Al Mulakhkhas Fiqhiy - Warisan

كِتَابُ الْمَوَارِيثِ

بَابٌ فِي تَصَرُّفَاتِ الْمَرِيضِ الْمَالِيَّةِ

حَالَةُ الصِّحَّةِ تَخْتَلِفُ عَنْ حَالَةِ الْمَرَضِ مِنْ حَيْثُ نُفُوذُ تَصَرُّفَاتِ الْإِنْسَانِ فِي مَالِهِ فِي حُدُودِ الشَّرْعِ وَالرُّشْدِ مِنْ غَيْرِ اسْتِدْرَاكٍ عَلَيْهِ، وَالصَّدَقَةُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ فِي حَالَةِ الْمَرَضِ وَأَعْظَمُ أَجْرًا.

Kondisi sehat berbeda dengan kondisi sakit dalam hal berlakunya tindakan seseorang terhadap hartanya dalam batasan syariat dan kecerdasan tanpa ada yang menghalanginya, dan sedekah dalam kondisi ini lebih utama daripada sedekah dalam kondisi sakit dan lebih besar pahalanya.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ. وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾ .

Allah Ta'ala berfirman: "Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan."

وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ": أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمَّا سُئِلَ: أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟، قَالَ: "أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ؛ تَأْمَلُ الْغِنَى، وَتَخْشَى الْفَقْرَ، وَلَا تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ؛ قُلْتَ: لِفُلَانٍ كَذَا، وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ".

Dalam "Shahihain" disebutkan bahwa Nabi ﷺ ketika ditanya, "Sedekah apakah yang paling utama?" Beliau menjawab, "Engkau bersedekah saat engkau sehat dan kikir; mengharapkan kekayaan dan takut miskin. Janganlah engkau menunda-nunda hingga nyawa sampai di tenggorokan, lalu engkau berkata, 'Untuk si fulan sekian, padahal itu sudah menjadi milik si fulan.'"

وَالْمَرَضُ يَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ:

Penyakit terbagi menjadi dua jenis:

أَوَّلًا: مَرَضٌ غَيْرُ مَخُوفٍ، أَيْ: لَا يُخَافُ مِنْهُ الْمَوْتُ فِي الْعَادَةِ؛ كَوَجَعِ ضِرْسٍ وَعَيْنٍ وَصُدَاعٍ يَسِيرٍ؛ فَهَذَا الْقِسْمُ مِنَ الْمَرَضِ يَكُونُ تَصَرُّفُ

Pertama: Penyakit yang tidak berbahaya, yaitu yang biasanya tidak dikhawatirkan menyebabkan kematian; seperti sakit gigi, sakit mata, dan sakit kepala ringan. Jenis penyakit ini, tindakan

الْمَرِيضُ فِيهِ لَازِمًا كَتَصَرُّفِ الصَّحِيحِ، وَتَصِحُّ عَطِيَّتُهُ مِنْ جَمِيعِ مَالِهِ، وَلَوْ تَطَوَّرَ إِلَى مَرَضٍ مَخُوفٍ وَمَاتَ مِنْهُ؛ اعْتِبَارًا بِحَالِهِ حَالَ الْعَطِيَّةِ؛ لِأَنَّهُ فِي حَالِ الْعَطِيَّةِ فِي حُكْمِ الصَّحِيحِ.

Orang sakit di dalamnya harus bertindak dengan benar, dan pemberiannya sah dari seluruh hartanya, meskipun berkembang menjadi penyakit yang menakutkan dan meninggal karenanya; dengan mempertimbangkan keadaannya pada saat pemberian; karena pada saat pemberian, ia dianggap sehat.

ثَانِيًا: مَرَضٌ مَخُوفٌ، بِمَعْنَى: أَنَّهُ يُتَوَقَّعُ مِنْهُ الْمَوْتُ عَادَةً؛ فَإِنَّ تَبَرُّعَاتِ الْمَرِيضِ فِي هَذَا الْمَرَضِ وَعَطَايَاهُ تَنْفُذُ مِنْ ثُلُثِهِ لَا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، فَإِنْ كَانَتْ فِي حُدُودِ الثُّلُثِ فَمَا دُونَ؛ نَفَذَتْ، وَإِنْ زَادَتْ عَنْ ذَلِكَ؛ فَإِنَّهَا لَا تَنْفُذُ؛ إِلَّا بِإِجَازَةِ الْوَرَثَةِ لَهَا بَعْدَ الْمَوْتِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّ اللَّهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ زِيَادَةً فِي أَعْمَالِكُمْ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارَقُطْنِيُّ.

Kedua: Penyakit yang menakutkan, artinya: biasanya kematian diperkirakan darinya; sumbangan pasien dalam penyakit ini dan pemberiannya berlaku dari sepertiga, bukan dari modal, jika dalam batas sepertiga atau kurang; itu berlaku, dan jika melebihi itu; itu tidak berlaku; kecuali dengan izin ahli waris setelah kematian; karena sabdanya ﷺ: "Sesungguhnya Allah telah bersedekah kepada kalian pada saat kematian kalian dengan sepertiga harta kalian sebagai tambahan dalam amalan kalian", diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni.

فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ وَمَا وَرَدَ بِمَعْنَاهُ عَلَى الْإِذْنِ بِالتَّصَرُّفِ فِي ثُلُثِ الْمَالِ عِنْدَ الْوَفَاةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ، وَلِأَنَّهُ فِي حَالِ الْمَرَضِ الْمَخُوفِ يَغْلِبُ مَوْتُهُ بِهِ، فَكَانَتْ عَطِيَّتُهُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ تَجْحَفُ بِالْوَارِثِ، فَرُدَّتْ إِلَى الثُّلُثِ كَالْوَصِيَّةِ.

Hadits ini dan apa yang diriwayatkan dengan maknanya menunjukkan izin untuk menggunakan sepertiga harta pada saat kematian, dan ini adalah mazhab mayoritas ulama, dan karena dalam keadaan sakit yang menakutkan, kematiannya lebih mungkin terjadi karenanya, maka pemberiannya dari modal merugikan ahli waris, sehingga dikembalikan ke sepertiga seperti wasiat.

وَمِثْلُ حَالَةِ الْمَرَضِ الْمَخُوفِ فِي حُكْمِ التَّصَرُّفِ الْمَالِيِّ: حَالَةُ الْخَطَرِ؛ كَمَنْ وَقَعَ الْوَبَاءُ فِي بَلَدِهِ، أَوْ كَانَ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ فِي الْقِتَالِ، أَوْ كَانَ فِي لُجَّةِ الْبَحْرِ عِنْدَ هَيَجَانِهِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَنْفُذُ تَبَرُّعُهُ فِي تِلْكَ الْحَالِ فِيمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ؛ إِلَّا بِإِجَازَةِ الْوَرَثَةِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَلَا يَصِحُّ تَبَرُّعُهُ فِي تِلْكَ الْحَالِ لِأَحَدِ وَرَثَتِهِ بِشَيْءٍ؛ إِلَّا بِإِجَازَةِ الْوَرَثَةِ إِنْ مَاتَ فِي هَذِهِ الْحَالِ، فَإِنْ عُوفِيَ مِنَ الْمَرَضِ الْمَخُوفِ؛ نَفَذَتْ عَطَايَاهُ كُلُّهَا؛ لِعَدَمِ الْمَانِعِ.

Dan seperti keadaan penyakit yang menakutkan dalam hukum pengelolaan keuangan: keadaan bahaya; seperti orang yang wabah terjadi di negaranya, atau berada di antara dua barisan dalam pertempuran, atau berada di tengah lautan saat bergejolak; maka sumbangannya dalam keadaan itu tidak berlaku pada apa yang melebihi sepertiga; kecuali dengan izin ahli waris setelah kematian, dan sumbangannya dalam keadaan itu kepada salah satu ahli warisnya tidak sah dengan sesuatu; kecuali dengan izin ahli waris jika ia meninggal dalam keadaan ini, jika ia sembuh dari penyakit yang menakutkan; semua pemberiannya berlaku; karena tidak adanya penghalang.

وَمَنْ كَانَ مَرَضُهُ مُزْمِنًا، وَلَمْ يُلْزِمْهُ الْفِرَاشَ؛ فَتَبَرُّعَاتُهُ تَصِحُّ مِنْ جَمِيعِ مَالِهِ كَتَبَرُّعَاتِ الصَّحِيحِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُخَافُ مِنْهُ تَعْجِيلُ الْمَوْتِ؛ فَهُوَ كَالْهَرَمِ، وَأَمَّا إِنْ لَزِمَ مَنْ بِهِ مَرَضٌ مُزْمِنٌ الْفِرَاشَ؛ فَهُوَ كَمَنْ مَرَضُهُ مَخُوفٌ، لَا تَصِحُّ وَصَايَهُ إِلَّا فِي حُدُودِ الثُّلُثِ، وَلِغَيْرِ الْوَارِثِ؛ إِلَّا إِذَا أَجَازَهَا الْوَرَثَةُ؛ لِأَنَّهُ مَرِيضٌ مُلَازِمٌ لِلْفِرَاشِ، يُخْشَى عَلَيْهِ التَّلَفُ.

Dan barangsiapa yang penyakitnya kronis, dan tidak mengharuskannya berbaring di tempat tidur; maka sedekahnya sah dari seluruh hartanya seperti sedekah orang yang sehat; karena tidak dikhawatirkan darinya mempercepat kematian; maka dia seperti orang tua renta, adapun jika orang yang menderita penyakit kronis harus berbaring di tempat tidur; maka dia seperti orang yang penyakitnya menakutkan, wasiatnya tidak sah kecuali dalam batas sepertiga, dan untuk selain ahli waris; kecuali jika diizinkan oleh ahli waris; karena dia adalah orang sakit yang harus berbaring di tempat tidur, dikhawatirkan akan binasa.

وَيُعْتَبَرُ مِقْدَارُ الثُّلُثِ عِنْدَ مَوْتِهِ؛ لِأَنَّهُ وَقْتُ لُزُومِ الْوَصَايَا، وَوَقْتُ اسْتِحْقَاقِهَا، فَتُنَفَّذُ الْوَصَايَا وَالْعَطَايَا مِنْ ثُلُثِهِ حِينَئِذٍ، فَإِنْ ضَاقَ عَنْهَا؛ قُدِّمَتِ الْعَطَايَا عَلَى الْوَصَايَا؛ لِأَنَّهَا لَازِمَةٌ فِي حَقِّ الْمَرِيضِ، فَقُدِّمَتْ عَلَى الْوَصِيَّةِ كَالْعَطِيَّةِ فِي حَالِ الصِّحَّةِ.

Dan jumlah sepertiga dianggap pada saat kematiannya; karena itu adalah waktu jatuh tempo wasiat, dan waktu berhaknya, maka wasiat dan pemberian dilaksanakan dari sepertiganya pada saat itu, jika tidak mencukupi; maka pemberian didahulukan atas wasiat; karena itu adalah keharusan bagi orang sakit, maka didahulukan atas wasiat seperti pemberian dalam keadaan sehat.

وَهُنَاكَ فُرُوقٌ بَيْنَ الْوَصِيَّةِ وَالْعَطِيَّةِ:

Dan ada perbedaan antara wasiat dan pemberian:

فَقَدْ قَالَ الْفُقَهَاءُ ﵏: إِنَّ الْوَصِيَّةَ تُفَارِقُ الْعَطِيَّةَ فِي أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ:

Para ulama ﵏ telah berkata: Sesungguhnya wasiat berbeda dengan pemberian dalam empat hal:

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُسَوَّى بَيْنَ الْمُتَقَدِّمِ وَالْمُتَأَخِّرِ فِي الْوَصِيَّةِ؛ لِأَنَّهَا تَبَرُّعٌ بَعْدَ الْمَوْتِ، يُوجِبُ دَفْعَةً وَاحِدَةً، أَمَّا الْعَطِيَّةُ؛ فَيُبْدَأُ بِالْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ فِيهَا؛ لِأَنَّهَا تَقَعُ لَازِمَةً فِي حَقِّ الْمُعْطَى.

Pertama: Bahwa yang terdahulu dan yang terkemudian disamakan dalam wasiat; karena itu adalah sedekah setelah kematian, yang mengharuskan satu kali pemberian, adapun pemberian; maka dimulai dengan yang pertama lalu yang pertama di dalamnya; karena itu menjadi keharusan bagi pemberi.

الثَّانِي: أَنَّ الْمُعْطَى لَا يَمْلِكُ الرُّجُوعَ فِي الْعَطِيَّةِ بَعْدَ قَبْضِهَا؛ بِخِلَافِ الْوَصِيَّةِ؛ فَإِنَّ الْمُوصِيَ يَمْلِكُ الرُّجُوعَ فِيهَا لِأَنَّهَا لَا تَلْزَمُ إِلَّا بِالْمَوْتِ.

Kedua: Bahwa pemberi tidak memiliki hak untuk menarik kembali pemberiannya setelah diterima; berbeda dengan wasiat; karena pemberi wasiat memiliki hak untuk menarik kembali wasiatnya karena itu tidak menjadi keharusan kecuali dengan kematian.

الثَّالِثُ: أَنَّ الْعَطِيَّةَ يُعْتَبَرُ الْقَبُولُ لَهَا عِنْدَ وُجُودِهَا؛ لِأَنَّهَا تُمْلَكُ فِي الْحَالِ؛ بِخِلَافِ الْوَصِيَّةِ؛ فَإِنَّهَا تَمْلِيكٌ بَعْدَ الْمَوْتِ؛ فَاعْتُبِرَ الْقَبُولُ عِنْدَ وُجُودِ؛ فَلَا حُكْمَ لِقَبُولِهَا قَبْلَ الْمَوْتِ.

Ketiga: Bahwa pemberian dianggap diterima ketika ada; karena itu dimiliki seketika; berbeda dengan wasiat; karena itu adalah kepemilikan setelah kematian; maka penerimaan dianggap ketika ada; maka tidak ada hukum untuk penerimaannya sebelum kematian.

الرَّابِعُ: أَنَّ الْعَطِيَّةَ يَثْبُتُ الْمِلْكُ فِيهَا عِنْدَ قَبُولِهَا؛ بِخِلَافِ الْوَصِيَّةِ؛ فَإِنَّهَا لَا تُمْلَكُ قَبْلَ الْمَوْتِ؛ لِأَنَّهَا تَمْلِيكٌ بَعْدَهُ؛ فَلَا تَتَقَدَّمُهُ

Keempat: Bahwa kepemilikan pada pemberian ditetapkan ketika diterima; berbeda dengan wasiat; karena itu tidak dimiliki sebelum kematian; karena itu adalah kepemilikan setelahnya; maka tidak mendahuluinya

بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْوَصَايَا

بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْوَصَايَا

Bab tentang hukum-hukum wasiat

الْوَصِيَّةُ لُغَةً: مَأْخُوذَةٌ مِنْ وَصَيْتُ الشَّيْءَ إِذَا وَصَلْتَهُ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا وَصْلٌ لِمَا كَانَ فِي الْحَيَاةِ بِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ؛ لِأَنَّ الْمُوصِيَ بَعْضُ التَّصَرُّفِ الْجَائِزِ فِي حَيَاتِهِ لِيَسْتَمِرَّ بَعْدَ مَوْتِهِ.

Wasiat secara bahasa: diambil dari "aku mewasiatkan sesuatu" jika aku menyambungkannya, dinamakan demikian karena wasiat adalah penyambung antara apa yang ada di masa hidup dengan apa yang ada setelah kematian; karena orang yang berwasiat melakukan sebagian tindakan yang dibolehkan semasa hidupnya agar berlanjut setelah kematiannya.

وَالْوَصِيَّةُ فِي اصْطِلَاحِ الْفُقَهَاءِ: هِيَ الْأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ بَعْدَ الْمَوْتِ، أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى: هِيَ التَّبَرُّعُ بِالْمَالِ بَعْدَ الْمَوْتِ.

Wasiat dalam istilah para ahli fikih: adalah perintah untuk bertindak setelah kematian, atau dengan ungkapan lain: adalah pemberian dengan harta setelah kematian.

وَالدَّلِيلُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ.

Dalil atas pensyariatannya adalah Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma'.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ﴾ .

Allah Ta'ala berfirman: "Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa."

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا﴾ .

Dan Allah berfirman: "Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya."

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِنَّ اللهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ زِيَادَةً فِي حَسَنَاتِكُمْ".

Nabi ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Allah menyedekahkan kepada kalian sepertiga harta kalian ketika kalian meninggal dunia sebagai tambahan dalam kebaikan kalian."

وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِهَا.

Para ulama bersepakat atas kebolehannya.

وَالْوَصِيَّةُ تَارَةً تَكُونُ وَاجِبَةً وَتَارَةً مُسْتَحَبَّةً:

Wasiat terkadang hukumnya wajib dan terkadang mustahab:

فَتَجِبُ الْوَصِيَّةُ بِمَا وَمَا عَلَيْهِ مِنَ الْحُقُوقِ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا إِثْبَاتٌ لِئَلَّا تَضِيعَ، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي بِهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ؛ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ"، فَإِذَا كَانَ عِنْدَهُ وَدَائِعُ لِلنَّاسِ أَوْ فِي ذِمَّتِهِ حُقُوقٌ لَهُمْ؛ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَكْتُبَهَا وَيُبَيِّنَهَا.

Maka wasiat wajib dilakukan dengan apa yang dimiliki dan hak-hak yang tidak ada buktinya agar tidak hilang. Nabi ﷺ bersabda: "Tidaklah hak seorang muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan bermalam selama dua malam, kecuali wasiatnya telah tertulis di sisinya." Jika dia memiliki titipan untuk orang-orang atau hak-hak mereka dalam tanggungannya, maka wajib baginya untuk menuliskannya dan menjelaskannya.

تَكُونُ الْوَصِيَّةُ مُسْتَحَبَّةً بِأَنْ يُوصِيَ بِشَيْءٍ مِنْ مَالِهِ فِي سُبُلِ الْبِرِّ وَالْإِحْسَانِ لِيَصِلَ إِلَيْهِ ثَوَابُهُ بَعْدَ وَفَاتِهِ؛ فَقَدْ أَذِنَ لَهُ الشَّارِعُ بِالتَّصَرُّفِ عِنْدَ الْمَوْتِ بِثُلُثِ الْمَالِ، وَهَذَا مِنْ لُطْفِ اللهِ بِعِبَادِهِ؛ لِتَكْثِيرِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ لَهُمْ.

Wasiat menjadi sunnah dengan berwasiat dengan sebagian hartanya di jalan kebaikan dan ihsan agar pahalanya sampai kepadanya setelah kematiannya. Syariat telah mengizinkannya untuk menggunakan sepertiga hartanya pada saat kematian, dan ini adalah bentuk kelembutan Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk memperbanyak amal saleh bagi mereka.

وَتَصِحُّ الْوَصِيَّةُ حَتَّى مِنَ الصَّبِيِّ الْعَاقِلِ كَمَا تَصِحُّ مِنْهُ الصَّلَاةُ، وَثَبَتَ بِالْإِشْهَادِ وَبِالْكِتَابَةِ الْمَعْرُوفَةِ بِخَطِّ الْمُوصِي.

Wasiat sah bahkan dari anak kecil yang berakal seperti halnya shalat sah darinya, dan ditetapkan dengan persaksian dan tulisan yang dikenal dengan tulisan orang yang berwasiat.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصِيَّةِ: أَنَّهَا تَجُوزُ بِحُدُودِ ثُلُثِ الْمَالِ فَأَقَلَّ، وَبَعْضُ الْعُلَمَاءِ يَسْتَحِبُّ أَنْ لَا تَبْلُغَ الثُّلُثَ؛ فَقَدْ وَرَدَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ ﵃:

Di antara hukum-hukum wasiat adalah: bahwa wasiat boleh dilakukan dengan batas sepertiga harta atau kurang. Sebagian ulama menganggap mustahab untuk tidak mencapai sepertiga. Telah diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abbas ﵃:

فَقَدْ قَالَ أَبُو بَكْرٍ ﵁: "رَضِيتُ بِمَا رَضِيَ اللهُ بِهِ لِنَفْسِهِ"، يَعْنِي: فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ﴾ .

Abu Bakar ﵁ berkata: "Aku ridha dengan apa yang diridhai Allah untuk diri-Nya," yaitu dalam firman-Nya: ﴿Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah﴾.

وَقَالَ عَلِيٌّ ﵁: " لَأَنْ أُوصِيَ بِالْخُمُسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُوصِيَ بِالرُّبُعِ ".

Ali ﵁ berkata: "Bagiku, berwasiat dengan seperlima lebih aku sukai daripada berwasiat dengan seperempat".

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ﵄: "لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضُّوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ؛ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ".

Ibnu Abbas ﵄ berkata: "Seandainya orang-orang mengurangi dari sepertiga menjadi seperempat; karena Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sepertiga, dan sepertiga itu banyak'."

وَلَا يَجُوزُ الْوَصِيَّةُ بِأَكْثَرَ مِنَ الثُّلُثِ لِمَنْ لَهُ وَارِثٌ؛ إِلَّا بِإِجَازَةِ الْوَرَثَةِ؛ لِأَنَّ مَا زَادَ عَلَى ثُلُثٍ حَقٌّ لَهُمْ، فَإِذَا أَجَازُوا الزِّيَادَةَ عَلَيْهِ؛ صَحَّ ذَلِكَ، وَتُعْتَبَرُ إِجَازَتُهُمْ لَهَا بَعْدَ الْمَوْتِ.

Tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga bagi yang memiliki ahli waris; kecuali dengan izin ahli waris; karena yang lebih dari sepertiga adalah hak mereka, jika mereka mengizinkan tambahan atasnya; maka itu sah, dan izin mereka atasnya dianggap setelah kematian.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصَايَا أَنَّهَا لَا تَصِحُّ لِأَحَدٍ مِنَ الْوَرَثَةِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَلَهُ شَوَاهِدُ، وَقَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: "اتَّفَقَتِ الْأُمَّةُ عَلَيْهِ".

Di antara hukum-hukum wasiat adalah bahwa wasiat tidak sah bagi salah seorang ahli waris; karena sabda Nabi ﷺ: "Tidak ada wasiat bagi ahli waris", diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi yang menilainya hasan, dan hadits ini memiliki syawahid (hadits pendukung), dan Syaikh Taqiyuddin berkata: "Umat telah bersepakat atasnya".

وَذَكَرَ الشَّافِعِيُّ أَنَّهُ مُتَوَاتِرٌ، فَقَالَ: "وَجَدْنَا أَهْلَ الْفُتْيَا وَمَنْ حَفِظْنَا عَنْهُمْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْمَغَازِي مِنْ قُرَيْشٍ وَغَيْرِهِمْ لَا يَخْتَلِفُونَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ عَامَ الْفَتْحِ: "لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ"، وَيَأْثَرُونَهُ عَمَّنْ لَقُوهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ؛ إِلَّا إِذَا أَجَازَ الْوَرَثَةُ الْوَصِيَّةَ لِلْوَارِثِ؛ فَإِنَّمَا تَصِحُّ؛ لِأَنَّ الْحَقَّ لَهُمْ، وَتُعْتَبَرُ صِحَّةُ إِجَازَتِهِمُ الْوَصِيَّةَ بِالزِّيَادَةِ عَلَى الثُّلُثِ لِغَيْرِ الْوَارِثِ وَإِجَازَتِهِمُ الْوَصِيَّةَ لِلْوَارِثِ إِذَا

Asy-Syafi'i menyebutkan bahwa hadits tersebut mutawatir, ia berkata: "Kami mendapati ahli fatwa dan orang-orang yang kami hafal dari mereka dari ahli ilmu tentang peperangan dari suku Quraisy dan selain mereka tidak berselisih bahwa Nabi ﷺ bersabda pada tahun penaklukan Mekah: 'Tidak ada wasiat bagi ahli waris', dan mereka meriwayatkannya dari orang-orang yang mereka temui dari ahli ilmu; kecuali jika ahli waris mengizinkan wasiat untuk ahli waris; maka wasiat itu sah; karena hak itu milik mereka, dan dianggap sah izin mereka atas wasiat dengan tambahan lebih dari sepertiga untuk selain ahli waris dan izin mereka atas wasiat untuk ahli waris jika

كَانَتِ الْإِجَازَةُ صَادِرَةً مِنْهُمْ فِي مَرَضِ مَوْتِ الْمُوصِي أَوْ بَعْدَ وَفَاتِهِ..".

Izin itu dikeluarkan oleh mereka pada saat sakit yang menyebabkan kematian pemberi wasiat atau setelah kematiannya..".

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصِيَّةِ: أَنَّهَا إِنَّمَا تُسْتَحَبُّ فِي حَقِّ مَنْ لَهُ مَالٌ كَثِيرٌ وَوَارِثُهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ﴾، وَالْخَيْرُ هُوَ الْمَالُ الْكَثِيرُ عُرْفًا؛ فَتُكْرَهُ وَصِيَّةُ مَنْ مَالُهُ قَلِيلٌ وَوَارِثُهُ مُحْتَاجٌ؛ لِأَنَّهُ يَكُونُ بِذَلِكَ قَدْ عَدَلَ عَنْ أَقَارِبِهِ الْمُحَاوِيجِ إِلَى الْأَجَانِبِ، وَلِقَوْلِهِ ﷺ لِسَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ: "مَا مِنْ مَالٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ مَالٍ يَتْرُكُهُ الرَّجُلُ لِوَلَدِهِ وَيُغْنِيهِمْ بِهِ عَنِ النَّاسِ"، وَقَالَ عَلِيٌّ لِرَجُلٍ: "إِنَّمَا تَرَكْتَ شَيْئًا يَسِيرًا؛ فَدَعْهُ لِوَرَثَتِكَ"، وَكَانَ كَثِيرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ لَمْ يُوصُوا.

Di antara hukum-hukum wasiat: bahwa wasiat itu dianjurkan bagi orang yang memiliki harta yang banyak dan ahli warisnya tidak membutuhkan; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat", dan yang dimaksud dengan "harta yang banyak" adalah harta yang banyak menurut 'urf; maka dimakruhkan wasiat dari orang yang hartanya sedikit dan ahli warisnya membutuhkan; karena dengan demikian ia telah berpaling dari kerabatnya yang membutuhkan kepada orang-orang asing, dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Sa'd bin Abi Waqqash: "Tidak ada harta yang lebih besar pahalanya daripada harta yang ditinggalkan oleh seorang laki-laki untuk anaknya dan mencukupkan mereka dari (meminta-minta kepada) manusia", dan Ali berkata kepada seorang laki-laki: "Sesungguhnya engkau meninggalkan sesuatu yang sedikit; maka tinggalkanlah untuk ahli warismu", dan banyak dari para sahabat Nabi ﷺ yang tidak berwasiat.

وَإِذَا كَانَ قَصْدُ الْمُورِثِ الْمُضَارَّةَ بِالْوَارِثِ وَمُضَايَقَتَهُ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ يَحْرُمُ وَيَأْثَمُ بِهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿غَيْرَ مُضَارٍّ﴾ .

Dan jika tujuan pewaris adalah untuk membahayakan ahli waris dan menyulitkannya; maka hal itu haram dan berdosa karenanya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "tidak menyusahkan".

وَفِي الْحَدِيثِ: "إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ سِتِّينَ سَنَةً، ثُمَّ يَحْضُرُهُ الْمَوْتُ، فَيُضَارُّ فِي الْوَصِيَّةِ، فَتَجِبُ لَهُ النَّارُ"،وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: "الْإِضْرَارُ فِي

Dan dalam hadits: "Sesungguhnya seorang laki-laki beramal dengan ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian kematian mendatanginya, lalu ia membahayakan dalam wasiat, maka wajib baginya neraka", dan Ibnu Abbas berkata: "Membahayakan dalam

الوَصِيَّةُ مِنَ الكَبَائِرِ".

Wasiat termasuk dosa besar".

قَالَ الإِمَامُ الشَّوْكَانِيُّ ﵀: "قَوْلُهُ ﴿غَيْرَ مُضَارٍّ﴾؛ أَيْ: يُوصِي حَالَ كَوْنِهِ غَيْرَ مُضَارٍّ لِوَرَثَتِهِ بِوَجْهٍ مِنْ وُجُوهِ الضِّرَارِ؛ كَأَنْ يُقِرَّ بِشَيْءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ، أَوْ يُوصِيَ بِوَصِيَّةٍ لَا مَقْصِدَ لَهُ فِيهَا إِلَّا الضِّرَارَ بِالْوَرَثَةِ، أَوْ يُوصِيَ لِوَارِثٍ مُطْلَقًا أَوْ لِغَيْرِهِ بِزِيَادَةٍ عَلَى الثُّلُثِ وَلَمْ تُجِزْهُ الْوَرَثَةُ، وَهَذَا الْقَيْدُ أَعْنِي قَوْلَهُ: ﴿غَيْرَ مُضَارٍّ﴾ رَاجِعٌ إِلَى الْوَصِيَّةِ وَالدَّيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ؛ فَهُوَ قَيْدٌ لَهُمَا، فَمَا صَدَرَ مِنَ الْإِقْرَارَاتِ بِالدُّيُونِ أَوِ الْوَصَايَا الْمَنْهِيِّ أَوِ الَّتِي لَا مَقْصِدَ لِصَاحِبِهَا إِلَّا الْمُضَارَّةَ لِوَرَثَتِهِ؛ فَهُوَ بَاطِلٌ مَرْدُودٌ، لَا يَنْفُذُ مِنْهُ شَيْءٌ، لَا الثُّلُثُ وَلَا دُونَهُ" انْتَهَى كَلَامُ الشَّوْكَانِيِّ ﵀.

Imam Syaukani ﵀ berkata: "Firman-Nya ﴿غَيْرَ مُضَارٍّ﴾ artinya: berwasiat dalam keadaan tidak merugikan ahli warisnya dengan cara apa pun yang merugikan; seperti mengakui sesuatu yang tidak wajib atasnya, atau berwasiat dengan wasiat yang tidak ada tujuan baginya kecuali merugikan ahli waris, atau berwasiat kepada ahli waris secara mutlak atau kepada selain ahli waris dengan lebih dari sepertiga dan ahli waris tidak membolehkannya. Batasan ini, yaitu firman-Nya: ﴿غَيْرَ مُضَارٍّ﴾ kembali kepada wasiat dan utang yang disebutkan; maka ia adalah batasan bagi keduanya. Maka apa yang terjadi dari pengakuan utang atau wasiat yang dilarang atau yang tidak ada tujuan bagi pemiliknya kecuali merugikan ahli warisnya; maka itu batil dan tertolak, tidak berlaku darinya sesuatu, tidak sepertiga dan tidak pula kurang darinya." Selesai perkataan Imam Syaukani ﵀.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصَايَا: جَوَازُ الْوَصِيَّةِ بِكُلِّ الْمَالِ لِمَنْ لَا وَارِثَ لَهُ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: "إِنَّكَ إِنْ تَذَرْ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ"، وَوَرَدَ جَوَازُ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ﵁،

Di antara hukum-hukum wasiat: bolehnya berwasiat dengan seluruh harta bagi orang yang tidak memiliki ahli waris; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia", dan telah diriwayatkan kebolehan hal itu dari Ibnu Mas'ud ﵁,

وَقَالَ بِهِ جَمْعٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ؛ لِأَنَّ الْمَنْعَ مِنَ الْوَصِيَّةِ بِمَا زَادَ عَنِ الثُّلُثِ لِأَجْلِ حَقِّ الْوَرَثَةِ، فَإِذَا عَدِمُوا؛ زَالَ الْمَانِعُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ حَقُّ وَارِثٍ وَلَا غَرِيمٍ؛ فَأَشْبَهَ مَا لَوْ تَصَدَّقَ بِمَالِهِ فِي حَالِ صِحَّتِهِ.

Sekelompok ulama berpendapat demikian; karena larangan berwasiat dengan lebih dari sepertiga adalah demi hak para ahli waris, maka jika mereka tidak ada, hilanglah penghalang tersebut; karena tidak terkait dengannya hak ahli waris maupun kreditur; sehingga menyerupai seandainya ia bersedekah dengan hartanya dalam keadaan sehat.

قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ: "الصَّحِيحُ أَنَّ ذَلِكَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا مَنَعَهُ الشَّارِعُ فِيمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ إِذَا كَانَ لَهُ وَرَثَةٌ، فَمَنْ لَا وَارِثَ لَهُ لَا يُعْتَرَضُ عَلَيْهِ فِيمَا صَنَعَ فِي مَالِهِ.." انْتَهَى كَلَامُ ابْنِ الْقَيِّمِ.

Imam Ibnu Al-Qayyim berkata, "Yang benar adalah bahwa itu diperbolehkan baginya; karena Syari' (Pembuat syariat) hanya melarangnya pada apa yang melebihi sepertiga jika ia memiliki ahli waris, maka orang yang tidak memiliki ahli waris tidak dihalangi pada apa yang ia lakukan dengan hartanya..." Selesai perkataan Ibnu Al-Qayyim.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصَايَا: أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَفِ ثُلُثُ مَالِ الْمُوصِي بِهَا، وَلَمْ تُجِزِ الْوَرَثَةُ الزِّيَادَةَ عَلَى الثُّلُثِ؛ فَإِنَّ النَّقْصَ يَدْخُلُ عَلَى الْجَمِيعِ بِالْقِسْطِ فَيَتَحَاصَّوْنَ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ مُتَقَدِّمِهَا وَمُتَأَخِّرِهَا؛ لِأَنَّهَا كُلَّهَا تَبَرُّعٌ بَعْدَ الْمَوْتِ، فَوَجَبَتْ دَفْعَةً وَاحِدَةً، تَسَاوَى أَصْحَابُهَا فِي الْأَصْلِ وَتَفَاوَتُوا فِي الْمِقْدَارِ، فَوَجَبَتِ الْمُحَاصَّةُ؛ كَمَسَائِلِ الْعَوْلِ فِي الْفَرَائِضِ إِذَا زَادَتْ عَلَى أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ.

Di antara hukum-hukum wasiat: Jika sepertiga harta orang yang berwasiat tidak mencukupi untuk memenuhi wasiat, dan ahli waris tidak mengizinkan tambahan melebihi sepertiga; maka kekurangan itu masuk kepada semuanya secara proporsional sehingga mereka saling berbagi, dan tidak ada perbedaan antara yang terdahulu dan yang terakhir; karena semuanya adalah pemberian setelah kematian, maka wajib diberikan sekaligus, para pemiliknya sama dalam asalnya dan berbeda dalam ukurannya, maka wajib saling berbagi; seperti masalah-masalah 'aul dalam faraidh jika melebihi asal masalah.

مِثَالُ ذَلِكَ: أَوْ أَوْصَى لِشَخْصٍ بِمِئَةِ رِيَالٍ، وَلِآخَرَ بِمِئَةِ رِيَالٍ، وَلِثَالِثٍ بِخَمْسِينَ رِيَالًا، وَلِرَابِعٍ بِثَلَاثِينَ رِيَالًا، وَثُلُثُ مَالِهِ مِئَةُ رِيَالٍ فَقَطْ، وَمَجْمُوعُ الْوَصَايَا ثَلَاثُ مِئَةِ رِيَالٍ، فَإِذَا نَسَبْتَ مَبْلَغَ الثُّلُثِ إِلَى مَبْلَغِ مَجْمُوعِ الْوَصَايَا؛ بَلَغَ ثُلُثَهُ، فَيُعْطِي كُلَّ وَاحِدٍ ثُلُثَ مَا أَوْصَى لَهُ بِهِ فَقَطْ.

Contoh itu: Jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan seratus riyal, kepada yang lain dengan seratus riyal, kepada yang ketiga dengan lima puluh riyal, dan kepada yang keempat dengan tiga puluh riyal, sedangkan sepertiga hartanya hanya seratus riyal saja, dan jumlah wasiat adalah tiga ratus riyal, maka jika Anda menisbatkan jumlah sepertiga kepada jumlah keseluruhan wasiat; mencapai sepertiganya, maka setiap orang diberi sepertiga dari apa yang diwasiatkan kepadanya saja.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصَايَا: أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِصِحَّتِهَا وَعَدَمِ صِحَّتِهَا بِحَالَةِ الْمَوْتِ، فَلَوْ أَوْصَى لِوَارِثٍ، فَصَارَ عِنْدَ الْمَوْتِ غَيْرَ وَارِثٍ؛ كَأَخٍ حَجَبَ بِابْنٍ تَجَدَّدَ؛ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ اعْتِبَارًا بِحَالِ الْمَوْتِ؛ لِأَنَّهُ الْحَالُ الَّذِي يَحْصُلُ

Di antara hukum-hukum wasiat: Bahwa yang menjadi pertimbangan keabsahan dan ketidakabsahannya adalah keadaan kematian, seandainya seseorang berwasiat kepada ahli waris, lalu ketika kematian ia menjadi bukan ahli waris; seperti saudara yang terhalang oleh anak yang baru lahir; maka wasiat itu sah dengan mempertimbangkan keadaan kematian; karena itulah keadaan yang terjadi

بِهِ الانْتِقَالُ إِلَى الْوَارِثِ وَالْمُوصَى لَهُ، وَبِعَكْسِ ذَلِكَ، لَوْ أَوْصَى لِغَيْرِ وَارِثٍ، فَصَارَ عِنْدَ الْمَوْتِ وَارِثًا؛ فَإِنَّهَا لَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ؛ كَمَا لَوْ أَوْصَى لِأَخِيهِ مَعَ وُجُودِ ابْنِهِ حَالَ الْوَصِيَّةِ، ثُمَّ مَاتَ ابْنُهُ؛ فَإِنَّهَا تَبْطُلُ الْوَصِيَّةُ إِنْ لَمْ تُجِزْهَا الْوَرَثَةُ؛ لِأَنَّ أَخَاهُ صَارَ عِنْدَ الْمَوْتِ وَارِثًا.

Dengan itu berpindah kepada ahli waris dan orang yang diberi wasiat, dan sebaliknya, jika dia berwasiat kepada bukan ahli waris, lalu menjadi ahli waris ketika kematian; maka wasiat itu tidak sah; seperti jika dia berwasiat kepada saudaranya dengan adanya anaknya pada saat wasiat, kemudian anaknya meninggal; maka wasiat itu batal jika tidak diizinkan oleh ahli waris; karena saudaranya menjadi ahli waris ketika kematian.

وَيَتَرَتَّبُ عَلَى هَذَا الْحُكْمِ أَيْضًا أَنَّهُ لَا يَصِحُّ قَبُولُ الْوَصِيَّةِ وَلَا يَمْلِكُ الْمُوصَى لَهُ الْعَيْنَ الْمُوصَى بِهَا إِلَّا بَعْدَ مَوْتِ الْمُوصِي؛ لِأَنَّ ذَلِكَ وَقْتُ ثُبُوتِ حَقِّهِ، وَلَا يَصِحُّ الْقَبُولُ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي.

Dan juga mengikuti hukum ini bahwa tidak sah menerima wasiat dan orang yang diberi wasiat tidak memiliki barang yang diwasiatkan kecuali setelah kematian orang yang berwasiat; karena itu adalah waktu tetapnya haknya, dan tidak sah penerimaan sebelum kematian orang yang berwasiat.

قَالَ الْمُوَفَّقُ: "لَا نَعْلَمُ خِلَافًا بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي أَنَّ اعْتِبَارَ الْوَصِيَّةِ بِالْمَوْتِ، وَإِنْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ لِغَيْرِ مُعَيَّنٍ كَالْفُقَرَاءِ كَالْمَسَاكِينِ أَوْ مَنْ لَا يُمْكِنُ حَصْرُهُمْ كَبَنِي تَمِيمٍ أَوْ عَلَى مَصْلَحَةٍ كَالْمَسَاجِدِ؛ لَمْ تَفْتَقِرْ إِلَى قَبُولٍ، وَلَزِمَتْ بِمُجَرَّدِ الْمَوْتِ، أَمَّا إِذَا كَانَتْ عَلَى مُعَيَّنٍ؛ فَإِنَّهَا تَلْزَمُ بِالْقَبُولِ بَعْدَ الْمَوْتِ".

Al-Muwaffaq berkata: "Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa wasiat itu dianggap dengan kematian, dan jika wasiat itu untuk orang yang tidak ditentukan seperti orang-orang fakir seperti orang-orang miskin atau orang yang tidak dapat dihitung seperti Bani Tamim atau untuk kemaslahatan seperti masjid-masjid; maka tidak membutuhkan penerimaan, dan menjadi wajib hanya dengan kematian, adapun jika untuk orang tertentu; maka menjadi wajib dengan penerimaan setelah kematian."

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصِيَّةِ: أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْمُوصِي الرُّجُوعُ فِيهَا وَنَقْضُهَا أَوِ الرُّجُوعُ فِي بَعْضِهَا؛ لِقَوْلِ عُمَرَ: "يُغَيِّرُ الرَّجُلُ مَا شَاءَ فِي وَصِيَّتِهِ"، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، فَإِذَا قَالَ: رَجَعْتُ فِي وَصِيَّتِي، أَوْ: أَبْطَلْتُهَا.. وَنَحْوَ ذَلِكَ؛ بَطَلَتْ؛ لِمَا سَبَقَ مِنْ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِحَالَةِ مَوْتِ الْمُوصِي مِنْ حَيْثُ الْقَبُولُ وَلُزُومُ الْوَصِيَّةِ؛ فَكَذَلِكَ لِلْمُوصِي أَنْ يَرْجِعَ عَنْهَا فِي حَيَاتِهِ، فَلَوْ قَالَ: إِنْ أَقْدَمَ زَيْدٌ؛ فَلَهُ مَا وَصَيْتُ بِهِ لِعَمْرٍو.

Dan di antara hukum-hukum wasiat: bahwa orang yang berwasiat boleh menarik kembali wasiatnya, membatalkannya, atau menarik kembali sebagiannya; karena perkataan Umar: "Seseorang boleh mengubah apa yang dia kehendaki dalam wasiatnya", dan ini disepakati oleh para ulama, maka jika dia berkata: aku menarik kembali wasiatku, atau: aku membatalkannya.. dan semisalnya; maka batal; karena telah disebutkan sebelumnya bahwa yang dianggap adalah keadaan kematian orang yang berwasiat dari segi penerimaan dan keharusan wasiat; maka demikian pula orang yang berwasiat boleh menariknya kembali dalam hidupnya, maka seandainya dia berkata: jika Zaid datang; maka baginya apa yang aku wasiatkan untuk Amr.

