحَدِيثِ بِالْمَعْنَى لَا يَجُوزُ وَأَمَّا عَلَى قَوْلِ مَنْ قَالَ إِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ فَقَدِ اخْتَلَفُوا فِي هَذَا. فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنْ كَانَ قَدْ نَقَلَ ذَلِكَ هُوَ أَوْ غَيْرُهُ بِتَمَامِهِ مَرَّةً جَازَ أَنْ يَنْقُلَ الْبَعْضَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ نَقَلَ ذَلِكَ لَا هُوَ وَلَا غَيْرُهُ لَمْ يَجُزْ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنْ كَانَ يَتَعَلَّقُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ لَمْ يَجُزْ فَإِنْ كَانَ الْخَبَرُ يَشْتَمِلُ عَلَى حُكْمَيْنِ لَا يَتَعَلَّقُ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ جَازَ نَقْلُ أَحَدِ الْحُكْمَيْنِ بِتَرْكِ الْآخَرِ وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ بِكُلِّ حَالٍ وَالدَّلِيلُ عَلَى الصَّحِيحِ هُوَ أَنَّهُ إِذَا تَعَلَّقَ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ كَانَ فِي تَرْكِ بَعْضِهِ تَقْرِيرٌ لِأَنَّهُ رُبَّمَا عَمِلَ بِظَاهِرِهِ فَيُخِلُّ بِشَرْطٍ مِنْ شُرُوطِ الْحُكْمِ وَإِذَا لَمْ يَتَعَلَّقْ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ فَهُوَ كَالْخَبَرَيْنِ يَجُوزُ نَقْلُ أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ.

Dan yang utama adalah meriwayatkan hadits secara lengkap. Jika sebagian diriwayatkan dan sebagian ditinggalkan, maka hal itu tidak boleh menurut pendapat yang mengatakan bahwa meriwayatkan hadits dengan makna tidak boleh. Adapun menurut pendapat yang mengatakan bahwa hal itu boleh, maka mereka berbeda pendapat dalam hal ini. Di antara mereka ada yang mengatakan: Jika dia atau orang lain telah meriwayatkannya secara lengkap satu kali, maka boleh meriwayatkan sebagian. Jika dia atau orang lain belum meriwayatkannya, maka tidak boleh. Di antara mereka ada yang mengatakan: Jika sebagiannya terkait dengan sebagian yang lain, maka tidak boleh. Jika hadits itu mencakup dua hukum yang tidak saling terkait, maka boleh meriwayatkan salah satu hukum dengan meninggalkan yang lain, dan ini adalah pendapat yang benar. Di antara manusia ada yang mengatakan: Tidak boleh dalam keadaan apapun. Dalil atas pendapat yang benar adalah bahwa jika sebagiannya terkait dengan sebagian yang lain, maka meninggalkan sebagiannya merupakan penetapan, karena terkadang diamalkan secara zhahir sehingga menyalahi salah satu syarat hukum. Jika sebagiannya tidak terkait dengan sebagian yang lain, maka ia seperti dua hadits yang boleh meriwayatkan salah satunya tanpa yang lain.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَنْبَغِي لِمَنْ لَا يَحْفَظُ الْحَدِيثَ أَنْ يَرْوِيَهُ مِنَ الْكِتَابِ فَإِنْ كَانَ يَحْفَظُ فَالْأَوْلَى أَنْ يَرْوِيَهُ مِنْ كِتَابٍ لِأَنَّهُ أَحْوَطُ فَإِنْ رَوَاهُ مِنْ حِفْظِهِ جَازَ، وَأَمَّا إِذَا لَمْ يَحْفَظْ وَعِنْدَهُ كِتَابٌ وَفِيهِ سَمَاعُهُ بِخَطِّهِ وَهُوَ يَذْكُرُ أَنَّهُ سَمِعَ جَازَ أَنْ يَرْوِيَهُ وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ كُلَّ حَدِيثٍ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ أَنَّهُ سَمِعَ هَذَا الْخَبَرَ فَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَرْوِيَهُ؟ فِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: يَجُوزُ وَعَلَيْهِ يَدُلُّ قَوْلُهُ فِي الرِّسَالَةِ. وَالثَّانِي: لَا يَجُوزُ وَهُوَ الصَّحِيحُ لِأَنَّهُ لَا يَأْمَنُ أَنْ يَكُونَ قَدْ زُوِّرَ عَلَى خَطِّهِ فَلَا تَجُوزُ الرِّوَايَةُ بِالشَّكِّ.

Bagi orang yang tidak menghafal hadits, hendaknya meriwayatkannya dari kitab. Jika dia menghafalnya, maka yang utama adalah meriwayatkannya dari kitab karena lebih hati-hati. Jika dia meriwayatkannya dari hafalannya, maka diperbolehkan. Adapun jika dia tidak menghafal dan memiliki kitab yang di dalamnya terdapat riwayat yang dia dengar dengan tulisannya sendiri dan dia ingat bahwa dia telah mendengarnya, maka boleh baginya untuk meriwayatkannya meskipun dia tidak menyebutkan setiap hadits di dalamnya. Jika dia tidak menyebutkan bahwa dia telah mendengar khabar ini, apakah boleh baginya untuk meriwayatkannya? Dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama: boleh, dan ini ditunjukkan oleh perkataannya dalam ar-Risalah. Kedua: tidak boleh, dan ini adalah pendapat yang benar, karena dia tidak aman dari kemungkinan telah dipalsukan atas tulisannya, sehingga tidak boleh meriwayatkan dengan keraguan.

فَصْلٌ

Pasal

فَإِذَا رَوَى عَنْ شَيْخٍ ثُمَّ نَسِيَ الشَّيْخُ الْحَدِيثَ لَمْ يَسْقُطِ الْحَدِيثُ، وَقَالَ الْكَرْخِيُّ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللهُ: يَسْقُطُ الْحَدِيثُ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الرَّاوِيَ عَنْهُ ثِقَةٌ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الشَّيْخُ قَدْ نَسِيَ فَلَا تَسْقُطُ رِوَايَةٌ صَحِيحَةٌ فِي الظَّاهِرِ فَأَمَّا إِذَا جَحَدَ الشَّيْخُ الْحَدِيثَ وَكَذَّبَ الرَّاوِيَ عَنْهُ سَقَطَ الْحَدِيثُ لِأَنَّهُ قَطَعَ بِالْجُحُودِ وَرَدَّ الْحَدِيثَ فَتَعَارَضَ رِوَايَتُهُ جُحُودُ الشَّيْخِ فَسَقَطَا وَلَا يَكُونُ هَذَا التَّكْذِيبُ قَدْحًا فِي الرِّوَايَةِ عَنْهُ لِأَنَّهُ كَمَا يُكَذِّبُهُ الشَّيْخُ فَهُوَ أَيْضًا يُكَذِّبُ الشَّيْخَ.

Jika dia meriwayatkan dari seorang syekh kemudian syekh itu lupa hadits tersebut, maka hadits itu tidak gugur. Al-Karkhi, salah seorang sahabat Abu Hanifah rahimahullah, berkata: Hadits itu gugur. Ini tidak benar karena perawi darinya adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) dan boleh jadi syekh itu lupa sehingga riwayat yang sahih secara zahir tidak gugur. Adapun jika syekh mengingkari hadits dan mendustakan perawi darinya, maka hadits itu gugur karena dia memutuskan dengan pengingkaran dan menolak hadits sehingga riwayatnya bertentangan dengan pengingkaran syekh, maka keduanya gugur. Pendustaan ini tidak mencela periwayatan darinya karena sebagaimana syekh mendustakannya, dia juga mendustakan syekh.

فَصْلٌ

Pasal

فَإِذَا قَرَأَ الشَّيْخُ الحَدِيثَ عَلَيْكَ جَازَ أَنْ تَقُولَ سَمِعْتُهُ وَحَدَّثَنِي وَأَخْبَرَنِي وَقَرَأَ عَلَيَّ. سَوَاءٌ قَالَ أَرْوِهِ عَنِّي أَوْ لَمْ يَقُلْ وَإِنْ أَمْلَى عَلَيْكَ جَازَ جَمِيعُ مَا ذَكَرْنَاهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَقُولَ أَمْلَى عَلَيَّ لِأَنَّ جَمِيعَ ذَلِكَ صِدْقٌ فَأَمَّا إِذَا قَرَأْتَ عَلَيْهِ الحَدِيثَ وَهُوَ سَاكِتٌ يَسْمَعُ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَقُولَ سَمِعْتُهُ وَلَا حَدَّثَنِي وَلَا أَخْبَرَنِي وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ يَجُوزُ ذَلِكَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فَإِنْ قَالَ لَهُ هُوَ كَمَا قَرَأْتَ عَلَيْكَ فَأَقْرَأْ بِهِ جَازَ أَنْ يَقُولَ أَخْبَرَنِي وَلَا يَقُولُ حَدَّثَنِي لِأَنَّ الْأَخْبَارَ يُسْتَعْمَلُ فِي كُلِّ مَا يَتَضَمَّنُ الْإِعْلَامَ، وَالحَدِيثَ لَا يُسْتَعْمَلُ إِلَّا فِيمَا سَمِعَهُ مُشَافَهَةً، فَأَمَّا إِذَا أَجَازَهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَقُولَ حَدَّثَنِي وَلَا أَخْبَرَنِي وَيَجُوزُ أَنْ يَقُولَ أَجَازَنِي وَأَخْبَرَنِي إِجَازَةً وَيَجِبُ الْعَمَلُ بِهِ وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الظَّاهِرِ لَا يَجِبُ

Jika seorang syekh membacakan hadits kepadamu, maka boleh bagimu mengatakan "Aku mendengarnya", "Dia menceritakan kepadaku", "Dia mengabarkan kepadaku", dan "Dia membacakan kepadaku". Baik dia mengatakan "Riwayatkanlah dariku" atau tidak mengatakannya. Jika dia mendiktekan kepadamu, maka boleh semua yang telah kami sebutkan dan boleh mengatakan "Dia mendiktekan kepadaku" karena semua itu benar. Adapun jika kamu membacakan hadits kepadanya sementara dia diam mendengarkan, maka tidak boleh kamu mengatakan "Aku mendengarnya", "Dia menceritakan kepadaku", dan "Dia mengabarkan kepadaku". Sebagian orang mengatakan boleh, namun ini keliru karena tidak ada satupun dari itu yang terjadi. Jika dia mengatakan kepadanya "Sebagaimana yang telah kamu baca, maka bacakanlah dengannya", maka boleh mengatakan "Dia mengabarkan kepadaku" dan tidak boleh mengatakan "Dia menceritakan kepadaku" karena ikhbar (pemberitahuan) digunakan pada semua yang mencakup pemberitahuan, sedangkan hadits tidak digunakan kecuali pada apa yang didengar secara langsung. Adapun jika dia mengijazahkannya, maka tidak boleh mengatakan "Dia menceritakan kepadaku" dan "Dia mengabarkan kepadaku", namun boleh mengatakan "Dia mengijazahkan kepadaku" dan "Dia mengabarkan kepadaku secara ijazah", dan wajib mengamalkannya. Sebagian ahli zhahir mengatakan tidak wajib.

الْعَمَلُ بِهِ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْقَصْدَ أَنْ يَثْبُتَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ النُّطْقِ وَبَيْنَ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ فَأَمَّا إِذَا كَتَبَ إِلَيْهِ رَجُلٌ وَعَرَفَ خَطَّهُ جَازَ أَنْ يَقُولَ كَتَبَ إِلَيَّ بِهِ فَأَخْبَرَنِي كِتَابَةً، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يُعْمَلُ بِالْخَطِّ كَمَا لَا يُعْمَلُ فِي الشَّهَادَةِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْأَخْبَارَ مَبْنَاهَا عَلَى حُسْنِ الظَّنِّ.

Bekerja dengannya dan ini adalah kesalahan karena tujuannya adalah untuk menetapkan hal itu dari Nabi ﷺ, maka tidak ada perbedaan antara ucapan dan apa yang menggantikannya. Adapun jika seorang laki-laki menulis kepadanya dan dia mengenali tulisannya, maka boleh baginya untuk mengatakan "Dia menulis kepadaku tentang hal itu dan memberitahuku secara tertulis". Di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa tulisan tidak diamalkan sebagaimana tidak diamalkan dalam kesaksian, dan ini tidak benar karena kabar-kabar itu didasarkan pada prasangka baik.

بَابُ بَيَانِ مَا يُرَدُّ بِهِ خَبَرُ الوَاحِدِ

بَابُ بَيَانِ مَا يُرَدُّ بِهِ خَبَرُ الْوَاحِدِ

Bab penjelasan tentang apa yang ditolak dengannya khabar ahad

إِذَا رُوِيَ الْخَبَرُ ثِقَةً رُدَّ بِأُمُورٍ:

Jika sebuah khabar diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah (terpercaya), maka ditolak karena beberapa hal:

أَحَدُهَا: أَنْ يُخَالِفَ مُوجِبَاتِ الْعُقُولِ فَيُعْلَمُ بُطْلَانُهُ لِأَنَّ الشَّرْعَ إِنَّمَا يَرِدُ بِمُجَوَّزَاتِ الْعُقُولِ وَأَمَّا بِخِلَافِ الْعُقُولِ فَلَا.

Pertama: Bertentangan dengan keharusan akal, maka diketahui kebatilannya karena syariat datang dengan apa yang diperbolehkan oleh akal, adapun yang bertentangan dengan akal maka tidak.

وَالثَّانِي: أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةً مُتَوَاتِرَةً فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لَا أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوخٌ.

Kedua: Bertentangan dengan nash Al-Qur'an atau Sunnah mutawatir, maka diketahui bahwa khabar tersebut tidak memiliki asal (dasar) atau telah dihapus (mansukh).

وَالثَّالِثُ: أَنْ يُخَالِفَ الْإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوخٌ أَوْ لَا أَصْلَ لَهُ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صَحِيحًا غَيْرَ مَنْسُوخٍ وَتُجْمِعَ الْأُمَّةُ عَلَى خِلَافِهِ.

Ketiga: Bertentangan dengan ijma' (konsensus ulama), maka hal itu menunjukkan bahwa khabar tersebut telah dihapus (mansukh) atau tidak memiliki asal (dasar), karena tidak boleh jika khabar itu shahih, tidak dihapus, namun umat bersepakat atas hal yang bertentangan dengannya.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَنْفَرِدَ الْوَاحِدُ بِرِوَايَةِ مَا يَجِبُ عَلَى الْكَافَّةِ عِلْمُهُ فَيَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ لَا أَصْلَ لَهُ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَصْلٌ وَيَنْفَرِدُ هُوَ بِعِلْمِهِ مِنْ بَيْنِ الْخَلْقِ الْعَظِيمِ.

Keempat: Seorang perawi meriwayatkan sendiri apa yang seharusnya diketahui oleh orang banyak, maka hal itu menunjukkan bahwa khabar tersebut tidak memiliki asal (dasar), karena tidak boleh jika khabar itu memiliki asal (dasar) namun hanya dia sendiri yang mengetahuinya di antara makhluk yang banyak.

وَالْخَامِسُ: أَنْ يَنْفَرِدَ بِرِوَايَةِ مَا جَرَتِ الْعَادَةُ أَنْ يَنْقُلَهُ أَهْلُ التَّوَاتُرِ فَلَا يُقْبَلُ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْفَرِدَ فِي مِثْلِ هَذَا بِالرِّوَايَةِ فَأَمَّا إِذَا وَرَدَ مُخَالِفًا لِلْقِيَاسِ أَوْ أَنْفَرَدَ الْوَاحِدُ بِرِوَايَةِ مَا يَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى لَمْ يُرَدَّ وَقَدْ حَكَيْنَا الْخِلَافَ فِي ذَلِكَ فَأَغْنَى عَنِ الْإِعَادَةِ.

Dan yang kelima: bahwa ia sendirian meriwayatkan apa yang biasanya diriwayatkan oleh orang-orang mutawatir, maka tidak diterima karena tidak boleh sendirian meriwayatkan seperti ini. Adapun jika datang bertentangan dengan qiyas atau seorang perawi sendirian meriwayatkan sesuatu yang merata pada manusia, maka tidak ditolak. Dan sungguh kami telah menceritakan perselisihan dalam hal itu, maka cukuplah dari mengulanginya.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا انْفَرَدَ بِنَقْلِ حَدِيثٍ وَاحِدٍ لَا يَرْوِيهِ غَيْرُهُ لَمْ يُرَدَّ خَبَرُهُ وَكَذَلِكَ لَوْ انْفَرَدَ بِإِسْنَادِ مَا أَرْسَلَهُ غَيْرُهُ أَوْ رَفَعَ مَا وَقَفَهُ غَيْرُهُ أَوْ بِزِيَادَةٍ لَا يَنْقُلُهَا غَيْرُهُ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ: يُرَدُّ. وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ إِذَا لَمْ يَنْقُلْ

Adapun jika ia sendirian meriwayatkan satu hadits yang tidak diriwayatkan oleh selainnya, maka riwayatnya tidak ditolak. Demikian pula jika ia sendirian menyambungkan sanad apa yang dimursal-kan oleh selainnya, atau memarfu'kan apa yang dimauquf-kan oleh selainnya, atau dengan tambahan yang tidak diriwayatkan oleh selainnya. Sebagian ulama hadits berkata: Ditolak. Pengikut Abu Hanifah ﵀ berkata: Jika tidak diriwayatkan

الأَصْلُ لَمْ يُقْبَلْ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمْ سَمِعَ الحَدِيثَ كُلَّهُ وَالآخَرُ سَمِعَ بَعْضَهُ أَوْ أَحَدُهُمْ سَمِعَهُ مُسْنَدًا أَوْ مَرْفُوعًا فَلَا تُتْرَكُ رِوَايَةُ الثِّقَةِ لِذَلِكَ.

Aslinya tidak diterima dan ini adalah kesalahan karena boleh jadi salah satu dari mereka mendengar hadits seluruhnya dan yang lain mendengar sebagiannya, atau salah satu dari mereka mendengarnya secara musnad atau marfu', maka riwayat orang yang tsiqah tidak ditinggalkan karena hal itu.

بَابُ القَوْلِ فِي تَرْجِيحِ أَحَدِ الخَبَرَيْنِ عَلَى الآخَرِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي تَرْجِيحِ أَحَدِ الْخَبَرَيْنِ عَلَى الْآخَرِ

Bab tentang perkataan dalam mengunggulkan salah satu dari dua khabar atas yang lainnya

وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَضَ خَبَرَانِ وَأَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا وَتَرْتِيبُ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ فِي الِاسْتِعْمَالِ فُعِلَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ وَأَمْكَنَ نَسْخُ أَحَدِهِمَا بِالْآخَرِ فُعِلَ عَلَى مَا بَيَّنَهُ فِي بَابِ بَيَانِ الْأَدِلَّةِ الَّتِي يَجُوزُ التَّخْصِيصُ لَهَا وَمَا لَا يَجُوزُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ رُجِّحَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ بِوَجْهٍ مِنْ وُجُوهِ التَّرْجِيحِ وَالتَّرْجِيحُ يَدْخُلُ فِي مَوْضِعَيْنِ: أَحَدُهُمَا فِي الْإِسْنَادِ وَالْآخَرُ فِي الْمَتْنِ. فَأَمَّا التَّرْجِيحُ فِي الْإِسْنَادِ فَمِنْ وُجُوهٍ.

Intinya, jika ada dua khabar yang bertentangan dan memungkinkan untuk mengkompromikan keduanya serta mengurutkan salah satunya atas yang lain dalam penggunaannya, maka hal itu dilakukan. Jika tidak demikian dan memungkinkan untuk menghapus (me-naskh) salah satunya dengan yang lain, maka hal itu dilakukan sebagaimana dijelaskan dalam bab penjelasan dalil-dalil yang boleh ditakhsis dan yang tidak boleh. Jika tidak demikian, maka salah satunya dimenangkan atas yang lain dengan salah satu bentuk tarjih (pengunggulan). Tarjih masuk dalam dua tempat: pertama dalam sanad dan kedua dalam matan. Adapun tarjih dalam sanad, maka dari beberapa segi.

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الرَّاوِيَيْنِ صَغِيرًا وَالْآخَرُ كَبِيرًا فَيُقَدَّمُ رِوَايَةُ الْكَبِيرِ لِأَنَّهُ أَضْبَطُ وَلِهَذَا قَدَّمَ ابْنُ عُمَرَ رِوَايَتَهُ فِي الْإِفْرَادِ عَلَى رِوَايَةِ أَنَسٍ فَقَالَ إِنَّ أَنَسًا كَانَ صَغِيرًا يَتَوَلَّجُ عَلَى النِّسَاءِ وَهُنَّ مُتَكَشِّفَاتٌ وَأَنَا آخُذُ بِزِمَامِ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَسِيلُ عَلَيَّ لُعَابُهَا.

Pertama: Bahwa salah satu dari dua perawi masih kecil dan yang lain sudah besar, maka didahulukan riwayat yang besar karena ia lebih kuat hafalannya. Oleh karena itu, Ibnu Umar mendahulukan riwayatnya dalam masalah ifrad (melaksanakan haji saja) atas riwayat Anas. Ia berkata, "Sesungguhnya Anas masih kecil, ia masuk menemui para wanita dalam keadaan mereka terbuka auratnya, sedangkan aku memegang tali kekang unta Rasulullah ﷺ yang air liurnya menetes padaku."

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا أَفْقَهَ مِنَ الْآخَرِ فَيُقَدَّمُ عَلَى مَنْ دُونَهُ لِأَنَّهُ أَعْرَفُ بِمَا يَسْمَعُ.

Kedua: Jika salah satu dari keduanya lebih faqih daripada yang lain, maka ia didahulukan atas yang lainnya karena ia lebih mengetahui apa yang ia dengar.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا أَقْرَبَ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَيُقَدَّمُ لِأَنَّهُ أَوْعَى.

Ketiga: Jika salah satu dari keduanya lebih dekat kepada Rasulullah ﷺ, maka ia didahulukan karena ia lebih memahami.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا مُبَاشِرًا لِلْقِصَّةِ أَوْ تَتَعَلَّقُ الْقِصَّةُ بِهِ فَيُقَدَّمُ لِأَنَّهُ أَعْرَفُ مِنَ الْأَجْنَبِيِّ.

Keempat: Jika salah satu dari keduanya terlibat langsung dalam kisah tersebut atau kisah itu berkaitan dengannya, maka ia didahulukan karena ia lebih mengetahui daripada orang luar.

وَالْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْخَبَرَيْنِ أَكْثَرَ رُوَاةً فَيُقَدَّمُ عَلَى الْخَبَرِ الْآخَرِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يُقَدَّمُ كَمَا لَا تُقَدَّمُ الشَّهَادَةُ بِكَثْرَةِ الْعَدَدِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ قَوْلَ الْجَمَاعَةِ أَقْوَى فِي الظَّنِّ وَأَبْعَدُ عَنِ السَّهْوِ وَلِهَذَا قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى﴾ ١.

Kelima: Jika salah satu dari dua khabar memiliki lebih banyak perawi, maka ia didahulukan atas khabar yang lain. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa ia tidak didahulukan sebagaimana kesaksian tidak didahulukan karena banyaknya jumlah. Pendapat pertama lebih shahih karena perkataan jamaah lebih kuat secara dugaan dan lebih jauh dari kelupaan. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman: "Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya." ¹

_________
١ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ٢٨٢.
¹ Surah Al-Baqarah ayat 282.

وَالسَّادِسُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الرَّاوِيَيْنِ أَكْثَرَ صُحْبَةً فَرِوَايَتُهُ أَوْلَى لِأَنَّهُ أَعْرَفُ بِمَا دَامَ مِنَ السُّنَنِ.

Keenam: Jika salah satu dari dua perawi lebih banyak persahabatannya, maka riwayatnya lebih utama karena dia lebih mengetahui sunnah yang berlangsung.

وَالسَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا أَحْسَنَ سِيَاقًا لِلْحَدِيثِ فَيُقَدَّمُ لِحُسْنِ عِنَايَتِهِ بِالْخَبَرِ.

Ketujuh: Jika salah satunya lebih baik dalam menyampaikan hadits, maka dia didahulukan karena baiknya perhatiannya terhadap khabar.

وَالثَّامِنُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا مُتَأَخِّرَ الْإِسْلَامِ فَيُقَدَّمُ لِأَنَّهُ يَحْفَظُ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنَ النَّبِيِّ ﷺ، وَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا مُتَأَخِّرَ الصُّحْبَةِ كَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ فَرِوَايَةُ الْمُتَأَخِّرِ مِنْهُمَا تُقَدَّمُ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ لَا يُقَدَّمُ بِالتَّأْخِيرِ لِأَنَّ الْمُتَقَدِّمَ عَاشَ حَتَّى مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَسَاوَى الْمُتَأَخِّرَ فِي الصُّحْبَةِ وَزَادَ عَلَيْهِ بِالتَّقَدُّمِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ سَاوَى الْمُتَأَخِّرَ فِي الصُّحْبَةِ إِلَّا أَنَّ سَمَاعَ الْمُتَأَخِّرِ مُتَحَقِّقُ التَّأَخُّرِ وَسَمَاعَ الْمُتَقَدِّمِ يَحْتَمِلُ التَّأَخُّرَ وَالتَّقَدُّمَ فَمَا تَأَخَّرَ بِيَقِينٍ أَوْلَى، وَلِهَذَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنَّا نَأْخُذُ مِنْ أَوَامِرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِالْأَحْدَثِ فَالْأَحْدَثِ.

Kedelapan: Jika salah satunya lebih akhir masuk Islam, maka dia didahulukan karena dia menghafal perkara terakhir dari Nabi ﷺ. Demikian pula jika salah satunya lebih akhir persahabatannya seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud, maka riwayat yang lebih akhir dari keduanya didahulukan. Sebagian sahabat Abu Hanifah ﵀ berkata, "Tidak didahulukan karena keakhirannya, karena yang terdahulu hidup hingga Rasulullah ﷺ wafat, sehingga dia menyamai yang terakhir dalam persahabatan dan melebihinya dalam kedahuluan." Ini tidak benar, karena meskipun dia menyamai yang terakhir dalam persahabatan, tetapi pendengaran yang terakhir dipastikan keakhirannya, sedangkan pendengaran yang terdahulu mengandung kemungkinan keakhiran dan kedahuluan. Maka apa yang terakhir dengan yakin lebih utama. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berkata, "Kami mengambil perintah-perintah Rasulullah ﷺ dengan yang paling baru kemudian yang paling baru."

وَالتَّاسِعُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الرَّاوِيَيْنِ أَوْرَعَ أَوْ أَشَدَّ احْتِيَاطًا فِيمَا يَرْوِي فَتُقَدَّمُ رِوَايَتُهُ لِاحْتِيَاطِهِ فِي النَّقْلِ. وَالْعَاشِرُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا قَدِ اضْطَرَبَ لَفْظُهُ وَالْآخَرُ لَمْ يَضْطَرِبْ فَيُقَدَّمُ مَنْ لَمْ يَضْطَرِبْ لَفْظُهُ لِأَنَّ اضْطِرَابَ لَفْظِهِ يَدُلُّ عَلَى ضَعْفِ حِفْظِهِ.

Kesembilan: Bahwa salah satu dari dua perawi lebih wara' atau lebih berhati-hati dalam apa yang diriwayatkan, maka riwayatnya didahulukan karena kehati-hatiannya dalam periwayatan. Kesepuluh: Bahwa lafaz salah satunya telah goyah sedangkan yang lain tidak goyah, maka didahulukan orang yang lafaznya tidak goyah karena kegoyahan lafaznya menunjukkan lemahnya hafalannya.

وَالْحَادِي عَشَرَ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْخَبَرَيْنِ مِنْ رِوَايَةِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَيُقَدَّمُ عَلَى رِوَايَةِ غَيْرِهِمْ لِأَنَّهُمْ يَرِثُونَ أَفْعَالَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَسُنَّتَهُ الَّتِي مَاتَ عَلَيْهَا فَهُمْ أَعْرَفُ بِذَلِكَ مِنْ غَيْرِهِمْ.

Kesebelas: Bahwa salah satu dari dua khabar berasal dari riwayat penduduk Madinah, maka didahulukan atas riwayat selain mereka karena mereka mewarisi perbuatan-perbuatan Rasulullah ﷺ dan sunnahnya yang beliau wafat di atasnya, sehingga mereka lebih mengetahui hal itu daripada selain mereka.

وَالثَّانِي عَشَرَ: أَنْ يَكُونَ رَاوِي أَحَدِ الْخَبَرَيْنِ قَدِ اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنْهُ وَالْآخَرُ لَمْ تَخْتَلِفْ عَنْهُ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ تَتَعَارَضُ الرِّوَايَتَانِ عَمَّنِ اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنْهُ وَتَسْقُطَانِ وَتَبْقَى رِوَايَةُ مَنْ لَمْ تَخْتَلِفْ عَنْهُ الرِّوَايَةُ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ تُرَجَّحُ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَمَّنِ اخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنْهُ عَلَى الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى بِرِوَايَةِ مَنْ لَمْ تَخْتَلِفِ الرِّوَايَةُ عَنْهُ.

Kedua belas: Bahwa perawi salah satu dari dua khabar telah berbeda riwayat darinya sedangkan yang lain tidak berbeda darinya. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal itu. Di antara mereka ada yang mengatakan, kedua riwayat dari orang yang berbeda riwayat darinya saling bertentangan dan gugur, dan yang tersisa adalah riwayat dari orang yang riwayat darinya tidak berbeda. Di antara mereka ada yang mengatakan, salah satu dari dua riwayat dari orang yang berbeda riwayat darinya dirajihkan atas riwayat lainnya dengan riwayat dari orang yang riwayat darinya tidak berbeda.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا تَرْجِيحُ الْمَتْنِ فَمِنْ وُجُوهٍ.

Adapun pengutamaan matan hadis, maka dari beberapa segi.

أَحَدُهَا: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْخَبَرَيْنِ مُوَافِقًا لِدَلِيلٍ آخَرَ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ أَوْ قِيَاسٍ فَيُقَدَّمُ عَلَى الْآخَرِ لِمُعَاضَدَةِ الدَّلِيلِ لَهُ.

Pertama: Bahwa salah satu dari dua khabar (hadis) itu sesuai dengan dalil lain dari Al-Qur'an, Sunnah, atau qiyas, maka ia didahulukan atas yang lain karena dukungan dalil terhadapnya.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْخَبَرَيْنِ عَمِلَ بِهِ الْأَئِمَّةُ فَهُوَ أَوْلَى لِأَنَّ عَمَلَهُمْ بِهِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ آخِرُ الْأَمْرَيْنِ وَأَوْلَاهُمَا، وَهَكَذَا إِذَا عَمِلَ بِأَحَدِ الْخَبَرَيْنِ أَهْلُ الْحَرَمَيْنِ فَهُوَ أَوْلَى لِأَنَّ عَمَلَهُمْ بِهِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ قَدْ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الشَّرْعُ وَوَرِثُوهُ.

Kedua: Bahwa salah satu dari dua khabar (hadis) itu diamalkan oleh para imam, maka ia lebih utama karena pengamalan mereka dengannya menunjukkan bahwa ia adalah yang terakhir dari dua perkara dan yang paling utama. Demikian pula jika salah satu dari dua khabar (hadis) itu diamalkan oleh penduduk dua tanah haram (Makkah dan Madinah), maka ia lebih utama karena pengamalan mereka dengannya menunjukkan bahwa syariat telah mantap dengannya dan mereka mewarisinya.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا يَجْمَعُ النُّطْقَ وَالدَّلِيلَ فَيَكُونُ أَوْلَى مَا يَجْمَعُ أَحَدُهُمَا لِأَنَّهُ أَبْيَنُ.

Ketiga: Bahwa salah satunya mencakup perkataan (nuthq) dan dalil, maka ia lebih utama daripada yang hanya mencakup salah satunya karena ia lebih jelas.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا نُطْقًا وَالْآخَرُ دَلِيلًا فَالنُّطْقُ أَوْلَى مِنَ الدَّلِيلِ لِأَنَّ النُّطْقَ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ وَالدَّلِيلُ مُخْتَلَفٌ فِيهِ.

Keempat: Bahwa salah satunya berupa perkataan (nuthq) dan yang lain berupa dalil, maka perkataan (nuthq) lebih utama daripada dalil karena perkataan (nuthq) disepakati sedangkan dalil diperselisihkan.

وَالْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا قَوْلًا وَفِعْلًا وَالْآخَرُ أَحَدَهُمَا فَالَّذِي يَجْمَعُ الْقَوْلَ وَالْفِعْلَ أَوْلَى لِأَنَّهُ أَقْوَى لِتَظَاهُرِ الدَّلِيلَيْنِ وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا قَوْلًا وَالْآخَرُ فِعْلًا فَفِيهِ أَوْجُهٌ قَدْ مَضَتْ فِي بَابِ الْأَفْعَالِ.

Kelima: jika salah satunya adalah perkataan dan perbuatan, sedangkan yang lain hanya salah satunya, maka yang menggabungkan perkataan dan perbuatan lebih utama karena lebih kuat dengan adanya dua dalil yang saling menguatkan. Jika salah satunya adalah perkataan dan yang lain adalah perbuatan, maka di dalamnya terdapat beberapa pendapat yang telah disebutkan dalam bab tentang perbuatan.

وَالسَّادِسُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا قُصِدَ بِهِ الْحُكْمُ وَالْآخَرُ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ الْحُكْمُ فَالَّذِي قُصِدَ بِهِ الْحُكْمُ أَوْلَى لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي بَيَانِ الْغَرَضِ وَإِفَادَةِ الْمَقْصُودِ.

Keenam: jika salah satunya dimaksudkan untuk menetapkan hukum, sedangkan yang lain tidak dimaksudkan untuk menetapkan hukum, maka yang dimaksudkan untuk menetapkan hukum lebih utama karena lebih tegas dalam menjelaskan tujuan dan memberikan manfaat yang dimaksud.

وَالسَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا وَرَدَ عَلَى سَبَبٍ وَالْآخَرُ وَرَدَ عَلَى غَيْرِ سَبَبٍ فَالَّذِي وَرَدَ عَلَى غَيْرِ سَبَبٍ أَوْلَى لِأَنَّهُ مُتَّفَقٌ عَلَى عُمُومِهِ وَالْوَارِدُ عَلَى سَبَبٍ مُخْتَلَفٌ فِي عُمُومِهِ.

Ketujuh: jika salah satunya datang karena suatu sebab, sedangkan yang lain datang bukan karena suatu sebab, maka yang datang bukan karena suatu sebab lebih utama karena disepakati keumumannya, sedangkan yang datang karena suatu sebab diperselisihkan keumumannya.

وَالثَّامِنُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُ الْخَبَرَيْنِ قُضِيَ بِهِ عَلَى الْآخَرِ فَالَّذِي قُضِيَ بِهِ مِنْهُمَا أَوْلَى لِأَنَّهُ ثَبَتَ لَهُ حَقُّ التَّقَدُّمِ. وَالتَّاسِعُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا إِثْبَاتًا وَالْآخَرُ نَفْيًا فَيُقَدَّمُ الْإِثْبَاتُ، لِأَنَّ مَعَ الْمُثْبِتِ زِيَادَةَ عِلْمٍ فَالْأَخْذُ بِرِوَايَتِهِ أَوْلَى.

Kedelapan: jika salah satu dari dua khabar telah diputuskan atas yang lain, maka yang diputuskan di antara keduanya lebih utama karena telah ditetapkan baginya hak untuk didahulukan. Kesembilan: jika salah satunya adalah penetapan dan yang lain adalah penafian, maka didahulukan penetapan, karena bersama yang menetapkan terdapat tambahan ilmu, sehingga mengambil riwayatnya lebih utama.

وَالْعَاشِرُ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا نَاقِلًا وَالْآخَرُ مَنْفِيًّا فَالنَّاقِلُ أَوْلَى لِأَنَّهُ يُفِيدُ حُكْمًا شَرْعِيًّا.

Kesepuluh: Jika salah satunya adalah naql (transmisi) dan yang lainnya adalah manfi (negatif), maka naql lebih diutamakan karena memberikan hukum syar'i.

وَالْحَادِي عَشَرَ: أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا احْتِيَاطًا فَيُقَدَّمُ عَلَى الَّذِي لَا احْتِيَاطَ فِيهِ لِأَنَّ الْأَحْوَطَ لِلدِّينِ أَسْلَمُ. وَالثَّانِي عَشَرَ: أَنْ يَكُونَ أَحَدُهُمَا يَقْتَضِي الْحَظْرَ وَالْآخَرُ الْإِبَاحَةَ فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُمَا سَوَاءٌ. وَالثَّانِي: أَنَّ الَّذِي يَقْتَضِي الْحَظْرَ أَوْلَى وَهُوَ الصَّحِيحُ لِأَنَّهُ أَحْوَطُ.

Kesebelas: Jika salah satunya memiliki unsur ihtiyath (kehati-hatian), maka ia didahulukan atas yang tidak memiliki ihtiyath, karena yang lebih berhati-hati dalam agama adalah lebih selamat. Kedua belas: Jika salah satunya menuntut hazr (larangan) dan yang lainnya menuntut ibahah (kebolehan), maka ada dua pendapat: Pertama, keduanya setara. Kedua, yang menuntut hazr lebih diutamakan, dan ini adalah pendapat yang sahih karena lebih berhati-hati.

القَوْلُ فِي الإِجْمَاعِ

القَوْلُ فِي الإِجْمَاعِ

بَابُ ذِكْرِ مَعْنَى الإِجْمَاعِ وَإِثْبَاتِهِ

القَوْلُ فِي الإِجْمَاعِ

Perkataan tentang Ijma'

بَابُ ذِكْرِ مَعْنَى الإِجْمَاعِ وَإِثْبَاتِهِ

Bab tentang Penyebutan Makna Ijma' dan Penetapannya

الإِجْمَاعُ فِي اللُّغَةِ يَحْتَمِلُ مَعْنَيَيْنِ أَحَدُهُمَا الإِجْمَاعُ عَلَى الشَّيْءِ وَالثَّانِي الْعَزْمُ عَلَى الأَمْرِ وَالْقَطْعُ بِهِ مِنْ قَوْلِهِمْ: أَجْمَعْتُ عَلَى الشَّيْءِ إِذَا عَزَمْتُ عَلَيْهِ، وَأَمَّا فِي الشَّرْعِ فَهُوَ اتِّفَاقُ عُلَمَاءِ الْعَصْرِ عَلَى حُكْمِ الْحَادِثَةِ.

Ijma' dalam bahasa mengandung dua makna, salah satunya adalah kesepakatan atas sesuatu dan yang kedua adalah tekad atas suatu perkara dan memutuskannya, dari perkataan mereka: Aku telah sepakat atas sesuatu jika aku bertekad atasnya. Adapun dalam syariat, maka ia adalah kesepakatan para ulama pada suatu masa atas hukum suatu peristiwa.

فَصْلٌ

Pasal

وَهُوَ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ وَدَلِيلٌ مِنْ أَدِلَّةِ الْأَحْكَامِ مَقْطُوعٌ عَلَى مَغِيبِهِ. وَذَهَبَ النِّظَامُ وَالرَّافِضَةُ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يُتَصَوَّرُ انْعِقَادُ الْإِجْمَاعِ وَلَا سَبِيلَ إِلَى مَعْرِفَتِهِ فَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ يُتَصَوَّرُ انْعِقَادُهُ هُوَ أَنَّ الْإِجْمَاعَ إِنَّمَا يَنْعَقِدُ عَنْ دَلِيلٍ مِنْ نَصٍّ أَوِ اسْتِنْبَاطٍ وَأَهْلُهُ مَأْمُورُونَ بِطَلَبِ ذَلِكَ الدَّلِيلِ وَدَوَاعِيهِمْ مُتَوَفِّرَةٌ فِي الِاجْتِهَادِ وَفِي إِصَابَتِهِ فَصَحَّ اتِّفَاقُهُمْ عَلَى إِدْرَاكِهِ وَالْإِجْمَاعُ مُوجِبَةٌ كَمَا يَصِحُّ اجْتِمَاعُ النَّاسِ عَلَى رُؤْيَةِ الْهِلَالِ وَالصَّوْمِ وَالْفِطْرِ بِسَبَبِهِ وَالدَّلِيلُ عَلَى إِمْكَانِ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ مِنْ جِهَتِهِمْ صِحَّةُ السَّمَاعِ مِمَّنْ حَضَرُوا الْإِخْبَارَ عَمَّنْ غَابَ يُعْرَفُ بِذَلِكَ اتِّفَاقُهُمْ كَمَا تُعْرَفُ أَدْيَانُ أَهْلِ الْمِلَلِ مَعَ تَفَرُّقِهِمْ فِي الْبِلَادِ وَتَبَاعُدِهِمْ فِي الْأَوْطَانِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ حُجَّةٌ قَوْلُهُ ﷿: ﴿وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا﴾ ١ فَتَوَعَّدَ عَلَى اتِّبَاعِ غَيْرِ سَبِيلِهِمْ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِتْبَاعَ سَبِيلِهِمْ وَاجِبٌ وَمُخَالَفَتَهُمْ حَرَامٌ وَأَيْضًا قَوْلُهُ ﷺ: "لَا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى الْخَطَأِ" وَرَوَى: "لَا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى الضَّلَالَةِ" وَقَوْلُهُ صَلَّى

Dan itu adalah salah satu hujjah syariat dan dalil dari dalil-dalil hukum yang pasti atas ketidakhadirannya. An-Nidzam dan Ar-Rafidlah berpendapat bahwa itu bukanlah hujjah, dan di antara mereka ada yang mengatakan: Tidak terbayangkan terjadinya ijma' dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Dalil bahwa ijma' itu dapat terjadi adalah bahwa ijma' hanya terjadi berdasarkan dalil dari nash atau istinbath, dan para ahlinya diperintahkan untuk mencari dalil tersebut, dan motivasi mereka berlimpah dalam ijtihad dan dalam meraihnya. Maka sah kesepakatan mereka untuk memahaminya, dan ijma' itu wajib sebagaimana sahnya berkumpulnya manusia untuk melihat hilal, berpuasa, dan berbuka karenanya. Dalil atas kemungkinan mengetahui hal itu dari sisi mereka adalah sahnya pendengaran dari orang-orang yang hadir memberitakan tentang orang yang tidak hadir, dengan itu diketahui kesepakatan mereka sebagaimana diketahui agama-agama para penganut agama meskipun mereka terpencar di berbagai negeri dan berjauhan di berbagai tanah air. Dalil bahwa ijma' adalah hujjah adalah firman Allah ﷿: "Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." Maka Allah mengancam atas mengikuti selain jalan mereka, menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka adalah wajib dan menyelisihi mereka adalah haram. Juga sabda Nabi ﷺ: "Umatku tidak akan bersepakat atas kesalahan", dan diriwayatkan: "Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan", dan sabdanya ﷺ:

_________
١ سُورَةُ النِّسَاءِ الْآيَةُ: ١١٥.
1 Surah An-Nisa' Ayat: 115.

اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ وَلَوْ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ" وَنَهَى عَنِ الشُّذُوذِ وَقَالَ: "مَنْ شَذَّ شَذَّ فِي النَّارِ" فَدَلَّ عَلَى وُجُوبِ العَمَلِ بِالإِجْمَاعِ.

Allah berfirman kepadanya dan memberi salam: "Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah meskipun hanya sejengkal, maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya" dan melarang penyimpangan dan bersabda: "Barangsiapa yang menyimpang, maka ia akan menyimpang di neraka" maka ini menunjukkan kewajiban beramal dengan ijma'.

فَصْلٌ

Pasal

وَالإِجْمَاعُ حُجَّةٌ مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ هُوَ حُجَّةٌ مِنْ جِهَةِ العَقْلِ وَالشَّرْعِ جَمِيعًا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ العَقْلَ لَا يَمْنَعُ إِجْمَاعَ الخَلْقِ الكَثِيرِ عَلَى الخَطَأِ وَبِهَذَا اجْمَعَ اليَهُودُ عَلَى كَثْرَتِهِمْ وَالنَّصَارَى عَلَى كَثْرَتِهِمْ عَلَى مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنَ الكُفْرِ وَالضَّلَالِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِحُجَّةٍ مِنْ جِهَةِ العَقْلِ.

Ijma' adalah hujjah dari sisi syariat, dan di antara manusia ada yang mengatakan bahwa ia adalah hujjah dari sisi akal dan syariat sekaligus, dan ini adalah kesalahan karena akal tidak mencegah bersatunya banyak makhluk dalam kesalahan, dan dengan ini orang-orang Yahudi bersatu dalam jumlah besar mereka dan orang-orang Nasrani dalam jumlah besar mereka atas kekufuran dan kesesatan yang mereka yakini, maka ini menunjukkan bahwa hal itu bukanlah hujjah dari sisi akal.