فَقَدِمَ زَيْدٌ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي؛ فَالْوَصِيَّةُ لَهُ، وَيَكُونُ الْمُوصِي بِذَلِكَ قَدْ رَجَعَ عَنِ الْوَصِيَّةِ لِعَمْرٍو، وَإِنْ لَمْ يَقْدَمْ زَيْدٌ إِلَّا بَعْدَ وَفَاةِ الْمُوصِي؛ فَالْوَصِيَّةُ لِعَمْرٍو؛ لِأَنَّهُ لَمَّا مَاتَ الْمُوصِي قَبْلَ قُدُومِهِ اسْتَقَرَّتِ الْوَصِيَّةُ لِلْأَوَّلِ وَهُوَ عَمْرٌو.

Jika Zaid datang semasa hidup orang yang berwasiat, maka wasiat itu untuknya, dan orang yang berwasiat itu dianggap telah menarik kembali wasiat untuk Amr. Jika Zaid tidak datang kecuali setelah kematian orang yang berwasiat, maka wasiat itu untuk Amr, karena ketika orang yang berwasiat meninggal sebelum kedatangannya, wasiat itu menjadi tetap untuk yang pertama, yaitu Amr.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصِيَّةِ: أَنَّهُ يُخْرَجُ الْوَاجِبُ فِي تَرِكَةِ الْمَيِّتِ مِنَ الدُّيُونِ وَالْوَاجِبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ كَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَالنُّذُورِ وَالْكَفَّارَاتِ أَوَّلًا، وَإِنْ لَمْ يُوصِ بِهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ﴾ .

Di antara hukum-hukum wasiat adalah bahwa kewajiban dalam harta peninggalan mayit, seperti utang-utang dan kewajiban-kewajiban syar'i seperti zakat, haji, nazar, dan kafarat, dikeluarkan terlebih dahulu, meskipun dia tidak berwasiat dengannya, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya."

وَلِقَوْلِ عَلِيٍّ ﵁: "قَضَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ" رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَأَحْمَدُ وَغَيْرُهُ، فَدَلَّ عَلَى تَقْدِيمِ الدَّيْنِ عَلَى الْوَصِيَّةِ، وَفِي "الصَّحِيحِ": "اقْضُوا اللَّهَ؛ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ"، فَيُبْدَأُ بِالدَّيْنِ ثُمَّ الْوَصِيَّةِ، ثُمَّ الْإِرْثِ؛ بِالْإِجْمَاعِ.

Dan berdasarkan perkataan Ali ﵁: "Rasulullah ﷺ memutuskan untuk membayar utang sebelum wasiat," diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya, yang menunjukkan untuk mendahulukan utang atas wasiat. Dalam hadits shahih disebutkan: "Tunaikanlah hak Allah, karena Allah lebih berhak untuk dipenuhi." Maka dimulai dengan utang, kemudian wasiat, kemudian warisan, berdasarkan ijma'.

وَالْحِكْمَةُ فِي تَقْدِيمِ ذِكْرِ الْوَصِيَّةِ عَلَى الدَّيْنِ فِي الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ، وَإِنْ كَانَتْ تَتَأَخَّرُ عَنْهُ فِي التَّنْفِيذِ: أَنَّهَا لَمَّا أَشْبَهَتِ الْمِيرَاثَ فِي كَوْنِهَا بِلَا عِوَضٍ؛ كَانَ فِي إِخْرَاجِهَا مَشَقَّةٌ عَلَى الْوَارِثِ، فَقُدِّمَتْ فِي الذِّكْرِ؛ حَثًّا عَلَى إِخْرَاجِهَا، وَاهْتِمَامًا بِهَا، وَجِيءَ بِكَلِمَةِ "أَوْ" الَّتِي لِلتَّسْوِيَةِ، فَيَسْتَوِيَانِ فِي الِاهْتِمَامِ، وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مُقَدَّمًا عَلَيْهَا.

Hikmah dalam mendahulukan penyebutan wasiat atas utang dalam ayat yang mulia, meskipun ia terlambat darinya dalam pelaksanaan, adalah karena ia menyerupai warisan dalam hal tanpa imbalan. Mengeluarkannya merupakan kesulitan bagi ahli waris, maka ia didahulukan dalam penyebutan untuk mendorong pengeluarannya dan perhatian terhadapnya. Digunakan kata "atau" yang menunjukkan persamaan, sehingga keduanya sama dalam perhatian, meskipun utang didahulukan atasnya.

وَمِنْ هُنَا؛ فَإِنَّ أَمْرَ الْوَصِيَّةِ مُهِمٌّ، حَيْثُ نَوَّهَ اللَّهُ بِشَأْنِهَا فِي كِتَابِهِ

Dari sini, maka perkara wasiat itu penting, di mana Allah menekankan pentingnya dalam Kitab-Nya.

الْكَرِيمِ، وَقَدَّمَهَا فِي الذِّكْرِ عَلَى غَيْرِهَا؛ اهْتِمَامًا بِهَا، وَحَثًّا عَلَى تَنْفِيذِهَا، مَا دَامَتْ تَتَمَشَّى عَلَى الْوَجْهِ الْمَشْرُوعِ، وَقَدْ تَوَعَّدَ اللهُ مَنْ تَسَاهَلَ بِشَأْنِهَا أَوْ غَيَّرَ فِيهَا وَبَدَّلَ مِنْ غَيْرِ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ، فَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾ .

Yang Mulia, dan Dia mendahulukannya dalam penyebutan daripada yang lainnya; karena perhatian terhadapnya, dan dorongan untuk melaksanakannya, selama ia berjalan sesuai dengan cara yang disyariatkan, dan Allah telah mengancam orang yang meremehkan urusannya atau mengubahnya dan menggantikannya tanpa alasan yang sah secara syar'i, maka Dia berfirman: "Barangsiapa yang mengubahnya setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

قَالَ الْإِمَامُ الشَّوْكَانِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: "وَالتَّبْدِيلُ التَّغْيِيرُ، وَهَذَا وَعِيدٌ لِمَنْ غَيَّرَ الْوَصِيَّةَ الْمُطَابِقَةَ لِلْحَقِّ الَّتِي لَا جَنَفَ فِيهَا وَلَا مُضَارَّةَ، وَأَنَّهُ يَبُوءُ بِالْإِثْمِ، وَلَيْسَ عَلَى الْمُوصِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ؛ فَقَدْ تَخَلَّصَ مِمَّا كَانَ عَلَيْهِ بِالْوَصِيَّةِ بِهِ.." انْتَهَى.

Imam Asy-Syaukani berkata dalam tafsirnya: "Penggantian adalah perubahan, dan ini adalah ancaman bagi siapa yang mengubah wasiat yang sesuai dengan kebenaran yang tidak ada penyimpangan dan kerugian di dalamnya, dan bahwa ia akan menanggung dosa, dan tidak ada tanggung jawab atas pemberi wasiat dalam hal itu; karena ia telah melepaskan diri dari apa yang menjadi kewajibannya dengan berwasiat dengannya.." Selesai.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصِيَّةِ: صِحَّتُهَا لِكُلِّ شَخْصٍ يَصِحُّ تَمَلُّكُهُ، سَوَاءٌ كَانَ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِلاّ أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا﴾، قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَنَفِيَّةِ: "هُوَ وَصِيَّةُ الْمُسْلِمِ لِلْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ".

Dan di antara hukum-hukum wasiat: keabsahannya bagi setiap orang yang sah memilikinya, baik Muslim maupun kafir; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Kecuali jika kamu berbuat baik kepada wali-walimu", Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata: "Itu adalah wasiat seorang Muslim kepada orang Yahudi dan Nasrani".

وَقَدْ كَسَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ﵁ أَخًا لَهُ وَهُوَ مُشْرِكٌ.

Dan Umar bin Al-Khathab ﵁ telah memberi pakaian kepada saudaranya yang musyrik.

وَأَسْمَاءُ وَصَلَتْ أُمَّهَا وَهِيَ رَاغِبَةٌ عَنِ الْإِسْلَامِ.

Dan Asma' menyambung silaturahmi dengan ibunya yang enggan memeluk Islam.

وَصَفِيَّةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ أَوْصَتْ بِثُلُثِهَا لِأَخٍ لَهَا يَهُودِيٍّ.

Dan Shafiyyah, Ummul Mukminin, mewasiatkan sepertiga hartanya untuk saudaranya yang Yahudi.

وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ

Dan berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Allah tidak melarang kamu berbuat baik terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama

وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾ .

dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu, berbuat baiklah kepada mereka dan berlaku adillah terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

وَإِنَّمَا تَصِحُّ وَصِيَّةُ الْمُسْلِمِ لِلْكَافِرِ الْمُعَيَّنِ كَمَا وَرَدَ، وَأَمَّا الْكَافِرُ غَيْرُ الْمُعَيَّنِ؛ فَلَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ لَهُ؛ كَمَا لَوْ أَوْصَى لِلْيَهُودِ أَوِ النَّصَارَى أَوْ فُقَرَائِهِمْ، وَكَذَا لَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ لِلْكَافِرِ الْمُعَيَّنِ بِمَا لَا يَجُوزُ تَمْلِيكُهُ إِيَّاهُ وَتَمْكِينُهُ مِنْهُ؛ كَالْمُصْحَفِ، وَالْعَبْدِ الْمُسْلِمِ، أَوِ السِّلَاحِ.

Wasiat seorang Muslim kepada orang kafir tertentu adalah sah sebagaimana yang telah diriwayatkan. Adapun wasiat kepada orang kafir yang tidak tertentu, maka tidak sah; seperti jika ia berwasiat kepada orang-orang Yahudi, Nasrani, atau orang-orang miskin di antara mereka. Demikian pula, tidak sah wasiat kepada orang kafir tertentu dengan sesuatu yang tidak boleh dimiliki dan dikuasainya; seperti mushaf Al-Qur'an, budak Muslim, atau senjata.

وَتَصِحُّ الْوَصِيَّةُ لِحَمْلٍ تَحَقَّقَ وُجُودُهُ قَبْلَ صُدُورِ الْوَصِيَّةِ، وَيُعْرَفُ ذَلِكَ بِأَنْ تَضَعَهُ أُمُّهُ قَبْلَ تَمَامِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ صُدُورِ الْوَصِيَّةِ إِذَا كَانَ لَهَا زَوْجٌ أَوْ سَيِّدٌ، أَوْ تَضَعَهُ لِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ إِنْ لَمْ تَكُنْ ذَاتَ زَوْجٍ أَوْ سَيِّدٍ؛ لِأَنَّ مِثْلَ هَذَا الْحَمْلِ يَرِثُ؛ فَالْوَصِيَّةُ لَهُ تَصِحُّ مِنْ بَابِ أَوْلَى، وَإِنْ وَضَعَتْهُ مَيِّتًا بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ.

Wasiat untuk janin yang keberadaannya telah dipastikan sebelum wasiat dikeluarkan adalah sah. Hal itu dapat diketahui jika ibunya melahirkannya sebelum genap enam bulan sejak wasiat dikeluarkan, jika ia memiliki suami atau tuan, atau melahirkannya kurang dari empat tahun jika ia tidak memiliki suami atau tuan. Karena janin seperti ini mewarisi, maka wasiat untuknya sah dari sisi yang lebih utama. Jika ia dilahirkan dalam keadaan meninggal, maka wasiat menjadi batal.

وَلَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ لِحَمْلٍ غَيْرِ مَوْجُودٍ حِينَهَا؛ كَمَا لَوْ قَالَ أَوْصَيْتُ لِمَنْ تَحْمِلُ بِهِ هَذِهِ الْمَرْأَةُ؛ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لِمَعْدُومٍ.

Wasiat untuk janin yang belum ada pada saat itu tidak sah; seperti jika seseorang berkata, "Aku berwasiat untuk janin yang dikandung oleh wanita ini", karena itu adalah wasiat untuk sesuatu yang tidak ada.

وَإِذَا أَوْصَى بِمَبْلَغٍ كَبِيرٍ مِنَ الْمَالِ يُحَجُّ بِهِ عَنْهُ؛ فَإِنَّهُ يُصْرَفُ مِنْهُ حَجَّةٌ بَعْدَ أُخْرَى حَتَّى يَنْفَدَ، وَإِنْ كَانَ الْمَبْلَغُ قَلِيلًا؛ حُجَّ بِهِ مِنْ حَيْثُ بَلَغَ، وَإِنْ نَصَّ عَلَى أَنَّ الْمَبْلَغَ الْكَثِيرَ كُلَّهُ يُصْرَفُ فِي حَجَّةٍ وَاحِدَةٍ؛ صُرِفَ فِي حَجَّةٍ وَاحِدَةٍ؛ لِأَنَّهُ قَصَدَ بِذَلِكَ نَفْعَ مَنْ يَحُجُّ، وَلَا يَصِحُّ حَجُّ الْمُوصِي أَوِ الْوَارِثِ عَنْهُ فِي تِلْكَ الصُّوَرِ؛ لِأَنَّ الْمُوصِيَ قَصَدَ غَيْرَهُمَا فِي الظَّاهِرِ.

Jika seseorang berwasiat dengan sejumlah besar uang untuk dihajikan untuknya, maka uang tersebut digunakan untuk melaksanakan haji satu demi satu hingga habis. Jika jumlahnya sedikit, maka dihajikan sesuai dengan jumlah yang ada. Jika ia menyatakan bahwa seluruh jumlah yang besar itu digunakan untuk satu kali haji, maka digunakan untuk satu kali haji; karena ia bermaksud memberikan manfaat kepada orang yang berhaji. Haji orang yang berwasiat atau ahli waris untuknya dalam situasi-situasi tersebut tidak sah; karena orang yang berwasiat secara lahiriah menginginkan selain mereka berdua.

وَلَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ لِمَنْ لَا يَصِحُّ تَمْلِيكٌ؛ كَالْجِنِّيِّ، وَالْبَهِيمَةِ، وَالْمَيِّتِ.

Wasiat untuk sesuatu yang tidak sah dimiliki tidak sah; seperti jin, hewan, dan orang yang sudah meninggal.

وَلَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ عَلَى جِهَةِ مَعْصِيَةٍ؛ كَالْوَصِيَّةِ لِلْكَنَائِسِ وَمَعَابِدِ الْكُفْرَةِ وَالْمُشْرِكِينَ، وَكَالْوَصِيَّةِ لِعِمَارَةِ الْأَضْرِحَةِ وَإِسْرَاجِهَا أَوْ لِسَدَنَتِهَا، سَوَاءٌ كَانَ الْمُوصِي مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا.

Wasiat untuk tujuan maksiat tidak sah; seperti wasiat untuk gereja dan tempat ibadah orang-orang kafir dan musyrik, dan seperti wasiat untuk membangun kuburan, meneranginya atau untuk penjaganya, baik yang berwasiat itu seorang Muslim atau kafir.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "لَوْ حَبَسَ الذِّمِّيُّ مِنْ مَالِ نَفْسِهِ شَيْئًا عَلَى مَعَابِدِهِمْ؛ لَمْ يَجُزْ لِلْمُسْلِمِينَ الْحُكْمُ بِصِحَّتِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُمُ الْحُكْمُ إِلَّا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ، وَمِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ أَنْ لَا يَتَعَاوَنُوا عَلَى شَيْءٍ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفُسُوقِ وَالْعِصْيَانِ؛ فَكَيْفَ يُعَاوِنُونَ بِالْحَبْسِ عَلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُكْفَرُ فِيهَا؟! ".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Jika seorang dzimmi mewakafkan sesuatu dari hartanya untuk tempat ibadah mereka; maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk memutuskan keabsahannya; karena tidak boleh bagi mereka untuk memutuskan kecuali dengan apa yang Allah turunkan, dan di antara yang Allah turunkan adalah agar mereka tidak saling membantu dalam kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan; lalu bagaimana mereka membantu dengan wakaf pada tempat-tempat di mana kekufuran dilakukan?!".

وَلَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ عَلَى طِبَاعَةِ الْكُتُبِ الْمَنْسُوخَةِ؛ كَالتَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ أَوْ طِبَاعَةِ الْكُتُبِ الْمُنْحَرِفَةِ؛ كَكُتُبِ الزَّنْدَقَةِ وَالْإِلْحَادِ.

Wasiat untuk mencetak buku-buku yang dihapus tidak sah; seperti Taurat dan Injil atau mencetak buku-buku yang menyimpang; seperti buku-buku zindiq dan ateisme.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصِيَّةِ: أَنَّهُ يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ الْمُوصَى بِهِ مَالًا أَوْ مَنْفَعَةً مُبَاحَةً، وَلَوْ كَانَ مِمَّا يَعْجِزُ عَنْ تَسْلِيمِهِ؛ كَالطَّيْرِ فِي الْهَوَاءِ، وَالْحَمْلِ الَّذِي فِي الْبَطْنِ، وَاللَّبَنِ الَّذِي فِي الضَّرْعِ، أَوْ كَانَ مَعْدُومًا؛ كَمَا لَوْ أَوْصَى بِمَا يَحْمِلُ حَيَوَانُهُ أَوْ شَجَرَتُهُ أَبَدًا أَوْ مُدَّةً مُعَيَّنَةً كَسَنَةٍ، فَإِنْ حَصَلَ شَيْءٌ مِنَ الْمَعْدُومِ؛ فَهُوَ لِلْمُوصَى لَهُ، وَإِنْ لَمْ يَحْصُلْ شَيْءٌ؛ بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تُصَادِفْ مَحَلًّا.

Di antara hukum-hukum wasiat: disyaratkan agar yang diwasiatkan itu harta atau manfaat yang diperbolehkan, meskipun itu sesuatu yang tidak mampu diserahkan; seperti burung di udara, janin dalam perut, dan susu dalam ambing, atau sesuatu yang tidak ada; seperti jika seseorang berwasiat dengan apa yang dibawa oleh hewannya atau pohonnya selamanya atau dalam jangka waktu tertentu seperti setahun, jika sesuatu yang tidak ada itu terwujud; maka itu untuk orang yang diberi wasiat, dan jika tidak ada yang terwujud; maka wasiat itu batal; karena wasiat itu tidak menemukan tempatnya.

وَتَصِحُّ الْوَصِيَّةُ بِالْمَجْهُولِ؛ كَمَا لَوْ أَوْصَى بِعَبْدٍ أَوْ شَاةٍ، وَيُعْطَى الْمُوصَى لَهُ حِينَئِذٍ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ حَقِيقَةً أَوْ عُرْفًا.

Wasiat dengan sesuatu yang tidak diketahui adalah sah; seperti jika seseorang berwasiat dengan seorang budak atau seekor domba, dan orang yang diberi wasiat itu kemudian diberi apa yang namanya jatuh padanya secara hakikat atau 'urf.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصَايَا: أَنَّهُ لَوْ أَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ، فَاسْتَحْدَثَ مَالًا بَعْدَ الْوَصِيَّةِ؛ دَخَلَ الْوَصِيَّةَ؛ لِأَنَّ الثُّلُثَ إِنَّمَا يُعْتَبَرُ عِنْدَ الْمَوْتِ فِي الْمَالِ الْمَوْجُودِ حِينَئِذٍ.

Di antara hukum-hukum wasiat: jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya, lalu dia mendapatkan harta setelah wasiat itu; maka harta itu masuk dalam wasiat; karena sepertiga itu hanya diperhitungkan pada saat kematian pada harta yang ada saat itu.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصَايَا: أَنَّهُ لَوْ أَوْصَى لِشَخْصٍ بِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَالِهِ، فَتَلِفَ ذَلِكَ الْمُعَيَّنُ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي أَوْ بَعْدَهُ؛ بَطَلَتِ الْوَصِيَّةُ؛ لِزَوَالِ حَقِّ الْمُوصَى لَهُ بِتَلَفِ مَا أُوصِيَ لَهُ بِهِ.

Dan di antara hukum-hukum wasiat: bahwa jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan sesuatu yang tertentu dari hartanya, lalu sesuatu yang tertentu itu rusak sebelum kematian orang yang berwasiat atau setelahnya; maka batallah wasiat tersebut; karena hilangnya hak orang yang diberi wasiat dengan rusaknya apa yang diwasiatkan kepadanya.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصَايَا: أَنَّهُ إِذَا لَمْ يُحَدِّدْ مِقْدَارَ الْمُوصَى بِهِ، كَمَا لَوْ أَوْصَى بِسَهْمٍ مِنْ مَالِهِ؛ فَإِنَّهُ يُفَسَّرُ بِالسُّدُسِ؛ لِأَنَّ السَّهْمَ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ هُوَ السُّدُسُ، وَبِهِ قَالَ عَلِيٌّ وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَلِأَنَّ السُّدُسَ أَقَلُّ سَهْمٍ مَفْرُوضٍ، فَتَنْصَرِفُ الْوَصِيَّةُ إِلَيْهِ، وَإِنْ أَوْصَى بِشَيْءٍ مِنْ مَالِهِ، وَلَمْ يُبَيِّنْ مِقْدَارَهُ؛ فَإِنَّ الْوَارِثَ يُعْطِي الْمُوصَى لَهُ مَا شَاءَ مِمَّا يُتَمَوَّلُ؛ لِأَنَّ الشَّيْءَ لَا حَدَّ لَهُ فِي اللُّغَةِ وَلَا فِي الشَّرْعِ، فَيَصْدُقُ عَلَى أَقَلِّ شَيْءٍ يُتَمَوَّلُ، وَمَا يُتَمَوَّلُ لَا يَحْصُلُ بِهِ الْمَقْصُودُ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Dan di antara hukum-hukum wasiat: bahwa jika dia tidak menentukan ukuran apa yang diwasiatkan, seperti jika dia berwasiat dengan satu saham dari hartanya; maka itu ditafsirkan sebagai seperenam; karena saham dalam perkataan orang Arab adalah seperenam, dan Ali dan Ibnu Mas'ud mengatakan demikian, dan karena seperenam adalah bagian terkecil yang diwajibkan, maka wasiat itu dialihkan kepadanya, dan jika dia berwasiat dengan sesuatu dari hartanya, dan tidak menjelaskan ukurannya; maka ahli waris memberikan kepada orang yang diberi wasiat apa yang dia kehendaki dari apa yang bisa dimiliki; karena sesuatu itu tidak ada batasnya dalam bahasa dan tidak pula dalam syariat, maka berlaku pada sesuatu yang paling sedikit yang bisa dimiliki, dan apa yang bisa dimiliki tidak tercapai dengannya tujuan yang dimaksud, dan Allah lebih mengetahui.

أَحْكَامُ الْمُوصَى إِلَيْهِ "النَّاظِرُ عَلَى الْوَصِيَّةِ وَغَيْرِهَا":

Hukum-hukum orang yang diwasiatkan kepadanya "pengawas atas wasiat dan lainnya":

الْمُوصَى إِلَيْهِ هُوَ الْمَأْمُورُ بِالتَّصَرُّفِ بَعْدَ الْمَوْتِ فِي الْمَالِ وَغَيْرِهِ مِمَّا لِلْمُوصِي التَّصَرُّفُ فِيهِ حَالَ الْحَيَاةِ، وَتَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ؛ لِأَنَّ الْمُوصَى إِلَيْهِ نَائِبٌ عَنِ الْمُوصِي فِي ذَلِكَ.

Orang yang diwasiatkan kepadanya adalah orang yang diperintahkan untuk mengelola harta dan lainnya setelah kematian, yang mana orang yang berwasiat memiliki hak untuk mengelolanya semasa hidupnya, dan dia termasuk dalam perwakilan; karena orang yang diwasiatkan kepadanya adalah wakil dari orang yang berwasiat dalam hal itu.

وَدُخُولُ الْمُوصَى إِلَيْهِ فِي تِلْكَ النِّيَابَةِ وَقَبُولُهُ لَهَا مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ وَقُرْبَةٌ يُثَابُ عَلَيْهَا، لَكِنَّ ذَلِكَ يُشْرَعُ لِمَنْ عِنْدَهُ الْمَقْدِرَةُ عَلَى الْعَمَلِ وَيَجِدُ مِنْ نَفْسِهِ تَوَفُّرَ الْأَمَانَةِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى﴾، وَقَوْلِهِ ﷺ: "وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا دَامَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ"، وَلِفِعْلِ الصَّحَابَةِ ﵃؛ فَقَدْ أَوْصَى إِلَى الزُّبَيْرِ ﵁

Dan masuknya orang yang diwasiatkan kepadanya dalam perwakilan itu dan penerimaannya terhadapnya adalah sesuatu yang dianjurkan dan merupakan pendekatan diri kepada Allah yang akan diberi pahala atasnya, tetapi hal itu disyariatkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja dan menemukan dalam dirinya ketersediaan amanah; karena firman Allah Ta'ala: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa", dan sabda Nabi ﷺ: "Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya", dan karena perbuatan para sahabat ﵃; sungguh telah berwasiat kepada Az-Zubair ﵁

جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَأَوْصَى أَبُو عُبَيْدَةَ إِلَى عُمَرَ ﵄، وَأَوْصَى عُمَرُ إِلَى بِنْتِهِ حَفْصَةَ ﵂ ثُمَّ إِلَى الْأَكَابِرِ مِنْ وَلَدِهِ.

Sekelompok sahabat, dan Abu 'Ubaidah berwasiat kepada 'Umar ﵄, dan 'Umar berwasiat kepada putrinya Hafshah ﵂ kemudian kepada anak-anaknya yang dewasa.

أَمَّا مَنْ لَا يَقْوَى عَلَى الْقِيَامِ عَلَى الْوَصِيَّةِ، أَوْ لَا يَأْمَنُ نَفْسَهُ عَلَى حِفْظِهَا؛ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الدُّخُولُ فِي الْوَصَايَةِ.

Adapun orang yang tidak mampu melaksanakan wasiat, atau tidak dapat menjaga dirinya untuk memeliharanya; maka tidak boleh baginya untuk menerima wasiat.

وَيُشْتَرَطُ فِي الْمُوصَى إِلَيْهِ: أَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا؛ فَلَا يَصِحُّ الْإِيصَاءُ إِلَى كَافِرٍ.

Dan disyaratkan pada orang yang diberi wasiat: harus seorang Muslim; maka tidak sah berwasiat kepada orang kafir.

وَيُشْتَرَطُ فِيهِ أَيْضًا: أَنْ يَكُونَ مُكَلَّفًا؛ فَلَا يَصِحُّ الْإِيصَاءُ إِلَى صَبِيٍّ، وَلَا إِلَى مَجْنُونٍ، وَلَا إِلَى أَبْلَهَ؛ لِأَنَّ هَؤُلَاءِ لَيْسُوا مِنْ أَهْلِ الْوَلَايَةِ وَالتَّصَرُّفِ، لَكِنْ يَصِحُّ تَعْلِيقُ الْإِيصَاءِ إِلَى صَبِيٍّ بِبُلُوغِهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "أَمِيرُكُمْ زَيْدٌ، فَإِنْ قُتِلَ؛ فَجَعْفَرٌ".

Dan juga disyaratkan padanya: harus seorang mukallaf; maka tidak sah berwasiat kepada anak kecil, orang gila, atau orang dungu; karena mereka bukan termasuk orang yang berhak menjadi wali dan bertindak, tetapi sah menggantungkan wasiat kepada anak kecil dengan kedewasaannya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Pemimpin kalian adalah Zaid, jika ia terbunuh; maka Ja'far".

وَيَصِحُّ الْإِيصَاءُ إِلَى امْرَأَةٍ إِذَا كَانَ فِيهَا كَفَاءَةٌ لِلْقِيَامِ بِشُؤُونِ الْوَصِيَّةِ؛ لِأَنَّ عُمَرَ ﵁ أَوْصَى إِلَى حَفْصَةَ ﵁ وَلِأَنَّ الْمَرْأَةَ مِنْ أَهْلِ الشَّهَادَةِ، فَيَصِحُّ الْإِيصَاءُ إِلَيْهَا كَالرَّجُلِ.

Dan sah berwasiat kepada seorang wanita jika ia memiliki kemampuan untuk melaksanakan urusan wasiat; karena 'Umar ﵁ berwasiat kepada Hafshah ﵁ dan karena wanita termasuk orang yang berhak menjadi saksi, maka sah berwasiat kepadanya seperti kepada laki-laki.

وَتَصِحُّ الْوَصِيَّةُ إِلَى مَنْ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْعَمَلِ، لَكِنْ عِنْدَهُ

Dan sah berwasiat kepada orang yang tidak mampu bekerja, tetapi ia memiliki

تَفْكِيرٌ سَلِيمٌ، وَيَضُمُّ إِلَيْهِ قَادِرًا أَمِينًا يَتَعَاوَنُ مَعَهُ.

Pemikiran yang sehat, dan ia menggabungkan bersamanya orang yang mampu dan terpercaya untuk bekerja sama dengannya.

وَيَصِحُّ أَنْ يُوصِيَ إِلَى أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍ، سَوَاءٌ أَوْصَى إِلَيْهِمْ دَفْعَةً وَاحِدَةً أَوْ أَوْصَى إِلَيْهِمْ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ؛ إِذْ لَمْ يَعْزِلِ الْأَوَّلَ.

Dan sah berwasiat kepada lebih dari satu orang, baik ia berwasiat kepada mereka sekaligus atau berwasiat kepada mereka satu per satu; selama ia tidak memberhentikan yang pertama.

وَإِذَا أَوْصَى إِلَى جَمَاعَةٍ؛ فَإِنَّهُمْ يَشْتَرِكُونَ فِي الْعَمَلِ، وَلَيْسَ أَحَدُهُمْ التَّصَرُّفَ فِي الْوَصِيَّةِ دُونَ الْآخَرِ، وَإِنْ مَاتَ أَحَدُهُمْ أَوْ غَابَ؛ أَقَامَ الْحَاكِمُ مَقَامَهُ مَنْ يَصْلُحُ.

Dan jika ia berwasiat kepada sekelompok orang; maka mereka bersekutu dalam pekerjaan, dan salah seorang dari mereka tidak boleh bertindak dalam wasiat tanpa yang lain, dan jika salah seorang dari mereka meninggal atau tidak ada; maka hakim mengangkat orang yang layak menggantikan posisinya.

وَيَصِحُّ قَبُولُ الْمُوصَى إِلَيْهِ الْوَصِيَّةَ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي وَبَعْدَ مَوْتِهِ، وَلَهُ عَزْلُ نَفْسِهِ مَتَى شَاءَ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي وَبَعْدَ مَوْتِهِ، وَلِلْمُوصِي أَيْضًا عَزْلُ الْمُوصَى إِلَيْهِ مَتَى شَاءَ؛ لِأَنَّهُ وَكِيلٌ.

Dan sah bagi orang yang diwasiatkan untuk menerima wasiat semasa hidup orang yang berwasiat dan setelah kematiannya, dan ia boleh memberhentikan dirinya kapan saja ia mau semasa hidup orang yang berwasiat dan setelah kematiannya, dan orang yang berwasiat juga boleh memberhentikan orang yang diwasiatkan kapan saja ia mau; karena ia adalah wakil.

وَلَا يَجُوزُ لِلْمُوصَى إِلَيْهِ أَنْ يُوصِيَ إِلَى غَيْرِهِ؛ إِلَّا أَنْ يُجْعَلَ ذَلِكَ إِلَيْهِ؛ بِأَنْ يَأْذَنَ لَهُ الْمُوصِي بِالْإِيصَاءِ إِلَى غَيْرِهِ مَتَى شَاءَ؛ كَأَنْ يَقُولَ: أَذِنْتُ لَكَ أَنْ تُوصِيَ إِلَى مَنْ شِئْتَ.

Dan tidak boleh bagi orang yang diwasiatkan untuk berwasiat kepada orang lain; kecuali jika hal itu diserahkan kepadanya; dengan orang yang berwasiat mengizinkannya untuk berwasiat kepada orang lain kapan pun ia mau; seperti ia mengatakan: Aku mengizinkanmu untuk berwasiat kepada siapa pun yang kamu mau.

وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْإِيصَاءِ: أَنْ يَكُونَ فِي تَصَرُّفٍ مَعْلُومٍ؛ لِيَعْلَمَ الْمُوصَى إِلَيْهِ مَا أُوصِيَ بِهِ حَتَّى يَقُومَ بِحِفْظِهِ وَالتَّصَرُّفِ فِيهِ.

Dan disyaratkan untuk sahnya wasiat: bahwa wasiat itu dalam tindakan yang diketahui; agar orang yang diwasiatkan mengetahui apa yang diwasiatkan kepadanya sehingga ia dapat menjaga dan mengelolanya.

وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا: أَنْ يَكُونَ التَّصَرُّفُ الْمُوصَى بِهِ مِمَّا يَصِحُّ لِلْمُوصِي فِعْلُهُ؛ كَقَضَاءِ دَيْنِهِ، وَتَفْرِقَةِ ثُلُثِهِ، وَالنَّظَرِ لِصِغَارٍ..وَنَحْوِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْمُوصَى إِلَيْهِ يَتَصَرَّفُ بِالْإِذْنِ، فَلَمْ يَجُزْ لَهُ التَّصَرُّفُ إِلَّا فِيمَا يَمْلِكُهُ الْمُوصِي؛ كَالْوَكَالَةِ، وَلِأَنَّ الْمُوصِيَ أَصْلٌ وَالْوَصِيُّ فَرْعٌ، وَلَا يَمْلِكُ الْفَرْعُ مَا لَا يَمْلِكُهُ الْأَصْلُ؛ فَلَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ بِمَا لَا يَمْلِكُهُ الْوَصِيُّ؛ كَتَوْصِيَةِ الْمَرْأَةِ بِالنَّظَرِ فِي حَقِّ أَوْلَادِهَا الْأَصَاغِرِ؛ لِأَنَّهُ لَا وِلَايَةَ عَلَيْهِمْ لِغَيْرِ الْأَبِ.

Dan disyaratkan juga: bahwa tindakan yang diwasiatkan adalah sesuatu yang sah bagi orang yang berwasiat untuk melakukannya; seperti melunasi utangnya, membagikan sepertiga hartanya, dan mengurus anak-anak kecil.. dan sejenisnya; karena orang yang diwasiatkan bertindak dengan izin, maka ia tidak boleh bertindak kecuali dalam apa yang dimiliki oleh orang yang berwasiat; seperti perwakilan, dan karena orang yang berwasiat adalah pokok dan orang yang diwasiatkan adalah cabang, dan cabang tidak memiliki apa yang tidak dimiliki oleh pokok; maka tidak sah wasiat dengan apa yang tidak dimiliki oleh orang yang berwasiat; seperti wasiat seorang wanita untuk mengurus hak anak-anaknya yang masih kecil; karena tidak ada perwalian atas mereka bagi selain ayah.

وَتَتَحَدَّدُ الْوَصِيَّةُ بِمَا عُيِّنَتْ فِيهِ؛ فَمَنْ وُصِّيَ فِي شَيْءٍ؛ لَمْ يَكُنْ وَصِيًّا فِي غَيْرِهِ، فَلَوْ أَوْصَى إِلَى شَخْصٍ فِي قَضَاءِ دُيُونِهِ؛ لَمْ يَكُنْ وَصِيًّا عَلَى أَوْلَادِهِ؛ لِأَنَّ تَصَرُّفَهُ يَقْتَصِرُ عَلَى مَا أُذِنَ لَهُ فِيهِ كَالْوَكِيلِ،

Wasiat ditentukan oleh apa yang ditentukan di dalamnya; barangsiapa yang diwasiatkan sesuatu, maka ia bukan washi dalam hal lainnya. Jika seseorang berwasiat kepada seseorang untuk melunasi hutang-hutangnya, maka ia bukan washi atas anak-anaknya; karena tindakannya terbatas pada apa yang diizinkan kepadanya seperti wakil.

وَتَصِحُّ وَصِيَّةُ الْكَافِرِ إِلَى مُسْلِمٍ إِذَا كَانَتْ تَرِكَتُهُ مِنَ الْمُبَاحِ، فَإِنْ كَانَتْ مِنَ الْمُحَرَّمِ كَالْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ؛ لَمْ تَصِحَّ؛ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَوَلَّى ذَلِكَ.

Wasiat orang kafir kepada seorang Muslim adalah sah jika harta peninggalannya adalah sesuatu yang diperbolehkan. Jika itu adalah sesuatu yang diharamkan seperti khamr dan babi, maka tidak sah; karena seorang Muslim tidak boleh mengurusnya.

وَإِنْ قَالَ الْمُوصِي لِلْمُوصَى إِلَيْهِ: ضَعْ ثُلُثِي حَيْثُ شِئْتَ، أَوْ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى مَنْ شِئْتَ؛ لَمْ يَجُزْ لِلْوَصِيِّ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ بِذَلِكَ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَيْضًا أَنْ يُعْطِيَهُ لِوَلَدِهِ وَوَرَثَتِهِ؛ لِأَنَّهُ مُتَّهَمٌ فِي حَقِّهِمْ.

Jika pewasiat berkata kepada orang yang diwasiatkan, "Letakkan dua pertiga hartaku di mana pun kamu mau," atau "Sedekahkanlah kepada siapa pun yang kamu mau," maka tidak boleh bagi washi untuk mengambil sesuatu darinya; karena dia tidak mengizinkannya untuk itu. Dia juga tidak boleh memberikannya kepada anaknya dan ahli warisnya; karena dia dicurigai dalam hak mereka.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْوَصَايَا: أَنَّ مَنْ مَاتَ بِمَكَانٍ لَا حَاكِمَ فِيهِ وَلَا وَصِيَّ؛ كَمَنْ مَاتَ فِي بَرِّيَّةٍ؛ جَازَ لِبَعْضِ مَنْ حَضَرَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ تَوَلِّي تَرِكَتِهِ، وَعَمَلَ الْأَصْلَحَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ؛ لِأَنَّهُ مَوْضِعُ ضَرُورَةٍ؛ إِذْ فِي تَرْكِهِ إِتْلَافٌ لَهُ، وَحِفْظُهُ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ، وَيُكَفِّنُهُ وَيُجَهِّزُهُ مِنْ تَرِكَتِهِ.

Di antara hukum-hukum wasiat: Barangsiapa meninggal di tempat yang tidak ada hakim atau washi di sana, seperti orang yang meninggal di padang pasir, maka sebagian Muslim yang hadir boleh mengurus harta peninggalannya, dan melakukan yang terbaik dari menjual dan lainnya; karena itu adalah tempat darurat; karena meninggalkannya berarti merusaknya, dan menjaganya adalah fardhu kifayah. Dia mengkafani dan mempersiapkannya dari harta peninggalannya.

بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْمَوَارِيثِ

إِنَّ مَوْضُوعَ الْمَوَارِيثِ مَوْضُوعٌ مُهِمٌّ وَجَدِيرٌ بِالْعِنَايَةِ؛ فَقَدْ حَثَّ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى تَعَلُّمِهِ وَتَعْلِيمِهِ فِي أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ.

Sesungguhnya topik warisan adalah topik yang penting dan layak mendapat perhatian; Nabi ﷺ telah mendorong untuk mempelajarinya dan mengajarkannya dalam banyak hadits.

مِنْهَا: قَوْلُهُ ﷺ: "تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ، وَعَلِّمُوهَا النَّاسَ؛ فَإِنَّهَا نِصْفُ الْعِلْمِ، وَهُوَ يُنْسَى، وَهُوَ أَوَّلُ عِلْمٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَةَ، وَفِي رِوَايَةٍ:: "فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوضٌ، وَإِنَّ الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ، حَتَّى يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِي الْفَرِيضَةِ، فَلَا يَجِدَانِ مَنْ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالْحَاكِمُ.

Di antaranya: sabda Nabi ﷺ: "Pelajarilah ilmu faraidh, dan ajarkanlah kepada orang-orang; karena sesungguhnya ia adalah setengah dari ilmu, dan ia akan dilupakan, dan ia adalah ilmu pertama yang akan dicabut dari umatku", diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan dalam riwayat lain: "Karena sesungguhnya aku adalah orang yang akan wafat, dan sesungguhnya ilmu akan dicabut dan fitnah akan muncul, sehingga dua orang akan berselisih dalam masalah faraidh, dan mereka tidak mendapati orang yang dapat memutuskan di antara mereka", diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim.

وَقَدْ وَقَعَ مَا أَخْبَرَ بِهِ ﷺ، فَقَدْ أُهْمِلَ هَذَا الْعِلْمُ وَنُسِيَ؛ فَلَا وُجُودَ لِتَعْلِيمِهِ فِي الْمَسَاجِدِ إِلَّا نَادِرًا، وَلَا فِي مَدَارِسِ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا فِي بَعْضِ الْجِهَاتِ التَّعْلِيمِيَّةِ عَلَى شَكْلٍ ضَعِيفٍ لَا يَفِي بِالْغَرَضِ عَلَى شَكْلٍ ضَعِيفٍ لَا يَفِي بِالْغَرَضِ وَلَا يَضْمَنُ بَقَاءَ هَذَا الْعِلْمِ.

Dan sungguh telah terjadi apa yang diberitakan oleh Nabi ﷺ, ilmu ini telah diabaikan dan dilupakan; tidak ada pengajarannya di masjid-masjid kecuali jarang, dan tidak pula di sekolah-sekolah kaum muslimin kecuali di beberapa institusi pendidikan dalam bentuk yang lemah yang tidak memenuhi tujuan dalam bentuk yang lemah yang tidak memenuhi tujuan dan tidak menjamin kelangsungan ilmu ini.

فَيَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَهِبُّوا لِإِحْيَاءِ هَذَا الْعِلْمِ وَالْحِفَاظِ عَلَيْهِ فِي الْمَسَاجِدِ وَالْمَدَارِسِ وَالْجَامِعَاتِ؛ فَإِنَّهُمْ بِأَمَسِّ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ، وَسَيُسْأَلُونَ عَنْهُ.

Maka wajib bagi umat Islam untuk bangkit menghidupkan kembali ilmu ini dan menjaganya di masjid-masjid, sekolah-sekolah, dan universitas-universitas; karena mereka sangat membutuhkannya, dan akan ditanya tentangnya.

وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ ﷺ قَالَ: "الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَضْلٌ: آيَةٌ مُحْكَمَةٌ، وَسُنَّةٌ قَائِمَةٌ، وَفَرِيضَةٌ عَادِلَةٌ".

Dan telah ditetapkan bahwa beliau ﷺ bersabda: "Ilmu ada tiga, dan selain itu adalah keutamaan: ayat yang muhkam, sunnah yang tegak, dan kewajiban yang adil".

وَعَنْ عُمَرَ ﵁: "تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ؛ فَإِنَّهَا مِنْ دِينِكُمْ"، وَقَالَ عَبْدُ اللهِ: "مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ؛ فَلْيَتَعَلَّمِ الْفَرَائِضَ".

Dan dari Umar ﵁: "Pelajarilah ilmu faraidh; karena ia adalah bagian dari agama kalian", dan Abdullah berkata: "Barangsiapa mempelajari Al-Qur'an; hendaklah ia mempelajari ilmu faraidh".

وَمَعْنَى قَوْلِهِ ﷺ عَنِ الْفَرَائِضِ: "إِنَّهَا نِصْفُ الْعِلْمِ": أَنَّ لِلْإِنْسَانِ حَالَتَيْنِ: حَالَةَ حَيَاةٍ، وَحَالَةَ مَوْتٍ.

Dan makna sabdanya ﷺ tentang faraidh: "Sesungguhnya ia adalah setengah ilmu": bahwa manusia memiliki dua keadaan: keadaan hidup, dan keadaan mati.

وَفِي الْفَرَائِضِ مُعْظَمُ الْأَحْكَامِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالْمَوْتِ، بَيْنَمَا يَتَعَلَّقُ بَاقِي الْعِلْمِ بِأَحْكَامِ الْحَيَاةِ، وَقِيلَ: صَارَتْ نِصْفَ الْعِلْمِ؛ لِأَنَّهَا يَحْتَاجُ إِلَيْهَا النَّاسُ كُلُّهُمْ، وَقِيلَ فِي مَعْنَاهُ غَيْرُ ذَلِكَ، وَالْمُهِمُّ أَنَّ فِي ذَلِكَ تَوْجِيهًا لِلِاهْتِمَامِ بِهَذَا الْعِلْمِ.

Dan dalam faraidh terdapat sebagian besar hukum yang berkaitan dengan kematian, sedangkan ilmu lainnya berkaitan dengan hukum kehidupan, dan dikatakan: ia menjadi setengah ilmu; karena semua orang membutuhkannya, dan dikatakan dalam maknanya selain itu, dan yang penting adalah bahwa di dalamnya terdapat arahan untuk menaruh perhatian pada ilmu ini.

وَيُسَمَّى هَذَا الْعِلْمُ بِالْفَرَائِضِ، جَمْعُ فَرِيضَةٍ، مَأْخُوذٌ مِنَ الْفَرْضِ، وَهُوَ التَّقْدِيرُ، لِأَنَّ أَنْصِبَاءَ الْوَرَثَةِ مُقَدَّرَةٌ؛ فَالْفَرِيضَةُ نَصِيبٌ مُقَدَّرٌ شَرْعًا لِمُسْتَحِقِّهِ، وَعِلْمُ الْفَرَائِضِ هُوَ الْعِلْمُ بِقِسْمَةِ الْمَوَارِيثِ مِنْ حَيْثُ فِقْهُ أَحْكَامِهَا وَمَعْرِفَةُ الْحِسَابِ الْمُوصِلِ إِلَى قِسْمَتِهَا.

Dan ilmu ini disebut dengan faraidh, bentuk jamak dari faridhah, diambil dari kata fardh, yaitu penentuan, karena bagian-bagian ahli waris telah ditentukan; maka faridhah adalah bagian yang ditentukan secara syar'i bagi yang berhak menerimanya, dan ilmu faraidh adalah ilmu tentang pembagian warisan dari segi fikih hukum-hukumnya dan pengetahuan perhitungan yang mengantarkan pada pembagiannya.

وَيَتَعَلَّقُ بِتَرِكَةِ الْمَيِّتِ خَمْسَةُ حُقُوقٍ:

Ada lima hak yang terkait dengan harta peninggalan orang yang meninggal:

فَيُبْدَأُ بِمُؤْنَةِ تَجْهِيزِهِ مِنْ ثَمَنِ كَفَنٍ وَمُؤْنَةِ تَغْسِيلِهِ وَأُجْرَةِ حَفْرِ قَبْرِهِ، ثُمَّ تُقْضَى مِنْهَا دُيُونُهُ، سَوَاءٌ كَانَتْ لِلَّهِ كَالزَّكَوَاتِ وَالْكَفَّارَاتِ وَالنُّذُورِ وَالْحَجِّ الْوَاجِبِ أَوْ كَانَتْ لِلْآدَمِيِّينَ، ثُمَّ تُخْرَجُ وَصَايَاهُ؛ بِشَرْطِ أَنْ تَكُونَ فِي حُدُودِ الثُّلُثِ فَأَقَلَّ، ثُمَّ يُقْسَمُ بَعْدَ ذَلِكَ بَيْنَ الْوَرَثَةِ حَسْبَمَا شَرَعَهُ اللَّهُ ﷿ يُقَدِّمُ أَصْحَابَ الْفُرُوضِ، فَإِنْ بَقِيَ شَيْءٌ، فَهُوَ لِلْعَصَبَةِ عَلَى مَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ.

Dimulai dengan biaya persiapan jenazahnya, seperti harga kain kafan, biaya memandikan, dan upah menggali kuburnya. Kemudian, dilunasi utang-utangnya, baik itu kepada Allah seperti zakat, kafarat, nazar, dan haji wajib, maupun kepada manusia. Lalu, dikeluarkan wasiatnya dengan syarat tidak melebihi sepertiga. Setelah itu, dibagikan kepada ahli waris sesuai ketentuan Allah ﷿, dengan mendahulukan ashhabul furudh. Jika masih tersisa, maka itu untuk 'ashabah sebagaimana akan dijelaskan nanti.

وَلَا يَجُوزُ تَغْيِيرُ الْمَوَارِيثِ عَنْ وَضْعِهَا الشَّرْعِيِّ، وَذَلِكَ كُفْرٌ بِاللَّهِ ﷿ قَالَ تَعَالَى: ﴿تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ﴾ .

Tidak diperbolehkan mengubah warisan dari ketentuan syariatnya, dan itu adalah kekufuran kepada Allah ﷿. Allah Ta'ala berfirman: "Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan."

قَالَ الْإِمَامُ الشَّوْكَانِيُّ ﵀ فِي تَفْسِيرِهِ: "وَالْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: ﴿تِلْكَ﴾ إِلَى الْأَحْكَامِ الْمُتَقَدِّمَةِ [يَعْنِي: فِي الْمَوَارِيثِ]، وَسَمَّاهَا حُدُودًا؛ لِكَوْنِهَا لَا تَجُوزُ مُجَاوَزَتُهَا وَلَا يَحِلُّ تَعَدِّيهَا، ﴿وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ﴾ فِي قِسْمَةِ الْمَوَارِيثِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ كَمَا يُفِيدُهُ عُمُومُ اللَّفْظِ؛ ﴿يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ﴾ .." إِلَى أَنْ قَالَ: "وَأَخْرَجَ ابْنُ مَاجَهْ عَنْ أَنَسٍ؛ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ قَطَعَ مِيرَاثَ وَارِثِهِ قَطَعَ اللَّهُ مِيرَاثَهُ مِنَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" انْتَهَى.

Imam Asy-Syaukani ﵀ berkata dalam tafsirnya: "Isyarat dengan firman-Nya: ﴿تِلْكَ﴾ merujuk pada hukum-hukum yang telah disebutkan sebelumnya [yaitu: dalam warisan], dan Dia menyebutnya sebagai hudud (batasan); karena tidak boleh melampaui dan tidak halal melanggarnya. ﴿وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ﴾ "Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya" dalam pembagian warisan dan hukum-hukum syariat lainnya sebagaimana dipahami dari keumuman lafaz; ﴿يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ﴾ "Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai"..." hingga perkataannya: "Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas; ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa memutus warisan ahli warisnya, Allah akan memutus warisannya dari surga pada hari Kiamat." Selesai.

فَمَا تَصَرَّفَ فِي الْمَوَارِيثِ عَنْ مَجْرَاهَا الشَّرْعِيِّ، فَوَرَّثَ غَيْرَ وَارِثٍ، أَوْ حَرَمَ الْوَارِثَ مِنْ كُلِّ حَقِّهِ أَوْ بَعْضِهِ، أَوْ سَاوَى بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فِي الْمِيرَاثِ؛ كَمَا فِي بَعْضِ الْأَنْظِمَةِ الْقَانُونِيَّةِ الْكُفْرِيَّةِ؛ مُخَالِفًا بِذَلِكَ حُكْمَ اللهِ فِي جَعْلِهِ لِلذَّكَرِ مِثْلَ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ؛ فَهُوَ كَافِرٌ مُخَلَّدٌ فِي النَّارِ وَالْعِيَاذُ بِاللهِ؛ إِلَّا أَنْ يَتُوبَ إِلَى اللهِ قَبْلَ مَوْتِهِ.

Maka apa pun yang dilakukan dalam warisan yang menyimpang dari jalan syariatnya, seperti mewariskan kepada yang bukan ahli waris, atau menghalangi ahli waris dari seluruh atau sebagian haknya, atau menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam warisan; seperti dalam beberapa sistem hukum kufur; yang bertentangan dengan hukum Allah dalam menjadikan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan; maka dia adalah kafir yang kekal di neraka, kita berlindung kepada Allah darinya; kecuali jika dia bertobat kepada Allah sebelum kematiannya.

إِنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَحْرِمُونَ النِّسَاءَ وَالصِّغَرَ مِنَ الْمِيرَاثِ، وَيَجْعَلُونَهُ لِلذُّكُورِ الْكِبَارِ الَّذِينَ يَرْكَبُونَ الْخَيْلَ وَيَحْمِلُونَ السِّلَاحَ، فَجَاءَ الْإِسْلَامُ بِإِبْطَالِ ذَلِكَ، وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا﴾، وَهَذَا لِدَفْعِ مَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْجَاهِلِيَّةُ مِنْ عَدَمِ تَوْرِيثِ النِّسَاءِ وَالصِّغَارِ،

Sesungguhnya orang-orang jahiliyah dahulu menghalangi perempuan dan anak-anak dari warisan, dan menjadikannya hanya untuk laki-laki dewasa yang menunggang kuda dan membawa senjata. Kemudian Islam datang untuk membatalkan hal itu, dan Allah Ta'ala berfirman: "Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." Ini untuk menolak apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah berupa tidak mewariskan kepada perempuan dan anak-anak.

وَفِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ﴾، وَفِي قَوْلِهِ: ﴿وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ﴾: إِبْطَالٌ لِمَا عَلَيْهِ بَعْضُ الْجَاهِلِيَّاتِ الْمُعَاصِرَةِ مِنْ تَسْوِيَةِ الْمَرْأَةِ بِالرَّجُلِ فِي الْمِيرَاثِ مُحَادَّةً لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعَدِّيًا لِحُدُودِ اللهِ؛ فَالْجَاهِلِيَّةُ الْقَدِيمَةُ مَنَعَتِ الْمَرْأَةَ مِنَ الْمِيرَاثِ بِالْكُلِّيَّةِ، وَالْجَاهِلِيَّةُ الْمُعَاصِرَةُ أَعْطَتْهَا مَا لَا تَسْتَحِقُّ، وَدِينُ الْإِسْلَامِ أَنْصَفَهَا وَأَكْرَمَهَا وَأَعْطَاهَا حَقَّهَا اللَّائِقَ بِهَا،

Dan dalam firman Allah Ta'ala: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan", dan dalam firman-Nya: "dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan": ini membatalkan apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat jahiliyah kontemporer berupa menyamakan perempuan dengan laki-laki dalam warisan sebagai pertentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan pelanggaran terhadap batas-batas Allah; Jahiliyah kuno menghalangi perempuan dari warisan secara total, sedangkan jahiliyah kontemporer memberikan apa yang tidak menjadi haknya, dan agama Islam memberikan keadilan, kemuliaan, dan hak yang sesuai baginya.

فَقَاتَلَ اللهُ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَالْمُلْحِدِينَ الَّذِينَ ﴿يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ﴾.

Maka Allah memerangi orang-orang kafir, munafik, dan mulhid yang "mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai".

بَابٌ فِي أَسْبَابِ الْإِرْثِ وَبَيَانِ الْوَرَثَةِ

بَابٌ فِي أَسْبَابِ الْإِرْثِ وَبَيَانِ الْوَرَثَةِ

Bab tentang sebab-sebab warisan dan penjelasan ahli waris

الْإِرْثُ: هُوَ انْتِقَالُ مَالِ الْمَيِّتِ إِلَى حَيٍّ بَعْدَهُ حَسْبَمَا شَرَعَهُ اللهُ.

Warisan adalah perpindahan harta orang yang meninggal kepada orang yang hidup setelahnya sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah.

وَلَهُ أَسْبَابٌ ثَلَاثَةٌ

Dan warisan memiliki tiga sebab

أَوَّلُهَا: الرَّحِمُ، أَيْ: الْقَرَابَةُ، وَهُمْ قَرَابَةُ النَّسَبِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَأُولُوا الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ﴾، سَوَاءٌ قَرُبَتِ الْقَرَابَةُ مِنَ الْمَيِّتِ أَوْ بَعُدَتْ، إِذَا لَمْ يَكُنْ مَنْ يَحْجُبُهَا.

Pertama: rahim, yaitu kekerabatan, mereka adalah kerabat nasab, Allah Ta'ala berfirman: "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah", baik kerabat itu dekat dengan orang yang meninggal atau jauh, jika tidak ada yang menghalanginya.

وَتَشْمَلُ أُصُولًا وَفُرُوعًا وَحَوَاشِيَ:

Dan mencakup asal-usul, cabang-cabang, dan kerabat jauh:

فَالْأُصُولُ هُمُ الْآبَاءُ وَالْأَجْدَادُ وَإِنْ عَلَوْا بِمَحْضِ الذُّكُورِ.

Asal-usul adalah bapak-bapak dan kakek-kakek betapapun tingginya dari garis laki-laki murni.

وَالْفَرْعُ هُمُ الْأَوْلَادُ الْبَنِينَ وَإِنْ نَزَلُوا.

Cabang adalah anak-anak laki-laki betapapun rendahnya.

وَالْحَوَاشِي هُمُ الْأَخْوَةُ وَبَنُوهُمْ وَإِنْ نَزَلُوا وَالْأَعْمَامُ وَإِنْ عَلَوْا وَبَنُوهُمْ وَإِنْ نَزَلُوا.

Kerabat jauh adalah saudara-saudara dan anak-anak mereka betapapun rendahnya, paman-paman betapapun tingginya dan anak-anak mereka betapapun rendahnya.

وَالثَّانِي: النِّكَاحُ، وَهُوَ: عَقْدُ الزَّوْجِيَّةِ الصَّحِيحُ، لَوْ لَمْ يَحْصُلْ بِهِ وَطْءٌ وَلَا خَلْوَةٌ؛ لِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ﴾ .

Kedua: pernikahan, yaitu: akad pernikahan yang sah, meskipun tidak terjadi persetubuhan atau khalwat; karena keumuman firman Allah Ta'ala: "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu" hingga firman-Nya: "Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan".

وَيَتَوَارَثُ بِعَقْدِ الزَّوْجِيَّةِ الزَّوْجَانِ مِنَ الْجَانِبَيْنِ؛ فَكُلُّ مِنْهُمَا يَرِثُ الْآخَرَ لِلْآيَةِ الْكَرِيمَةِ، وَيَتَوَارَثُ بِهِ الزَّوْجَانِ أَيْضًا فِي عِدَّةِ الطَّلَاقِ

Suami istri saling mewarisi dengan akad pernikahan dari kedua belah pihak; masing-masing dari keduanya mewarisi yang lain berdasarkan ayat yang mulia, dan suami istri juga saling mewarisi dalam masa 'iddah talak

الرَّجْعِيُّ؛ لِأَنَّ الرَّجْعِيَّةَ زَوْجَةٌ، وَقَوْلُهُمْ: "عَقْدُ الزَّوْجِيَّةِ الصَّحِيحُ": يُخْرِجُ بِهِ العَقْدُ غَيْرُ الصَّحِيحِ؛ فَلَا تَوَارُثَ بِالنِّكَاحِ الفَاسِدِ؛ لِأَنَّ وُجُودَهُ كَعَدَمِهِ.

Raj'i; karena raj'iyyah adalah istri, dan perkataan mereka: "Akad pernikahan yang sah": mengeluarkan akad yang tidak sah; maka tidak ada saling mewarisi dengan nikah yang fasid; karena keberadaannya seperti ketiadaannya.

وَالثَّالِثُ: وَلَاءُ العِتَاقَةِ، وَهُوَ عُصُوبَةٌ، سَبَبُهَا نِعْمَةُ المُعْتِقِ عَلَى رَقِيقِهِ بِالعِتْقِ، وَيُورَثُ بِهَا مِنْ جَانِبٍ وَاحِدٍ فَقَطْ؛ فَالمُعْتِقُ يَرِثُ عَتِيقَهُ دُونَ العَكْسِ، وَيَخْلُفُ المُعْتِقَ مِنْ بَعْدِهِ عَصَبَتُهُ بِالنَّفْسِ دُونَ العَصَبَةِ بِالغَيْرِ أَوْ مَعَ الغَيْرِ.

Dan yang ketiga: wala' al-'itaqah, yaitu 'ushubah, sebabnya adalah nikmat al-mu'tiq kepada budaknya dengan membebaskannya, dan diwarisi dengannya dari satu sisi saja; maka al-mu'tiq mewarisi budak yang dibebaskannya tanpa sebaliknya, dan menggantikan al-mu'tiq setelahnya adalah 'ashabahnya dengan dirinya sendiri tanpa 'ashabah dengan yang lain atau bersama yang lain.

وَالدَّلِيلُ عَلَى التَّوَارِيثِ بِالوَلَاءِ قَوْلُهُ ﷺ: "الوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ"، رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي "صَحِيحَةِ" وَالحَاكِمُ وَصَحِيحَهُ، فَشَبَّهَ الوَلَاءَ بِالنَّسَبِ، وَالنَّسَبُ يُورَثُ بِهِ؛ فَكَذَا الوَلَاءُ، وَهَذَا بِالإِجْمَاعِ، وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "إِنَّمَا الوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ".

Dan dalil atas pewarisan dengan wala' adalah sabda Nabi ﷺ: "Wala' adalah ikatan seperti ikatan nasab", diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam "Shahihah" dan al-Hakim dan menshahihkannya, maka beliau menyerupakan wala' dengan nasab, dan nasab diwarisi dengannya; maka demikian pula wala', dan ini dengan ijma', dan dalam "ash-Shahihain" bahwa Nabi ﷺ bersabda: "Sesungguhnya wala' adalah bagi orang yang membebaskan".

أَقْسَامُ الوَرَثَةِ بِاعْتِبَارِ الجِنْسِ:

Pembagian ahli waris berdasarkan jenis kelamin:

الوَرَثَةُ يَنْقَسِمُونَ بِاعْتِبَارِ الجِنْسِ إِلَى ذُكُورٍ وَإِنَاثٍ.

Ahli waris terbagi berdasarkan jenis kelamin menjadi laki-laki dan perempuan.

وَالوَارِثُونَ مِنَ الذُّكُورِ عَشَرَةٌ:

Dan ahli waris dari laki-laki ada sepuluh:

الِابْنُ وَابْنُهُ وَإِنْ نَزَلَ بِمَحْضِ الذُّكُورِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ﴾، وَابْنُ الإِبْنِ يُعَدُّ ابْنًا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا بَنِي آدَمَ﴾، ﴿يَا بَنِي إِسْرائيلَ﴾ .

Anak laki-laki dan anak laki-lakinya meskipun ke bawah dengan laki-laki murni; karena firman Allah Ta'ala: ﴿Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu, untuk seorang laki-laki seperti bagian dua orang perempuan﴾, dan anak laki-laki dari anak laki-laki dianggap sebagai anak laki-laki; karena firman Allah Ta'ala: ﴿Wahai anak cucu Adam﴾, ﴿Wahai Bani Israil﴾.

وَالْأَبُ وَأَبُوهُ وَإِنْ عَلَا بِمَحْضِ الذُّكُورِ؛ كَأَبِي الْأَبِ وَأَبِي الْجَدِّ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ﴾، وَالْجَدُّ أَبٌ، وَقَدْ أَعْطَاهُ النَّبِيُّ ﷺ السُّدُسَ.

Ayah dan ayahnya (kakek) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki murni; seperti ayahnya ayah dan ayahnya kakek; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan untuk kedua orang tuanya, masing-masing mendapat seperenam", dan kakek adalah ayah, dan Nabi ﷺ telah memberikan kepadanya seperenam.

وَالْأَخُ مُطْلَقًا، سَوَاءٌ كَانَ شَقِيقًا أَوْ لِأَبٍ أَوْ لِأُمٍّ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ﴾ الْآيَةَ؛ فَهَذِهِ فِي الْأُخُوَّةِ لِغَيْرِ الْأُمِّ، وَقَالَ فِي الْأُخُوَّةِ لِأُمٍّ: ﴿وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ﴾ .

Saudara laki-laki secara mutlak, baik saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Mereka meminta fatwa kepadamu, katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (orang yang mati dan tidak meninggalkan ayah dan anak). Jika seseorang meninggal dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak," ayat ini mengenai persaudaraan selain dari ibu, dan Allah berfirman mengenai persaudaraan seibu: "Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta."

وَابْنُ الْأَخِ لِغَيْرِ أُمٍّ، أَمَّا ابْنُ الْأَخِ لِأُمٍّ؛ فَلَا يَرِثُ؛ لِأَنَّهُ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ.

Anak laki-laki dari saudara laki-laki selain seibu, adapun anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu; maka ia tidak mewarisi; karena ia termasuk dzawil arham.

وَالْعَمُّ لِغَيْرِ أُمٍّ وَابْنُهُ وَإِنْ نَزَلَ بِمَحْضِ الذُّكُورِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: " أَلْحِقُوا الْفَائِضَ بِأَهْلِهَا؛ فَمَا بَقِيَ؛ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ".

Paman dari selain ibu dan anaknya meskipun ke bawah dari garis laki-laki murni; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Berikan bagian yang telah ditentukan kepada ahlinya; adapun sisanya; maka untuk laki-laki yang paling dekat."

وَالزَّوْجُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُم﴾ .

Suami; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu."

وَالْعَاشِرُ ذُو الْوَلَاءِ، وَهُوَ الْمُعْتِقُ أَوْ مَنْ يَحِلُّ مَحَلَّهُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ:

Yang kesepuluh adalah dzul wala', yaitu orang yang memerdekakan budak atau orang yang menempati posisinya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

"الوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ"، وَقَوْلُهُ ﷺ: "وَإِنَّمَا الوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ".

"Loyalitas adalah ikatan seperti ikatan keturunan", dan sabda Nabi ﷺ: "Loyalitas hanya untuk orang yang membebaskan budak".

وَالوَارِثَاتُ مِنَ النِّسَاءِ سَبْعٌ:

Ahli waris perempuan ada tujuh:

البِنْتُ وَبِنْتُ الِابْنِ وَإِنْ نَزَلَ أَبُوهَا بِمَحْضِ الذُّكُورِ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ﴾ .

Anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki, meskipun ayahnya turun dari garis laki-laki murni; Allah berfirman: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta."

وَالأُمُّ وَالجَدَّةُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ﴾، وَعَنْ بُرَيْدَةَ مَرْفُوعًا: "لِلْجَدَّةِ السُّدُسُ إِذَا لَمْ يَكُنْ دُونَهَا أُمٌّ"، رَوَاهُ دَاوُدُ.

Ibu dan nenek; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam," dan dari Buraidah secara marfu': "Nenek mendapatkan seperenam jika tidak ada ibu di bawahnya," diriwayatkan oleh Dawud.

وَالأُخْتُ مُطْلَقًا شَقِيقَةٌ أَوْ لِأَبٍ أَوْ لِأُمٍّ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ﴾، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ..﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ﴾ .

Saudara perempuan secara mutlak, baik saudara kandung, seayah, atau seibu; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta," dan firman Allah Ta'ala: "Jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya..." hingga firman-Nya: "Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal."

وَالزَّوْجَةُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ﴾ الْآيَةَ.

Istri; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan," ayat.

وَالمُعْتِقَةُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّمَا الوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ".

Wanita yang memerdekakan budak; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Loyalitas hanya untuk orang yang membebaskan budak".

هَذِهِ جُمْلَةُ الوَارِثِينَ مِنَ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ.

Ini adalah keseluruhan ahli waris dari laki-laki dan perempuan.

وَعِنْدَ التَّفْصِيلِ يَبْلُغُ الرِّجَالُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَتَبْلُغُ الْإِنَاثُ عَشْرًا، وَيُعْرَفُ ذَلِكَ بِالتَّأَمُّلِ وَالرُّجُوعِ إِلَى الْمَصَادِرِ. وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

Dan ketika merinci, jumlah laki-laki mencapai lima belas dan perempuan mencapai sepuluh, dan hal itu diketahui dengan perenungan dan merujuk pada sumber-sumber. Dan Allah Ta'ala lebih mengetahui.

أَنْوَاعُ الْوَرَثَةِ بِاعْتِبَارِ الْإِرْثِ:

Jenis-jenis ahli waris berdasarkan pewarisan:

وَالْوَرَثَةُ بِاعْتِبَارِ الْإِرْثِ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ:

Ahli waris berdasarkan pewarisan ada tiga jenis:

نَوْعٌ يَرِثُ بِالْفَرْضِ، وَنَوْعٌ يَرِثُ بِالتَّعْصِيبِ، وَنَوْعٌ يَرِثُ لِكَوْنِهِ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ.

Jenis yang mewarisi dengan farḍ, jenis yang mewarisi dengan ta'ṣīb, dan jenis yang mewarisi karena termasuk żawil arḥām.

فَصَاحِبُ الْفَرْضِ: هُوَ الَّذِي يَأْخُذُ نَصِيبًا مُقَدَّرًا شَرْعًا لَا يَزِيدُ إِلَّا بِالرَّدِّ وَلَا يَنْقُصُ إِلَّا بِالْعَوْلِ.

Pemilik farḍ adalah orang yang mengambil bagian yang ditentukan secara syar'i, tidak bertambah kecuali dengan pengembalian (ar-radd) dan tidak berkurang kecuali dengan 'aul.

وَالْعَصَبَةُ: هُمُ الَّذِينَ يَرِثُونَ بِلَا تَقْدِيرٍ.

Al-'aṣabah adalah orang-orang yang mewarisi tanpa batasan.

وَذَوُو الْأَرْحَامِ هُمُ الَّذِينَ يَرِثُونَ عِنْدَ عَدَمِ أَصْحَابِ الْفُرُوضِ غَيْرِ الزَّوْجَيْنِ وَعَدَمِ الْعَصَبَاتِ.

Żawil arḥām adalah orang-orang yang mewarisi ketika tidak ada aṣḥābul furūḍ selain suami-istri dan tidak ada 'aṣabah.

وَذَوُو الْفُرُوضِ عَشَرَةُ أَصْنَافٍ: الزَّوْجَانِ، وَالْأَبَوَانِ، وَالْجَدُّ، وَالْبَنَاتُ، وَبَنَاتُ الِابْنِ، وَالْأَخَوَاتُ مِنْ كُلِّ جِهَةٍ، وَالْأَخْوَةُ مِنَ الْأُمِّ ذُكُورًا وَإِنَاثًا.

Aṣḥābul furūḍ ada sepuluh jenis: suami-istri, kedua orang tua, kakek, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan dari setiap arah, dan saudara laki-laki seibu baik laki-laki maupun perempuan.

وَنَتَكَلَّمُ عَلَى كُلِّ صِنْفٍ مِنْ هَؤُلَاءِ بِشَيْءٍ مِنَ التَّفْصِيلِ:

Dan kita akan membahas setiap jenis dari mereka dengan sedikit rincian:

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْأَزْوَاجِ وَالزَّوْجَاتِ

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْأَزْوَاجِ وَالزَّوْجَاتِ

Bab tentang warisan suami dan istri

وَلِلزَّوْجِ النِّصْفُ مَعَ عَدَمِ الْوَلَدِ وَوَلَدِ الِابْنِ، وَالرُّبُعُ مَعَ وُجُودِ الْوَلَدِ أَوْ وَلَدِ الِابْنِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْن﴾

Suami mendapatkan setengah jika tidak ada anak atau cucu laki-laki, dan seperempat jika ada anak atau cucu laki-laki, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu."

وَلِلزَّوْجَةِ فَأَكْثَرُ الرُّبُعُ مَعَ عَدَمِ الْفَرْعِ الْوَارِثِ، وَالثُّمُنُ مَعَ وُجُودِ: لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْن﴾

Istri atau lebih mendapatkan seperempat jika tidak ada cabang waris (anak atau cucu), dan seperdelapan jika ada, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu."

وَالْمُرَادُ بِالْفَرْعِ الْوَارِثِ أَوْلَادُ الْمَيِّتِ وَأَوْلَادُ بَنِيهِ.

Yang dimaksud dengan cabang waris adalah anak-anak mayit dan anak-anak laki-lakinya.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْآبَاءِ وَالْأَجْدَادِ

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْآبَاءِ وَالْأَجْدَادِ

Bab tentang warisan bapak dan kakek

وَلِكُلٍّ مِنَ الْأَبِ وَالْجَدِّ السُّدُسُ فَرْضًا مَعَ ذُكُورِ الْوَلَدِ وَوَلَدِ الِابْنِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ﴾ .

Bagi ayah dan kakek, masing-masing mendapatkan seperenam bagian sebagai bagian yang telah ditentukan jika bersama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan untuk kedua ibu-bapaknya, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak."

وَيَرِثُ الْأَبُ وَالْجَدُّ بِالتَّعْصِيبِ مَعَ عَدَمِ الْوَلَدِ وَوَلَدِ الِابْنِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ﴾، فَأَضَافَ الْمِيرَاثَ إِلَى الْأَبَوَيْنِ الْأَبِ وَالْأُمِّ، وَقَدَّرَ نَصِيبَ الْأُمِّ، وَلَمْ يُقَدِّرْ نَصِيبَ الْأَبِ، فَكَانَ لَهُ الْبَاقِي تَعْصِيبًا.

Ayah dan kakek mewarisi dengan cara 'ashabah jika tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga." Allah menyandarkan warisan kepada kedua orang tua (ayah dan ibu), dan menentukan bagian ibu, namun tidak menentukan bagian ayah. Maka, ayah mendapatkan sisa harta sebagai 'ashabah.

وَيَرِثُ الْأَبُ وَالْجَدُّ بِالْفَرْضِ وَالتَّعْصِيبِ مَعًا مَعَ إِنَاثِ الْأَوْلَادِ وَأَوْلَادِ الْبَنِينَ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا؛ فَمَا بَقِيَ؛ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ"؛ أَيْ: فَلِأَقْرَبِ رَجُلٍ مِنَ الْمَيِّتِ، وَالْأَبُ هُوَ أَقْرَبُ ذَكَرٍ بَعْدَ الِابْنِ وَابْنِهِ.

Ayah dan kakek mewarisi dengan cara fardh (bagian yang telah ditentukan) dan 'ashabah secara bersamaan jika bersama dengan anak-anak perempuan dan anak-anak dari anak laki-laki. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan kepada yang berhak. Kemudian sisanya untuk laki-laki yang paling dekat (hubungan kekerabatannya) dengan mayit." Maksudnya, untuk laki-laki yang paling dekat dengan mayit. Dan ayah adalah laki-laki terdekat setelah anak laki-laki dan cucu laki-laki.

فَتَلَخَّصَ أَنَّ لِلْأَبِ ثَلَاثَ حَالَاتٍ:

Kesimpulannya, ayah memiliki tiga keadaan:

الْحَالَةُ الْأُولَى: يَرِثُ فِيهَا بِالْفَرْضِ فَقَطْ، وَذَلِكَ مَعَ وُجُودِ ابْنِ الْمَيِّتِ لِصُلْبِهِ أَوِ ابْنِ ابْنِهِ وَإِنْ نَزَلَ.

Keadaan pertama: Ia mewarisi hanya dengan fardh saja, yaitu ketika ada anak laki-laki kandung mayit atau cucu laki-laki dari anak laki-laki betapapun jauh ke bawah.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: يَرِثُ فِيهَا بِالتَّعْصِيبِ فَقَطْ مَعَ عَدَمِ الْوَلَدِ وَوَلَدِ الِابْنِ.

Dan kondisi kedua: dia mewarisi dengan ta'shib saja dengan ketiadaan anak dan cucu.

وَالْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: يَرِثُ فِيهَا بِالْفَرْضِ وَالتَّعْصِيبِ مَعًا مَعَ وُجُودِ إِنَاثٍ مِنْ وَلَدِ الْمَيِّتِ أَوْ مِنْ وَلَدِ ابْنِهِ.

Dan kondisi ketiga: dia mewarisi dengan fardh dan ta'shib sekaligus dengan adanya anak perempuan dari anak si mayit atau dari anak laki-lakinya.

وَالْجَدُّ مِثْلُ الْأَبِ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْحَالَاتِ؛ لِتَنَاوُلِ النُّصُوصِ لَهُ إِذَا عُدِمَ الْأَبُ، وَيَزِيدُ الْجَدُّ عَلَى الْأَبِ حَالَةً رَابِعَةً، وَهِيَ مَا إِذَا وُجِدَ مَعَهُ إِخْوَةٌ أَشِقَّاءُ أَوْ لِأَبٍ، فَقَدِ اخْتُلِفَ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ: هَلْ يَكُونُ فِيهَا مِثْلَ الْأَبِ يَحْجُبُ الْأَخَوَةَ أَوْ لَا يَحْجُبُهُمْ وَيُشَارِكُونَهُ فِي الْمِيرَاثِ وَيَكُونُ كَوَاحِدٍ مِنْهُمْ يَتَقَاسَمُونَ الْمَالَ أَوْ مَا أَبْقَتِ الْفُرُوضُ عَلَى كَيْفِيَّاتٍ مَعْرُوفَةٍ فِي هَذَا الْبَابِ؛ لِأَنَّ الْجَدَّ وَالْإِخْوَةَ تَسَاوَوْا فِي الْإِدْلَاءِ بِالْأَبِ؛ فَالْجَدُّ أَبُوهُ، وَالْإِخْوَةُ أَبْنَاؤُهُ، فَيَتَسَاوَوْنَ فِي الْمِيرَاثِ؛ كَمَا ذَهَبَ إِلَى ذَلِكَ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ؛ كَعَلِيٍّ، وَابْنِ مَسْعُودٍ، وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، وَهُوَ قَوْلُ الْإِمَامِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَصَاحِبَيْ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ فِي الْمَشْهُورِ عَنْهُ، وَاسْتَدَلُّوا بِأَدِلَّةٍ وَتَوْجِيهَاتٍ وَأَقْيِسَةٍ كَثِيرَةٍ فِي الْكُتُبِ الْمُطَوَّلَةِ.

Dan kakek seperti ayah dalam kondisi-kondisi seperti ini; karena teks-teks mencakupnya jika ayah tidak ada, dan kakek melebihi ayah dalam kondisi keempat, yaitu jika bersamanya terdapat saudara-saudara sekandung atau seayah, maka telah diperselisihkan dalam kondisi ini: apakah dia seperti ayah yang menghalangi saudara-saudara atau tidak menghalangi mereka dan mereka bersekutu dengannya dalam warisan dan dia menjadi seperti salah seorang dari mereka yang membagi harta atau apa yang tersisa dari bagian-bagian tertentu dengan cara-cara yang dikenal dalam bab ini; karena kakek dan saudara-saudara sama dalam hubungan dengan ayah; kakek adalah ayahnya, dan saudara-saudara adalah anak-anaknya, maka mereka sama dalam warisan; sebagaimana sekelompok sahabat berpendapat demikian; seperti Ali, Ibnu Mas'ud, dan Zaid bin Tsabit, dan itu adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi'i, dua sahabat Abu Hanifah, dan Ahmad dalam pendapat yang masyhur darinya, dan mereka berdalil dengan banyak dalil, arahan, dan qiyas dalam kitab-kitab yang panjang.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْجَدَّ يُسْقِطُ الْأَخَوَةَ كَمَا يُسْقِطُهُمُ الْأَبُ، وَذَهَبَ إِلَى ذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ الزُّبَيْرِ، وَرُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ وَعَائِشَةَ وَأُبَيِّ كَعْبٍ وَجَابِرٍ وَغَيْرِهِمْ، وَهُوَ قَوْلُ الْإِمَامِ أَبِي حَنِيفَةَ، وَرِوَايَةٌ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ، وَاخْتَارَهُ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَابْنُ الْقَيِّمِ وَالشَّيْخُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ رَحِمَ اللهُ الْجَمِيعَ، وَلَهُمْ أَدِلَّةٌ كَثِيرَةٌ، وَهَذَا الْقَوْلُ أَقْرَبُ إِلَى الصَّوَابِ مِنَ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Dan pendapat kedua bahwa kakek menggugurkan saudara-saudara sebagaimana ayah menggugurkan mereka, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu Az-Zubair berpendapat demikian, dan diriwayatkan dari Utsman, Aisyah, Ubay bin Ka'b, Jabir, dan selain mereka, dan itu adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah semuanya memilihnya, dan mereka memiliki banyak dalil, dan pendapat ini lebih dekat kepada kebenaran daripada pendapat pertama, dan Allah lebih mengetahui.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْأُمَّهَاتِ

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الأُمَّهَاتِ

Bab tentang warisan ibu

لِلْأُمِّ ثَلَاثُ حَالَاتٍ:

Ibu memiliki tiga keadaan:

الْحَالَةُ الْأُولَى: تَرِثُ فِيهَا السُّدُسَ، ذَلِكَ مَعَ وُجُودِ الْفَرْعِ الْوَارِثِ مِنْ أَوْلَادِ الْمَيِّتِ أَوْ أَوْلَادِ بَنِيهِ، أَوْ مَعَ وُجُودِ اثْنَيْنِ فَأَكْثَرَ مِنَ الْأَخْوَةِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ﴾ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ﴾ .

Keadaan pertama: Dia mewarisi seperenam, yaitu dengan adanya cabang pewaris dari anak-anak mayit atau anak-anak laki-lakinya, atau dengan adanya dua atau lebih saudara laki-laki; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan untuk kedua orang tuanya, masing-masing dari keduanya mendapat seperenam dari apa yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak" hingga firman-Nya: "Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam".

الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: تَرِثُ فِيهَا الثُّلُثَ، وَذَلِكَ مَعَ عَدَمِ الْفَرْعِ الْوَارِثِ مِنَ الْأَوْلَادِ وَأَوْلَادِ الْبَنِينَ، وَعَدَمِ الْجَمْعِ مَعَ الْأَخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ﴾ .

Keadaan kedua: Dia mewarisi sepertiga, yaitu dengan tidak adanya cabang pewaris dari anak-anak dan anak-anak laki-laki, serta tidak adanya kumpulan saudara laki-laki dan perempuan; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam".

الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: تَرِثُ فِيهَا ثُلُثَ إِذَا اجْتَمَعَ زَوْجٌ وَأَبٌ وَأُمٌّ أَوْ زَوْجَةٌ وَأَبٌ وَأُمٌّ، وَتُسَمَّى هَاتَانِ الْمَسْأَلَتَانِ بِالْعُمَرِيَّتَيْنِ؛ لِأَنَّ، عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ﵁ قَضَى فِيهِمَا أَنْ لِلْأُمِّ ثُلُثَ الْبَاقِي

Keadaan ketiga: Dia mewarisi sepertiga jika berkumpul suami, ayah, dan ibu atau istri, ayah, dan ibu, dan kedua masalah ini disebut dengan 'Umariyatain; karena Umar bin Al-Khattab ﵁ memutuskan pada keduanya bahwa ibu mendapatkan sepertiga dari sisa

بَعْدَ الْمَوْجُودِ مِنَ الزَّوْجَيْنِ.

Setelah bagian yang ada dari suami-istri.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَقَوْلُهُ أَصْوَبُ؛ لِأَنَّ اللهَ إِنَّمَا أَعْطَى الْأُمَّ الثُّلُثَ إِذَا وَرِثَهُ أَبَوَاهُ؛ يَعْنِي: فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ﴾، وَالْبَاقِي بَعْدَ فَرْضِ الزَّوْجَيْنِ هُوَ مِيرَاثُ الْأَبَوَيْنِ يَقْتَسِمَانِهِ كَمَا اقْتَسَمَا الْأَصْلَ وَكَمَا لَوْ كَانَ عَلَى الْمَيِّتِ دَيْنٌ أَوْ وَصِيَّةٌ فَإِنَّهُمَا يَقْتَسِمَانِ مَا بَقِيَ أَثْلَاثًا" انْتَهَى.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Dan pendapatnya lebih tepat; karena Allah hanya memberikan ibu sepertiga jika dia diwarisi oleh kedua orang tuanya; yaitu: dalam firman Allah Ta'ala: ﴿Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga﴾, dan sisanya setelah bagian suami-istri adalah warisan kedua orang tua yang mereka bagi seperti mereka membagi asal (harta) dan seperti jika si mayit memiliki hutang atau wasiat, maka keduanya membagi apa yang tersisa menjadi tiga bagian" selesai.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْجَدَّةِ

المُرَادُ بِالجَدَّةِ هُنَا الجَدَّةُ الصَّحِيحَةُ، وَهِيَ كُلُّ جَدَّةٍ أَدْلَتْ بِمَحْضِ الإِنَاثِ؛ كَأُمٍّ وَأُمَّهَاتِهَا المُدْلِيَاتِ بِإِنَاثٍ خُلْصٍ، وَكَأُمِّ الأَبِ وَكُلِّ جَدَّةٍ أَدْلَتْ بِمَحْضِ الذُّكُورِ؛ كَأُمِّ أَبِي الأَبِ وَأُمِّ أَبِي أَبِي الأَبِ، أَوْ أَدْلَتْ بِإِنَاثٍ إِلَى ذُكُورٍ؛ كَأُمِّ أُمِّ الأَبِ وَأُمِّ أُمِّ أَبِي الأَبِ، أَمَّا الجَدَّةُ المُدْلِيَةُ بِذُكُورٍ إِلَى إِنَاثٍ كَأُمِّ أَبِي الأُمِّ وَأُمِّ أَبِي الأَبِ، لِأَنَّهَا مِنْ ذَوِي الأَرْحَامِ.