بَابُ ذِكْرِ مَا يَنْعَقِدُ بِهِ الإِجْمَاعُ وَمَا جُعِلَ حُجَّةً فِيهِ

بَابُ ذِكْرِ مَا يَنْعَقِدُ بِهِ الْإِجْمَاعُ وَمَا جُعِلَ حُجَّةً فِيهِ

Bab tentang penyebutan apa yang menjadi kesepakatan ijma' dan apa yang dijadikan hujjah di dalamnya

اِعْلَمْ أَنَّ الْإِجْمَاعَ لَا يَنْعَقِدُ إِلَّا عَلَى دَلِيلٍ فَإِذَا رَأَيْتَ إِجْمَاعَهُمْ عَلَى حُكْمٍ عَلِمْنَا أَنَّ هُنَاكَ دَلِيلًا جَمَعَهُمْ سَوَاءٌ عَرَفْنَا ذَلِكَ الدَّلِيلَ أَوْ لَمْ نَعْرِفْهُ وَيَجُوزُ أَنْ يَنْعَقِدَ عَنْ كُلِّ دَلِيلٍ يَثْبُتُ بِهِ الْحُكْمُ كَأَدِلَّةِ الْعَقْلِ فِي الْأَحْكَامِ وَنَصِّ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَفَحْوَاهُمَا وَأَفْعَالِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَإِقْرَارِهِ وَالْقِيَاسِ وَجَمِيعِ وُجُوهِ الِاجْتِهَادِ، وَقَالَ دَاوُدُ وَابْنُ جَرِيرٍ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَنْعَقِدَ الْإِجْمَاعُ مِنْ جِهَةِ الْقِيَاسِ فَأَمَّا دَاوُدُ فَبَنَاهُ عَلَى أَنَّ الْقِيَاسَ لَيْسَ بِحُجَّةٍ وَيَجِيءُ الْكَلَامُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى. وَأَمَّا ابْنُ جَرِيرٍ فَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ قَوْلِهِ هُوَ أَنَّ الْقِيَاسَ دَلِيلٌ مِنْ أَدِلَّةِ الشَّرْعِ فَجَازَ أَنْ يَنْعَقِدَ الْإِجْمَاعُ مِنْ جِهَتِهِ كَالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

Ketahuilah bahwa ijma' tidak terjadi kecuali berdasarkan dalil. Jika Anda melihat kesepakatan mereka atas suatu hukum, maka kita tahu bahwa ada dalil yang menyatukan mereka, baik kita mengetahui dalil tersebut atau tidak. Ijma' boleh terjadi berdasarkan setiap dalil yang dengannya hukum ditetapkan, seperti dalil-dalil akal dalam hukum, nash Al-Qur'an dan Sunnah serta makna keduanya, perbuatan Rasulullah ﷺ dan persetujuannya, qiyas, dan semua bentuk ijtihad. Dawud dan Ibnu Jarir berkata: "Tidak boleh ijma' terjadi berdasarkan qiyas." Adapun Dawud, ia membangunnya atas dasar bahwa qiyas bukanlah hujjah, dan akan datang pembahasan tentangnya insya Allah Ta'ala. Sedangkan Ibnu Jarir, dalil atas rusaknya pendapatnya adalah bahwa qiyas merupakan salah satu dalil syariat, maka boleh ijma' terjadi berdasarkannya seperti Al-Qur'an dan Sunnah.

فَصْلٌ

Pasal

وَالْإِجْمَاعُ حُجَّةٌ فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ كَالْعِبَادَاتِ وَالْمُعَامَلَاتِ وَأَحْكَامِ الدِّمَاءِ وَالْفُرُوجِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَالْفَتَاوَى وَالْأَحْكَامِ. فَأَمَّا الْأَحْكَامُ الْعَقْلِيَّةُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ.

Dan ijma' adalah hujjah dalam semua hukum syar'i seperti ibadah, muamalah, hukum darah, kemaluan, dan lainnya dari yang halal dan haram, fatwa, dan hukum. Adapun hukum akal ada dua macam.

أَحَدُهُمَا: يَجِبُ تَقْدِيمُ الْعَمَلِ بِهِ عَلَى الْعِلْمِ بِصِحَّةِ الشَّرْعِ كَحُدُوثِ الْعَالَمِ وَإِثْبَاتِ الصَّانِعِ وَإِثْبَاتِ صِفَاتِهِ وَإِثْبَاتِ النُّبُوَّةِ وَمَا أَشْبَهَهَا فَلَا يَكُونُ الْإِجْمَاعُ حُجَّةً فِيهِ لِأَنَّ قَدْ بَيَّنَّا أَنَّ الْإِجْمَاعَ دَلِيلٌ شَرْعِيٌّ ثَبَتَ بِالسَّمْعِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ

Pertama: Wajib mendahulukan amal dengannya atas ilmu dengan sahnya syariat, seperti haditsnya alam, menetapkan Al-Shani' (Allah), menetapkan sifat-sifat-Nya, menetapkan kenabian, dan yang serupa dengannya. Maka ijma' tidak menjadi hujjah padanya karena telah kami jelaskan bahwa ijma' adalah dalil syar'i yang tetap dengan pendengaran, maka tidak boleh menetapkan

حُكْمًا يَجِبُ مَعْرِفَتُهُ قَبْلَ السَّمْعِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ الْكِتَابُ بِالسُّنَّةِ وَالْكِتَابُ يَجِبُ الْعَمَلُ بِهِ قَبْلَ السُّنَّةِ. وَالثَّانِي: مَا لَا يَجِبُ تَقْدِيمُ الْعَمَلِ بِهِ عَلَى السَّمْعِ وَذَلِكَ مِثْلُ جَوَازِ الرُّؤْيَةِ وَغُفْرَانِ اللهِ تَعَالَى لِلْمُذْنِبِينَ وَغَيْرِهِمَا مِمَّا يَجُوزُ أَنْ يُعْلَمَ بَعْدَ السَّمْعِ فَالْإِجْمَاعُ حُجَّةٌ فِيهَا لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُعْلَمَ بَعْدَ الشَّرْعِ وَالْإِجْمَاعُ مِنْ أَدِلَّةِ الشَّرْعِ فَجَازَ إِثْبَاتُ ذَلِكَ بِهِ. وَأَمَّا أُمُورُ الدُّنْيَا كَتَجْهِيزِ الْجُيُوشِ وَتَدْبِيرِ الْحُرُوبِ وَالْعِمَارَةِ وَالزِّرَاعَةِ وَغَيْرِهَا مِنْ مَصَالِحِ الدُّنْيَا فَالْإِجْمَاعُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ فِيهَا لِأَنَّ الْإِجْمَاعَ فِيهَا لَيْسَ بِأَكْثَرَ مِنْ قَوْلِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ قَوْلَهُ إِنَّمَا هُوَ حُجَّةٌ فِي إِجْمَاعِ الشَّرْعِ دُونَ مَصَالِحِ الدُّنْيَا وَلِهَذَا رُوِيَ أَنَّهُ ﷺ نَزَلَ مَنْزِلًا فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ لَيْسَ بِرَأْيٍ فَتَرَكَهُ.

Hukum yang harus diketahui sebelum mendengar, sebagaimana tidak boleh menetapkan Al-Kitab dengan Sunnah, dan Al-Kitab wajib diamalkan sebelum Sunnah. Yang kedua: apa yang tidak wajib mendahulukan pengamalannya atas pendengaran, seperti bolehnya ru'yah dan ampunan Allah Ta'ala bagi orang-orang yang berdosa dan selain keduanya yang boleh diketahui setelah mendengar. Maka ijma' adalah hujjah padanya karena boleh diketahui setelah syariat, dan ijma' termasuk dalil-dalil syariat, maka boleh menetapkan hal itu dengannya. Adapun urusan dunia seperti persiapan pasukan, pengaturan peperangan, pembangunan, pertanian, dan kemaslahatan dunia lainnya, maka ijma' bukanlah hujjah padanya karena ijma' dalam hal itu tidak lebih dari perkataan Rasulullah ﷺ, dan telah tetap bahwa perkataannya hanyalah hujjah dalam ijma' syariat, bukan kemaslahatan dunia. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ singgah di suatu tempat, lalu dikatakan kepadanya bahwa itu bukanlah pendapat, maka beliau meninggalkannya.

بَابُ مَا يُعْرَفُ بِهِ الإِجْمَاعُ

بَابُ مَا يُعْرَفُ بِهِ الْإِجْمَاعُ

Bab tentang apa yang diketahui dengannya ijma'

اِعْلَمْ أَنَّ الْإِجْمَاعَ يُعْرَفُ بِقَوْلٍ وَفِعْلٍ وَقَوْلٍ وَإِقْرَارٍ وَفِعْلٍ وَإِقْرَارٍ.

Ketahuilah bahwa ijma' diketahui dengan perkataan dan perbuatan, perkataan dan pengakuan, serta perbuatan dan pengakuan.

فَأَمَّا الْقَوْلُ فَهُوَ أَنْ يَتَّفِقَ قَوْلُ الْجَمِيعِ عَلَى الْحُكْمِ بِأَنْ يَقُولُوا كُلُّهُمْ هَذَا حَلَالٌ أَوْ حَرَامٌ وَالْفِعْلُ أَنْ يَفْعَلُوا كُلُّهُمُ الشَّيْءَ وَهَلْ يُشْتَرَطُ انْقِرَاضُ الْعَصْرِ فِي هَذَا أَمْ لَا؟ فِيهِ وَجْهَانِ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يُشْتَرَطُ فِيهِ انْقِرَاضُ الْعَصْرِ وَإِذَا لَمْ يَنْقَرِضِ الْعَصْرُ لَمْ يَكُنْ إِجْمَاعًا وَلَا حُجَّةً وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ إِجْمَاعٌ وَلَا يُشْتَرَطُ فِيهِ انْقِرَاضُ الْعَصْرِ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ" وَلِأَنَّ مَنْ جَعَلَ قَوْلَهُ حُجَّةً لَمْ يَعْتَبِرْ مَوْتَهُ فِي كَوْنِهِ حُجَّةً كَالرَّسُولِ ﷺ فَإِذَا قُلْنَا: أَنَّ ذَلِكَ إِجْمَاعٌ فَإِذَا أَجْمَعَتِ الصَّحَابَةُ عَلَى قَوْلٍ وَلَمْ يَنْقَرِضُوا لَمْ يَجُزْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ أَنْ يَرْجِعَ عَمَّا اتَّفَقُوا عَلَيْهِ وَإِنْ كَبِرَ مِنْهُمْ صَغِيرٌ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ بَعْدَ إِجْمَاعِهِمْ لَمْ يُعْتَبَرْ قَوْلُهُ وَلَمْ تَجُزْ لَهُ مُخَالَفَتُهُمْ وَإِذَا قُلْنَا إِنَّهُ لَيْسَ بِإِجْمَاعٍ وَأَنَّ انْقِرَاضَ الْعَصْرِ شَرْطٌ جَازَ لَهُمُ الرُّجُوعُ عَمَّا اتَّفَقُوا عَلَيْهِ وَجَازَ لِمَنْ كَبِرَ مِنْهُمْ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ أَنْ يُخَالِفَهُمْ.

Adapun perkataan, itu adalah ketika semua orang sepakat atas suatu hukum, dengan mengatakan semuanya bahwa ini halal atau haram. Dan perbuatan, yaitu ketika mereka semua melakukan sesuatu. Apakah disyaratkan habisnya masa dalam hal ini atau tidak? Ada dua pendapat dari sahabat kami. Sebagian mengatakan: Disyaratkan habisnya masa, dan jika masa belum habis maka tidak dianggap ijma' dan tidak menjadi hujjah. Sebagian lagi mengatakan: Itu adalah ijma' dan tidak disyaratkan habisnya masa, dan ini pendapat yang lebih shahih, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan", dan karena orang yang menjadikan perkataannya sebagai hujjah tidak memandang kematiannya dalam menjadikannya hujjah, seperti Rasulullah ﷺ. Jika kita mengatakan bahwa itu adalah ijma', maka jika para sahabat bersepakat atas suatu perkataan dan mereka belum habis masanya, tidak boleh bagi siapapun dari mereka untuk kembali dari apa yang telah mereka sepakati. Jika ada yang kecil dari mereka menjadi besar dan menjadi ahli ijtihad setelah ijma' mereka, maka perkataannya tidak diperhitungkan dan tidak boleh baginya menyelisihi mereka. Jika kita mengatakan bahwa itu bukan ijma' dan habisnya masa adalah syarat, maka boleh bagi mereka untuk kembali dari apa yang telah mereka sepakati, dan boleh bagi yang kecil dari mereka yang menjadi besar dan menjadi ahli ijtihad untuk menyelisihi mereka.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْقَوْلُ وَالْإِقْرَارُ فَهُوَ أَنْ يَقُوْلَ بَعْضُهُمْ قَوْلًا فَيُنْشِرُوْا فِي الْبَاقِيْنَ

Adapun perkataan dan pengakuan adalah bahwa sebagian dari mereka mengatakan suatu perkataan, lalu mereka menyebarkannya di antara yang lainnya

فَيَسْكُتُوا عَنْ مُخَالَفَتِهِ وَالْفِعْلُ وَالْإِقْرَارُ: هُوَ أَنْ يَفْعَلَ بَعْضُهُمْ شَيْئًا فَيَتَّصِلَ بِالْبَاقِينَ فَيَسْكُتُوا عَنِ الْإِنْكَارِ عَلَيْهِ فَالْمَذْهَبُ أَنَّ ذَلِكَ حُجَّةٌ وَإِجْمَاعٌ بَعْدَ انْقِرَاضِ الْعَصْرِ. وَقَالَ الصَّيْرَفِيُّ هُوَ حُجَّةٌ وَلَكِنْ لَا يُسَمَّى إِجْمَاعًا وَقَالَ أَبُو عَلِيٍّ بْنُ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنْ كَانَ ذَلِكَ فَتْوَى فَقِيهٍ فَسَكَتُوا عَنْهُ فَهُوَ حُجَّةٌ وَإِنْ كَانَ حُكْمَ إِمَامٍ أَوْ حَاكِمٍ لَمْ يَكُنْ حُجَّةً وَقَالَ دَاوُدُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ بِحَالٍ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ الْعَادَةَ أَنَّ أَهْلَ الِاجْتِهَادِ إِذَا سَمِعُوا جَوَابًا فِي حَادِثَةٍ حَدَثَتْ اجْتَهَدُوا فَأَظْهَرُوا مَا عِنْدَهُمْ فَلَمَّا لَمْ يُظْهِرُوا الْخِلَافَ فِيهِ دَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ رَاضُونَ بِذَلِكَ، وَأَمَّا قَبْلَ انْقِرَاضِ الْعَصْرِ فَفِيهِ طَرِيقَانِ. مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَيْسَ بِحُجَّةٍ وَجْهًا وَاحِدًا وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ هُوَ عَلَى وَجْهَيْنِ كَالْإِجْمَاعِ مِنْ جِهَةِ الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ.

Maka mereka diam terhadap perbedaan pendapatnya. Perbuatan dan pengakuan: yaitu jika sebagian dari mereka melakukan sesuatu kemudian sampai kepada yang lainnya lalu mereka diam dari mengingkarinya, maka mazhab berpendapat bahwa hal itu adalah hujjah dan ijma' setelah berlalunya masa. Al-Shairafi berkata: "Itu adalah hujjah tetapi tidak disebut ijma'." Abu Ali bin Abi Hurairah berkata: "Jika itu adalah fatwa seorang faqih lalu mereka diam terhadapnya maka itu adalah hujjah, namun jika itu adalah hukum seorang imam atau hakim maka tidak menjadi hujjah." Dawud berkata: "Itu bukan hujjah sama sekali." Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa kebiasaan para mujtahid jika mendengar jawaban dalam suatu peristiwa yang terjadi, mereka berijtihad lalu menampakkan apa yang ada pada mereka. Maka ketika mereka tidak menampakkan perbedaan pendapat di dalamnya, itu menunjukkan bahwa mereka ridha dengannya. Adapun sebelum berlalunya masa, maka di dalamnya ada dua cara. Di antara sahabat kami ada yang berkata: "Itu bukan hujjah sama sekali." Dan di antara mereka ada yang berkata: "Itu ada dua sisi seperti ijma' dari segi perkataan dan perbuatan."

بَابُ مَا يَصِحُّ مِنَ الإِجْمَاعِ وَمَا لَا يَصِحُّ وَمَنْ يُعْتَبَرُ قَوْلُهُ وَمَنْ لَا يُعْتَبَرُ

بَابُ مَا يَصِحُّ مِنَ الْإِجْمَاعِ وَمَا لَا يَصِحُّ وَمَنْ يُعْتَبَرُ قَوْلُهُ وَمَنْ لَا يُعْتَبَرُ

Bab tentang ijma' yang sah dan yang tidak sah, serta pendapat siapa yang dianggap dan yang tidak dianggap

وَاعْلَمْ أَنَّ إِجْمَاعَ سَائِرِ الْأُمَمِ سِوَى هَذِهِ الْأُمَّةِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ إِجْمَاعُ كُلِّ أُمَّةٍ حُجَّةٌ وَهُوَ اخْتِيَارُ الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ الْاسْفِرَائِينِيِّ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ ذَلِكَ مَا بَيَّنَّا أَنَّ الْإِجْمَاعَ إِنَّمَا صَارَ حُجَّةً بِالشَّرْعِ وَالشَّرْعُ لَمْ يَرِدْ إِلَّا بِعِصْمَةِ هَذِهِ الْأُمَّةِ فَوَجَبَ جَوَازُ الْخَطَأِ عَلَى مَنْ سِوَاهَا مِنَ الْأُمَمِ.

Ketahuilah bahwa ijma' seluruh umat selain umat ini bukanlah hujjah. Sebagian orang mengatakan bahwa ijma' setiap umat adalah hujjah, dan ini adalah pendapat pilihan Syaikh Abu Ishaq Al-Isfarayini. Dalil atas rusaknya pendapat tersebut adalah apa yang telah kami jelaskan bahwa ijma' menjadi hujjah karena syariat, dan syariat tidak datang kecuali dengan penjagaan umat ini, maka wajib membolehkan kesalahan pada umat-umat selain mereka.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا هَذِهِ الْأُمَّةُ فَإِجْمَاعُ عُلَمَاءِ كُلِّ عَصْرٍ مِنْهُمْ حُجَّةٌ عَلَى الْعَصْرِ الَّذِي بَعْدَهُمْ وَقَالَ دَاوُدُ: إِجْمَاعُ غَيْرِ الصَّحَابَةِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَا قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى﴾ ١

Adapun umat ini, maka ijma' para ulama setiap masa dari mereka adalah hujjah atas masa setelah mereka. Dawud berkata: "Ijma' selain para sahabat bukanlah hujjah." Dalil atas apa yang kami katakan adalah firman Allah Ta'ala: "Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk..." (ayat 1)

الْآيَةَ وَلَمْ يُفَرِّقْ قَوْلُهُ ﷺ: "لَا يَخْلُو عَصْرٌ مِنْ قَائِمٍ لِلَّهِ ﷿ بِحُجَّةٍ" وَلِأَنَّهُ اتِّفَاقٌ مِنْ عُلَمَاءِ الْعَصْرِ عَلَى حُكْمِ الْحَادِثَةِ فَأَشْبَهَ الصَّحَابَةَ.

Ayat tersebut tidak membedakan. Sabda Nabi ﷺ: "Tidak akan kosong suatu masa dari orang yang berdiri karena Allah ﷿ dengan hujjah", dan karena itu adalah kesepakatan para ulama masa itu atas hukum suatu peristiwa, maka menyerupai para sahabat.

_________
١ سُورَةُ النِّسَاءِ الْآيَةُ: ١١٥.
1 Surah An-Nisa' Ayat: 115.

فَصْلٌ

Fasal

وَيُعْتَبَرُ فِي صِحَّةِ الْإِجْمَاعِ اتِّفَاقُ جَمِيعِ عُلَمَاءِ الْعَصْرِ عَلَى الْحُكْمِ فَإِنْ خَالَفَ بَعْضُهُمْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ إِجْمَاعًا وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: إِنْ كَانَ الْمُخَالِفُونَ أَقَلَّ عَدَدًا مِنَ الْمُوَافِقِينَ لَمْ يُعْتَدَّ بِخِلَافِهِمْ. وَقَالَ: بَعْضُهُمْ إِنْ كَانَ الْمُخَالِفُونَ عَدَدٌ لَا يَقَعُ الْعِلْمُ بِخَبَرِهِمْ لَمْ يُعْتَدَّ بِهِمْ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: إِذَا أَجْمَعَ أَهْلُ الْحَرَمَيْنِ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةَ وَالْمِصْرَيْنِ وَالْبَصْرَةَ وَالْكُوفَةَ لَمْ يُعْتَدَّ بِخِلَافِ غَيْرِهِمْ وَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا اجْتَمَعَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ لَمْ يُعْتَدَّ بِخِلَافِ غَيْرِهِمْ وَقَالَ الْأَبْهَرِيُّ مِنْ أَصْحَابِهِ إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ فِيمَا طَرِيقُهُ الْأَخْبَارُ كَالْأَجْنَاسِ وَالصَّاعِ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ: إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ التَّرْجِيحَ بِنَقْلِهِمْ وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا أَرَادَ بِهِ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعِي التَّابِعِينَ. وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ: إِذَا أَجْمَعَ الْخُلَفَاءُ الْأَرْبَعَةُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ لَمْ يُعْتَدَّ بِغَيْرِهِمْ وَقَالَ الرَّافِضَةُ إِذَا قَالَ عَلِيٌّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ شَيْئًا لَمْ يُعْتَدَّ بِغَيْرِهِ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ إِنَّمَا أَخْبَرَ عَنْ عِصْمَةِ جَمِيعِ الْأُمَّةِ فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الْخَطَأِ عَلَى بَعْضِهِمْ.

Dan dianggap dalam keabsahan ijma' adalah kesepakatan seluruh ulama pada suatu masa terhadap suatu hukum. Jika sebagian dari mereka menyelisihi, maka itu bukanlah ijma'. Di antara manusia ada yang berpendapat: Jika yang menyelisihi lebih sedikit jumlahnya daripada yang menyepakati, maka penyelisihan mereka tidak diperhitungkan. Sebagian mereka berkata: Jika yang menyelisihi jumlahnya tidak sampai menyebabkan pengetahuan dengan kabar mereka, maka mereka tidak diperhitungkan. Di antara manusia ada yang berpendapat: Jika penduduk dua tanah haram (Makkah dan Madinah), dua Mesir (Mesir dan Irak), Basrah, dan Kufah bersepakat, maka penyelisihan selain mereka tidak diperhitungkan. Malik berkata: Jika penduduk Madinah bersepakat, maka penyelisihan selain mereka tidak diperhitungkan. Al-Abhari, salah seorang sahabatnya berkata: Sesungguhnya yang dimaksud Malik adalah dalam hal yang jalannya melalui khabar seperti jenis-jenis dan sha'. Sebagian sahabatnya berkata: Sesungguhnya yang dimaksud Malik adalah tarjih dengan periwayatan mereka. Sebagian mereka berkata: Sesungguhnya yang dimaksud Malik adalah pada zaman sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sebagian fuqaha berkata: Jika Khulafaur Rasyidin ridwanullahi 'alaihim bersepakat, maka selain mereka tidak diperhitungkan. Kaum Rafidah berkata: Jika Ali karramallahu wajhah mengatakan sesuatu, maka selain beliau tidak diperhitungkan. Dalil atas rusaknya pendapat-pendapat ini adalah bahwa Allah Subhanahu hanya mengabarkan tentang 'ishmah (penjagaan dari kesalahan) bagi seluruh umat, maka ini menunjukkan bolehnya kesalahan pada sebagian mereka.

فَصْلٌ

Pasal

وَيُعْتَبَرُ فِي صِحَّةِ الْإِجْمَاعِ اتِّفَاقُ كُلِّ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ سَوَاءٌ كَانَ مُدَرِّسًا مَشْهُورًا أَوْ خَامِلًا مَسْتُورًا وَسَوَاءٌ كَانَ عَدْلًا أَمِينًا أَوْ فَاسِقًا مُتَهَتِّكًا لِأَنَّ الْمُعَوَّلَ فِي ذَلِكَ عَلَى الِاجْتِهَادِ وَالْمَهْجُورُ كَالْمَشْهُورِ وَالْفَاسِقُ كَالْعَدْلِ فِي ذَلِكَ.

Dan dianggap sah ijma' dengan kesepakatan setiap mujtahid, baik ia seorang pengajar yang terkenal atau tidak terkenal, dan baik ia seorang yang adil dan amanah atau fasik yang keterlaluan, karena yang menjadi patokan dalam hal itu adalah ijtihad. Yang ditinggalkan seperti yang terkenal, dan yang fasik seperti yang adil dalam hal itu.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْمُجْتَهِدُ مِنْ أَهْلِ عَصْرِهِمْ أَوْ لَحِقَ بِهِمْ مِنَ الْعَصْرِ الَّذِي بَعْدَهُمْ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ وَعِنْدَ الْحَادِثَةِ كَالتَّابِعِيِّ إِذَا أَدْرَكَ الصَّحَابَةَ فِي حَالِ حُدُوثِ الْحَادِثَةِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يُعْتَدُّ بِقَوْلِ التَّابِعِينَ مَعَ الصَّحَابَةِ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ وَالْحَسَنَ وَأَصْحَابَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ كَشُرَيْحٍ وَالْأَسْوَدِ وَعَلْقَمَةَ كَانُوا يَجْتَهِدُونَ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ أَحَدٌ وَلِأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ عِنْدَ حُدُوثِ الْحَادِثَةِ فَاعْتُدَّ بِقَوْلِهِ كَأَصَاغِرِ الصَّحَابَةِ.

Tidak ada perbedaan antara mujtahid yang berasal dari masa mereka atau yang menyusul mereka dari masa setelahnya dan menjadi mujtahid pada saat terjadinya peristiwa, seperti tabi'in yang mendapati para sahabat pada saat terjadinya peristiwa dan ia termasuk mujtahid. Sebagian ulama kami berpendapat: Pendapat tabi'in tidak diperhitungkan bersama para sahabat. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa Sa'id bin Al-Musayyib, Al-Hasan, para sahabat Abdullah bin Mas'ud seperti Syuraih, Al-Aswad, dan 'Alqamah berijtihad pada masa sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkari mereka. Karena ia termasuk mujtahid pada saat terjadinya peristiwa, maka pendapatnya diperhitungkan seperti sahabat junior.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَنْ خَرَجَ مِنَ الْمِلَّةِ بِتَأْوِيلٍ أَوْ مِنْ غَيْرِ تَأْوِيلٍ فَلَا يُعْتَدُّ بِقَوْلِهِ فِي الْإِجْمَاعِ فَإِنْ أَسْلَمَ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ عِنْدَ الْحَادِثَةِ اعْتُبِرَ قَوْلُهُ وَإِنِ انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ وَهُوَ كَافِرٌ ثُمَّ أَسْلَمَ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فَإِنْ قُلْنَا أَنَّ انْقِرَاضَ الْعَصْرِ لَيْسَ بِشَرْطٍ لَمْ يُعْتَبَرْ قَوْلُهُ وَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ شَرْطٌ اعْتُبِرَ قَوْلُهُ فَإِنْ خَالَفَهُمْ لَمْ يَكُنْ إِجْمَاعًا.

Adapun orang yang keluar dari agama Islam dengan ta'wil atau tanpa ta'wil, maka pendapatnya tidak diperhitungkan dalam ijma'. Jika ia masuk Islam dan menjadi mujtahid pada saat terjadinya peristiwa, maka pendapatnya dipertimbangkan. Jika ijma' telah terbentuk saat ia masih kafir, kemudian ia masuk Islam dan menjadi mujtahid, jika kita mengatakan bahwa berakhirnya masa bukanlah syarat, maka pendapatnya tidak dipertimbangkan. Namun jika kita mengatakan bahwa itu adalah syarat, maka pendapatnya dipertimbangkan. Jika ia menyelisihi mereka, maka tidak terjadi ijma'.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الِاجْتِهَادِ فِي الْأَحْكَامِ كَالْعَامَّةِ وَالْمُتَكَلِّمِينَ وَالْأُصُولِيِّينَ لَمْ يُعْتَبَرْ قَوْلُهُمْ فِي الْإِجْمَاعِ. وَقَالَ بَعْضُ الْمُتَكَلِّمِينَ: يُعْتَبَرُ قَوْلُ الْعَامَّةِ فِي الْإِجْمَاعِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ يُعْتَبَرُ قَوْلُ الْمُتَكَلِّمِينَ وَالْأُصُولِيِّينَ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْعَامَّةَ لَا يَعْرِفُونَ طُرُقَ الِاجْتِهَادِ فَهُمْ كَالصِّبْيَانِ وَأَمَّا الْمُتَكَلِّمُونَ وَالْأُصُولِيُّونَ فَلَا يَعْرِفُونَ جَمِيعَ طُرُقِ الْأَحْكَامِ فَلَا يُعْتَبَرُ قَوْلُهُمْ كَالْفُقَهَاءِ إِذَا لَمْ يَعْرِفُوا أُصُولَ الْفِقْهِ.

Adapun orang yang bukan termasuk ahli ijtihad dalam hukum-hukum, seperti orang awam, mutakallimun, dan ahli ushul, maka pendapat mereka tidak diperhitungkan dalam ijma'. Sebagian mutakallimun mengatakan: Pendapat orang awam diperhitungkan dalam ijma'. Sebagian lagi mengatakan: Pendapat mutakallimun dan ahli ushul diperhitungkan. Ini tidak benar, karena orang awam tidak mengetahui metode ijtihad, sehingga mereka seperti anak-anak. Adapun mutakallimun dan ahli ushul, mereka tidak mengetahui seluruh metode hukum, sehingga pendapat mereka tidak diperhitungkan, seperti para fuqaha jika mereka tidak mengetahui ushul fiqh.

بَابُ الإِجْمَاعِ بَعْدَ الخِلَافِ

بَابُ الإِجْمَاعِ بَعْدَ الخِلَافِ

Bab Ijma' Setelah Perselisihan

إِذَا اخْتَلَفَ الصَّحَابَةُ فِي الْمَسْأَلَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَانْقَرَضَ الْعَصْرُ جَازَ لِلتَّابِعِينَ أَنْ يَتَّفِقُوا عَلَى أَحَدِهِمَا وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَتَصَوَّرُ ذَلِكَ لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمْ عَلَى قَوْلَيْنِ حُجَّةٌ فِي جَوَازِ الْأَخْذِ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَا يَجُوزُ عَلَيْهَا الْخَطَأُ وَإِجْمَاعُ التَّابِعِينَ عَلَى تَحْرِيمِ أَحَدِهِمَا حُجَّةٌ لَا يَجُوزُ عَلَيْهَا الْخَطَأُ فَلَا يَصِحُّ اجْتِمَاعُهُمَا وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ صَحَابَةَ إِذَا اجْتَمَعَتْ عَلَى جَوَازِ الْأَخْذِ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَوْلَيْنِ صَارَ التَّابِعُونَ فِي الْقَوْلِ بِتَحْرِيمِ أَحَدِهِمَا بَعْضَ الْأُمَّةِ وَالْخَطَأُ جَائِزٌ عَلَى بَعْضِ الْأُمَّةِ.

Jika para sahabat berselisih pendapat dalam suatu masalah menjadi dua pendapat dan masa itu telah berlalu, maka diperbolehkan bagi tabi'in untuk bersepakat pada salah satunya. Sebagian ulama kami berpendapat: Hal itu tidak dapat dibayangkan karena perselisihan mereka pada dua pendapat merupakan hujjah dalam kebolehan mengambil setiap salah satunya dan tidak boleh salah. Ijma' tabi'in atas pengharaman salah satunya merupakan hujjah yang tidak boleh salah. Maka tidak sah menggabungkan keduanya. Ini tidak benar karena jika sahabat bersepakat atas kebolehan mengambil setiap salah satu dari dua pendapat, maka tabi'in dalam berpendapat mengharamkan salah satunya menjadi sebagian umat dan kesalahan diperbolehkan pada sebagian umat.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا اجْتَمَعَ التَّابِعُونَ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ لَمْ يَزَلْ بِذَلِكَ خِلَافُ الصَّحَابَةِ وَيَجُوزُ لِتَابِعِ التَّابِعِينَ الْأَخْذُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَوْلَيْنِ وَقَالَ ابْنُ خَيْرُونَ وَالْقَفَّالُ: يَزُولُ

Jika tabi'in bersepakat pada salah satu dari dua pendapat, maka perselisihan sahabat tidak hilang dengan itu dan diperbolehkan bagi tabi' tabi'in mengambil setiap salah satu dari dua pendapat. Ibnu Khairun dan Al-Qaffal berkata: Hilang

الخِلَافُ وَتَصِيرُ الْمَسْأَلَةُ إِجْمَاعًا وَهُوَ قَوْلُ الْمُعْتَزِلَةِ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ اخْتِلَافَهُمْ عَلَى قَوْلَيْنِ إِجْمَاعٌ عَلَى جَوَازِ الْأَخْذِ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَوْلَيْنِ وَمَا اجْتَمَعَتِ الصَّحَابَةُ عَلَى جَوَازِهِ لَا يَجُوزُ تَحْرِيمُهُ بِإِجْمَاعِ التَّابِعِينَ كَمَا إِذَا أَجْمَعُوا عَلَى تَحْلِيلِ شَيْءٍ لَمْ يَجُزْ تَحْرِيمُهُ بِإِجْمَاعِ التَّابِعِينَ.

Perselisihan dan masalah menjadi ijma' dan itu adalah pendapat Mu'tazilah. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa perselisihan mereka atas dua pendapat merupakan ijma' atas bolehnya mengambil setiap satu dari dua pendapat tersebut. Apa yang disepakati oleh para sahabat atas kebolehannya, tidak boleh mengharamkannya dengan ijma' tabi'in, seperti ketika mereka bersepakat atas halalnya sesuatu, maka tidak boleh mengharamkannya dengan ijma' tabi'in.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَتِ الصَّحَابَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ ثُمَّ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَحَدِهِمَا نَظَرْتَ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَبْرُدَ الْخِلَافُ وَيَسْتَقِرَّ كَخِلَافِ الصَّحَابَةِ لِأَبِي بَكْرٍ ﵁ فِي قِتَالِ مَانِعِي الزَّكَاةِ وَإِجْمَاعِهِمْ بَعْدَ ذَلِكَ زَالَ الْخِلَافُ وَصَارَتِ الْمَسْأَلَةُ بَعْدَ ذَلِكَ إِجْمَاعًا بِلَا خِلَافٍ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ بَعْدَمَا بَرَدَ الْخِلَافُ وَاسْتَقَرَّ فَإِنْ قُلْنَا إِنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ التَّابِعُونَ زَالَ الْخِلَافُ بِإِجْمَاعِهِمْ فَبِإِجْمَاعِهِمْ أَوْلَى أَنْ يَزُولَ وَإِذَا قُلْنَا أَنَّ بِإِجْمَاعِ التَّابِعِينَ لَا يَزُولُ الْخِلَافُ بَنَيْتَ عَلَى انْقِرَاضِ الْعَصْرِ فَإِنْ قُلْنَا أَنَّ ذَلِكَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْإِجْمَاعِ جَازَ لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمْ عَلَى قَوْلَيْنِ لَيْسَ بِأَكْثَرَ مِنِ اجْتِمَاعِهِمْ عَلَى قَوْلٍ وَاحِدٍ فَإِذَا جَازَ لَهُمْ أَنْ يَرْجِعُوا قَبْلَ انْقِرَاضِ الْعَصْرِ فَرُجُوعُهُمْ عَمَّا اخْتَلَفُوا فِيهِ أَوْلَى وَإِذَا قُلْنَا أَنَّ انْقِرَاضَ الْعَصْرِ لَيْسَ بِشَرْطٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْمِعُوا. لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمْ عَلَى قَوْلَيْنِ حُجَّةٌ لَا يَجُوزُ عَلَيْهَا الْخَطَأُ فِي تَجْوِيزِ الْأَخْذِ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْقَوْلَيْنِ فَلَا يَجُوزُ الْإِجْمَاعُ عَلَى تَرْكِ حُجَّةٍ لَا يَجُوزُ عَلَيْهَا الْخَطَأُ.

Jika para sahabat berbeda pendapat dalam dua pendapat kemudian bersepakat pada salah satunya, maka perhatikanlah. Jika hal itu terjadi sebelum perselisihan mereda dan menetap, seperti perselisihan para sahabat dengan Abu Bakar ﵁ dalam memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan ijma' mereka setelah itu, maka perselisihan itu hilang dan masalah itu menjadi ijma' tanpa perselisihan. Jika hal itu terjadi setelah perselisihan mereda dan menetap, maka jika kita mengatakan bahwa jika para tabi'in bersepakat maka perselisihan hilang dengan ijma' mereka, maka dengan ijma' para sahabat lebih utama untuk menghilangkan perselisihan. Jika kita mengatakan bahwa dengan ijma' para tabi'in perselisihan tidak hilang, maka dibangun di atas punahnya masa. Jika kita mengatakan bahwa itu adalah syarat sahnya ijma', maka boleh karena perselisihan mereka pada dua pendapat tidak lebih banyak daripada kesepakatan mereka pada satu pendapat. Jika boleh bagi mereka untuk kembali sebelum punahnya masa, maka kembali dari apa yang mereka perselisihkan lebih utama. Jika kita mengatakan bahwa punahnya masa bukan syarat, maka tidak boleh mereka bersepakat. Karena perselisihan mereka pada dua pendapat adalah hujjah yang tidak boleh salah dalam membolehkan mengambil setiap pendapat, maka tidak boleh ijma' untuk meninggalkan hujjah yang tidak boleh salah.

بَابُ القَوْلِ فِي اخْتِلَافِ الصَّحَابَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي اخْتِلَافِ الصَّحَابَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ

Bab Perkataan tentang Perbedaan Pendapat Para Sahabat dalam Dua Pendapat

وَاعْلَمْ أَنَّهُ إِذَا اخْتَلَفَتِ الصَّحَابَةُ فِي الْمَسْأَلَةِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَانْقَرَضَ الْعَصْرُ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزْ لِلتَّابِعِينَ إِحْدَاثُ قَوْلٍ ثَالِثٍ. وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الظَّاهِرِ: يَجُوزُ ذَلِكَ، وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ ذَلِكَ هُوَ أَنَّ اخْتِلَافَهُمْ عَلَى قَوْلَيْنِ إِجْمَاعٌ عَلَى إِبْطَالِ كُلِّ قَوْلٍ سِوَاهُمَا، كَمَا أَنَّ إِجْمَاعَهُمْ عَلَى قَوْلِ كُلِّ وَاحِدٍ إِجْمَاعٌ عَلَى إِبْطَالِ كُلِّ قَوْلٍ سِوَاهُ فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ إِحْدَاثُ قَوْلٍ ثَانٍ فِيمَا أَجْمَعُوا فِيهِ عَلَى قَوْلٍ وَاحِدٍ لَمْ يَجُزْ إِحْدَاثُ قَوْلٍ ثَالِثٍ فِيمَا أَجْمَعُوا فِيهِ عَلَى قَوْلَيْنِ.

Ketahuilah bahwa jika para sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah menjadi dua pendapat dan masa itu telah berlalu, maka tidak boleh bagi tabi'in untuk membuat pendapat ketiga. Sebagian ahli zhahir mengatakan: Itu boleh, dan dalil atas rusaknya pendapat itu adalah bahwa perbedaan pendapat mereka menjadi dua pendapat merupakan ijma' atas pembatalan setiap pendapat selain keduanya, sebagaimana ijma' mereka atas satu pendapat merupakan ijma' atas pembatalan setiap pendapat selainnya. Maka ketika tidak boleh membuat pendapat kedua dalam perkara yang mereka sepakati satu pendapat, maka tidak boleh pula membuat pendapat ketiga dalam perkara yang mereka sepakati dua pendapat.

فَصْلٌ

Fasal

فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفَتِ الصَّحَابَةُ فِي مَسْأَلَتَيْنِ عَلَى قَوْلَيْنِ فَقَالَتْ طَائِفَةٌ فِيهِمَا بِالتَّحْلِيلِ وَقَالَتْ طَائِفَةٌ فِيهِمَا بِالتَّحْرِيمِ وَلَمْ يُصَرِّحُوا بِالتَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمَا فِي الْحُكْمِ جَازَ لِلتَّابِعِيِّ أَنْ يَأْخُذَ فِي إِحْدَى الْمَسْأَلَتَيْنِ بِقَوْلِ طَائِفَةٍ وَفِي الْمَسْأَلَةِ الْأُخْرَى بِقَوْلِ الطَّائِفَةِ الْأُخْرَى فَيَحْكُمَ بِالتَّحْلِيلِ فِي إِحْدَى الْمَسْأَلَتَيْنِ وَبِالتَّحْرِيمِ فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُخْرَى. وَمِنَ النَّاسِ مَنْ زَعَمَ أَنَّ هَذَا إِحْدَاثُ قَوْلٍ ثَالِثٍ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ وَافَقَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَرِيقًا مِنَ الصَّحَابَةِ. وَأَمَّا إِذَا صَرَّحَ الْفَرِيقَانِ بِالتَّسْوِيَةِ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَقَالَ أَحَدُ الْفَرِيقَيْنِ الْحُكْمُ فِيهِمَا وَاحِدٌ وَهُوَ التَّحْرِيمُ وَقَالَ الْفَرِيقُ الْآخَرُ الْحُكْمُ فِيهِمَا وَاحِدٌ وَهُوَ التَّحْلِيلُ وَأَخَذَ بِقَوْلِ فَرِيقٍ فِي أَحَدِهِمَا وَبِقَوْلِ فَرِيقٍ فِي الْآخَرِ فَقَالَ شَيْخُنَا الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ ﵀ يَحْتَمِلُ أَنْ يَجُوزَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْصُلِ الْإِجْمَاعُ عَلَى التَّسْوِيَةِ بَيْنَمَا فِي حُكْمِ الْأَوَّلِ أَصَحُّ لِأَنَّ الْإِجْمَاعَ قَدْ حَصَلَ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ عَلَى التَّصْرِيحِ بِالتَّسْوِيَةِ بَيْنَهُمَا فَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ خَالَفَ الْإِجْمَاعَ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ.

Jika para sahabat berbeda pendapat dalam dua masalah menjadi dua pendapat, lalu satu kelompok mengatakan keduanya halal dan kelompok lain mengatakan keduanya haram, dan mereka tidak menyatakan secara jelas kesamaan hukum di antara keduanya, maka diperbolehkan bagi tabi'in untuk mengambil pendapat satu kelompok dalam salah satu masalah dan pendapat kelompok lain dalam masalah lainnya. Ia bisa memutuskan kehalalan pada salah satu masalah dan keharaman pada masalah lainnya. Sebagian orang mengklaim bahwa ini adalah pendapat ketiga yang baru, namun ini keliru karena ia telah mengikuti satu kelompok sahabat dalam setiap masalah. Adapun jika kedua kelompok menyatakan secara jelas kesamaan antara dua masalah tersebut, lalu satu kelompok mengatakan hukum keduanya sama yaitu haram dan kelompok lain mengatakan hukum keduanya sama yaitu halal, kemudian ia mengambil pendapat satu kelompok dalam salah satunya dan pendapat kelompok lain dalam lainnya, maka syaikh kami Al-Qadhi Abu Thayyib ﵀ berpendapat boleh jadi itu diperbolehkan karena tidak terjadi ijma' atas kesamaan hukum di antara keduanya. Namun pendapat yang lebih sahih adalah pendapat pertama, karena telah terjadi ijma' dari kedua kelompok atas pernyataan jelas tentang kesamaan hukum antara keduanya. Maka barangsiapa membedakan antara keduanya, ia telah menyelisihi ijma' dan itu tidak diperbolehkan.

بَابُ القَوْلِ فِي قَوْلِ الوَاحِدِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَتَرْجِيحِ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ

بَابُ الْقَوْلِ فِي قَوْلِ الْوَاحِدِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَتَرْجِيحِ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ

Bab tentang perkataan seorang sahabat dan pengutamaan sebagian mereka atas sebagian yang lain

إِذَا قَالَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ قَوْلًا وَلَمْ يَنْتَشِرْ ذَلِكَ فِي عُلَمَاءِ الصَّحَابَةِ وَلَمْ يُعْرَفْ لَهُ مُخَالِفٌ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ إِجْمَاعًا، وَهَلْ هُوَ حُجَّةٌ أَمْ لَا؟ فِيهِ قَوْلَانِ: قَالَ فِي الْقَدِيمِ: هُوَ حُجَّةٌ وَيُقَدَّمُ عَلَى الْقِيَاسِ وَهُوَ قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْفُقَهَاءِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الْجُبَّائِيِّ وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ: لَيْسَ بِحُجَّةٍ وَهُوَ الصَّحِيحُ وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ: إِذَا خَالَفَ الْقِيَاسَ فَهُوَ تَوْقِيفٌ يُقَدَّمُ عَلَى الْقِيَاسِ وَذَكَرُوا ذَلِكَ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ فِي قَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِيمَنْ نَذَرَ ذَبْحَ ابْنِهِ وَفِي قَوْلِ عَائِشَةَ ﵂ فِي قِصَّةِ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَسَائِلِ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ أَنَّ اللَّهَ ﷾ إِنَّمَا أَمَرَ بِاتِّبَاعِ سَبِيلِ جَمِيعِ الْمُؤْمِنِينَ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِتْبَاعَ بَعْضِهِمْ لَا يَجِبُ وَلِأَنَّهُ قَوْلُ عَالِمٍ يَجُوزُ إِقْرَارُهُ عَلَى الْخَطَأِ فَلَمْ يَكُنْ حُجَّةً كَقَوْلِ التَّابِعِيِّ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِتَوْقِيفٍ أَنَّهُ لَوْ كَانَ تَوْقِيفًا لَنُقِلَ فِي وَقْتٍ مِنْ

Jika sebagian sahabat mengatakan suatu pendapat dan pendapat itu tidak tersebar di kalangan ulama sahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya, maka itu bukanlah ijma'. Apakah itu hujjah atau bukan? Ada dua pendapat: Dalam qaul qadim, ia mengatakan: Itu adalah hujjah dan didahulukan atas qiyas, dan ini adalah pendapat sekelompok fuqaha' dan pendapat Abu Ali Al-Jubba'i. Dalam qaul jadid, ia mengatakan: Itu bukan hujjah dan ini adalah pendapat yang sahih. Ashab Abu Hanifah mengatakan: Jika menyalahi qiyas, maka itu adalah tauqif yang didahulukan atas qiyas. Mereka menyebutkan hal itu dari segala sisi dalam perkataan Ibnu Abbas tentang orang yang bernazar menyembelih anaknya, perkataan Aisyah ﵂ dalam kisah Zaid bin Arqam, dan masalah-masalah lainnya. Dalil bahwa itu bukan hujjah adalah Allah ﷾ hanya memerintahkan untuk mengikuti jalan orang-orang mukmin secara keseluruhan, maka ini menunjukkan bahwa mengikuti sebagian mereka tidaklah wajib. Juga karena itu adalah perkataan seorang alim yang boleh ditetapkan atas kesalahan, maka tidak menjadi hujjah seperti perkataan tabi'in. Dalil bahwa itu bukan tauqif adalah seandainya itu tauqif, niscaya akan dinukil pada suatu waktu dari

الأَوْقَاتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَلَمَّا لَمْ يُنْقَلْ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِتَوْقِيفٍ.

Waktu-waktu (shalat) dari Rasulullah ﷺ, ketika tidak diriwayatkan, menunjukkan bahwa itu bukan ketetapan (tauqif).

فَصْلٌ

Pasal

وَإِذَا قُلْنَا بِقَوْلِهِ الْقَدِيمِ وَأَنَّهُ حُجَّةٌ قُدِّمَ عَلَى الْقِيَاسِ وَيَلْزَمُ التَّابِعِيَّ الْعَمَلُ بِهِ وَلَا يَجُوزُ لَهُ مُخَالَفَتُهُ وَهَلْ يُخَصُّ الْعُمُومَ بِهِ فِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا يُخَصُّ بِهِ لِأَنَّهُ إِذَا قُدِّمَ عَلَى الْقِيَاسِ فَتَخْصِيصُ الْعُمُومِ أَوْلَى. وَالثَّانِي: لَا يُخَصُّ بِهِ لِأَنَّهُمْ كَانُوا يَرْجِعُونَ إِلَى الْعُمُومِ وَيَتْرُكُونَ مَا كَانُوا عَلَيْهِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّخْصِيصُ بِهِ. وَإِذَا قُلْنَا أَنَّهُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ فَالْقِيَاسُ مُقَدَّمٌ عَلَيْهِ وَيَسُوغُ لِلتَّابِعِيِّ مُخَالَفَتُهُ، وَقَالَ الصَّيْرَفِيُّ إِنْ كَانَ مَعَهُ قِيَاسٌ ضَعِيفٌ كَانَ قَوْلُهُ مَعَ الْقِيَاسِ الضَّعِيفِ أَوْلَى مِنْ قِيَاسٍ قَوِيٍّ، وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ قَوْلَهُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ، وَالْقِيَاسُ الضَّعِيفُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُتْرَكَ بِمَجْمُوعِهِمَا قِيَاسٌ هُوَ حُجَّةٌ.

Jika kita mengatakan pendapatnya yang lama dan bahwa itu adalah hujjah, maka ia didahulukan atas qiyas, dan wajib bagi tabi'in untuk mengamalkannya, dan tidak boleh baginya untuk menyelisihinya. Apakah keumuman (umum) dikhususkan dengannya? Ada dua pendapat: Pertama, ia dikhususkan dengannya karena jika ia didahulukan atas qiyas, maka pengkhususan keumuman lebih utama. Kedua, ia tidak dikhususkan dengannya karena mereka kembali kepada keumuman dan meninggalkan apa yang mereka dahulu berpegang dengannya, maka ini menunjukkan bahwa tidak boleh pengkhususan dengannya. Jika kita mengatakan bahwa itu bukan hujjah, maka qiyas didahulukan atasnya, dan boleh bagi tabi'in untuk menyelisihinya. Ash-Shairafi berkata, "Jika bersamanya ada qiyas yang lemah, maka pendapatnya bersama qiyas yang lemah lebih utama daripada qiyas yang kuat." Ini adalah kesalahan karena pendapatnya bukan hujjah, dan qiyas yang lemah bukan hujjah, maka tidak boleh ditinggalkan dengan keduanya qiyas yang merupakan hujjah.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا اخْتَلَفُوا عَلَى قَوْلَيْنِ بَنَيْتُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ فِي أَنَّهُ حُجَّةٌ أَوْ لَيْسَ بِحُجَّةٍ، فَإِذَا قُلْنَا أَنَّهُ لَيْسَ بِحُجَّةٍ لَمْ يَكُنْ قَوْلُ بَعْضِهِمْ حُجَّةً عَلَى الْبَعْضِ وَلَمْ يَجُزْ تَقْلِيدُ وَاحِدٍ فِي الْفَرِيقَيْنِ بَلْ يَجِبُ الرُّجُوعُ إِلَى الدَّلِيلِ وَإِذَا قُلْنَا إِنَّهُ حُجَّةٌ فِيهِمَا فَهُمَا دَلِيلَانِ تَعَارَضَا فَيُرَجَّحُ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ عَلَى الْآخَرِ بِكَثْرَةِ الْعَدَدِ فَإِذَا كَانَ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ أَكْثَرُ أَصْحَابِهِ وَعَلَى الْقَوْلِ الْآخَرِ الْأَقَلُّ قُدِّمَ مَا عَلَيْهِ الْأَكْثَرُ لِقَوْلِهِ ﷺ: "عَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ" فَإِنْ اسْتَوَيَا فِي الْعَدَدِ قُدِّمَ بِالْأَئِمَّةِ فَإِنْ كَانَ عَلَى أَحَدِهِمَا إِمَامٌ وَلَيْسَ عَلَى الْآخَرِ قُدِّمَ الَّذِي عَلَيْهِ الْإِمَامُ لِقَوْلِهِ ﷺ: "عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي" فَإِنْ كَانَ عَلَى أَحَدِهِمَا الْأَكْثَرُ وَعَلَى الْآخَرِ الْأَقَلُّ إِلَّا أَنَّ مَعَ الْأَقَلِّ إِمَامًا فَهُمَا سَوَاءٌ لِأَنَّ مَعَ أَحَدِهِمَا زِيَادَةَ عَدَدٍ وَمَعَ الْآخَرِ إِمَامًا فَتَسَاوَيَا وَإِنْ اسْتَوَيَا فِي الْعَدَدِ وَالْأَئِمَّةِ إِلَّا أَنَّ فِي أَحَدِهِمَا أَحَدَ الشَّيْخَيْنِ وَفِي الْآخَرِ غَيْرَهُمَا فَفِيهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُمَا سَوَاءٌ لِقَوْلِهِ ﷺ: "أَصْحَابِي كَالنُّجُومِ بِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ اهْتَدَيْتُمْ" وَالثَّانِي أَنَّ الَّذِي فِيهِ أَحَدُ الشَّيْخَيْنِ أَوْلَى لِقَوْلِهِ ﷺ: "اقْتَدُوا بِالَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ" فَخَصَّهُمَا بِالذِّكْرِ.

Adapun jika mereka berbeda pendapat menjadi dua pendapat, saya membangun berdasarkan dua pendapat tersebut apakah itu hujjah atau bukan hujjah. Jika kita katakan bahwa itu bukan hujjah, maka pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah atas sebagian yang lain, dan tidak boleh taqlid kepada salah satu dari dua kelompok tersebut, bahkan wajib kembali kepada dalil. Jika kita katakan bahwa itu hujjah pada keduanya, maka keduanya adalah dua dalil yang saling bertentangan, maka salah satu pendapat dimenangkan atas yang lain dengan banyaknya jumlah. Jika pada salah satu pendapat terdapat mayoritas sahabat dan pada pendapat lain minoritas, maka didahulukan pendapat mayoritas berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Hendaklah kalian bersama as-sawad al-a'zham (kelompok terbesar)." Jika jumlahnya sama, maka didahulukan dengan imam. Jika pada salah satunya terdapat imam dan pada yang lain tidak, maka didahulukan yang ada imam berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku." Jika pada salah satunya mayoritas dan pada yang lain minoritas, hanya saja bersama yang minoritas ada imam, maka keduanya sama. Karena bersama salah satunya ada tambahan jumlah dan bersama yang lain ada imam, sehingga keduanya setara. Jika keduanya sama dalam jumlah dan imam, hanya saja pada salah satunya terdapat salah satu dari dua syaikh (Abu Bakar dan Umar) dan pada yang lain selain keduanya, maka di dalamnya ada dua pendapat. Pertama, keduanya sama berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Sahabatku seperti bintang-bintang, dengan siapa pun di antara mereka kalian mengikuti, kalian mendapat petunjuk." Kedua, yang di dalamnya terdapat salah satu dari dua syaikh lebih utama, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Ikutilah dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar", maka beliau mengkhususkan keduanya dengan penyebutan.

الكَلَامُ فِي القِيَاسِ

بَابُ بَيَانِ حَدِّ القِيَاسِ

الكَلَامُ فِي القِيَاسِ

Pembicaraan tentang Qiyas

بَابُ بَيَانِ حَدِّ القِيَاسِ

Bab Penjelasan Definisi Qiyas

وَاعْلَمْ أَنَّ الْقِيَاسَ حَمْلُ فَرْعٍ عَلَى أَصْلٍ فِي بَعْضِ أَحْكَامِهِ بِمَعْنًى يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: الْقِيَاسُ هُوَ الْأَمَارَةُ عَلَى الْحُكْمِ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: هُوَ فِعْلُ الْقَائِسِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ الْقِيَاسُ هُوَ اجْتِهَادٌ وَالصَّحِيحُ هُوَ الْأَوَّلُ لِأَنَّهُ يَطَّرِدُ وَيَنْعَكِسُ أَلَا تَرَى أَنَّهُ يُوجَدُ بِوُجُودِهِ الْقِيَاسُ وَبِعَدَمِهِ يُعْدَمُ الْقِيَاسُ فَدَلَّ عَلَى صِحَّتِهِ فَأَمَّا الْأَمَارَةُ فَلَا تَطَّرِدُ أَلَا تَرَى أَنَّ زَوَالَ الشَّمْسِ أَمَارَةٌ عَلَى دُخُولِ الْوَقْتِ وَلَيْسَ بِقِيَاسٍ وَفِعْلُ الْقَائِسِ أَيْضًا لَا مَعْنَى لَهُ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ ذَلِكَ صَحِيحًا لَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ كُلُّ فِعْلٍ يَفْعَلُهُ الْقَائِسُ مِنَ الْمَشْيِ وَالْقُعُودِ قِيَاسًا وَهَذَا لَا يَقُولُهُ أَحَدٌ فَبَطَلَ تَحْدِيدُهُ بِذَلِكَ وَأَمَّا الِاجْتِهَادُ فَهُوَ أَعَمُّ مِنَ الْقِيَاسِ لِأَنَّ الِاجْتِهَادَ بَذْلُ الْمَجْهُودِ فِي طَلَبِ الْحُكْمِ وَذَلِكَ يَدْخُلُ فِيهِ حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ وَتَرْتِيبُ الْعَامِّ عَلَى الْخَاصِّ وَجَمِيعُ الْوُجُوهِ الَّتِي يُطْلَبُ مِنْهَا الْحُكْمُ وَشَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ لَيْسَ بِقِيَاسٍ فَلَا مَعْنَى لِتَحْدِيدِ الْقِيَاسِ بِهِ.

Ketahuilah bahwa qiyas adalah membawa cabang (kasus baru) kepada asal (kasus yang sudah ada hukumnya) dalam sebagian hukumnya dengan makna yang menyatukan antara keduanya. Sebagian sahabat kami berkata: "Qiyas adalah tanda atas hukum". Sebagian orang berkata: "Ia adalah perbuatan orang yang mengqiyaskan". Sebagian lagi berkata: "Qiyas adalah ijtihad". Yang benar adalah pendapat pertama, karena ia berlaku umum dan berbalik, tidakkah kamu melihat bahwa dengan adanya qiyas maka ada pula hukum, dan dengan tiadanya qiyas maka tiada pula hukum, maka ini menunjukkan atas kebenarannya. Adapun tanda, maka ia tidak berlaku umum, tidakkah kamu melihat bahwa tergelincirnya matahari adalah tanda atas masuknya waktu, dan ia bukanlah qiyas. Adapun perbuatan orang yang mengqiyaskan juga tidak ada maknanya, karena jika itu benar niscaya setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mengqiyaskan seperti berjalan dan duduk adalah qiyas, dan ini tidak dikatakan oleh seorangpun. Maka batallah pembatasan qiyas dengannya. Adapun ijtihad, maka ia lebih umum daripada qiyas, karena ijtihad adalah mengerahkan kemampuan dalam mencari hukum, dan itu mencakup membawa mutlak kepada muqayyad, mengurutkan umum atas khusus, dan seluruh sisi yang dicari darinya hukum, dan sesuatu dari itu bukanlah qiyas. Maka tidak ada makna membatasi qiyas dengannya.

بَابُ إِثْبَاتِ القِيَاسِ وَمَا جُعِلَ حُجَّةً فِيهِ

بَابُ إِثْبَاتِ الْقِيَاسِ وَمَا جُعِلَ حُجَّةً فِيهِ

Bab Penetapan Qiyas dan Apa yang Dijadikan Hujjah di Dalamnya

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْقِيَاسَ حُجَّةٌ فِي إِثْبَاتِ الْأَحْكَامِ الْعَقْلِيَّةِ وَطَرِيقٌ مِنْ طُرُقِهَا وَذَلِكَ مِثْلُ حُدُوثِ الْعَالَمِ وَإِثْبَاتِ الصَّانِعِ وَغَيْرِ ذَلِكَ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ قَوْلِهِ إِنَّ إِثْبَاتَ هَذِهِ الْأَحْكَامِ لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِالضَّرُورَةِ أَوْ بِالِاسْتِدْلَالِ، وَالْقِيَاسُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِالضَّرُورَةِ، لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَخْتَلِفِ الْعُقَلَاءُ فِيهَا، فَثَبَتَ أَنَّ إِثْبَاتَهَا بِالْقِيَاسِ وَالِاسْتِدْلَالِ بِالشَّاهِدِ عَلَى الْغَائِبِ.

Intinya adalah bahwa qiyas merupakan hujjah dalam menetapkan hukum-hukum akal dan salah satu cara untuk menetapkannya, seperti hadirnya alam, penetapan Pencipta, dan lainnya. Di antara manusia ada yang mengingkari hal itu. Dalil atas rusaknya pendapat mereka adalah bahwa penetapan hukum-hukum ini tidak lepas dari dua kemungkinan: dengan cara darurat atau istidlal. Qiyas tidak boleh dilakukan dengan cara darurat, karena jika demikian, tentu para cendekiawan tidak akan berselisih pendapat di dalamnya. Maka, telah tetap bahwa penetapannya adalah dengan qiyas dan istidlal dari yang nyata kepada yang tidak nyata.

فَصْلٌ

Fasal

وَكَذَلِكَ هُوَ حُجَّةٌ فِي الشَّرْعِيَّاتِ وَطَرِيقٌ لِمَعْرِفَةِ الْأَحْكَامِ وَدَلِيلٌ مِنْ أَدِلَّتِهَا مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ. وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الدَّقَّاقُ: هُوَ طَرِيقٌ مِنْ طُرُقِهَا يَجِبُ الْعَمَلُ بِهِ مِنْ جِهَةِ الْعَقْلِ وَالشَّرْعِ وَذَهَبَ النَّظَّامُ وَالشِّيعَةُ وَبَعْضُ الْمُعْتَزِلَةِ الْبَغْدَادِيِّينَ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِطَرِيقٍ لِلْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ، وَلَا يَجُوزُ وُرُودُ التَّعَبُّدِ بِهِ مِنْ جِهَةِ الْعَقْلِ وَقَالَ دَاوُدُ وَأَهْلُ الظَّاهِرِ: يَجُوزُ أَنْ يَرِدَ التَّعَبُّدُ بِهِ مِنْ جِهَةِ الْعَقْلِ إِلَّا أَنَّ الشَّرْعَ وَرَدَ بِحَظْرِهِ وَالْمَنْعِ مِنْهُ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ الْعَمَلُ بِهِ مِنْ جِهَةِ الْعَقْلِ أَنَّ تَعْلِيقَ تَحْرِيمِ التَّفَاضُلِ عَلَى الْكَيْلِ أَوِ الطَّعْمِ فِي الْعَقْلِ لَيْسَ بِأَوْلَى تَعْلِيقَ التَّحْلِيلِ عَلَيْهِمَا وَلِهَذَا يَجُوزُ أَنْ يَرِدَ الشَّرْعُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْحُكْمَيْنِ بَدَلًا عَنِ الْآخَرِ، وَإِذَا اسْتَوَى الْأَمْرَانِ فِي التَّجْوِيزِ بَطَلَ أَنْ يَكُونَ الْعَقْلُ مُوجِبًا لِذَلِكَ. وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ وُرُودِ التَّعَبُّدِ بِهِ مِنْ جِهَةِ الْعَقْلِ هُوَ أَنَّهُ إِذَا جَازَ أَنْ يَحْكُمَ فِي الشَّيْءِ بِحُكْمٍ لِعِلَّةٍ مَنْصُوصٍ عَلَيْهَا جَازَ أَنْ يَحْكُمَ فِيهِ بِعِلَّةٍ غَيْرِ مَنْصُوصٍ عَلَيْهَا وَيَنْصِبَ عَلَيْهَا دَلِيلًا يَتَوَصَّلُ بِهِ إِلَيْهَا أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَمَّا جَازَ أَنْ يُؤْمَرَ مَنْ عَايَنَ الْقِبْلَةَ بِالتَّوَجُّهِ إِلَيْهَا جَازَ أَيْضًا أَنْ يُؤْمَرَ مَنْ غَابَ عَنْهَا أَنْ يَتَوَصَّلَ بِالدَّلِيلِ أَلَيْهَا وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى وُرُودِ الشَّرْعِ بِهِ وَوُجُوبِ الْعَمَلِ فَإِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ.

Demikian pula, itu adalah hujjah dalam masalah syar'i dan cara untuk mengetahui hukum-hukum serta salah satu dalil dari dalil-dalilnya dari sisi syariat. Abu Bakr Ad-Daqqaq berkata: Itu adalah salah satu cara yang wajib diamalkan dari sisi akal dan syariat. An-Nazhzham, Syi'ah, dan sebagian Mu'tazilah Baghdad berpendapat bahwa itu bukan cara untuk hukum-hukum syar'i, dan tidak boleh adanya ta'abbud dengannya dari sisi akal. Dawud dan Ahluzh Zhahir berkata: Boleh adanya ta'abbud dengannya dari sisi akal, hanya saja syariat melarang dan mencegahnya. Dalil bahwa tidak wajib mengamalkannya dari sisi akal adalah karena mengaitkan pengharaman tafadhul pada takaran atau rasa dalam akal tidak lebih utama daripada mengaitkan penghalalan pada keduanya. Oleh karena itu, boleh adanya syariat dengan salah satu dari dua hukum sebagai ganti yang lain. Jika dua perkara setara dalam kebolehan, maka batallah akal mewajibkan hal itu. Adapun dalil atas bolehnya adanya ta'abbud dengannya dari sisi akal adalah bahwa jika boleh menghukumi sesuatu dengan hukum karena 'illat yang dinashkan, maka boleh pula menghukuminya dengan 'illat yang tidak dinashkan dan menegakkan dalil atasnya untuk sampai kepadanya. Tidakkah kamu melihat bahwa ketika boleh memerintahkan orang yang melihat kiblat untuk menghadap kepadanya, maka boleh pula memerintahkan orang yang tidak melihatnya untuk menggunakan dalil untuk sampai kepadanya. Adapun dalil atas datangnya syariat dengannya dan wajibnya mengamalkan adalah ijma' para sahabat.

وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ ﵁ كَانَ إِذَا وَرَدَ عَلَيْهِ حُكْمٌ نَظَرَ فِي كِتَابِ اللهِ ﷿ ثُمَّ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ جَمَعَ رُؤَسَاءَ النَّاسِ فَاسْتَشَارَهُمْ فَإِذَا اجْتَمَعَ رَأْيُهُمْ عَلَى شَيْءٍ قَضَى بِهِ وَكَتَبَ عُمَرُ ﵁ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ ﵀ فِي الْكِتَابِ الَّذِي اتَّفَقَ النَّاسُ عَلَى صِحَّتِهِ: الْفَهْمَ الْفَهْمَ فِيمَا أَدَّى إِلَيْكَ مِمَّا لَيْسَ فِي قُرْآنٍ وَلَا سُنَّةٍ ثُمَّ قِسْ الْأُمُورَ عِنْدَ ذَلِكَ. وَقَالَ لِعُثْمَانَ ﵁: إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْجَدِّ رَأْيًا فَاتَّبِعُونِي فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ إِنْ نَتَّبِعْ رَأْيَكَ فَرَأْيُكَ رَشِيدٌ وَإِنْ نَتَّبِعْ رَأْيَ مَنْ قَبْلَكَ فَنِعْمَ ذَا الرَّأْيُ كَانَ.

Diriwayatkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq ﵁ ketika datang kepadanya suatu hukum, ia melihat dalam Kitabullah ﷿ kemudian dalam Sunnah Rasulullah ﷺ. Jika tidak menemukan, ia mengumpulkan para pemimpin manusia lalu meminta pendapat mereka. Jika pendapat mereka sepakat atas sesuatu, ia memutuskan dengannya. Umar ﵁ menulis kepada Abu Musa Al-Asy'ari ﵀ dalam surat yang disepakati orang-orang atas kesahihannya: Pahamilah, pahamilah apa yang sampai kepadamu yang tidak ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah, kemudian analogikanlah perkara-perkara dalam hal itu. Ia berkata kepada Utsman ﵁: Sesungguhnya aku berpendapat dalam masalah kakek, maka ikutilah aku. Utsman berkata kepadanya: Jika kami mengikuti pendapatmu maka pendapatmu adalah bijak, dan jika kami mengikuti pendapat orang sebelum engkau maka itulah pendapat yang baik.

وَقَالَ عَلِيٌّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: كَانَ رَأْيِي وَرَأْيُ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ ﵁ أَنْ لَا تُبَاعَ أُمَّهَاتُ الْأَوْلَادِ وَرَأْيِي الْآنَ أَنْ يُبَعْنَ فَقَالَ لَهُ عُبَيْدَةُ السَّلْمَانِيُّ: رَأْيُ

Ali, semoga Allah memuliakan wajahnya, berkata: Pendapatku dan pendapat Amirul Mukminin Umar ﵁ adalah agar para ibu dari anak-anak (ummahat al-awlad) tidak dijual, namun pendapatku sekarang adalah agar mereka dijual. Ubaidah As-Salmani berkata kepadanya: Pendapat

ذَوَيْ عَدْلٍ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ رَأْيِكَ وَحْدَكَ، وَفِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ مِنْ رَأْيِ عَدْلٍ وَاحِدٍ، فَدَلَّ عَلَى جَوَازِ الْعَمَلِ بِالْقِيَاسِ.

Dua orang yang adil lebih kami sukai daripada pendapatmu sendiri, dan dalam beberapa riwayat dari pendapat satu orang yang adil, maka ini menunjukkan bolehnya mengamalkan qiyas.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَثْبُتُ بِالْقِيَاسِ جَمِيعُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ جُمَلِهَا وَتَفْصِيلِهَا وَحُدُودِهَا وَكَفَّارَاتِهَا وَمُقَدَّرَاتِهَا وَقَالَ أَبُو هَاشِمٍ: لَا يَثْبُتُ بِالْقِيَاسِ إِلَّا تَفْصِيلَ مَا وَرَدَ النَّصُّ عَلَيْهِ وَإِمَّا إِثْبَاتُ جُمَلٍ لَمْ يَرِدْ بِهَا النَّصُّ فَلَا يَجُوزُ بِالْقِيَاسِ وَذَلِكَ كَمِيرَاثِ الْأَخِ لَا يَجُوزُ أَنْ يُبْتَدَأَ إِيجَابُهُ بِالْقِيَاسِ وَلَكِنْ إِذَا ثَبَتَ بِالنَّصِّ مِيرَاثُهُ جَازَ إِثْبَاتُ إِرْثِهِ مَعَ الْجَدِّ بِالْقِيَاسِ وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ: لَا مَدْخَلَ لِلْقِيَاسِ فِي إِثْبَاتِ الْحُدُودِ وَالْكَفَّارَاتِ وَالْمُقَدَّرَاتِ كَالنُّصُبِ فِي الزَّكَوَاتِ وَالْمَوَاقِيتِ فِي الصَّلَوَاتِ وَهُوَ قَوْلُ الْجُبَائِيِّ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَجُوزُ ذَلِكَ بِالِاسْتِدْلَالِ دُونَ الْقِيَاسِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأَحْكَامَ يَجُوزُ إِثْبَاتُهَا بِخَبَرِ الْوَاحِدِ فَجَازَ إِثْبَاتُهَا بِالْقِيَاسِ كَسَائِرِ الْأَحْكَامِ.

Dan dengan qiyas dapat ditetapkan seluruh hukum syariat, baik secara global maupun terperinci, hudud, kafarat, dan muqaddarat. Abu Hasyim berkata: Qiyas hanya dapat menetapkan perincian dari apa yang telah disebutkan dalam nash, adapun menetapkan perkara global yang tidak disebutkan dalam nash maka tidak boleh dengan qiyas, seperti warisan saudara laki-laki, tidak boleh diwajibkan dengan qiyas. Tetapi jika telah ditetapkan dengan nash kewarisannya, maka boleh menetapkan kewarisannya bersama kakek dengan qiyas. Pengikut Abu Hanifah berkata: Qiyas tidak berperan dalam menetapkan hudud, kafarat, dan muqaddarat seperti nishab dalam zakat dan waktu dalam shalat, ini adalah pendapat Al-Jubba'i. Di antara mereka ada yang berkata: Hal itu boleh dengan istidlal bukan qiyas. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa hukum-hukum ini boleh ditetapkan dengan khabar ahad, maka boleh juga ditetapkan dengan qiyas seperti hukum-hukum lainnya.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا الْأَسْمَاءُ وَاللُّغَاتُ فَهَلْ يَجُوزُ إِثْبَاتُهَا بِالْقِيَاسِ فِيهِ وَجْهَانِ: أَصَحُّهُمَا أَنَّهُ يَجُوزُ وَقَدْ مَضَى فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ.

Adapun nama-nama dan bahasa, apakah boleh menetapkannya dengan qiyas? Ada dua pendapat dalam hal ini. Yang paling sahih adalah boleh, dan ini telah dibahas di awal kitab.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَا طَرِيقُهُ الْعَادَةُ وَالْخِلْقَةُ كَأَقَلِّ الْحَيْضِ وَأَكْثَرِهِ وَأَقَلِّ النِّفَاسِ وَأَكْثَرِهِ، وَأَقَلِّ الْحَمْلِ وَأَكْثَرِهِ فَلَا مَجَالَ لِلْقِيَاسِ فِيهِ لِأَنَّ مَعْنَاهَا لَا يُعْقَلُ بَلْ طَرِيقُ إِثَابَتِهَا خَبَرُ الصَّادِقِ، وَكَذَلِكَ مَا طَرِيقُهُ الرِّوَايَةُ وَالسَّمَاعُ كَقِرَانِ النَّبِيِّ ﷺ وَإِفْرَادِهِ وَدُخُولِهِ إِلَى مَكَّةَ صُلْحًا أَوْ عَنْوَةً فَهَذَا كُلُّهُ لَا مَجَالَ لِلْقِيَاسِ فِيهِ.

Adapun hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan dan penciptaan, seperti batas minimal dan maksimal haid, nifas, dan kehamilan, maka tidak ada ruang untuk qiyas di dalamnya. Karena maknanya tidak dapat dipahami, melainkan cara menetapkannya adalah melalui khabar dari orang yang jujur (Nabi). Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan riwayat dan pendengaran, seperti Nabi ﷺ melakukan qiran atau ifrad, dan memasuki Makkah dengan damai atau kekerasan, semua ini tidak ada ruang untuk qiyas di dalamnya.

بَابُ أَقْسَامِ القِيَاسِ

بَابُ أَقْسَامِ الْقِيَاسِ

Bab Pembagian Qiyas

قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ الْأَوْحَدُ نُورُ اللهِ قَبْرَهُ وَبَرَّدَ مَضْجَعَهُ: قَدْ ذَكَرْتُ فِي الْمُلَخَّصِ فِي الْجَدَلِ أَقْسَامَ الْقِيَاسِ مَشْرُوحًا وَأَنَا أُعِيدُ الْقَوْلَ فِي ذَلِكَ هَاهُنَا عَلَى

Syekh Imam yang unik, semoga Allah menerangi kuburnya dan mendinginkan tempat peristirahatannya, berkata: Sungguh aku telah menyebutkan dalam ringkasan tentang debat pembagian qiyas secara terperinci, dan aku akan mengulangi perkataan tentang hal itu di sini atas

مَا يَقْتَضِيهِ هَذَا الْكِتَابُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى فَأَقُولُ وَبِاللهِ التَّوْفِيقُ: إِنَّ الْقِيَاسَ عَلَى ثَلَاثَةِ اضْرُبٍ: قِيَاسُ عِلَّةٍ. وَقِيَاسُ دَلَالَةٍ. وَقِيَاسُ شَبَهٍ.

Apa yang diperlukan oleh kitab ini insya Allah Ta'ala, maka saya katakan, dan dengan pertolongan Allah: Sesungguhnya qiyas itu ada tiga macam: qiyas 'illah, qiyas dilalah, dan qiyas syabah.

فَأَمَّا قِيَاسُ الْعِلَّةِ: فَهُوَ أَنْ يُرَدَّ الْفَرْعُ إِلَى الْأَصْلِ بِالْبَيِّنَةِ الَّتِي عُلِّقَ الْحُكْمُ عَلَيْهَا فِي الشَّرْعِ، وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ مَعْنًى يَظْهَرُ وَجْهُ الْحِكْمَةِ فِيهِ لِلْمُجْتَهِدِ كَالْفَسَادِ الَّذِي فِي الْخَمْرِ وَمَا فِيهَا مِنَ الصَّدِّ عَنْ ذِكْرِ اللهِ ﷿ وَعَنِ الصَّلَاةِ وَقَدْ يَكُونُ مَعْنًى اسْتَأْثَرَ اللهُ ﷿ بِبَيَانِهِ فِيهِ بِوَجْهِ الْحِكْمَةِ كَالطَّعْمِ فِي تَحْرِيمِ الرِّبَا وَالْكَيْلِ وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ الْقِيَاسِ يَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ جَلِيٌّ وَخَفِيٌّ.

Adapun qiyas 'illah: yaitu mengembalikan cabang (furu') kepada pokok (ashl) dengan alasan yang jelas yang menjadi dasar hukum dalam syariat. Terkadang hal itu merupakan makna yang jelas bagi seorang mujtahid, seperti kerusakan yang ada pada khamr dan apa yang ada padanya berupa penghalang dari mengingat Allah ﷿ dan dari shalat. Dan terkadang maknanya hanya diketahui Allah ﷿ dalam menjelaskan hikmah di dalamnya, seperti rasa dalam pengharaman riba dan takaran. Jenis qiyas ini terbagi menjadi dua bagian: jelas (jali) dan samar (khafi).

فَأَمَّا الْجَلِيُّ فَهُوَ مَا لَا يَحْتَمِلُ إِلَّا مَعْنًى وَاحِدًا وَهُوَ مَا ثَبَتَتْ عِلِّيَّتُهُ بِدَلِيلٍ قَاطِعٍ لَا يَحْتَمِلُ التَّأْوِيلَ وَهُوَ أَنْوَاعٌ بَعْضُهَا أَجْلَى مِنْ بَعْضٍ فَأَجْلَاهَا مَا صُرِّحَ فِيهِ بِلَفْظِ التَّعْلِيلِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ﴾ ١. وَكَقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ لِأَجْلِ الدَّافَّةِ" فَصَرَّحَ بِلَفْظِ التَّعْلِيلِ وَيَلِيهِ مَا دَلَّ عَلَيْهِ التَّنْبِيهُ مِنْ جِهَةِ الْأَوْلَى كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ﴾ فَنَبَّهَ عَلَى أَنَّ الضَّرْبَ أَوْلَى بِالْمَنْعِ وَكَنَهْيِهِ عَنِ التَّضْحِيَةِ بِالْعَوْرَاءِ فَإِنَّهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْعَمْيَاءَ أَوْلَى بِالْمَنْعِ وَيَلِيهِ مَا فُهِمَ مِنَ اللَّفْظِ مِنْ غَيْرِ جِهَةِ الْأَوْلَى كَنَهْيِهِ عَنِ الْبَوْلِ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ الدَّائِمِ وَالْأَمْرِ بِإِرَاقَةِ السَّمْنِ الذَّائِبِ إِذَا وَقَعَتْ فِيهِ الْفَأْرَةُ فَإِنَّهُ يُعْرَفُ مِنْ لَفْظِهِ أَنَّ الدَّمَ مِثْلُ الْبَوْلِ وَالشَّيْرَجَ مِثْلُ السَّمْنِ وَكَذَلِكَ كُلُّ مَا اسْتُنْبِطَ مِنَ الْعِلَلِ وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهَا فَهُوَ جَلِيٌّ كَإِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّ الْحَدَّ لِلرَّدْعِ وَالزَّجْرِ عَنْ ارْتِكَابِ الْمَعَاصِي وَنُقْصَانِ حَدِّ الْعَبْدِ عَنْ حَدِّ الْحُرِّ لِرِقِّهِ فَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ الْقِيَاسِ لَا يَحْتَمِلُ إِلَّا مَعْنًى وَاحِدًا وَيُنْقَضُ بِهِ حُكْمُ الْحَاكِمِ إِذَا خَالَفَهُ كَمَا يُنْقَضُ إِذَا خَالَفَ. النَّصَّ وَالْإِجْمَاعَ.

Adapun qiyas jali adalah qiyas yang hanya mengandung satu makna, yaitu yang kekuatan illatnya ditetapkan dengan dalil qath'i yang tidak mengandung takwil. Qiyas jali ini ada beberapa macam, sebagiannya lebih jelas dari sebagian yang lain. Yang paling jelas adalah yang di dalamnya disebutkan secara eksplisit lafaz ta'lil (alasan hukum), seperti firman Allah Ta'ala: "Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu" (QS. Al-Hasyr: 7). Dan seperti sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya aku melarang kalian karena ad-daffah". Beliau menyebutkan secara eksplisit lafaz ta'lil. Kemudian setelah itu adalah qiyas yang didasarkan pada tanbih (peringatan) dari sisi yang lebih utama, seperti firman Allah Ta'ala: "Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah'". Ayat ini mengingatkan bahwa memukul lebih utama untuk dilarang. Dan seperti larangan Nabi ﷺ untuk berkurban dengan hewan yang buta sebelah, maka ini menunjukkan bahwa hewan yang buta total lebih utama untuk dilarang. Kemudian setelah itu adalah qiyas yang dipahami dari lafaz bukan dari sisi yang lebih utama, seperti larangan Nabi ﷺ untuk kencing di air yang tergenang dan perintah untuk membuang minyak samin yang mencair jika tikus jatuh ke dalamnya. Maka dari lafaz hadits ini diketahui bahwa darah seperti air kencing dan lemak babi seperti minyak samin. Demikian pula setiap illat yang disimpulkan dan disepakati oleh kaum muslimin, maka itu adalah qiyas jali, seperti kesepakatan mereka bahwa had (hukuman) adalah untuk mencegah dan menghalangi dari melakukan kemaksiatan, dan pengurangan had budak dari had orang merdeka karena status perbudakannya. Maka jenis qiyas ini hanya mengandung satu makna dan dengannya dapat dibatalkan hukum hakim jika menyalahinya sebagaimana dibatalkan jika menyalahi nash dan ijma'.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْخَفِيُّ: فَهُوَ مَا كَانَ مُحْتَمَلًا وَهُوَ مَا ثَبَتَ بِطَرِيقٍ مُحْتَمَلٍ وَهُوَ أَنْوَاعٌ بَعْضُهَا أَظْهَرُ مِنْ بَعْضٍ فَأَظْهَرُهَا مَا دَلَّ عَلَيْهِ ظَاهِرٌ مِثْلُ الطَّعْمِ فِي الرِّبَا فَإِنَّهُ

Adapun yang tersembunyi: yaitu apa yang bersifat muhtamal dan itu adalah apa yang ditetapkan dengan cara yang muhtamal, dan itu ada beberapa jenis, sebagian lebih jelas dari sebagian lainnya. Yang paling jelas di antaranya adalah apa yang ditunjukkan oleh zhahir seperti rasa dalam riba, karena sesungguhnya ia

_________
١ سُورَةُ الْحَشْرِ، الْآيَةُ: ٧
1 Surat Al-Hasyr, Ayat: 7

عُلِمَ مِنْ نَهْيِهِ ﷺ عَنْ بَيْعِ الْمَطْعُومِ فِي قَوْلِهِ: "لَا تَبِيعُوا الطَّعَامَ بِالطَّعَامِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ" فَإِنَّهُ عَلَّقَ النَّهْيَ عَلَى الطَّعْمِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ عِلَّةٌ وَكَمَا رُوِيَ أَنَّ بَرِيرَةَ أُعْتِقَتْ فَكَانَ زَوْجُهَا عَبْدًا فَخَيَّرَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ خَيَّرَهَا لِعُبُودِيَّةِ الزَّوْجِ وَيَلِيهِ مَا عُرِفَ بِالِاسْتِنْبَاطِ وَدَلَّ عَلَيْهِ التَّأْثِيرُ كَالشِّدَّةِ الْمُطْرِبَةِ فِي الْخَمْرِ فَإِنَّهُ لَمَّا وُجِدَ التَّحْرِيمُ بِوُجُودِهَا وَزَالَ بِزَوَالِهَا دَلَّ عَلَى أَنَّهَا هِيَ الْعِلَّةُ، وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ الْقِيَاسِ لِأَنَّهُ مُحْتَمَلٌ أَنْ يَكُونَ الطَّعَامُ أَرَادَ بِهِ مَا يُطْعَمُ وَلَكِنْ حُرِّمَ فِيهِ التَّفَاضُلُ لِمَعْنًى غَيْرِ الطَّعْمِ وَكَذَلِكَ حَدِيثُ بَرِيرَةَ يَحْتَمِلُ أَنَّهُ أَثْبَتَ الْخِيَارَ لِرِقِّهِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ لِمَعْنًى آخَرَ وَيَكُونُ ذِكْرُ رِقِّ الزَّوْجِ تَعْرِيفًا وَكَذَلِكَ التَّحْرِيمُ فِي الْخَمْرِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لِلشِّدَّةِ الْمُطْرِبَةِ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لِاسْمِ الْخَمْرِ فَإِنَّ الِاسْمَ يُوجَدُ بِوُجُودِ الشِّدَّةِ وَيَزُولُ بِزَوَالِهَا فَهَذَا لَا يُنْقَضُ بِهِ حُكْمُ الْحَاكِمِ.

Diketahui dari larangan Nabi ﷺ tentang menjual makanan dalam sabdanya: "Janganlah kalian menjual makanan dengan makanan kecuali sama dengan sama" maka beliau menggantungkan larangan pada rasa, sehingga yang jelas bahwa itu adalah 'illah. Dan sebagaimana diriwayatkan bahwa Barirah dimerdekakan dan suaminya adalah seorang budak, lalu Rasulullah ﷺ memberinya pilihan, maka yang jelas bahwa beliau memberinya pilihan karena status budak suaminya. Dan yang mengikutinya adalah apa yang diketahui dengan istinbath dan ditunjukkan oleh pengaruh, seperti sifat memabukkan pada khamr, karena ketika ditemukan pengharaman dengan adanya sifat itu dan hilang dengan hilangnya sifat itu, menunjukkan bahwa itulah 'illah-nya. Ini adalah jenis qiyas karena ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan makanan adalah apa yang dimakan, tetapi diharamkan padanya kelebihan karena makna selain rasa. Demikian pula hadits Barirah, ada kemungkinan bahwa beliau menetapkan khiyar karena status budaknya, dan ada kemungkinan karena makna lain, dan penyebutan status budak suami adalah sebagai pengenalan. Demikian pula pengharaman pada khamr, boleh jadi karena sifat memabukkan, dan boleh jadi karena nama khamr, karena nama itu ada dengan adanya sifat memabukkan dan hilang dengan hilangnya sifat itu. Maka ini tidak membatalkan hukum hakim.

فَصْلٌ

Fasal

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي مِنَ الْقِيَاسِ: وَهُوَ قِيَاسُ الدَّلَالَةِ فَهُوَ أَنْ تَرُدَّ الْفَرْعَ إِلَى الْأَصْلِ بِمَعْنًى غَيْرِ الْمَعْنَى الَّذِي عُلِّقَ عَلَيْهِ الْحُكْمُ فِي الشَّرْعِ إِلَّا أَنَّهُ يَدُلُّ عَلَى وُجُودِ عِلَّةِ الشَّرْعِ وَهَذَا عَلَى اضْرُبٍ: مِنْهَا أَنْ يُسْتَدَلَّ بِخَصِيصَةٍ مِنْ خَصَائِصِ الْحُكْمِ عَلَى الْحُكْمِ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يُسْتَدَلَّ عَلَى مَنْعِ وُجُوبِ سُجُودِ التِّلَاوَةِ بِجَوَازِ فِعْلِهَا عَلَى الرَّاحِلَةِ فَإِنَّ جَوَازَهُ عَلَى الرَّاحِلَةِ مِنْ أَحْكَامِ النَّوَافِلِ وَيَلِيهِ مَا يُسْتَدَلُّ بِنَظِيرِ الْحُكْمِ عَلَى الْحُكْمِ كَقَوْلِنَا فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي مَالِ الصَّبِيِّ أَنَّهُ يَجِبُ الْعُشْرُ فِي زَرْعِهِ فَوَجَبَتِ الزَّكَاةُ فِي مَالِهِ كَالْبَالِغِ وَكَقَوْلِنَا فِي ظِهَارِ الذِّمِّيِّ إِنَّهُ يَصِحُّ طَلَاقُهُ يَصِحُّ ظِهَارُهُ فَيُسْتَدَلُّ بِالْعُشْرِ عَلَى رُبْعِ الْعُشْرِ وَبِالطَّلَاقِ عَلَى الظَّاهِرِ لِأَنَّهُمَا نَظِيرَانِ فَيَدُلُّ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ الْقِيَاسِ يَجْرِي مَجْرَى الْخَفِيِّ مِنْ قِيَاسِ الْعِلَّةِ فِي الِاحْتِمَالِ إِلَّا أَنْ يَتَّفِقَ فِيهِ مَا يَجْمَعُ عَلَى دَلَالَتِهِ فَيَصِيرُ كَالْجَلِيِّ فِي نَقْضِ الْحُكْمِ بِهِ.

Adapun jenis kedua dari qiyas, yaitu qiyas dilalah, adalah mengembalikan cabang kepada asal dengan makna yang berbeda dari makna yang ditetapkan hukumnya dalam syariat, tetapi menunjukkan adanya 'illah syar'i. Ini terbagi menjadi beberapa jenis: di antaranya adalah menggunakan kekhususan dari kekhususan hukum untuk menetapkan hukum, seperti menggunakan kebolehan melakukan sujud tilawah di atas kendaraan sebagai dalil untuk melarang kewajiban sujud tilawah, karena kebolehannya di atas kendaraan termasuk hukum-hukum sunnah. Berikutnya adalah menggunakan padanan hukum untuk menetapkan hukum, seperti perkataan kita tentang kewajiban zakat pada harta anak kecil, bahwa sepersepuluh wajib pada tanamannya, maka zakat wajib pada hartanya seperti orang dewasa. Dan seperti perkataan kita tentang zhihar orang dzimmi, bahwa thalaknya sah maka zhiharnya juga sah. Maka sepersepuluh digunakan sebagai dalil untuk seperempat sepersepuluh, dan thalak digunakan sebagai dalil untuk zhihar, karena keduanya serupa, maka salah satunya menunjukkan yang lain. Jenis qiyas ini berjalan seperti qiyas 'illah yang samar dalam kemungkinan, kecuali jika terdapat sesuatu yang disepakati menunjukkan maknanya, maka menjadi seperti yang jelas dalam membatalkan hukum dengannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَالضَّرْبُ الثَّالِثُ: هُوَ قِيَاسُ الشَّبَهِ وَهُوَ أَنْ تَحْمِلَ فَرْعًا عَلَى الْأَصْلِ بِضَرْبٍ

Dan jenis yang ketiga: yaitu qiyas syabah, yaitu engkau menganalogikan cabang kepada asal dengan suatu bentuk

مِنَ الشَّبَهِ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَتَرَدَّدَ الفَرْعُ بَيْنَ أَصْلَيْنِ يُشْبِهُ أَحَدَهُمَا فِي ثَلَاثَةِ أَوْصَافٍ وَيُشْبِهُ الْآخَرَ فِي وَصْفَيْنِ فَيُرَدُّ إِلَى أَشْبَهِ الْأَصْلَيْنِ بِهِ وَذَلِكَ كَالْعَبْدِ يُشْبِهُ الْحُرَّ فِي أَنَّهُ آدَمِيٌّ مُخَاطَبٌ مُثَابٌ مُعَاقَبٌ وَيُشْبِهُ الْبَهِيمَةَ فِي أَنَّهُ مَمْلُوكٌ مُقَوَّمٌ فَيُلْحَقُ بِمَا هُوَ أَشْبَهُ بِهِ وَكَالْوُضُوءِ يُشْبِهُ التَّيَمُّمَ فِي إِيجَابِ النِّيَّةِ مِنْ جِهَةِ أَنَّهُ طَهَارَةٌ عَنْ حَدَثٍ وَيُشْبِهُ إِزَالَةَ النَّجَاسَةِ فِي أَنَّهُ طَهَارَةٌ بِمَائِعٍ فَيُلْحَقُ بِمَا هُوَ أَشْبَهُ بِهِ فَهَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إِنَّ ذَلِكَ يَصِحُّ وَلِلشَّافِعِيِّ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يَصِحُّ وَتَأَوَّلَ مَا قَالَ الشَّافِعِيُّ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ أَنَّهُ يُرَجِّحُ بِهِ قِيَاسَ الْعِلَّةِ بِكَثْرَةِ الشَّبَهِ. وَاخْتَلَفَ الْقَائِلُونَ بِقِيَاسِ الشَّبَهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ الشَّبَهُ الَّذِي يَرُدُّ الْفَرْعَ إِلَى الْأَصْلِ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ حُكْمًا وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ حُكْمًا وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صِفَةً قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ ﵀: وَالْأَشْبَهُ عِنْدِي قِيَاسُ الشَّبَهِ لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِعِلَّةِ الْحُكْمِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا دَلِيلٌ عَلَى الْعِلَّةِ، فَلَا يَجُوزُ تَعْلِيقُ الْحُكْمِ عَلَيْهِ.