Yang dimaksud dengan nenek di sini adalah nenek yang sah, yaitu setiap nenek yang dinisbatkan melalui garis perempuan murni; seperti ibu dan ibu-ibunya yang dinisbatkan melalui garis perempuan murni, dan seperti ibu dari ayah dan setiap nenek yang dinisbatkan melalui garis laki-laki murni; seperti ibu dari ayahnya ayah dan ibu dari ayahnya ayahnya ayah, atau yang dinisbatkan melalui garis perempuan kepada laki-laki; seperti ibu dari ibunya ayah dan ibu dari ibunya ayahnya ayah, adapun nenek yang dinisbatkan melalui garis laki-laki kepada perempuan seperti ibu dari ayahnya ibu dan ibu dari ayahnya ayah, karena ia termasuk dari kerabat jauh.

فَضَابِطُ الجَدَّةِ الوَارِثَةِ هِيَ: مَنْ أَدْلَتْ بِإِنَاثٍ خُلْصٍ أَوْ بِذُكُورٍ خُلْصٍ أَوْ بِإِنَاثٍ إِلَى ذُكُورٍ، وَضَابِطُ الجَدَّةِ غَيْرِ الوَارِثَةِ هِيَ: مَنْ أَدْلَتْ بِذُكُورٍ إِلَى إِنَاثٍ، وَبِعِبَارَةٍ أُخْرَى: مَنْ أَدْلَتْ بَيْنَ أُنْثَيَيْنِ هِيَ إِحْدَاهُمَا.

Kriteria nenek yang mewarisi adalah: yang dinisbatkan melalui garis perempuan murni atau melalui garis laki-laki murni atau melalui garis perempuan kepada laki-laki, dan kriteria nenek yang tidak mewarisi adalah: yang dinisbatkan melalui garis laki-laki kepada perempuan, atau dengan kata lain: yang dinisbatkan di antara dua perempuan di mana ia adalah salah satunya.

وَدَلِيلُ تَوْرِيثِ الجَدَّةِ السُّنَّةُ وَالإِجْمَاعُ:

Dalil mewarisi nenek adalah sunnah dan ijma':

فَأَمَّا السُّنَّةُ؛ فَمِنْهَا حَدِيثُ بْنِ ذُؤَيْبٍ؛ قَالَ: "جَاءَتِ الجَدَّةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَسَأَلَتْهُ مِيرَاثَهَا، فَقَالَ: مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللهِ شَيْءٌ، وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ شَيْئًا؛ فَارْجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ

Adapun sunnah; di antaranya adalah hadits Ibnu Dzuaib; ia berkata: "Seorang nenek datang kepada Abu Bakar, lalu ia meminta hak warisnya, maka Abu Bakar berkata: Tidak ada bagian untukmu dalam Kitabullah, dan aku tidak mengetahui bagian untukmu dalam sunnah Rasulullah ﷺ; maka kembalilah sampai aku bertanya kepada orang-orang

فَسَأَلَ النَّاسَ، فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ: حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَعْطَاهَا السُّدُسَ.

Lalu dia bertanya kepada orang-orang, maka Al-Mughirah bin Syu'bah berkata: Aku menyaksikan Rasulullah ﷺ memberikan kepadanya seperenam.

فَقَالَ: هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ؟، فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ، فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ".

Lalu dia berkata: Apakah ada orang lain bersamamu? Maka Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata seperti apa yang dikatakan Al-Mughirah bin Syu'bah, maka Abu Bakar pun melaksanakannya untuknya".

قَالَ: "ثُمَّ جَاءَتِ الْجَدَّةُ إِلَى عُمَرَ، فَسَأَلَتْهُ مِيرَاثَهَا، فَقَالَ مَالَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ، وَلَكِنْ ذَاكَ السُّدُسُ، فَإِنِ اجْتَمَعْتُمَا؛ فَهُوَ بَيْنَكُمَا، وَأَيُّكُمَا خَلَتْ فَهُوَ لَهَا"، رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا النَّائِي وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ.

Dia berkata: "Kemudian seorang nenek datang kepada Umar, lalu meminta hak warisnya. Maka Umar berkata: Tidak ada bagian untukmu dalam Kitabullah, tetapi itu adalah seperenam. Jika kalian berdua berkumpul, maka itu dibagi di antara kalian berdua. Dan siapa pun di antara kalian yang sendirian, maka itu menjadi miliknya". Hadits ini diriwayatkan oleh lima perawi kecuali An-Nasai, dan dinyatakan shahih oleh At-Tirmidzi.

وَعَنْ بُرَيْدَةَ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ جَعَلَ لِلْجَدَّةِ السُّدُسَ إِذَا لَمْ يَكُنْ دُونَهَا أُمٌّ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ ابْنُ السَّكَنِ وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ الْجَارُودِ.

Dari Buraidah: "Bahwa Nabi ﷺ menetapkan seperenam bagi nenek jika tidak ada ibu di bawahnya". Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dinyatakan shahih oleh Ibnu As-Sakan, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Al-Jarud.

فَهَذَانِ الْحَدِيثَانِ يُفِيدَانِ اسْتِحْقَاقَ الْجَدَّةِ السُّدُسَ، وَهِيَ كَمَا قَالَ الصِّدِّيقُ وَعُمَرُ ﵄ لَيْسَ لَهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ؛ لِأَنَّ الْأُمَّ الْمَذْكُورَةَ فِي كِتَابِ اللَّهِ مُقَيَّدَةٌ تُوجِبُ اخْتِصَاصَ الْحُكْمِ بِالْأُمِّ الدُّنْيَا؛ فَالْجَدَّةُ وَإِنْ سُمِّيَتْ أُمًّا؛ لَمْ تَدْخُلْ فِي لَفْظِ الْأُمِّ الْمَذْكُورَةِ فِي الْفَرَائِضِ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي لَفْظِ الْأُمَّهَاتِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُم﴾، وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَعْطَاهَا السُّدُسَ؛ فَثَبَتَ مِيرَاثُهَا إِذًا بِالسُّنَّةِ.

Kedua hadits ini menunjukkan bahwa nenek berhak mendapatkan seperenam, dan dia, sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar ﵄, tidak memiliki bagian dalam Kitabullah. Karena ibu yang disebutkan dalam Kitabullah dibatasi, yang mengharuskan kekhususan hukum bagi ibu kandung. Meskipun nenek disebut sebagai ibu, dia tidak termasuk dalam kata 'ibu' yang disebutkan dalam faraidh, meskipun dia termasuk dalam kata 'ibu-ibu' dalam firman Allah Ta'ala: "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu". Akan tetapi, Rasulullah ﷺ memberikan kepadanya seperenam, maka warisannya ditetapkan berdasarkan Sunnah.

وَكَذَا ثَبَتَ مِيرَاثُهَا بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ؛ فَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي تَوْرِيثِ أُمِّ الْأُمِّ وَأُمِّ الْأَبِ، وَاخْتَلَفُوا فِيمَا عَدَاهُمَا؛ فَوَرَّثَ ابْنُ عَبَّاسٍ

Demikian pula, warisannya ditetapkan berdasarkan ijma' para ulama. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam mewariskan ibu dari ibu dan ibu dari ayah. Mereka berbeda pendapat tentang selain keduanya. Ibnu Abbas mewariskan

وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْجَدَّاتُ وَإِنْ كَثُرْنَ إِذَا كُنَّ فِي دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ؛ إِلَّا مَنْ أَدْلَتْ بِأَبٍ غَيْرِ وَارِثٍ؛ كَأُمِّ أَبِي الْأُمِّ، وَوَرَّثَ بَعْضُهُمْ ثَلَاثَ جَدَّاتٍ فَقَطْ هُنَّ أُمُّ الْأُمِّ وَأُمُّ الْأَبِ وَأُمُّ الْجَدِّ أَبِي الْأَبِ.

Dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nenek-nenek, meskipun banyak, jika mereka berada pada tingkatan yang sama; kecuali yang dinisbatkan kepada ayah yang bukan ahli waris; seperti ibu dari ayahnya ibu, dan sebagian mereka mewariskan hanya kepada tiga nenek yaitu ibu dari ibu, ibu dari ayah, dan ibu dari kakek ayahnya ayah.

وَيُشْتَرَطُ لِتَوْرِيثِ الْجَدَّةِ عَدَمُ وُجُودِ الْأُمِّ؛ لِأَنَّ الْجَدَّةَ تُدْلِي بِهَا، وَمَنْ أَدْلَى بِوَاسِطَةٍ؛ حُجَّتُهُ تِلْكَ الْوَاسِطَةُ؛ إِلَّا مَا اسْتُثْنِيَ، وَهَذَا بِإِجْمَاعِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الْأُمَّ تَحْجُبُ الْجَدَّةَ مِنْ جَمِيعِ الْجِهَاتِ.

Dan disyaratkan untuk mewariskan nenek tidak adanya ibu; karena nenek dinisbatkan kepadanya, dan siapa yang dinisbatkan dengan perantara; maka hujjahnya adalah perantara tersebut; kecuali yang dikecualikan, dan ini berdasarkan ijma' para ulama bahwa ibu menghalangi nenek dari semua arah.

كَيْفِيَّةُ تَوْرِيثِ الْجَدَّاتِ:

Cara mewariskan nenek:

إِذَا انْفَرَدَتْ وَاحِدَةٌ مِنَ الْجَدَّاتِ، وَلَمْ يَكُنْ دُونَهَا أُمٌّ؛ أَخَذَتِ السُّدُسَ كَمَا سَبَقَ، لَيْسَ لَهَا أَكْثَرُ مِنْهُ، وَالْقَوْلُ بِأَنَّ لَهَا الثُّلُثَ عِنْدَ عَدَمِ الْوَلَدِ وَعَدَمِ الْجَمْعِ مِنَ الْأَخْوَةِ كَالْأُمِّ فِي ذَلِكَ قَوْلٌ شَاذٌّ لَا يُعَوَّلُ عَلَيْهِ.

Jika salah satu nenek sendirian, dan tidak ada ibu di bawahnya; maka ia mengambil seperenam seperti yang telah lalu, tidak lebih dari itu, dan pendapat bahwa ia mendapatkan sepertiga jika tidak ada anak dan tidak ada kumpulan saudara seperti ibu dalam hal itu adalah pendapat yang menyimpang yang tidak dapat diandalkan.

وَإِذَا وُجِدَ جَمْعٌ مِنَ الْجَدَّاتِ: فَإِنْ تَسَاوَيْنَ فِي الدَّرَجَةِ؛ فَإِنَّهُنَّ يَشْتَرِكْنَ فِي السُّدُسِ؛ لِأَنَّ الصَّحَابَةَ شَرَّكُوا بَيْنَهُنَّ، وَلِأَنَّهُنَّ ذَوَاتُ عَدَدٍ، لَا يُشَارِكُهُنَّ ذَكَرٌ، فَاسْتَوَى كَثِيرُهُنَّ وَوَاحِدَتُهُنَّ كَالزَّوْجَاتِ، وَلِعَدَمِ الْمُرَجِّحِ لِإِحْدَاهُنَّ. وَمَنْ قَرُبَتْ مِنْهُنَّ إِلَى الْمَيِّتِ؛ فَالسُّدُسُ لَهَا وَحْدَهَا، سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ جِهَةِ الْأُمِّ أَوْ مِنْ جِهَةِ الْأَبِ، وَتَسْقُطُ الْبُعْدَى؛ لِأَنَّهُنَّ أُمَّهَاتٌ يَرِثْنَ مِيرَاثًا وَاحِدًا، فَإِذَا اجْتَمَعْنَ مَعَ اخْتِلَافِ الدَّرَجَةِ؛ فَالْمِيرَاثُ لِأَقْرَبِهِنَّ.

Dan jika terdapat kumpulan nenek: jika mereka setara dalam tingkatan; maka mereka bersekutu dalam seperenam; karena para sahabat menyekutukan di antara mereka, dan karena mereka memiliki bilangan, tidak ada laki-laki yang bersekutu dengan mereka, maka banyak dan sedikit mereka sama seperti para istri, dan karena tidak adanya penguat bagi salah satu dari mereka. Dan siapa yang paling dekat di antara mereka kepada mayit; maka seperenam untuknya sendiri, baik ia dari arah ibu atau dari arah ayah, dan gugur yang jauh; karena mereka adalah ibu-ibu yang mewarisi satu warisan, maka jika mereka berkumpul dengan perbedaan tingkatan; maka warisan untuk yang paling dekat di antara mereka.

وَتَرِثُ الْجَدَّةُ أُمُّ الْأَبِ مَعَ وُجُودِ الْأَبِ، وَتَرِثُ الْجَدَّةُ أُمُّ الْجَدِّ مَعَ وُجُودِ الْجَدِّ، وَلَا تَسْقُطُ بِمَنْ أَدْلَتْ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ؛ عَلَى خِلَافِ الْقَاعِدَةِ: أَنَّ مَنْ أَدْلَى بِوَاسِطَةٍ؛ حَجَبَتْهُ تِلْكَ الْوَاسِطَةُ؛ لِمَا رُوِيَ ابْنُ مَسْعُودٍ ﵁ أَنَّهُ قَالَ فِي الْجَدَّةِ مَعَ ابْنِهَا: "إِنَّهَا أَوَّلُ جَدَّةٍ أَطْعَمَهَا

Dan nenek ibu dari ayah mewarisi bersama adanya ayah, dan nenek ibu dari kakek mewarisi bersama adanya kakek, dan ia tidak gugur karena orang yang dinisbatkan kepadanya dalam keadaan ini; berbeda dengan kaidah: bahwa siapa yang dinisbatkan dengan perantara; maka perantara itu menghalanginya; karena diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ﵁ bahwa ia berkata tentang nenek bersama anaknya: "Sesungguhnya ia adalah nenek pertama yang diberi makan oleh

رَسُولُ اللهِ ﷺ سُدُسًا مَعَ ابْنِهَا وَابْنُهَا حَيٌّ"، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَالْعِلَّةُ فِي ذَلِكَ أَنَّهَا لَا تَرِثُ مِيرَاثَ مَنْ أَدْلَتْ بِهِ حَتَّى تَسْقُطَ بِهِ إِذَا وُجِدَ.

Rasulullah ﷺ memberikan seperenam (bagian warisan) kepada nenek bersama cucunya, sementara cucunya masih hidup", diriwayatkan oleh Tirmidzi. Alasannya adalah bahwa dia (nenek) tidak mewarisi warisan dari orang yang dia gantikan sampai dia gugur karenanya jika ditemukan.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَقَوْلُ مَنْ قَالَ: مَنْ أَدْلَى بِشَخْصٍ؛ سَقَطَ بِهِ: بَاطِلٌ طَرْدًا وَعَكْسًا، بَاطِلٌ طَرْدًا بِوَلَدِ الْأُمِّ مَعَ الْأُمِّ، وَعَكْسًا بِوَلَدِ الِابْنِ مَعَ عَمِّهِمْ وَوَلَدِ الْأَخِ مَعَ عَمِّهِمْ وَأَمْثَالِ ذَلِكَ مِمَّا فِيهِ سُقُوطُ شَخْصٍ بِشَخْصٍ لَمْ يُدْلِ بِهِ، وَإِنَّمَا الْعِلَّةُ أَنَّهَا تَرِثُ مِيرَاثَهُ؛ فَكُلُّ مَنْ وَرِثَ مِيرَاثَ شَخْصٍ بِشَخْصٍ لَمْ يُدْلِ بِهِ، وَإِنَّمَا الْعِلَّةُ أَنَّهَا تَرِثُ مِيرَاثَهُ؛ فَكُلُّ مَنْ وَرِثَ مِيرَاثَ شَخْصٍ؛ سَقَطَ بِهِ إِذَا كَانَ أَقْرَبَ مِنْهُ، وَالْجَدَّاتُ يَقُمْنَ الْأُمَّ فَيَسْتَقْطِنَ بِهَا، وَإِنْ لَمْ يُدْلِينَ بِهَا، وَاللهُ أَعْلَمُ".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Perkataan orang yang mengatakan: Siapa yang digantikan oleh seseorang, maka dia gugur karenanya, adalah batil secara langsung maupun sebaliknya. Batil secara langsung pada anak dari ibu bersama ibu, dan sebaliknya pada anak dari anak laki-laki bersama paman mereka, anak dari saudara laki-laki bersama paman mereka, dan sejenisnya yang di dalamnya terdapat gugurnya seseorang karena orang yang tidak menggantikannya. Alasannya adalah bahwa dia (nenek) mewarisi warisannya. Maka setiap orang yang mewarisi warisan seseorang karena orang yang tidak menggantikannya, alasannya adalah bahwa dia mewarisi warisannya. Maka setiap orang yang mewarisi warisan seseorang, dia gugur karenanya jika dia lebih dekat darinya. Para nenek menempati posisi ibu, maka mereka gugur karenanya meskipun mereka tidak menggantikannya. Dan Allah lebih mengetahui."

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْبَنَاتِ

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْبَنَاتِ

Bab tentang warisan anak-anak perempuan

الْبِنْتُ الْوَاحِدَةُ تَأْخُذُ النِّصْفَ بِشَرْطَيْنِ:

Seorang anak perempuan mendapatkan setengah dengan dua syarat:

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: انْفِرَادُهَا عَمَّنْ يُشَارِكُهَا مِنْ أَخَوَاتِهَا.

Syarat pertama: Dia sendirian, tidak ada saudara perempuan yang berbagi dengannya.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: انْفِرَادُهَا عَمَّنْ يُعَصِّبُهَا مِنْ إِخْوَتِهَا.

Syarat kedua: Dia sendirian, tidak ada saudara laki-laki yang menjadikannya 'aṣabah.

وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْف﴾؛ فَقَوْلُهُ: ﴿وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً﴾: يُؤْخَذُ مِنْهُ اشْتِرَاطُ انْفِرَادِهَا عَمَّنْ يُشَارِكُهَا مِنْ أَخَوَاتِهَا، وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ﴾: يُؤْخَذُ مِنْهُ اشْتِرَاطُ عَدَمِ الْمُعَصِّبِ.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan)." Maka firman-Nya: "Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja," darinya diambil syarat bahwa dia sendirian, tidak ada saudara perempuan yang berbagi dengannya. Dan firman Allah Ta'ala: "bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan," darinya diambil syarat tidak adanya mu'aṣṣib (saudara laki-laki yang menjadikannya 'aṣabah).

وَبِنْتُ الِابْنِ تَأْخُذُ النِّصْفَ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ:

Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) mendapatkan setengah dengan tiga syarat:

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: عَدَمُ الْمُعَصِّبِ لَهَا، وَهُوَ أَخُوهَا أَوِ ابْنُ عَمِّهَا الَّذِي فِي دَرَجَتِهَا.

Syarat pertama: Tidak adanya mu'aṣṣib baginya, yaitu saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya yang sederajat dengannya.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: عَدَمُ الْمُشَارِكِ لَهَا، وَهُوَ أُخْتُهَا أَوْ بِنْتُ عَمِّهَا الَّتِي دَرَجَتُهَا.

Syarat kedua: Tidak adanya orang yang berbagi dengannya, yaitu saudara perempuannya atau anak perempuan pamannya yang sederajat dengannya.

وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ: عَدَمُ الْفَرْعِ الْوَارِثِ الَّذِي هُوَ أَعْلَى مِنْهَا.

Syarat ketiga: Tidak adanya cabang waris (anak) yang lebih tinggi darinya.

وَالْبَنَاتُ اثْنَتَانِ فَأَكْثَرُ تَأْخُذَانِ الثُّلُثَيْنِ، وَذَلِكَ بِشَرْطَيْنِ:

Dan dua anak perempuan atau lebih mengambil dua pertiga, dan itu dengan dua syarat:

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُنَّ اثْنَتَيْنِ فَأَكْثَرُ.

Syarat pertama: bahwa mereka adalah dua atau lebih.

وَالشَّرْطُ الثَّانِي: عَدَمُ الْمُعَصِّبِ، وَهُوَ ابْنُ الْمَيِّتِ لِصُلْبِهِ.

Dan syarat kedua: tidak adanya mu'aṣṣib, yaitu anak laki-laki dari si mayit.

وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ﴾ .

Dan itu berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan."

فَاسْتُفِيدَ مِنْ قَوْلِهِ: ﴿لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ﴾: اشْتِرَاطُ عَدَمِ الْمُعَصِّبِ فِي مِيرَاثِ الْبَنَاتِ الثُّلُثَيْنِ، وَاسْتُفِيدَ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ﴾: اشْتِرَاطُ كَوْنِهِنَّ اثْنَتَيْنِ فَأَكْثَرُ.

Maka dipahami dari firman-Nya: "untuk anak laki-laki, bagian yang sama dengan dua anak perempuan": disyaratkan tidak adanya mu'aṣṣib dalam warisan dua pertiga untuk anak-anak perempuan, dan dipahami dari firman Allah Ta'ala: "jika mereka adalah perempuan lebih dari dua": disyaratkan bahwa mereka adalah dua atau lebih.

لَكِنْ قَدْ أَشْكَلَ لَفْظُ: ﴿فَوْقَ اثْنَتَيْنِ﴾ فِي الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ؛ إِذَا ظَاهِرُهُ أَنَّ الْبِنْتَيْنِ لَا يَأْخُذْنَ الثُّلُثَيْنِ، وَإِنَّمَا تَأْخُذُهُ الثَّلَاثُ فَأَكْثَرُ؛ كَمَا هُوَ مَرْوِيٌّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ﵄ وَالْجُمْهُورُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ خِلَافُهُ، وَأَنَّ الْبِنْتَيْنِ تَأْخُذَانِ الثُّلُثَيْنِ بِدَلِيلِ حَدِيثِ جَابِرٍ ﵁؛ قَالَ:

Akan tetapi, ungkapan: "lebih dari dua" dalam ayat yang mulia ini mungkin membingungkan; karena secara lahiriah, dua anak perempuan tidak mengambil dua pertiga, melainkan tiga atau lebih yang mengambilnya; sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas ﵄. Namun, mayoritas ulama berbeda pendapat dengannya, dan bahwa dua anak perempuan mengambil dua pertiga berdasarkan hadits Jabir ﵁; ia berkata:

"جَاءَتْ امْرَأَةُ سَعِيدِ بْنِ الرَّبِيعِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ بِابْنَتَيْهَا مِنْ سَعْدٍ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! هَاتَانِ ابْنَتَا سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ، قُتِلَ أَبُوهُمَا مَعَكَ فِي أُحُدٍ شَهِيدًا، وَإِنَّ عَمَّهُمَا أَخَذَ مَالَهُمَا فَلَمْ يَدَعْ لَهُمَا مَالًا، وَلَا تُنْكَحَانِ إِلَّا بِمَالٍ. فَقَالَ: "يَقْضِي اللَّهُ فِي ذَلِكَ". فَنَزَلَتْ آيَةُ الْمِيرَاثِ، فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ إِلَى عَمِّهِمَا، فَقَالَ: "أَعْطِ ابْنَتَيْ سَعْدٍ الثُّلُثَيْنِ، وَأُمَّهُمَا الثُّمُنَ، وَمَا بَقِيَ فَهُوَ لَكَ"، رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ، وَحَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ،

"Istri Sa'id bin Rabi' datang kepada Rasulullah ﷺ dengan membawa dua anak perempuannya dari Sa'd, lalu berkata: Wahai Rasulullah! Ini adalah dua anak perempuan Sa'd bin Rabi', ayah mereka terbunuh bersamamu dalam perang Uhud sebagai syahid, dan paman mereka mengambil harta mereka dan tidak menyisakan harta untuk mereka, dan mereka tidak dapat dinikahkan kecuali dengan harta. Maka beliau bersabda: "Allah akan memutuskan dalam hal itu". Lalu turunlah ayat warisan, maka Rasulullah ﷺ mengutus seseorang kepada paman mereka, lalu bersabda: "Berikan kepada dua anak perempuan Sa'd dua pertiga, ibu mereka seperdelapan, dan sisanya untukmu", diriwayatkan oleh lima (imam) kecuali an-Nasa'i, dan dihasankan oleh at-Tirmidzi,"

وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ لِلْبِنْتَيْنِ الثُّلُثَيْنِ، وَهُوَ نِصْفِي مَحَلِّ النِّزَاعِ، وَتَفْسِيرُ مِنَ النَّبِيِّ ﷺ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ﴾، وَبَيَانٌ لِمَعْنَاهَا، لَا سِيَّمَا وَأَنَّ سَبَبَ نُزُولِهَا قِصَّةُ ابْنَتَيْ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ، وَسُؤَالُ أُمِّهِمَا عَنْ شَأْنِهِمَا، وَحِينَ نَزَلَتْ أَرْسَلَ النَّبِيُّ ﷺ إِلَى عَمِّهِمَا.

Dan itu menunjukkan bahwa dua anak perempuan mendapatkan dua pertiga, dan itu adalah setengah dari tempat perselisihan, dan tafsir dari Nabi ﷺ terhadap firman Allah Ta'ala: "Jika mereka (anak-anak perempuan) lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan", dan penjelasan maknanya, terlebih lagi sebab turunnya adalah kisah dua putri Sa'd bin Rabi', dan pertanyaan ibu mereka tentang urusan mereka, dan ketika turun (ayat tersebut), Nabi ﷺ mengutus kepada paman mereka.

وَيُجَابُ عَنْ لَفْظَةِ ﴿فَوْقَ اثْنَتَيْنِ﴾ الَّتِي اسْتَدَلَّ بِهَا مَنْ رَأَيَ عَدَمَ تَوْرِيثِ الْبِنْتَيْنِ الثُّلُثَيْنِ حَتَّى يَكُنَّ ثَلَاثًا فَأَكْثَرَ بِأَجْوِبَةٍ: مِنْهَا: أَنَّ هَذَا مِنْ بَابِ مُطَابَقَةِ الْكَلَامِ بَعْضِهِ لِبَعْضٍ لِأَنَّهُ سُبْحَانَهُ تَعَالَى قَالَ: ﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ﴾؛ فَالضَّمِيرُ فِي "كُنَّ" مَجْمُوعٌ يُطَابِقُ الْأَوْلَادَ إِنْ كَانَ الْأَوْلَادُ نِسَاءً؛ فَاجْتَمَعَ فِي الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ ثَلَاثَةُ أُمُورٍ: لَفْظُ "الْأَوْلَادِ" وَهُوَ جَمْعٌ، وَضَمِيرُ "كُنَّ" وَهُوَ ضَمِيرُ جَمْعٍ، وَ"نِسَاءٌ" وَهُوَ اسْمُ جَمْعٍ؛ فَنَاسَبَ التَّعْبِيرُ بِفَوْقَ اثْنَتَيْنِ.

Dan dijawab tentang lafaz "lebih dari dua" yang digunakan oleh orang yang berpendapat tidak mewariskan dua pertiga kepada dua anak perempuan hingga mereka menjadi tiga atau lebih dengan beberapa jawaban: di antaranya: bahwa ini termasuk bab kesesuaian sebagian perkataan dengan sebagian yang lain karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan"; maka dhamir pada "kunna" adalah jamak yang sesuai dengan al-aulad jika al-aulad adalah perempuan; maka terkumpul dalam ayat yang mulia tiga perkara: lafaz "al-aulad" dan itu adalah jamak, dhamir "kunna" dan itu adalah dhamir jamak, dan "nisaa" dan itu adalah isim jamak; maka sesuai ungkapan dengan lebih dari dua.

وَمِنَ الْأَجْوِبَةِ عَنْ هَذَا الْإِشْكَالِ: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ لِلذَّكَرِ مِثْلَ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، فَإِذَا أَخَذَ الذَّكَرُ الثُّلُثَيْنِ وَالْأُنْثَى الثُّلُثَ؛ عُلِمَ قَطْعًا أَنَّ حَظَّ الْأُنْثَيَيْنِ الثُّلُثَانِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ لِلْوَاحِدِ مَعَ الذَّكَرِ الثُّلُثُ؛ فَلِأَنْ يَكُونَ لَهَا مَعَ الْأُنْثَى الثُّلُثُ أَوْلَى وَأَحْرَى، وَهَذَا مِنَ التَّنْبِيهِ بِالْأَدْنَى عَلَى الْأَعْلَى، فَإِذَا كَانَ سُبْحَانَهُ قَدْ ذَكَرَ مِيرَاثَ الْوَاحِدِ نَصًّا وَمِيرَاثَ الثِّنْتَيْنِ تَنْبِيهًا؛ فَإِنَّ كَلِمَةَ ﴿فَوْقَ اثْنَتَيْنِ﴾ تُفِيدُ أَنَّ الْفَرْضَ لَا يَزِيدُ بِزِيَادَةِ الْعَدَدِ، حَتَّى وَلَوْ كُنَّ فَوْقَ اثْنَتَيْنِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Dan di antara jawaban atas kerancuan ini: bahwa Allah Ta'ala menjadikan bagi anak laki-laki seperti bagian dua anak perempuan, maka jika anak laki-laki mengambil dua pertiga dan anak perempuan sepertiga; diketahui secara pasti bahwa bagian dua anak perempuan adalah dua pertiga; karena jika bagi satu anak perempuan bersama anak laki-laki mendapat sepertiga; maka baginya bersama anak perempuan mendapat sepertiga lebih utama dan lebih pantas, dan ini termasuk isyarat dengan yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, maka jika Dia Mahasuci telah menyebutkan warisan satu anak perempuan secara nash dan warisan dua anak perempuan secara isyarat; maka sesungguhnya kalimat "lebih dari dua" menunjukkan bahwa bagian tidak bertambah dengan bertambahnya jumlah, meskipun mereka lebih dari dua, dan Allah lebih mengetahui.

وَبِنْتَا الِابْنِ بَنَاتُ الصُّلْبِ فِي اسْتِحْقَاقِ الثُّلُثَيْنِ، سَوَاءٌ كَانَتَا

Dan dua anak perempuan dari anak laki-laki seperti anak perempuan kandung dalam hal berhak mendapatkan dua pertiga, baik keduanya

أُخْتَيْنِ أَوْ بِنْتَيْ عَمٍّ مُحَاذِيَتَيْنِ؛ فَتَأْخُذَانِ الثُّلُثَيْنِ قِيَاسًا عَلَى بِنْتَيِ الصُّلْبِ؛ لِأَنَّ بِنْتَ الِابْنِ كَالْبِنْتِ، لَكِنْ لَا بُدَّ لَهُمَا مِنْ تَوَفُّرِ ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ:

Dua saudara perempuan atau dua anak perempuan paman yang setara; mereka mengambil dua pertiga berdasarkan analogi dengan dua anak perempuan kandung; karena anak perempuan dari anak laki-laki seperti anak perempuan, tetapi mereka harus memenuhi tiga syarat:

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُنَّ اثْنَتَيْنِ فَأَكْثَرَ.

Syarat pertama: bahwa mereka harus dua atau lebih.

الشَّرْطُ الثَّانِي: عَدَمُ الْمُعَصِّبِ، وَهُوَ ابْنُ الِابْنِ، سَوَاءٌ كَانَ أَخًا لَهُمَا أَوْ كَانَ ابْنَ عَمٍّ لَهُمَا فِي دَرَجَتِهِمَا.

Syarat kedua: tidak adanya mu'aṣṣib, yaitu anak laki-laki dari anak laki-laki, baik dia saudara laki-laki mereka atau sepupu laki-laki mereka pada tingkat mereka.

الشَّرْطُ الثَّالِثُ: عَدَمُ الْفَرْعِ الْوَارِثِ الَّذِي هُوَ أَعْلَى مِنْهُمَا مِنِ ابْنِ صُلْبٍ أَوِ ابْنٍ أَوْ بَنَاتِ ابْنٍ وَاحِدَةٍ فَأَكْثَرَ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Syarat ketiga: tidak adanya cabang pewaris yang lebih tinggi dari mereka, yaitu anak laki-laki kandung, cucu laki-laki, atau satu atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki, dan Allah lebih mengetahui.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْأَخَوَاتِ الشَّقَائِقِ

قَدْ ذَكَرَ اللهُ ﷾: مِيرَاثَ الأَخَوَاتِ الشَّقَائِقِ وَالأَخَوَاتِ لأَبٍ مَعَ الأَخْوَةِ لِغَيْرِ أُمٍّ وَاحِدَتِهِنَّ وَجَمَاعَتِهِنَّ؛ بِقَوْلِهِ فِي آخِرِ سُورَةِ النِّسَاءِ: ﴿يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ﴾

Allah ﷾ telah menyebutkan: warisan saudara perempuan kandung dan saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki bukan seibu, satu orang dari mereka dan kelompok mereka; dengan firman-Nya di akhir surah An-Nisa': "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan."

وَذَكَرَ مِيرَاثَ الأَخَوَاتِ لأُمٍّ وَاحِدَةً كَانَتْ أَوْ أَكْثَرَ مَعَ الأَخْوَةِ لأُمٍّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ﴾: فِي أَوَّلِ السُّورَةِ.

Dan Dia menyebutkan warisan saudara perempuan seibu, satu orang atau lebih, bersama saudara laki-laki seibu dengan firman-Nya Ta'ala: "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu": di awal surah.

فَالأُخْتُ الشَّقِيقَةُ تَأْخُذُ النِّصْفَ بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ:

Saudara perempuan kandung mengambil setengah dengan empat syarat:

الشَّرْطُ الأَوَّلُ: عَدَمُ الْمُعَصِّبِ لَهَا، وَهُوَ الأَخُ الشَّقِيقُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ﴾ .

Syarat pertama: tidak adanya mu'ashshib baginya, yaitu saudara laki-laki kandung; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan."

الشَّرْطُ الثَّانِي: عَدَمُ الْمُشَارِكِ لَهَا، وَهُوَ الأُخْتُ الشَّقِيقَةُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ﴾ .

Syarat kedua: tidak adanya peserta baginya, yaitu saudara perempuan kandung; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal."

الشَّرْطُ الثَّالِثُ: عَدَمُ الأَصْلِ مِنَ الذُّكُورِ الْوَارِثِينَ، وَالْمُرَادُ بِهِ الأَبُ وَالْجَدُّ مِنْ قِبَلِ الأَبِ عَلَى الصَّحِيحِ.

Syarat ketiga: tidak adanya asal (orang tua) dari ahli waris laki-laki, yang dimaksud adalah ayah dan kakek dari pihak ayah menurut pendapat yang sahih.

الشَّرْطُ الرَّابِعُ: عَدَمُ الْفَرْعِ الْوَارِثِ، وَهُوَ الاِبْنُ وَابْنُ الاِبْنِ وَإِنْ نَزَلَ، وَالْبِنْتُ وَبِنْتُ الاِبْنِ وَإِنْ نَزَلَ أَبُوهَا.

Syarat keempat: tidak adanya cabang (keturunan) ahli waris, yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki betapapun jauh ke bawah, serta anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki betapapun jauh ayahnya ke bawah.

وَدَلِيلُ هَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ أَنَّ الإِخْوَةَ وَالأَخَوَاتِ إِنَّمَا يَرِثُونَ فِي مَسْأَلَةِ الْكَلاَلَةِ، وَالْكَلاَلَةُ هُوَ مَنْ لاَ وَالِدَ لَهُ وَلاَ وَلَدَ.

Dalil dari kedua syarat ini adalah bahwa saudara laki-laki dan saudara perempuan hanya mewarisi dalam masalah kalalah, dan kalalah adalah orang yang tidak memiliki orang tua dan tidak memiliki anak.

وَالأُخْتُ لأَبٍ تَأْخُذُ النِّصْفَ بِخَمْسَةِ شُرُوطٍ، وَهِيَ الشُّرُوطُ الأَرْبَعَةُ السَّابِقَةُ فِي حَقِّ الأُخْتِ الشَّقِيقَةِ، وَالْخَامِسُ عَدَمُ الأَخِ الشَّقِيقِ وَالأُخْتِ الشَّقِيقَةِ؛ لأَنَّ الْمَوْجُودَ مِنْهُمَا أَقْوَى مِنْهَا.

Saudara perempuan seayah mengambil setengah dengan lima syarat, yaitu empat syarat sebelumnya pada hak saudara perempuan sekandung, dan yang kelima tidak adanya saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung; karena keberadaan salah satu dari keduanya lebih kuat daripadanya.

وَالأُخْتَانِ الشَّقِيقَتَانِ فَأَكْثَرُ يَأْخُذْنَ الثُّلُثَيْنِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ﴾، وَإِنَّمَا يَأْخُذْنَ الثُّلُثَيْنِ بِأَرْبَعَةِ شُرُوطٍ:

Dua saudara perempuan sekandung atau lebih mengambil dua pertiga; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika ada dua orang saudara perempuan, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan", dan mereka hanya mengambil dua pertiga dengan empat syarat:

الشَّرْطُ الأَوَّلُ: أَنْ يَكُنَّ اثْنَتَيْنِ فَأَكْثَرَ؛ لِلْآيَةِ الْكَرِيمَةِ: ﴿فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ﴾ .

Syarat pertama: bahwa mereka harus berjumlah dua orang atau lebih; berdasarkan ayat yang mulia: "Jika ada dua orang saudara perempuan".

الشَّرْطُ الثَّانِي: عَدَمُ الْمُعَصِّبِ لَهُنَّ، وَهُوَ الأَخُ الشَّقِيقُ فَأَكْثَرُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ﴾ .

Syarat kedua: tidak adanya mu'ashshib (saudara laki-laki sekandung) bagi mereka, yaitu satu saudara laki-laki sekandung atau lebih; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan".

الشَّرْطُ الثَّالِثُ: عَدَمُ الْفَرْعِ الْوَارِثِ، وَهُمُ الأَوْلاَدُ وَأَوْلاَدُ الْبَنِينَ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ﴾ الْآيَةَ.

Syarat ketiga: tidak adanya cabang (keturunan) ahli waris, yaitu anak-anak dan anak-anak dari anak laki-laki; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya" ayat.

الشَّرْطُ الرَّابِعُ: عَدَمُ الأَصْلِ مِنَ الذُّكُورِ الْوَارِثِ، وَهُوَ الأَبُ بِالإِجْمَاعِ، وَالْجَدُّ عَلَى الصَّحِيحِ.

Syarat keempat: tidak adanya asal (orang tua) dari ahli waris laki-laki, yaitu ayah berdasarkan ijmak, dan kakek menurut pendapat yang sahih.

وَالْأَخَوَاتُ لِأَبٍ ثِنْتَانِ فَأَكْثَرُ يَأْخُذْنَ الثُّلُثَيْنِ لِلْإِجْمَاعِ عَلَى دُخُولِهِنَّ فِي عُمُومِ آيَةِ الْكَلَالَةِ: ﴿إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ﴾، لَكِنْ لَا يَأْخُذْنَ الثُّلُثَيْنِ إِلَّا إِذَا تَحَقَّقَ خَمْسَةُ شُرُوطٍ: الشُّرُوطُ الْأَرْبَعَةُ السَّابِعَةُ فِي الشَّقَائِقِ.

Dan saudara perempuan seayah, jika dua atau lebih, mereka mengambil dua pertiga berdasarkan ijma' atas masuknya mereka dalam keumuman ayat kalalah: "Jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan", tetapi mereka tidak mengambil dua pertiga kecuali jika terpenuhi lima syarat: empat syarat sebelumnya pada saudara kandung.

وَالشَّرْطُ الْخَامِسُ: عَدَمُ الْأَشِقَّاءِ وَالشَّقَائِقِ، فَلَوْ كَانَ هُنَاكَ مِنَ الْأَشِقَّاءِ؛ وَاحِدًا كَانَ أَوْ أَكْثَرَ، ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى؛ لَمْ تَرِثِ الْأَخَوَاتُ لِأَبٍ الثُّلُثَيْنِ، بَلْ تُحْجَبْنَ بِالذَّكَرِ وَبِالشَّقِيقَتَيْنِ؛ إِلَّا إِذَا كَانَ مَعَهُنَّ مَنْ يُعَصِّبُهُنَّ، وَأَمَّا إِذَا كَانَ الْمَوْجُودُ شَقِيقَةً وَاحِدَةً؛ فَإِنَّ لِلْأُخْتِ أَوِ الْأَخَوَاتِ لِأَبٍ السُّدُسَ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ.

Dan syarat kelima: tidak adanya saudara kandung laki-laki dan perempuan, jika ada saudara kandung; satu atau lebih, laki-laki atau perempuan; saudara perempuan seayah tidak mewarisi dua pertiga, tetapi mereka terhalang oleh saudara laki-laki dan dua saudara perempuan kandung; kecuali jika bersama mereka ada yang men-'ashabah-kan mereka, adapun jika yang ada adalah satu saudara perempuan kandung; maka bagi saudara perempuan seayah seperenam untuk menyempurnakan dua pertiga.

وَإِذَا وُجِدَ بِنْتٌ وَاحِدَةٌ وَبِنْتُ ابْنٍ فَأَكْثَرُ؛ فَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَلِبِنْتِ الِابْنِ فَأَكْثَرُ مَعَهَا السُّدُسُ؛ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ؛ لِقَضَاءِ ابْنِ مَسْعُودٍ ﵁ بِذَلِكَ، وَقَوْلِهِ: "إِنَّهُ قَضَاءُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِيهَا"، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، وَلِأَنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ مِنْ بَنَاتِ الْمَيِّتِ أَكْثَرُ مِنْ وَاحِدَةٍ، فَكَانَ لَهُنَّ الثُّلُثَانِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ﴾ .

Dan jika ada satu anak perempuan dan satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki; maka bagi anak perempuan setengah, dan bagi satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersamanya seperenam; untuk menyempurnakan dua pertiga; berdasarkan keputusan Ibnu Mas'ud ﵁ tentang hal itu, dan perkataannya: "Sesungguhnya itu adalah keputusan Rasulullah ﷺ padanya", diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan karena telah terkumpul dari anak-anak perempuan mayit lebih dari satu, maka bagi mereka dua pertiga; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan".