Dari kesamaan, yaitu seperti cabang yang ragu antara dua asal, yang menyerupai salah satunya dalam tiga sifat dan menyerupai yang lain dalam dua sifat, maka dikembalikan kepada asal yang paling mirip dengannya. Seperti budak yang menyerupai orang merdeka dalam hal bahwa ia adalah manusia yang diajak bicara, diberi pahala, dan dihukum, dan menyerupai binatang dalam hal bahwa ia adalah milik dan dinilai, maka ia dikaitkan dengan apa yang paling mirip dengannya. Dan seperti wudhu yang menyerupai tayamum dalam kewajiban niat dari sisi bahwa ia adalah bersuci dari hadats, dan menyerupai menghilangkan najis dalam hal bahwa ia adalah bersuci dengan cairan, maka ia dikaitkan dengan apa yang paling mirip dengannya. Dalam hal ini, para sahabat kami berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal itu sah dan Imam Syafi'i memiliki dalil yang menunjukkan hal itu. Dan di antara mereka ada yang mengatakan: Tidak sah, dan menafsirkan perkataan Imam Syafi'i bahwa beliau bermaksud dengannya bahwa ia mendahulukan qiyas 'illah dengan banyaknya kesamaan. Dan orang-orang yang berpendapat dengan qiyas syabah berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan kesamaan yang mengembalikan cabang kepada asal harus berupa hukum, dan di antara mereka ada yang mengatakan: Boleh berupa hukum dan boleh berupa sifat. Syaikh Al-Imam rahimahullah berkata: "Yang paling mirip menurutku adalah qiyas syabah tidak sah karena ia bukan 'illah hukum di sisi Allah Ta'ala dan bukan dalil atas 'illah, maka tidak boleh mengaitkan hukum dengannya."

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الِاسْتِدْلَالُ فَإِنَّهُ يَتَفَرَّعُ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَقْسَامِ الْقِيَاسِ وَهُوَ عَلَى أَضْرُبٍ مِنْهَا الِاسْتِدْلَالُ بِبَيَانِ الْعِلَّةِ وَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Adapun istidlal, maka ia bercabang berdasarkan apa yang telah kami sebutkan dari pembagian qiyas, dan ia terdiri dari beberapa jenis, di antaranya istidlal dengan penjelasan 'illah, dan itu ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُبَيِّنَ عِلَّةَ الْحُكْمِ فِي الْأَصْلِ ثُمَّ يُبَيِّنَ أَنَّ الْفَرْعَ يُسَاوِيهِ فِي الْعِلَّةِ مِثْلَ أَنْ يَقُولَ إِنَّ الْعِلَّةَ إِيجَابُ الْقَطْعِ وَالرَّدْعِ وَالزَّجْرِ عَنْ أَخْذِ الْأَمْوَالِ فَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي سَرِقَةِ الْكَفَنِ فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ فِيهِ الْقَطْعُ. وَالثَّانِي: أَنْ يُبَيِّنَ عِلَّةَ الْحُكْمِ فِي الْأَصْلِ ثُمَّ يُبَيِّنَ أَنَّ الْفَرْعَ يُسَاوِيهِ فِي الْعِلَّةِ وَيَزِيدُ عَلَيْهِ مِثْلَ أَنْ يَقُولَ أَنَّ الْكَفَّارَةَ إِنَّمَا وَجَبَتْ الْقَتْلَ بِالْقَتْلِ الْحَرَامِ هَذَا الْمَعْنَى يُوجَدُ فِي الْعَمْدِ وَيَزِيدُ عَلَيْهِ بِالْإِثْمِ فَهُوَ بِإِيجَابِ الْكَفَّارَةِ أَوْلَى. فَهَذَا حُكْمُهُ حُكْمُ الْقِيَاسِ فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهِ وَفَرَقَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ بَيْنَ الْقِيَاسِ وَبَيْنَ الِاسْتِدْلَالِ فَقَالُوا الْكَفَّارَةُ لَا يَجُوزُ إِثَابَتُهَا بِالْقِيَاسِ وَيَجُوزُ إِثْبَاتُهَا بِالِاسْتِدْلَالِ، وَذَكَرُوا فِي إِيجَابِ الْكَفَّارَةِ بِالْأَكْلِ أَنَّ الْكَفَّارَةَ تَجِبُ بِالْإِثْمِ وَمَأْثَمُ الْأَكْلِ كَمَأْثَمِ الْجِمَاعِ وَرُبَّمَا قَالُوا هُوَ أَعْظَمُ فَهُوَ بِالْكَفَّارَةِ أَوْلَى. وَهَذَا سَهْوٌ عَنْ

Pertama: bahwa ia menjelaskan alasan hukum pada asal kemudian menjelaskan bahwa cabang menyamainya dalam alasan, seperti mengatakan bahwa alasannya adalah kewajiban memotong, mencegah, dan menghukum dari mengambil harta, maka makna ini ada pada pencurian kafan sehingga wajib padanya pemotongan. Kedua: bahwa ia menjelaskan alasan hukum pada asal kemudian menjelaskan bahwa cabang menyamainya dalam alasan dan melebihinya, seperti mengatakan bahwa kaffarah hanya wajib pada pembunuhan dengan pembunuhan yang haram, makna ini ada pada yang disengaja dan melebihinya dengan dosa sehingga ia lebih utama untuk diwajibkan kaffarah. Maka ini hukumnya adalah hukum qiyas dalam seluruh hukum-hukumnya. Para sahabat Abu Hanifah ﵀ membedakan antara qiyas dan istidlal, mereka berkata kaffarah tidak boleh ditetapkan dengan qiyas dan boleh ditetapkan dengan istidlal. Mereka menyebutkan dalam mewajibkan kaffarah karena makan bahwa kaffarah wajib karena dosa, dan dosa makan seperti dosa jima', dan terkadang mereka mengatakan ia lebih besar sehingga ia lebih utama untuk kaffarah. Ini adalah kelalaian dari

مَعْنَى الْقِيَاسِ وَذَلِكَ أَنَّهُمْ حَمَلُوا الْأَكْلَ عَلَى الْجِمَاعِ لِتَسَاوِيهِمَا فِي الْعِلَّةِ الَّتِي تَجِبُ فِيهَا الْكَفَّارَةُ وَهَذَا حَقِيقَةُ الْقِيَاسِ.

Makna qiyas adalah bahwa mereka membawa makan kepada jima' karena keduanya setara dalam 'illah yang mewajibkan kaffarah di dalamnya, dan inilah hakikat qiyas.

وَمِنْهَا الِاسْتِدْلَالُ بِالتَّقْسِيمِ وَذَلِكَ ضَرْبَانِ:

Di antaranya adalah istidlal (pengambilan dalil) dengan pembagian, dan itu ada dua jenis:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يَذْكُرَ جَمِيعَ أَقْسَامِ الْحُكْمِ فَيُبْطِلَ جَمِيعَهَا لِيُبْطِلَ الْحُكْمَ لَهُ كَقَوْلِنَا فِي الْإِيلَاءِ إِنَّهُ لَا يُوجِبُ وُقُوعَ الطَّلَاقِ بِانْقِضَاءِ الْمُدَّةِ لِأَنَّهُ لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ صَرِيحًا أَوْ كِنَايَةً فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ صَرِيحًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ كِنَايَةً فَإِذَا لَمْ يَكُنْ صَرِيحًا وَلَا كِنَايَةً لَمْ يَجُزْ إِيقَاعُ الطَّلَاقِ بِهِ.

Pertama: Menyebutkan semua bagian hukum lalu membatalkan semuanya untuk membatalkan hukum tersebut, seperti perkataan kita tentang ila' bahwa ia tidak mewajibkan jatuhnya talak dengan berakhirnya masa, karena ia tidak lepas dari kemungkinan sharih atau kinayah. Maka tidak boleh menjadi sharih dan tidak boleh menjadi kinayah. Jika bukan sharih dan bukan kinayah, maka tidak boleh menjatuhkan talak dengannya.

وَالثَّانِي: أَنْ يُبْطِلَ جَمِيعَ الْأَقْسَامِ إِلَّا وَاحِدًا لِيَصِحَّ ذَلِكَ الْوَاحِدُ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَقُولَ أَنَّ الْقَذْفَ يُوجِبُ رَدَّ الشَّهَادَةِ لِأَنَّهُ إِذَا حُدَّ رُدَّتْ شَهَادَتُهُ فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ رُدَّتْ شَهَادَتُهُ لِلْحَدِّ أَوْ لِلْقَذْفِ أَوْلَهُمَا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ لِلْحَدِّ وَلَا لَهُمْ فَثَبَتَ أَنَّهُ إِنَّمَا رُدَّ لِلْقَذْفِ وَحْدَهُ.

Kedua: Membatalkan semua bagian kecuali satu agar yang satu itu menjadi sah, seperti perkataannya bahwa qadzaf (tuduhan zina) mewajibkan penolakan kesaksian, karena jika ia dihad maka kesaksiannya ditolak. Maka tidak lepas dari kemungkinan kesaksiannya ditolak karena had, atau karena qadzaf, atau karena keduanya. Tidak boleh karena had dan tidak pula karena keduanya. Maka ditetapkan bahwa penolakan itu hanyalah karena qadzaf semata.

وَمِنْهَا: الِاسْتِدْلَالُ بِالْعَكْسِ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَقُولَ لَوْ كَانَ دَمُ الْفَصْدِ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ لَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ قَلِيلُهُ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ كَمَا نَقُولُ فِي الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالنَّوْمِ وَسَائِرِ الْأَحْدَاثِ. وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ اسْتِدْلَالٌ عَلَى الشَّيْءِ بِعَكْسِهِ وَنَقْضِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَصِحُّ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّهُ قِيَاسٌ مَدْلُولٌ عَلَى صِحَّتِهِ بِشَهَادَةِ الْأُصُولِ.

Dan di antaranya: Pengambilan dalil dengan cara terbalik, yaitu seperti jika seseorang berkata, "Seandainya darah flebotomi membatalkan wudhu, maka sedikit darinya pun harus membatalkan wudhu, sebagaimana yang kita katakan tentang kencing, buang air besar, tidur, dan semua hadats lainnya." Para sahabat kami berbeda pendapat tentang hal ini. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ini tidak sah karena merupakan pengambilan dalil atas sesuatu dengan kebalikannya dan pembatalannya. Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ini sah, dan ini adalah pendapat yang lebih sahih, karena ini adalah qiyas yang ditunjukkan kesahihannya oleh kesaksian usul-usul.

بَابُ الكَلَامِ فِي بَيَانِ مَا يَشْتَمِلُ القِيَاسُ عَلَيْهِ عَلَى التَّفْصِيلِ

بَابُ الكَلَامِ فِي بَيَانِ مَا يَشْتَمِلُ القِيَاسُ عَلَيْهِ عَلَى التَّفْصِيلِ

Bab penjelasan tentang apa yang tercakup dalam qiyas secara terperinci

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ القِيَاسَ يَشْتَمِلُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: عَلَى الأَصْلِ، وَالفَرْعِ، وَالعِلَّةِ، وَالحُكْمِ. فَأَمَّا الفَرْعُ فَهُوَ مَا ثَبَتَ حُكْمُهُ بِغَيْرِهِ وَقَدْ بَيَّنَّا ذَلِكَ فِي بَابِ إِثْبَاتِ القِيَاسِ وَمَا جُعِلَ القِيَاسُ حُجَّةً فِيهِ وَالكَلَامُ هُنَا فِي بَيَانِ الأَصْلِ وَالعِلَّةِ وَالحُكْمِ وَفِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ ذَلِكَ بَابٌ مُفْرَدٌ.

Intinya, qiyas mencakup empat hal: asal (al-aṣl), cabang (al-far'), 'illah, dan hukum. Adapun cabang adalah sesuatu yang hukumnya ditetapkan berdasarkan yang lain. Kami telah menjelaskan hal itu dalam bab penetapan qiyas dan apa yang menjadikan qiyas sebagai hujjah di dalamnya. Pembahasan di sini adalah penjelasan tentang asal, 'illah, dan hukum. Masing-masing dari itu memiliki bab tersendiri.

بَابُ بَيَانِ الأَصْلِ وَمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَصْلًا وَمَا لَا يَجُوزُ

بَابُ بَيَانِ الْأَصْلِ وَمَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَصْلًا وَمَا لَا يَجُوزُ

Bab penjelasan tentang asal dan apa yang boleh menjadi asal dan apa yang tidak boleh

اِعْلَمْ أَنَّ الْأَصْلَ تَسْتَعْمِلُهُ الْفُقَهَاءُ فِي أَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا فِي أُصُولِ الْأَدِلَّةِ

Ketahuilah bahwa asl digunakan oleh para fuqaha dalam dua hal: salah satunya dalam usul al-adillah

وَهِيَ الكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالإِجْمَاعُ. وَيَقُولُونَ: هِيَ الأَصْلُ وَمَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْقِيَاسِ وَدَلِيلِ الْخِطَابِ وَفَحْوَى الْخِطَابِ مَعْقُولُ الأَصْلِ وَقَدْ بَيَّنْتُ هَذَا فِي الْمُلَخَّصِ فِي الْجَدَلِ وَيَسْتَعْمِلُونَهُ فِي الشَّيْءِ الَّذِي يُقَاسُ عَلَيْهِ كَالْخَمْرِ أَصْلُ النَّبِيذِ وَالْبُرُّ أَصْلٌ لِلأَرُزِّ وَحَدُّهُ مَا عُرِفَ حُكْمُهُ بِلَفْظٍ تَنَاوَلَهُ أَوْ مَا عُرِفَ حُكْمُهُ بِنَفْسِهِ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: مَا عُرِفَ بِهِ حُكْمُ غَيْرِهِ وَهَذَا لَا يَصِحُّ لِأَنَّ الأَثْمَانَ أَصْلٌ فِي الرِّبَا وَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ بِهَا حُكْمُ غَيْرِهَا.

Dan itu adalah Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma'. Mereka berkata: Itu adalah asal, dan selain itu seperti qiyas, dalil khitab, dan fahwa khitab adalah ma'qul al-ashl. Saya telah menjelaskan ini dalam ringkasan dalam perdebatan. Mereka menggunakannya pada sesuatu yang dianalogikan, seperti khamr adalah asal nabidz, dan gandum adalah asal beras. Batasannya adalah sesuatu yang diketahui hukumnya dengan lafaz yang mencakupnya atau sesuatu yang diketahui hukumnya dengan dirinya sendiri. Sebagian sahabat kami berkata: Sesuatu yang dengannya diketahui hukum selainnya. Ini tidak benar karena harga adalah asal dalam riba meskipun dengannya tidak diketahui hukum selainnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَاعْلَمْ أَنَّ الْأَصْلَ قَدْ يُعْرَفُ بِالنَّصِّ وَقَدْ يُعْرَفُ بِالْإِجْمَاعِ فَمَا عُرِفَ بِالنَّصِّ فَضَرْبَانِ ضَرْبٌ يُعْقَلُ مَعْنَاهُ وَضَرْبٌ لَا يُعْقَلُ مَعْنَاهُ فَمَا لَا يُعْقَلُ مَعْنَاهُ كَعَدَدِ الصَّلَوَاتِ وَالصِّيَامِ وَمَا أَشْبَهَهُمَا لَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْقِيَاسَ لَا يَجُوزُ إِلَّا بِمَعْنًى يَقْتَضِي الْحُكْمَ فَإِذَا لَمْ يُعْقَلْ ذَلِكَ الْمَعْنَى لَمْ يَصِحَّ الْقِيَاسُ وَأَمَّا مَا يُعْقَلُ مَعْنَاهُ فَضَرْبَانِ ضَرْبٌ يُوجَدُ مَعْنَاهُ فِي غَيْرِهِ وَضَرْبٌ لَا يُوجَدُ مَعْنَاهُ فِي غَيْرِهِ فَمَا لَا يُوجَدُ مَعْنَاهُ فِي غَيْرِهِ لَا يَجُوزُ قِيَاسُ غَيْرِهِ عَلَيْهِ وَمَا يُوجَدُ مَعْنَاهُ فِي غَيْرِهِ فَمَا لَا يُوجَدُ مَعْنَاهُ فِي غَيْرِهِ لَا يَجُوزُ قِيَاسُ غَيْرِهِ عَلَيْهِ وَمَا يُوجَدُ مَعْنَاهُ فِي غَيْرِهِ جَازَ الْقِيَاسُ عَلَيْهِ سَوَاءٌ كَانَ مَا وَرَدَ بِهِ النَّصُّ مُجْمَعًا عَلَى تَعْلِيلِهِ أَوْ مُخْتَلَفًا فِيهِ مُخَالِفًا لِقِيَاسِ الْأُصُولِ أَوْ مُوَافِقًا لَهُ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: لَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ إِلَّا عَلَى أَصْلٍ مُجْمَعٍ عَلَى تَعْلِيلِهِ. وَقَالَ الْكَرْخِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ: لَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ عَلَى أَصْلٍ مُخَالِفٍ لِلْقِيَاسِ إِلَّا أَنْ يَثْبُتَ تَعْلِيلُهُ بِنَصٍّ أَوْ إِجْمَاعٍ أَوْ هُنَاكَ أَصْلٌ آخَرُ يُوَافِقُهُ وَيُسَمُّونَ ذَلِكَ الْقِيَاسَ عَلَى مَوْضِعِ الِاسْتِحْسَانِ فَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ الْقِيَاسِ عَلَى الْأَصْلِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُجْمَعًا عَلَى تَعْلِيلِهِ هُوَ أَنَّهُ لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يُعْتَبَرَ إِجْمَاعُ الْأُمَّةِ كُلِّهَا فَهَذَا يُوجِبُ إِبْطَالَ الْقِيَاسِ لِأَنَّ نُفَاةَ الْقِيَاسِ مِنَ الْأُمَّةِ وَأَكْثَرُهُمْ عَلَى أَنَّ الْأُصُولَ غَيْرُ مُعَلَّلَةٍ أَوْ يُعْتَبَرَ إِجْمَاعُ مُثْبِتِي الْقِيَاسِ فَذَلِكَ لَا مَعْنَى لَهُ لِأَنَّ إِجْمَاعَهُمْ لَيْسَ بِحُجَّةٍ عَلَى الِانْفِرَادِ فَكَانَ الْقِيَاسُ عَلَى مَا اجْمَعُوا عَلَيْهِ كَالْقِيَاسِ عَلَى مَا اخْتَلَفُوا فِيهِ. وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى الْكَرْخِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ: هُوَ أَنَّ مَا وَرَدَ بِهِ النَّصُّ مُخَالِفًا لِلْقِيَاسِ أَصْلٌ ثَابِتٌ كَمَا أَنَّ مَا وَرَدَ بِهِ النَّصُّ مُوَافِقًا لِلْقِيَاسِ أَصْلٌ ثَابِتٌ فَإِذَا جَازَ الْقِيَاسُ عَلَى مَا كَانَ مُوَافِقًا لِلْقِيَاسِ جَازَ عَلَى مَا كَانَ مُخَالِفًا.

Ketahuilah bahwa asal (hukum) terkadang diketahui melalui nash (teks) dan terkadang diketahui melalui ijma' (konsensus). Apa yang diketahui melalui nash ada dua jenis: jenis yang dapat dipahami maknanya dan jenis yang tidak dapat dipahami maknanya. Adapun yang tidak dapat dipahami maknanya seperti jumlah shalat, puasa, dan yang serupa dengannya, maka tidak boleh melakukan qiyas (analogi) terhadapnya karena qiyas hanya boleh dilakukan dengan makna yang menuntut hukum. Jika makna tersebut tidak dapat dipahami, maka qiyas tidak sah. Adapun yang dapat dipahami maknanya, ada dua jenis: jenis yang maknanya ditemukan pada selainnya dan jenis yang maknanya tidak ditemukan pada selainnya. Apa yang maknanya tidak ditemukan pada selainnya, maka tidak boleh mengqiyaskan selainnya terhadapnya. Apa yang maknanya ditemukan pada selainnya, maka apa yang maknanya tidak ditemukan pada selainnya, tidak boleh mengqiyaskan selainnya terhadapnya. Apa yang maknanya ditemukan pada selainnya, boleh melakukan qiyas terhadapnya, baik nash yang datang dengannya disepakati untuk di-ta'lil (diberikan alasan hukum) atau diperselisihkan, bertentangan dengan qiyas ushul atau sesuai dengannya. Sebagian orang berkata: Qiyas hanya boleh dilakukan pada asal yang disepakati untuk di-ta'lil. Al-Karkhi dan selainnya dari pengikut Abu Hanifah berkata: Tidak boleh melakukan qiyas pada asal yang bertentangan dengan qiyas kecuali jika ta'lil-nya ditetapkan dengan nash, ijma', atau ada asal lain yang sesuai dengannya. Mereka menyebut hal itu sebagai qiyas pada tempat istihsan. Dalil atas bolehnya qiyas pada asal meskipun tidak disepakati untuk di-ta'lil adalah bahwa hal itu tidak lepas dari dua kemungkinan: mempertimbangkan ijma' seluruh umat yang mengharuskan pembatalan qiyas karena penolak qiyas dari umat dan mayoritas mereka berpendapat bahwa ushul tidak di-ta'lil, atau mempertimbangkan ijma' para pendukung qiyas yang tidak memiliki makna karena ijma' mereka bukan hujjah (dalil) secara terpisah. Maka qiyas terhadap apa yang mereka sepakati sama dengan qiyas terhadap apa yang mereka perselisihkan. Adapun dalil atas Al-Karkhi dan orang yang sependapat dengannya adalah bahwa apa yang datang dengannya nash yang bertentangan dengan qiyas merupakan asal yang tetap sebagaimana apa yang datang dengannya nash yang sesuai dengan qiyas merupakan asal yang tetap. Jika boleh melakukan qiyas terhadap apa yang sesuai dengan qiyas, maka boleh pula terhadap apa yang bertentangan dengannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَا عُرِفَ بِالْإِجْمَاعِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ مَا ثَبَتَ بِالنَّصِّ فِي جَوَازِ الْقِيَاسِ عَلَيْهِ عَلَى التَّفْصِيلِ الَّذِي قَدَّمَهُ فِي النَّصِّ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُعْرَفْ النَّصُّ الَّذِي أَجْمَعُوا لِأَجْلِهِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْإِجْمَاعَ أَصْلٌ فِي إِثْبَاتِ الْأَحْكَامِ كَالنَّصِّ فَإِذَا جَازَ الْقِيَاسُ عَلَى مَا ثَبَتَ بِالنَّصِّ جَازَ عَلَى مَا ثَبَتَ بِالْإِجْمَاعِ.

Adapun apa yang diketahui berdasarkan ijma', maka hukumnya sama dengan hukum apa yang ditetapkan oleh nash dalam hal bolehnya melakukan qiyas terhadapnya, sesuai dengan perincian yang telah disebutkan dalam nash. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa tidak boleh melakukan qiyas terhadapnya selama tidak diketahui nash yang menjadi dasar ijma' mereka. Namun pendapat ini tidak benar, karena ijma' merupakan dasar dalam menetapkan hukum-hukum seperti halnya nash. Oleh karena itu, jika boleh melakukan qiyas terhadap apa yang ditetapkan oleh nash, maka boleh pula melakukan qiyas terhadap apa yang ditetapkan oleh ijma'.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَا ثَبَتَ بِالْقِيَاسِ عَلَى غَيْرِهِ فَلَا خِلَافَ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْهُ الْمَعْنَى الَّذِي ثَبَتَ بِهِ وَيُقَاسَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْهُ مَعْنًى غَيْرَ الْمَعْنَى الَّذِي قِيسَ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَيُقَاسَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ مِثْلَ أَنْ يُقَاسَ الْأَرُزُّ عَلَى الْبُرِّ فِي الرِّبَا بِعِلَّةِ أَنَّهُ مَطْعُومٌ ثُمَّ يُسْقَطَ مِنَ الْأَرُزِّ أَنَّهُ نَبْتٌ لَا يُقْطَعُ الْمَاءُ عَنْهُ ثُمَّ يُقَاسَ عَلَيْهِ النِّيلُوفَرُ فِيهِ وَجْهَانِ: مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَجُوزُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْحَسَنِ الْكَرْخِيِّ وَقَدْ نَصَرْتُ فِي التَّبْصِرَةِ جَوَازَ ذَلِكَ، وَالَّذِي يَصِحُّ عِنْدِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَنَّهُ إِثْبَاتُ حُكْمٍ فِي الْفَرْعِ بِغَيْرِ عِلَّةِ الْأَصْلِ وَذَلِكَ أَنَّ عِلَّةَ الْأَصْلِ هِيَ الطَّعْمُ، فَمَتَى قِسْنَا النِّيلُوفَرَ عَلَيْهِ بِمَا ذَكَرْنَاهُ رَدَدْنَا الْفَرْعَ إِلَى الْأَصْلِ بِغَيْرِ عِلَّةٍ وَهَذَا لَا يَجُوزُ.

Adapun apa yang ditetapkan dengan qiyas terhadap yang lain, maka tidak ada perselisihan bahwa boleh mengambil kesimpulan darinya makna yang dengannya ia ditetapkan dan mengqiyaskan yang lain kepadanya. Apakah boleh mengambil kesimpulan darinya makna selain makna yang dengannya ia diqiyaskan kepada yang lain dan mengqiyaskan yang lain kepadanya? Seperti mengqiyaskan beras kepada gandum dalam riba dengan 'illat bahwa ia adalah makanan, kemudian menggugurkan dari beras bahwa ia adalah tumbuhan yang tidak terputus air darinya, kemudian mengqiyaskan teratai kepadanya. Dalam hal ini ada dua pendapat: sebagian sahabat kami mengatakan boleh dan sebagian lagi mengatakan tidak boleh, ini adalah pendapat Abu Al-Hasan Al-Karkhi. Aku telah mendukung dalam kitab At-Tabshirah kebolehan hal itu. Yang benar menurutku adalah tidak boleh, karena itu adalah menetapkan hukum pada cabang (furu') dengan selain 'illat asal, yaitu bahwa 'illat asal adalah rasa, maka ketika kita mengqiyaskan teratai kepadanya dengan apa yang telah kami sebutkan, berarti kita mengembalikan cabang kepada asal dengan selain 'illat, dan ini tidak boleh.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَا لَمْ يَثْبُتْ مِنَ الْأُصُولِ بِأَحَدِ هَذِهِ الطُّرُقِ أَوْ كَانَ قَدْ ثَبَتَ ثُمَّ نُسِخَ فَلَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْفَرْعَ إِنَّمَا يَثْبُتُ بِأَصْلٍ ثَابِتٍ فَإِذَا كَانَ الْأَصْلُ غَيْرَ ثَابِتٍ لَمْ يَجُزْ إِثْبَاتُ الْفَرْعِ مِنْ جِهَتِهِ.

Adapun ushul yang tidak terbukti dengan salah satu cara ini atau telah terbukti kemudian di-nasakh, maka tidak boleh melakukan qiyas terhadapnya. Karena cabang (furu') hanya dapat ditetapkan dengan ushul yang tetap. Jika ushul tidak tetap, maka tidak boleh menetapkan cabang (furu') darinya.

بَابُ القَوْلِ فِي بَيَانِ العِلَّةِ وَمَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلَّلَ بِهِ وَمَا لَا يَجُوزُ

بَابُ الْقَوْلِ فِي بَيَانِ الْعِلَّةِ وَمَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلَّلَ بِهِ وَمَا لَا يَجُوزُ

Bab tentang penjelasan 'illah dan apa yang boleh dijadikan 'illah serta apa yang tidak boleh

وَاعْلَمْ أَنَّ الْعِلَّةَ فِي الشَّرْعِ هِيَ الْمَعْنَى الَّذِي يَقْتَضِي الْحُكْمَ وَأَمَّا الْمَعْلُولُ فَفِيهِ وَجْهَانِ: مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: هُوَ الْعَيْنُ الَّتِي تَحِلُّهَا الْعِلَّةُ كَالْخَمْرِ وَالْبِرِّ. وَمِنْهُمْ

Ketahuilah bahwa 'illah dalam syariat adalah makna yang menuntut hukum. Adapun ma'lul (sesuatu yang di-'illah-kan), maka ada dua pendapat: sebagian ulama kami berpendapat bahwa ma'lul adalah 'ain (zat) yang menjadi tempat 'illah, seperti khamr dan gandum. Dan sebagian lagi berpendapat

مَنْ يَقُولُ: هُوَ الحُكْمُ. وَأَمَّا المُعَلَّلُ فَهُوَ الأَصْلُ. وَأَمَّا المُعَلَّلُ لَهُ فَهُوَ الحُكْمُ. وَأَمَّا المُعَلِّلُ فَهُوَ النَّاصِبُ لِلْعِلَّةِ وَأَمَّا المُعْتَلُّ فَهُوَ المُسْتَدِلُّ بِالْعِلَّةِ.

Siapa yang mengatakan: Itu adalah hukum. Adapun mu'allal adalah asal. Adapun mu'allal lahu adalah hukum. Adapun mu'allil adalah yang menetapkan 'illah dan adapun mu'tall adalah yang mengambil dalil dengan 'illah.

فَصْلٌ

Pasal

وَاعْلَمْ أَنَّ العِلَّةَ الشَّرْعِيَّةَ أَمَارَةٌ عَلَى الحُكْمِ وَدَلَالَةٌ عَلَيْهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: مُوجِبَةٌ لِلْحُكْمِ بَعْدَمَا جُعِلَتْ عِلَّةً أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَجِبُ إِيجَادُ الحُكْمِ بِوُجُودِهَا وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَيْسَتْ بِمُوجِبَةٍ لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ مُوجِبَةً لَمَا جَازَ أَنْ تُوجَدَ فِي حَالٍ وَلَا تُوجِبُ كَالْعِلَلِ الْعَقْلِيَّةِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْعِلَلَ كَانَتْ مَوْجُودَةً قَبْلَ الشَّرْعِ وَلَمْ تَكُنْ مُوجِبَةً لِلْحُكْمِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ مُوجِبَةٍ.

Ketahuilah bahwa 'illah syar'iyyah adalah tanda dan petunjuk terhadap hukum. Sebagian sahabat kami mengatakan: Ia mewajibkan hukum setelah dijadikan sebagai 'illah. Tidakkah kamu perhatikan bahwa hukum wajib ada dengan adanya 'illah? Sebagian lagi mengatakan: Ia tidak mewajibkan, karena seandainya ia mewajibkan, tentu tidak boleh ada dalam suatu keadaan dan tidak mewajibkan seperti 'illah aqliyyah. Kita tahu bahwa 'illah-'illah ini ada sebelum syariat dan tidak mewajibkan hukum. Ini menunjukkan bahwa ia tidak mewajibkan.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا تَدُلُّ الْعِلَّةُ إِلَّا عَلَى الْحُكْمِ الَّذِي نُصِبَتْ لَهُ. فَإِنْ نُصِبَتْ لِلْإِثْبَاتِ لَمْ تَدُلَّ عَلَى النَّفْيِ أَوْ أَنْ نُصِبَتْ لِلنَّفْيِ لَمْ تَدُلَّ عَلَى الْإِثْبَاتِ وَإِنْ نُصِبَتْ لِلنَّفْيِ وَالْإِثْبَاتِ وَهِيَ الْعِلَّةُ الْمَوْضُوعَةُ لِجِنْسِ الْحُكْمِ دَلَّتْ عَلَى النَّفْيِ وَالْإِثْبَاتِ فَيَجِبُ أَنْ يُوجَدَ الْحُكْمُ بِوُجُودِهَا وَيَزُولَ بِزَوَالِهَا وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: إِنَّ كُلَّ عِلَّةٍ تَدُلُّ عَلَى حُكْمَيْنِ عَلَى الْإِثْبَاتِ وَالنَّفْيِ فَإِذَا نُصِبَتْ لِلْإِثْبَاتِ اقْتَضَتِ الْإِثْبَاتَ عِنْدَ وُجُودِهَا وَالنَّفْيَ عِنْدَ عَدَمِهَا وَإِنْ نُصِبَتْ لِلنَّفْيِ اقْتَضَتِ النَّفْيَ عِنْدَ وُجُودِهَا وَالْإِثْبَاتَ عِنْدَ عَدَمِهَا وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْعِلَّةَ الشَّرْعِيَّةَ دَلِيلٌ وَلِهَذَا كَانَ يَجُوزُ أَنْ لَا يُوجِبَ مَا عُلِّقَ عَلَيْهَا مِنَ الْحُكْمِ وَالدَّلِيلُ الْعَقْلِيُّ الَّذِي يَدُلُّ بِنَفْسِهِ يَجُوزُ أَنْ يَدُلَّ عَلَى وُجُودِ الْحُكْمِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي وُجِدَ فِيهِ ثُمَّ يَعْدَمُ وَيَثْبُتُ الْحُكْمُ بِدَلِيلٍ آخَرَ وَالدَّلِيلُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي صَارَ دَلِيلًا بِجَعْلِ جَاعِلٍ أَوْلَى بِذَلِكَ.

Dan 'illah hanya menunjukkan hukum yang ditetapkan untuknya. Jika ditetapkan untuk menetapkan, maka tidak menunjukkan penafian, atau jika ditetapkan untuk menafikan, maka tidak menunjukkan penetapan. Jika ditetapkan untuk penafian dan penetapan, yaitu 'illah yang ditetapkan untuk jenis hukum, maka ia menunjukkan penafian dan penetapan, sehingga hukum harus ada dengan adanya 'illah dan hilang dengan hilangnya 'illah. Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa setiap 'illah menunjukkan dua hukum, yaitu penetapan dan penafian. Jika ditetapkan untuk penetapan, maka ia menuntut penetapan ketika ada dan penafian ketika tidak ada. Jika ditetapkan untuk penafian, maka ia menuntut penafian ketika ada dan penetapan ketika tidak ada. Ini adalah kesalahan, karena 'illah syar'iyyah adalah dalil, dan karena itu boleh tidak mewajibkan hukum yang dikaitkan dengannya. Dalil akal yang menunjukkan dengan sendirinya boleh menunjukkan adanya hukum di tempat di mana ia ada, kemudian tidak ada, dan hukum ditetapkan dengan dalil lain. Dalil syar'i yang menjadi dalil dengan penetapan penentu lebih utama untuk itu.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ الْحُكْمُ الْوَاحِدُ بِعِلَّتَيْنِ وَثَلَاثَةٍ وَأَكْثَرَ. كَالْقَتْلِ يَجِبُ بِالْقَتْلِ وَالزِّنَا وَالرِّدَّةِ وَتَحْرِيمُ الْوَطْءِ يَثْبُتُ بِالْحَيْضِ وَالْإِحْرَامِ وَالصَّوْمِ وَالِاعْتِكَافِ وَالْعِدَّةِ.

Dan diperbolehkan bahwa satu hukum ditetapkan dengan dua 'illah, tiga, atau lebih. Seperti hukuman mati yang wajib karena pembunuhan, zina, dan murtad. Dan pengharaman jima' ditetapkan karena haid, ihram, puasa, i'tikaf, dan 'iddah.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ يَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ بِعِلَّةٍ وَاحِدَةٍ أَحْكَامٌ مُتَمَاثِلَةٌ كَالْإِحْرَامِ يُوجِبُ تَحْرِيمَ الْوَطْءِ وَالطِّيبِ وَاللِّبَاسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ يَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ بِالْعِلَّةِ الْوَاحِدَةِ أَحْكَامٌ مُخْتَلِفَةٌ كَالْحَيْضِ يُوجِبُ تَحْرِيمَ الْوَطْءِ وَإِحْلَالَ تَرْكِ الصَّلَاةِ، وَلَكِنْ لَا يَجُوزُ أَنْ يَثْبُتَ بِالْعِلَّةِ الْوَاحِدَةِ أَحْكَامٌ مُتَضَادَّةٌ كَتَحْرِيمِ الْوَطْءِ وَتَحْلِيلِهِ لِتَنَافِيهِمَا.

Demikian pula diperbolehkan untuk menetapkan hukum-hukum yang serupa dengan satu 'illah, seperti ihram yang mewajibkan pengharaman jima', wewangian, pakaian, dan lainnya. Demikian pula diperbolehkan untuk menetapkan hukum-hukum yang berbeda dengan satu 'illah, seperti haid yang mewajibkan pengharaman jima' dan pembolehan meninggalkan shalat. Akan tetapi, tidak diperbolehkan untuk menetapkan hukum-hukum yang saling bertentangan dengan satu 'illah, seperti pengharaman jima' dan pembolehannya karena keduanya saling menafikan.

فَصْلٌ

Pasal

وَكَذَلِكَ يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْعِلَّةُ لِإِثْبَاتِ الْحُكْمِ فِي الِابْتِدَاءِ كَالْعِدَّةِ فِي مَنْعِ النِّكَاحِ وَقَدْ تَكُونُ بِعِلَّةِ الِابْتِدَاءِ وَالِاسْتِدَامَةِ كَالرَّضَاعِ فِي إِبْطَالِ النِّكَاحِ.

Demikian pula diperbolehkan bahwa 'illah untuk menetapkan hukum pada permulaan, seperti 'iddah dalam mencegah pernikahan. Dan terkadang 'illah bisa menjadi sebab permulaan dan kelanjutan, seperti persusuan dalam membatalkan pernikahan.

فَصْلٌ

Pasal

وَلَا بُدَّ فِي رَدِّ الْفَرْعِ إِلَى الْأَصْلِ مِنْ عِلَّةٍ يَجْمَعُ بِهَا بَيْنَهُمَا. وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ: يَكْفِي فِي الْقِيَاسِ تَشْبِيهُ الْفَرْعِ بِالْأَصْلِ بِمَا يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ مِثْلُهُ فَإِنْ كَانَ الْمُرَادُ بِهَذَا أَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إِلَى عِلَّةٍ مُوجِبَةٍ لِلْحُكْمِ يُقْطَعُ بِصِحَّتِهَا كَالْعِلَلِ الْعَقْلِيَّةِ فَلَا خِلَافَ فِي هَذَا وَإِنْ أَرَادُوا أَنَّهُ يَجُوزُ بِضَرْبٍ مِنَ الشَّبَهِ عَلَى مَا يَقُولُ الْقَائِلُونَ بِقِيَاسِ الشَّبَهِ فَقَدْ بَيَّنَّا ذَلِكَ فِي أَقْسَامِ الْقِيَاسِ وَإِنْ أَرَادُوا أَنَّهُ لَيْسَ هَا هُنَا مَعْنًى مَطْلُوبٌ يُوجِبُ إِلْحَاقَ الْفَرْعِ بِالْأَصْلِ فَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى هَذَا لَمَا احْتِيجَ إِلَى الِاجْتِهَادِ بَلْ كَانَ يَجُوزُ رَدُّ الْفَرْعِ إِلَى كُلِّ أَصْلٍ مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ. وَهَذَا مِمَّا لَا يَقُولُهُ أَحَدٌ فَبَطَلَ الْقَوْلُ بِهِ.

Dan tidak boleh tidak dalam mengembalikan cabang kepada asal harus ada 'illah yang menyatukan antara keduanya. Sebagian fuqaha dari Irak berkata: Cukup dalam qiyas menyerupakan cabang dengan asal dengan apa yang mendominasi dugaan bahwa ia serupa dengannya. Jika yang dimaksud dengan ini adalah bahwa ia tidak membutuhkan 'illah yang mewajibkan hukum yang dipastikan kebenarannya seperti 'illah-'illah akal, maka tidak ada perselisihan dalam hal ini. Jika mereka bermaksud bahwa boleh dengan semacam kemiripan atas apa yang dikatakan oleh orang-orang yang berpendapat dengan qiyas syabah, maka sungguh kami telah menjelaskan hal itu dalam pembagian qiyas. Jika mereka bermaksud bahwa di sini tidak ada makna yang dicari yang mewajibkan menggabungkan cabang kepada asal, maka ini adalah kesalahan. Karena seandainya perkara itu seperti ini, niscaya tidak dibutuhkan ijtihad. Bahkan boleh mengembalikan cabang kepada setiap asal tanpa berpikir. Ini adalah sesuatu yang tidak dikatakan oleh seorang pun. Maka batallah pendapat dengannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَالْعِلَّةُ الَّتِي يُجْمَعُ بِهَا بَيْنَ الْفَرْعِ وَالْأَصْلِ ضَرْبَانِ مَنْصُوصٌ عَلَيْهَا وَمُسْتَنْبَطَةٌ.

Dan 'illah yang dengannya disatukan antara cabang dan asal ada dua macam: yang dijelaskan secara tekstual dan yang disimpulkan.

فَالْمَنْصُوصُ عَلَيْهَا مِثْلُ أَنْ يَقُولَ: حَرَّمْتُ الْخَمْرَ لِلشِّدَّةِ الْمُطْرِبَةِ فَهَذَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ عِلَّةً وَالنَّصُّ عَلَيْهَا يُغْنِي عَنْ طَلَبِ الدَّلِيلِ عَلَى صِحَّتِهَا مِنْ جِهَةِ الِاسْتِنْبَاطِ وَالتَّأْثِيرِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهِ عِلَّةً وَهُوَ قَوْلُ بَعْضِ نُفَاةِ الْقِيَاسِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: هُوَ عِلَّةٌ فِي الْعَيْنِ الْمَنْصُوصِ

Adapun yang dinashkan seperti ia berkata: Aku mengharamkan khamar karena sifatnya yang memabukkan, maka ini boleh dijadikan 'illah dan nash tentangnya sudah cukup tanpa perlu mencari dalil atas kesahihannya dari segi istinbath dan pengaruhnya. Di antara manusia ada yang berkata: Tidak boleh menjadikan yang dinashkan sebagai 'illah, dan ini adalah pendapat sebagian penolak qiyas. Dan di antara manusia ada yang berkata: Ia adalah 'illah dalam perkara yang dinashkan.

عَلَيْهَا وَلَا يَكُونُ عِلَّةً فِي غَيْرِهَا إِلَّا بِأَمْرٍ ثَانٍ. فَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ عِلَّةٌ هُوَ أَنَّهُ إِذَا جَازَ أَنْ يُعْرَفَ بِالِاسْتِنْبَاطِ أَنَّ الشِّدَّةَ الْمُطْرِبَةَ عِلَّةٌ لِلتَّحْرِيمِ فِي الْخَمْرِ وَيُقَاسُ غَيْرُهَا عَلَيْهَا جَازَ بِالنَّصِّ وَيُقَاسُ غَيْرُهَا عَلَيْهَا. وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ قَالَ أَنَّهُ عِلَّةٌ فِي الْعَيْنِ الَّتِي وُجِدَ فِيهَا دُونَ غَيْرِهَا هُوَ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَصِرْ عِلَّةً فِيهَا وَفِي غَيْرِهَا إِلَّا بِالنَّصِّ عَلَيْهَا سَقَطَ النَّظَرُ وَالِاجْتِهَادُ لِأَنَّهُ إِذَا نَصَّ عَلَى اَنَّهُ عِلَّةٌ فِيهَا وَفِي غَيْرِهَا اسْتَغْنَيْنَا بِالنَّصِّ عَنِ الطَّلَبِ وَالِاجْتِهَادِ.

Atasnya dan tidak menjadi 'illah pada yang lain kecuali dengan perintah kedua. Dalil bahwa ia adalah 'illah adalah bahwa jika dibolehkan untuk mengetahui melalui istinbath bahwa sifat memabukkan adalah 'illah pengharaman pada khamr dan yang lainnya diqiyaskan atasnya, maka dibolehkan pula melalui nash dan yang lainnya diqiyaskan atasnya. Adapun dalil bagi yang mengatakan bahwa ia adalah 'illah pada zat yang ditemukan padanya bukan yang lain adalah bahwa jika ia tidak menjadi 'illah padanya dan pada yang lain kecuali dengan nash atasnya, maka gugur penalaran dan ijtihad karena jika dinashkan bahwa ia adalah 'illah padanya dan pada yang lain, maka kita tidak perlu mencari dan berijtihad dengan adanya nash.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْمُسْتَنْبَطَةُ فَهُوَ كَالشِّدَّةِ الْمُطْرِبَةِ فِي الْخَمْرِ فَإِنَّهَا عُرِفَتْ بِالِاسْتِنْبَاطِ فَهَذَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عِلَّةً، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْعِلَّةُ إِلَّا مَا ثَبَتَ بِالنَّصِّ أَوِ الْإِجْمَاعِ وَهَذَا خَطَأٌ لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ لِمُعَاذٍ ﵀: "بِمَ تَحْكُمُ قَالَ بِكِتَابِ اللَّهِ" قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ قَالَ: بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ قَالَ: "أَجْتَهِدُ رَأْيِي" فَلَوْ كَانَ لَا يَجُوزُ التَّعْلِيلُ إِلَّا بِمَا ثَبَتَ بِنَصٍّ أَوْ إِجْمَاعٍ لَمْ يَبْقَ بَعْدَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مَا يُجْتَهَدُ فِيهِ.

Adapun yang disimpulkan melalui istinbath, maka itu seperti kekuatan yang memabukkan dalam khamar, karena itu diketahui melalui istinbath. Maka ini boleh menjadi 'illah (alasan hukum). Di antara manusia ada yang berkata: Tidak boleh 'illah kecuali yang ditetapkan oleh nash atau ijma', dan ini adalah kesalahan. Berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau berkata kepada Mu'adz ﵀: "Dengan apa engkau memutuskan?" Dia menjawab, "Dengan Kitabullah." Beliau bertanya, "Jika tidak engkau temukan?" Dia menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah ﷺ." Beliau bertanya lagi, "Jika tidak engkau temukan?" Dia menjawab, "Aku berijtihad dengan pendapatku." Seandainya tidak boleh men-ta'lil (mencari alasan hukum) kecuali dengan apa yang ditetapkan oleh nash atau ijma', niscaya tidak ada lagi yang bisa diijtihadkan setelah Al-Qur'an dan Sunnah.

فَصْلٌ

Pasal

وَقَدْ تَكُونُ الْعِلَّةُ مَعْنًى مُؤَثِّرًا فِي الْحُكْمِ يُوجَدُ الْحُكْمُ بِوُجُودِهِ وَيَزُولُ بِزَوَالِهِ كَالشِّدَّةِ الْمُطْرِبَةِ فِي تَحْرِيمِ الْخَمْرِ وَالْإِحْرَامِ بِالصَّلَاةِ فِي تَحْرِيمِ الْكَلَامِ وَقَدْ تَكُونُ دَلِيلًا وَلَا تَكُونُ نَفْسَ الْعِلَّةِ كَقَوْلِنَا فِي إِبْطَالِ النِّكَاحِ الْمَوْقُوفِ إِنَّهُ نِكَاحٌ لَا يَمْلِكُ الزَّوْجُ الْمُكَلَّفُ إِيقَاعَ الطَّلَاقِ فِيهِ وَفِي ظِهَارِ الذِّمِّيِّ إِنَّهُ يَصِحُّ طَلَاقُهُ فَصَحَّ ظِهَارُهُ كَالْمُسْلِمِ، وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ شِبْهًا لَا يَزُولُ الْحُكْمُ بِزَوَالِهِ وَلَا يَدُلُّ عَلَى الْحُكْمِ كَقَوْلِنَا فِي التَّرْتِيبِ فِي الْوُضُوءِ إِنَّهُ عِبَادَةٌ يُبْطِلُهَا النَّوْمُ فَوَجَبَ فِيهَا التَّرْتِيبُ كَالصَّلَاةِ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْوَجْهَيْنِ فِي قِيَاسِ الشَّبَهِ.

Dan 'illah bisa menjadi makna yang berpengaruh pada hukum, di mana hukum ada dengan adanya 'illah dan hilang dengan hilangnya 'illah, seperti sifat memabukkan dalam pengharaman khamr dan ihram shalat dalam pengharaman berbicara. 'Illah juga bisa menjadi dalil dan bukan 'illah itu sendiri, seperti perkataan kita dalam membatalkan nikah mauquf bahwa itu adalah nikah di mana suami mukallaf tidak bisa menjatuhkan talak di dalamnya, dan dalam zhihar seorang dzimmi bahwa talaknya sah maka zhiharnya pun sah seperti seorang Muslim. Apakah boleh 'illah menjadi syibh (kemiripan) di mana hukum tidak hilang dengan hilangnya 'illah dan tidak menunjukkan hukum, seperti perkataan kita tentang urutan dalam wudhu bahwa itu adalah ibadah yang batal dengan tidur maka wajib ada urutan di dalamnya seperti shalat, berdasarkan dua sisi yang telah kami sebutkan dalam qiyas syabah.

فَصْلٌ

Pasal

وَقَدْ يَكُونُ وَصْفُ الْعِلَّةِ مَعْنًى يُعْرَفُ بِهِ وَجْهُ الْحِكْمَةِ فِي تَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِهِ

Deskripsi 'illah bisa menjadi makna yang dengannya diketahui sisi hikmah dalam keterkaitan hukum dengannya.

كَالشِّدَّةِ الْمُطْرِبَةِ فِي الْخَمْرِ وَقَدْ يَكُونُ مَعْنًى لَا يُعْرَفُ وَجْهُ الْحِكْمَةِ فِي تَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِهِ كَالطَّعْمِ فِي الْبُرِّ.

Seperti kekuatan yang memabukkan dalam khamar, dan mungkin ada makna yang tidak diketahui sisi hikmah dalam keterkaitan hukum dengannya, seperti rasa pada biji gandum.

فَصْلٌ

Pasal

وَقَدْ يَكُونُ وَصْفُ الْعِلَّةِ صِفَةً كَقَوْلِنَا فِي الْبُرِّ إِنَّهُ مَطْعُومٌ وَقَدْ يَكُونُ اسْمًا كَقَوْلِنَا تُرَابٌ وَمَاءٌ وَقَدْ يَكُونُ حُكْمًا شَرْعِيًّا كَقَوْلِنَا يَصِحُّ وُضُوءُهُ أَوْ تَصِحُّ صَلَاتُهُ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الِاسْمُ عِلَّةً وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ كُلَّ مَعْنًى جَازَ أَنْ يُعَلَّقَ الْحُكْمُ عَلَيْهِ مِنْ جِهَةِ النَّصِّ جَازَ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنَ الْأَصْلِ وَيُعَلَّقَ الْحُكْمُ عَلَيْهِ كَالصِّفَاتِ وَالْأَحْكَامِ.

Terkadang sifat 'illah itu berupa sifat, seperti perkataan kita tentang biji gandum bahwa ia adalah sesuatu yang dapat dimakan. Terkadang berupa nama, seperti perkataan kita tanah dan air. Dan terkadang berupa hukum syar'i, seperti perkataan kita wudhunya sah atau shalatnya sah. Di antara manusia ada yang mengatakan: Tidak boleh menjadikan nama sebagai 'illah. Ini adalah kesalahan, karena setiap makna yang boleh dikaitkan hukum padanya dari sisi nash, boleh diistinbath dari asal dan hukum dikaitkan padanya, seperti sifat-sifat dan hukum-hukum.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْوَصْفُ نَفْيًا أَوْ إِثْبَاتًا فَالْإِثْبَاتُ كَقَوْلِنَا لِأَنَّهُ وَارِثٌ وَالنَّفْيُ كَقَوْلِنَا لِأَنَّهُ لَيْسَ بِوَارِثٍ وَلَيْسَ بِتُرَابٍ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ النَّفْيُ عِلَّةً وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّ مَا جَازَ أَنْ يُعَلَّلَ بِهِ نَصًّا جَازَ أَنْ يُعَلَّلَ بِهِ اسْتِنْبَاطًا كَالْإِثْبَاتِ.

Boleh sifat itu berupa penafian atau penetapan. Penetapan seperti perkataan kita "karena dia adalah ahli waris", dan penafian seperti perkataan kita "karena dia bukan ahli waris dan bukan tanah". Di antara manusia ada yang mengatakan: Tidak boleh menjadikan penafian sebagai 'illah. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa apa yang boleh dijadikan 'illah secara nash, boleh dijadikan 'illah secara istinbath, seperti penetapan.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْعِلَّةُ ذَاتَ وَصْفٍ وَوَصْفَيْنِ وَأَكْثَرَ وَلَيْسَ لَهَا عَدَدٌ مَحْصُورٌ، وَحَكَى عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ قَالَ لَا يُزَادُ عَلَى خَمْسَةِ أَوْصَافٍ وَهَذَا لَا وَجْهَ لَهُ لِأَنَّ الْعِلَلَ شَرْعِيَّةٌ فَإِذَا جَازَ أَنْ يُعَلِّقَ الْحُكْمَ فِي الشَّرْعِ عَلَى خَمْسَةِ أَوْصَافٍ جَازَ أَنْ يُعَلِّقَ عَلَى مَا فَوْقَهَا.

Dan diperbolehkan 'illah memiliki satu sifat, dua sifat, atau lebih, dan tidak ada jumlah yang terbatas. Diriwayatkan dari sebagian fuqaha bahwa ia berkata, "Tidak boleh melebihi lima sifat." Ini tidak benar karena 'illah adalah syar'i. Jika diperbolehkan menggantungkan hukum dalam syariat pada lima sifat, maka diperbolehkan juga menggantungkannya pada lebih dari itu.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْعِلَّةُ وَاقِفَةً كَعِلَّةِ أَصْحَابِنَا فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَيَجُوزُ أَنْ تَكُونَ مُتَعَدِّيَةً وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ لَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْوَاقِفَةُ عِلَّةً وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِمَا بَيَّنَّا أَنَّ الْعِلَلَ إِمَارَاتٌ شَرْعِيَّةٌ فَيَجُوزُ أَنْ تُجْعَلَ الْأَمَارَةُ مَعْنًى لَا يَتَعَدَّى، كَمَا يَجُوزُ أَنْ تُجْعَلَ مَعْنًى يَتَعَدَّى.

Diperbolehkan 'illah itu terbatas (waqifah) seperti 'illah sahabat kami pada emas dan perak, dan diperbolehkan 'illah itu dapat diterapkan pada kasus lain (muta'addiyah). Sebagian sahabat Abu Hanifah ﵀ berkata, "Tidak boleh 'illah itu terbatas (waqifah)." Ini tidak benar berdasarkan penjelasan kami bahwa 'illah adalah tanda-tanda syar'i. Diperbolehkan menjadikan tanda sebagai makna yang tidak dapat diterapkan pada kasus lain, sebagaimana diperbolehkan menjadikannya sebagai makna yang dapat diterapkan pada kasus lain.

بَابُ بَيَانِ الحُكْمِ

بَابُ بَيَانِ الْحُكْمِ

Bab Penjelasan Hukum

اِعْلَمْ أَنَّ الْحُكْمَ هُوَ الَّذِي تَعَلَّقَ عَلَى الْعِلَّةِ مِنَ التَّحْلِيلِ وَالتَّحْرِيمِ وَالْإِسْقَاطِ وَهُوَ عَلَى ضَرْبَيْنِ مُصَرَّحٌ بِهِ وَمُبْهَمٌ.

Ketahuilah bahwa hukm adalah yang bergantung pada 'illah dari segi penghalalan, pengharaman, dan pembatalan. Ia terbagi menjadi dua jenis: yang dinyatakan secara jelas dan yang samar.

فَالْمُصَرَّحُ بِهِ أَنْ نَقُولَ: فَجَازَ أَنْ يَجِبَ أَوْ فَوَجَبَ أَنْ يَجِبَ وَمَا أَشْبَهَهُ ذَلِكَ وَالْمُبْهَمُ عَلَى أَضْرُبٍ مِنْهَا أَنْ نَقُولَ فَأَشْبَهَ كَذَا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: إِنَّ ذَلِكَ لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ حُكْمٌ مُبْهَمٌ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ يَصِحُّ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ فَأَشْبَهَ، كَذَا فِي الْحُكْمِ الَّذِي وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْهُ وَذَلِكَ حُكْمٌ مَعْلُومٌ بَيْنَ السَّائِلِ وَالْمَسْؤُولِ فَيَجُوزُ أَنْ يُمْسِكَ عَنْ بَيَانِهِ اكْتِفَاءً بِالْعُرْفِ الْقَائِمِ بَيْنَهُمَا وَمِنْهَا أَنْ يُعَلِّقَ عَلَيْهَا التَّسْوِيَةَ بَيْنَ حُكْمَيْنِ كَقَوْلِنَا فِي إِيجَابِ النِّيَّةِ فِي الْوُضُوءِ إِنَّهُ طَهَارَةٌ فَاسْتَوَى جَامِدُهَا وَمَائِعُهَا فِي النِّيَّةِ كَإِزَالَةِ النَّجَاسَةِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: إِنَّ ذَلِكَ لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ يُرِيدُ بِهِ التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الْمَائِعِ وَالْجَامِدِ فِي الْأَصْلِ فِي إِسْقَاطِ النِّيَّةِ وَفِي الْفَرْعِ فِي إِيجَابِ النِّيَّةِ وَهُمَا حُكْمَانِ مُتَضَادَّانِ، وَالْقِيَاسُ أَنْ يُشْتَقَّ حُكْمُ الشَّيْءِ مِنْ نَظِيرِهِ لَا مِنْ ضِدِّهِ وَنَقِيضِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّ ذَلِكَ يَصِحُّ وَهُوَ الصَّحِيحُ لِأَنَّ حُكْمَ الْعِلَّةِ هُوَ التَّسْوِيَةُ بَيْنَ الْمَائِعِ وَالْجَامِدِ فِي أَصْلِ النِّيَّةِ وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَ الْمَائِعِ وَالْجَامِدِ فِي النِّيَّةِ مَوْجُودٌ فِي الْأَصْلِ وَالْفَرْعِ مِنْ غَيْرِ اخْتِلَافٍ، وَإِنَّمَا نَظْهَرُ الِاخْتِلَافُ بَيْنَهُمَا فِي التَّفْصِيلِ وَلَيْسَ ذَلِكَ حُكْمَ عِلَّتِهِ؛ وَمِنْهَا أَنْ يَكُونَ حُكْمُ الْعِلَّةِ إِثْبَاتَ تَأْثِيرٍ لِمَعْنًى مِثْلَ قَوْلِنَا: فِي السِّوَاكِ لِلصَّائِمِ أَنَّهُ تَطْهِيرٌ يَتَعَلَّقُ بِالْفَمِ مِنْ غَيْرِ نَجَاسَةٍ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ لِلصَّوْمِ تَأْثِيرٌ فِيهِ كَالْمَضْمَضَةِ فَهَذَا يَصِحُّ لِأَنَّ لِلصَّوْمِ تَأْثِيرًا فِي الْمَضْمَضَةِ وَهُوَ مَنْعُ الْمُبَالَغَةِ كَمَا أَنَّ لِلصَّوْمِ تَأْثِيرًا فِي السِّوَاكِ وَهُوَ فِي الْمَنْعِ مِنْهُ بَعْدَ الزَّوَالِ وَإِنْ كَانَ تَأْثِيرُهُمَا مُخْتَلِفًا وَاخْتِلَافُهُمَا فِي كَيْفِيَّةِ التَّأْثِيرِ لَا يَمْنَعُ صِحَّةَ الْجَمْعِ لِأَنَّ الْغَرَضَ إِثْبَاتُ تَأْثِيرِ الصَّوْمِ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَقَدِ اسْتَوَيَا فِي التَّأْثِيرِ فَلَا يَضُرُّ اخْتِلَافُهُمَا فِي التَّفْصِيلِ.

Adapun yang dinyatakan secara eksplisit adalah kita mengatakan: "Maka boleh menjadi wajib" atau "Maka wajib menjadi wajib" dan sejenisnya. Sedangkan yang samar terdiri dari beberapa jenis, di antaranya kita mengatakan: "Maka menyerupai begini". Sebagian orang berpendapat bahwa hal itu tidak sah karena merupakan hukum yang samar, sedangkan sebagian lain berpendapat bahwa itu sah dan ini pendapat yang lebih sahih, karena yang dimaksud adalah "menyerupai begini" dalam hukum yang ditanyakan, dan itu adalah hukum yang diketahui antara penanya dan yang ditanya, sehingga boleh menahan diri dari menjelaskannya, cukup dengan 'urf yang berlaku di antara keduanya. Di antaranya juga mengaitkan padanya penyamaan antara dua hukum, seperti perkataan kita dalam mewajibkan niat pada wudhu bahwa itu adalah thaharah, maka sama antara yang beku dan yang cair dalam niat seperti menghilangkan najis. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa itu tidak sah karena ia bermaksud menyamakan antara yang cair dan yang beku pada asal dalam menggugurkan niat dan pada cabang dalam mewajibkan niat, dan keduanya adalah dua hukum yang saling bertentangan. Qiyas adalah mengambil hukum sesuatu dari yang serupa dengannya, bukan dari yang bertentangan dan berlawanan dengannya. Sebagian mereka berpendapat bahwa itu sah dan ini pendapat yang sahih, karena hukum 'illah adalah menyamakan antara yang cair dan yang beku dalam asal niat, dan penyamaan antara yang cair dan yang beku dalam niat ada pada asal dan cabang tanpa perbedaan. Perbedaan di antara keduanya hanya tampak pada perincian dan itu bukan hukum 'illah-nya. Di antaranya juga, hukum 'illah adalah menetapkan pengaruh bagi suatu makna, seperti perkataan kita tentang siwak bagi orang yang berpuasa bahwa itu adalah penyucian yang terkait dengan mulut tanpa najis, maka wajib bagi puasa memiliki pengaruh padanya seperti berkumur. Ini sah karena puasa memiliki pengaruh pada berkumur yaitu mencegah berlebihan, sebagaimana puasa juga memiliki pengaruh pada siwak yaitu mencegahnya setelah zawal meskipun pengaruh keduanya berbeda. Perbedaan keduanya dalam cara mempengaruhi tidak mencegah sahnya penggabungan, karena tujuannya adalah menetapkan pengaruh puasa pada masing-masing dari keduanya, dan keduanya sama dalam mempengaruhi maka tidak membahayakan perbedaan keduanya dalam perincian.

بَابُ بَيَانِ مَا يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ العِلَّةِ

بَابُ بَيَانِ مَا يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ الْعِلَّةِ

Bab penjelasan tentang apa yang menunjukkan keabsahan 'illah

وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْعِلَّةَ لَا بُدَّ مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَى صِحَّتِهَا لِأَنَّ الْعِلَّةَ شَرْعِيَّةٌ كَمَا أَنَّ الْحُكْمَ شَرْعِيٌّ فَكَمَا لَا بُدَّ مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَى الْحُكْمِ فَكَذَلِكَ لَا بُدَّ مِنَ الدَّلَالَةِ عَلَى صِحَّةِ الْعِلَّةِ.

Intinya adalah bahwa 'illah harus ada dalil yang menunjukkan keabsahannya karena 'illah bersifat syar'i sebagaimana hukum juga bersifat syar'i. Maka sebagaimana harus ada dalil yang menunjukkan hukum, begitu pula harus ada dalil yang menunjukkan keabsahan 'illah.

فَصْلٌ

Fasal

_________
١ سُورَةُ المَائِدَةِ الآيَةُ: ٣٢.
1 Surah Al-Maidah Ayat: 32.
٢ سُورَةُ المَائِدَةِ الآيَةُ: ٩١.
2 Surah Al-Maidah Ayat: 91.
٣ سُورَةُ الطَّلَاقِ الآيَةُ: ٦.
3 Surah Ath-Thalaq Ayat: 6.
٤ سُورَةُ المَائِدَةِ الآيَةُ: ٣٨.
4 Surah Al-Maidah Ayat: 38.

جِهَةُ الفَحْوَى وَالمَفْهُومِ فَبَعْضُهَا أَيْضًا أَجْلَى مِنْ بَعْضٍ فَأَجْلَاهَا مَا دَلَّ عَلَيْهِ التَّنْبِيهُ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ﴾ وَكَنَهْيِهِ ﷺ عَنِ التَّضْحِيَةِ بِالعَوْرَاءِ فَيَدُلُّ بِالتَّنْبِيهِ عِنْدَ سَمَاعِهِ أَنَّ الضَّرْبَ أَوْلَى بِالمَنْعِ وَأَنَّ العَمْيَاءَ أَوْلَى بِالمَنْعِ وَيَلِيهِ فِي البَيَانِ أَنْ يَذْكُرَ صِفَةً فَيُفْهَمُ مِنْ ذِكْرِهَا المَعْنَى الَّتِي تَتَضَمَّنُهُ تِلْكَ الصِّفَةُ مِنْ غَيْرِ جِهَةِ التَّنْبِيهِ كَقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَقْضِ القَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ" وَكَقَوْلِهِ ﷺ فِي الفَأْرَةِ تَقَعُ فِي السَّمْنِ: "إِنْ كَانَ جَامِدًا فَالْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا وَإِنْ كَانَ مَائِعًا فَأَرِيقُوهُ". فَيُفْهَمُ بِضَرْبٍ مِنَ الفِكْرِ أَنَّهُ إِنَّمَا مَنَعَ الغَضْبَانَ مِنَ القَضَاءِ لِاشْتِغَالِ قَلْبِهِ وَأَنَّ الجَائِعَ وَالعَطْشَانَ مِثْلُهُ وَإِنَّهُ إِنَّمَا أَمَرَ بِإِلْقَاءِ مَا حَوْلَ الفَأْرَةِ مِنَ السَّمْنِ إِنْ كَانَ جَامِدًا وَإِرَاقَتِهِ إِنْ كَانَ مَائِعًا لِكَوْنِهِ جَامِدًا أَوْ مَائِعًا وَإِنَّ الشِّيرَجَ وَالزَّيْتَ مِثْلُهُ.

Dari segi fahwa (makna tersirat) dan mafhum (makna tersurat), sebagiannya juga lebih jelas dari sebagian yang lain. Yang paling jelas adalah apa yang ditunjukkan oleh tanbih (peringatan), seperti firman Allah Ta'ala: "Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya 'uff'", dan larangan Nabi ﷺ untuk berkurban dengan hewan yang buta sebelah. Ini menunjukkan dengan tanbih ketika mendengarnya bahwa memukul lebih utama untuk dilarang dan bahwa hewan yang buta total lebih utama untuk dilarang. Setelah itu dalam kejelasan adalah menyebutkan sifat, lalu dipahami dari penyebutannya makna yang terkandung dalam sifat tersebut tanpa melalui tanbih, seperti sabda Nabi ﷺ: "Janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah", dan sabdanya ﷺ tentang tikus yang jatuh ke dalam minyak samin: "Jika minyak itu beku, maka buanglah tikus itu dan apa yang ada di sekitarnya. Jika minyak itu cair, maka tumpahkanlah". Maka dipahami dengan pemikiran bahwa beliau melarang orang yang marah untuk memutuskan perkara karena hatinya disibukkan, dan bahwa orang yang lapar dan haus sama dengannya. Dan bahwa beliau memerintahkan untuk membuang apa yang ada di sekitar tikus dari minyak samin jika minyak itu beku, dan menumpahkannya jika minyak itu cair, karena minyak itu beku atau cair. Dan bahwa minyak samin dan minyak zaitun sama dengannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا دَلَالَةُ أَفْعَالِ الرَّسُولِ ﷺ فَهُوَ أَنْ يَفْعَلَ شَيْئًا عِنْدَ وُقُوعِ مَعْنًى مِنْ جِهَتِهِ أَوْ مِنْ جِهَةِ غَيْرِهِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ إِلَّا لِمَا ظَهَرَ مِنَ الْمَعْنَى فَيَصِيرُ ذَلِكَ عِلَّةً فِيهِ وَهَذَا مِثْلُ مَا رُوِيَ: أَنَّهُ سَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَسَجَدَ فَيُعْلَمُ أَنَّ السَّهْوَ عِلَّةٌ لِلسُّجُودِ وَأَنَّ أَعْرَابِيًّا جَامَعَ فِي رَمَضَانَ فَأَوْجَبَ عَلَيْهِ عِتْقَ رَقَبَةٍ فَيُعْلَمُ أَنَّ الْجِمَاعَ عِلَّةٌ لِإِيجَابِ الْكَفَّارَةِ.

Adapun dalil dari perbuatan Rasulullah ﷺ adalah bahwa beliau melakukan sesuatu ketika terjadi suatu makna dari sisinya atau dari sisi orang lain, maka diketahui bahwa beliau tidak melakukan hal itu kecuali karena makna yang tampak, sehingga hal itu menjadi 'illah (alasan hukum) di dalamnya. Contohnya seperti yang diriwayatkan: bahwa Rasulullah ﷺ pernah lupa lalu sujud, maka diketahui bahwa lupa adalah 'illah untuk sujud. Dan bahwa seorang Arab badui berhubungan badan di bulan Ramadhan, lalu beliau mewajibkan atasnya untuk membebaskan seorang budak, maka diketahui bahwa jima' (hubungan badan) adalah 'illah untuk mewajibkan kaffarah.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا دَلَالَةُ الْإِجْمَاعِ فَهُوَ أَنْ تَجْمَعَ الْأُمَّةُ عَلَى التَّعْلِيلِ بِهِ كَمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ ﵁ أَنَّهُ قَالَ فِي قِسْمَةِ السَّوَادِ: لَوْ قَسَمْتُ بَيْنَكُمْ لَصَارَتْ دَوْلَةً بَيْنَ أَغْنِيَائِكُمْ وَلَمْ يُخَالِفُوهُ وَكَمَا قَالَ عَلِيٌّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ فِي شَارِبِ الْخَمْرِ إِنَّهُ إِذَا شَرِبَ سَكِرَ وَإِذَا سَكِرَ هَذَى وَإِذَا هَذَى افْتَرَى فَأَرَى أَنْ يُحَدَّ حَدَّ الْمُفْتَرِي فَلَمْ يُخَالِفْهُ أَحَدٌ فِي هَذَا التَّعْلِيلِ.

Adapun dalil dari ijma' adalah bahwa umat bersepakat atas penetapan 'illah dengannya, seperti yang diriwayatkan dari Umar ﵁ bahwa ia berkata tentang pembagian tanah Sawad (Irak): "Seandainya aku membaginya di antara kalian, niscaya ia akan menjadi harta yang hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian", dan mereka tidak menyelisihinya. Dan seperti yang dikatakan Ali karramallahu wajhah tentang peminum khamr: "Sesungguhnya jika ia minum maka ia mabuk, jika mabuk maka ia mengigau, dan jika mengigau maka ia berdusta, maka aku berpendapat agar ia didera sebagaimana had (hukuman) pendusta", dan tidak ada seorang pun yang menyelisihinya dalam penetapan 'illah ini.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الضَّرْبُ الثَّانِي مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى صِحَّةِ الْعِلَّةِ فَهُوَ الِاسْتِنْبَاطُ وَذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا التَّأْثِيرُ وَالثَّانِي شَهَادَةُ الْأُصُولِ فَأَمَّا التَّأْثِيرُ فَهُوَ أَنْ يُوجَدَ

Dan adapun jenis kedua dari dalil atas keabsahan 'illah adalah istinbath, dan itu dari dua sisi: pertama adalah ta'tsir (pengaruh) dan kedua adalah syahadah al-ushul (kesaksian dalil-dalil pokok). Adapun ta'tsir adalah ditemukannya

الحُكْمُ بِوُجُودِ مَعْنًى فَيَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ لِأَصْلِهِ ثَبَتَ الحُكْمُ، وَيُعْرَفُ ذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ.

Hukum dengan adanya makna yang mendominasi dugaan bahwa hukum itu ditetapkan untuk asalnya, dan hal itu diketahui dari dua sisi.

أَحَدُهُمَا" بِالسَّلْبِ وَالْوُجُودِ وَهُوَ أَنْ يُوجَدَ الحُكْمُ بِوُجُودِهِ وَيَزُولَ بِزَوَالِهِ وَذَلِكَ مِثْلُ قَوْلِهِ: "فِي الْخَمْرِ إِنَّهُ شَرَابٌ فِيهِ شِدَّةٌ مُطْرِبَةٌ" فَإِنَّهُ قَبْلَ حُدُوثِ الشِّدَّةِ كَانَ حَلَالًا. ثُمَّ حَدَثَتِ الشِّدَّةُ فَحُرِمَ ثُمَّ زَالَتِ الشِّدَّةُ فَحَلَّ فَعُلِمَ أَنَّهُ هُوَ الْعِلَّةُ.

Pertama" dengan peniadaan dan keberadaan, yaitu bahwa hukum ada dengan keberadaannya dan hilang dengan hilangnya, seperti perkataannya: "Dalam khamr, ia adalah minuman yang memiliki intensitas memabukkan", karena sebelum terjadinya intensitas itu, ia halal. Kemudian intensitas itu terjadi, maka ia menjadi haram, kemudian intensitas itu hilang, maka ia menjadi halal, sehingga diketahui bahwa itulah 'illah-nya.

وَالثَّانِي" بِالتَّقْسِيمِ وَهُوَ أَنْ يُبْطِلَ كُلَّ مَعْنًى فِي الْأَصْلِ إِلَّا وَاحِدًا: فَيُعْلَمُ أَنَّهُ هُوَ الْعِلَّةُ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَقُولَ فِي الْخُبْزِ إِنَّهُ يَحْرُمُ فِيهِ الرِّبَا فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لِلْكَيْلِ أَوْ لِلطَّعْمِ أَوْ لِلْوَزْنِ ثُمَّ يُبْطِلُ أَنْ يَكُونَ لِلْكَيْلِ وَالْوَزْنِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لِلطَّعْمِ.

Dan yang kedua" dengan pembagian, yaitu membatalkan setiap makna pada asal kecuali satu: maka diketahui bahwa itulah 'illah-nya, seperti ia mengatakan tentang roti bahwa riba diharamkan padanya, maka tidak lepas dari kemungkinan bahwa itu karena takaran, atau karena rasa, atau karena timbangan, kemudian ia membatalkan bahwa itu karena takaran dan timbangan, maka diketahui bahwa itu karena rasa.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا شَهَادَةُ الْأُصُولِ فَيَخْتَصُّ بِقِيَاسِ الدَّلَالَةِ وَهُوَ أَنْ يَدُلَّ عَلَى صِحَّةِ الْعِلَّةِ شَهَادَةُ الْأُصُولِ وَذَلِكَ أَنْ يَقُولَ فِي الْقَهْقَهَةِ إِنَّ مَا لَا يَنْقُضُ الطُّهْرَ خَارِجَ الصَّلَاةِ لَمْ يَنْقُضْ دَاخِلَ الصَّلَاةِ كَالْكَلَامِ فَيَدُلُّ عَلَيْهَا بِأَنَّ الْأُصُولَ تَشْهَدُ بِالتَّسْوِيَةِ بَيْنَ دَاخِلِ الصَّلَاةِ وَخَارِجِهَا أَلَا تَرَى أَنَّ مَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ دَاخِلَ الصَّلَاةِ يَنْقُضُ خَارِجَهَا كَالْأَحْدَاثِ كُلِّهَا وَمَا لَا يَنْقُضُ خَارِجَ الصَّلَاةِ لَا يَنْقُضُ دَاخِلَهَا فَيَجِبُ أَنْ تَكُونَ الْقَهْقَهَةُ مِثْلَهَا.

Adapun syahadat al-ushul, itu khusus dengan qiyas ad-dilalah, yaitu bahwa syahadat al-ushul menunjukkan keabsahan 'illah. Yaitu, ia mengatakan tentang tawa terbahak-bahak bahwa apa yang tidak membatalkan kesucian di luar shalat tidak membatalkan di dalam shalat, seperti berbicara. Maka ia menunjukkan bahwa al-ushul menyaksikan penyamaan antara di dalam shalat dan di luarnya. Tidakkah Anda melihat bahwa apa yang membatalkan wudhu di dalam shalat membatalkan di luarnya, seperti semua hadats, dan apa yang tidak membatalkan di luar shalat tidak membatalkan di dalamnya. Maka tawa terbahak-bahak harus seperti itu.

فَصْلٌ

Pasal

وَمَا سِوَى هَذِهِ الطُّرُقِ فَلَا يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ الْعِلَّةِ، وَقَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ: إِذَا لَمْ يَجِدْ مَا يُعَارِضُهَا وَلَا مَا يُفْسِدُهَا دَلَّ عَلَى صِحَّتِهَا، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصَّيْرَفِيُّ فِي طَرْدِهَا يَدُلُّ عَلَى صِحَّتِهَا فَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى مَنْ قَالَ أَنَّ عَدَمَ مَا يُفْسِدُهَا دَلِيلٌ عَلَى صِحَّتِهَا فَهُوَ أَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يُجْعَلَ هَذَا دَلِيلًا عَلَى صِحَّتِهَا لَوَجَبَ إِذَا اسْتَدَلَّ بِخَيْرٍ لَا يُعْرَفُ صِحَّتُهُ أَنْ يُقَالَ عَدَمُ مَا يُعَارِضُهُ وَمَا يُفْسِدُهُ يَدُلُّ عَلَى صِحَّتِهِ وَهَذَا لَا يَقُولُهُ أَحَدٌ وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى الصَّيْرَفِيِّ فَهُوَ أَنَّ الطَّرْدَ فِعْلُ الْقَائِسِ وَفِعْلُ الْقَائِسِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ فِي الشَّرْعِ وَلِأَنَّ قَوْلَهُ إِنَّهَا مُطَّرِدَةٌ مَعْنَاهُ أَنَّهُ لَيْسَ هَاهُنَا نَقْضٌ يُفْسِدُهَا وَقَدْ بَيَّنَّا أَنَّ عَدَمَ مَا يُفْسِدُ لَا يَدُلُّ عَلَى الصِّحَّةِ

Dan selain metode-metode ini tidak menunjukkan keabsahan 'illah. Sebagian fuqaha berpendapat: jika tidak ditemukan sesuatu yang bertentangan dengannya dan tidak pula yang merusaknya, maka itu menunjukkan keabsahannya. Abu Bakr al-Shairafi berpendapat bahwa keumuman 'illah menunjukkan keabsahannya. Adapun dalil bagi yang berpendapat bahwa ketiadaan sesuatu yang merusak 'illah merupakan dalil atas keabsahannya adalah seandainya boleh menjadikan ini sebagai dalil atas keabsahannya, maka wajib ketika berhujjah dengan kebaikan yang tidak diketahui kebenarannya untuk dikatakan bahwa ketiadaan sesuatu yang bertentangan dengannya dan yang merusaknya menunjukkan kebenarannya, dan ini tidak dikatakan oleh seorang pun. Adapun dalil atas al-Shairafi adalah bahwa keumuman 'illah merupakan perbuatan qiyas, dan perbuatan qiyas bukanlah hujjah dalam syariat. Dan karena perkataannya bahwa 'illah itu umum, maknanya adalah bahwa di sini tidak ada pembatalan yang merusaknya. Dan telah kami jelaskan bahwa ketiadaan sesuatu yang merusak tidak menunjukkan keabsahan.

بَابُ بَيَانِ مَا يُفْسِدُ العِلَّةَ

بَابُ بَيَانِ مَا يُفْسِدُ الْعِلَّةَ

Bab Penjelasan Tentang Apa yang Merusak Illat

قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ الْأَوْحَدُ ﵀ وَرَضِيَ عَنْهُ: قَدْ ذَكَرْتُ فِي الْمُلَخَّصِ فِي الْجَدَلِ فِيمَا يُفْسِدُ الْعِلَّةَ خَمْسَةَ عَشَرَ نَوْعًا وَأَنَا أَذْكُرُهَا هُنَا مَا يَلِيقُ بِهَذَا الْكِتَابِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى فَأَقُولُ إِنَّ الَّذِي يُفْسِدُ الْعِلَّةَ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ:

Syekh Imam yang unik, semoga Allah meridhainya, berkata: Saya telah menyebutkan dalam ringkasan tentang perdebatan mengenai apa yang merusak illat sebanyak lima belas jenis, dan saya akan menyebutkannya di sini apa yang sesuai dengan kitab ini insya Allah Ta'ala. Saya katakan bahwa yang merusak illat ada sepuluh hal:

أَحَدُهَا: أَنْ لَا يَكُونَ عَلَى صِحَّتِهَا دَلِيلٌ فَيَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى فَسَادِهَا لِأَنِّي قَدْ بَيَّنْتُ فِي الْبَابِ قَبْلَهُ أَنَّ الْعِلَّةَ شَرْعِيَّةٌ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَى صِحَّتِهَا دَلِيلٌ مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ دَلَّ عَلَى أَنَّهَا لَيْسَتْ بِعِلَّةٍ فَوَجَبَ الْحُكْمُ بِفَسَادِهَا.

Pertama: Bahwa tidak ada dalil atas keabsahannya, maka hal itu menunjukkan kerusakannya karena saya telah menjelaskan di bab sebelumnya bahwa illat itu bersifat syar'i. Jika tidak ada dalil atas keabsahannya dari sisi syariat, maka menunjukkan bahwa ia bukanlah illat, sehingga wajib dihukumi rusak.

فَصْلٌ

Pasal

وَالثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْعِلَّةُ مَنْصُوبَةً لِمَا لَا يَثْبُتُ بِالْقِيَاسِ كَأَقَلِّ الْحَيْضِ وَأَكْثَرِهِ وَإِثْبَاتِ الْأَسْمَاءِ وَاللُّغَاتِ عَلَى قَوْلِ مَنْ لَا يُجِيزُ إِثَابَتَهَا بِالْقِيَاسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَحْكَامِ الَّتِي لَا مَدْخَلَ لِلْقِيَاسِ فِيهَا عَلَى مَا تَقَدَّمَ شَرْحُهَا فَيَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى فَسَادِهَا.

Kedua: Bahwa illat itu ditetapkan untuk sesuatu yang tidak bisa ditetapkan dengan qiyas, seperti batas minimal dan maksimal haid, penetapan nama-nama dan bahasa menurut pendapat yang tidak membolehkan menetapkannya dengan qiyas, dan hukum-hukum lainnya yang tidak ada tempat bagi qiyas di dalamnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka hal itu menunjukkan kerusakannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَالثَّالِثُ: أَنْ تَكُونَ الْعِلَّةُ مُنْتَزَعَةً مِنْ أَصْلٍ لَا يَجُوزُ انْتِزَاعُ الْعِلَّةِ مِنْهُ مِثْلَ أَنْ يَقِيسَ عَلَى أَصْلٍ غَيْرِ ثَابِتٍ كَأَصْلٍ مَنْسُوخٍ أَوْ أَصْلٍ لَمْ يَثْبُتِ الْحُكْمُ فِيهِ لِأَنَّ الْفَرْعَ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِالْأَصْلِ فَإِذَا لَمْ يَثْبُتِ الْأَصْلُ لَمْ يَجُزْ إِثْبَاتُ الْفَرْعِ مِنْ جِهَتِهِ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الْأَصْلُ قَدْ وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَخْصِيصِهِ وَمَنَعَ الْقِيَاسَ عَلَيْهِ مِثْلَ قِيَاسِ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ غَيْرِ رَسُولِ اللهِ ﷺ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي جَوَازِ النِّكَاحِ بِلَفْظِ الْهِبَةِ، وَقَدْ وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَخْصِيصِهِ بِذَلِكَ فَهَذَا أَيْضًا لَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ عَلَيْهِ لِأَنَّ الْقِيَاسَ إِنَّمَا يَجُوزُ عَلَى مَا لَمْ يَرِدِ الشَّرْعُ بِالْمَنْعِ مِنْهُ، فَأَمَّا إِذَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِالْمَنْعِ مِنْهُ فَلَا يَجُوزُ، وَلِهَذَا لَا يَجُوزُ الْقِيَاسُ إِذَا مَنَعَ مِنْهُ نَصٌّ أَوْ إِجْمَاعٌ.

Dan yang ketiga: bahwa 'illah diambil dari asal yang tidak boleh diambil 'illah darinya, seperti mengqiyaskan pada asal yang tidak tetap, seperti asal yang mansukh atau asal yang tidak tetap hukumnya, karena cabang tidak tetap kecuali dengan asal. Jika asal tidak tetap, maka tidak boleh menetapkan cabang dari arahnya. Demikian pula jika asal telah datang syariat dengan mengkhususkannya dan melarang qiyas atasnya, seperti qiyas sahabat Abu Hanifah ﵀ selain Rasulullah ﷺ atas Rasulullah ﷺ dalam kebolehan nikah dengan lafaz hibah, dan syariat telah datang dengan mengkhususkannya dengan itu. Maka ini juga tidak boleh diqiyaskan atasnya, karena qiyas hanya boleh atas apa yang syariat tidak datang dengan larangan darinya. Adapun jika syariat datang dengan larangan darinya, maka tidak boleh. Oleh karena itu, tidak boleh qiyas jika ada larangan dari nash atau ijma'.

فَصْلٌ

Pasal

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْوَصْفُ الَّذِي جُعِلَ عِلَّةً لَا يَجُوزُ التَّعْلِيلُ بِهِ مِثْلَ أَنْ تَجْعَلَ

Dan yang keempat: bahwa sifat yang dijadikan 'illah tidak boleh di-ta'lil-kan dengannya, seperti menjadikan

العِلَّةُ اسْمٌ لِقَبْ أَوْ نَفْيِ صِفَةٍ عَلَى قَوْلِ مَنْ يُجِيزُ ذَلِكَ أَوْ شِبْهًا عَلَى قَوْلِ مَنْ لَا يُجِيزُ قِيَاسَ الشَّبَهِ أَوْ وَصْفًا لِمَنْ يُثْبِتُ وُجُودَهُ فِي الْأَصْلِ وَفِي الْفَرْعِ فَيَدُلُّ عَلَى فَسَادِهَا لِأَنَّ الْحُكْمَ تَابِعٌ لِلْعِلَّةِ وَإِذَا كَانَتِ الْعِلَّةُ لَا تُفِيدُ الْحُكْمَ أَوْ لَمْ تَثْبُتْ لَمْ يَجُزْ إِثْبَاتُ الْحُكْمِ مِنْ جِهَتِهَا.

'Illah adalah sebuah istilah untuk julukan atau penafian sifat menurut pendapat yang membolehkan hal itu, atau kemiripan menurut pendapat yang tidak membolehkan qiyas syabah, atau deskripsi bagi yang menetapkan keberadaannya pada asal dan cabang, sehingga menunjukkan kerusakannya karena hukum mengikuti 'illah. Jika 'illah tidak memberikan hukum atau tidak terbukti, maka tidak boleh menetapkan hukum dari sisinya.

فَصْلٌ

Pasal

وَالْخَامِسُ: أَنْ لَا تَكُونَ الْعِلَّةُ مُؤَثِّرَةً فِي الْحُكْمِ فَيَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى فَسَادِهَا وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: إِنَّ ذَلِكَ لَا يُوجِبُ فَسَادَهَا وَهِيَ طَرِيقَةُ مَنْ قَالَ: إِنَّ طَرْدَهَا يَدُلُّ عَلَى صِحَّتِهَا وَقَدْ دَلَلْتُ عَلَى فَسَادِهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: إِنَّ دَفْعَهُ لِلنَّقْضِ تَأْثِيرٌ صَحِيحٌ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّ الْمُؤَثِّرَ مَا تَعَلَّقَ الْحُكْمُ بِهِ فِي الشَّرْعِ وَدَفْعُ النَّقْضِ عَنْ مَذْهَبِ الْمُعَلِّلِ لَيْسَ بِدَلِيلٍ عَلَى تَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِهِ فِي الشَّرْعِ وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى تَعَلُّقِ الْحُكْمِ بِهِ عِنْدَهُ وَلَيْسَ الْمَطْلُوبُ عِلَّةَ الْمُعَلِّلِ وَإِنَّمَا الْمَطْلُوبُ عِلَّةَ الشَّرْعِ فَسَقَطَ هَذَا الْقَوْلُ وَفِي أَيِّ مَوْضِعٍ يُعْتَبَرُ تَأْثِيرُ الْعِلَّةِ فِيهِ وَجْهَانِ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يُطْلَبُ تَأْثِيرُهَا فِي الْأَصْلِ لِأَنَّ الْعِلَّةَ تَتَفَرَّعُ مِنَ الْأَصْلِ أَوَّلًا ثُمَّ يُقَاسُ الْفَرْعُ عَلَيْهِ فَإِذَا لَمْ يُؤَثِّرْ فِي الْأَصْلِ لَمْ تَثْبُتِ الْعِلَّةُ فِيهِ فَكَأَنَّهُ رَدَّ الْفَرْعَ إِلَى الْأَصْلِ بِغَيْرِ عِلَّةِ الْأَصْلِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَكْفِي أَنْ يُؤَثِّرَ فِي وَضْعٍ مِنَ الْأُصُولِ وَهُوَ اخْتِيَارُ شَيْخِنَا الْقَاضِي أَبِي الطَّيِّبِ الطَّبَرِيِّ ﵀ وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدِي لِأَنَّهَا إِذَا أَثَّرَتْ فِي مَوْضِعٍ مِنَ الْأُصُولِ دَلَّ عَلَى صِحَّتِهَا وَإِذَا صَحَّتْ فِي مَوْضِعٍ وَجَبَ تَعْلِيقُ الْحُكْمِ عَلَيْهَا حَيْثُ وُجِدَتْ.

Dan yang kelima: bahwa 'illah tidak berpengaruh pada hukum, maka hal itu menunjukkan kerusakannya. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa hal itu tidak menyebabkan kerusakannya, dan ini adalah metode orang yang mengatakan bahwa keumumannya menunjukkan kesahihannya. Aku telah menunjukkan kerusakannya. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa penolakannya terhadap naqd (bantahan) adalah pengaruh yang benar, dan ini adalah kesalahan. Karena yang berpengaruh adalah apa yang hukum terkait dengannya dalam syariat, dan menolak naqd dari mazhab mu'allil (yang menggunakan 'illah) bukanlah dalil atas keterkaitan hukum dengannya dalam syariat. Ia hanya menunjukkan keterkaitan hukum dengannya menurut pendapatnya, dan yang dicari bukanlah 'illah mu'allil, melainkan 'illah syariat. Maka pendapat ini gugur. Mengenai di posisi mana pengaruh 'illah dipertimbangkan, ada dua pendapat dari sahabat kami. Sebagian mengatakan: Dicari pengaruhnya pada asal, karena 'illah bercabang dari asal terlebih dahulu, kemudian cabang diqiyaskan kepadanya. Jika tidak berpengaruh pada asal, maka 'illah tidak terbukti padanya, seakan-akan ia mengembalikan cabang kepada asal tanpa 'illah asal. Sebagian lagi mengatakan: Cukup berpengaruh pada sebagian usul, dan ini adalah pilihan syaikh kami Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari ﵀, dan ini yang benar menurutku. Karena jika ia berpengaruh pada sebagian usul, maka itu menunjukkan kesahihannya. Jika ia sahih pada satu posisi, maka wajib mengaitkan hukum dengannya di mana pun ia ditemukan.