وَاخْتَصَّتْ بِنْتُ الصُّلْبِ بِالنِّصْفِ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ، فَبَقِيَ لِبِنْتِ الِابْنِ فَأَكْثَرُ السُّدُسُ؛ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ، وَذَلِكَ بَعْدَ تَوَفُّرِ هَذَيْنِ الشَّرْطَيْنِ:

Dan anak perempuan kandung mengambil setengah karena dia lebih dekat, maka tersisa bagi satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam; untuk menyempurnakan dua pertiga, dan itu setelah terpenuhinya dua syarat ini:

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: عَدَمُ الْمُعَصِّبِ لَهَا، وَهُوَ ابْنُ الِابْنِ الْمُسَاوِي لَهَا فِي الدَّرَجَةِ، سَوَاءٌ كَانَ أَخًا لَهَا أَوِ ابْنَ عَمٍّ.

Syarat pertama: tidak adanya mu'ashshib baginya, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat dengannya, baik dia saudaranya atau anak pamannya.

الشَّرْطُ الثَّانِي: عَدَمُ الفَرْعِ الوَارِثِ الَّذِي هُوَ أَعْلَى مِنْهَا سِوَى صَاحِبَةِ النِّصْفِ؛ فَإِنَّهَا لَا تَأْخُذُ السُّدُسَ إِلَّا مَعَهَا.

Syarat kedua: tidak adanya cabang pewaris yang lebih tinggi darinya kecuali pemilik setengah (bagian); karena dia tidak mengambil seperenam kecuali bersamanya.

وَالْأُخْتُ لِأَبٍ مَعَ الْأُخْتِ الشَّقِيقَةِ تَأْخُذُ السُّدُسَ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ، وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ إِجْمَاعُ الْعُلَمَاءِ كَمَا حَكَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ، وَقِيَاسُهَا عَلَى بِنْتِ الِابْنِ مَعَ بِنْتِ الصُّلْبِ، لَكِنْ لَا تَأْخُذُ الْأُخْتُ لِأَبٍ السُّدُسَ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ:

Saudara perempuan seayah bersama saudara perempuan sekandung mengambil seperenam untuk melengkapi dua pertiga, dan dalil atas hal itu adalah ijmak ulama sebagaimana diceritakan oleh lebih dari satu orang, dan mengqiyaskannya kepada cucu perempuan bersama anak perempuan kandung, tetapi saudara perempuan seayah tidak mengambil seperenam kecuali dengan dua syarat:

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ تَكُونَ مَعَ أُخْتٍ شَقِيقَةٍ وَارِثَةٍ النِّصْفَ فَرْضًا، فَلَوْ تَعَدَّدَتِ الشَّقِيقَاتُ؛ أَسْقَطْنَ الْأُخْتَ لِأَبٍ؛ لِاسْتِكْمَالِهِنَّ الثُّلُثَيْنِ.

Syarat pertama: bahwa dia bersama saudara perempuan sekandung yang mewarisi setengah secara fardhu, jika saudara perempuan sekandung itu banyak; mereka menggugurkan saudara perempuan seayah; karena mereka telah menyempurnakan dua pertiga.

الشَّرْطُ الثَّانِي: عَدَمُ الْمُعَصِّبِ لَهَا، وَهُوَ أَخُوهَا فَإِنْ كَانَ مَعَهَا أَخُوهَا؛ فَالْبَاقِي بَعْدَ الشَّقِيقَةِ لَهُمَا تَعْصِيبًا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Syarat kedua: tidak adanya mu'ashshib baginya, yaitu saudaranya laki-laki jika bersamanya ada saudaranya laki-laki; maka sisanya setelah (bagian) saudara perempuan sekandung adalah untuk mereka berdua secara ta'shib, bagi laki-laki seperti bagian dua perempuan, dan Allah lebih mengetahui.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْأَخَوَاتِ مَعَ الْبَنَاتِ وَمِيرَاثِ الْإِخْوَةِ لِأُمٍّ

إِذَا وُجِدَ بِنْتٌ فَأَكْثَرُ مَعَ أُخْتٍ شَقِيقَةٍ أَوْ لِأَبٍ فَأَكْثَرُ؛ فَإِنَّ الْمَوْجُودَ مِنَ الْبَنَاتِ وَاحِدَةٌ فَأَكْثَرُ يَأْخُذُ نَصِيبَهُ،

Jika ada satu atau lebih anak perempuan bersama dengan satu atau lebih saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah; maka anak perempuan yang ada, satu atau lebih, mengambil bagiannya,

ثُمَّ إِنَّ جُمْهُورَ الْعُلَمَاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ يَرَوْنَ أَنَّ أَخَوَاتٍ مِنَ الْأَبَوَيْنِ أَوْ مِنَ الْأَبِ يَكُنَّ عَصَبَةً مَعَ الْبَنَاتِ "وَهُوَ مَا يُسَمَّى الْفَرْضِيِّينَ بِالتَّعْصِيبِ مَعَ الْغَيْرِ"،

kemudian mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in berpendapat bahwa saudara perempuan seibu sebapak atau seayah menjadi 'aṣabah bersama anak perempuan "dan inilah yang disebut oleh ahli faraidh sebagai ta'ṣīb ma'a al-ghair",

فَيَأْخُذْنَ مَا فَضَلَ عَنْ نَصِيبِ الْمَوْجُودِ مِنَ الْبَنَاتِ أَوْ بَنَاتِ الِابْنِ؛

maka mereka mengambil apa yang tersisa dari bagian anak perempuan atau cucu perempuan yang ada;

بِدَلِيلِ الْحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ: "أَنَّ أَبَا مُوسَى سُئِلَ عَنْ ابْنَةٍ وَبْنِ ابْنٍ وَأُخْتٍ؟ فَقَالَ: لِلِابْنَةِ النِّصْفُ، وَلِلْأُخْتِ النِّصْفُ، وَقَالَ لِلسَّائِلِ: ائْتِ ابْنَ مَسْعُودٍ. فَسُئِلَ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَأُخْبِرَ بِقَوْلِ أَبِي مُوسَى فَقَالَ: لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ، أَقْضِي فِيهَا بِمَا قَضَى النَّبِيُّ ﷺ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَلِابْنَةِ الِابْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ، وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ"؛

dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya: "Bahwa Abu Musa ditanya tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu laki-laki, dan saudara perempuan? Maka ia berkata: Untuk anak perempuan setengah, dan untuk saudara perempuan setengah, dan ia berkata kepada penanya: Datanglah kepada Ibnu Mas'ud. Lalu Ibnu Mas'ud ditanya, dan diberitahu tentang perkataan Abu Musa, maka ia berkata: Sungguh aku telah sesat jika demikian dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, aku memutuskan padanya dengan apa yang diputuskan oleh Nabi ﷺ untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, dan apa yang tersisa maka untuk saudara perempuan";

فَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ ظَاهِرَةٌ عَلَى أَنَّ الْأُخْتَ مَعَ الْبِنْتِ عَصَبَةٌ تَأْخُذُ الْبَاقِيَ بَعْدَ فَرْضِهَا وَفَرْضِ ابْنَةِ الِابْنِ.

Maka dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bahwa saudara perempuan bersama anak perempuan menjadi 'aṣabah yang mengambil sisa setelah bagian (farḍ) anak perempuan dan cucu perempuan.

وَيَرِثُ الْوَاحِدُ مِنَ الْأَخَوَةِ لِأُمٍّ السُّدُسَ، سَوَاءٌ كَانَ ذَكَرًا أَمْ أُنْثَى، وَيَرِثُ الِاثْنَتَيْنِ فَأَكْثَرَ مِنْهُمُ الثُّلُثَ بَيْنَهُمْ بِالسَّوِيَّةِ الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى سَوَاءٌ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ﴾،

Satu saudara seibu mewarisi seperenam, baik laki-laki maupun perempuan, dan dua atau lebih dari mereka mewarisi sepertiga di antara mereka secara merata, laki-laki dan perempuan sama; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,"

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَىٰ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْأَخَوَةِ فِي هَٰذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ الْأَخَوَةُ لِأُمٍّ، وَقَرَأَهَا ابْنُ مَسْعُودٍ وَسَعْدُ ابْنُ أَبِي وَقَّاصٍ: "وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ".

Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam ayat mulia ini adalah saudara seibu, dan Ibnu Mas'ud dan Sa'd bin Abi Waqqash membacanya: "dan dia memiliki saudara laki-laki atau saudara perempuan dari ibu".

وَقَدْ ذَكَرَهُمُ اللهُ تَعَالَىٰ: مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ؛ فَاقْتَضَىٰ ذَٰلِكَ تَسْوِيَةَ الْأُنْثَىٰ بِالذَّكَرِ مِنْهُمْ.

Allah Ta'ala telah menyebutkan mereka tanpa perincian; maka hal itu menunjukkan persamaan antara perempuan dan laki-laki di antara mereka.

قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ: "وَهُوَ الْقِيَاسُ الصَّحِيحُ وَالْمِيزَانُ الْمُوَافِقُ لِدَلَالَةِ الْقُرْآنِ وَفَهْمِ أَكَابِرِ الصَّحَابِ".

Imam Ibnu Al-Qayyim berkata: "Ini adalah qiyas yang benar dan timbangan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an dan pemahaman para sahabat senior".

وَيُشْتَرَطُ لِاسْتِحْقَاقِ وَلَدِ الْأُمِّ السُّدُسَ ثَلَاثُ شُرُوطٍ:

Terdapat tiga syarat untuk berhaknya anak dari ibu atas seperenam:

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: عَدَمُ الْفَرْعِ الْوَارِثِ.

Syarat pertama: tidak adanya cabang (keturunan) yang mewarisi.

الشَّرْطُ الثَّانِي: عَدَمُ الْأَصْلِ مِنَ الذُّكُورِ الْوَارِثِينَ.

Syarat kedua: tidak adanya asal (orang tua) dari laki-laki yang mewarisi.

الشَّرْطُ الثَّالِثُ: انْفِرَادُهُ.

Syarat ketiga: sendirian.

وَيُشْتَرَطُ لِاسْتِحْقَاقِ الْأَخَوَةِ لِأُمٍّ الثُّلُثَ ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ.

Terdapat tiga syarat untuk berhaknya saudara seibu atas sepertiga.

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُونُوا اثْنَيْنِ فَأَكْثَرَ؛ ذَكَرَيْنِ كَانُوا أَوْ أُنْثَيَيْنِ أَوْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ.

Syarat pertama: mereka harus berjumlah dua atau lebih; baik laki-laki, perempuan, laki-laki dan perempuan, atau lebih dari itu.

الشَّرْطُ الثَّانِي: عَدَمُ الفَرْعِ الوَارِثِ مِنَ الأَوْلَادِ وَأَوْلَادِ البَنِينَ وَإِنْ نَزَلُوا.

Syarat kedua: tidak adanya cabang pewaris dari anak-anak dan anak-anak laki-laki meskipun mereka turun (keturunan yang lebih jauh).

الشَّرْطُ الثَّالِثُ: عَدَمُ الأَصْلِ مِنَ الذُّكُورِ الوَارِثِينَ وَهُوَ الأَبُ وَالجَدُّ مِنْ قِبَلِهِ.

Syarat ketiga: tidak adanya asal (orang tua) dari pewaris laki-laki, yaitu ayah dan kakek dari pihaknya.

وَيَخْتَصُّ الإِخْوَةُ لِأُمٍّ بِأَحْكَامٍ خَمْسَةٍ:

Dan saudara-saudara seibu memiliki lima hukum khusus:

الحُكْمُ الأَوَّلُ وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يُفَضَّلُ ذَكَرُهُمْ عَلَى أُنْثَاهُمْ فِي المِيرَاثِ اجْتِمَاعًا وَانْفِرَادًا؛ لِقَوْلِهِ فِي حَالَةِ الانْفِرَادِ: ﴿وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ﴾، وَقَوْلِهِ تَعَالَى فِي حَالَةِ الاجْتِمَاعِ: ﴿فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ﴾ .

Hukum pertama dan kedua: Laki-laki mereka tidak diutamakan atas perempuan mereka dalam warisan, baik secara bersama-sama maupun terpisah; karena firman-Nya dalam keadaan terpisah: "Dan jika seorang laki-laki atau perempuan yang diwarisi kalalah, dan dia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta", dan firman-Nya Ta'ala dalam keadaan bersama-sama: "Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu".

وَالكَلَالَةُ فِي قَوْلِ الجُمْهُورِ: مَنْ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَا وَالِدٌ، فَشَرْطُ تَوْرِيثِهِمْ عَدَمُ الوَلَدِ وَالوَالِدِ، وَالوَلَدُ يَشْمَلُ الذَّكَرَ وَالأُنْثَى، وَالوَالِدُ يَشْمَلُ الأَبَ وَالجَدَّ وَفِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ﴾ دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ تَفْضِيلِ ذَكَرِهِمْ عَلَى أُنْثَاهُمْ؛ لِأَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ شَرَّكَ بَيْنَهُمْ فِي الاسْتِحْقَاقِ، وَالتَّشْرِيكُ إِذَا أُطْلِقَ اقْتَضَى المُسَاوَاةَ.

Dan kalalah menurut pendapat mayoritas ulama adalah: orang yang tidak memiliki anak dan orang tua, maka syarat pewarisan mereka adalah tidak adanya anak dan orang tua, dan anak mencakup laki-laki dan perempuan, dan orang tua mencakup ayah dan kakek. Dan dalam firman-Nya Ta'ala: "Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" terdapat dalil atas tidak adanya pengutamaan laki-laki atas perempuan mereka; karena Allah Subhanahu menyekutukan di antara mereka dalam hak, dan penyekutuan jika diucapkan secara mutlak menuntut persamaan.

وَالحِكْمَةُ فِي ذَلِكَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَرِثُونَ بِالرَّحِمِ المُجَرَّدِ؛ فَالقَرَابَةُ الَّتِي يَرِثُونَ بِهَا قَرَابَةُ أُنْثَى فَقَطْ، وَهُمْ فِيهَا سَوَاءٌ؛ فَلَا مَعْنَى لِتَفْضِيلِ ذَكَرِهِمْ عَلَى أُنْثَاهُمْ؛ بِخِلَافِ قَرَابَةِ الأَبِ.

Dan hikmah dalam hal itu, dan Allah lebih mengetahui, adalah bahwa mereka mewarisi dengan rahim yang murni; maka kekerabatan yang dengannya mereka mewarisi adalah kekerabatan perempuan saja, dan mereka sama di dalamnya; maka tidak ada makna untuk mengutamakan laki-laki mereka atas perempuan mereka; berbeda dengan kekerabatan ayah.

الحُكْمُ الثَّالِثُ: أَنَّ ذَكَرَهُمْ يُدْلِي بِأُنْثَى وَيَرِثُ؛ بِخِلَافِ غَيْرِهِمْ؛ فَإِنَّهُ إِذَا أَدْلَى بِأُنْثَى لَا يَرِثُ؛ كَابْنِ البِنْتِ.

Hukum ketiga: Bahwa laki-laki mereka bertalian dengan perempuan dan mewarisi; berbeda dengan selain mereka; karena jika dia bertalian dengan perempuan, dia tidak mewarisi; seperti anak laki-laki dari anak perempuan.

الحُكْمُ الرَّابِعُ: أَنَّهُمْ يَحْجُبُونَ مَنْ أَدْلَوْا بِهِ نُقْصَانًا؛ أَيْ: أَنَّ الأُمَّ الَّتِي أَدْلَوْا بِهَا تُحْجَبُ بِهِمْ مِنَ الثُّلُثِ إِلَى السُّدُسِ؛ بِخِلَافِ غَيْرِهِمْ؛ فَإِنَّ الْمُدْلَى بِهِ يَحْجُبُ الْمُدْلِيَ.

Hukum keempat: Mereka mengurangi bagian orang yang mereka hubungkan, yaitu: ibu yang mereka hubungkan akan terhalang oleh mereka dari sepertiga menjadi seperenam; berbeda dengan yang lain; karena orang yang dihubungkan menghalangi orang yang menghubungkan.

الحُكْمُ الخَامِسُ: أَنَّهُمْ يَرِثُونَ مَعَ مَنْ أَدْلَوْا بِهِ؛ فَإِنَّهُمْ يَرِثُونَ مَعَ الأُمِّ الَّتِي أَدْلَوْا بِهَا، وَغَيْرُهُمْ لَا يَرِثُ مَعَ مَنْ أَدْلَى بِهِ كَابْنِ الِابْنِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَرِثُ مَعَ الِابْنِ، وَهَذَا تُشَارِكُهُمْ فِيهِ الجَدَّةُ أُمُّ الأَبِ وَأُمُّ الجَدِّ؛ فَإِنَّهَا تُدْلِي بِابْنِهَا وَتَرِثُ مَعَهُ، وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ الوَاسِطَةَ لَا تَحْجُبُ مَنْ أَدْلَى بِهَا؛ إِلَّا إِذَا كَانَ يَخْلُفُهَا بِأَخْذِ نَصِيبِهَا، أَمَّا إِذَا كَانَ لَا يَأْخُذُ نَصِيبَهَا فَإِنَّهَا لَا تَحْجُبُهُ؛ كَمَا هُوَ الشَّأْنُ فِي الإِخْوَةِ لِأُمٍّ؛ فَإِنَّهُمْ لَا يَأْخُذُونَ نَصِيبَ الأُمِّ عِنْدَ عَدَمِهَا، وَالجَدَّةُ أُمُّ الأَبِ وَأُمُّ الجَدِّ لَا تَأْخُذَانِ نَصِيبَهَا وَإِنَّمَا يَرِثَانِ بِالأُمُومَةِ خَلَفًا عَنِ الأُمِّ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Hukum kelima: Mereka mewarisi bersama orang yang mereka hubungkan; karena mereka mewarisi bersama ibu yang mereka hubungkan, sedangkan yang lain tidak mewarisi bersama orang yang dia hubungkan seperti cucu laki-laki dari anak laki-laki; karena dia tidak mewarisi bersama anak laki-laki, dan dalam hal ini mereka bersekutu dengan nenek dari pihak ayah dan nenek dari pihak kakek; karena dia dihubungkan oleh anaknya dan mewarisi bersamanya, dan yang benar adalah perantara tidak menghalangi orang yang dia hubungkan; kecuali jika dia menggantikannya dengan mengambil bagiannya, adapun jika dia tidak mengambil bagiannya maka dia tidak menghalanginya; seperti yang terjadi pada saudara seibu; karena mereka tidak mengambil bagian ibu ketika dia tidak ada, dan nenek dari pihak ayah serta nenek dari pihak kakek tidak mengambil bagiannya tetapi mereka mewarisi dengan hubungan keibuan sebagai pengganti ibu, dan Allah lebih mengetahui.

بَابٌ فِي التَّعْصِيبِ

بَابٌ فِي التَّعْصِيبِ

Bab tentang Ta'shib

التَّعْصِيبُ لُغَةً: مَصْدَرُ عَصَّبَ يُعَصِّبُ تَعْصِيبًا فَهُوَ مُعَصِّبٌ، مَأْخُوذٌ مِنَ الْعَصْبِ؛ بِمَعْنَى: الشَّدِّ وَالْإِحَاطَةِ وَالتَّقْوِيَةِ، وَمِنْهُ الْعَصَائِبُ، وَهِيَ الْعَمَائِمُ.

Ta'shib secara bahasa adalah mashdar dari 'ashshaba yu'ashshibu ta'shiban, diambil dari kata 'ashb yang berarti mengikat, meliputi, dan menguatkan. Dari kata ini juga muncul kata 'asha-ib yang berarti sorban.

وَالْعَصَبَةُ فِي الْفَرَائِضِ "جَمْعُ عَاصِبٍ" لَفْظٌ يُطْلَقُ عَلَى الْوَاحِدِ، فَيُقَالُ: زَيْدٌ عَصَبَةٌ؛ وَيُطْلَقُ عَلَى الْجَمَاعَةِ، وَعَصَبَةُ الرَّجُلِ قَرَابَتُهُ مِنْ جِهَةِ أَبِيهِ، سُمُّوا عَصَبَةً لِأَنَّهُمْ عَصَّبُوا بِهِ؛ أَيْ: أَحَاطُوا بِهِ، وَكُلُّ شَيْءٍ اسْتَدَارَ حَوْلَ شَيْءٍ؛ فَقَدْ عَصَّبَ بِهِ؛ فَالْأَبُ طَرَفٌ، وَالِابْنُ طَرَفٌ، وَالْأَخُ جَانِبٌ، وَالْعَمُّ جَانِبٌ، وَقِيلَ: سُمُّوا بِذَلِكَ لِتَقَوِّي بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ، مِنَ الْعَصْبِ، وَهُوَ الشَّدُّ وَالْمَنْعُ؛ فَبَعْضُهُمْ يَشُدُّ بَعْضًا وَيَمْنَعُ مِنْ تَطَاوُلِ الْغَيْرِ عَلَيْهِ.

Al-'ashabah dalam ilmu faraidh adalah bentuk jamak dari 'ashib, yaitu lafaz yang digunakan untuk satu orang, misalnya Zaid adalah 'ashabah. Lafaz ini juga digunakan untuk sekelompok orang. 'Ashabah seorang laki-laki adalah kerabatnya dari pihak ayah. Mereka disebut 'ashabah karena mereka mengelilinginya, yaitu melindunginya. Setiap sesuatu yang mengelilingi sesuatu yang lain disebut 'ashshaba bihi. Ayah adalah satu sisi, anak laki-laki adalah sisi lain, saudara laki-laki adalah satu sisi, dan paman adalah sisi lain. Ada yang mengatakan mereka disebut demikian karena sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain, diambil dari kata 'ashb yang berarti mengikat dan mencegah. Sebagian mereka mengikat sebagian yang lain dan mencegah orang lain melampaui batas terhadapnya.

وَالْعَاصِبُ فِي اصْطِلَاحِ الْفَرْضِيِّينَ هُوَ: مَنْ يَرِثُ بِلَا تَقْدِيرٍ؛ لِأَنَّهُ انْفِرَادٌ؛ حَازَ جَمِيعَ الْمَالِ، وَإِذَا كَانَ مَعَ صَاحِبِ فَرْضٍ؛ أَخَذَ مَا بَقِيَ بَعْدَ الْفَرْضِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: "أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهِ؛ فَمَا بَقِيَ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ".

Al-'Ashib dalam istilah ahli faraidh adalah orang yang mewarisi tanpa ketentuan bagian tertentu. Jika sendirian, ia mendapatkan seluruh harta. Jika bersama pemilik bagian tertentu (ashhabul furudh), ia mengambil sisanya setelah bagian tertentu itu, berdasarkan sabda Nabi SAW, "Berikanlah bagian yang telah ditentukan kepada pemiliknya. Adapun sisanya, maka untuk laki-laki yang paling dekat."

وَيَنْقَسِمُ الْعَصَبَةُ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ:

Dan 'ashabah terbagi menjadi tiga bagian:

عَصَبَةٌ بِالنَّفْسِ، وَعَصَبَةٌ بِالْغَيْرِ، وَعَصَبَةٌ مَعَ الْغَيْرِ:

'Ashabah bin nafs, 'ashabah bil ghair, dan 'ashabah ma'al ghair:

الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: الْعَصَبَةُ بِالنَّفْسِ.

Bagian pertama: 'Ashabah bin nafs.

وَهُمْ عَلَى إِرْثِهِمْ مِنَ الرِّجَالِ إِلَّا الزَّوْجَ وَالْأَخَ مِنَ الْأُمِّ، وَهُمْ أَرْبَعَةَ عَشَرَ: الِابْنُ، وَابْنُ الِابْنِ وَإِنْ نَزَلَ، وَالْأَبُ، وَالْجَدُّ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ وَإِنْ عَلَا، وَالْأَخُ الشَّقِيقُ، وَالْأَخُ لِأَبٍ، وَابْنَاهُمَا وَإِنْ نَزَلَا، وَالْعَمُّ الشَّقِيقُ وَالْعَمُّ لِأَبٍ وَإِنْ عَلَوْا، وَابْنَاهُمَا وَإِنْ نَزَلَا، وَالْمُعْتِقُ وَالْمُعْتِقَةُ.

Dan mereka mewarisi dari laki-laki kecuali suami dan saudara laki-laki seibu, dan mereka ada empat belas: anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keduanya dan seterusnya ke bawah, paman sekandung, paman seayah dan seterusnya ke atas, anak laki-laki keduanya dan seterusnya ke bawah, orang yang memerdekakan budak laki-laki dan perempuan.

الْقِسْمُ الثَّانِي: الْعَصَبَةُ بِالْغَيْرِ: وَهُمْ أَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ:

Bagian kedua: 'Ashabah bil ghair: dan mereka ada empat jenis:

الْأَوَّلُ: الْبِنْتُ فَأَكْثَرُ مَعَ الِابْنِ فَأَكْثَرُ.

Pertama: satu anak perempuan atau lebih bersama satu anak laki-laki atau lebih.

الثَّانِي: بِنْتُ الِابْنِ فَأَكْثَرُ مَعَ ابْنِ الِابْنِ فَأَكْثَرُ إِذَا كَانَ فِي دَرَجَتِهَا، سَوَاءٌ كَانَ أَخَاهَا أَوْ ابْنَ عَمِّهَا، أَوْ مَعَ ابْنِ الِابْنِ الَّذِي هُوَ أَنْزَلُ مِنْهَا إِذَا احْتَاجَتْ إِلَيْهِ.

Kedua: satu cucu perempuan atau lebih bersama satu cucu laki-laki atau lebih jika sederajat dengannya, baik saudaranya atau anak pamannya, atau bersama cucu laki-laki yang lebih rendah darinya jika ia membutuhkannya.

وَدَلِيلُ هَذَيْنِ الصِّنْفَيْنِ مِنَ الْعَصَبَةِ بِالْغَيْرِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ﴾؛ فَهَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ تَنَاوَلَتِ الْأَوْلَادَ وَأَوْلَادَ الِابْنِ.

Dan dalil kedua jenis ini dari 'ashabah bil ghair adalah firman Allah Ta'ala: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan"; maka ayat yang mulia ini mencakup anak-anak dan cucu-cucu.

الثَّالِثُ: الْأُخْتُ الشَّقِيقَةُ فَأَكْثَرُ مَعَ الْأَخِ الشَّقِيقِ فَأَكْثَرُ.

Ketiga: satu saudari kandung atau lebih bersama satu saudara kandung atau lebih.

الرَّابِعُ: الْأُخْتُ لِأَبٍ فَأَكْثَرُ مَعَ الْأَخِ لِأَبٍ فَأَكْثَرُ.

Keempat: satu saudari seayah atau lebih bersama satu saudara seayah atau lebih.

وَدَلِيلُ هَذَيْنِ الصِّنْفَيْنِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ﴾؛ فَتَنَاوَلَتِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ وَلَدَ الْأَبَوَيْنِ وَوَلَدَ الْأَبِ.

Dan dalil kedua jenis ini adalah firman Allah Ta'ala: "Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan"; maka ayat yang mulia ini mencakup anak dari kedua orang tua dan anak dari ayah.

فَهَؤُلَاءِ الْأَرْبَعَةُ مِنَ الذُّكُورِ: الِابْنُ، وَابْنُ ابْنٍ، وَالْأَخُ الشَّقِيقُ، وَالْأَخُ لِأَبٍ؛ تَرِثُ مَعَهُمْ أَخَوَاتُهُمْ عَنْ طَرِيقِ التَّعْصِيبِ بِهِمْ، أَمَّا مَنْ عَدَاهُمْ مِنَ الذُّكُورِ؛ فَلَا تَرِثُ أَخَوَاتُهُمْ مَعَهُمْ شَيْئًا، وَذَلِكَ كَأَبْنَاءِ الْأَخْوَةِ وَالْأَعْمَامِ وَأَبْنَاءِ الْأَعْمَامِ.

Maka keempat laki-laki ini: anak laki-laki, cucu laki-laki, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah; saudara perempuan mereka mewarisi bersama mereka melalui ta'shib dengan mereka, adapun selain mereka dari laki-laki; maka saudara perempuan mereka tidak mewarisi apapun bersama mereka, seperti anak-anak dari saudara laki-laki dan paman serta anak-anak paman.

الْقِسْمُ الثَّالِثُ: الْعَصَبَةُ مَعَ الْغَيْرِ: وَهُمْ صِنْفَانِ:

Bagian ketiga: 'Ashabah ma'al ghair: dan mereka ada dua jenis:

الْأَوَّلُ: الْأُخْتُ الشَّقِيقَةُ فَأَكْثَرُ مَعَ الْبِنْتِ فَأَكْثَرُ أَوْ بِنْتِ الِابْنِ فَأَكْثَرُ.

Pertama: Satu saudari sekandung atau lebih bersama satu anak perempuan atau lebih atau satu cucu perempuan atau lebih.

الثَّانِي: الْأُخْتُ لِأَبٍ فَأَكْثَرُ مَعَ الْبِنْتِ فَأَكْثَرُ أَوْ بِنْتِ الِابْنِ فَأَكْثَرُ، وَهَذَا قَوْلُ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَنَّ الْأَخَوَاتِ لِأَبَوَيْنِ أَوْ لِأَبٍ عَصَبَةٌ مَعَ الْبَنَاتِ أَوْ بَنَاتِ الِابْنِ، وَدَلِيلُهُمْ مَا رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إِلَّا مُسْلِمًا وَالنَّسَائِيَّ: "أَنَّ أَبَا مُوسَى ﵁ سُئِلَ عَنْ بِنْتٍ وَبِنْتِ ابْنٍ وَأُخْتٍ؟، فَقَالَ: لِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَلِلْأُخْتِ النِّصْفُ. وَقَالَ لِلسَّائِلِ: ائْتِ ابْنَ مَسْعُودٍ. فَلَمَّا أَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ، وَأَخْبَرَ بِقَوْلِ أَبِي مُوسَى؛ قَالَ: لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ، أَقْضِي فِيهَا بِمَا قَضَى النَّبِيُّ ﷺ: لِلْبِنْتِ النِّصْفُ، وَلِابْنَةِ الِابْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ، وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ".

Kedua: Satu saudari seayah atau lebih bersama satu anak perempuan atau lebih atau satu cucu perempuan atau lebih, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan setelah mereka bahwa saudari-saudari sekandung atau seayah menjadi 'ashabah bersama anak-anak perempuan atau cucu-cucu perempuan, dan dalil mereka adalah apa yang diriwayatkan oleh Jama'ah kecuali Muslim dan An-Nasa'i: "Bahwa Abu Musa ﵁ ditanya tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan, dan saudari? Maka ia berkata: Untuk anak perempuan setengah, dan untuk saudari setengah. Dan ia berkata kepada penanya: Datanglah kepada Ibnu Mas'ud. Maka ketika ia mendatangi Ibnu Mas'ud, dan mengabarkan perkataan Abu Musa; ia berkata: Sungguh aku telah sesat jika demikian dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, aku memutuskan padanya dengan apa yang diputuskan oleh Nabi ﷺ: Untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, dan apa yang tersisa maka untuk saudari".

هَذَا؛ وَالْعَصَبَةُ بِالنَّفْسِ مَنِ انْفَرَدَ مِنْهُمْ حَازَ جَمِيعَ الْمَالِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَد﴾؛ فَوَرِثَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْأَخُ جَمِيعَ مَالِ أُخْتِهِ، وَيَنْفَرِدُ الْعَصَبَةُ بِالنَّفْسِ بِهَذَا الْحُكْمِ، وَيُشَارِكُونَ بَقِيَّةَ الْعَصَبَةِ فِي أَنَّهُمْ إِذَا كَانُوا مَعَ أَصْحَابِ الْفُرُوضِ يَأْخُذُونَ مَا بَقِيَ؛

Ini; dan 'ashabah bin nafs jika sendirian dari mereka mendapatkan seluruh harta; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan dia (saudara laki-laki) mewarisinya (saudara perempuan) jika dia tidak mempunyai anak"; maka saudara laki-laki dalam ayat ini mewarisi seluruh harta saudara perempuannya, dan 'ashabah bin nafs menyendiri dengan hukum ini, dan mereka bersekutu dengan 'ashabah lainnya bahwa jika mereka bersama ashabul furudh mereka mengambil apa yang tersisa;

لِقَوْلِهِ ﷺ: "أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا؛ فَمَا بَقِيَ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ"، وَإِنْ لَمْ يَبْقَ شَيْءٌ بَعْدَ الْفُرُوضِ؛ سَقَطُوا.

Karena sabda Nabi ﷺ: "Berikan bagian yang telah ditetapkan kepada ahli warisnya; apa yang tersisa adalah untuk laki-laki yang paling dekat", dan jika tidak ada yang tersisa setelah pembagian yang telah ditetapkan; maka mereka gugur.

هَذَا وَلِلْعَصَبَةِ جِهَاتٌ سِتٌّ هِيَ:

Adapun 'ashabah memiliki enam arah, yaitu:

جِهَةُ الْبُنُوَّةِ، ثُمَّ جِهَةُ الْأُبُوَّةِ، ثُمَّ جِهَةُ الْأُخُوَّةِ، ثُمَّ جِهَةُ بَنِي الْأُخُوَّةِ، ثُمَّ جِهَةُ الْوَلَاءِ، وَالْوَلَاءُ كَمَا سَبَقَ هُوَ عُصُوبَةٌ سَبَبُهَا نِعْمَةُ الْمُعْتِقِ عَلَى رَقِيقِهِ بِالْعِتْقِ. وَدَلِيلُهَا قَوْلُهُ ﷺ: "إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ".

Arah anak, kemudian arah ayah, kemudian arah saudara, kemudian arah anak saudara, kemudian arah wala', dan wala' seperti yang telah disebutkan adalah 'ashabah yang disebabkan oleh nikmat pembebas terhadap budaknya dengan membebaskannya. Dan dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya wala' adalah bagi orang yang membebaskan".

وَإِذَا اجْتَمَعَ عَاصِبَانِ فَأَكْثَرُ؛ فَلَهُمْ حَالَاتٌ أَرْبَعٌ:

Dan jika berkumpul dua 'asib atau lebih; maka mereka memiliki empat keadaan:

الْأُولَى: أَنْ يَتَّحِدَا فِي الْجِهَةِ وَالدَّرَجَةِ وَالْقُوَّةِ، وَحِينَئِذٍ يَشْتَرِكَانِ فِي الْمِيرَاثِ؛ كَالْأَبْنَاءِ وَالْإِخْوَةِ الْأَشِقَّاءِ وَالْأَعْمَامِ.

Pertama: bahwa mereka bersatu dalam arah, derajat, dan kekuatan, maka pada saat itu mereka bersekutu dalam warisan; seperti anak-anak, saudara-saudara sekandung, dan paman-paman.

الثَّانِيَةُ: أَنْ يَخْتَلِفَا فِي الْجِهَةِ، فَيُقَدَّمُ فِي الْمِيرَاثِ الْأَقْوَى جِهَةً؛ كَالِابْنِ وَالْأَبِ، فَيُقَدَّمُ الِابْنُ فِي التَّعْصِيبِ عَلَى الْأَبِ.

Kedua: bahwa mereka berbeda dalam arah, maka didahulukan dalam warisan yang lebih kuat arahnya; seperti anak laki-laki dan ayah, maka anak laki-laki didahulukan dalam ta'shib atas ayah.

الثَّالِثَةُ: أَنْ يَتَّحِدَا فِي الْجِهَةِ وَيَخْتَلِفَا فِي الدَّرَجَةِ، كَمَا لَوِ اجْتَمَعَ ابْنٌ وَابْنُ ابْنٍ، فَيُقَدَّمُ الِابْنُ عَلَى ابْنِ الِابْنِ؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ دَرَجَةً.

Ketiga: bahwa mereka bersatu dalam arah dan berbeda dalam derajat, seperti jika berkumpul anak laki-laki dan cucu laki-laki, maka anak laki-laki didahulukan atas cucu laki-laki; karena dia lebih dekat derajatnya.

الرَّابِعَةُ: أَنْ يَتَّحِدَا فِي الْجِهَةِ وَالدَّرَجَةِ وَيَخْتَلِفَا فِي الْقُوَّةِ؛ بِحَيْثُ يَكُونُ أَحَدُهُمَا أَقْوَى مِنَ الْآخَرِ، فَيُقَدَّمُ الْأَقْوَى؛ كَمَا لَوِ اجْتَمَعَ أَخٌ شَقِيقٌ وَأَخٌ لِأَبٍ، فَيُقَدَّمُ الْأَخُ الشَّقِيقُ؛ لِأَنَّهُ أَقْوَى لِإِدْلَائِهِ بِأَبَوَيْنِ، وَالْأَخُ لِأَبٍ يُدْلِي بِالْأَبِ فَقَطْ.

Keempat: bahwa mereka bersatu dalam arah dan derajat, tetapi berbeda dalam kekuatan; di mana salah satu dari mereka lebih kuat dari yang lain, maka yang lebih kuat didahulukan; seperti jika berkumpul saudara kandung dan saudara seayah, maka saudara kandung didahulukan; karena dia lebih kuat disebabkan penisbatannya kepada dua orang tua, sedangkan saudara seayah dinisbatkan kepada ayah saja.

بَابٌ فِي الْحَجْبِ

هَذَا الْبَابُ لَهُ أَهَمِّيَّةٌ خَاصَّةٌ بَيْنَ أَبْوَابِ الْمَوَارِيثِ؛ لِأَنَّ مَعْرِفَةَ تَفَاصِيلِهِ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا إِيصَالُ الْحُقُوقِ إِلَى مُسْتَحِقِّيهَا، وَعَدَمُ الْمَعْرِفَةِ بِأَحْكَامِ هَذَا الْبَابِ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا خُطُورَةٌ عَظِيمَةٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُعْطِي الْمِيرَاثَ لِمَنْ لَا يَسْتَحِقُّهُ شَرْعًا وَيَحْرِمُ الْمُسْتَحِقَّ، وَمِنْ هُنَا قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: يَحْرُمُ عَلَى مَنْ لَا يَعْرِفُ الْحَجْبَ أَنْ يُفْتِيَ فِي الْفَرَائِضِ.

Bab ini memiliki arti penting khusus di antara bab-bab waris; karena mengetahui rinciannya akan menghasilkan penyampaian hak-hak kepada yang berhak, dan ketidaktahuan tentang hukum-hukum bab ini akan mengakibatkan bahaya yang besar; karena mungkin saja memberikan warisan kepada orang yang tidak berhak secara syar'i dan menghalangi orang yang berhak, dari sinilah sebagian ulama mengatakan: haram bagi orang yang tidak mengetahui al-ḥajb (penghalang) untuk berfatwa dalam masalah farāiḍ.

وَالْحَجْبُ لُغَةً: الْمَنْعُ، يُقَالُ: حَجَبَهُ: إِذَا مَنَعَهُ مِنَ الدُّخُولِ، وَالْحَاجِبُ لُغَةً الْمَانِعُ، وَمِنْهُ حَاجِبُ السُّلْطَانِ؛ لِأَنَّهُ يَمْنَعُ مِنَ الدُّخُولِ عَلَيْهِ.

Al-ḥajb secara bahasa berarti: mencegah, dikatakan: ḥajabahu (dia mencegahnya): jika dia mencegahnya masuk, dan al-ḥājib secara bahasa adalah yang mencegah, darinya diambil istilah ḥājib (penjaga pintu) sultan; karena dia mencegah orang masuk kepadanya.

وَأَمَّا الْحَجْبُ فِي اصْطِلَاحِ الْفَرْضِيِّينَ؛ فَمَعْنَاهُ: مَنْعُ مَنْ قَامَ بِهِ سَبَبُ الْإِرْثِ بِالْكُلِّيَّةِ أَوْ مِنْ أَوْفَرِ حَظَّيْهِ.

Adapun al-ḥajb dalam istilah ahli farāiḍ; maknanya adalah: mencegah orang yang memiliki sebab untuk mewarisi secara total atau dari bagian yang lebih besar dari dua bagiannya.

وَيَنْقَسِمُ الْحَجْبُ فِي الْفَرَائِضِ إِلَى قِسْمَيْنِ:

Al-ḥajb dalam farāiḍ terbagi menjadi dua bagian:

الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: حَجْبُ الْأَوْصَافِ.

Bagian pertama: ḥajb al-awṣāf (halangan karena sifat).

وَيَكُونُ فِيمَنِ اتَّصَفَ بِأَحَدِ مَوَانِعِ الْإِرْثِ الثَّلَاثَةِ، وَهِيَ: الرِّقُّ، أَوِ الْقَتْلُ، أَوِ اخْتِلَافُ الدِّينِ؛ فَمَنِ اتَّصَفَ بِوَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَوْصَافِ؛ لَمْ يَرِثْ، وَيَكُونُ وُجُودُهُ كَعَدَمِهِ.

Dan itu terjadi pada orang yang memiliki salah satu dari tiga penghalang warisan, yaitu: perbudakan, pembunuhan, atau perbedaan agama; barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat-sifat ini; maka dia tidak mewarisi, dan keberadaannya seperti ketiadaannya.

الْقِسْمُ الثَّانِي: حَجْبُ الْأَشْخَاصِ.

Bagian kedua: Penghalangan orang-orang.