وَالسَّادِسُ: أَنْ تَكُونَ مُنْتَقَضَةً وَهِيَ أَنْ تُوجَدَ وَلَا حُكْمَ مَعَهَا وَقَالَ أَصْحَابُ أَبِي حَنِيفَةَ وُجُودُ الْعِلَّةِ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ لَيْسَ بِنَقْضٍ لَهَا بَلْ هُوَ تَخْصِيصٌ لَهَا وَلَيْسَ بِنَقْضٍ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ ذَلِكَ هُوَ أَنَّهَا عِلَّةٌ مُسْتَنْبَطَةٌ فَإِذَا وُجِدَتْ مِنْ غَيْرِ حُكْمٍ وَجَبَ الْحُكْمُ بِفَسَادِهَا دَلِيلُهُ الْعِلَلُ الْعَقْلِيَّةُ وَأَمَّا وُجُودُ مَعْنَى الْعِلَّةِ وَلَا حُكْمَ وَهُوَ الَّذِي سَمَّتْهُ الْمُتَفَقِّهَةُ الْكَسْرَ وَالنَّقْضَ مِنْ طَرِيقِ الْمَعْنَى وَهُوَ أَنْ تُبْدَلَ الْعِلَّةُ أَوْ بَعْضُ أَوْصَافِهَا بِمَا هُوَ فِي مَعْنَاهُ ثُمَّ يُوجَدَ ذَلِكَ مِنْ

Dan yang keenam: bahwa 'illah itu terbantahkan, yaitu ketika 'illah itu ada tetapi tidak ada hukum bersamanya. Para pengikut Abu Hanifah berpendapat bahwa adanya 'illah tanpa hukum bukanlah pembatalan terhadapnya, melainkan hanya pengkhususan baginya dan bukan pembatalan. Dalil atas rusaknya pendapat tersebut adalah bahwa 'illah itu adalah 'illah yang diistinbatkan (disimpulkan), maka jika ia ada tanpa hukum, wajib untuk menetapkan rusaknya 'illah tersebut, dengan dalil 'illah-'illah aqliyah (rasional). Adapun adanya makna 'illah tanpa hukum, itulah yang dinamakan oleh para ahli fiqih sebagai al-kasr (pelemahan) dan an-naqd (pembatalan) dari segi makna, yaitu mengganti 'illah atau sebagian sifat-sifatnya dengan sesuatu yang semakna dengannya, kemudian hal itu ditemukan dari

غَيْرُ حُكْمٍ فَهَذَا يُنْظَرُ فِيهِ فَإِنْ كَانَ الْوَصْفُ الَّذِي أَبْدَلَهُ غَيْرَ مُؤَثِّرٍ فِي الْحُكْمِ دَلَّ عَلَى فَسَادِ الْعِلَّةِ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُؤَثِّرًا وَجَبَ إِسْقَاطُهُ وَإِذَا سَقَطَ لَمْ يَبْقَ شَيْءٌ فَأَمَّا أَنْ لَا يَبْقَى شَيْءٌ فَيَسْقُطُ الدَّلِيلُ أَوْ يَبْقَى شَيْءٌ فَيُنْتَقَضُ فَيَكُونُ الْفَسَادُ رَاجِعًا إِلَى عَدَمِ التَّأْثِيرِ أَوِ النَّقْضِ وَقَدْ بَيَّنَاهُمَا وَإِنْ كَانَ الْوَصْفُ الَّذِي أَبْدَلَهُ مُؤَثِّرًا فِي الْحُكْمِ لَمْ تَفْسُدِ الْعِلَّةُ لِأَنَّ الْمُؤَثِّرَ فِي الْحُكْمِ لَا يَجُوزُ إِسْقَاطُهُ فَلَا يَتَوَجَّهُ عَلَى الْعِلَّةِ مِنْ جِهَتِهِ فَسَادٌ، فَأَمَّا وُجُودُ الْحُكْمِ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ فَيُنْظَرُ فِيهِ فَإِنْ كَانَتِ الْعِلَّةُ لِجِنْسِ الْحُكْمِ فَهُوَ نَقْضٌ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ نَقُولَ: الْعِلَّةُ فِي وُجُوبِ النَّفَقَةِ التَّمْكِينُ فِي الِاسْتِمْتَاعِ فَأَيُّ مَوْضِعٍ وَجَبَتِ النَّفَقَةُ مِنْ غَيْرِ تَمْكِينٍ فَهُوَ نَقْضٌ وَأَيُّ مَوْضِعٍ وُجِدَ التَّمْكِينُ مِنْ غَيْرِ نَفَقَةٍ فَهُوَ نَقْضٌ لِأَنَّهُ زَعَمَ أَنَّ التَّمْكِينَ عِلَّةُ هَذَا الْحُكْمِ أَجْمَعَ لَا عِلَّةَ لَهُ سِوَاهُ فَكَأَنَّهُ قَالَ: أَيُّ مَوْضِعٍ وُجِدَ وَجَبَ وَأَيُّ مَوْضِعٍ فُقِدَ سَقَطَ فَإِذَا وُجِدَ وَلَمْ يَجِبْ أَوْ فُقِدَ وَلَمْ يَسْقُطْ فَقَدْ أُنْتُقِضَ التَّعْلِيلُ وَإِنْ كَانَتِ الْعِلَّةُ لِلْحُكْمِ فِي أَعْيَانٍ لَا لِجِنْسِ الْحُكْمِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ نَقْضًا لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي وُجِدَتِ الْعِلَّةُ يَثْبُتُ الْحُكْمُ بِوُجُودِ هَذِهِ الْعِلَّةِ وَفِي الْمَوْضِعِ الَّذِي عُدِمَتْ يَثْبُتُ لِعِلَّةٍ أُخْرَى كَقَوْلِنَا فِي الْحَائِضِ يَحْرُمُ وَطْؤُهَا لِلْحَيْضِ ثُمَّ يَعْدِمُ الْحَيْضُ فِي الْمُحْرِمَةِ وَالْمُعْتَدَّةِ وَيَثْبُتُ التَّحْرِيمُ لِعِلَّةٍ أُخْرَى.

Bukan hukum, maka ini perlu dipertimbangkan. Jika sifat yang digantikannya tidak berpengaruh pada hukum, itu menunjukkan rusaknya 'illah (alasan hukum), karena jika tidak berpengaruh maka wajib digugurkan, dan jika gugur maka tidak ada yang tersisa. Adapun jika tidak ada yang tersisa maka dalil gugur, atau jika ada yang tersisa maka terbantahkan. Maka kerusakan itu kembali pada tidak adanya pengaruh atau pembatalan, dan kami telah menjelaskan keduanya. Jika sifat yang digantikannya berpengaruh pada hukum, maka 'illah tidak rusak, karena yang berpengaruh pada hukum tidak boleh digugurkan, sehingga tidak ada kerusakan yang mengarah pada 'illah dari sisinya. Adapun adanya hukum tanpa 'illah, maka ini perlu dipertimbangkan. Jika 'illah itu untuk jenis hukum, maka itu pembatalan, seperti jika kita mengatakan: 'Illah dalam kewajiban nafkah adalah kemampuan untuk bersenang-senang. Maka di mana saja nafkah wajib tanpa kemampuan, itu pembatalan, dan di mana saja ditemukan kemampuan tanpa nafkah, itu pembatalan, karena ia mengklaim bahwa kemampuan adalah 'illah dari seluruh hukum ini, tidak ada 'illah lain untuknya. Seolah-olah ia berkata: Di mana saja ditemukan maka wajib, dan di mana saja tidak ada maka gugur. Jika ditemukan dan tidak wajib, atau tidak ada dan tidak gugur, maka ta'lil (penetapan 'illah) terbantahkan. Jika 'illah itu untuk hukum pada individu-individu, bukan untuk jenis hukum, maka itu bukan pembatalan, karena boleh jadi di tempat di mana 'illah ditemukan, hukum ditetapkan dengan adanya 'illah ini, dan di tempat di mana tidak ada, ditetapkan karena 'illah lain, seperti perkataan kami tentang wanita haid: Menyetubuhinya haram karena haid, kemudian haid tidak ada pada wanita yang sedang ihram dan yang sedang 'iddah, dan keharaman ditetapkan karena 'illah lain.

فَصْلٌ

Fasal

وَالسَّابِعُ: أَنْ يُمْكِنَ قَلْبُ الْعِلَّةِ وَهُوَ أَنْ يُعَلِّقَ عَلَيْهَا نَقِيضَ ذَلِكَ الْحُكْمِ وَيُقَاسَ عَلَى الْأَصْلِ فَهَذَا قَدْ يَكُونُ بِحُكْمٍ مُصَرَّحٍ وَقَدْ يَكُونُ بِحُكْمٍ مُبْهَمٍ. فَأَمَّا الْمُصَرَّحُ فَهُوَ أَنْ نَقُولَ عُضْوٌ مِنْ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ فَلَا يُتَقَدَّرُ فَرْضُهُ بِالرُّبُعِ كَالْوَجْهِ فَيَقُولُ الْمُخَالِفُ عُضْوٌ مِنْ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ فَلَا يَجُزْ فِيهِ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ كَالْوَجْهِ فَهَذَا يُفْسِدُ الْعِلَّةَ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: إِنَّ ذَلِكَ لَا يُفْسِدُ الْعِلَّةَ وَلَا يَقْدَحُ فِيهَا لِأَنَّهُ فَرَضَ مَسْأَلَةً عَلَى الْمُعَلِّلِ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إِنَّ ذَلِكَ كَالْمُعَارَضَةِ بِعِلَّةٍ أُخْرَى فَيُصَارُ فِيهِمَا إِلَى التَّرْجِيحِ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يُوجِبُ الْفَسَادَ. وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ يَقْدَحُ أَنَّهُ عَارَضَهُ بِمَا لَا يُمْكِنُ الْجَمْعُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عِلَّتِهِ فَصَارَ كَمَا لَوْ عَارَضَهُ بِعِلَّةٍ مُبْتَدَأَةٍ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ يُوجِبُ الْفَسَادَ أَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يُعَلِّقَ عَلَيْهَا حُكْمَانِ مُتَنَافِيَانِ فَوَجَبَ الْحُكْمُ بِالْفَسَادِ. وَأَمَّا الْقَلْبُ بِحُكْمٍ مُبْهَمٍ فَهُوَ قَلْبُ التَّسْوِيَةِ

Dan yang ketujuh: bahwa memungkinkan untuk membalikkan 'illah, yaitu dengan menggantungkan kepadanya hukum yang berlawanan dengan hukum tersebut dan mengqiyaskannya kepada asal. Maka ini terkadang terjadi dengan hukum yang jelas (musharrah) dan terkadang dengan hukum yang samar (mubham). Adapun yang jelas, maka itu adalah kita mengatakan: anggota wudhu maka tidak ditentukan kewajibannya dengan seperempat seperti wajah. Lalu orang yang menyelisihi mengatakan: anggota wudhu maka tidak boleh padanya apa yang jatuh kepadanya nama seperti wajah. Maka ini merusak 'illah. Dan di antara sahabat kami ada yang mengatakan: bahwa itu tidak merusak 'illah dan tidak mencacatkannya karena dia mengandaikan masalah atas orang yang ber'illah. Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa itu seperti mu'aradhah dengan 'illah yang lain, maka dilakukan tarjih di antara keduanya. Dan yang benar bahwa itu mewajibkan kerusakan. Dan dalil atas bahwa itu mencacatkan adalah bahwa dia menentangnya dengan apa yang tidak mungkin mengumpulkan antara itu dengan 'illahnya, maka jadilah seakan-akan dia menentangnya dengan 'illah yang baru. Dan dalil atas bahwa itu mewajibkan kerusakan adalah bahwa memungkinkan untuk menggantungkan kepadanya dua hukum yang saling menafikan, maka wajib hukum dengan kerusakan. Dan adapun pembalikan (qalb) dengan hukum yang samar maka itu adalah pembalikan penyamaan (qalb at-taswiyah).

وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَقُولَ الحَنَفِيُّ: طَهَارَةٌ بِمَائِعٍ فَلَمْ يَفْتَقِرْ إِلَى النِّيَّةِ كَإِزَالَةِ النَّجَاسَةِ فَيَقُولُ الشَّافِعِيُّ ﵀: طَهَارَةٌ بِمَائِعٍ فَكَانَ مَائِعُهَا كَجَامِدِهَا فِي وُجُوبِ النِّيَّةِ كَإِزَالَةِ النَّجَاسَةِ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: أَنَّ ذَلِكَ لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ يُرِيدُ التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الْمَائِعِ وَالْجَامِدِ فِي الْأَصْلِ فِي إِسْقَاطِ النِّيَّةِ وَفِي الْفَرْعِ فِي إِيجَابِ النِّيَّةِ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إِنَّ ذَلِكَ يَصِحُّ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّ التَّسْوِيَةَ بَيْنَ الْمَائِعِ وَالْجَامِدِ تُنَافِي عِلَّةَ الْمُسْتَدِلِّ فِي إِسْقَاطِ النِّيَّةِ فَصَارَ كَالْحُكْمِ الْمُصَرَّحِ بِهِ.

Dan itu seperti seorang Hanafi berkata: Bersuci dengan benda cair tidak membutuhkan niat seperti menghilangkan najis. Lalu seorang Syafi'i berkata kepada Allah: Bersuci dengan benda cair, maka benda cairnya seperti benda padatnya dalam kewajiban niat seperti menghilangkan najis. Maka di antara sahabat kami ada yang mengatakan: Bahwa itu tidak sah karena ia ingin menyamakan antara benda cair dan benda padat dalam asal dalam menggugurkan niat dan dalam cabang dalam mewajibkan niat. Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa itu sah dan itu yang lebih sahih, karena menyamakan antara benda cair dan benda padat bertentangan dengan 'illah orang yang berdalil dalam menggugurkan niat, maka itu menjadi seperti hukum yang jelas dengannya.

فَصْلٌ

Pasal

وَالثَّامِنُ: أَنْ لَا يُوجِبَ الْعِلَّةَ حُكْمَهَا فِي الْأَصْلِ وَذَلِكَ عَلَى ضَرْبَيْنِ:

Dan yang kedelapan: Bahwa tidak mewajibkan 'illah hukumnya pada asal dan itu ada dua macam:

أَحَدُهُمَا: أَنْ يُفِيدَ الْحُكْمَ فِي الْفَرْعِ بِزِيَادَةٍ أَوْ نُقْصَانٍ عَمَّا يُفِيدُهَا فِي الْأَصْلِ وَيَدُلُّ عَلَى فَسَادِهَا وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَقُولَ الْحَنَفِيُّ فِي إِسْقَاطِ تَعْيِينِ النِّيَّةِ فِي صَوْمِ رَمَضَانَ لِأَنَّهُ مُسْتَحَقُّ الْعَيْنِ فَلَا يَفْتَقِرُ إِلَى التَّعْيِينِ كَرَدِّ الْوَدِيعَةِ فَهَذَا لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ يُفِيدُ فِي الْفَرْعِ غَيْرَ حُكْمِ الْأَصْلِ لِأَنَّهُ يُفِيدُ فِي الْأَصْلِ إِسْقَاطَ التَّعْيِينِ مَعَ النِّيَّةِ رَأْسًا وَفِي الْفَرْعِ يُفِيدُ إِسْقَاطَ التَّعْيِينِ وَمِنْ حُكْمِ الْعِلَّةِ أَنْ يُثْبِتَ الْحُكْمَ فِي الْأَصْلِ ثُمَّ يَتَعَدَّى إِلَى الْفَرْعِ فَيَنْقُلُ حُكْمَ الْأَصْلِ إِلَيْهِ فَإِذَا لَمْ يَنْقُلْ ذَلِكَ الْحُكْمَ إِلَيْهِ دَلَّ عَلَى بُطْلَانِهَا.

Salah satunya: bahwa hukum pada cabang (furu') memberikan tambahan atau pengurangan dari apa yang diberikan pada asal (ashl), dan ini menunjukkan kerusakannya. Contohnya seperti seorang Hanafi mengatakan dalam menggugurkan penentuan niat pada puasa Ramadhan, karena puasa Ramadhan adalah kewajiban yang pasti, maka tidak membutuhkan penentuan (niat), seperti mengembalikan titipan (wadi'ah). Ini tidak benar, karena memberikan hukum pada cabang yang berbeda dengan hukum pada asal. Karena pada asal, ia menggugurkan penentuan (niat) bersama dengan niat secara total, sedangkan pada cabang, ia hanya menggugurkan penentuannya saja. Termasuk hukum 'illah adalah menetapkan hukum pada asal kemudian menyebarkannya ke cabang, lalu memindahkan hukum asal kepadanya. Jika hukum tersebut tidak dipindahkan kepadanya, maka ini menunjukkan kebatilan 'illah tersebut.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا يُفِيدَ الْحُكْمَ فِي نَظَائِرِهِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي أَفَادَ فِي الْأَصْلِ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَقُولَ الْحَنَفِيُّ فِي إِسْقَاطِ الزَّكَاةِ فِي مَالِ الصَّبِيِّ أَنَّهُ غَيْرُ مُعْتَقِدٍ لِلْإِيمَانِ فَلَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي مَالٍ كَالْكَافِرِ فَإِنَّ هَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّهُ لَا يُوجِبُ الْحُكْمَ فِي النَّظَائِرِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يُوجِبُ فِي الْأَصْلِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يُوجِبُ إِسْقَاطَ الْعُشْرِ فِي زَرْعِهِ وَلَا زَكَاةَ الْفِطْرِ فِي مَالِهِ، كَمَا يُوجِبُ فِي الْأَصْلِ فَدَلَّ عَلَى فَسَادِهَا لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ تُوجِبُ الْحُكْمَ فِي الْفَرْعِ لَأَوْجَبَتْ الْحُكْمَ فِي نَظَائِرِهِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي أَوْجَبَ فِي الْأَصْلِ.

Dan yang kedua: bahwa hukum tidak berlaku pada hal-hal yang serupa dengannya sebagaimana berlaku pada asalnya, seperti seorang Hanafi mengatakan dalam menggugurkan zakat pada harta anak kecil bahwa ia tidak meyakini iman sehingga zakat tidak wajib pada hartanya seperti orang kafir. Ini keliru karena tidak mewajibkan hukum pada hal-hal yang serupa sebagaimana diwajibkan pada asalnya. Tidakkah Anda melihat bahwa ia tidak mewajibkan gugurnya sepersepuluh pada tanamannya dan tidak pula zakat fitrah pada hartanya, sebagaimana diwajibkan pada asalnya? Ini menunjukkan kekeliruannya karena seandainya itu mewajibkan hukum pada cabang, tentu akan mewajibkan hukum pada hal-hal yang serupa dengannya sebagaimana diwajibkan pada asalnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَالتَّاسِعُ: أَنْ يَعْتَبِرَ حُكْمًا يَحْكُمُ مَعَ اخْتِلَافِهَا فِي الْمَوْضِعِ وَهُوَ الَّذِي تُسَمِّيهِ الْمُتَفَقِّهَةُ فَسَادَ الِاعْتِبَارِ وَيُعْرَفُ ذَلِكَ مِنْ طَرِيقَيْنِ مِنْ جِهَةِ النُّطْقِ بِأَنْ يَرِدَ

Dan yang kesembilan: mempertimbangkan suatu hukum yang berlaku meskipun berbeda tempatnya, dan inilah yang disebut oleh para ahli fikih sebagai rusaknya pertimbangan. Hal itu diketahui dari dua cara, dari sisi ucapan, yaitu jika datang

الشَّرْعُ بِالتَّفْرِقَةِ بَيْنَهُمَا فَيَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى بُطْلَانِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا مِثْلَ أَنْ يُعْتَبَرَ الطَّلَاقُ بِالْعِدَّةِ فِي أَنَّ الِاعْتِبَارَ فِيهِ فِي رِقِّ الْمَرْأَةِ وَحُرِّيَّتِهَا فَهَذَا فَاسِدٌ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا فِي ذَلِكَ فَقَالَ: "الطَّلَاقُ بِالرِّجَالِ وَالْعِدَّةُ بِالنِّسَاءِ" فَيَكُونُ الْجَمْعُ بَاطِلًا بِالنَّصِّ وَيُعْرَفُ بِالْأُصُولِ.

Syariat membedakan antara keduanya, yang menunjukkan batalnya menggabungkan keduanya, seperti mempertimbangkan talak dengan 'iddah dalam hal pertimbangan di dalamnya adalah pada status budak atau merdekanya wanita. Ini keliru karena Nabi ﷺ membedakan antara keduanya dalam hal itu, beliau bersabda: "Talak ada pada laki-laki dan 'iddah ada pada wanita", sehingga menggabungkan keduanya menjadi batil berdasarkan nash dan diketahui berdasarkan ushul.

وَهُوَ أَنْ يُعْتَبَرَ مَا بُنِيَ عَلَى التَّخْفِيفِ فِي إِيجَابِ التَّخْفِيفِ كَاعْتِبَارِ الْعَمْدِ بِالسَّهْوِ وَالضَّمَانِ بِالْحَدِّ، أَوْ مَا بُنِيَ عَلَى التَّأْكِيدِ فِي الْإِسْقَاطِ بِمَا بُنِيَ عَلَى التَّضْعِيفِ كَاعْتِبَارِ الْعِتْقِ بِالرِّقِّ وَالضَّمَانِ بِالْحَدِّ، أَوْ بِمَا بُنِيَ عَلَى التَّغْلِيظِ فِي التَّغْلِيظِ كَاعْتِبَارِ السَّهْوِ بِالْعَمْدِ أَوْ مَا بُنِيَ عَلَى التَّغْلِيظِ بِمَا بُنِيَ عَلَى التَّخْفِيفِ، أَوْ مَا بُنِيَ عَلَى التَّضْعِيفِ بِمَا بُنِيَ عَلَى التَّأْكِيدِ فِي الْإِيجَابِ كَاعْتِبَارِ الرِّقِّ بِالْحُرِّيَّةِ وَالْحَدِّ بِالضَّمَانِ، فَيَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى فَسَادِهَا لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمَا فِي الْوَضْعِ يَدُلُّ عَلَى اخْتِلَافِ عِلَّتِهِمَا، وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ ذَلِكَ لَا يَدُلُّ عَلَى الْفَسَادِ إِذَا دَلَّتِ الدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ الْعِلَّةِ.

Yaitu mempertimbangkan apa yang dibangun atas keringanan dalam mewajibkan keringanan, seperti mempertimbangkan kesengajaan dengan kelalaian dan jaminan dengan had, atau apa yang dibangun atas penegasan dalam pengguguran dengan apa yang dibangun atas pelemahan seperti mempertimbangkan pembebasan dengan perbudakan dan jaminan dengan had, atau dengan apa yang dibangun atas pengerasan dalam pengerasan seperti mempertimbangkan kelalaian dengan kesengajaan atau apa yang dibangun atas pengerasan dengan apa yang dibangun atas keringanan, atau apa yang dibangun atas pelemahan dengan apa yang dibangun atas penegasan dalam kewajiban seperti mempertimbangkan perbudakan dengan kemerdekaan dan had dengan jaminan. Hal itu menunjukkan kerusakannya karena perbedaan keduanya dalam penetapan menunjukkan perbedaan 'illat keduanya. Dan telah dikatakan bahwa hal itu tidak menunjukkan kerusakan jika dalil menunjukkan keabsahan 'illat.

فَصْلٌ

Pasal

وَالْعَاشِرُ: أَنْ يُعَارِضَهَا مَا هُوَ أَقْوَى مِنْهَا مِنْ نَصِّ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ أَوْ إِجْمَاعٍ، فَيَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى فَسَادِهَا لِأَنَّ هَذِهِ الْأَدِلَّةَ مَقْطُوعٌ بِصِحَّتِهَا فَلَا يَثْبُتُ الْقِيَاسُ مَعَهَا.

Dan yang kesepuluh: bahwa qiyas itu bertentangan dengan apa yang lebih kuat darinya, baik dari nash Al-Kitab, Sunnah, atau Ijma'. Hal itu menunjukkan rusaknya qiyas tersebut, karena dalil-dalil ini sudah dipastikan kebenarannya, sehingga qiyas tidak dapat ditetapkan bersamanya.

بَابُ القَوْلِ فِي تَعَارُضِ العِلَّتَيْنِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي تَعَارُضِ الْعِلَّتَيْنِ

Bab Perkataan tentang Pertentangan Dua Illat

إِذَا تَعَارَضَتِ الْعِلَّتَانِ لَمْ يَخْلُ إِمَّا أَنْ يَكُونَا مِنْ أَصْلٍ وَاحِدٍ أَوْ مِنْ أَصْلَيْنِ فَإِنْ كَانَتَا مِنْ أَصْلَيْنِ وَذَلِكَ مِثْلُ عِلَّتِنَا فِي إِيجَابِ النِّيَّةِ وَالْقِيَاسِ عَلَى التَّيَمُّمِ وَعِلَّتِهِمْ فِي إِسْقَاطِ النِّيَّةِ وَالْقِيَاسِ عَلَى إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ وَجَبَ إِسْقَاطُ إِحْدَاهُمَا بِمَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ وُجُوهِ الْإِفْسَادِ أَوْ تَرْجِيحُ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى بِمَا نَذْكُرُهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى، وَإِنْ كَانَتَا مِنْ أَصْلٍ وَاحِدٍ لَمْ يَخْلُ إِمَّا أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا دَاخِلَةً فِي الْأُخْرَى أَوْ تَتَعَدَّى إِحْدَاهُمَا إِلَى مَا لَا تَتَعَدَّى إِلَيْهِ الْأُخْرَى، فَإِنْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا دَاخِلَةً فِي الْأُخْرَى نَظَرْتَ فَإِنْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ إِلَّا عِلَّةٌ وَاحِدَةٌ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يُعَلِّلَ الشَّافِعِيُّ ﵁ الْبُرَّ بِأَنَّهُ مَطْعُومٌ جِنْسٌ وَيُعَلِّلَ الْمَالِكِيُّ بِأَنَّهُ مُقْتَاتٌ جِنْسٌ لَمْ يَجُزِ الْقَوْلُ بِالْعِلَّتَيْنِ بَلْ يُصَارُ إِلَى الْإِبْطَالِ أَوِ التَّرْجِيحِ. وَإِنْ لَمْ يُجْمِعُوا عَلَى أَنَّ لَهُ عِلَّةً وَاحِدَةً مِثْلُ أَنْ يُعَلِّلَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ فِي مَسْأَلَةِ ظِهَارٍ

Jika dua 'illah bertentangan, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: keduanya berasal dari satu asal atau dari dua asal. Jika keduanya berasal dari dua asal, seperti 'illah kita dalam mewajibkan niat dan qiyas terhadap tayammum, serta 'illah mereka dalam menggugurkan niat dan qiyas terhadap menghilangkan najis, maka wajib menggugurkan salah satunya dengan apa yang telah kami sebutkan dari segi-segi kerusakan atau mentarjih salah satunya atas yang lain dengan apa yang akan kami sebutkan insya Allah Ta'ala. Jika keduanya berasal dari satu asal, maka tidak lepas dari dua kemungkinan: salah satunya masuk ke dalam yang lain atau salah satunya melampaui apa yang tidak dilampaui oleh yang lain. Jika salah satunya masuk ke dalam yang lain, maka perhatikanlah. Jika mereka sepakat bahwa ia hanya memiliki satu 'illah, seperti Imam Syafi'i ﵁ men-ta'lil gandum dengan ia adalah makanan yang berjenis dan Imam Maliki men-ta'lil dengan ia adalah makanan pokok yang berjenis, maka tidak boleh berpendapat dengan dua 'illah, tetapi harus membatalkan atau mentarjih. Jika mereka tidak sepakat bahwa ia hanya memiliki satu 'illah, seperti Imam Syafi'i radhiallahu 'anhu men-ta'lil dalam masalah zhihar

الذِّمِّيُّ بِأَنَّهُ يَصِحُّ طَلَاقُهُ فَصَحَّ ظِهَارُهُ كَالْمُسْلِمِ، وَيُعَلِّلُ الْحَنَفِيُّ فِي الْمُسْلِمِ بِأَنَّهُ يَصِحُّ تَكْفِيرُهُ وَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى وَجْهَيْنِ: فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: نَقُولُ بِالْعِلَّتَيْنِ لِأَنَّهُمَا لَا يَتَنَافَيَانِ بَلْ هُمَا مُتَّفِقَانِ عَلَى إِثْبَاتِ حُكْمٍ وَاحِدٍ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا نَقُولُ بِهِمَا بَلْ يُصَارُ إِلَى التَّرْجِيحِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي الْحُكْمِ عِلَّتَانِ وَثَلَاثَةٌ وَبَعْضُهَا يَتَعَدَّى وَبَعْضُهَا لَا يَتَعَدَّى، وَإِنْ كَانَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَتَعَدَّى إِلَى فُرُوعٍ لَا تَتَعَدَّى إِلَيْهَا الْأُخْرَى مِثْلَ أَنْ يُعَلِّلَ الشَّافِعِيُّ الْبِرَّ بِأَنَّهُ مَطْعُومٌ جِنْسٌ، وَيُعَلِّلَ الْحَنَفِيُّ بِأَنَّهُ مَكِيلٌ جِنْسٌ فَهَاتَانِ مُخْتَلِفَتَانِ فِي فُرُوعِهِمَا فَلَا يُمْكِنُ الْقَوْلُ بِهِمَا فَيَكُونُ حُكْمُهُمَا حُكْمَ الْعِلَّتَيْنِ مِنْ أَصْلَيْنِ، فَإِمَّا أَنْ يُفْسِدَ إِحْدَاهُمَا إِمَّا أَنْ تُرَجَّحَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى.

Dzimmi (non-Muslim yang dilindungi) bahwa talaknya sah maka ziharnya juga sah seperti Muslim, dan Hanafi menjelaskan pada Muslim bahwa kafaratnya sah dan para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat: di antara mereka ada yang mengatakan: kami mengatakan dengan dua 'illat karena keduanya tidak bertentangan bahkan keduanya sepakat untuk menetapkan satu hukum. Dan di antara mereka ada yang mengatakan: kami tidak mengatakan dengan keduanya tetapi beralih kepada tarjih dan yang pertama lebih sahih karena boleh jadi dalam satu hukum terdapat dua 'illat dan tiga dan sebagiannya bisa diterapkan dan sebagiannya tidak bisa diterapkan, dan jika masing-masing dari keduanya bisa diterapkan pada cabang-cabang yang tidak bisa diterapkan oleh yang lainnya seperti Syafi'i meng-'illat-kan gandum bahwa ia adalah makanan yang sejenis, dan Hanafi meng-'illat-kan bahwa ia adalah takaran yang sejenis maka kedua 'illat ini berbeda dalam cabang-cabangnya sehingga tidak mungkin dikatakan dengan keduanya maka hukum keduanya adalah hukum dua 'illat dari dua asal, maka adakalanya salah satunya rusak atau adakalanya salah satunya lebih kuat dari yang lainnya.

بَابُ القَوْلِ فِي تَرْجِيحِ إِحْدَى العِلَّتَيْنِ عَلَى الأُخْرَى

بَابُ الْقَوْلِ فِي تَرْجِيحِ إِحْدَى الْعِلَّتَيْنِ عَلَى الْأُخْرَى

Bab tentang perkataan dalam mengunggulkan salah satu dari dua 'illah atas yang lainnya

وَاعْلَمْ أَنَّ التَّرْجِيحَ لَا يَقَعُ بَيْنَ دَلِيلَيْنِ مُوجِبَيْنِ لِلْعِلْمِ وَلَا بَيْنَ عِلَّتَيْنِ مُوجِبَتَيْنِ لِلْعِلْمِ لِأَنَّ الْعِلْمَ لَا يَتَزَايَدُ إِنْ كَانَ بَعْضُهُ أَقْوَى مِنْ بَعْضٍ، وَكَذَلِكَ لَا يَقَعُ التَّرْجِيحُ بَيْنَ دَلِيلٍ مُوجِبٍ لِلْعِلْمِ أَوْ عِلَّةٍ مُوجِبَةٍ لِلْعِلْمِ وَبَيْنَ دَلِيلٍ أَوْ عِلَّةٍ مُوجِبَةٍ لِلظَّنِّ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَلِأَنَّ الْمُقْتَضَى لِلظَّنِّ لَا يَبْلُغُ رُتْبَةَ الْمُوجِبِ لِلْعِلْمِ وَلَوْ رُجِّحَ بِمَا رُجِّحَ لَكَانَ الْمُوجِبُ لِلْعِلْمِ مُقَدَّمًا عَلَيْهِ فَلَا مَعْنَى لِلتَّرْجِيحِ.

Ketahuilah bahwa tarjih tidak terjadi antara dua dalil yang mewajibkan ilmu, atau antara dua 'illah yang mewajibkan ilmu, karena ilmu tidak bertambah jika sebagiannya lebih kuat dari sebagian yang lain. Demikian pula, tarjih tidak terjadi antara dalil yang mewajibkan ilmu atau 'illah yang mewajibkan ilmu, dengan dalil atau 'illah yang mewajibkan dugaan, karena apa yang kami sebutkan dan karena muqtadha dugaan tidak mencapai tingkatan muwajib ilmu. Jika dirajihkan dengan apa yang dirajihkan, maka muwajib ilmu didahulukan atasnya, sehingga tidak ada makna bagi tarjih.

فَصْلٌ

Pasal

وَمَتَى تَعَارَضَتْ عِلَّتَانِ وَاحْتِيجَ فِيهِمَا إِلَى التَّرْجِيحِ رُجِّحَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى بِوَجْهٍ مِنْ وُجُوهِ التَّرْجِيحِ وَذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ.

Kapan pun dua 'illah saling bertentangan dan dibutuhkan tarjih pada keduanya, maka salah satunya dirajihkan atas yang lain dengan satu sisi dari beberapa sisi tarjih, dan itu dari beberapa sisi.

أَحَدُهَا: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا مُنْتَزَعَةً مِنْ أَصْلٍ مَقْطُوعٍ بِهِ وَالْأُخْرَى مِنْ أَصْلٍ غَيْرِ مَقْطُوعٍ بِهِ وَالْمُنْتَزَعَةُ مِنَ الْمَقْطُوعِ بِهِ أَوْلَى لِأَنَّ أَصْلَهَا أَقْوَى.

Salah satunya: bahwa salah satu dari keduanya diambil dari asal yang pasti dengannya, sedangkan yang lain dari asal yang tidak pasti dengannya. Yang diambil dari yang pasti dengannya lebih utama karena asalnya lebih kuat.

وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ أَصْلُ إِحْدَاهُمَا مَعَ الْإِجْمَاعِ عَلَيْهِ قَدْ عُرِفَ دَلِيلُهُ عَلَى التَّفْصِيلِ فَيَكُونُ أَقْوَى مِمَّنْ أَجْمَعُوا عَلَيْهِ وَلَمْ يُعْرَفْ دَلِيلُهُ عَلَى التَّفْصِيلِ لِأَنَّ مَا عُرِفَ دَلِيلُهُ يُمْكِنُ النَّظَرُ فِي مَعْنَاهُ وَتَرْجِيحُهُ عَلَى غَيْرِهِ.

Dan yang kedua: bahwa asal salah satunya bersama ijma' atasnya telah diketahui dalilnya secara terperinci, maka ia lebih kuat daripada yang mereka sepakati tetapi tidak diketahui dalilnya secara terperinci, karena apa yang diketahui dalilnya memungkinkan untuk melihat maknanya dan mengunggulkannya atas yang lain.

وَالثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ أَصْلُ إِحْدَاهُمَا قَدْ عُرِفَ بِنَطْقِ الْأَصْلِ وَأَصْلُ الْأُخْرَى بِمَفْهُومٍ أَوِ اسْتِنْبَاطٍ فَمَا عُرِفَ بِالنَّطْقِ أَقْوَى وَالْمُنْتَزَعُ مِنْهُ أَقْوَى.

Dan yang ketiga: bahwa asal salah satunya telah diketahui dengan perkataan asal, sedangkan asal yang lain dengan pemahaman atau istinbath, maka apa yang diketahui dengan perkataan lebih kuat dan yang diambil darinya lebih kuat.

وَالرَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ أَصْلُ إِحْدَاهُمَا عُمُومًا مَا يَخُصُّ وَأَصْلُ الْأُخْرَى عُمُومٌ دَخَلَهُ التَّخْصِيصُ فَالْمُنْتَزَعُ مِمَّا لَمْ يَدْخُلْهُ التَّخْصِيصُ أَوْلَى لِأَنَّ مَا دَخَلَهُ التَّخْصِيصُ أَضْعَفُ لِأَنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ قَدْ صَارَ مَجَازًا بِدُخُولِ التَّخْصِيصِ فِيهِ.

Dan keempat: bahwa asal salah satunya adalah keumuman yang khusus dan asal yang lainnya adalah keumuman yang dimasuki oleh takhshish (pengkhususan), maka yang diambil dari apa yang tidak dimasuki takhshish lebih utama karena apa yang dimasuki takhshish lebih lemah, karena di antara manusia ada yang mengatakan bahwa ia telah menjadi majaz dengan masuknya takhshish ke dalamnya.

وَالْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ أَصْلُ إِحْدَاهُمَا قَدْ نُصَّ عَلَى الْقِيَاسِ عَلَيْهِ وَأَصْلُ الْأُخْرَى لَمْ يُنَصَّ عَلَى الْقِيَاسِ عَلَيْهِ فَمَا وَرَدَ النَّصُّ بِالْقِيَاسِ عَلَيْهِ أَقْوَى.

Dan kelima: bahwa asal salah satunya telah dinyatakan secara tekstual untuk diqiyaskan dan asal yang lainnya tidak dinyatakan secara tekstual untuk diqiyaskan, maka apa yang dinyatakan oleh nash untuk diqiyaskan lebih kuat.

وَالسَّادِسُ: أَنْ يَكُونَ أَصْلُ إِحْدَاهُمَا مِنْ جِنْسِ الْفَرْعِ فَقِيَاسُهُ عَلَيْهِ أَوْلَى عَلَى مَا لَيْسَ مِنْ جِنْسِهِ. وَالسَّابِعُ أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا مَرْدُودَةً إِلَى أَصْلٍ وَالْأُخْرَى إِلَى أُصُولٍ فَمَا رُدَّتْ إِلَى أُصُولٍ أَوْلَى وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ هُمَا سَوَاءٌ وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ لِأَنَّ مَا كَثُرَتْ أُصُولُهُ أَقْوَى.

Dan keenam: bahwa asal salah satunya adalah dari jenis cabang (furu'), maka mengqiyaskannya kepadanya lebih utama daripada apa yang bukan dari jenisnya. Dan ketujuh: bahwa salah satunya dikembalikan kepada satu asal dan yang lainnya kepada beberapa asal, maka apa yang dikembalikan kepada beberapa asal lebih utama. Dan di antara sahabat kami ada yang mengatakan keduanya sama, dan yang pertama lebih jelas karena apa yang banyak asalnya lebih kuat.

وَالثَّامِنُ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَى الْعِلَّتَيْنِ صِفَةً ذَاتِيَّةً وَالْأُخْرَى صِفَةً حُكْمِيَّةً فَالْحُكْمِيَّةُ أَوْلَى. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ الذَّاتِيَّةُ أَوْلَى لِأَنَّهَا أَقْوَى وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ الْحُكْمَ بِالْحُكْمِ أَشْبَهُ فَهُوَ بِالدَّلَالَةِ عَلَيْهِ أَوْلَى.

Dan yang kedelapan: bahwa salah satu dari dua 'illah adalah sifat dzatiyah dan yang lainnya adalah sifat hukmiyah, maka hukmiyah lebih utama. Dan di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa dzatiyah lebih utama karena ia lebih kuat, dan yang pertama lebih shahih karena hukum dengan hukum lebih serupa, maka ia lebih utama dalam menunjukkan atasnya.

وَالتَّاسِعُ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا مَنْصُوصًا عَلَيْهَا وَالْأُخْرَى غَيْرُ مَنْصُوصٍ عَلَيْهَا فَالْعِلَّةُ الْمَنْصُوصُ عَلَيْهَا أَوْلَى لِأَنَّ النَّصَّ أَقْوَى مِنَ الِاسْتِنْبَاطِ.

Dan yang kesembilan: bahwa salah satunya adalah manshush 'alaiha (ada nash yang menunjukkannya) dan yang lainnya tidak manshush 'alaiha, maka 'illah yang manshush 'alaiha lebih utama karena nash lebih kuat daripada istinbath.

وَالْعَاشِرُ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا نَفْيًا وَالْأُخْرَى إِثْبَاتًا فَالْإِثْبَاتُ أَوْلَى لِأَنَّ النَّفْيَ مُخْتَلَفٌ فِي كَوْنِهِ عِلَّةً أَوْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا صِفَةً وَالْأُخْرَى اسْمًا فَالصِّفَةُ أَوْلَى لِأَنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ الِاسْمُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عِلَّةً.

Dan yang kesepuluh: bahwa salah satunya adalah nafyi (peniadaan) dan yang lainnya adalah itsbat (penetapan), maka itsbat lebih utama karena nafyi diperselisihkan dalam kedudukannya sebagai 'illah. Atau salah satunya adalah sifat dan yang lainnya adalah isim, maka sifat lebih utama karena di antara manusia ada yang mengatakan bahwa isim tidak boleh menjadi 'illah.

وَالْحَادِي عَشَرَ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا أَقَلَّ أَوْصَافًا وَالْأُخْرَى أَكْثَرَ أَوْصَافًا فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ الْقَلِيلَةُ الْأَوْصَافِ أَوْلَى لِأَنَّهَا اسْلَمُ. وَمِنْهُمْ قَالَ مَا كَثُرَتْ أَوْصَافُهُ أَوْلَى لِأَنَّهَا أَكْثَرُ مُشَابَهَةً لِلْأَصْلِ.

Dan yang kesebelas: bahwa salah satunya memiliki lebih sedikit sifat dan yang lainnya memiliki lebih banyak sifat. Maka di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa yang sedikit sifatnya lebih utama karena ia lebih selamat. Dan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa yang banyak sifatnya lebih utama karena ia lebih banyak menyerupai asal.

وَالثَّانِي عَشَرَ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا أَكْثَرَ فُرُوعًا مِنَ الْأُخْرَى فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ مَا كَثُرَتْ فُرُوعُهُ أَوْلَى لِأَنَّهَا أَكْثَرُ فَائِدَةً، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ هُمَا سَوَاءٌ.

Dan yang kedua belas: bahwa salah satu dari keduanya memiliki lebih banyak cabang daripada yang lain. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa yang banyak cabangnya lebih utama karena lebih banyak manfaatnya, dan di antara mereka ada yang mengatakan keduanya sama.

وَالثَّالِثَ عَشَرَ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا مُتَعَدِّيَةً وَالْأُخْرَى وَاقِفَةً فَالْمُتَعَدِّيَةُ أَوْلَى لِأَنَّهَا مُجْمَعٌ عَلَى صِحَّتِهَا وَالْوَاقِفَةُ مُخْتَلَفٌ فِي صِحَّتِهَا.

Dan yang ketiga belas: bahwa salah satunya adalah mutaʿaddiyah dan yang lainnya wāqifah, maka yang mutaʿaddiyah lebih utama karena disepakati kesahihannya, sedangkan yang wāqifah diperselisihkan kesahihannya.

وَالرَّابِعَ عَشَرَ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا تَطَّرِدُ وَتَنْعَكِسُ وَالْأُخْرَى تَطَّرِدُ وَلَا تَنْعَكِسُ فَالَّتِي تَطَّرِدُ وَتَنْعَكِسُ أَوْلَى لِأَنَّ الْعَكْسَ دَلِيلٌ عَلَى الصِّحَّةِ بِلَا خِلَافٍ وَالطَّرْدَ لَيْسَ بِدَلِيلٍ عَلَى قَوْلِ الْأَكْثَرِ.

Dan yang keempat belas: bahwa salah satunya konsisten dan dapat dibalik, sedangkan yang lainnya konsisten tetapi tidak dapat dibalik, maka yang konsisten dan dapat dibalik lebih utama karena pembalikan merupakan bukti kebenaran tanpa perselisihan, sedangkan konsistensi bukan merupakan bukti menurut pendapat mayoritas.

وَالْخَامِسَ عَشَرَ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا تَقْتَضِي احْتِيَاطًا فِي فَرْضٍ وَالْأُخْرَى لَا تَقْتَضِي الِاحْتِيَاطَ فَالَّتِي تَقْتَضِي الِاحْتِيَاطَ أَوْلَى لِأَنَّهَا أَسْلَمُ فِي الْمُوجِبِ.

Dan yang kelima belas: bahwa salah satunya mengharuskan kehati-hatian dalam suatu kewajiban, sedangkan yang lainnya tidak mengharuskan kehati-hatian, maka yang mengharuskan kehati-hatian lebih utama karena lebih aman dalam hal yang diwajibkan.

وَالسَّادِسَ عَشَرَ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا تَقْتَضِي الْحَظْرَ وَالْأُخْرَى تَقْتَضِي الْإِبَاحَةَ فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ هُمَا سَوَاءٌ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ الَّتِي تَقْتَضِي الْحَظْرَ أَوْلَى لِأَنَّهَا أَحْوَطُ.

Dan yang keenam belas: bahwa salah satunya mengharuskan larangan dan yang lainnya mengharuskan kebolehan, maka di antara sahabat kami ada yang mengatakan keduanya sama, dan di antara mereka ada yang mengatakan yang mengharuskan larangan lebih utama karena lebih berhati-hati.

وَالسَّابِعَ عَشَرَ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا تَقْتَضِي النَّقْلَ عَنِ الْأَصْلِ إِلَى شَرْعٍ وَالْأُخْرَى أَوْلَى تَقْتَضِي الْبَقَاءَ عَلَى الْأَصْلِ فَالنَّاقِلَةُ أَوْلَى. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ الْمُبْقِيَةُ أَوْلَى وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ النَّاقِلَةَ تُفِيدُ حُكْمًا شَرْعِيًّا.

Dan yang ketujuh belas: Jika salah satu dari keduanya mengharuskan pemindahan dari asal ke syariat, sedangkan yang lain lebih utama mengharuskan tetap pada asal, maka yang memindahkan lebih utama. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa yang mempertahankan lebih utama, namun pendapat pertama lebih sahih karena yang memindahkan memberikan hukum syar'i.

وَالثَّامِنَ عَشَرَ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا تُوجِبُ حَدًّا وَالْأُخْرَى تُسْقِطُهُ أَوْ إِحْدَاهُمَا تُوجِبُ الْعِتْقَ وَالْأُخْرَى تُسْقِطُهُ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ إِنَّ ذَلِكَ يُرَجِّحُ لِأَنَّ الْحَدَّ مَبْنِيٌّ عَلَى الدَّرْءِ وَالْعِتْقَ عَلَى الْإِيقَاعِ وَالتَّكْمِيلِ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إِنَّهُ لَا يُرَجِّحُ لِأَنَّ إِيجَابَ الْحَدِّ وَإِسْقَاطَهُ وَالْعِتْقَ وَالرِّقَّ فِي حُكْمِ الشَّرْعِ سَوَاءٌ.

Dan yang kedelapan belas: Jika salah satu dari keduanya mewajibkan had (hukuman) dan yang lain menggugurkannya, atau salah satu dari keduanya mewajibkan pembebasan budak dan yang lain menggugurkannya, maka di antara manusia ada yang mengatakan bahwa hal itu lebih kuat karena had dibangun atas dasar penolakan dan pembebasan budak atas dasar pelaksanaan dan penyempurnaan. Namun di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak lebih kuat karena mewajibkan had, menggugurkannya, membebaskan budak, dan perbudakan dalam hukum syariat adalah sama.

وَالتَّاسِعَ عَشَرَ: أَنْ تَكُونَ إِحْدَاهُمَا يُوَافِقُهَا عُمُومٌ وَالْأُخْرَى لَا يُوَافِقُهَا فَمَا يُوَافِقُهَا الْعُمُومُ أَوْلَى وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ الَّتِي تُوجِبُ التَّخْصِيصَ أَوْلَى وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ، لِأَنَّ الْعُمُومَ دَلِيلٌ نَفْسُهُ فَإِذَا انْضَمَّ إِلَى الْقِيَاسِ قَوَّاهُ.