وَهُوَ مَنْعُ شَخْصٍ مُعَيَّنٍ مِنَ الْإِرْثِ بِالْكُلِّيَّةِ، وَيُسَمَّى حَجْبَ الْحِرْمَانِ، أَوْ مَنْعُهُ مِنْ إِرْثٍ أَكْثَرَ إِلَى إِرْثٍ أَقَلَّ، وَيُسَمَّى حَجْبَ النُّقْصَانِ، وَسَبَبُ هَذَا الْحَجْبِ بِنَوْعَيْهِ شَخْصٌ أَحَقُّ مِنْهُ، وَلِذَلِكَ سُمِّيَ حَجْبَ الْأَشْخَاصِ، وَهُوَ سَبْعَةُ أَنْوَاعٍ، أَرْبَعَةٌ مِنْهَا تَحْصُلُ بِسَبَبِ الِازْدِحَامِ، وَثَلَاثَةٌ مِنْهَا تَحْصُلُ بِسَبَبِ الِانْتِقَالِ مِنْ فَرْضٍ إِلَى فَرْضٍ، وَهَذِهِ السَّبْعَةُ هِيَ:

Ini adalah mencegah seseorang tertentu dari warisan secara keseluruhan, yang disebut حجب الحرمان (penghalangan pencabutan hak), atau mencegahnya dari warisan yang lebih banyak ke warisan yang lebih sedikit, yang disebut حجب النقصان (penghalangan pengurangan). Penyebab penghalangan ini dengan kedua jenisnya adalah seseorang yang lebih berhak darinya, oleh karena itu disebut حجب الأشخاص (penghalangan orang-orang). Ada tujuh jenis, empat di antaranya terjadi karena kepadatan, dan tiga di antaranya terjadi karena perpindahan dari satu bagian ke bagian lain. Ketujuh jenis tersebut adalah:

أَوَّلًا: انْتِقَالٌ مِنْ فَرْضٍ إِلَى فَرْضٍ أَقَلَّ مِنْهُ؛ كَانْتِقَالِ الزَّوْجِ مِنَ النِّصْفِ إِلَى الرُّبُعِ مَثَلًا.

Pertama: Perpindahan dari satu bagian ke bagian yang lebih kecil darinya; seperti perpindahan suami dari setengah ke seperempat misalnya.

ثَانِيًا: انْتِقَالٌ مِنْ تَعْصِيبٍ إِلَى تَعْصِيبٍ أَقَلَّ مِنْهُ؛ كَانْتِقَالِ الْأُخْتِ لِغَيْرِ أُمٍّ مِنْ كَوْنِهَا عَصَبَةً مَعَ الْغَيْرِ إِلَى كَوْنِهَا بِالْغَيْرِ.

Kedua: Perpindahan dari satu ta'shib ke ta'shib yang lebih kecil darinya; seperti perpindahan saudara perempuan bukan seibu dari keadaannya sebagai ashabah bersama orang lain menjadi ashabah karena orang lain.

ثَالِثًا: انْتِقَالٌ مِنْ فَرْضٍ إِلَى تَعْصِيبٍ أَقَلَّ مِنْهُ؛ كَانْتِقَالِ ذَوَاتِ النِّصْفِ مِنْهُ إِلَى التَّعْصِيبِ بِالْغَيْرِ.

Ketiga: Perpindahan dari bagian tetap ke ta'shib yang lebih kecil darinya; seperti perpindahan pemilik setengah bagian darinya ke ta'shib karena orang lain.

رَابِعًا: انْتِقَالٌ مِنْ تَعْصِيبٍ إِلَى فَرْضٍ أَقَلَّ مِنْهُ؛ كَانْتِقَالِ الْأَبِ وَالْجَدِّ مِنَ الْإِرْثِ بِالتَّعْصِيبِ إِلَى الْإِرْثِ بِالْفَرْضِ.

Keempat: Perpindahan dari ta'shib ke bagian tetap yang lebih kecil darinya; seperti perpindahan ayah dan kakek dari warisan dengan ta'shib ke warisan dengan bagian tetap.

خَامِسًا: ازْدِحَامٌ فِي فَرْضٍ؛ كَازْدِحَامِ الزَّوْجَاتِ فِي الرُّبُعِ وَالثُّمُنِ مَثَلًا.

Kelima: Kepadatan dalam bagian tetap; seperti kepadatan para istri dalam seperempat dan seperdelapan misalnya.

سَادِسًا: ازْدِحَامٌ فِي تَعْصِيبٍ؛ كَازْدِحَامِ الْعَصَبَاتِ فِي الْمَالِ أَوْ فِيمَا أَبْقَتِ الْفُرُوضُ.

Keenam: Kepadatan dalam ta'shib; seperti kepadatan ashabah dalam harta atau dalam apa yang tersisa dari bagian-bagian tetap.

سَابِعًا: ازْدِحَامٌ بِسَبَبِ الْعَوْلِ؛ كَازْدِحَامِ أَصْحَابِ الْفُرُوضِ فِي الْأُصُولِ الَّتِي يَدْخُلُهَا الْعَوْلُ، فَإِنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَأْخُذُ فَرْضَهُ نَاقِصًا بِسَبَبِ الْعَوْلِ.

Ketujuh: Kepadatan karena 'aul; seperti kepadatan pemilik bagian-bagian tetap dalam asal masalah yang dimasuki 'aul, karena setiap orang dari mereka mengambil bagiannya secara kurang karena 'aul.

وَلِلْحَجْبِ قَوَاعِدُ يَدُورُ عَلَيْهَا:

Dan untuk penghalangan (hak waris) ada kaidah-kaidah yang menjadi poros:

الْقَاعِدَةُ الْأُولَى: أَنَّ مَنْ أَدْلَى بِوَاسِطَةٍ حَجَبَتْهُ تِلْكَ الْوَاسِطَةُ، وَذَلِكَ كَابْنِ الِابْنِ مَعَ الِابْنِ، وَالْجَدَّةِ مَعَ الْأُمِّ، وَالْجَدِّ مَعَ الْأَبِ، وَالْأَخْوَةِ مَعَ الْأَبِ.

Kaidah pertama: Bahwa siapa yang berhubungan melalui perantara, maka perantara itu menghalanginya, seperti cucu laki-laki bersama anak laki-laki, nenek bersama ibu, kakek bersama ayah, dan saudara-saudara bersama ayah.

الْقَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ عَاصِبَانِ فَأَكْثَرُ؛ قُدِّمَ الْأَقْدَمُ جِهَةً، ذَلِكَ كَالِابْنِ مَعَ الْأَبِ أَوْ مَعَ الْجَدِّ؛ فَالتَّعْصِيبُ يَكُونُ لِلِابْنِ؛ لِأَنَّهُ أَقْدَمُ جِهَةً، وَإِنْ وَابْنُ آخَرُ، أَوِ اجْتَمَعَ أَخٌ شَقِيقٌ وَابْنُ أَخٍ شَقِيقٍ آخَرَ.. وَهَكَذَا؛ فَإِنْ تَسَاوَى الْمَوْجُودُونَ فِي الْجِهَةِ وَالْقُرْبِ؛ قُدِّمَ مِنْهُمْ؛ كَمَا لَوِ اجْتَمَعَ أَخٌ شَقِيقٌ وَأَخٌ لِأَبٍ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّمُ الشَّقِيقُ لِقَوْلِهِ؛ لِكَوْنِهِ يُدْلِي بِالْأَبَوَيْنِ، وَالْأَخُ يُدْلِي بِالْأَبِ فَقَطْ.

Kaidah kedua: Bahwa jika berkumpul dua 'ashabah atau lebih, maka didahulukan yang lebih dekat kekerabatannya, seperti anak laki-laki bersama ayah atau bersama kakek; maka ta'shib (hak 'ashabah) adalah untuk anak laki-laki; karena dia lebih dekat kekerabatannya, dan jika ada anak laki-laki lain, atau berkumpul saudara kandung dan anak saudara kandung lain.. dan begitu seterusnya; jika yang ada sama dalam kekerabatan dan kedekatan; maka didahulukan di antara mereka; seperti jika berkumpul saudara kandung dan saudara seayah; maka didahulukan yang kandung karena perkataannya; karena dia berhubungan dengan dua orang tua, sedangkan saudara seayah hanya berhubungan dengan ayah saja.

أُصُولٌ؛ فَالْجَدُّ لَا يَحْجُبُهُ إِلَّا الْأَبُ أَوِ الْجَدُّ الَّذِي هُوَ أَقْرَبُ مِنْهُ، وَالْجَدَّةُ لَا يَحْجُبُهَا إِلَّا الْأُمُّ أَوِ الْجَدَّةُ الَّتِي هِيَ أَقْرَبُ مِنْهَا، وَالْفَرْعُ لَا تَحْجُبُهُمْ إِلَّا فَرْعٌ؛ فَابْنُ الِابْنِ لَا يَحْجُبُهُ إِلَّا الِابْنُ أَوِ ابْنُ الِابْنِ الَّذِي هُوَ أَعْلَى مِنْهُ، وَالْحَوَاشِي وَهُمُ الْأَخْوَةُ وَبَنُوهُمْ وَالْأَعْمَامُ وَبَنُوهُمْ يَحْجُبُهُمْ أُصُولٌ وَفُرُوعٌ وَحَوَاشٍ؛ فَمَثَلًا الْأَخْوَةُ لِأَبٍ: يَسْقُطُونَ بِالِابْنِ وَابْنِ الِابْنِ وَإِنْ نَزَلَ، وَبِالْأَبِ، وَبِالْجَدِّ عَلَى الصَّحِيحِ، وَبِالْأَخِ الشَّقِيقِ، وَالْأُخْتِ الشَّقِيقَةِ إِذَا كَانَتْ عَصَبَةً مَعَ الْغَيْرِ، وَهَكَذَا نَجِدُ أَنَّ الْأَخَ لِأَبٍ حُجِبَ بِأُصُولٍ وَفُرُوعٍ وَحَوَاشٍ.

Ushul (leluhur); maka kakek tidak terhalang kecuali oleh ayah atau kakek yang lebih dekat darinya, dan nenek tidak terhalang kecuali oleh ibu atau nenek yang lebih dekat darinya, dan cabang (keturunan) tidak menghalangi mereka kecuali cabang; maka cucu laki-laki tidak terhalang kecuali oleh anak laki-laki atau cucu laki-laki yang lebih tinggi darinya, dan hawasyi (kerabat menyamping) yaitu saudara-saudara dan anak-anak mereka serta paman-paman dan anak-anak mereka terhalang oleh ushul, furu' (cabang), dan hawasyi; misalnya saudara-saudara seayah: mereka gugur karena anak laki-laki dan cucu laki-laki meskipun ke bawah, dan karena ayah, dan karena kakek menurut pendapat yang sahih, dan karena saudara kandung, dan saudari kandung jika dia menjadi 'ashabah bersama orang lain, dan demikianlah kita dapati bahwa saudara seayah terhalang oleh ushul, furu', dan hawasyi.

نَعُودُ فَنَقُولُ: إِنَّ بَابَ الْحَجْبِ بَابٌ مُهِمٌّ جِدًّا، فَيَجِبُ عَلَى مَنْ يُفْتِي فِي الْفَرَائِضِ أَنْ يُتْقِنَ قَوَاعِدَ وَيَتَأَمَّلَ فِي دَقَائِقِهِ وَيُطَبِّقَهَا عَلَى وَقَائِعِ الْأَحْوَالِ؛

Kita kembali dan berkata: Sesungguhnya bab al-ḥajb adalah bab yang sangat penting, maka wajib bagi orang yang berfatwa dalam farāiḍ untuk menguasai kaidah-kaidah, merenungkan rinciannya, dan menerapkannya pada kejadian-kejadian yang terjadi;

لِئَلَّا يُخْطِئَ فِي فَتْوَاهُ، فَيُغَيِّرَ الْمَوَارِيثَ عَنْ مَجْرَاهَا الشَّرْعِيِّ، وَيَحْرِمَ مَنْ يَسْتَحِقُّ، وَيُعْطِيَ مَنْ لَا يَسْتَحِقُّ، وَاللهُ وَلِيُّ التَّوْفِيقِ.

agar tidak salah dalam fatwanya, sehingga mengubah warisan dari alurnya yang syar'i, mengharamkan orang yang berhak, dan memberikan kepada orang yang tidak berhak, dan Allah-lah yang memberi taufik.

بَابٌ فِي تَوْرِيثِ الْإِخْوَةِ مَعَ الْجَدِّ

قَدْ أَخَذَ أَحْمَدُ وَالشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِمَذْهَبِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ ﵁، كَمَا أَخَذَ بِهِ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَجَمْعٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ.

Ahmad, Syafi'i, dan Malik telah mengambil pendapat Zaid bin Tsabit ﵁ dalam masalah ini, sebagaimana juga diambil oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dari mazhab Hanafi serta sekelompok ahli ilmu.

وَحَاصِلُهُ: أَنَّ الْإِخْوَةَ إِذَا اجْتَمَعُوا مَعَ الْجَدِّ؛ فَإِمَّا أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْأَبَوَيْنِ فَقَطْ، أَوْ مِنَ الْأَبِ فَقَطْ، أَوْ مِنْ مَجْمُوعِ الصِّنْفَيْنِ.

Intinya adalah: jika saudara-saudara berkumpul bersama kakek; maka adakalanya mereka hanya dari kedua orang tua, atau hanya dari ayah, atau dari gabungan dua jenis tersebut.

فَإِذَا كَانَ مَعَهُ أَحَدُ الصِّنْفَيْنِ فَقَطْ؛ فَلَهُ مَعَهُمْ حَالَتَانِ:

Jika bersamanya hanya salah satu dari dua jenis tersebut; maka ia memiliki dua keadaan bersama mereka:

الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ يَكُونَ مَعَهُمْ صَاحِبُ فَرْضٍ.

Keadaan pertama: bahwa bersama mereka ada pemilik bagian tetap (ashhabul furudh).

فَلَهُ حِينَئِذٍ مَعَهُمْ ثَلَاثُ حَالَاتٍ:

Maka pada saat itu ia memiliki tiga keadaan bersama mereka:

الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ تَكُونَ الْمُقَاسَمَةُ أَحَظَّ لَهُ مِنْ ثُلُثِ الْمَالِ، وَضَابِطُهَا أَنْ يَكُونَ الْإِخْوَةُ أَقَلَّ مِنْ مِثْلَيْهِ؛ بِأَنْ يَكُونُوا مِثْلًا وَنِصْفًا فَمَا دُونَ ذَلِكَ، وَذَلِكَ مُنْحَصِرٌ فِي خَمْسِ صُوَرٍ:

Keadaan pertama: bahwa pembagian (muqasamah) lebih menguntungkan baginya daripada sepertiga harta, dan patokannya adalah jika saudara-saudara kurang dari dua kali lipatnya; yaitu jika mereka satu setengah kali lipat atau kurang dari itu, dan itu terbatas pada lima bentuk:

الأُولَى: جَدٌّ وَأُخْتٌ؛ فَلَهُ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ الثُّلُثَانِ.

Pertama: kakek dan saudara perempuan; maka dalam kasus ini, dia mendapatkan dua pertiga.

الثَّانِيَةُ: جَدٌّ وَأَخٌ؛ فَلَهُ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ نِصْفُ الْمَالِ.

Kedua: kakek dan saudara laki-laki; maka dalam kasus ini, dia mendapatkan setengah dari harta.

الثَّالِثَةُ: جَدٌّ وَأُخْتَانِ؛ فَلَهُ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ النِّصْفُ كَالَّتِي قَبْلَهَا، وَهُوَ أَكْثَرُ مِنَ الثُّلُثِ.

Ketiga: kakek dan dua saudara perempuan; maka dalam kasus ini, dia mendapatkan setengah seperti sebelumnya, dan itu lebih dari sepertiga.

الرَّابِعَةُ: جَدٌّ وَثَلَاثُ أَخَوَاتٍ؛ فَلَهُ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ الْخُمُسَانِ، وَهُمَا أَكْثَرُ مِنَ الثُّلُثِ؛ لِأَنَّ الْعَدَدَ الْجَامِعَ لِلْكَسْرَيْنِ خَمْسَةَ عَشَرَ؛ فَثُلُثُهُ خَمْسَةٌ وَخُمُسَاهُ سِتَّةٌ، وَهِيَ أَكْثَرُ مِنَ الْخَمْسَةِ بِوَاحِدٍ.

Keempat: kakek dan tiga saudara perempuan; maka dalam kasus ini, dia mendapatkan dua perlima, dan itu lebih dari sepertiga; karena angka yang mencakup kedua pecahan adalah lima belas; sepertiga darinya adalah lima dan dua perlimanya adalah enam, dan itu lebih dari lima dengan satu.

الْخَامِسَةُ: جَدٌّ وَأَخٌ وَأُخْتٌ؛ فَلَهُ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ مِثْلُ مَا لَهُ فِي الَّتِي قَبْلَهَا.

Kelima: kakek, saudara laki-laki, dan saudara perempuan; maka dalam kasus ini, dia mendapatkan sama seperti yang dia dapatkan sebelumnya.

الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَسْتَوِيَ لَهُ الْمُقَاسَمَةُ وَثُلُثُ الْمَالِ.

Kasus kedua: ketika pembagian dan sepertiga dari harta itu sama baginya.

وَضَابِطُهَا: أَنْ يَكُونَ الْأَخَوَةُ مِثْلَيْهِ، وَيَنْحَصِرُ ذَلِكَ فِي ثَلَاثِ صُوَرٍ:

Aturannya: bahwa saudara-saudara itu dua kali lipatnya, dan itu terbatas pada tiga kasus:

الْأُولَى: جَدٌّ وَأَخَوَانِ.

Pertama: kakek dan dua saudara laki-laki.

الثَّانِيَةُ: جَدٌّ وَأَخٌ وَأُخْتَانِ.

Kedua: kakek, saudara laki-laki, dan dua saudara perempuan.

الثَّالِثَةُ: جَدٌّ وَأَرْبَعُ أَخَوَاتٍ.

Ketiga: kakek dan empat saudara perempuan.

فَيَسْتَوِي لَهُ الْمُقَاسَمَةُ وَالثُّلُثُ فِي تِلْكَ الصُّوَرِ، فَإِنْ قَاسَمَ؛ أَخَذَ ثُلُثًا، وَإِنْ لَمْ يُقَاسِمْ؛ فَكَذَلِكَ.

Maka pembagian dan sepertiga itu sama baginya dalam kasus-kasus tersebut. Jika dia membagi; dia mengambil sepertiga, dan jika dia tidak membagi; maka demikian juga.

وَاخْتُلِفَ: هَلْ يُعْتَبَرُ حِينَئِذٍ بِالْمُقَاسَمَةِ فَيَكُونُ إِرْثُهُ بِالتَّعْصِيبِ، أَوْ يُعَبَّرُ بِالثُّلُثِ فَيَكُونُ إِرْثُهُ بِالْفَرْضِ، أَوْ يُخَيَّرُ بَيْنَ أَنْ يُعَبِّرَ بِالْمُقَاسَمَةِ أَوْ بِالثُّلُثِ؟

Dan ada perbedaan pendapat: apakah pada saat itu pembagian dipertimbangkan sehingga warisannya menjadi 'ashabah, atau dinyatakan dengan sepertiga sehingga warisannya menjadi fardh, atau dia diberi pilihan antara menyatakan dengan pembagian atau dengan sepertiga?

وَرَجَّحَ بَعْضُهُمُ التَّعْبِيرَ بِالثُّلُثِ دُونَ الْأَخْذِ بِالْفَرْضِ إِنْ أَمْكَنَ أَوْلَى؛ لِقُوَّةِ الْفَرْضِ وَتَقْدِيمِ ذَوِي الْفُرُوضِ عَلَى الْعَصَبَةِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Dan sebagian dari mereka mengunggulkan pengungkapan dengan sepertiga tanpa mengambil bagian yang ditetapkan jika memungkinkan lebih utama; karena kuatnya bagian yang ditetapkan dan mendahulukan orang-orang yang memiliki bagian yang ditetapkan atas 'ashabah, dan Allah lebih mengetahui.

الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ ثُلُثُ الْمَالِ أَحْظَ مِنَ الْمُقَاسَمَةِ، فَيَأْخُذُهُ فَرْضًا.

Keadaan ketiga: Bahwa sepertiga harta lebih banyak daripada pembagian, maka ia mengambilnya sebagai bagian yang ditetapkan.

وَضَابِطُهَا: أَنْ يَكُونُوا أَكْثَرَ مِنْ مِثْلَيْهِ، وَلَا تَنْحَصِرُ صُوَرُ هَذِهِ الْحَالَةِ كَمَا انْحَصَرَتْ صُوَرُ الْحَالَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَهَا؛ جَدٌّ وَأَخَوَانِ وَأُخْتٌ، أَوْ جَدٌّ وَخَمْسُ أَخَوَاتٍ، أَوْ جَدٌّ وَأَخٌ وَثَلَاثُ أَخَوَاتٍ.. إِلَى مَا فَوْقَ.

Dan kaidahnya: Bahwa mereka lebih dari dua kali lipat darinya, dan gambaran keadaan ini tidak terbatas sebagaimana terbatasnya gambaran dua keadaan sebelumnya; kakek, dua saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuan, atau kakek dan lima saudara perempuan, atau kakek, seorang saudara laki-laki, dan tiga saudara perempuan.. dan seterusnya.

الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مَعَ الْجَدِّ وَالْأَخْوَةِ صَاحِبُ فَرْضٍ.

Keadaan kedua: Bahwa bersama kakek dan saudara-saudara terdapat pemilik bagian yang ditetapkan.

وَلَهُ مَعَهُمْ حِينَئِذٍ سَبْعُ حَالَاتٍ، وَهِيَ إِجْمَالًا: تَعَيُّنُ الْمُقَاسَمَةِ، تَعَيُّنُ ثُلُثِ الْبَاقِي، تَعَيُّنُ سُدُسِ جَمِيعِ الْمَالِ، اسْتِوَاءُ الْمُقَاسَمَةِ وَثُلُثِ الْبَاقِي، اسْتِوَاءُ الْمُقَاسَمَةِ وَسُدُسِ جَمِيعِ الْمَالِ، وَاسْتِوَاءُ ثُلُثِ الْبَاقِي وَسُدُسِ جَمِيعِ الْمَالِ، اسْتِوَاءُ الْمُقَاسَمَةِ وَسُدُسِ جَمِيعِ الْمَالِ وَثُلُثِ الْبَاقِي، وَتَفْصِيلُهَا كَالْآتِي.

Dan ia memiliki tujuh keadaan bersama mereka saat itu, yaitu secara ringkas: kepastian pembagian, kepastian sepertiga sisa, kepastian seperenam seluruh harta, kesetaraan pembagian dan sepertiga sisa, kesetaraan pembagian dan seperenam seluruh harta, kesetaraan sepertiga sisa dan seperenam seluruh harta, kesetaraan pembagian, seperenam seluruh harta, dan sepertiga sisa, dan perinciannya sebagai berikut.

فَالْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ تَكُونَ الْمُقَاسَمَةُ أَحْظَ لَهُ مِنَ الثُّلُثِ الْبَاقِي وَمِنْ سُدُسِ الْمَالِ؛ وَمِثَالُ ذَلِكَ: زَوْجٌ وَجَدٌّ وَأَخٌ، مِمَّا كَانَ فِيهِ الْفَرْضُ قَدْرَ النِّصْفِ، وَكَانَتِ الْأَخْوَةُ أَقَلَّ مِنْ مِثْلَيْهِ.

Keadaan pertama: Bahwa pembagian lebih banyak baginya daripada sepertiga sisa dan seperenam harta; dan contohnya: suami, kakek, dan saudara laki-laki, dari apa yang padanya bagian yang ditetapkan adalah setengah, dan saudara-saudara kurang dari dua kali lipatnya.

وَوَجْهُ تَعَيُّنِ الْمُقَاسَمَةِ فِي ذَلِكَ أَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ الزَّوْجِ النِّصْفُ الْآخَرُ عَلَى الْجَدِّ وَالْأَخِ، وَلَا شَكَّ أَنَّ نِصْفَهُ وَهُوَ الرُّبُعُ أَكْثَرُ مِنْ ثُلُثِ

Dan alasan kepastian pembagian dalam hal itu adalah bahwa yang tersisa setelah suami adalah setengah lainnya atas kakek dan saudara laki-laki, dan tidak diragukan bahwa setengahnya yaitu seperempat lebih banyak dari sepertiga

الْبَاقِي وَمِنَ السُّدُسِ، لَكِنَّ الْبَاقِيَ لَا يَنْقَسِمُ عَلَى الْجَدِّ وَالْأَخِ، فَيُضْرَبُ اثْنَانِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ اثْنَيْنِ تَبْلُغُ أَرْبَعَةً، لِلزَّوْجِ وَاحِدٌ فِي اثْنَيْنِ بِاثْنَيْنِ، وَلِلْجَدِّ وَالْأَخِ وَاحِدٌ فِي اثْنَيْنِ بِاثْنَيْنِ، لِكُلِّ وَاحِدٍ وَاحِدٌ.

Sisanya adalah dari seperenam, tetapi sisanya tidak dapat dibagi antara kakek dan saudara laki-laki, jadi dua dikalikan dengan asal masalah dua menjadi empat, untuk suami satu kali dua sama dengan dua, dan untuk kakek dan saudara laki-laki satu kali dua sama dengan dua, masing-masing satu.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا:

Dan inilah gambarannya:

٢/٢ ٤

٢/٢ ٤

زَوْجٌ

Suami

١

١

٢

٢

جَدٌّ

Kakek

١

١

أَخٌ

Saudara laki-laki

١

١

الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ ثُلُثُ الْبَاقِي أَحْظَى مِنَ الْمُقَاسَمَةِ وَمِنَ السُّدُسِ، وَمِثَالُ ذَلِكَ: أُمٌّ وَجَدٌّ وَخَمْسَةُ أَخْوَةٍ مِمَّا كَانَ فِيهِ الْفَرْضُ دُونَ النِّصْفِ، وَكَانَتِ الْإِخْوَةُ أَكْثَرَ مِنْ مِثْلَيْهِ.

Kasus kedua: Sepertiga dari sisa lebih menguntungkan daripada pembagian atau seperenam, dan contohnya adalah: ibu, kakek, dan lima saudara laki-laki di mana bagian yang ditetapkan kurang dari setengah, dan saudara-saudara lebih dari dua kali lipatnya.

وَوَجْهُ تَعَيُّنِ ثُلُثِ الْبَاقِي فِي ذَلِكَ أَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ سُدُسِ الْأُمِّ خَمْسَةٌ عَلَى الْجَدِّ وَخَمْسَةِ الْأَخْوَةِ، وَثُلُثُهَا وَاحِدٌ وَثُلُثَانِ، وَلَا شَكَّ أَنَّ ذَلِكَ أَكْثَرُ مِنَ الْمُقَاسَمَةِ وَالسُّدُسِ، لَكِنَّ الْبَاقِيَ فِي ذَلِكَ لَيْسَ لَهُ ثُلُثٌ صَحِيحٌ، فَتُضْرَبُ الثَّلَاثَةُ مَخْرَجُ الثُّلُثِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ سِتَّةً تَبْلُغُ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ، فَلِلْأُمِّ مِنْ أَصْلِهَا وَاحِدٌ فِي ثَلَاثَةٍ بِثَلَاثَةٍ، وَلِلْجَدِّ ثُلُثُ الْبَاقِي خَمْسَةٌ، يَبْقَى عَشَرَةٌ عَلَى خَمْسَةِ أَخْوَةٍ، لِكُلِّ وَاحِدٍ اثْنَانِ.

Alasan ditetapkannya sepertiga dari sisa dalam hal itu adalah bahwa sisanya setelah seperenam ibu adalah lima atas kakek dan lima saudara laki-laki, dan sepertiga darinya adalah satu dan dua pertiga, dan tidak diragukan lagi bahwa itu lebih banyak daripada pembagian dan seperenam. Namun, sisa dalam hal itu tidak memiliki sepertiga yang benar, jadi tiga sebagai penyebut sepertiga dikalikan dengan asal masalah enam menjadi delapan belas. Untuk ibu, dari asalnya satu kali tiga sama dengan tiga, dan untuk kakek sepertiga dari sisa adalah lima, menyisakan sepuluh atas lima saudara laki-laki, masing-masing dua.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا

Dan ini adalah gambarannya

٦/٣ ١٨

6/3 18

أُمّ

Ibu

١

1

٣

3

جَدّ

Kakek

٢

2

٥

5

٥ أَخَوَة

5 saudara

٣

3

١٠/٢

10/2

الحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ سُدُسُ المَالِ أَحَظَّ لَهُ مِنَ المُقَاسَمَةِ وَمِنْ ثُلُثِ البَاقِي، وَمِثَالُ ذَلِكَ: زَوْجٌ وَأُمٌّ وَجَدٌّ وَأَخَوَانِ، مِمَّا كَانَ فِيهِ الفَرْضُ قَدْرَ الثُّلُثَيْنِ، وَكَانَ الأَخَوَةُ أَكْثَرَ مِنْ مِثْلِهِ بِوَاحِدٍ، وَلَوْ أُنْثَى.

Kasus ketiga: Ketika seperenam dari harta lebih menguntungkan baginya daripada pembagian atau sepertiga dari sisa, contohnya: suami, ibu, kakek, dan dua saudara laki-laki, di mana bagian yang ditetapkan adalah dua pertiga, dan saudara-saudara lebih banyak darinya dengan satu, meskipun perempuan.

وَوَجْهُ تَعَيُّنِ السُّدُسِ فِي ذَلِكَ أَنَّ البَاقِيَ بَعْدَ نِصْفِ الزَّوْجِ وَسُدُسِ الأُمِّ اثْنَانِ عَلَى الجَدِّ وَالأَخَوَيْنِ، وَلَا شَكَّ أَنَّ السُّدُسَ أَكْثَرُ مِنْ ثُلُثِ البَاقِي وَمِنَ المُقَاسَمَةِ، لَكِنْ يَبْقَى وَاحِدٌ لَا يَنْقَسِمُ عَلَى الأَخَوَيْنِ، فَيُضْرَبُ اثْنَانِ عَدَدُ رُؤُوسِهِمَا فِي أَصْلِ المَسْأَلَةِ سِتَّةٌ؛ تَبْلُغُ اثْنَيْ عَشَرَ، لِلزَّوْجِ مِنْ أَصْلِهَا ثَلَاثَةٌ فِي اثْنَيْنِ بِسِتَّةٍ، وَلِلْأُمِّ مِنْ أَصْلِهَا وَاحِدٌ فِي اثْنَيْنِ بِاثْنَيْنِ، وَلِلْجَدِّ مِنْ أَصْلِهَا وَاحِدٌ فِي اثْنَيْنِ بِاثْنَيْنِ، وَلِلْأَخَوَةِ مِنْ أَصْلِهَا وَاحِدٌ فِي اثْنَيْنِ بِاثْنَيْنِ، لِكُلِّ وَاحِدٍ وَاحِدٌ.

Alasan ditetapkannya seperenam dalam hal ini adalah bahwa yang tersisa setelah setengah bagian suami dan seperenam bagian ibu adalah dua untuk kakek dan dua saudara laki-laki, dan tidak diragukan lagi bahwa seperenam lebih banyak dari sepertiga sisa dan dari pembagian, tetapi tersisa satu yang tidak dapat dibagi di antara dua saudara laki-laki, maka dua, jumlah kepala mereka, dikalikan dengan asal masalah enam; menjadi dua belas, untuk suami dari asalnya tiga kali dua sama dengan enam, untuk ibu dari asalnya satu kali dua sama dengan dua, untuk kakek dari asalnya satu kali dua sama dengan dua, dan untuk saudara-saudara dari asalnya satu kali dua sama dengan dua, untuk masing-masing satu.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا:

Dan ini adalah gambarannya:

٦/٢ ١٢

6/2 12

زَوْج

Suami

٣

3

٦

6

أُمّ

Ibu

١

1

٢

2

جَدّ

Kakek

١

1

٢

2

٢

2

اِخْوَان

Dua saudara laki-laki

١

1

٢/١

2/1

الْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ تَسْتَوِيَ لَهُ الْمُقَاسَمَةُ وَثُلُثُ الْبَاقِي، وَيَكُونَانِ أَحْظَ مِنْ سُدُسِ الْمَالِ، وَمِثَالُ ذَلِكَ: أُمٌّ وَجَدٌّ وَأَخَوَانِ، مِمَّا كَانَ فِيهِ الْفَرْضُ دُونَ النِّصْفِ، وَكَانَ الْأَخَوَةُ مِثْلَيْهِ.

Kasus keempat: Ketika pembagian dan sepertiga dari sisa sama baginya, dan keduanya lebih menguntungkan daripada seperenam harta. Contohnya: ibu, kakek, dan dua saudara laki-laki, di mana bagian yang ditetapkan kurang dari setengah, dan saudara-saudara adalah dua kali lipatnya.

وَوَجْهُ اسْتِوَاءِ الْقَاسِمَةِ وَثُلُثِ الْبَاقِي: أَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ سُدُسِ الْأُمِّ خُمُسَهُ عَلَى الْجَدِّ وَالْأَخَوَيْنِ؛ فَثُلُثُ الْبَاقِي وَاحِدٌ وَثُلُثَانِ، وَهُوَ مُسَاوٍ لِلْمُقَاسَمَةِ، لَكِنْ لَا ثُلُثَ لِلْبَاقِي صَحِيحٌ، فَتَضْرِبُ ثَلَاثَةً وَهِيَ مَخْرَجُ الثُّلُثِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ سِتَّةً، تَبْلُغُ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ، لِلْأُمِّ مِنْ أَصْلِهَا وَاحِدٌ فِي ثَلَاثَةٍ بِثَلَاثَةٍ، يَبْقَى خَمْسَةَ عَشَرَ، لِلْجَدِّ خَمْسَةٌ بِالْمُقَاسَمَةِ، أَوْ لِكَوْنِهَا ثُلُثَ الْبَاقِي، وَلِلْأَخَوَةِ عَشَرَةٌ، لِكُلِّ وَاحِدٍ خَمْسَةٌ.

Alasan kesetaraan pembagian dan sepertiga dari sisa adalah: sisa setelah seperenam bagian ibu, seperlimanya untuk kakek dan dua saudara laki-laki; maka sepertiga dari sisa adalah satu dan dua pertiga, dan itu setara dengan pembagian, tetapi tidak ada sepertiga yang valid untuk sisanya. Maka Anda mengalikan tiga, yaitu penyebut sepertiga, dengan asal masalah enam, mencapai delapan belas. Untuk ibu, dari asalnya satu dikalikan tiga menjadi tiga. Sisanya lima belas, untuk kakek lima dengan pembagian, atau karena itu sepertiga dari sisa. Dan untuk saudara-saudara sepuluh, untuk masing-masing lima.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا:

Dan ini adalah gambarannya:

٦/٣ ١٨

6/3 18

أُمّ

Ibu

١

1

٣

3

٣

3

جَدّ

Kakek

١

1

٥

5

إِخْوَان

Saudara laki-laki

٣

3

١٠/٥

10/5

الْحَالَةُ الْخَامِسَةُ: أَنْ تَسْتَوِيَ لَهُ الْمُقَاسَمَةُ وَسُدُسُ الْمَالِ، وَيَكُونَانِ أَحْظَ لَهُ مِنْ ثُلُثِ الْبَاقِي، وَمِثَالُ ذَلِكَ زَوْجٌ وَجَدَّةٌ وَجَدٌّ وَأَخٌ، مِمَّا كَانَ فِيهِ الْفَرْضُ قَدْرَ الثُّلُثَيْنِ، وَكَانَ الْمَوْجُودُ مِنَ الْأَخْوَةِ مِثْلَهُ.

Kasus kelima: Ketika pembagian dan seperenam dari harta itu sama baginya, dan keduanya lebih menguntungkan baginya daripada sepertiga dari sisa, contohnya adalah suami, nenek, kakek, dan saudara laki-laki, di mana bagian yang ditetapkan adalah dua pertiga, dan jumlah saudara laki-laki yang ada sama dengannya.

وَوَجْهُ اسْتِوَاءِ الْمُقَاسَمَةِ وَالسُّدُسِ: أَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ نِصْفِ الزَّوْجِ وَسُدُسِ الْجَدَّةِ اثْنَانِ عَلَى الْجَدِّ وَالْأَخِ، فَلِلْجَدِّ وَاحِدٌ بِالْمُقَاسَمَةِ أَوْ لِكَوْنِهِ السُّدُسَ، وَلِلْأَخِ وَاحِدٌ.

Alasan kesetaraan pembagian dan seperenam adalah: bahwa yang tersisa setelah setengah bagian suami dan seperenam bagian nenek adalah dua bagian untuk kakek dan saudara laki-laki, sehingga kakek mendapatkan satu bagian melalui pembagian atau karena itu adalah seperenam, dan saudara laki-laki mendapatkan satu bagian.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا:

Dan ini adalah gambarannya:

٦

6

زَوْج

Suami

٣

3

جَدَّة

Nenek

١

1

جَدّ

Kakek

١

1

أَخ

Saudara laki-laki

١

1

الحَالَةُ السَّادِسَةُ: أَنْ يَسْتَوِيَ لَهُ سُدُسُ المَالِ وَثُلُثُ البَاقِينَ وَمِثَالُهُ زَوْجٌ وَجَدٌّ وَثَلَاثَةُ أَخْوَةٍ، مِمَّا كَانَ فِيهِ الفَرْضُ قَدْرَ النِّصْفِ، وَكَانَتِ الأَخْوَةُ أَكْثَرَ مِنْ مِثْلَيْهِ.

Kasus keenam: bahwa seperenam dari harta dan sepertiga dari sisanya setara baginya, dan contohnya adalah suami, kakek, dan tiga saudara laki-laki, di mana bagian yang ditentukan adalah setengah, dan saudara-saudara lebih dari dua kali lipatnya.

وَوَجْهُ اسْتِوَاءِ السُّدُسِ وَثُلُثِ البَاقِي أَنَّ البَاقِيَ بَعْدَ نِصْفِ الزَّوْجِ النِّصْفُ الآخَرُ عَلَى الجَدِّ وَالأَخْوَةِ الثَّلَاثَةِ؛ فَالسُّدُسُ قَدْ ثُلُثَ البَاقِي، لَكِنْ لَيْسَ لِلْبَاقِي ثُلُثٌ صَحِيحٌ، فَتَضْرِبُ مَخْرَجَ الثُّلُثِ ثَلَاثَةَ فِي أَصْلِ المَسْأَلَةِ وَهُوَ اثْنَانِ تَبْلُغُ سِتَّةً، لِلزَّوْجِ مِنْ أَصْلِهَا وَاحِدٌ فِي ثَلَاثَةٍ بِثَلَاثَةٍ، يَبْقَى ثَلَاثَةٌ، لِلْجَدِّ مِنْهَا وَاحِدٌ، وَهُوَ ثُلُثُ البَاقِي، وَيُسَاوِي سُدُسَ الكُلِّ، وَلِلْإِخْوَةِ اثْنَانِ وَرُؤُوسُهُمْ ثَلَاثَةٌ تَنْقَسِمُ وَتُبَايِنُ، فَنَضْرِبُ مُصَحَّ المَسْأَلَةِ سِتَّةً فِي رُؤُوسِ الأَخْوَةِ ثَلَاثَةً، فَتَبْلُغُ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ، لِلزَّوْجِ مِنْهَا ثَلَاثَةٌ فِي ثَلَاثَةٍ بِتِسْعَةٍ، وَلِلْجَدِّ وَاحِدٌ فِي ثَلَاثَةٍ بِثَلَاثَةٍ، وَلِلْإِخْوَةِ اثْنَانِ فِي ثَلَاثَةٍ بِسِتَّةٍ، لِكُلِّ وَاحِدٍ اثْنَانِ.

Dan aspek kesetaraan seperenam dan sepertiga dari sisanya adalah bahwa yang tersisa setelah setengah bagian suami adalah setengah lainnya untuk kakek dan tiga saudara laki-laki; seperenam telah menjadi sepertiga dari sisanya, tetapi sisanya tidak memiliki sepertiga yang benar, jadi Anda mengalikan penyebut sepertiga yaitu tiga dengan asal masalah yaitu dua menjadi enam, untuk suami dari asalnya satu kali tiga sama dengan tiga, tersisa tiga, untuk kakek darinya satu, yaitu sepertiga dari sisanya, dan setara dengan seperenam dari keseluruhan, dan untuk saudara-saudara dua dan kepala mereka tiga terbagi dan berbeda, jadi kami mengalikan koreksi masalah enam dengan kepala saudara-saudara tiga, menjadi delapan belas, untuk suami darinya tiga kali tiga sama dengan sembilan, dan untuk kakek satu kali tiga sama dengan tiga, dan untuk saudara-saudara dua kali tiga sama dengan enam, untuk masing-masing dua.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا:

Dan inilah gambarannya:

٢/٣ ٦/٣ ١٨

٢/٣ ٦/٣ ١٨

زَوْجٌ

Suami

٣

٣

٩

٩

٣

٣

جَدٌّ

Kakek

١

١

٣

٣

٣

٣

ثَلَاثَةُ إِخْوَةٍ

Tiga saudara laki-laki

٢

٢

٦/٢

٦/٢

الحَالَةُ السَّابِعَةُ: أَنْ تَسْتَوِيَ لَهُ ثَلَاثَةُ الْأُمُورِ الْمُقَاسَمَةُ وَثُلُثُ الْبَاقِي وَسُدُسُ الْمَالِ، مِثَالُ ذَلِكَ: زَوْجٌ وَجَدٌّ وَأَخَوَانِ، مِمَّا كَانَ الْفَرْضُ فِيهِ قَدْرٌ، وَكَانَ الْإِخْوَةُ مِثْلَيْهِ.

Kasus ketujuh: bahwa tiga hal sama baginya: al-muqāsamah, sepertiga sisa, dan seperenam harta. Contohnya: suami, kakek, dan dua saudara laki-laki, di mana bagian yang ditentukan adalah suatu ukuran, dan saudara-saudara adalah dua kali lipatnya.

وَوَجْهُ اسْتِوَاءِ الْأُمُورِ الثَّلَاثَةِ: أَنَّ الْبَاقِيَ بَعْدَ نِصْفِ الزَّوْجِ هُوَ النِّصْفُ الْآخَرُ عَلَى الْجَدِّ وَالْأَخَوَيْنِ؛ فَثُلُثُ الْبَاقِي وَالْمُقَاسَمَةُ وَالسُّدُسُ مُتَسَاوِيَةٌ، لَكِنْ لَا ثُلُثَ لِلْبَاقِي صَحِيحٌ، فَتَضْرِبُ مَخْرَجَ الثُّلُثِ ثَلَاثَةً فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ اثْنَيْنِ؛ تَبْلُغُ سِتَّةً، لِلزَّوْجِ مِنْ أَصْلِهَا وَاحِدٌ فِي ثَلَاثَةٍ بِثَلَاثَةٍ، يَبْقَى ثَلَاثَةٌ، لِلْجَدِّ مِنْهَا وَاحِدٌ بِكُلِّ حَالٍ، وَيَبْقَى اثْنَانِ لِلْأَخَوَيْنِ، لِكُلِّ وَاحِدٍ وَاحِدٌ١.