Dan yang kesembilan belas: Jika salah satu dari keduanya sesuai dengan keumuman dan yang lain tidak sesuai dengannya, maka yang sesuai dengan keumuman lebih utama. Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa yang mewajibkan pengkhususan lebih utama, namun pendapat pertama lebih sahih, karena keumuman merupakan dalil tersendiri. Jika digabungkan dengan qiyas, maka akan menguatkannya.

وَالْعِشْرُونَ: أَنْ يَكُونَ مَعَ إِحْدَاهُمَا قَوْلُ صَحَابِيٍّ فَهُوَ أَوْلَى لِأَنَّ قَوْلَ الصَّحَابِيِّ حُجَّةٌ فِي قَوْلِ بَعْضِ الْعُلَمَاءِ فَإِذَا انْضَمَّ إِلَى الْقِيَاسِ قَوَّاهُ.

Dan yang kedua puluh: Jika bersama salah satu dari keduanya terdapat perkataan sahabat, maka itu lebih utama karena perkataan sahabat merupakan hujjah menurut pendapat sebagian ulama. Jika digabungkan dengan qiyas, maka akan menguatkannya.

بَابُ القَوْلِ فِي الاسْتِحْسَانِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي الِاسْتِحْسَانِ

Bab Perkataan tentang Istihsan

الِاسْتِحْسَانُ الْمَحْكِيُّ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ هُوَ الْحُكْمُ بِمَا يَسْتَحْسِنُهُ مِنْ غَيْرِ دَلِيلٍ. وَاخْتَلَفَ الْمُتَأَخِّرُونَ مِنْ أَصْحَابِهِ فِي مَعْنَاهُ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ تَخْصِيصُ الْعِلَّةِ بِمَعْنًى يُوجِبُ التَّخْصِيصَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ: تَخْصِيصُ بَعْضِ الْجُمْلَةِ بِدَلِيلٍ يُخَصِّصُهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: هُوَ قَوْلٌ بِأَقْوَى الدَّلِيلَيْنِ وَقَدْ يَكُونُ هَذَا الدَّلِيلُ إِجْمَاعًا وَقَدْ يَكُونُ نَصًّا وَقَدْ يَكُونُ قِيَاسًا وَقَدْ يَكُونُ اسْتِدْلَالًا.

Istihsan yang diriwayatkan dari Abu Hanifah ﵀ adalah hukum dengan apa yang dianggap baik tanpa dalil. Para ulama belakangan dari pengikutnya berbeda pendapat tentang maknanya. Sebagian mengatakan: ia adalah mengkhususkan 'illah dengan makna yang mengharuskan pengkhususan. Sebagian lagi mengatakan: mengkhususkan sebagian jumlah dengan dalil yang mengkhususkannya. Sebagian lagi mengatakan: ia adalah perkataan dengan dalil yang lebih kuat, dan dalil ini bisa jadi ijma', bisa jadi nash, bisa jadi qiyas, dan bisa jadi istidlal.

فَالنَّصُّ: مِثْلُ قَوْلِهِمْ: إِنَّ الْقِيَاسَ أَنْ لَا يَثْبُتَ الْخِيَارُ فِي الْبَيْعِ لِأَنَّهُ غَرَرٌ وَلَكِنْ اسْتَحْسَنَّاهُ لِلْخَبَرِ.

Adapun nash, seperti perkataan mereka: Sesungguhnya qiyas tidak menetapkan khiyar dalam jual beli karena ia adalah gharar, tetapi kami menganggapnya baik karena khabar.

وَالْإِجْمَاعُ: مِثْلُ قَوْلِهِمْ: إِنَّ الْقِيَاسَ أَنْ لَا يَجُوزَ دُخُولُ الْحَمَّامِ إِلَّا بِأُجْرَةٍ مَعْلُومَةٍ لِأَنَّهُ انْتِفَاعٌ مَكَانٍ وَلَا الْجُلُوسُ فِيهِ إِلَّا قَدْرًا مَعْلُومًا وَلَكِنْ اسْتَحْسَنَّاهُ لِلْإِجْمَاعِ.

Adapun ijma', seperti perkataan mereka: Sesungguhnya qiyas tidak membolehkan masuk ke pemandian kecuali dengan upah yang diketahui karena ia adalah pemanfaatan tempat, dan tidak boleh duduk di dalamnya kecuali dalam kadar yang diketahui, tetapi kami menganggapnya baik karena ijma'.

وَالْقِيَاسُ: مِثْلُ قَوْلِهِمْ: فِيمَنْ حَلَفَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي: أَنَّ الْقِيَاسَ انه يَحْنَثُ بِالدُّخُولِ فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ يُسَمَّى مُصَلِّيًا وَلَكِنْ اسْتَحْسَنَّا أَنَّهُ لَا يَحْنَثُ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَ بِأَكْثَرِ الرَّكْعَةِ لِأَنَّ مَا دُونَ أَكْثَرِ الرَّكْعَةِ لَا يُعْتَدُّ بِهِ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَا لَوْ لَمْ يُكَبِّرْ. وَالِاسْتِدْلَالُ مِثْلُ قَوْلِهِمْ إِنَّ الْقِيَاسَ أَنْ مَنْ قَالَ: إِنْ فَعَلْتُ كَذَا فَأَنَا يَهُودِيٌّ أَوْ نَصْرَانِيٌّ أَنَّهُ لَا يَكُونُ حَالِفًا لِأَنَّهُ لَمْ يَحْلِفْ بِاللَّهِ تَعَالَى وَلَكِنْ اسْتَحْسَنَّا أَنَّهُ يَحْنَثُ بِضَرْبٍ مِنَ الِاسْتِدْلَالِ وَهُوَ أَنَّ الْهَاتِكَ لِلْحُرْمَةِ بِهَذَا الْقَوْلِ بِمَنْزِلَةِ الْهَاتِكِ لِحُرْمَةِ قَوْلِهِ وَاللَّهِ وَهَذَا أَيْضًا قِيَاسًا إِلَّا أَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنَّ هَذَا اسْتِدْلَالٌ وَيُفَرِّقُونَ بَيْنَ الْقِيَاسِ وَالِاسْتِدْلَالِ فَإِنْ كَانَ الِاسْتِحْسَانُ هُوَ الْحُكْمُ بِمَا يَهْجُسُ فِي نَفْسِهِ وَيَسْتَحْسِنُهُ مِنْ غَيْرِ دَلِيلٍ فَهَذَا ظَاهِرُ الْفَسَادِ لِأَنَّ ذَلِكَ حُكْمٌ بِالْهَوَى وَاتِّبَاعٌ لِلشَّهْوَةِ وَالْأَحْكَامُ مَأْخُوذَةٌ مِنْ أَدِلَّةِ الشَّرْعِ لَا مِمَّا يَقَعُ فِي النَّفْسِ وَإِنْ كَانَ الِاسْتِحْسَانُ مَا يَقُولُهُ أَصْحَابُهُ مِنْ أَنَّهُ تَخْصِيصُ الْعِلَّةِ فَقَدْ مَضَى الْقَوْلُ فِي ذَلِكَ وَدَلَّلْنَا عَلَى فَسَادِهِ وَإِنْ كَانَ تَخْصِيصُ بَعْضِ الْجُمْلَةِ مِنَ الْجُمْلَةِ بِدَلِيلٍ يُخَصِّصُهَا أَوِ الْحُكْمُ بِأَقْوَى الدَّلِيلَيْنِ فَهَذَا مِمَّا لَا يُنْكِرُهُ أَحَدٌ فَيَسْقُطُ الْخِلَافُ فِي الْمَسْأَلَةِ وَيَحْصُلُ الْخِلَافُ فِي أَعْيَانِ الْأَدِلَّةِ الَّتِي يَزْعُمُونَ أَنَّهَا أَدِلَّةٌ خَصُّوا بِهَا الْجُمْلَةَ أَوْ دَلِيلٌ أَوْقَى مِنْ دَلِيلٍ.

Dan qiyas: seperti perkataan mereka: pada orang yang bersumpah bahwa dia tidak akan shalat: bahwa qiyas adalah dia berdosa dengan masuk ke dalam shalat karena dia disebut orang yang shalat, tetapi kami memandang baik bahwa dia tidak berdosa kecuali jika dia melakukan lebih dari satu rakaat karena kurang dari satu rakaat tidak dianggap, maka itu seperti seandainya dia tidak bertakbir. Dan istidlal seperti perkataan mereka bahwa qiyas adalah orang yang berkata: jika aku melakukan ini maka aku adalah Yahudi atau Nasrani, bahwa dia tidak dianggap bersumpah karena dia tidak bersumpah dengan nama Allah Ta'ala, tetapi kami memandang baik bahwa dia berdosa dengan satu jenis istidlal yaitu bahwa orang yang melanggar kehormatan dengan perkataan ini seperti orang yang melanggar kehormatan perkataannya "demi Allah", dan ini juga qiyas, hanya saja mereka menyangka bahwa ini adalah istidlal dan mereka membedakan antara qiyas dan istidlal. Jika istihsan adalah hukum dengan apa yang terlintas dalam dirinya dan dia memandangnya baik tanpa dalil, maka ini jelas rusak karena itu adalah hukum dengan hawa nafsu dan mengikuti syahwat, sedangkan hukum-hukum diambil dari dalil-dalil syariat, bukan dari apa yang ada dalam diri. Jika istihsan adalah apa yang dikatakan oleh para pengikutnya bahwa itu adalah pengkhususan illat, maka telah berlalu perkataan tentang itu dan kami telah menunjukkan kerusakannya. Jika itu adalah pengkhususan sebagian kalimat dari kalimat dengan dalil yang mengkhususkannya atau hukum dengan dalil yang lebih kuat dari dua dalil, maka ini adalah sesuatu yang tidak diingkari oleh siapa pun, sehingga gugur perselisihan dalam masalah ini dan terjadi perselisihan dalam dalil-dalil tertentu yang mereka klaim bahwa itu adalah dalil-dalil yang mereka khususkan dengannya kalimat atau dalil yang lebih kuat dari dalil.

بَابُ القَوْلِ فِي بَيَانِ الأَشْيَاءِ قَبْلَ الشَّرْعِ وَاسْتِصْحَابِ الحَالِ وَالقَوْلِ بِأَقَلِّ مَا قِيلَ وَإِيجَابِ الدَّلِيلِ عَلَى البَاقِي

بَابُ الْقَوْلِ فِي بَيَانِ الْأَشْيَاءِ قَبْلَ الشَّرْعِ وَاسْتِصْحَابِ الْحَالِ وَالْقَوْلِ بِأَقَلِّ مَا قِيلَ وَإِيجَابِ الدَّلِيلِ عَلَى الْبَاقِي

Bab tentang perkataan dalam menjelaskan sesuatu sebelum syariat, istishab al-hal, perkataan dengan pendapat yang paling sedikit, dan kewajiban dalil atas yang tersisa

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي الْأَعْيَانِ الْمُنْتَفَعِ بِهَا قَبْلَ وُرُودِ الشَّرْعِ، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ أَنَّهَا عَلَى الْوَقْفِ لَا يُقْضَى فِيهَا بِحَظْرٍ وَلَا إِبَاحَةٍ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ الطَّبَرِيِّ وَهُوَ مَذْهَبُ الْأَشْعَرِيَّةِ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ هُوَ عَلَى الْإِبَاحَةِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَأَبِي إِسْحَاقَ، فَإِذَا رَأَى شَيْئًا جَازَ لَهُ تَمَلُّكُهُ وَتَنَاوُلُهُ وَهُوَ قَوْلُ الْمُعْتَزِلَةِ الْبَصْرِيِّينَ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ هُوَ عَلَى الْحَظْرِ فَلَا يَحِلُّ لَهُ الِانْتِفَاعُ بِهَا وَلَا التَّصَرُّفُ فِيهَا وَهُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ قَوْلُ الْمُعْتَزِلَةِ الْبَغْدَادِيِّينَ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْعَقْلُ يُوجِبُ فِي هَذِهِ الْأَعْيَانِ حُكْمًا مِنْ حَظْرٍ أَوْ إِبَاحَةٍ لَمَا وَرَدَ الشَّرْعُ فِيهَا بِخِلَافِ ذَلِكَ وَلَمَا جَازَ وُرُودُ الشَّرْعِ بِالْإِبَاحَةِ مَرَّةً وَبِالْحَظْرِ مَرَّةً أُخْرَى دَلَّ عَلَى أَنَّ الْعَقْلَ لَا يُوجِبُ فِي ذَلِكَ حَظْرًا وَلَا إِبَاحَةً.

Para sahabat kami berbeda pendapat tentang benda-benda yang dapat dimanfaatkan sebelum datangnya syariat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa benda-benda tersebut bersifat mauquf (ditangguhkan), tidak ada keputusan haram atau boleh terhadapnya. Ini adalah pendapat Abu Ali ath-Thabari dan merupakan mazhab Asy'ariyah. Di antara sahabat kami ada yang berpendapat bahwa benda-benda tersebut boleh dimanfaatkan, ini adalah pendapat Abu al-Abbas dan Abu Ishaq. Jika seseorang melihat sesuatu, maka ia boleh memilikinya dan mengambilnya. Ini adalah pendapat Mu'tazilah Basrah. Ada juga di antara mereka yang berpendapat bahwa benda-benda tersebut haram, sehingga tidak halal memanfaatkannya atau bertransaksi dengannya. Ini adalah pendapat Abu Ali bin Abu Hurairah dan merupakan pendapat Mu'tazilah Baghdad. Pendapat yang pertama lebih sahih, karena seandainya akal mewajibkan suatu hukum terhadap benda-benda ini, baik haram atau boleh, tentu syariat tidak akan datang dengan hukum yang berbeda. Juga tidak mungkin syariat datang dengan hukum boleh pada suatu waktu dan haram pada waktu yang lain. Ini menunjukkan bahwa akal tidak mewajibkan keharaman atau kebolehan dalam masalah ini.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا اسْتِصْحَابُ الْحَالِ فَضَرْبَانِ: اسْتِصْحَابُ حَالِ الْعَقْلِ وَاسْتِصْحَابُ حَالِ الْإِجْمَاعِ.

Adapun istishab al-hal ada dua jenis: istishab keadaan akal dan istishab keadaan ijma'.

فَأَمَّا اسْتِصْحَابُ حَالِ الْعَقْلِ فَهُوَ الرُّجُوعُ إِلَى بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ فِي الْأَصْلِ وَذَلِكَ طَرِيقٌ يَفْزَعُ إِلَيْهِ الْمُجْتَهِدُ عِنْدَ عَدَمِ أَدِلَّةِ الشَّرْعِ وَلَا يَنْتَقِلُ عَنْهَا إِلَّا بِدَلِيلٍ شَرْعِيٍّ يَنْقُلُهُ عَنْهُ فَإِنْ وَجَدَ دَلِيلًا مِنْ أَدِلَّةِ الشَّرْعِ انْتَقَلَ عَنْهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ الدَّلِيلُ نَطْقًا أَوْ مَفْهُومًا أَوْ نَصًّا أَوْ ظَاهِرًا لِأَنَّ هَذِهِ الْحَالَ إِنَّمَا اسْتَصْحَبَهَا لِعَدَمِ دَلِيلٍ شَرْعِيٍّ فَأَيُّ دَلِيلٍ ظَهَرَ مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ حَرُمَ عَلَيْهِ اسْتِصْحَابُ الْحَالِ بَعْدَهُ.

Adapun istishab keadaan akal adalah kembali kepada kebebasan tanggungan pada asalnya, dan itu adalah jalan yang ditempuh oleh mujtahid ketika tidak ada dalil-dalil syariat. Dia tidak berpindah darinya kecuali dengan dalil syar'i yang memindahkannya darinya. Jika dia menemukan dalil dari dalil-dalil syariat, dia berpindah darinya, baik dalil itu berupa nash, mafhum, nash, atau zhahir, karena keadaan ini dia istishab-kan karena tidak adanya dalil syar'i. Maka dalil apa pun yang muncul dari arah syariat, haram baginya untuk istishab keadaan setelahnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَالضَّرْبُ الثَّانِي: اسْتِصْحَابُ حَالِ الْإِجْمَاعِ وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَقُولَ الشَّافِعِيُّ ﵁ فِي الْمُتَيَمِّمِ إِذَا رَأَى الْمَاءَ فِي أَثْنَاءِ صَلَاتِهِ إِنَّهُ يُمْضِي فِيهَا لِأَنَّهُمْ أَجْمَعُوا قَبْلَ رُؤْيَةِ الْمَاءِ عَلَى انْعِقَادِ صَلَاتِهِ فَيَجِبُ أَنْ تُسْتَصْحَبَ هَذِهِ الْحَالُ بَعْدَ

Jenis kedua: istishab keadaan ijma', yaitu seperti perkataan Imam Syafi'i ﵁ tentang orang yang bertayamum, jika dia melihat air di tengah-tengah shalatnya, maka dia meneruskan shalatnya, karena mereka telah bersepakat sebelum melihat air atas sahnya shalatnya. Maka wajib untuk istishab keadaan ini setelah

رُؤْيَةُ الْمَاءِ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ يَنْقُلُهُ عَنْهُ فَهَذَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ. فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: أَنَّ ذَلِكَ دَلِيلٌ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي بَكْرٍ الصَّيْرَفِيِّ مِنْ أَصْحَابِنَا. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِدَلِيلٍ وَهُوَ الصَّحِيحُ لِأَنَّ الدَّلِيلَ هُوَ الْإِجْمَاعُ وَالْإِجْمَاعُ إِنَّمَا حَصَلَ قَبْلَ رُؤْيَةٍ وَإِذَا رَأَى الْمَاءَ فَقَدْ زَالَ الْإِجْمَاعُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَصْحِبَ حُكْمَ الْإِجْمَاعِ فِي مَوْضِعِ الْخِلَافِ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ تَجْمَعُ بَيْنَهُمَا.

Melihat air sampai ada dalil yang memindahkannya darinya, maka dalam hal ini para sahabat kami berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan: bahwa itu adalah dalil, dan ini adalah pendapat Abu Bakr al-Shairafi dari sahabat kami. Dan di antara mereka ada yang mengatakan: bahwa itu bukanlah dalil, dan ini adalah pendapat yang benar, karena dalil adalah ijma', dan ijma' hanya terjadi sebelum melihat. Dan ketika ia melihat air maka ijma' telah hilang, sehingga tidak boleh mengikuti hukum ijma' dalam tempat perselisihan tanpa ada 'illah yang menyatukan antara keduanya.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا الْقَوْلُ بِأَقَلِّ مَا قِيلَ فَهُوَ أَنْ يَخْتَلِفَ النَّاسُ فِي حَادِثَةٍ عَلَى قَوْلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ فَقَضَى بَعْضُهُمْ فِيهَا بِقَدْرٍ وَقَضَى بَعْضُهُمْ فِيهَا بِأَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ الْقَدْرِ وَذَلِكَ مِثْلُ اخْتِلَافِهِمْ فِي دِيَةِ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ. فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: تَجِبُ فِيهِ دِيَةُ مُسْلِمٍ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: تَجِبُ فِيهِ نِصْفُ دِيَةِ مُسْلِمٍ. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: تَجِبُ فِيهِ ثُلُثُ دِيَةِ مُسْلِمٍ، فَهَذَا الِاسْتِدْلَالُ بِهِ مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا مِنْ جِهَةِ اسْتِصْحَابِ الْحَالِ فِي بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ إِلَّا فِيمَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَيْهِ مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ، وَقَدْ دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى اشْتِغَالِ ذِمَّتِهِ بِثُلُثِ الدِّيَةِ وَهُوَ الْإِجْمَاعُ وَمَا زَادَ عَلَيْهِ بَاقٍ عَلَى بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ فَلَا يَجُوزُ إِيجَابُهُ إِلَّا بِدَلِيلٍ فَهَذَا اسْتِدْلَالٌ صَحِيحٌ لِأَنَّهُ اسْتِصْحَابُ حَالِ الْعَقْلِ فِي بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ. وَالثَّانِي أَنْ يَقُولَ هَذَا الْقَوْلُ مُتَيَقَّنٌ وَمَا زَادَ مَشْكُوكٌ فِيهِ فَلَا يَجُوزُ إِيجَابُهُ بِالشَّكِّ، فَهَذَا لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِيجَابُ الزِّيَادَةِ بِالشَّكِّ فَلَا يَجُوزُ أَيْضًا إِسْقَاطُ الزِّيَادَةِ بِالشَّكِّ.

Adapun pendapat dengan jumlah terendah yang disebutkan adalah bahwa orang-orang berbeda pendapat dalam suatu peristiwa menjadi dua atau tiga pendapat, lalu sebagian mereka memutuskan dengan suatu kadar dan sebagian lagi memutuskan dengan kadar yang lebih rendah dari itu, seperti perbedaan pendapat mereka tentang diyat (denda) orang Yahudi dan Nasrani. Di antara mereka ada yang mengatakan: Wajib membayar diyat seorang Muslim. Ada pula yang mengatakan: Wajib membayar setengah diyat seorang Muslim. Dan ada pula yang mengatakan: Wajib membayar sepertiga diyat seorang Muslim. Maka pengambilan dalil dengan hal ini dari dua sisi, salah satunya dari sisi istishab (melanjutkan hukum asal) pada bebasnya tanggungan, yaitu dengan mengatakan bahwa hukum asal adalah bebasnya tanggungan kecuali pada apa yang ditunjukkan dalil dari sisi syariat. Dan telah ada dalil yang menunjukkan keharusan membayar sepertiga diyat, yaitu ijma' (konsensus ulama), sedangkan yang lebih dari itu tetap pada hukum asal bebasnya tanggungan, maka tidak boleh mewajibkannya kecuali dengan dalil. Ini adalah pengambilan dalil yang benar karena merupakan istishab keadaan akal pada bebasnya tanggungan. Yang kedua adalah dengan mengatakan bahwa pendapat ini diyakini sedangkan yang lebih dari itu diragukan, maka tidak boleh mewajibkannya karena keraguan. Ini tidak benar, karena tidak boleh mewajibkan tambahan karena keraguan, maka tidak boleh pula menggugurkan tambahan karena keraguan.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا النَّافِي لِلْحُكْمِ فَهُوَ كَالْمُثْبِتِ فِي وُجُوبِ الدَّلِيلِ عَلَيْهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ النَّافِي لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ. وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ إِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي الْعَقْلِيَّاتِ فَعَلَيْهِ الدَّلِيلُ وَإِنْ كَانَ فِي الشَّرْعِيَّاتِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَلِيلٌ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّ الْقَطْعَ بِالنَّفْيِ لَا يُعْلَمُ إِلَّا عَنْ دَلِيلٍ كَمَا أَنَّ الْقَطْعَ بِالْإِثْبَاتِ لَا يُعْلَمُ إِلَّا عَنْ دَلِيلٍ وَكَمَا لَا يُقْبَلُ الْإِثْبَاتُ إِلَّا بِدَلِيلٍ فَكَذَلِكَ النَّفْيُ.

Adapun yang menafikan hukum, maka ia seperti yang menetapkan dalam keharusan adanya dalil atasnya. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa yang menafikan tidak memerlukan dalil. Di antara manusia ada yang mengatakan jika itu dalam perkara akal maka wajib atasnya dalil, dan jika dalam perkara syariat maka tidak wajib atasnya dalil. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa keyakinan dengan penafian tidak diketahui kecuali dengan dalil, sebagaimana keyakinan dengan penetapan tidak diketahui kecuali dengan dalil. Sebagaimana penetapan tidak diterima kecuali dengan dalil, maka demikian pula penafian.

بَابٌ فِي بَيَانِ تَرْتِيبِ اسْتِعْمَالِ الأَدِلَّةِ وَاسْتِخْرَاجِهَا

بَابٌ فِي بَيَانِ تَرْتِيبِ اسْتِعْمَالِ الْأَدِلَّةِ وَاسْتِخْرَاجِهَا

Bab tentang penjelasan urutan penggunaan dalil-dalil dan cara mengekstraknya

وَاعْلَمْ أَنَّهُ إِذَا نَزَلَتْ بِالْعَالَمِ نَازِلَةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ طَلَبُهَا فِي النُّصُوصِ وَالظَّوَاهِرِ فِي مَنْطُوقِهَا وَمَفْهُومِهَا وَفِي أَفْعَالِ الرَّسُولِ ﷺ وَإِقْرَارِهِ وَفِي إِجْمَاعِ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ فَإِنْ وَجَدَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ قَضَى بِهِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ طَلَبَهُ فِي الْأُصُولِ وَالْقِيَاسِ عَلَيْهَا وَبَدَأَ فِي طَلَبِ الْعِلَّةِ بِالنَّصِّ فَإِنْ وَجَدَ التَّعْلِيلَ مَنْصُوصًا عَلَيْهِ عَمِلَ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَنْصُوصَ عَلَيْهِ ضَمَّ إِلَيْهِ غَيْرَهُ مِنَ الْأَوْصَافِ الَّتِي دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَيْهَا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فِي النَّصِّ عَدَلَ إِلَى الْمَفْهُومِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فِي ذَلِكَ نَظَرَ فِي الْأَوْصَافِ الْمُؤَثِّرَةِ فِي الْأُصُولِ مِنْ ذَلِكَ الْحُكْمِ وَاخْتَبَرَهَا مُنْفَرِدَةً وَمُجْتَمِعَةً فَمَا سَلِمَ مِنْهَا مُنْفَرِدًا أَوْ مُجْتَمِعًا عَلَّقَ الْحُكْمَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَجِدْ عَلَّلَ بِالْأَشْبَاهِ الدَّالَّةِ عَلَى الْحُكْمِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ عَلَّلَ بِالْأَشْبَهِ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَرَى مُجَرَّدَ الشَّبَهِ وَإِنْ لَمْ تَسْلَمْ لَهُ عِلَّةٌ فِي الْأَصْلِ عَلِمَ أَنَّ الْحُكْمَ مَقْصُورٌ عَلَى الْأَصْلِ لَا يَتَعَدَّاهُ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فِي الْحَادِثَةِ دَلِيلًا يَدُلُّهُ عَلَيْهَا مِنْ جِهَةِ الشَّرْعِ لَا نَصًّا وَلَا اسْتِنْبَاطًا أَبْقَاهُ عَلَى حُكْمِ الْأَصْلِ فِي الْعَقْلِ عَلَى مَا قَدَّمْنَاهُ.

Dan ketahuilah bahwa jika terjadi suatu peristiwa pada seorang alim, maka wajib baginya untuk mencarinya dalam nash-nash dan zhawahir, baik dalam manthuq maupun mafhumnya, dalam perbuatan Rasulullah ﷺ dan persetujuannya, serta dalam ijma' para ulama di berbagai negeri. Jika ia menemukan dalam salah satu dari itu sesuatu yang menunjukkan hukumnya, maka ia memutuskan dengannya. Jika tidak, maka ia mencarinya dalam ushul dan qiyas terhadapnya. Ia memulai pencarian 'illat dengan nash. Jika ia menemukan ta'lil yang dinashkan, maka ia mengamalkannya. Jika tidak menemukan yang dinashkan, maka ia menggabungkan sifat-sifat lain yang ditunjukkan oleh dalil. Jika tidak menemukan dalam nash, maka ia beralih ke mafhum. Jika tidak menemukan dalam itu, maka ia melihat sifat-sifat yang berpengaruh dalam ushul dari hukum tersebut dan mengujinya secara terpisah dan tergabung. Apa yang selamat darinya secara terpisah atau tergabung, maka ia menggantungkan hukum padanya. Jika tidak menemukan, maka ia ber'illat dengan keserupaan yang menunjukkan hukum sebagaimana yang telah kami sebutkan. Jika tidak menemukan, maka ia ber'illat dengan yang lebih serupa jika ia termasuk orang yang berpendapat dengan keserupaan semata. Jika tidak ada 'illat yang selamat baginya dalam asal, maka ia mengetahui bahwa hukum terbatas pada asal dan tidak melampaui. Jika ia tidak menemukan dalam peristiwa itu dalil yang menunjukkannya dari sisi syariat, baik nash maupun istinbath, maka ia membiarkannya pada hukum asal secara akal sebagaimana yang telah kami sebutkan.

القَوْلُ فِي التَّقْلِيدِ

بَابُ بَيَانِ مَا يَسُوغُ فِيهِ التَّقْلِيدُ وَمَا لَا يَسُوغُ

القَوْلُ فِي التَّقْلِيدِ

Perkataan tentang taqlid

بَابُ بَيَانِ مَا يَسُوغُ فِيهِ التَّقْلِيدُ وَمَا لَا يَسُوغُ وَمَنْ يَسُوغُ لَهُ التَّقْلِيدُ وَمَنْ لَا يَسُوغُ

Bab penjelasan tentang apa yang diperbolehkan taqlid di dalamnya dan apa yang tidak diperbolehkan, serta siapa yang diperbolehkan untuk taqlid dan siapa yang tidak diperbolehkan

قَدْ بَيَّنَّا الْأَدِلَّةَ الَّتِي يَرْجِعُ إِلَيْهَا الْمُجْتَهِدُ فِي مَعْرِفَةِ الْحُكْمِ وَبَقِيَ الْكَلَامُ فِي بَيَانِ مَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ الْعَامِلُ فِي الْعَمَلِ وَهُوَ التَّقْلِيدُ، وَجُمْلَتُهُ أَنَّ التَّقْلِيدَ قَبُولُ الْقَوْلِ مِنْ غَيْرِ دَلِيلٍ. وَالْأَحْكَامُ عَلَى ضَرْبَيْنِ عَقْلِيٌّ وَشَرْعِيٌّ.

Kami telah menjelaskan dalil-dalil yang menjadi rujukan mujtahid dalam mengetahui hukum. Tersisa pembahasan tentang penjelasan apa yang menjadi rujukan orang awam dalam beramal, yaitu taqlid. Intinya, taqlid adalah menerima perkataan tanpa dalil. Hukum ada dua macam: 'aqli dan syar'i.

فَأَمَّا الْعَقْلِيُّ فَلَا يَجُوزُ فِيهِ التَّقْلِيدُ كَمَعْرِفَةِ الصَّانِعِ وَصِفَاتِهِ وَمَعْرِفَةِ الرَّسُولِ ﷺ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَحْكَامِ الْعَقْلِيَّةِ وَحُكِيَ عَنْ أَبِي عُبَيْدِ اللهِ بْنِ الْحَسَنِ الْعَنْبَرِيِّ أَنَّهُ قَالَ يَجُوزُ التَّقْلِيدُ فِي أُصُولِ الدِّينِ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِ اللهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ﴾ ١. فَذَمَّ قَوْمًا اتَّبَعُوا آبَاءَهُمْ فِي الدِّينِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ لِأَنَّ طَرِيقَ هَذِهِ الْأَحْكَامِ الْعَقْلُ وَالنَّاسُ كُلُّهُمْ يَشْتَرِكُونَ فِي الْعَقْلِ فَلَا مَعْنَى لِلتَّقْلِيدِ فِيهِ.

Adapun masalah aqli, maka tidak boleh taqlid di dalamnya seperti mengenal Pencipta dan sifat-sifat-Nya, mengenal Rasulullah ﷺ, dan hukum-hukum aqli lainnya. Diriwayatkan dari Abu Ubaidillah bin Al-Hasan Al-'Anbari bahwa ia berkata: "Boleh taqlid dalam ushuluddin." Ini adalah kesalahan berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." (QS. Az-Zukhruf: 22) ¹. Allah mencela suatu kaum yang mengikuti bapak-bapak mereka dalam agama. Ini menunjukkan bahwa hal itu tidak boleh, karena jalan hukum-hukum ini adalah akal, dan manusia semuanya bersekutu dalam akal, maka tidak ada makna taqlid di dalamnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الشَّرْعِيُّ فَضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يُعْلَمُ ضَرُورَةً مِنْ دِينِ الرَّسُولِ ﷺ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَالزَّكَوَاتِ وَصَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ وَتَحْرِيمِ الزِّنَا وَشُرْبِ الْخَمْرِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، فَهَذَا لَا يَجُوزُ التَّقْلِيدُ فِيهِ لِأَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ يَشْتَرِكُونَ فِي إِدْرَاكِهِ وَالْعِلْمِ بِهِ، فَلَا مَعْنَى لِلتَّقْلِيدِ فِيهِ، وَضَرْبٌ لَا يُعْلَمُ إِلَّا بِالنَّظَرِ وَالِاسْتِدْلَالِ، كَفُرُوعِ الْعِبَادَاتِ وَالْمُعَامَلَاتِ وَالْفُرُوجِ وَالْمَنَاكِحَاتِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَحْكَامِ فَهَذَا يَسُوغُ فِيهِ التَّقْلِيدُ. وَحُكِيَ عَنْ أَبِي عَلِيٍّ الْجُبَائِيِّ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ

Adapun hukum syariat ada dua jenis: Pertama, hukum yang diketahui secara pasti (ḍarūrī) dari agama Rasulullah ﷺ seperti shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, haji, pengharaman zina, minum khamar, dan yang semisalnya. Maka tidak boleh taklid dalam hal ini karena semua manusia sama-sama mengetahui dan memahaminya, sehingga tidak ada makna taklid di dalamnya. Kedua, hukum yang tidak diketahui kecuali dengan penelitian dan istidlal, seperti cabang-cabang ibadah, muamalah, kemaluan, pernikahan, dan hukum-hukum lainnya. Maka dalam hal ini boleh taklid. Diriwayatkan dari Abu Ali Al-Jubba'i bahwa ia berkata: Sesungguhnya

_________
١ سُورَةُ الزُّخْرُفِ الْآيَةُ: ٢٢.
1 Surat Az-Zukhruf ayat 22.

كَانَ ذَلِكَ مِمَّا يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ جَازَ وَإِنْ كَانَ مِمَّا لَا يَجُوزُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ لَمْ يَجُزْ. وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ﴾ ١ وَلِأَنَّا لَوْ مَنَعْنَا التَّقْلِيدَ فِيهِ لَاحْتَاجَ كُلُّ أَحَدٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ ذَلِكَ، وَفِي إِيجَابِ ذَلِكَ قَطْعٌ عَنِ الْمَعَاشِ وَهَلَاكُ الْحَرْثِ وَالزَّرْعِ فَوَجَبَ أَنْ يَسْقُطَ.

Jika itu adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk berijtihad, maka itu diperbolehkan. Namun, jika itu adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan untuk berijtihad, maka itu tidak diperbolehkan. Dalil atas apa yang kami katakan adalah firman Allah Ta'ala: "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" (QS. An-Nahl: 43). Karena jika kita melarang taqlid dalam hal itu, maka setiap orang perlu mempelajarinya, dan mewajibkan hal itu akan memutus penghidupan dan merusak pertanian dan tanaman, sehingga wajib untuk digugurkan.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَنْ يَسُوغُ لَهُ التَّقْلِيدُ فَهُوَ الْعَامِّيُّ وَهُوَ الَّذِي لَا يَعْرِفُ طُرُقَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ فَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُقَلِّدَ عَالِمًا وَيَعْمَلَ بِقَوْلِهِ. وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: لَا يَجُوزُ حَتَّى يَعْرِفَ عِلَّةَ الْحُكْمِ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّا لَوْ أَلْزَمْنَاهُ مَعْرِفَةَ الْعِلَّةِ أَدَّى إِلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الِانْقِطَاعِ عَنِ الْمَعِيشَةِ وَفِي ذَلِكَ خَرَابُ الدُّنْيَا فَوَجَبَ أَنْ لَا يَجِبَ.

Adapun orang yang diperbolehkan untuk bertaqlid adalah orang awam, yaitu orang yang tidak mengetahui cara-cara hukum syar'i. Maka dia boleh bertaqlid kepada seorang alim dan mengamalkan perkataannya. Sebagian orang mengatakan: Tidak boleh sampai dia mengetahui 'illat (alasan) hukum tersebut. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa jika kita mewajibkannya untuk mengetahui 'illat, maka itu akan menyebabkan apa yang telah kami sebutkan berupa terputusnya penghidupan, dan dalam hal itu terdapat kerusakan dunia. Maka wajib untuk tidak diwajibkan.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْعَالِمُ فَيَنْظُرُ فِيهِ فَإِنْ كَانَ الْوَقْتُ وَاسِعًا عَلَيْهِ يُمْكِنُهُ الِاجْتِهَادُ لَزِمَهُ طَلَبُ الْحُكْمِ بِالِاجْتِهَادِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ: يَجُوزُ لَهُ تَقْلِيدًا لِعَالِمٍ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ، وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ: يَجُوزُ لَهُ تَقْلِيدُ مَنْ هُوَ أَعْلَمُ مِنْهُ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ تَقْلِيدُ مِثْلِهِ، وَمِنَ النَّاسِ مَنْ قَالَ إِنْ كَانَ فِي حَادِثَةٍ نَزَلَتْ بِهِ جَازَ لَهُ أَنْ يُقَلِّدَ لِيَعْمَلَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ فِي حَادِثَةٍ نَزَلَتْ بِغَيْرِهِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَلِّدَ لِيَحْكُمَ بِهِ أَوْ يُفْتِيَ بِهِ فَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ هُوَ أَنَّ مَعَهُ آلَةً يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى الْحُكْمِ الْمَطْلُوبِ فَلَا يَجُوزُ لَهُ تَقْلِيدُ غَيْرِهِ كَمَا قُلْنَاهُ فِي الْعَقْلِيَّاتِ.

Adapun seorang ulama, jika ia memiliki waktu yang cukup untuk berijtihad, maka ia wajib mencari hukum dengan ijtihad. Sebagian orang berpendapat: boleh baginya bertaklid kepada ulama lain, ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan Sufyan Ats-Tsauri. Muhammad bin Al-Hasan berkata: boleh baginya bertaklid kepada yang lebih alim darinya, dan tidak boleh bertaklid kepada yang setara dengannya. Sebagian orang berpendapat jika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, boleh baginya bertaklid untuk mengamalkannya. Namun jika terjadi pada orang lain, tidak boleh bertaklid untuk memutuskan hukum atau berfatwa dengannya. Dalil atas pendapat kami adalah bahwa ia memiliki sarana untuk sampai kepada hukum yang dicari, maka tidak boleh baginya bertaklid kepada selainnya sebagaimana yang kami katakan dalam masalah akal.

فَصْلٌ

Pasal

وَإِنْ كَانَ قَدْ ضَاقَ عَلَيْهِ الْوَقْتُ، وَخَشِيَ فَوْتَ الْعِبَادَةِ إِنِ اشْتَغَلَ بِالِاجْتِهَادِ فَفِيهِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا لَا يَجُوزُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي إِسْحَاقَ، وَالثَّانِي يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ مَعَهُ آلَةً يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى الِاجْتِهَادِ فَأَشْبَهَ إِذَا كَانَ الْوَقْتُ وَاسِعًا.

Dan jika waktunya telah sempit, dan ia khawatir kehilangan ibadah jika ia sibuk dengan ijtihad, maka ada dua pendapat: pertama tidak boleh, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq, dan yang kedua boleh dan ini adalah pendapat Abu Al-Abbas dan yang pertama lebih benar karena bersamanya ada alat yang dengannya ia dapat berijtihad maka menyerupai jika waktunya luas.

_________
١ سُورَةُ الْأَنْبِيَاءِ الْآيَةُ: ٧.
1 Surah Al-Anbiya' ayat: 7.

بَابُ صِفَةِ الْمُفْتِي وَالْمُسْتَفْتِي

Bab tentang sifat mufti dan mustafti

وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْمُفْتِي عَارِفًا بِطُرُقِ الْأَحْكَامِ، وَهِيَ الْكِتَابُ، وَالَّذِي يَجِبُ أَنْ يَعْرِفَ مِنْ ذَاكَ مَا يَتَعَلَّقُ بِذِكْرِ الْأَحْكَامِ وَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ دُونَ مَا فِيهِ مِنَ الْقِصَصِ وَالْأَمْثَالِ وَالْمَوَاعِظِ وَالْأَخْبَارِ، وَيُحِيطَ بِالسُّنَنِ الْمَرْوِيَّةِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي بَيَانِ الْأَحْكَامِ وَيَعْرِفَ الطُّرُقَ الَّتِي يُعْرَفُ بِهَا مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِنْ أَحْكَامِ الْخِطَابِ وَمَوَارِدِ الْكَلَامِ وَمَصَادِرِهِ مِنَ الْحَقِيقَةِ، وَالْمَجَازِ، وَالْعَامِّ، وَالْخَاصِّ، وَالْمُجْمَلِ، وَالْمُفَصَّلِ، وَالْمُطْلَقِ، وَالْمُقَيَّدِ، وَالْمَنْطُوقِ، وَالْمَفْهُومِ، وَيَعْرِفَ مِنَ اللُّغَةِ وَالنَّحْوِ مَا يَعْرِفُ بِهِ مُرَادَ اللَّهِ تَعَالَى وَمُرَادَ رَسُولِهِ ﷺ فِي خِطَابِهِمَا، وَيَعْرِفَ أَحْكَامَ أَفْعَالِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَمَا تَقْتَضِيهِ، وَيَعْرِفَ النَّاسِخَ مِنْ ذَلِكَ مِنَ الْمَنْسُوخِ وَأَحْكَامَ النَّسْخِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ وَيَعْرِفَ إِجْمَاعَ السَّلَفِ وَخِلَافَهُمْ وَيَعْرِفَ مَا يُعْتَدُّ بِهِ مِنْ ذَلِكَ مَا لَا يُعْتَدُّ بِهِ وَيَعْرِفَ الْقِيَاسَ وَالِاجْتِهَادَ وَالْأُصُولَ الَّتِي يَجُوزُ تَعْلِيلُهَا وَمَا لَا يَجُوزُ وَالْأَوْصَافَ الَّتِي يَجُوزُ أَنْ يُعَلَّلَ بِهَا وَمَا لَا يَجُوزُ وَكَيْفِيَّةَ انْتِزَاعِ الْعِلَلِ. وَيَعْرِفَ تَرْتِيبَ الْأَدِلَّةِ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَتَقْدِيمَ الْأَوْلَى مِنْهَا وَوُجُوهَ التَّرْجِيحِ وَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ ثِقَةً مَأْمُونًا لَا يَتَسَاهَلُ فِي أَمْرِ الدِّينِ.

Seorang mufti harus mengetahui metode-metode hukum, yaitu Al-Qur'an, dan yang wajib diketahui dari itu adalah yang berkaitan dengan penyebutan hukum-hukum, halal dan haram, bukan kisah-kisah, perumpamaan, nasihat, dan berita di dalamnya. Ia harus menguasai sunnah-sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ dalam menjelaskan hukum-hukum dan mengetahui cara-cara untuk mengetahui apa yang dibutuhkan dari Al-Qur'an dan Sunnah tentang hukum-hukum khitab, sumber-sumber dan asal-usul perkataan dari hakikat, majaz, umum, khusus, global, terperinci, mutlak, muqayyad, manthuq, dan mafhum. Ia harus mengetahui dari bahasa dan nahwu apa yang dengannya dapat diketahui maksud Allah Ta'ala dan maksud Rasul-Nya ﷺ dalam khitab keduanya, mengetahui hukum-hukum perbuatan Rasulullah ﷺ dan apa yang dituntut olehnya, mengetahui nasikh dan mansukh dari itu serta hukum-hukum nasakh dan yang berkaitan dengannya, mengetahui ijma' salaf dan perselisihan mereka, mengetahui apa yang mu'tabar dari itu dan apa yang tidak mu'tabar, mengetahui qiyas, ijtihad, dan ushul yang boleh di-ta'lil dan yang tidak boleh, sifat-sifat yang boleh di-ta'lil dengannya dan yang tidak boleh, serta cara mengambil 'illat. Ia harus mengetahui urutan dalil-dalil antara satu dengan yang lain, mendahulukan yang lebih utama di antaranya, dan aspek-aspek tarjih. Ia wajib menjadi orang yang tsiqah (terpercaya) dan amanah, tidak mempermudah dalam urusan agama.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُفْتِيَ مَنِ اسْتَفْتَاهُ وَيُعَلِّمَ مَنْ طَلَبَ مِنْهُ التَّعْلِيمَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْإِقْلِيمِ الَّذِي هُوَ فِيهِ غَيْرُهُ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ التَّعْلِيمُ وَالْفُتْيَا وَإِنْ كَانَ هُنَاكَ غَيْرُهُ لَمْ يَتَعَيَّنْ عَلَيْهِ بَلْ كَانَ ذَلِكَ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ إِذَا قَامَ بِهِ بَعْضُهُمْ سَقَطَ الْفَرْضُ عَنِ الْبَاقِينَ وَيَجِبُ أَنْ يُبَيِّنَ الْجَوَابَ، فَإِنْ كَانَ الَّذِي نَزَلَتْ بِهِ النَّازِلَةُ حَاضِرًا وَعَرَفَ مِنْهُ النَّازِلَةَ عَلَى جِهَتِهَا جَازَ أَنْ يُجِيبَ عَلَى حَسَبِ مَا عَلِمَ مِنْ حَالِ الْمَسْأَلَةِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَاضِرًا وَاحْتَمَلَتِ الْمَسْأَلَةُ تَفْصِيلًا فَصَّلَ الْجَوَابَ وَبَيَّنَ وَإِنْ لَمْ يَعْرِفِ الْمُسْتَفْتِي لِسَانَ الْمُفْتِي قَبِلَ فِيهِ تَرْجَمَةَ عَدْلٍ وَإِنِ اجْتَهَدَ فِي حَادِثَةٍ مَرَّةً فَأَجَابَ فِيهَا ثُمَّ نَزَلَتْ تِلْكَ الْحَادِثَةُ مَرَّةً أُخْرَى فَهَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ إِعَادَةُ الِاجْتِهَادِ أَمْ لَا فِيهِ وَجْهَانِ: مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يُفْتِي بِالِاجْتِهَادِ الْأَوَّلِ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَحْتَاجُ أَنْ يُجَدِّدَ الِاجْتِهَادَ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ.

Dan dia wajib memberikan fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepadanya dan mengajarkan orang yang meminta pengajaran darinya. Jika tidak ada orang lain di wilayah tempat dia berada, maka dia wajib mengajar dan memberi fatwa. Jika ada orang lain di sana, maka itu tidak wajib baginya, tetapi itu adalah fardhu kifayah. Jika sebagian dari mereka melakukannya, maka kewajiban gugur dari yang lainnya. Dia harus menjelaskan jawabannya. Jika orang yang mengalami peristiwa itu hadir dan dia mengetahui peristiwa itu dengan benar, maka dia boleh menjawab sesuai dengan apa yang dia ketahui tentang keadaan masalah itu. Jika dia tidak hadir dan masalah itu memerlukan perincian, maka dia harus merinci jawabannya dan menjelaskannya. Jika orang yang meminta fatwa tidak mengerti bahasa mufti, maka dia menerima terjemahan dari orang yang adil. Jika dia berijtihad dalam suatu peristiwa sekali dan menjawabnya, kemudian peristiwa itu terjadi lagi, apakah dia wajib mengulangi ijtihad atau tidak, ada dua pendapat: sebagian ulama kami mengatakan: dia memberi fatwa dengan ijtihad pertama, dan sebagian lagi mengatakan: dia perlu memperbarui ijtihad, dan yang pertama lebih benar.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الْمُسْتَفْتِي فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَفْتِيَ مَنْ شَاءَ عَلَى الْإِطْلَاقِ لِأَنَّهُ رُبَّمَا اسْتَفْتَى مَنْ لَا يَعْرِفُ الْفِقْهَ بَلْ يَجِبُ أَنْ يَتَعَرَّفَ حَالَ الْفَقِيهِ فِي الْفِقْهِ وَالْأَمَانَةِ وَيَكْفِيهِ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ خَبَرُ الْعَدْلِ الْوَاحِدِ فَإِذَا عَرَفَ أَنَّهُ فَقِيهٌ نَظَرَ فَإِنْ كَانَ وَحْدَهُ قَلَّدَهُ وَإِنْ كَانَ هُنَاكَ غَيْرُهُ فَهَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ الِاجْتِهَادُ فِيهِ وَجْهَانِ: مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يُقَلِّدُ مَنْ شَاءَ مِنْهُمْ وَقَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ وَالْقَفَّالُ: يَلْزَمُهُ الِاجْتِهَادُ فِي أَعْيَانِ الْمُفْتِينَ فَيُقَلِّدُ أَعْلَمَهُمْ وَأَوْرَعَهُمْ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ الَّذِي يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى قَوْلِ عَالِمٍ ثِقَةٍ وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ فَيَجِبُ أَنْ يَكْفِيَهُ.

Adapun orang yang meminta fatwa, tidak boleh ia meminta fatwa kepada siapa saja secara mutlak, karena bisa jadi ia meminta fatwa kepada orang yang tidak mengetahui fikih. Bahkan ia wajib mengetahui keadaan seorang faqih dalam hal fikih dan amanahnya. Cukup baginya untuk mengetahui hal itu dengan kabar dari satu orang yang adil. Jika ia telah mengetahui bahwa ia seorang faqih, maka ia perhatikan, jika ia sendirian maka ia mengikutinya. Jika ada selainnya, apakah wajib atasnya berijtihad padanya? Ada dua pendapat: sebagian sahabat kami mengatakan: ia boleh mengikuti siapa saja dari mereka. Abu Al-Abbas dan Al-Qaffal mengatakan: ia wajib berijtihad dalam menentukan para mufti, lalu mengikuti yang paling alim dan wara' di antara mereka. Yang pertama lebih sahih, karena yang wajib atasnya adalah merujuk kepada perkataan seorang alim yang terpercaya, dan ia telah melakukannya, maka itu harus mencukupinya.

فَصْلٌ

Pasal

فَإِنِ اسْتَفْتَى رَجُلَيْنِ نَظَرْتَ فَإِنِ اتَّفَقَا فِي الْجَوَابِ عَمِلَ بِمَا قَالَا وَإِنِ اخْتَلَفَا فَأَفْتَاهُ أَحَدُهُمَا بِالْحَظْرِ وَالْآخَرُ بِالْإِبَاحَةِ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَأْخُذُ بِمَا شَاءَ مِنْهُمَا وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَجْتَهِدُ فِيمَنْ يَأْخُذُ بِقَوْلِهِ مِنْهُمَا وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَأْخُذُ بِأَغْلَظِ الْجَوَابَيْنِ لِأَنَّ الْحَقَّ ثَقِيلٌ وَالصَّحِيحُ هُوَ الْأَوَّلُ لِأَنَّا قَدْ بَيَّنَّا أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ الِاجْتِهَادُ وَالْحَقُّ أَيْضًا لَا يَخْتَصُّ بِأَغْلَظِ الْجَوَابَيْنِ بَلْ قَدْ يَكُونُ الْحَقُّ فِي الْأَخَفِّ كَيْفَ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ﴾ ١ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّهْلَةِ وَلَمْ أُبْعَثْ بِالرَّهْبَانِيَّةِ الْمُبْتَدَعَةِ".

Jika dia meminta fatwa kepada dua orang, maka perhatikanlah. Jika keduanya sepakat dalam jawaban, maka dia mengamalkan apa yang mereka katakan. Jika keduanya berbeda pendapat, lalu salah satunya memberi fatwa haram dan yang lain membolehkan, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan: Dia mengambil pendapat yang dia kehendaki di antara keduanya. Di antara mereka ada yang mengatakan: Dia berijtihad dalam mengambil pendapat siapa di antara keduanya. Dan di antara mereka ada yang mengatakan: Dia mengambil jawaban yang paling berat karena kebenaran itu berat. Yang benar adalah pendapat pertama karena kami telah menjelaskan bahwa dia tidak wajib berijtihad. Kebenaran juga tidak khusus pada jawaban yang paling berat, bahkan terkadang kebenaran ada pada yang paling ringan. Bagaimana mungkin, padahal Allah Ta'ala telah berfirman: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Al-Baqarah: 185). Dan Rasulullah ﷺ bersabda: "Aku diutus dengan agama yang lurus lagi mudah, dan aku tidak diutus dengan agama yang keras lagi bid'ah."

_________
١ سُورَةُ الْبَقَرَةِ الْآيَةُ: ١٨٥.
1 Surat Al-Baqarah ayat 185.

القَوْلُ فِي الاجْتِهَادِ

بَابُ القَوْلِ فِي أَقْوَالِ المُجْتَهِدِينَ وَأَنَّ الحَقَّ مِنْهُمَا فِي وَاحِدٍ أَوْ كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ

القَوْلُ فِي الاِجْتِهَادِ

Perkataan tentang Ijtihad

بَابُ القَوْلِ فِي أَقْوَالِ المُجْتَهِدِينَ وَأَنَّ الحَقَّ مِنْهُمَا فِي وَاحِدٍ أَوْ كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ

Bab tentang Perkataan mengenai Pendapat para Mujtahid dan bahwa Kebenaran di antara Mereka Ada pada Satu Pendapat atau Setiap Mujtahid Benar

...

...

بَابُ القَوْلِ فِي أَقْوَالِ المُجْتَهِدِينَ وَأَنَّ الحَقَّ مِنْهُمَا فِي وَاحِدٍ أَوْ كُلُّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ

Bab tentang Perkataan mengenai Pendapat para Mujtahid dan bahwa Kebenaran di antara Mereka Ada pada Satu Pendapat atau Setiap Mujtahid Benar

الاِجْتِهَادُ فِي عُرْفِ الفُقَهَاءِ: اسْتِفْرَاغُ الوُسْعِ وَبَذْلُ المَجْهُودِ فِي طَلَبِ الحُكْمِ الشَّرْعِيِّ. وَالأَحْكَامُ ضَرْبَانِ: عَقْلِيٌّ وَشَرْعِيٌّ.

Ijtihad dalam istilah para ahli fikih adalah mengerahkan kemampuan dan mencurahkan usaha dalam mencari hukum syar'i. Hukum ada dua jenis: hukum akal dan hukum syar'i.

فَأَمَّا الْعَقْلِيُّ: فَهُوَ كَحُدُوثِ الْعَالَمِ وَإِثْبَاتِ الصَّانِعِ وَإِثْبَاتِ النُّبُوَّةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أُصُولِ الدِّيَانَاتِ وَالْحَقُّ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ فِي وَاحِدٍ وَمَا عَدَاهُ بَاطِلٌ، وَحُكِيَ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ الْحَسَنِ الْعَنْبَرِيِّ أَنَّهُ قَالَ كُلُّ مُجْتَهِدٍ فِي الْأُصُولِ مُصِيبٌ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ حَمَلَ هَذَا الْقَوْلَ مِنْهُ عَلَى أَنَّهُ إِنَّمَا أَرَادَ فِي أُصُولِ الدِّيَانَاتِ الَّتِي يَخْتَلِفُ فِيهَا أَهْلُ الْقِبْلَةِ وَيَرْجِعُ الْمُخَالِفُونَ فِيهَا إِلَى آيَاتٍ وَآثَارٍ مُحْتَمِلَةٍ لِلتَّأْوِيلِ كَالرُّؤْيَةِ وَخَلْقِ الْأَفْعَالِ وَالتَّجْسِيمِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ دُونَ مَا يَرْجِعُ إِلَى الِاخْتِلَافِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْأَدْيَانِ وَالدَّلِيلُ عَلَى فَسَادِ قَوْلِهِ هُوَ أَنَّ هَذِهِ الْأَقْوَالَ الْمُخَالِفَةَ لِلْحَقِّ مِنَ التَّجْسِيمِ وَنَفْيِ الصِّفَاتِ لَا يَجُوزُ وُرُودُ الشَّرْعِ بِهَا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُخَالِفُ فِيهَا مُصِيبًا كَالْقَوْلِ بِالتَّثْلِيثِ وَتَكْذِيبِ الرُّسُلِ.

Adapun yang rasional: itu seperti terjadinya alam semesta, menetapkan adanya Pencipta, menetapkan kenabian, dan lain-lain dari prinsip-prinsip agama. Kebenaran dalam masalah-masalah ini ada pada satu pendapat, dan selain itu adalah batil. Diriwayatkan dari Ubaidullah bin Al-Hasan Al-'Anbari bahwa ia berkata, "Setiap mujtahid dalam masalah ushul adalah benar." Di antara manusia ada yang membawa perkataan ini darinya bahwa ia hanya bermaksud dalam prinsip-prinsip agama yang diperselisihkan oleh Ahlul Qiblah dan para penentang merujuk kepada ayat-ayat dan atsar-atsar yang memungkinkan untuk ditakwil, seperti ru'yah (melihat Allah), penciptaan perbuatan, tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk), dan yang serupa dengan itu, bukan yang merujuk pada perselisihan antara kaum muslimin dan selain mereka dari pemeluk agama-agama. Dalil atas rusaknya perkataannya adalah bahwa perkataan-perkataan yang menyelisihi kebenaran ini, dari tajsim dan menafikan sifat-sifat, tidak boleh datang dari syariat. Maka tidak boleh orang yang menyelisihi dalam hal itu dianggap benar, seperti perkataan tentang trinitas dan mendustakan para rasul.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا الشَّرْعِيَّةُ فَضَرْبَانِ: ضَرْبٌ يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ وَضَرْبٌ لَا يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ فَأَمَّا مَا لَا يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ.

Adapun hukum syariat ada dua jenis: jenis yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya dan jenis yang tidak diperbolehkan ijtihad di dalamnya. Adapun yang tidak diperbolehkan ijtihad di dalamnya ada dua jenis.

أَحَدُهُمَا: مَا عُلِمَ مِنْ دِينِ الرَّسُولِ ﷺ ضَرُورَةً كَالصَّلَوَاتِ الْمَفْرُوضَةِ وَالزَّكَوَاتِ الْوَاجِبَةِ وَتَحْرِيمِ الزِّنَا وَاللِّوَاطِ وَشُرْبِ الْخَمْرِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَمَنْ

Pertama: apa yang diketahui dari agama Rasulullah ﷺ secara pasti seperti shalat wajib, zakat wajib, pengharaman zina, liwath, meminum khamr, dan lain-lain. Maka barangsiapa yang

خَالَفَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ بَعْدَ الْعِلْمِ فَهُوَ كَافِرٌ لِأَنَّ ذَلِكَ مَعْلُومٌ مِنْ دِينِ اللهِ تَعَالَى ضَرُورَةً فَمَنْ خَالَفَ فِيهِ فَقَدْ كَذَّبَ اللهَ تَعَالَى وَرَسُولَهُ ﷺ فِي خَبَرِهِمَا فَحُكِمَ بِكُفْرِهِ.

Jika seseorang menentang sesuatu dari hal itu setelah mengetahuinya, maka dia adalah kafir, karena hal itu diketahui secara pasti dari agama Allah Ta'ala. Barangsiapa yang menentangnya, maka sungguh dia telah mendustakan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya ﷺ dalam kabar mereka berdua, maka dihukumi kekafirannya.

وَالثَّانِي: مَا لَمْ يُعْلَمْ مِنْ دِينِ الرَّسُولِ ﷺ ضَرُورَةً كَالْأَحْكَامِ الَّتِي تَثْبُتُ بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ وَفُقَهَاءِ الْإِعْصَارِ وَلَكِنَّهَا لَمْ تُعْلَمْ مِنْ دِينِ الرَّسُولِ ﷺ ضَرُورَةً فَالْحَقُّ مِنْ ذَلِكَ فِي وَاحِدٍ وَهُوَ مَا أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَمَنْ خَالَفَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ بَعْدَ الْعِلْمِ بِهِ فَهُوَ فَاسِقٌ.

Dan yang kedua: apa yang tidak diketahui secara pasti dari agama Rasulullah ﷺ, seperti hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma' para sahabat dan fuqaha zaman ini, tetapi tidak diketahui secara pasti dari agama Rasulullah ﷺ. Maka kebenaran dari hal itu ada pada satu hal, yaitu apa yang disepakati oleh manusia. Barangsiapa yang menyelisihi sesuatu dari hal itu setelah mengetahuinya, maka dia adalah fasik.

وَأَمَّا مَا يَسُوغُ فِيهِ الِاجْتِهَادُ وَهُوَ الْمَسَائِلُ الَّتِي اخْتَلَفَ فِيهَا فُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَأَكْثَرُ فَقَدِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: الْحَقُّ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ فِي وَاحِدٍ وَمَا عَدَاهُ بَاطِلٌ إِلَّا أَنَّ الْإِثْمَ مَوْضُوعٌ عَنِ الْمُخْطِئِ فِيهِ وَذَكَرَ هَذَا الْقَائِلُ أَنَّ هَذَا هُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ ﵀ لَا قَوْلَ لَهُ غَيْرُهُ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: فِيهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا: مَا قُلْنَاهُ وَالثَّانِي: أَنَّ كُلَّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ وَهُوَ ظَاهِرُ قَوْلِ مَالِكٍ ﵀ وَأَبِي حَنِيفَةَ ﵀ وَهُوَ مَذْهَبُ الْمُعْتَزِلَةِ وَأَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ.

Adapun masalah yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya, yaitu masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para fuqaha dari berbagai negeri menjadi dua pendapat atau lebih, maka para sahabat kami telah berselisih pendapat mengenainya. Di antara mereka ada yang mengatakan: Kebenaran dari semua itu ada pada satu pendapat, dan selainnya adalah batil, hanya saja dosa diangkat dari orang yang salah dalam masalah tersebut. Orang yang berpendapat ini menyebutkan bahwa ini adalah mazhab Imam Syafi'i ﵀, beliau tidak memiliki pendapat lain. Dan di antara sahabat kami ada yang mengatakan: Dalam masalah ini ada dua pendapat, salah satunya adalah apa yang telah kami sebutkan, dan yang kedua adalah bahwa setiap mujtahid adalah benar, dan ini adalah pendapat yang jelas dari Imam Malik ﵀ dan Abu Hanifah ﵀, dan ini adalah mazhab Mu'tazilah dan Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.

وَحَكَى الْقَاضِي أَبُو بَكْرٍ الْأَشْعَرِيُّ عَنْ أَبِي عَلِيٍّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ مِنْ أَصْحَابِنَا إِنَّهُ كَانَ يَقُولُ: بَاخِرَةٌ أَنَّ الْحَقَّ مِنْ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ فِي وَاحِدٍ مَقْطُوعٌ بِهِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى وَأَنَّ مُخْطِئَهُ مَأْثُومٌ وَالْحُكْمُ بِخِلَافِهِ مَنْصُوصٌ وَهُوَ قَوْلُ الْأَصَمِّ بْنِ عُلَيَّةَ وَبِشْرِ الْمُرِيسِيِّ. وَاخْتَلَفَ الْقَائِلُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْحَقَّ فِي وَاحِدٍ فِي أَنَّهُ هَلْ الْكُلُّ مُصِيبٌ فِي اجْتِهَادِهِ أَمْ لَا فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّ الْمُخْطِئَ فِي الْحُكْمِ مُخْطِئٌ فِي الِاجْتِهَادِ وَقَالَ بَعْضُهُمْ: أَنَّ الْكُلَّ مُصِيبٌ فِي الِاجْتِهَادِ وَإِنْ جَازَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْحُكْمِ حُكِيَ ذَلِكَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ وَاخْتَلَفَ الْقَائِلُونَ بِأَنَّ كُلَّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀: أَنَّ عِنْدَ اللهِ ﷿ أَشْبَهَهُ مَطْلُوبٌ رُبَّمَا أَصَابَهُ الْمُجْتَهِدُ وَرُبَّمَا أَخْطَأَ هـ وَمِنْهُمْ مَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ وَالْقَائِلُونَ بِالْأَشْبَهِ اخْتَلَفُوا فِي تَفْسِيرِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَبَى تَفْسِيرَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ أَنَّهُ أَشْبَهُ.

Dan Qadhi Abu Bakr Al-Asy'ari meriwayatkan dari Abu Ali bin Abu Hurairah dari sahabat kami bahwa ia berkata: Sesungguhnya kebenaran dari pendapat-pendapat ini ada pada satu pendapat yang pasti di sisi Allah Ta'ala dan bahwa yang salah berdosa dan hukum yang bertentangan dengannya adalah nash, dan ini adalah pendapat Al-Ashamm bin Ulayyah dan Bisyr Al-Murisi. Para ulama dari sahabat kami berbeda pendapat bahwa kebenaran ada pada satu pendapat, apakah semuanya benar dalam ijtihadnya atau tidak. Sebagian mereka berkata: Sesungguhnya yang salah dalam hukum adalah salah dalam ijtihad. Sebagian lagi berkata: Sesungguhnya semuanya benar dalam ijtihad meskipun boleh salah dalam hukum. Itu diriwayatkan dari Abu Al-Abbas. Para ulama yang berpendapat bahwa setiap mujtahid benar berbeda pendapat. Sebagian sahabat Abu Hanifah ﵀ berkata: Sesungguhnya di sisi Allah ﷿ ada yang lebih mirip yang dicari, terkadang mujtahid benar dan terkadang salah. Di antara mereka ada yang mengingkari hal itu. Para ulama yang berpendapat dengan yang lebih mirip berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Di antara mereka ada yang enggan menafsirkannya lebih dari bahwa itu lebih mirip.

وَحُكِيَ عَنْ بَعْضِهِمْ أَنَّهُ قَالَ: الْأَشْبَهُ عِنْدَ اللهِ فِي حُكْمِ الْحَادِثَةِ قُوَّةُ الشَّبَهِ بِقُوَّةِ الْإِمَارَةِ وَهَذَا تَصْرِيحٌ بِأَنَّ الْحَقَّ فِي وَاحِدٍ يَجِبُ طَلَبُهُ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: الْأَشْبَهُ

Dan diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa ia berkata: Yang paling mirip di sisi Allah dalam hukum peristiwa adalah kuatnya kemiripan dengan kuatnya tanda-tanda, dan ini adalah pernyataan tegas bahwa kebenaran ada pada satu hal yang wajib dicari. Dan sebagian mereka berkata: Yang paling mirip

عِنْدَ اللهِ تَعَالَى أَنَّ عِنْدَهُ فِي هَذِهِ الْحَادِثَةِ حِكَمًا لَوْ نَصَّ عَلَيْهِ وَبَيَّنَهُ لَمْ يَنُصَّ إِلَّا عَلَيْهِ وَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِ أَصْحَابِنَا هُوَ الْأَوَّلُ وَأَنَّ الْحَقَّ فِي وَاحِدٍ وَمَا سِوَاهُ بَاطِلٌ وَأَنَّ الْإِثْمَ مَرْفُوعٌ عَنِ الْمُخْطِئِ وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ وَقَوْلُهُ ﷺ: "إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِنِ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ" وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْجَمِيعُ حَقًّا وَصَوَابًا لَمْ يَكُنْ لِلنَّظَرِ وَالْبَحْثِ مَعْنًى، وَأَمَّا الدَّلِيلُ عَلَى وَضْعِ الْمَأْثَمِ عَنِ الْمُخْطِئِ فَمَا ذَكَرْنَاهُ مِنَ الْخَبَرِ وَلِأَنَّ الصَّحَابَةَ ﵃ أَجْمَعَتْ عَلَى تَسْوِيغِ الْحُكْمِ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْأَقَاوِيلِ الْمُخْتَلَفِ فِيهَا وَإِقْرَارِ الْمُخَالِفِينَ عَلَى مَا ذَهَبُوا إِلَيْهِ مِنَ الْأَقَاوِيلِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا مَأْثَمَ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمْ.

Menurut Allah Ta'ala, dalam peristiwa ini terdapat hikmah yang seandainya Dia menegaskan dan menjelaskannya, niscaya Dia tidak akan menegaskan kecuali hal itu. Yang benar dari mazhab sahabat-sahabat kami adalah pendapat pertama, bahwa kebenaran itu ada pada satu pendapat dan selainnya adalah batil, dan bahwa dosa itu diangkat dari orang yang keliru. Dalil atas hal itu adalah sabda Nabi ﷺ: "Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala, dan jika dia berijtihad lalu keliru, maka baginya satu pahala." Karena seandainya semuanya benar, niscaya tidak ada makna untuk menelaah dan meneliti. Adapun dalil atas diangkatnya dosa dari orang yang keliru adalah hadits yang telah kami sebutkan, dan karena para sahabat ﵃ telah bersepakat untuk membolehkan berhukum dengan setiap pendapat yang diperselisihkan dan menyetujui orang-orang yang menyelisihi mereka atas pendapat yang mereka yakini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa atas seorang pun dari mereka.

فَصْلٌ

Pasal

لَا يَجُوزُ أَنْ تَتَكَافَأَ الْأَدِلَّةُ فِي الْحَادِثَةِ بَلْ لَا بُدَّ مِنْ تَرْجِيحِ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ عَلَى الْآخَرِ وَقَالَ أَبُو عَلِيٍّ وَأَبُو هَاشِمٍ: يَجُوزُ أَنْ تَتَكَافَأَ الْأَدِلَّةُ فَيَتَخَيَّرُ الْمُجْتَهِدُ عِنْدَ ذَلِكَ مِنَ الْقَوْلَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ فَيَعْمَلُ بِمَا شَاءَ مِنْهُمْ وَالدَّلِيلُ عَلَى مَا قُلْنَاهُ أَنَّهُ إِذَا كَانَ الْحَقُّ فِي وَاحِدٍ عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ تَتَكَافَأَ الْأَدِلَّةُ فِيهِ كَالْعَقْلِيَّاتِ.

Tidak diperbolehkan bukti-bukti dalam suatu peristiwa saling setara, melainkan harus ada yang lebih kuat antara dua pendapat tersebut. Abu Ali dan Abu Hasyim berkata: Diperbolehkan bukti-bukti saling setara, sehingga mujtahid dapat memilih di antara dua pendapat yang berbeda dan mengamalkan mana yang dia kehendaki. Dalil atas apa yang kami katakan adalah bahwa jika kebenaran ada pada satu pendapat sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka tidak diperbolehkan bukti-bukti saling setara dalam hal itu, seperti perkara-perkara yang bersifat akal.

بَابُ القَوْلِ فِي تَخْرِيجِ المُجْتَهِدِ المَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي تَخْرِيجِ الْمُجْتَهِدِ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ

Bab tentang pendapat dalam mengeluarkan mujtahid masalah atas dua pendapat

يَجُوزُ لِلْمُجْتَهِدِ أَنْ يُخَرِّجَ الْمَسْأَلَةَ عَلَى قَوْلَيْنِ وَهُوَ أَنْ يَقُولَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَحْتَمِلُ قَوْلَيْنِ عَلَى مَعْنَى أَنَّ كُلَّ قَوْلٍ سِوَاهُمَا بَاطِلٌ. وَذَهَبَ قَوْمٌ لَا يُعْتَدُّ بِهِمْ إِلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ ذَلِكَ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ الْمُرَادُ بِالْمَنْعِ مِنْ تَخْرِيجِ الْقَوْلَيْنِ أَنْ يَكُونَ لَهُ قَوْلَانِ عَلَى وَجْهِ الْجَمْعِ مِثْلَ أَنْ يَقُولَ هَذَا الشَّيْءُ حَلَالٌ وَحَرَامٌ عَلَى سَبِيلِ الْجَمْعِ، فَهَذَا لَا يَجُوزُ أَيْضًا عِنْدَنَا وَإِنْ كَانَ الْمُرَادُ أَنْ يَكُونَ لَهُ قَوْلَانِ فِي الشَّيْءِ أَنَّهُ حَلَالٌ أَوْ حَرَامٌ عَلَى سَبِيلِ التَّخْيِيرِ فَيَأْخُذُ بِمَا شَاءَ مِنْهُمَا فَهَذَا أَيْضًا لَا يَجُوزُ أَنْ يَقُولَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَحْتَمِلُ قَوْلَيْنِ لِيُبْطِلَ مَا سِوَاهُمَا فَهَذَا جَائِزٌ وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّ الْمُجْتَهِدَ قَدْ يَقُومُ لَهُ الدَّلِيلُ عَلَى إِبْطَالِ كُلِّ قَوْلٍ سِوَى قَوْلَيْنِ وَلَا يَظْهَرُ لَهُ الدَّلِيلُ فِي تَقْدِيمِ أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فِي الْحَالِ فَيُخَرِّجُ عَلَى قَوْلَيْنِ لِيَدُلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ مَا سِوَهُمَا بَاطِلٌ وَهَذَا كَمَا فَعَلَ عُمَرُ ﵁ فِي الشُّورَى فَإِنَّهُ قَالَ الْخَلِيفَةُ بَعْدِي أَحَدُ هَؤُلَاءِ السِّتَّةِ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ الْخِلَافَةُ فِيمَنْ سِوَاهُمْ وَأَمَّا تَخْرِيجُ الشَّافِعِيِّ ﵀ الْمَسَائِلَ عَلَى قَوْلَيْنِ فَعَلَى أَضْرُبٍ.

Seorang mujtahid diperbolehkan untuk mengeluarkan suatu masalah dengan dua pendapat, yaitu dengan mengatakan bahwa masalah ini memungkinkan dua pendapat, dengan pengertian bahwa setiap pendapat selain keduanya adalah batil. Sekelompok orang yang tidak diperhitungkan berpendapat bahwa hal itu tidak boleh, dan ini adalah kesalahan. Karena jika yang dimaksud dengan larangan mengeluarkan dua pendapat adalah bahwa ia memiliki dua pendapat dengan cara menggabungkan, seperti mengatakan sesuatu ini halal dan haram dengan cara menggabungkan, maka ini juga tidak boleh menurut kami. Jika yang dimaksud adalah bahwa ia memiliki dua pendapat tentang sesuatu, bahwa itu halal atau haram dengan cara memilih, lalu ia mengambil mana yang ia kehendaki dari keduanya, maka ini juga tidak boleh. Mengatakan bahwa masalah ini memungkinkan dua pendapat untuk membatalkan selain keduanya, maka ini boleh. Dalilnya adalah bahwa seorang mujtahid terkadang memiliki dalil untuk membatalkan setiap pendapat selain dua pendapat, dan tidak tampak baginya dalil untuk mendahulukan salah satu dari dua pendapat tersebut saat itu, maka ia mengeluarkan dua pendapat untuk menunjukkan bahwa selain keduanya adalah batil. Ini seperti yang dilakukan Umar ﵁ dalam musyawarah, ia berkata, "Khalifah setelahku adalah salah satu dari enam orang ini," untuk menunjukkan bahwa tidak boleh kekhalifahan berada pada selain mereka. Adapun pengeluaran Imam Syafi'i ﵀ terhadap masalah-masalah dengan dua pendapat, maka itu ada beberapa macam.

مِنْهَا مَا قَالَ: فِيهَا قَوْلَيْنِ فِي وَقْتَيْنِ فَقَالَ فِي الْقَدِيمِ: فِيهَا بِحُكْمٍ وَفِي الْجَدِيدِ رَجَعَ عَنْهُ فَهَذَا جَائِزٌ بِلَا كَلَامٍ لِمَا وُرِيَ عَنْ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ أَنَّهُ قَالَ كَانَ رَأْيِي وَرَأْيُ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ أَنْ لَا تُبَاعَ أُمَّهَاتُ الْأَوْلَادِ وَرَأْيِي الْآنَ أَنْ يُبَعْنَ وَعَلَى الرِّوَايَاتِ الَّتِي عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ ﵀ وَمَالِكٍ ﵀ فَإِنَّهُ رُوِيَ عَنْهُمَا رِوَايَاتٌ ثُمَّ رَجَعُوا عَنْهَا إِلَى غَيْرِهَا.

Di antaranya apa yang dia katakan: Ada dua pendapat dalam dua waktu, dia berkata dalam pendapat lama: Di dalamnya terdapat hukum, dan dalam pendapat baru dia menariknya kembali. Ini diperbolehkan tanpa perkataan karena apa yang diriwayatkan dari Ali karramallahu wajhah bahwa dia berkata: Pendapatku dan pendapat Amirul Mukminin Umar adalah untuk tidak menjual ummahatul awlad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya), dan pendapatku sekarang adalah untuk menjual mereka. Dan berdasarkan riwayat-riwayat dari Abu Hanifah ﵀ dan Malik ﵀, sesungguhnya diriwayatkan dari keduanya beberapa riwayat kemudian mereka menariknya kembali kepada yang lainnya.

وَمِنْهَا مَا قَالَ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ عَلَى قَوْلَيْنِ ثُمَّ بَيَّنَ الصَّحِيحَ مِنْهُمَا بِأَنْ يَقُولَ إِلَّا أَنَّ أَحَدَهُمَا مَدْخُولٌ أَوْ مَنْكَسِرٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْوُجُوهِ الَّتِي يُعْرَفُ بِهَا الصَّحِيحُ مِنَ الْفَاسِدِ فَهَذَا أَيْضًا جَائِزٌ لِتَبْيِينِ طُرُقِ الِاجْتِهَادِ إِنَّهُ احْتَمَلَ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ إِلَّا أَنَّ أَحَدَهُمَا يَلْزَمُ عَلَيْهِ كَذَا وَكَذَا فَتَرَكْتُهُ فَيُفِيدُ بِذَلِكَ تَعَلُّمَ طُرُقِ الِاجْتِهَادِ كَمَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ ﵀: الْقِيَاسُ يَقْتَضِي كَذَا وَكَذَا إِلَّا إِنِّي تَرَكْتُهُ لِلْخَبَرِ.

Dan di antaranya apa yang dia katakan dalam satu waktu, masalah ini memiliki dua pendapat, kemudian dia menjelaskan yang benar di antara keduanya dengan mengatakan kecuali bahwa salah satunya cacat atau rusak dan selain itu dari aspek-aspek yang dengannya diketahui yang benar dari yang rusak. Maka ini juga diperbolehkan untuk menjelaskan metode ijtihad, bahwa dia mempertimbangkan kedua pendapat ini kecuali bahwa salah satunya mengharuskan ini dan itu maka aku meninggalkannya. Maka hal itu bermanfaat untuk mempelajari metode ijtihad sebagaimana Abu Hanifah ﵀ berkata: Qiyas menuntut ini dan itu kecuali aku meninggalkannya karena khabar.

وَمِنْهَا مَا نَصَّ عَلَى قَوْلَيْنِ فِي مَوْضِعَيْنِ فَيَكُونُ ذَلِكَ عَلَى اخْتِلَافِ حَالَيْنِ فَلَا يَكُونُ هَذَا اخْتِلَافَ قَوْلٍ فِي مَسْأَلَةٍ بَلْ هَذَا فِي مَسْأَلَتَيْنِ فَيَصِيرُ كَالْقَوْلَيْنِ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي مَوْضِعَيْنِ عَلَى مَعْنَيَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ وَمِنْهَا مَا نَصَّ فِيهِ عَلَى قَوْلَيْنِ وَلَمْ يُبَيِّنِ الصَّحِيحَ مِنْهُمَا حَتَّى مَاتَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَيُقَالُ إِنَّ هَذَا لَمْ يُوجَدْ إِلَّا فِي سَبْعَةَ عَشَرَ مَسْأَلَةً وَهَذَا جَائِزٌ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَدْ دَلَّ الدَّلِيلُ عِنْدَهُ عَلَى إِبْطَالِ كُلِّ قَوْلٍ سِوَى الْقَوْلَيْنِ وَبَقِيَ لَهُ النَّظَرُ فِي الْقَوْلَيْنِ فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُبَيِّنَ كَمَا رَوَيْنَاهُ فِي قِصَّةِ عُمَرَ ﵁ فِي أَمْرِ الشُّورَى وَكَمَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ ﵀ فِي الشَّكِّ فِي سُؤْرِ الْحِمَارِ.

Dan di antaranya adalah apa yang dia (Imam Syafi'i) menyatakan dua pendapat dalam dua tempat, maka hal itu berdasarkan perbedaan dua keadaan. Jadi ini bukanlah perbedaan pendapat dalam satu masalah, tetapi ini dalam dua masalah. Maka ini menjadi seperti dua pendapat dari Rasulullah ﷺ dalam dua tempat dengan dua makna yang berbeda. Dan di antaranya adalah apa yang dia menyatakan dua pendapat padanya dan tidak menjelaskan mana yang sahih di antara keduanya sampai dia wafat, semoga Allah merahmatinya. Dikatakan bahwa ini tidak ditemukan kecuali dalam tujuh belas masalah. Dan ini dibolehkan karena boleh jadi dalil telah menunjukkan baginya untuk membatalkan setiap pendapat selain dua pendapat tersebut, dan tersisa baginya penelitian terhadap dua pendapat itu, lalu dia wafat sebelum menjelaskannya. Seperti yang kami riwayatkan dalam kisah Umar ﵁ dalam perkara syura dan seperti yang dikatakan Abu Hanifah ﵀ dalam keraguan pada sisa minuman keledai.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا ذَكَرَ الْمُجْتَهِدُ قَوْلًا ثُمَّ ذَكَرَ قَوْلًا آخَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ كَانَ ذَٰلِكَ رُجُوعًا عَنِ الْأَوَّلِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ لَيْسَ ذَٰلِكَ بِرُجُوعٍ بَلْ هُوَ تَخْرِيجٌ لِلْمَسْأَلَةِ عَلَىٰ قَوْلَيْنِ وَهَٰذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الثَّانِيَ مِنَ الْقَوْلَيْنِ يُنَاقِضُ الْأَوَّلَ فَكَانَ ذَٰلِكَ رُجُوعًا عَنِ الْأَوَّلِ كَالنَّصَّيْنِ فِي الْحَادِثَةِ.

Adapun jika seorang mujtahid menyebutkan suatu pendapat kemudian menyebutkan pendapat lain setelah itu, maka itu adalah penarikan kembali dari pendapat pertama. Sebagian sahabat kami mengatakan bahwa itu bukanlah penarikan kembali, melainkan merupakan takhrij (penyimpulan) masalah berdasarkan dua pendapat. Namun ini tidak benar, karena pendapat kedua bertentangan dengan pendapat pertama, sehingga itu merupakan penarikan kembali dari pendapat pertama, seperti dua nash (dalil) dalam satu peristiwa.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا نَصَّ عَلَى قَوْلَيْنِ ثُمَّ أَعَادَ لِلْمَسْأَلَةِ فَأَعَادَ أَحَدَ الْقَوْلَيْنِ كَانَ ذَلِكَ اخْتِيَارًا لِلْقَوْلِ الْمُعَادِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَيْسَ ذَلِكَ بِاخْتِيَارٍ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّ الثَّانِيَ يُضَادُّ الْقَوْلَ الْأَوَّلَ فَصَارَ كَمَا لَوْ نَصَّ فِي الِابْتِدَاءِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ ثُمَّ نَصَّ عَلَى الْقَوْلِ الْآخَرِ.

Adapun jika ia menyebutkan dua pendapat kemudian mengulangi masalah tersebut dan mengulangi salah satu dari dua pendapat itu, maka itu merupakan pemilihan terhadap pendapat yang diulang. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa itu bukanlah pemilihan, namun yang pertama lebih shahih karena yang kedua bertentangan dengan pendapat pertama, sehingga menjadi seolah-olah ia menyebutkan salah satu dari dua pendapat di awal kemudian menyebutkan pendapat yang lain.

فَصْلٌ

Pasal

فَأَمَّا إِذَا قَالَ الْمُجْتَهِدُ فِي الْحَادِثَةِ بِقَوْلٍ ثُمَّ قَالَ وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ كَذَا وَكَذَا كَانَ مَذْهَبًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُجْعَلَ ذَلِكَ قَوْلًا لَهُ، وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يُجْعَلُ ذَلِكَ قَوْلًا آخَرَ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ هَذَا إِخْبَارٌ عَنِ احْتِمَالِ الْمَسْأَلَةِ قَوْلًا آخَرَ فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ مَذْهَبًا لَهُ.

Adapun jika seorang mujtahid berpendapat tentang suatu peristiwa dengan suatu pendapat kemudian berkata, "Seandainya ada yang berpendapat begini dan begini, maka itu adalah mazhab," maka tidak boleh menjadikan itu sebagai pendapatnya. Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa itu dijadikan pendapat lain, namun ini tidak benar karena ini hanyalah pemberitahuan tentang kemungkinan masalah tersebut memiliki pendapat lain, sehingga tidak boleh menjadikan itu sebagai mazhabnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَأَمَّا مَا يَقْتَضِيهِ قِيَاسُ قَوْلِ الْمُجْتَهِدِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ قَوْلًا لَهُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ ذَلِكَ قَوْلًا لَهُ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّ الْقَوْلَ مَا نَصَّ عَلَيْهِ وَهَذَا لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ قَوْلًا لَهُ.

Adapun apa yang dituntut oleh qiyas pendapat seorang mujtahid, maka tidak boleh menjadikannya sebagai pendapatnya. Sebagian sahabat kami berpendapat boleh menjadikan itu sebagai pendapatnya, namun ini tidak benar karena pendapat adalah apa yang ia tegaskan, sedangkan ini tidak ditegaskan olehnya, sehingga tidak boleh menjadikannya sebagai pendapatnya.

فَصْلٌ

Pasal

إِذَا نَصَّ فِي حَادِثَةٍ عَلَى حُكْمٍ وَنَصَّ فِي مِثْلِهَا عَلَى ضِدِّ ذَلِكَ الْحُكْمِ لَمْ يَجُزْ نَقْلُ الْقَوْلِ فِي أَحَدِ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: يَجُوزُ نَقْلُ الْجَوَابِ فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ إِلَى الْأُخْرَى وَتَخْرِجِيهِمَا عَلَى قَوْلَيْنِ وَهَذَا غَيْرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ لَمْ يَنُصَّ فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا إِلَّا عَلَى قَوْلٍ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُنْسَبَ إِلَيْهِ مَا لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ وَلِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّهُ قَصَدَ الْفَرْقَ بَيْنَ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ خَالَفَهُ.

Jika dalam suatu peristiwa dia menetapkan suatu hukum dan dalam peristiwa serupa dia menetapkan hukum yang berlawanan, maka tidak boleh memindahkan pendapat dari salah satu masalah ke masalah lainnya. Sebagian sahabat kami berpendapat: boleh memindahkan jawaban dari setiap masalah ke masalah lainnya dan mengeluarkan keduanya berdasarkan dua pendapat, namun ini tidak benar karena dia tidak menetapkan pada setiap masalah kecuali satu pendapat, maka tidak boleh menisbatkan kepadanya apa yang tidak dia tetapkan, dan karena secara zhahir dia bermaksud membedakan antara dua masalah tersebut, maka siapa yang menyatukan keduanya berarti telah menyelisihinya.

بَابُ القَوْلِ فِي اجْتِهَادِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَالاجْتِهَادِ بِحَضْرَتِهِ

بَابُ الْقَوْلِ فِي اجْتِهَادِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَالِاجْتِهَادِ بِحَضْرَتِهِ

Bab Perkataan tentang Ijtihad Rasulullah ﷺ dan Ijtihad di Hadapan Beliau

يَجُوزُ الِاجْتِهَادُ بِحَضْرَةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ. وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ. دَلِيلُنَا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ سَعْدًا أَنْ يَحْكُمَ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

Ijtihad diperbolehkan di hadapan Rasulullah ﷺ. Sebagian sahabat kami mengatakan: tidak diperbolehkan. Dalil kami adalah bahwa Nabi ﷺ memerintahkan Sa'd untuk memutuskan hukum pada Bani Quraizah

فَاجْتَهَدَ بِحَضْرَتِهِ وَلِأَنَّ مَا جَازَ الْحُكْمُ بِهِ فِي غَيْبَةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ جَازَ الْحُكْمُ بِهِ فِي حَضْرَتِهِ كَالنَّصِّ.

Maka dia berijtihad di hadapannya, dan karena apa yang boleh dihukumi pada saat ketidakhadiran Rasulullah ﷺ, boleh juga dihukumi di hadapannya seperti nash.

فَصْلٌ

Pasal

وَقَدْ كَانَ يَجُوزُ لِرَسُولِ اللهِ ﷺ أَنْ يَحْكُمَ فِي الْحَوَادِثِ بِالِاجْتِهَادِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: مَا كَانَ لَهُ ذَلِكَ. لَنَا هُوَ أَنَّهُ إِذَا جَازَ لِغَيْرِهِ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْحُكْمُ بِالِاجْتِهَادِ فَلِأَنْ يَجُوزَ لِلرَّسُولِ ﷺ وَهُوَ أَكْمَلُ اجْتِهَادًا أَوْلَى.

Rasulullah ﷺ diperbolehkan untuk memutuskan peristiwa dengan ijtihad. Sebagian sahabat kami berkata: Beliau tidak diperbolehkan melakukan hal itu. Bagi kami, jika diperbolehkan bagi selain beliau dari para ulama untuk memutuskan dengan ijtihad, maka lebih utama diperbolehkan bagi Rasulullah ﷺ yang lebih sempurna ijtihadnya.

فَصْلٌ

Pasal

وَقَدْ كَانَ الْخَطَأُ جَائِزًا عَلَيْهِ إِلَّا أَنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَيْهِ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ مَا كَانَ يَجُوزُ عَلَيْهِ الْخَطَأُ وَهَذَا خَطَأٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿عَفَا اللَّهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ﴾ ١

Kesalahan diperbolehkan terjadi pada dirinya, hanya saja beliau tidak dibiarkan tetap dalam kesalahan tersebut. Sebagian sahabat kami berkata: Kesalahan tidak boleh terjadi pada dirinya. Ini adalah kesalahan, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Allah memaafkanmu (Muhammad), mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)" ¹

فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَخْطَأَ وَلِأَنَّ مَنْ جَازَ عَلَيْهِ السَّهْوُ وَالنِّسْيَانُ جَازَ عَلَيْهِ الْخَطَأُ كَغَيْرِهِ.

Ini menunjukkan bahwa beliau melakukan kesalahan. Dan karena siapa yang boleh terjadi padanya kelalaian dan lupa, maka boleh juga terjadi padanya kesalahan seperti yang lain.

فَصْلٌ

Pasal

وَيَجُوزُ أَنْ يَتَعَبَّدَ اللهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ ﷺ بِوَضْعِ الشَّرْعِ فَيَقُولُ لَهُ افْرِضْ وَسُنَّ مَا تَرَى أَنَّهُ مَصْلَحَةٌ لِلْخَلْقِ وَقَالَ أَكْثَرُ الْقَدَرِيَّةِ: لَا يَجُوزُ وَهَذَا خَطَأٌ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ تَجْوِيزُ إِحَالَةٍ وَلَا فَسَادٌ فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ جَائِزًا، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Dan diperbolehkan bagi Allah Ta'ala untuk memerintahkan Nabi-Nya ﷺ untuk menetapkan syariat, lalu berfirman kepadanya: "Tetapkanlah dan sunnahkanlah apa yang engkau anggap maslahat bagi makhluk." Mayoritas Qadariyah berkata: "Tidak boleh." Ini adalah kesalahan, karena hal itu tidak mengandung pembolehan kemustahilan atau kerusakan, maka wajib menjadi boleh. Wallahu a'lam.

تَمَّ الْكِتَابُ

Kitab telah selesai

وُجِدَ فِي الْأَصْلِ الْمَطْبُوعِ عَلَيْهِ مَا نَصُّهُ قُوبِلَ عَلَى أَصْلِهِ الْمُنْتَسَخِ مِنْهُ مَعَ مُرَاجَعَةِ نُسْخَتَيْنِ مِنْهُ فِي الْمَكْتَبَةِ الْعُمُومِيَّةِ بِدِمَشْقَ جَيِّدَتَيْنِ تَارِيخُ إِحْدَاهُمَا عَامَ ٥٧٤ فِي صَفَرٍ وَالْأُخْرَى بِالْعَامِ نَفْسِهِ مِنْ شَهْرِ رَبِيعٍ الْآخِرِ. وَكَتَبَهُ الْفَقِيرُ جَمَالُ الدِّينِ الْقَاسِمِيُّ حَامِدًا وَمُصَلِّيًا فِي ٢٦ رَبِيعٍ الْآخِرِ سَنَةَ ١٣٢٥

Ditemukan dalam naskah asli yang dicetak di atasnya, teksnya adalah: telah dicocokkan dengan naskah aslinya yang disalin darinya, dengan merujuk pada dua salinan yang baik di Perpustakaan Umum Damaskus, salah satunya bertanggal tahun 574 di bulan Safar dan yang lainnya pada tahun yang sama di bulan Rabi' al-Akhir. Ditulis oleh yang fakir Jamal al-Din al-Qasimi dengan pujian dan shalawat pada tanggal 26 Rabi' al-Akhir tahun 1325

_________
١ سُورَةُ التَّوْبَةِ الْآيَةُ: ٤٣.
1 Surah At-Taubah ayat: 43.