Dan sisi kesamaan tiga hal tersebut adalah: bahwa yang tersisa setelah setengah bagian suami adalah setengah lainnya untuk kakek dan dua saudara laki-laki; maka sepertiga sisa, al-muqāsamah, dan seperenam adalah sama, tetapi tidak ada sepertiga yang valid untuk sisanya. Maka Anda mengalikan penyebut sepertiga (yaitu tiga) dengan asal masalah (yaitu dua); mencapai enam. Untuk suami, dari asalnya satu dikalikan tiga sama dengan tiga, menyisakan tiga. Untuk kakek, darinya satu dalam keadaan apa pun, dan tersisa dua untuk dua saudara laki-laki, masing-masing satu1.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا:

Dan inilah gambarannya:

٢/٣ ٦

٢/٣ ٦

زَوْجٌ

suami

١

١

٣

٣

جَدٌّ

kakek

١

١

اخوان

dua saudara laki-laki

٢/١

٢/١

فَائِدَةٌ

Faedah

لِلْجَدِّ بِاعْتِبَارِ مَا يَفْضُلُ عَنِ الْفَرْضِ وُجُودًا وَعَدَمًا أَرْبَعَةُ أَحْوَالٍ:

Kakek memiliki empat keadaan berdasarkan apa yang tersisa dari bagian yang ditentukan, ada atau tidak adanya:

الحَالُ الأَوَّلُ: أَنْ يَفْضُلَ عَنِ الفَرْضِ أَكْثَرُ مِنَ السُّدُسِ؛ فَلِلْجَدِّ خَيْرُ الأُمُورِ الثَّلَاثَةِ مِنَ القَاسِمَةِ وَثُلُثُ البَاقِي وَسُدُسُ المَالِ.

Kasus pertama: Jika lebih dari seperenam tersisa setelah bagian yang diwajibkan; maka kakek berhak memilih yang terbaik dari tiga pilihan: القاسمة, sepertiga dari sisa, atau seperenam dari total harta.

الحَالُ الثَّانِي: أَنْ يَبْقَى قَدْرُ السُّدُسِ؛ فَهُوَ لِلْجَدِّ فَرْضًا.

Kasus kedua: Jika tersisa seperenam; maka itu menjadi bagian wajib untuk kakek.

الحَالُ الثَّالِثُ: أَنْ يَبْقَى دُونَ السُّدُسِ؛ فَيُعَالُ لِلْجَدِّ بِتَمَامِ السُّدُسِ.

Kasus ketiga: Jika kurang dari seperenam tersisa; maka kakek diberi tambahan untuk melengkapi seperenam.

الحَالُ الرَّابِعُ: أَنْ لَا يَبْقَى شَيْءٌ لِاسْتِغْرَاقِ الفُرُوضِ جَمِيعَ المَالِ؛ فَيُعَالُ بِالسُّدُسِ لِلْجَدِّ.

Kasus keempat: Jika tidak ada yang tersisa karena bagian-bagian yang diwajibkan telah menghabiskan seluruh harta; maka diberikan seperenam untuk kakek.

وَفِي هَذِهِ الثَّلَاثَةِ الأَحْوَالِ تَسْقُطُ الإِخْوَةُ؛ إِلَّا الأُخْتَ فِي الأَكْدَرِيَّةِ؛ كَمَا يَأْتِي١.

Dan dalam tiga kasus ini, saudara-saudara gugur (tidak mendapat bagian); kecuali saudara perempuan dalam kasus الأكدرية; seperti yang akan dijelaskan nanti¹.

فَائِدَةٌ

Faidah

يُعْطَى الجَدُّ ثُلُثَ البَاقِي فِي بَعْضِ الأَحْوَالِ قِيَاسًا عَلَى الأُمِّ فِي العُمَرِيَّتَيْنِ؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا لَهُ وِلَادَةٌ، وَلِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ ثَمَّ ذُو فَرْضٍ؛ أَخَذَ ثُلُثَ المَالِ، فَإِذَا أَخَذَ صَاحِبُ الفَرْضِ فَرْضَهُ؛ أَخَذَ الجَدُّ ثُلُثَ البَاقِي، وَالبَاقِي لِلْإِخْوَةِ، وَلَمْ يُعْطَ الجَدُّ الثُّلُثَ كَامِلًا لِإِضْرَارِهِ بِالْإِخْوَةِ، وَوَجْهُ إِعْطَائِهِ السُّدُسَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ عَنْهُ مَعَ الوَلَدِ هُوَ أَقْوَى؛ فَمَعَ غَيْرِهِ أَوْلَى٢.

Kakek diberikan sepertiga dari sisa dalam beberapa kasus, dengan menganalogikan kepada ibu dalam dua kasus العمريتين; karena masing-masing dari keduanya memiliki kelahiran (keturunan), dan karena jika tidak ada pemilik bagian yang diwajibkan; ia akan mengambil sepertiga dari harta. Jika pemilik bagian yang diwajibkan mengambil bagiannya; maka kakek mengambil sepertiga dari sisanya, dan sisanya untuk saudara-saudara. Kakek tidak diberikan sepertiga penuh karena merugikan saudara-saudara. Alasan memberikan seperenam kepadanya adalah karena ia tidak kurang dari itu bersama anak yang lebih kuat; maka bersama selain anak lebih utama².

«حَاشِيَةُ البَاحُوِيِّ» (ص ١٣٨) .

«Catatan pinggir al-Bahuwi» (hal. 138) .

«العَذْبُ الفَائِضُ» (١/ ١١٠) .

«al-'Adzb al-Faidh» (1/110) .

بَابٌ فِي الْمُعَادَّةِ

مَا تَقَدَّمَ مِنْ بَحْثِ الْجَدِّ وَالْإِخْوَةِ هُوَ مَا إِذَا كَانَ مَعَهُ أَحَدُ الصِّنْفَيْنِ فَقَطْ: الْإِخْوَةُ الْأَشِقَّاءُ، أَوِ الْإِخْوَةُ لِأَبٍ،

Apa yang telah dibahas sebelumnya tentang kakek dan saudara-saudara adalah ketika bersamanya hanya salah satu dari dua jenis: saudara-saudara kandung, atau saudara-saudara seayah,

أَمَّا إِذَا كَانَ مَعَهُ مَجْمُوعُ الصِّنْفَيْنِ أَيْ: إِخْوَةٌ أَشِقَّاءُ وَإِخْوَةٌ لِأَبٍ فَإِنَّ الْإِخْوَةَ الْأَشِقَّاءَ يُعَادُّونَ الْجَدَّ بِهِمْ إِذَا احْتَاجُوا إِلَيْهِمْ،

adapun jika bersamanya terdapat dua jenis yaitu: saudara-saudara kandung dan saudara-saudara seayah, maka saudara-saudara kandung mengajak saudara-saudara seayah untuk melawan kakek jika mereka membutuhkan mereka,

فَإِذَا اخَذَ الْجَدُّ نَصِيبَهُ؛ رَجَعَ الْأَشِقَّاءُ عَلَى أَوْلَادِ الْأَبِ، فَأَخَذُوا مَا بِأَيْدِيهِمْ،

kemudian jika kakek telah mengambil bagiannya; maka saudara-saudara kandung kembali kepada saudara-saudara seayah, dan mengambil apa yang ada di tangan mereka,

وَإِنْ كَانَ الْمَوْجُودُ شَقِيقَةً وَاحِدَةً؛ أَخَذَتْ كَمَالَ فَرْضِهَا، وَمَا بَقِيَ؛ فَلِوَلَدِ الْأَبِ.

dan jika yang ada hanya seorang saudari kandung; maka ia mengambil sempurna bagiannya, dan apa yang tersisa; maka untuk saudara seayah.

فَالشَّقِيقُ يُعَدُّ وَلَدَ عَلَى الْجَدِّ؛ لِاتِّحَادِهِمْ فِي الْأُخُوَّةِ مِنَ الْأَبِ، وَلِأَنَّ جِهَةَ الْأُمِّ فِي الشَّقِيقِ مَحْجُوبَةٌ بِالْجَدِّ، فَيَدْخُلُ وَلَدُ الْأَبِ مَعَهُ فِي حِسَابِ الْقِسْمَةِ عَلَى الْجَدِّ؛ لِيَنْقُصَ بِسَبَبِهِ عَنِ الْمُقَاسَمَةِ إِلَى الثُّلُثِ أَوْ إِلَى ثُلُثِ الْبَاقِي أَوْ إِلَى سُدُسِ الْمَالِ.

Maka saudara kandung dihitung sebagai anak terhadap kakek; karena mereka bersatu dalam persaudaraan dari ayah, dan karena sisi ibu pada saudara kandung terhalang oleh kakek, maka saudara seayah masuk bersamanya dalam perhitungan pembagian terhadap kakek; agar berkurang karenanya dari muqasamah menjadi sepertiga atau sepertiga sisa atau seperenam harta.

وَأَيْضًا إِنَّمَا عَدَّ أَوْلَادُ الْأَبَوَيْنِ أَوْلَادَ الْأَبِ عَلَى الْجَدِّ؛ لِأَنَّهُمْ يَقُولُونَ لِلْجَدِّ: مَنْزِلَتُنَا وَمَنْزِلَتُهُمْ مَعَكَ وَاحِدَةٌ، فَيَدْخُلُونَ مَعَنَا فِي الْقِسْمَةِ، وَنُزَاحِمُكَ بِهِمْ.

Dan juga sesungguhnya saudara-saudara kandung menghitung saudara-saudara seayah terhadap kakek; karena mereka berkata kepada kakek: kedudukan kami dan kedudukan mereka bersamamu adalah sama, maka mereka masuk bersama kami dalam pembagian, dan kami membuat persaingan denganmu melalui mereka.

ثُمَّ يَقُولُونَ لِأَوْلَادِ الْأَبِ: أَنْتُمْ لَا تَرِثُونَ مَعَنَا، وَإِنَّمَا أَدْخَلْنَاكُمْ مَعَنَا فِي الْمُقَاسَمَةِ؛ لِحَجْبِ الْجَدِّ، فَنَأْخُذُ مَا يَخُصُّكُمْ؛ كَأَنْ لَمْ

Kemudian mereka berkata kepada saudara-saudara seayah: kalian tidak mewarisi bersama kami, dan sesungguhnya kami memasukkan kalian bersama kami dalam muqasamah; untuk menghalangi kakek, maka kami mengambil apa yang menjadi bagian kalian; seakan-akan tidak

يَكُنْ مَعَنَا جَدٌّ

Ada seorang kakek bersama kita

مَتَى تَكُونُ الْمُعَادَةُ؟

Kapan terjadi al-mu'aadah?

إِنَّمَا تَكُونُ الْمُعَادَةُ إِذَا كَانَ وَلَدُ الْأَبَوَيْنِ أَقَلَّ مِنْ مِثْلَيِ الْجَدِّ، وَبَقِيَ بَعْدَ الْفَرْضِ أَكْثَرُ مِنَ الرُّبُعِ، فَإِنْ كَانُوا مِثْلَيْهِ فَأَكْثَرُ؛ فَلَا دَاعِيَ لِلْمُعَادَةِ.

Sesungguhnya al-mu'aadah terjadi jika anak dari kedua orang tua kurang dari dua kali lipat bagian kakek, dan setelah pembagian fardh tersisa lebih dari seperempat, jika mereka dua kali lipat atau lebih; maka tidak perlu al-mu'aadah.

صُورَةُ الْمُعَادَةِ:

Bentuk al-mu'aadah:

صُوَرُ الْمُعَادَةِ ثَمَانٌ وَسِتُّونَ صُورَةً، وَوَجْهُ حَصْرِهَا فِي هَذَا الْعَدَدِ أَنَّ مَسَائِلَ الْمُعَادَةِ لَا بُدَّ فِيهَا أَنْ يَكُونَ الْأَشِقَّاءُ دُونَ الْمِثْلَيْنِ، وَيَنْحَصِرُ مَا دُونَ الْمِثْلَيْنِ فِي خَمْسِ صُوَرٍ، وَهِيَ: جَدٌّ وَشَقِيقَةٌ، جَدٌّ وَشَقِيقَتَانِ، جَدٌّ وَثَلَاثُ شَقَائِقَ، جَدٌّ وَشَقِيقٌ، جَدٌّ وَشَقِيقٌ وَشَقِيقَةٌ. وَيَكُونُ مَعَ مَنْ ذُكِرَ فِي هَذِهِ الصُّوَرِ الْخَمْسِ مِنَ الْأَبِ مَنْ يُكَمِّلُ الْمِثْلَيْنِ أَوْ دُونَهُمَا.

Bentuk al-mu'aadah ada enam puluh delapan bentuk, dan alasan pembatasan jumlah ini adalah bahwa dalam masalah al-mu'aadah, saudara kandung harus kurang dari dua kali lipat, dan yang kurang dari dua kali lipat terbatas pada lima bentuk, yaitu: kakek dan saudara perempuan kandung, kakek dan dua saudara perempuan kandung, kakek dan tiga saudara perempuan kandung, kakek dan saudara laki-laki kandung, kakek, saudara laki-laki kandung, dan saudara perempuan kandung. Dan bersama mereka yang disebutkan dalam lima bentuk ini dari pihak ayah, ada yang melengkapi dua kali lipat atau kurang dari itu.

فَيَتَصَوَّرُ مَعَ الشَّقِيقَةِ خَمْسُ صُوَرٍ، وَهِيَ: شَقِيقَةٌ وَأُخْتٌ لِأَبٍ، شَقِيقَةٌ وَأُخْتَانِ لِأَبٍ، شَقِيقَةٌ وَثَلَاثُ أَخَوَاتٍ لِأَبٍ، شَقِيقَةٌ وَأَخٌ لِأَبٍ، شَقِيقَةٌ وَأَخٌ وَأُخْتٌ لِأَبٍ.

Maka terdapat lima bentuk bersama saudara perempuan kandung, yaitu: saudara perempuan kandung dan saudara perempuan seayah, saudara perempuan kandung dan dua saudara perempuan seayah, saudara perempuan kandung dan tiga saudara perempuan seayah, saudara perempuan kandung dan saudara laki-laki seayah, saudara perempuan kandung, saudara laki-laki seayah, dan saudara perempuan seayah.

وَيَتَصَوَّرُ مَعَ الشَّقِيقَتَيْنِ ثَلَاثُ صُوَرٍ، وَهِيَ: شَقِيقَتَانِ وَأُخْتٌ لِأَبٍ، شَقِيقَتَانِ وَأُخْتَانِ لِأَبٍ، شَقِيقَتَانِ وَأَخٌ لِأَبٍ.

Dan terdapat tiga bentuk bersama dua saudara perempuan kandung, yaitu: dua saudara perempuan kandung dan saudara perempuan seayah, dua saudara perempuan kandung dan dua saudara perempuan seayah, dua saudara perempuan kandung dan saudara laki-laki seayah.

وَيَتَصَوَّرُ مَعَ الشَّقِيقِ ثَلَاثُ صُوَرٍ، وَهِيَ: شَقِيقٌ وَأُخْتٌ لِأَبٍ، شَقِيقٌ وَأُخْتَانِ لِأَبٍ، شَقِيقٌ وَأَخٌ لِأَبٍ.

Dan terdapat tiga bentuk bersama saudara laki-laki kandung, yaitu: saudara laki-laki kandung dan saudara perempuan seayah, saudara laki-laki kandung dan dua saudara perempuan seayah, saudara laki-laki kandung dan saudara laki-laki seayah.

وَيَتَصَوَّرُ مَعَ ثَلَاثِ الشَّقَائِقِ صُورَةٌ وَاحِدَةٌ، وَهِيَ: ثَلَاثُ شَقَائِقَ وَأُخْتٌ لِأَبٍ.

Dan terdapat satu bentuk bersama tiga saudara perempuan kandung, yaitu: tiga saudara perempuan kandung dan saudara perempuan seayah.

«الْعَذْبُ الْفَائِضُ» (١/ ١١٤) .

"al-'Adzb al-Faaidh" (1/114).

وَيُتَصَوَّرُ مَعَ الأَخِ الشَّقِيقِ وَالأُخْتِ الشَّقِيقَةِ صُورَةٌ وَاحِدَةٌ، وَهِيَ: شَقِيقٌ وَشَقِيقَةٌ وَأُخْتٌ لأَبٍ.

Dan terbayangkan bersama saudara laki-laki kandung dan saudara perempuan kandung satu gambaran, yaitu: saudara laki-laki kandung, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan seayah.

وَمَجْمُوعُ هَذِهِ الصُّورَةِ ثَلاثَ عَشْرَةَ صُورَةً. ثُمَّ لا يَخْلُو: إِمَّا إِنْ لا يَكُونَ مَعَهُمْ صَاحِبُ فَرْضٍ، أَوْ يَكُونَ. وَعَلَى الثَّانِي؛ فَالْفَرْضُ إِمَّا رُبُعٌ، أَوْ سُدُسٌ، أَوْ رُبُعٌ وَسُدُسٌ، أَوْ نِصْفٌ؛ فَهَذِهِ خَمْسُ حَالاتٍ ١، تُضْرَبُ فِي الثَّلاثَ عَشْرَةَ صُورَةً، يَحْصُلُ خَمْسٌ وَسِتُّونَ.

Dan total gambaran ini adalah tiga belas gambaran. Kemudian tidak lepas dari: adakalanya tidak ada bersama mereka pemilik bagian tetap (aṣḥābul furūḍ), atau ada. Dan pada yang kedua; maka bagian tetapnya adakalanya seperempat, atau seperenam, atau seperempat dan seperenam, atau setengah; maka ini adalah lima keadaan ¹, dikalikan dengan tiga belas gambaran, menghasilkan enam puluh lima.

وَالصُّورَةُ السَّادِسَةُ وَالسِّتُّونَ: أَنْ يَكُونَ مَعَ الْجَدِّ وَالإِخْوَةِ صَاحِبَا نِصْفٍ وَسُدُسٍ؛ كَبِنْتٍ وَبِنْتِ ابْنٍ وَجَدٍّ وَأُخْتٍ شَقِيقَةٍ وَأُخْتٍ لأَبٍ.

Dan gambaran keenam puluh enam: bahwa bersama kakek dan saudara-saudara ada pemilik setengah dan seperenam; seperti anak perempuan, cucu perempuan, kakek, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan seayah.

وَالسَّابِعَةُ وَالسِّتُّونَ أَنْ يَكُونَ مَعَهُمْ أَصْحَابُ ثُلُثَيْنِ؛ كَبِنْتَيْنِ وَجَدٍّ وَشَقِيقَةٍ وَأُخْتٍ لأَبٍ.

Dan yang keenam puluh tujuh adalah bahwa bersama mereka ada pemilik dua pertiga; seperti dua anak perempuan, kakek, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan seayah.

وَالثَّامِنَةُ وَالسِّتُّونَ أَنْ يَكُونَ مَعَهُمْ صَاحِبَا نِصْفٍ وَثُمُنٍ؛ كَبِنْتٍ وَزَوْجَةٍ وَجَدٍّ وَشَقِيقَةٍ وَأُخْتٍ لأَبٍ.

Dan yang keenam puluh delapan adalah bahwa bersama mereka ada pemilik setengah dan seperdelapan; seperti anak perempuan, istri, kakek, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan seayah.

هَلْ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَأْخُذَ الإِخْوَةُ لأَبٍ شَيْئًا مَعَ الأَشِقَّاءِ فِي صُورَةِ الْمُعَادَّةِ؟

Apakah terbayangkan bahwa saudara-saudara seayah mengambil sesuatu bersama saudara-saudara kandung dalam gambaran al-mu'āddah?

أَمَّا إِذَا كَانَ فِي الأَشِقَّاءِ ذَكَرٌ أَوْ كَانَتَا شَقِيقَتَيْنِ فَأَكْثَرَ؛ فَلا يُتَصَوَّرُ أَنْ يَبْقَى لَهُمْ شَيْءٌ، وَإِنْ كَانَتْ شَقِيقَةً وَاحِدَةً؛ فَلَهَا إِلَى تَمَامِ النِّصْفِ، فَإِنْ بَقِيَ شَيْءٌ؛ فَهُوَ لِوَلَدِ الأَبِ.

Adapun jika di antara saudara-saudara kandung ada laki-laki atau dua saudara perempuan kandung atau lebih; maka tidak terbayangkan akan tersisa sesuatu untuk mereka, dan jika hanya satu saudara perempuan kandung; maka baginya penyempurna setengah, jika tersisa sesuatu; maka itu untuk anak-anak ayah.

١ أَرْبَعٌ فِي حَالَةِ إِذَا كَانَ مَعَهُمْ صَاحِبُ فَرْضٍ، وَالْخَامِسُ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ صَاحِبُ فَرْضٍ.

¹ Empat dalam keadaan jika bersama mereka ada pemilik bagian tetap, dan yang kelima jika tidak ada bersama mereka pemilik bagian tetap.

فَمِنَ الصُّوَرِ الَّتِي يَبْقَى فِيهَا الْوَلَدُ الْأَبَ شَيْءٌ الزَّيْدِيَّاتُ الْأَرْبَعُ، نِسْبَةً لِزَيْدٍ؛ لِأَنَّهُ الَّذِي حَكَمَ فِيهَا بِذَلِكَ، وَهِيَ:

Di antara kasus-kasus di mana anak laki-laki meninggalkan sesuatu untuk ayah adalah empat kasus Zaidiyyah, yang dinisbatkan kepada Zaid; karena dialah yang memutuskan hal itu di dalamnya, yaitu:

١ الْعَشْرِيَّةُ: وَهِيَ جَدٌّ وَشَقِيقَةٌ وَأَخٌ لِأَبٍ، فَأَصْلُهَا مِنْ خَمْسَةِ عَدَدِ الرُّؤُوسِ، وَإِنَّمَا نُسِبَتْ إِلَى الْعَشْرَةِ لِصِحَّتِهَا مِنْهَا، وَوَجْهُ صِحَّتِهَا مِنْ عَشْرَةٍ أَنَّ لِلشَّقِيقَةِ النِّصْفَ، وَلَا نِصْفَ لِلْخَمْسَةِ صَحِيحٌ، فَيُضْرَبُ مَخْرَجُ النِّصْفِ اثْنَانِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ خَمْسَةٍ؛ تَبْلُغُ عَشْرَةً: لِلْجَدِّ خُمْسَاهَا أَرْبَعَةٌ، وَلِلْأُخْتِ نِصْفُهَا خَمْسَةٌ، يَبْقَى وَاحِدٌ لِلْأَخِ لِأَبٍ.

1 Al-'Asyriyyah: yaitu kakek, saudara perempuan kandung, dan saudara laki-laki seayah, asalnya adalah dari lima jumlah kepala, dan ia dinisbatkan kepada sepuluh karena keabsahannya darinya, dan sisi keabsahannya dari sepuluh adalah bahwa saudara perempuan kandung mendapatkan setengah, dan tidak ada setengah yang valid untuk lima, maka pengeluaran setengah dua dikalikan dengan asal masalah lima; mencapai sepuluh: untuk kakek empat perlimanya, untuk saudara perempuan setengahnya lima, dan tersisa satu untuk saudara laki-laki seayah.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا:

Dan inilah gambarannya:

٥/٢ ١٠

٥/٢ ١٠

جَدٌّ

Kakek

٢

٢

٤

٤

شَقِيقَةٌ

Saudara perempuan kandung

٢

٢

٥

٥

٢

٢

أَخٌ لِأَبٍ

Saudara laki-laki seayah

١

١

٢ الْعِشْرِينِيَّةُ: نِسْبَةً إِلَى الْعِشْرِينَ؛ لِصِحَّتِهَا مِنْهَا، وَهِيَ جَدٌّ وَشَقِيقَةٌ وَأُخْتَانِ لِأَبٍ؛ فَأَصْلُهَا مِنْ خَمْسَةٍ عَدَدِ الرُّؤُوسِ؛ كَالَّتِي قَبْلَهَا، لِلْجَدِّ مِنْهَا سَهْمَانِ بِالْمُقَاسَمَةِ، وَلِلشَّقِيقَةِ نِصْفُ الْمَالِ، وَلَا نِصْفَ صَحِيحٌ لِلْخَمْسَةِ، فَيُضْرَبُ مَخْرَجُ النِّصْفِ اثْنَانِ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ خَمْسَةٍ؛ يَحْصُلُ عَشَرَةٌ، لِلْجَدِّ مِنْ أَصْلِهَا اثْنَانِ فِي اثْنَيْنِ بِأَرْبَعَةٍ، وَلِلْأُخْتِ النِّصْفُ خَمْسَةٌ،

2 Al-'Isyriniyyah: dinisbatkan kepada dua puluh; karena keabsahannya darinya, yaitu kakek, saudara perempuan kandung, dan dua saudara perempuan seayah; asalnya adalah dari lima jumlah kepala; seperti yang sebelumnya, untuk kakek darinya dua saham dengan pembagian, dan untuk saudara perempuan kandung setengah harta, dan tidak ada setengah yang valid untuk lima, maka pengeluaran setengah dua dikalikan dengan asal masalah lima; menghasilkan sepuluh, untuk kakek dari asalnya dua kali dua sama dengan empat, dan untuk saudara perempuan setengahnya lima,

يَبْقَى وَاحِدٌ لِلْأُخْتَيْنِ لِأَبٍ بَيْنَهُمَا مُنَاصَفَةً، وَلَا يَنْقَسِمُ عَلَيْهِنَّ، فَتَضْرِبُ عَدَدَ رُؤُوسِهَا اثْنَيْنِ فِي مُصَحِّ الْمَسْأَلَةِ عَشَرَةَ، يَحْصُلُ عِشْرُونَ: لِلْجَدِّ أَرْبَعَةٌ فِي اثْنَيْنِ بِثَمَانِيَةٍ، وَلِلشَّقِيقَةِ خَمْسَةٌ فِي اثْنَيْنِ بِعَشَرَةٍ، وَلِلْأُخْتَيْنِ لِأَبٍ وَاحِدٌ فِي اثْنَيْنِ بِاثْنَيْنِ، لِكُلِّ وَاحِدَةٍ وَاحِدٌ.

Tersisa satu bagian untuk dua saudara perempuan seayah yang dibagi rata di antara mereka, dan tidak dapat dibagi di antara mereka, maka kalikan jumlah kepala mereka yaitu dua dengan penyebut masalah yaitu sepuluh, hasilnya dua puluh: untuk kakek empat dikalikan dua sama dengan delapan, untuk saudara perempuan sekandung lima dikalikan dua sama dengan sepuluh, dan untuk dua saudara perempuan seayah satu dikalikan dua sama dengan dua, masing-masing mendapat satu bagian.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا: ٥/٢ ١٠/٢ ٢٠ جَدٌّ ٤ ٨ شَقِيقَةٌ ٢ ٥ ١٠ ٢ أُخْتَانِ لِأَبٍ ١ ٢/١

Dan inilah gambarannya: 5/2 10/2 20 kakek 4 8 saudara perempuan sekandung 2 5 10 2 dua saudara perempuan seayah 1 2/1

وَلَكَ أَنْ تَقُولَ فِي هَذِهِ: أَصْلُهَا مِنْ خَمْسَةٍ، لِلْجَدِّ مِنْهَا اثْنَانِ بِالْمُقَاسَمَةِ، وَلِلشَّقِيقَةِ النِّصْفُ اثْنَانِ وَنِصْفٌ، يَبْقَى نِصْفٌ لِلْأُخْتَيْنِ لِأَبٍ، لِكُلِّ وَاحِدَةٍ رُبُعٌ، وَمَخْرَجُ الرُّبُعِ مِنْ أَرْبَعَةٍ، تَضْرِبُهُ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ خَمْسَةٍ، بِعِشْرِينَ: لِلْجَدِّ مِنْ أَصْلِهَا اثْنَانِ فِي أَرْبَعَةٍ بِثَمَانِيَةٍ، وَلِلشَّقِيقَةِ النِّصْفُ عَشَرَةٌ، وَلِلْأُخْتَيْنِ لِأَبٍ اثْنَانِ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ وَاحِدٌ.

Dan kamu dapat mengatakan dalam masalah ini: asalnya adalah dari lima, untuk kakek dua bagian dengan pembagian, untuk saudara perempuan sekandung setengah yaitu dua setengah, tersisa setengah untuk dua saudara perempuan seayah, masing-masing mendapat seperempat, dan penyebut seperempat adalah empat, kalikan itu dengan asal masalah yaitu lima, hasilnya dua puluh: untuk kakek dari asalnya dua dikalikan empat sama dengan delapan, untuk saudara perempuan sekandung setengah yaitu sepuluh, dan untuk dua saudara perempuan seayah dua bagian, masing-masing mendapat satu.

٣ مُخْتَصَرَةُ زَيْدٍ: وَهِيَ أُمٌّ وَجَدٌّ وَشَقِيقَةٌ وَأَخٌ وَأُخْتٌ لِأَبٍ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّ تَصْحِيحَهَا مِنْ مِائَةٍ وَثَمَانِيَةٍ بِاعْتِبَارِ الْمُقَاسَمَةِ، وَتَصِحُّ بِالِاخْتِصَارِ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَخَمْسِينَ، كَانَ أَصْلُهَا مِنْ سِتَّةٍ: لِلْأُمِّ سُدُسُ وَاحِدٍ، يَبْقَى خَمْسَةٌ عَلَى الْجَدِّ وَالْإِخْوَةِ مُقَاسَمَةً، وَرُؤُوسُهُمْ سِتَّةٌ لَا تَنْقَسِمُ، فَتَضْرِبُ عَدَدَ الرُّؤُوسِ سِتَّةً فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ سِتَّةً؛ تَبْلُغُ سِتَّةً وَثَلَاثِينَ: لِلْأُمِّ

3 Mukhtasharah Zaid: yaitu ibu, kakek, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki seayah, dan saudara perempuan seayah. Dinamakan demikian karena koreksinya adalah dari seratus delapan dengan mempertimbangkan pembagian, dan menjadi benar dengan peringkasan dari lima puluh empat. Asalnya adalah dari enam: untuk ibu seperenam dari satu, tersisa lima untuk kakek dan saudara-saudara dengan pembagian, dan jumlah kepala mereka adalah enam yang tidak dapat dibagi. Maka kalikan jumlah kepala enam dengan asal masalah enam; mencapai tiga puluh enam: untuk ibu

مِنْ أَصْلِهَا وَاحِدٌ فِي سِتَّةٍ بِسِتَّةٍ، وَالْبَاقِي خَمْسَةٌ فِي سِتَّةٍ بِثَلَاثِينَ، لِلْجَدِّ مِنْهَا بِالْمُقَاسَمَةِ عَشَرَةٌ، يَبْقَى عِشْرُونَ لِلشَّقِيقَةِ نِصْفُ الْمَالِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ، يَبْقَى اثْنَانِ عَلَى الْأَخِ وَالْأُخْتِ لِأَبٍ، وَرُؤُوسُهُمْ ثَلَاثَةٌ لَاتَنْقَسِمُ وَتَبَايَنَ، فَنَضْرِبُ ثَلَاثَةً فِي سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ؛ تَبْلُغُ مِئَةً وَثَمَانِيَةً: لِلْأُمِّ سِتَّةٌ فِي ثَلَاثَةٍ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ، وَلِلْجَدِّ عَشَرَةٌ فِي ثَلَاثَةٍ بِثَلَاثِينَ، وَلِلشَّقِيقَةِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ فِي ثَلَاثَةٍ بِأَرْبَعَةٍ وَخَمْسِينَ، وَلِلْأَخِ وَالْأُخْتِ لِأَبٍ اثْنَانِ فِي بِسِتَّةٍ، لِلْأَخِ أَرْبَعَةٌ وَلِلْأُخْتِ اثْنَانِ.

Dari asalnya satu dalam enam menjadi enam, dan sisanya lima dalam enam menjadi tiga puluh, untuk kakek dari itu dengan pembagian sepuluh, tersisa dua puluh untuk saudara perempuan kandung setengah harta delapan belas, tersisa dua atas saudara laki-laki dan saudara perempuan seayah, dan kepala mereka tiga tidak terbagi dan berbeda, maka kita kalikan tiga dengan tiga puluh enam; mencapai seratus delapan: untuk ibu enam dalam tiga menjadi delapan belas, untuk kakek sepuluh dalam tiga menjadi tiga puluh, untuk saudara perempuan kandung delapan belas dalam tiga menjadi lima puluh empat, dan untuk saudara laki-laki dan saudara perempuan seayah dua dalam enam, untuk saudara laki-laki empat dan untuk saudara perempuan dua.

ثُمَّ نَنْظُرُ فَنَجِدُ بَيْنَ الْأَنْصِبَاءِ وَمُصَحِّ الْمَسْأَلَةِ تَوَافُقًا بِالنِّصْفِ، فَتَرْجِعُ الْمَسْأَلَةُ إِلَى نِصْفِهَا أَرْبَعَةً وَخَمْسِينَ، وَيَرْجِعُ نَصِيبُ الشَّقِيقَةِ إِلَى نِصْفِهِ سَبْعَةً وَعِشْرِينَ، وَيَرْجِعُ نَصِيبُ الْجَدِّ إِلَى نِصْفِهِ خَمْسَةَ عَشَرَ، وَنَصِيبُ الْأَخِ لِأَبٍ إِلَى نِصْفِهِ اثْنَيْنِ، وَنَصِيبُ لِأَبٍ إِلَى نِصْفِهِ وَاحِدٌ.

Kemudian kita melihat dan menemukan antara bagian-bagian dan koreksi masalah ada kecocokan dengan setengah, maka masalah kembali ke setengahnya lima puluh empat, dan bagian saudara perempuan kandung kembali ke setengahnya dua puluh tujuh, dan bagian kakek kembali ke setengahnya lima belas, dan bagian saudara laki-laki seayah ke setengahnya dua, dan bagian seayah ke setengahnya satu.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا: ٦/٦ ٢٦/٣ ١٠٨ ٥٤ أُمٌّ ١ ٦ ١٨ ٩ جَدٌّ ١٠ ٣٠ ١٥ أُخْتٌ شَقِيقَةٌ ٥ ١٨ ٥٤ ٢٧ ٦ اخ الاب ٤ ٢ ٣ أُخْتُ الْأَبِ ٢ ١ ١٠٨

Dan ini gambarnya: 6/6 26/3 108 54 Ibu 1 6 18 9 Kakek 10 30 15 Saudara perempuan kandung 5 18 54 27 6 Saudara laki-laki ayah 4 2 3 Saudara perempuan ayah 2 1 108

٤ تَسْعِينِيَّةُ زَيْدٍ: وَهِيَ أُمٌّ وَجَدٌّ وَشَقِيقَةٌ وَأَخَوَانِ وَأُخْتٌ لِأَبٍ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ نِسْبَةً إِلَى التِّسْعِينَ؛ لِصِحَّتِهَا مِنْهَا، وَوَجْهُ صِحَّتِهَا مِنْ تِسْعِينَ أَنَّ الْأَحَظَّ لِلْجَدِّ هُنَا ثُلُثُ الْبَاقِي بَعْدَ سُدُسِ الْأُمِّ، فَيَكُونُ أَصْلُهَا مِنْ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ إِنِ اعْتُبِرَ ثُلُثُ الْبَاقِي مَعَ

4 Tas'iniyyah Zaid: yaitu ibu, kakek, saudara perempuan kandung, dua saudara laki-laki, dan saudara perempuan seayah, dinamakan demikian karena dinisbatkan kepada sembilan puluh; karena kesahihannya darinya, dan sisi kesahihannya dari sembilan puluh adalah bahwa yang paling beruntung bagi kakek di sini adalah sepertiga dari sisa setelah seperenam ibu, maka asalnya dari delapan belas jika dianggap sepertiga dari sisa bersama

السُّدُسُ، وَيَصِحُّ أَنْ يَجْعَلَ أَصْلَهَا مِنْ سِتَّةٍ مَخْرَجِ السُّدُسِ: لِلْأُمِّ وَاحِدٌ، يَبْقَى خَمْسَةٌ لَا ثُلُثَ لَهَا صَحِيحٌ، فَيُضْرَبُ مَخْرَجُ الثُّلُثِ ثَلَاثَةٌ فِي سِتَّةٍ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ: لِلْأُمِّ مِنْ أَصْلِهَا السُّدُسُ، وَاحِدٌ فِي ثَلَاثَةٍ بِثَلَاثَةٍ، يَبْقَى خَمْسَةَ عَشَرَ، لِلْجَدِّ مِنْهَا خَمْسَةٌ، ثُلُثُ الْبَاقِي، وَلِلْأُخْتِ الشَّقِيقَةِ نِصْفُ الْمَالِ تِسْعَةٌ، يَبْقَى وَاحِدٌ لِلْإِخْوَةِ لِلْأَبِ، غَيْرُ مُنْقَسِمٍ، فَتُضْرَبُ عَدَدُ رُؤُوسِهِمْ خَمْسَةٌ فِي أَصْلِ الْمَسْأَلَةِ أَوْ مُصَحِّهَا ثَمَانِيَةَ عَشَرَ بِتِسْعِينَ، وَمِنْهَا تَصِحُّ لِلْأُمِّ ثَلَاثَةٌ فِي خَمْسَةٍ بِخَمْسَةَ عَشَرَ، وَلِلْجَدِّ خَمْسَةٌ فِي خَمْسَةٍ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ، وَلِلْأُخْتِ الشَّقِيقَةِ تِسْعَةٌ فِي خَمْسَةٍ بِخَمْسَةٍ وَأَرْبَعِينَ، وَلِلْإِخْوَةِ لِأَبٍ وَاحِدٌ فِي خَمْسَةٍ بِخَمْسَةٍ، لِكُلِّ مِنَ الْأَخَوَيْنِ اثْنَانِ، وَلِلْأُنْثَى وَاحِدٌ.

Seperenam, dan sah untuk menjadikan asalnya dari enam, yaitu penyebut seperenam: untuk ibu satu, tersisa lima yang tidak memiliki sepertiga yang benar, maka penyebut sepertiga tiga dikalikan enam menjadi delapan belas: untuk ibu dari asalnya seperenam, satu dikalikan tiga menjadi tiga, tersisa lima belas, untuk kakek darinya lima, sepertiga sisanya, dan untuk saudara perempuan sekandung setengah harta sembilan, tersisa satu untuk saudara laki-laki seayah, tidak terbagi, maka jumlah kepala mereka lima dikalikan asal masalah atau pembilangnya delapan belas menjadi sembilan puluh, dan darinya sah untuk ibu tiga dikalikan lima menjadi lima belas, dan untuk kakek lima dikalikan lima menjadi dua puluh lima, dan untuk saudara perempuan sekandung sembilan dikalikan lima menjadi empat puluh lima, dan untuk saudara laki-laki seayah satu dikalikan lima menjadi lima, untuk setiap dua saudara laki-laki dua, dan untuk perempuan satu.

وَهَذِهِ صُورَتُهَا عَلَى الطَّرِيقَتَيْنِ:

Dan ini adalah gambarannya dengan dua cara:

١٨/٥ ٩٠ ٦/٣ ١٨/٥ ٩٠

18/5 90 6/3 18/5 90

أُمٌّ

Ibu

٣

3

١٥

15

أُمٌّ

Ibu

١

1

٣

3

١٥

15

جَدٌّ

Kakek

٥

5

٢٥

25

جَدٌّ

Kakek

٥

5

٢٥

25

شَقِيقَةٌ

Saudara perempuan sekandung

٩

9

٤٥

45

شَقِيقَةٌ

Saudara perempuan sekandung

٥

5

٩

9

٤٥

45

٥

5

اِخْوَانِ الْأَبِ

Dua saudara laki-laki seayah

٤/١

4/1

٥

5

اِخْوَانٌ لِأَبٍ

Saudara-saudara seayah

٤/٢

4/2

أُخْتُ الْأَبِ

Saudara perempuan seayah

١

1

أُخْتٌ لِأَبٍ

Saudara perempuan seayah

١

1

هَذَا؛ وَبَقِيَ مَا يُسَمَّى بِحِسَابِ الْمَوَارِيثِ، وَيَتَكَوَّنُ مِنْ بَابِ الْحِسَابِ وَبَابِ الْمُنَاسَخَاتِ وَبَابِ قِسْمَةِ التَّرِكَاتِ، وَهَذَا مَحَلُّهُ كُتُبُ الْفَرَائِضِ.

Ini; dan tersisa apa yang disebut dengan perhitungan warisan, dan terdiri dari bab perhitungan, bab munasakhah, dan bab pembagian tirkah, dan ini tempatnya dalam kitab-kitab faraidh.

بَابٌ فِي التَّوْرِيثِ وَالتَّقْدِيرِ وَالِاحْتِيَاطِ

بَابٌ فِي التَّوْرِيثِ وَالتَّقْدِيرِ وَالِاحْتِيَاطِ

Bab tentang warisan, estimasi, dan kehati-hatian

مَا سَبَقَ كُلُّهُ هُوَ حَدِيثٌ عَمَّا إِذَا تَحَقَّقَ مَوْتُ الْمُوَرِّثِ وَتَحَقَّقَ كَذَلِكَ وُجُودُ الْوَارِثِ عِنْدَ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ، وَهَذَا وَاضِحٌ لَا إِشْكَالَ فِيهِ.

Semua yang telah disebutkan sebelumnya adalah pembahasan tentang kasus ketika kematian pewaris telah dipastikan dan keberadaan ahli waris pada saat kematian pewaris juga dipastikan, dan ini jelas tidak ada masalah di dalamnya.

لَكِنْ هُنَا حَالَاتٌ يَلْتَبِسُ فِيهَا الْأَمْرُ؛ فَلَا تُعْرَفُ حَالُ الْمُوَرِّثِ وَالْوَارِثِ؛ فَقَدْ يَكُونُ لِبَعْضِ الْوَرَثَةِ أَحْوَالٌ تَتَرَدَّدُ بَيْنَ الْوُجُودِ وَالْعَدَمِ، وَذَلِكَ كَالْحَمْلِ فِي الْبَطْنِ وَالْغَرْقَى وَالْهَدْمَى وَنَحْوِهِمْ وَالْمَفْقُودِ، وَتَرَدُّدٍ بَيْنَ كَوْنِ الْوَارِثِ ذَكَرًا أَوْ كَوْنِهِ أُنْثَى، وَذَلِكَ كَالْخُنْثَى الْمُشْكِلِ وَالْحَمْلِ فِي الْبَطْنِ.

Namun, ada kasus-kasus di mana masalahnya menjadi tidak jelas; kondisi pewaris dan ahli waris tidak diketahui; beberapa ahli waris mungkin memiliki kondisi yang berfluktuasi antara keberadaan dan ketiadaan, seperti janin dalam kandungan, orang yang tenggelam, tertimpa reruntuhan, dan sejenisnya, serta orang hilang, dan fluktuasi antara ahli waris laki-laki atau perempuan, seperti khuntsa musykil dan janin dalam kandungan.

وَبِنَاءً عَلَى هَذَا التَّرَدُّدِ فِي تِلْكَ الْأَحْوَالِ وَالْأَصْنَافِ مِنَ الْوَرَثَةِ وَالْمُوَرِّثِينَ؛ أُفْرِدَتْ بِأَبْوَابٍ خَاصَّةٍ تُسَمَّى أَبْوَابَ التَّوْرِيثِ بِالتَّقْدِيرِ وَالِاحْتِيَاطِ، وَهِيَ:

Dan berdasarkan fluktuasi dalam kondisi dan kategori ahli waris dan pewaris tersebut; bab-bab khusus yang disebut bab-bab warisan dengan estimasi dan kehati-hatian telah dikhususkan, yaitu:

١ بَابُ الْخُنْثَى الْمُشْكِلِ.

1. Bab khuntsa musykil.

٢ وَبَابُ الْحَمْلِ.

2. Bab janin.

٣ وَبَابُ الْمَفْقُودِ.

3. Bab orang hilang.

٤ وَبَابُ الْغَرْقَى وَالْهَدْمَى.

4. Bab orang yang tenggelam dan tertimpa reruntuhan.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْخُنْثَى

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْخُنْثَى

Bab tentang warisan khunṡā

فَالْخُنْثَى مَأْخُوذٌ مِنَ الِانْخِنَاثِ، وَهُوَ اللِّينُ وَالتَّكَسُّرُ وَالتَّثَنِّي، يُقَالُ: خَنَثَ فَمَ السِّقَاءِ: إِذَا كَسَرَهُ إِلَى خَارِجٍ وَشَرِبَ مِنْهُ. وَهُوَ فِي اصْطِلَاحِ الْفَرْضِيِّينَ شَخْصٌ لَهُ آلَةُ رَجُلٍ وَآلَةُ أُنْثَى، أَوْ لَيْسَ لَهُ آلَةٌ أَصْلًا.

Khunṡā diambil dari kata al-inkhinaṡ, yang berarti kelembutan, kelenturan, dan kelengkungan. Dikatakan: khanatha fama as-siqā' (dia melengkungkan mulut kantong air), jika dia membalikkannya ke luar dan minum darinya. Dalam istilah ahli faraidh, khunṡā adalah seseorang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan, atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali.

وَالْجِهَاتُ الَّتِي يُمْكِنُ وُجُودُهُ فِيهَا: الْبُنُوَّةُ، وَالْأُخُوَّةُ، وَالْعُمُومَةُ، وَالْوَلَاءُ؛ إِذْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَذْكُورِينَ كَوْنُهُ ذَكَرًا أَوْ كَوْنُهُ أُنْثَى. وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ الْخُنْثَى الْمُشْكِلُ أَبًا وَلَا أُمًّا وَلَا جَدًّا وَلَا جَدَّةً؛ إِذْ لَوْ كَانَ كَذَلِكَ؛ لَا يَضِحُّ أَمْرُهُ، فَلَمْ يَبْقَ مُشْكِلًا، وَلَا يُمْكِنُ كَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ الْخُنْثَى الْمُشْكِلُ زَوْجًا وَلَا زَوْجَةً؛ لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ تَزْوِيجُهُ مَا دَامَ مُشْكِلًا.

Kemungkinan posisi khunṡā adalah: sebagai anak, saudara, paman, atau maula (budak yang dimerdekakan); karena masing-masing dari yang disebutkan bisa berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Tidak mungkin khunṡā musykil menjadi ayah, ibu, kakek, atau nenek; karena jika demikian, maka statusnya akan jelas dan tidak lagi musykil (membingungkan). Demikian pula, tidak mungkin khunṡā musykil menjadi suami atau istri; karena tidak sah menikahkannya selama masih berstatus musykil.

وَقَدْ خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ بَنِي آدَمَ ذُكُورًا وَإِنَاثًا؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ﴾ .

Allah telah menciptakan anak cucu Adam sebagai laki-laki dan perempuan; Allah Ta'ala berfirman: "Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak." Dan Allah Ta'ala berfirman: "Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki."

وَقَدْ بَيَّنَ سُبْحَانَهُ حُكْمَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَمْ يُبَيِّنْ حُكْمَ مَنْ هُوَ ذَكَرٌ وَأُنْثَى، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجْتَمِعُ الْوَصْفَانِ فِي شَخْصٍ وَاحِدٍ، وَكَيْفَ يَتَأَتَّى

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan hukum masing-masing dari keduanya (laki-laki dan perempuan), dan tidak menjelaskan hukum orang yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus. Ini menunjukkan bahwa dua sifat tersebut tidak mungkin terkumpul dalam satu orang, dan bagaimana mungkin

ذَلِكَ وَبَيْنَهُمَا مُضَادَّةٌ؟!.

Itu dan di antara keduanya ada pertentangan?!.

وَقَدْ جَعَلَ ﷾ لِلتَّمْيِيزِ بَيْنَهُمَا عَلَامَاتٍ مُمَيِّزَةً، وَمَعَ ذَلِكَ قَدْ يَقَعُ الِاشْتِبَاهُ؛ بِأَنْ يُوجَدَ لِلشَّخْصِ آلَةُ أُنْثَى.

Dan Allah telah menjadikan tanda-tanda pembeda untuk membedakan antara keduanya, namun meskipun demikian, mungkin saja terjadi kesamaran; yaitu ditemukan pada seseorang alat kelamin perempuan.

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْخُنْثَى يُورَثُ بِحَسَبِ مَا يَظْهَرُ فِيهِ مِنْ عَلَامَاتٍ مُمَيِّزَةٍ:

Para ulama telah bersepakat bahwa khuntsa mewarisi sesuai dengan tanda-tanda pembeda yang tampak padanya:

فَمَثَلًا: إِنْ بَالَ مِنْ حَيْثُ يَبُولُ الرَّجُلُ؛ وَرِثَ مِيرَاثَ رَجُلٍ، وَإِنْ بَالَ مِنْ حَيْثُ تَبُولُ الْأُنْثَى؛ وَرِثَ مِيرَاثَ أُنْثَى؛ لِأَنَّ دَلَالَةَ الْبَوْلِ عَلَى الذُّكُورِ أَوِ الْأُنُوثَةِ مِنْ أَوْضَحِ الدَّلَالَاتِ وَأَعَمِّهَا؛ لِوُجُودِهَا مِنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ؛ فَبَوْلُهُ مِنْ إِحْدَى الْآلَتَيْنِ وَحْدَهَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مِنْ أَهْلِهَا، وَتَكُونُ الْآلَةُ الَّتِي لَا يَبُولُ مِنْهَا بِمَنْزِلَةِ الْعُضْوِ الزَّائِدِ وَالْعَيْبِ فِي الْخِلْقَةِ، فَإِنْ بَالَ مِنَ الْآلَتَيْنِ مَعًا؛ اعْتُبِرَ الْأَكْثَرُ مِنْهُمَا، وَإِنْ كَانَ فِي ابْتِدَاءِ الْأَمْرِ يَبُولُ مِنْ آلَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ صَارَ يَبُولُ مِنَ الْآلَتَيْنِ؛ اعْتَبَرْنَا الْآلَةَ الَّتِي ابْتَدَأَ الْبَوْلُ مِنْهَا، فَإِنِ اسْتَوَتِ الْآلَتَانِ فِي خُرُوجِ الْبَوْلِ مِنْهُمَا وَقْتًا وَكَمِّيَّةً؛ فَإِنَّهُ يُنْتَظَرُ بِهِ إِلَى ظُهُورِ عَلَامَةٍ أُخْرَى مِنَ الْعَلَامَاتِ الَّتِي تَظْهَرُ عِنْدَ الْبُلُوغِ، وَيَبْقَى مُشْكِلًا إِلَى آنَذَاكَ، لَكِنَّهُ يُرْجَى اتِّضَاحُ حَالِهِ عِنْدَ الْبُلُوغِ.

Misalnya: jika dia kencing dari tempat kencing laki-laki; maka dia mewarisi warisan laki-laki, dan jika dia kencing dari tempat kencing perempuan; maka dia mewarisi warisan perempuan; karena petunjuk kencing terhadap jenis kelamin laki-laki atau perempuan adalah petunjuk yang paling jelas dan paling umum; karena adanya pada anak kecil dan orang dewasa; maka kencingnya dari salah satu alat kelamin saja menunjukkan bahwa dia termasuk jenis kelamin tersebut, dan alat kelamin yang tidak digunakan untuk kencing dianggap sebagai anggota tubuh yang berlebih dan cacat dalam penciptaan, jika dia kencing dari kedua alat kelamin sekaligus; maka yang dipertimbangkan adalah yang lebih banyak di antara keduanya, dan jika pada awalnya dia kencing dari satu alat kelamin, kemudian menjadi kencing dari kedua alat kelamin; maka kita mempertimbangkan alat kelamin yang pertama kali mengeluarkan kencing, jika kedua alat kelamin sama dalam mengeluarkan kencing dari segi waktu dan jumlah; maka ditunggu sampai muncul tanda lain dari tanda-tanda yang muncul ketika baligh, dan dia tetap dianggap musykil sampai saat itu, tetapi diharapkan kejelasan kondisinya ketika baligh.

وَالْعَلَامَاتُ الَّتِي تُوجَدُ عِنْدَ الْبُلُوغِ مِنْهَا مَا هُوَ خَاصٌّ بِالرِّجَالِ كَنَبَاتِ الشَّارِبِ وَنَبَاتِ اللِّحْيَةِ وَخُرُوجِ الْمَنِيِّ مِنْ ذَكَرِهِ، فَإِذَا تَبَيَّنَ فِيهِ وَاحِدَةٌ مِنْ هَذِهِ الْعَلَامَاتِ؛ فَهُوَ رَجُلٌ، وَمِنْهَا عَلَامَاتٌ تَخْتَصُّ بِالنِّسَاءِ، وَهِيَ الْحَيْضُ وَالْحَبَلُ وَتَفَلُّكُ الثَّدْيَيْنِ، فَإِذَا تَبَيَّنَ فِيهِ عَلَامَةٌ مِنْ هَذِهِ الْعَلَامَاتِ؛ فَهُوَ أُنْثَى.

Dan tanda-tanda yang ada pada saat baligh di antaranya ada yang khusus untuk laki-laki seperti tumbuhnya kumis dan jenggot serta keluarnya mani dari kemaluannya, jika tampak padanya salah satu dari tanda-tanda ini; maka dia adalah laki-laki, dan di antaranya ada tanda-tanda yang khusus untuk perempuan, yaitu haid, hamil, dan membesarnya payudara, jika tampak padanya salah satu dari tanda-tanda ini; maka dia adalah perempuan.

فَإِنْ لَمْ يَظْهَرْ فِيهِ شَيْءٌ مِنْ عَلَامَاتِ الرِّجَالِ وَلَا عَلَامَاتِ الْإِنَاثِ

Jika tidak tampak padanya sesuatu pun dari tanda-tanda laki-laki maupun tanda-tanda perempuan

عِنْدَ الْبُلُوغِ؛ بَقِيَ مُشْكِلًا لَا يُرْجَى اتِّضَاحُ حَالِهِ، وَلِلْعُلَمَاءِ فِي كَيْفِيَّةِ تَوْرِيثِهِ وَتَوْرِيثِ مَنْ مَعَهُ فِي الْحَالَتَيْنِ مَذَاهِبُ:

Ketika pubertas; tetap menjadi masalah yang tidak diharapkan untuk menjadi jelas, dan para ulama memiliki pendapat tentang bagaimana mewariskannya dan mewariskan orang yang bersamanya dalam kedua kasus:

فَمِنْهُمْ مَنْ يَرَى أَنَّ الْخُنْثَى الْمُشْكِلَ يُعَامَلُ بِالْأَضَرِّ دُونَ مَنْ مَعَهُ، فَيُعْطَى الْأَقَلَّ مِنْ نَصِيبِهِ إِذَا قُدِّرَ ذَكَرًا أَوْ نَصِيبِهِ إِذَا قُدِّرَ أُنْثَى، وَإِنْ كَانَ لَا يَرِثُ فِي أَحَدِ الْقَدِيرَيْنِ؛ لَمْ يُعْطَ شَيْئًا.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa khuntsa musykil diperlakukan dengan yang paling merugikan tanpa orang yang bersamanya, sehingga ia diberi bagian terkecil jika dianggap laki-laki atau bagiannya jika dianggap perempuan, dan jika ia tidak mewarisi dalam salah satu dari dua perkiraan; ia tidak diberi apa pun.

وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَرَى أَنَّهُ يُعَامَلُ الْخُنْثَى وَمَنْ مَعَهُ فِي الْحَالَتَيْنِ بِالْأَضَرِّ، وَيُوقَفُ الْبَاقِي إِلَى اتِّضَاحِ حَالِ الْخُنْثَى أَوِ اصْطِلَاحِ الْوَرَثَةِ عَلَى اقْتِسَامِهِ.

Dan di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa khuntsa dan orang yang bersamanya diperlakukan dalam kedua kasus dengan yang paling merugikan, dan sisanya ditangguhkan hingga jelas keadaan khuntsa atau kesepakatan ahli waris untuk membaginya.

وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَرَى أَنَّ الْخُنْثَى الْمُشْكِلَ يُعْطَى نِصْفَ نَصِيبِ ذَكَرٍ وَأُنْثَى إِنْ وَرِثَ بِهِمَا مُتَفَاضِلًا، وَإِنْ وَرِثَ بِأَحَدِ التَّقْدِيرَيْنِ دُونَ الْآخَرِ؛ فَلَهُ نِصْفُ التَّقْدِيرِ الَّذِي يَرِثُ بِهِ، وَهَذَا الْحُكْمُ يُعْمَلُ بِهِ سَوَاءٌ كَانَ يُرْجَى اتِّضَاحُ حَالِ الْخُنْثَى أَوْ لَايُرْجَى

Dan di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa khuntsa musykil diberi setengah bagian laki-laki dan perempuan jika ia mewarisi dengan keduanya secara berbeda, dan jika ia mewarisi dengan salah satu dari dua perkiraan tanpa yang lain; maka ia mendapat setengah dari perkiraan yang dengannya ia mewarisi, dan hukum ini berlaku sama apakah diharapkan kejelasan keadaan khuntsa atau tidak diharapkan

وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَرَى التَّفْصِيلَ، فَإِنْ كَانَ يُرْجَى اتِّضَاحُ حَالِ الْخُنْثَى؛ عُومِلَ هُوَ وَمَنْ مَعَهُ بِالْأَضَرِّ، فَيُعْطَى هُوَ وَمَنْ مَعَهُ الْمُتَيَقَّنَ مِنْ مِيرَاثِهِ، وَيُوقَفُ الْبَاقِي إِلَى اتِّضَاحِ حَلِّهِ، وَإِنْ كَانَ لَا يُرْجَى اتِّضَاحُ حَلِّهِ؛ فَإِنَّ الْخُنْثَى يُعْطَى نِصْفَ مِيرَاثِ ذَكَرٍ وَنِصْفَ مِيرَاثِ أُنْثَى إِنْ وَرِثَ بِالتَّقْدِيرَيْنِ، وَإِنْ وَرِثَ بِأَحَدِ التَّقْدِيرَيْنِ؛ أُعْطِيَ نِصْفَ مَا يَسْتَحِقُّهُ بِهِ. وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

Dan di antara para ulama ada yang berpendapat dengan perincian, jika diharapkan kejelasan keadaan khuntsa; ia dan orang yang bersamanya diperlakukan dengan yang paling merugikan, sehingga ia dan orang yang bersamanya diberi bagian yang pasti dari warisannya, dan sisanya ditangguhkan hingga jelas penyelesaiannya, dan jika tidak diharapkan kejelasan penyelesaiannya; maka khuntsa diberi setengah warisan laki-laki dan setengah warisan perempuan jika ia mewarisi dengan dua perkiraan, dan jika ia mewarisi dengan salah satu dari dua perkiraan; ia diberi setengah dari apa yang menjadi haknya dengannya. Dan Allah Ta'ala lebih mengetahui.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْحَمْلِ

قَدْ يَكُونُ مِنْ جُمْلَةِ الْوَرَثَةِ حَمْلٌ، وَمَعْلُومٌ حِينَئِذٍ مَا يَحْصُلُ مِنَ الْإِشْكَالِ النَّاشِئِ عَنْ جَهَالَةِ الْحَالَةِ الَّتِي يَكُونُ عَلَيْهَا مِنْ حَيَاةٍ أَوْ مَوْتٍ وَتَعَدُّدٍ وَانْفِرَادٍ وَأُنُوثَةٍ وَذُكُورَةٍ، وَالْحُكْمُ يَخْتَلِفُ غَالِبًا بِاخْتِلَافِ تِلْكَ الِاحْتِمَالَاتِ، مِنْ هُنَا اهْتَمَّ الْعُلَمَاءُ ﵏ بِشَأْنِهِ، فَعَقَدُوا لَهُ بَابًا خَاصًّا فِي كُتُبِ الْمَوَارِيثِ.

Mungkin ada janin di antara para ahli waris, dan ketika itu diketahui apa yang terjadi dari masalah yang timbul dari ketidaktahuan tentang keadaan yang ada padanya, dari kehidupan atau kematian, pluralitas dan individualitas, feminitas dan maskulinitas, dan hukum seringkali berbeda dengan perbedaan kemungkinan tersebut. Dari sinilah para ulama ﵏ memperhatikan urusannya, dan mereka mendedikasikan bab khusus untuknya dalam kitab-kitab warisan.

وَالْحَمْلُ مَا يُحْمَلُ فِي الْبَطْنِ مِنَ الْوَلَدِ، وَالْمُرَادُ بِهِ هُنَا مَا فِي بَطْنِ الْآدَمِيَّةِ إِذَا تُوُفِّيَ الْمُورِثُ وَهِيَ حَامِلٌ بِهِ، وَكَانَ يَرِثُ أَوْ يَحْجُبُ بِكُلِّ تَقْدِيرٍ، أَوْ يَرِثُ أَوْ يَحْجُبُ فِي بَعْضِ التَّقَادِيرِ، إِذَا انْفَصَلَ حَيًّا.

Janin adalah apa yang dikandung dalam perut dari anak, dan yang dimaksud di sini adalah apa yang ada di dalam perut seorang wanita jika pewaris meninggal dan dia sedang mengandungnya, dan janin itu mewarisi atau menghalangi dengan setiap estimasi, atau mewarisi atau menghalangi dalam beberapa estimasi, jika terpisah dalam keadaan hidup.

وَالْحَمْلُ الَّذِي يَرِثُ بِالْإِجْمَاعِ هُوَ الَّذِي يَتَحَقَّقُ فِيهِ شَرْطَانِ

Janin yang mewarisi dengan ijmak adalah yang memenuhi dua syarat

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: وُجُودُهُ فِي الرَّحِمِ حِينَ مَوْتِ الْمُورِثِ، وَلَوْ نُطْفَةً

Syarat pertama: keberadaannya dalam rahim ketika kematian pewaris, meskipun sebagai nutfah

الشَّرْطُ الثَّانِي: انْفِصَالُهُ حَيًّا حَيَاةً مُسْتَقِرَّةً؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِذَا اسْتَهَلَّ الْمَوْلُودُ؛ وَرِثَ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَنَقَلَ عَنِ ابْنِ حِبَّانَ تَصْحِيحَهُ،

Syarat kedua: terpisah dalam keadaan hidup yang stabil; karena sabda Nabi ﷺ: "Jika bayi menangis (saat lahir); maka ia mewarisi", diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dinukil dari Ibnu Hibban tentang kesahihannya,

وَمَعْنَى اسْتِهْلَالِ الْمَوْلُودِ بُكَاؤُهُ عِنْدَ وِلَادَتِهِ بِرَفْعِ صَوْتِهِ، وَقِيلَ: مَعْنَى الِاسْتِهْلَالِ أَنْ يُوجَدَ مِنْهُ دَلِيلُ الْحَيَاةِ مِنْ بُكَاءٍ أَوْ عُطَاسٍ أَوْ حَرَكَةٍ، وَلَا يَخْتَصُّ بِالْبُكَاءِ؛ فَالِاسْتِهْلَالُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ دَلِيلٌ عَلَى انْفِصَالِهِ حَيًّا حَيَاةً مُسْتَقِرَّةً، وَبِهِ يَتَحَقَّقُ الشَّرْطُ الثَّانِي.

Dan arti dari istihlaalu al-mauluud adalah tangisannya saat lahir dengan mengeraskan suaranya, dan dikatakan: arti dari al-istihlaal adalah ditemukannya tanda-tanda kehidupan darinya seperti tangisan, bersin, atau gerakan, dan tidak terbatas pada tangisan; maka al-istihlaal setelah kelahiran adalah bukti atas terpisahnya ia dalam keadaan hidup dengan kehidupan yang stabil, dan dengannya terpenuhi syarat yang kedua.

أَمَّا الشَّرْطُ الْأَوَّلُ وَهُوَ وُجُودُهُ فِي الرَّحِمِ حِينَ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ؛ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى تَحَقُّقِهِ بِأَنْ تَلِدَهُ فِي الْمُدَّةِ الْمُحَدَّدَةِ لِلْحَمْلِ، وَلَهَا أَقَلُّ وَلَهَا أَكْثَرُ بِحَسَبِ الْأَحْوَالِ، وَذَلِكَ أَنَّ لِلْحَمْلِ الْمَوْلُودِ بَعْدَ وَفَاةِ الْمُوَرِّثِ ثَلَاثَ حَالَاتٍ:

Adapun syarat yang pertama yaitu keberadaannya dalam rahim ketika kematian pewaris; maka hal itu dibuktikan dengan dilahirkannya ia dalam masa yang ditentukan untuk kehamilan, dan kehamilan memiliki batas minimal dan maksimal sesuai keadaan, dan itu karena kehamilan yang dilahirkan setelah kematian pewaris memiliki tiga keadaan:

الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ تَلِدَهُ حَيًّا قَبْلَ مُضِيِّ زَمَنِ أَقَلِّ مُدَّةِ الْحَمْلِ مِنْ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ؛ فَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَرِثُ مُطْلَقًا؛ لِأَنَّ حَيَاتَهُ بَعْدَ الْوِلَادَةِ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ كَانَ مَوْجُودًا قَبْلَ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ، وَأَقَلُّ مُدَّةِ الْحَمْلِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا﴾، مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ﴾، فَإِذَا طُرِحَ الْحَوْلَانِ وَهُمَا أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ شَهْرًا مِنْ ثَلَاثِينَ شَهْرًا؛ بَقِيَ سِتَّةُ أَشْهُرٍ، وَهِيَ أَقَلُّ مُدَّةِ الْحَمْلِ.

Keadaan pertama: bahwa ia dilahirkan hidup sebelum berlalunya waktu minimal masa kehamilan dari kematian pewaris; maka dalam keadaan ini ia mewarisi secara mutlak; karena kehidupannya setelah kelahiran dalam masa ini adalah bukti bahwa ia telah ada sebelum kematian pewaris, dan masa kehamilan minimal adalah enam bulan berdasarkan ijma' para ulama; karena firman Allah Ta'ala: "Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan", dengan firman-Nya Ta'ala: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh", maka jika diambil dua tahun yaitu dua puluh empat bulan dari tiga puluh bulan; maka tersisa enam bulan, dan itu adalah masa kehamilan minimal.

الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَلِدَهُ بَعْدَ مُضِيِّ زَمَنِ أَكْثَرِ مُدَّةِ الْحَمْلِ مِنْ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ؛ فَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ لَا يَرِثُ؛ لِأَنَّ وِلَادَتَهُ بَعْدَ هَذِهِ الْمُدَّةِ تَدُلُّ عَلَى حُدُوثِهِ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ.

Keadaan kedua: bahwa ia dilahirkan setelah berlalunya waktu maksimal masa kehamilan dari kematian pewaris; maka dalam keadaan ini ia tidak mewarisi; karena kelahirannya setelah masa ini menunjukkan bahwa ia terjadi setelah kematian pewaris.

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي تَحْدِيدِ أَكْثَرِ مُدَّةِ الْحَمْلِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ:

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa kehamilan maksimal menjadi tiga pendapat:

الأَوَّلُ: أَنَّ أَكْثَرَ مُدَّةِ الْحَمْلِ سَنَتَانِ؛ لِقَوْلِ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ ﵂: "لَا يَبْقَى الْوَلَدُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَكْثَرَ مِنْ سَنَتَيْنِ"، وَمِثْلُ هَذَا لَا مَجَالَ لِلِاجْتِهَادِ فِيهِ؛ فَلَهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ

Pertama: bahwa masa kehamilan maksimal adalah dua tahun; berdasarkan perkataan Ummul Mukminin Aisyah ﵂: "Anak tidak akan berada di dalam perut ibunya lebih dari dua tahun", dan hal seperti ini tidak ada ruang untuk ijtihad di dalamnya; maka ia memiliki hukum marfu' kepada Nabi ﷺ.

الثَّانِي: أَنَّ أَكْثَرَ مُدَّةِ الْحَمْلِ أَرْبَعُ سِنِينَ؛ لِأَنَّ مَا لَا نَصَّ فِيهِ يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى الْوُجُودِ، وَقَدْ وُجِدَ بَقَاءُ الْحَمْلِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ إِلَى أَرْبَعِ سِنِينَ.

Kedua: bahwa masa kehamilan maksimal adalah empat tahun; karena apa yang tidak ada nash di dalamnya maka dikembalikan kepada kenyataan, dan telah ditemukan keberadaan kehamilan di dalam perut ibunya hingga empat tahun.

الثَّالِثُ: أَنَّ أَكْثَرَ مُدَّةِ الْحَمْلِ خَمْسُ سِنِينَ.

Ketiga: bahwa masa kehamilan maksimal adalah lima tahun.

وَأَرْجَحُ الْأَقْوَالِ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ أَكْثَرَ مُدَّةِ الْحَمْلِ أَرْبَعُ سِنِينَ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ بِالتَّحْدِيدِ دَلِيلٌ، فَيُرْجَعُ فِيهِ إِلَى الْوُجُودِ، وَقَدْ وُجِدَ أَرْبَعُ سِنِينَ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Dan pendapat yang paling kuat, wallahu a'lam, bahwa masa kehamilan maksimal adalah empat tahun; karena tidak ada dalil yang menetapkan dengan pasti, maka dikembalikan kepada kenyataan, dan telah ditemukan empat tahun, wallahu a'lam.

الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَلِدَهُ فِيمَا فَوْقَ الْحَدِّ الْأَدْنَى لِمُدَّةِ الْحَمْلِ وَدُونَ الْحَدِّ الْأَعْلَى لَهَا؛ فَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ: إِنْ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجٍ أَوْ سَيِّدٍ يَطَؤُهَا فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ؛ فَإِنَّ الْحَمْلَ لَا يَرِثُ مِنَ الْمَيِّتِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَحَقِّقِ الْوُجُودِ حِينَ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ؛ لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُونَ مِنْ وَطْءٍ حَادِثٍ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تُوطَأُ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ لِعَدَمِ الزَّوْجِ أَوِ السَّيِّدِ أَوْ غَيْبَتِهِمَا أَوْ تَرْكِهِمَا الْوَطْءَ عَجْزًا أَوِ امْتِنَاعًا؛ فَإِنَّ الْحَمْلَ يَرِثُ؛ لِأَنَّهُ مُتَحَقِّقُ الْوُجُودِ.

Keadaan ketiga: bahwa ia melahirkannya di atas batas minimal masa kehamilan dan di bawah batas maksimalnya; maka dalam keadaan ini: jika ia berada di bawah suami atau tuan yang menyetubuhinya pada masa ini; maka janin tidak mewarisi dari orang yang meninggal; karena keberadaannya tidak pasti ketika kematian pewaris; karena kemungkinan ia berasal dari persetubuhan yang terjadi setelah kematian pewaris, dan jika ia tidak disetubuhi pada masa ini karena ketiadaan suami atau tuan atau karena ketidakhadiran mereka atau karena mereka meninggalkan persetubuhan karena ketidakmampuan atau penolakan; maka janin mewarisi; karena keberadaannya pasti.

هَذَا وَقَدِ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْمَوْلُودَ إِذَا اسْتَهَلَّ بَعْدَ وِلَادَتِهِ؛ فَقَدْ تَحَقَّقَتْ وِلَادَتُهُ حَيًّا حَيَاةً مُسْتَقِرَّةً، وَاخْتَلَفُوا فِيمَا سِوَى الِاسْتِهْلَالِ؛ كَالْحَرَكَةِ وَالرَّضَاعِ وَالتَّنَفُّسِ؛ فَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَقْتَصِرُ عَلَى الِاسْتِهْلَالِ وَلَا

Ini dan para ulama telah sepakat bahwa jika bayi menangis setelah kelahirannya; maka kelahirannya dalam keadaan hidup dengan kehidupan yang stabil telah terbukti, dan mereka berbeda pendapat tentang selain tangisan; seperti gerakan, menyusu, dan bernapas; maka di antara para ulama ada yang membatasi pada tangisan dan tidak

يَلْحَقُ بِهِ غَيْرُهُ مِنْ هَذِهِ الْأُمُورِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُعَمِّمُ فَيُلْحِقُ بِالِاسْتِهْلَالِ كُلَّ مَا دَلَّ عَلَى حَيَاةِ الْمَوْلُودِ، وَهَذَا هُوَ الْأَرْجَحُ؛ لِأَنَّ الِاسْتِهْلَالَ لَا يَقْتَصِرُ تَفْسِيرُهُ عَلَى الصُّرَاخِ فَقَطْ، بَلْ يَشْمَلُ الْحَرَكَةَ وَنَحْوَهَا عِنْدَ بَعْضِ الْعُلَمَاءِ، وَحَتَّى لَوِ اقْتَصَرَ تَفْسِيرُ الِاسْتِهْلَالِ عَلَى الصَّوْتِ وَالصُّرَاخِ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَمْنَعُ الِاسْتِدْلَالَ بِالْعَلَامَاتِ الْأُخْرَى. وَاللهُ أَعْلَمُ.

Hal lain yang termasuk dalam hal ini, dan di antara mereka ada yang mengumumkan bahwa semua yang menunjukkan kehidupan bayi termasuk dalam istihilal, dan ini adalah yang paling kuat; karena istihilal tidak terbatas pada interpretasi tangisan saja, tetapi mencakup gerakan dan sejenisnya menurut sebagian ulama, dan bahkan jika interpretasi istihilal terbatas pada suara dan tangisan; maka hal itu tidak menghalangi untuk menggunakan tanda-tanda lainnya sebagai dalil. Dan Allah yang lebih mengetahui.

كَيْفِيَّةُ تَوْرِيثِ الْحَمْلِ

Cara mewariskan kepada janin

إِذَا كَانَ فِي الْوَرَثَةِ حَمْلٌ، وَطَلَبُوا الْقِسْمَةَ قَبْلَ وَضْعِهِ وَمَعْرِفَةِ حَالَتِهِ مِنْ حَيْثُ الْإِرْثُ وَعَدَمُهُ؛ فَالَّذِي يَنْبَغِي فِي هَذِهِ الْحَالَةِ الِانْتِظَارُ حَتَّى يُعْرَفَ مَصِيرُ الْحَمْلِ، خُرُوجًا مِنَ الْخِلَافِ، وَلِتَكُونَ الْقِسْمَةُ مَرَّةً وَاحِدَةً.

Jika di antara ahli waris terdapat janin, dan mereka meminta pembagian sebelum kelahirannya dan mengetahui keadaannya dari segi warisan dan ketiadaannya; maka yang seharusnya dilakukan dalam keadaan ini adalah menunggu hingga diketahui nasib janin tersebut, keluar dari perselisihan, dan agar pembagian dilakukan sekaligus.

فَإِنْ لَمْ يَرْضَ الْوَرَثَةُ بِالتَّأْخِيرِ وَالِانْتِظَارِ إِلَى وَضْعِ الْحَمْلِ؛ فَهَلْ يُمَكَّنُونَ مِنَ الْقِسْمَةِ؟، اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ ﵏ فِي ذَلِكَ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Jika para ahli waris tidak rela dengan penundaan dan menunggu hingga kelahiran janin; apakah mereka dapat melakukan pembagian?, para ulama ﵏ berbeda pendapat tentang hal itu menjadi dua pendapat:

الْقَوْلُ الْأَوَّلُ: أَنَّهُمْ لَا يُمَكَّنُونَ وَذَلِكَ؛ لِشَكٍّ فِي شَأْنِ الْحَمْلِ، وَجَهَالَةِ حَالَتِهِ وَتَعَدُّدِ الِاحْتِمَالَاتِ فِي شَأْنِهِ تَعَدُّدًا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ اخْتِلَافٌ كَبِيرٌ فِي مِقْدَارِ إِرْثِهِ وَإِرْثِ مَنْ مَعَهُ.

Pendapat pertama: bahwa mereka tidak dapat melakukannya karena; keraguan tentang kondisi janin, ketidaktahuan tentang keadaannya, dan banyaknya kemungkinan dalam urusannya yang menyebabkan perbedaan besar dalam jumlah warisannya dan warisan orang yang bersamanya.

الْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْوَرَثَةَ يُمَكَّنُونَ مِنْ طَلَبِهِمْ، وَلَا يُجْبَرُونَ عَلَى الِانْتِظَارِ؛ لِأَنَّ فِيهِ إِضْرَارًا بِهِمْ؛ إِذْ رُبَّمَا يَكُونُ بَعْضُهُمْ فُقَرَاءَ، وَمُدَّةُ الْحَمْلِ قَدْ تَطُولُ، وَالْحَمْلُ يُحْتَاطُ لَهُ، فَيُوقَفُ لَهُ مَا يَضْمَنُ سَلَامَةَ نَصِيبِهِ؛ فَلَا دَاعِيَ لِتَأْخِيرِ.

Pendapat kedua: bahwa para ahli waris dapat melakukan permintaan mereka, dan tidak dipaksa untuk menunggu; karena hal itu merugikan mereka; karena mungkin sebagian dari mereka miskin, dan masa kehamilan mungkin panjang, dan janin itu dilindungi, maka dihentikan untuknya apa yang menjamin keselamatan bagiannya; maka tidak perlu menunda.

وَهَذَا هُوَ الْقَوْلُ الرَّاجِحُ فِيمَا يَظْهَرُ، لَكِنِ اخْتَلَفَ أَصْحَابُ هَذَا الْقَوْلِ فِي الْمِقْدَارِ الَّذِي يُوقَفُ لَهُ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ فِي الْبَطْنِ لَا يُعْلَمُ حَقِيقَتَهُ إِلَّا اللهُ،

Dan inilah pendapat yang kuat sebagaimana yang tampak, tetapi para pendukung pendapat ini berbeda pendapat tentang jumlah yang dihentikan untuknya; karena janin dalam perut tidak diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah,

تَتَجَاذَبُهُ احْتِمَالَاتٌ كَثِيرَةٌ؛ مِنْ حَيَاتِهِ وَمَوْتِهِ، وَتَعَدُّدِهِ وَانْفِرَادِهِ، وَذُكُورِيَّتِهِ وَأُنُوثَتِهِ، وَلَا شَكَّ أَنَّ هَذِهِ الِاحْتِمَالَاتِ الْمُتَعَدِّدَةَ تُؤَثِّرُ عَلَى مِقْدَارِ إِرْثِهِ وَإِرْثِ مَنْ مَعَهُ؛ لِذَلِكَ اخْتَلَفُوا فِي الْمِقْدَارِ الَّذِي يُوقَفُ لِلْحَمْلِ عَلَى أَقْوَالٍ:

Ada banyak kemungkinan yang menariknya; dari kehidupan dan kematiannya, keragaman dan kesendiriannya, maskulinitas dan femininitasnya, dan tidak diragukan lagi bahwa kemungkinan-kemungkinan ini mempengaruhi jumlah warisannya dan warisan orang-orang bersamanya; oleh karena itu mereka berbeda pendapat tentang jumlah yang ditahan untuk janin berdasarkan beberapa pendapat:

الْقَوْلُ الْأَوَّلُ: أَنَّهُ لَا ضَبْطَ لِعَدَدِ الْحَمْلِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُعْلَمُ أَكْثَرُ عَدَدٍ مَا تَحْمِلُ بِهِ الْمَرْأَةُ مِنَ الْأَجِنَّةِ، لَكِنْ يُنْظَرُ فِي حَالَةِ الْوَرَثَةِ الَّذِينَ يَرِثُونَ مَعَ الْحَمْلِ؛ فَمَنْ يَرِثُ فِي بَعْضِ التَّقَادِيرِ دُونَ بَعْضٍ، أَوْ كَانَ نَصِيبُهُ غَيْرَ مُقَدَّرٍ؛ كَالْعَاصِبِ؛ فَهَذَا لَا يُعْطَى شَيْئًا، وَمَنْ يَرِثُ فِي جَمِيعِ التَّقَادِيرِ مُتَفَاضِلًا؛ فَإِنَّهُ يُعْطَى الْأَنْقَصَ، وَمَنْ لَا يَخْتَلِفُ نَصِيبُهُ فِي جَمِيعِ التَّقَادِيرِ؛ فَإِنَّهُ يُعْطَى نَصِيبَهُ كَامِلًا، ثُمَّ يُوقَفُ الْبَاقِي بَعْدَ هَذِهِ الِاعْتِبَارَاتِ؛ إِلَّا أَنْ يَنْكَشِفَ أَمْرُ الْحَمْلِ.

Pendapat pertama: Tidak ada batasan untuk jumlah janin; karena tidak diketahui jumlah maksimum janin yang dikandung oleh seorang wanita, tetapi dilihat kondisi ahli waris yang mewarisi bersama janin; barangsiapa yang mewarisi dalam beberapa perkiraan tanpa yang lain, atau bagiannya tidak ditentukan; seperti 'ashabah; maka ia tidak diberi apa pun, dan barangsiapa yang mewarisi dalam semua perkiraan dengan perbedaan; maka ia diberi yang paling sedikit, dan barangsiapa yang bagiannya tidak berbeda dalam semua perkiraan; maka ia diberi bagiannya secara penuh, kemudian sisanya ditahan setelah pertimbangan ini; kecuali jika perkara janin terungkap.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُعَامَلُ الْحَمْلُ بِالْأَحْظَى، وَيُعَامَلُ الْوَرَثَةُ مَعَ بِالْأَضَرِّ، فَيُوقَفُ لِلْحَمْلِ الْأَكْثَرُ مِنْ مِيرَاثِ ذَكَرَيْنِ أَوْ أُنْثَيَيْنِ، وَيُعْطَى الْوَارِثُ مَعَهُ الْيَقِينَ مِنْ تَصِيبِهِ، فَإِذَا وُلِدَ الْحَمْلُ، وَتَبَيَّنَ أَمْرُهُ؛ أَخَذَ مِنَ الْمَوْقُوفِ مَا يَسْتَحِقُّهُ وَرَدَّ الْبَاقِيَ إِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ نَصِيبِهِ أَوْ أَخَذَهُ كَامِلًا إِنْ كَانَ قَدْرَ نَصْبِيهِ، وَإِنْ كَانَ أَنْقَصَ مِنْ نَصِيبِهِ؛ رَجَعَ عَلَى الْوَرَثَةِ بِمَا نَقَصَ.

Pendapat kedua: Janin diperlakukan dengan yang paling menguntungkan, dan ahli waris diperlakukan dengan yang paling merugikan, maka ditahan untuk janin yang lebih banyak dari warisan dua anak laki-laki atau dua anak perempuan, dan ahli waris bersamanya diberi kepastian dari bagiannya, maka jika janin lahir, dan perkaranya menjadi jelas; ia mengambil dari yang ditahan apa yang menjadi haknya dan mengembalikan sisanya jika lebih dari bagiannya atau mengambilnya secara penuh jika sesuai dengan bagiannya, dan jika kurang dari bagiannya; ia kembali kepada ahli waris dengan apa yang kurang.

الْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يُوقَفُ لِلْحَمْلِ حَظُّ ابْنٍ وَاحِدٍ أَوْ بِنْتٍ وَاحِدَةٍ أَيُّهُمَا أَكْثَرُ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ الْمُعْتَادَ أَنْ لَا تَلِدَ الْأُنْثَى أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍ فِي بَطْنٍ وَاحِدٍ، فَيُنْبَنِي الْحُكْمُ عَلَى الْغَالِبِ، وَيَأْخُذُ الْقَاضِي مِنَ الْوَرَثَةِ كَفِيلًا بِالزِّيَادَةِ عَلَى نَصِيبِ الْوَاحِدِ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ عَاجِزٌ عَنِ النَّظَرِ لِنَفْسِهِ، فَيَنْظُرُ لَهُ الْقَاضِي احْتِيَاطًا.

Pendapat ketiga: Ditahan untuk janin bagian satu anak laki-laki atau satu anak perempuan mana yang lebih banyak; karena yang umum dan biasa adalah bahwa seorang wanita tidak melahirkan lebih dari satu dalam satu kandungan, maka hukum dibangun atas yang umum, dan hakim mengambil dari ahli waris penjamin dengan tambahan atas bagian satu orang; karena janin tidak mampu melihat untuk dirinya sendiri, maka hakim melihat untuknya sebagai tindakan pencegahan.

وَالرَّاجِحُ مِنْ هَذِهِ الْأَقْوَالِ مَا كَانَ فِيهِ الِاحْتِيَاطُ أَكْثَرَ، وَهُوَ الْقَوْلُ الثَّانِي؛ لِأَنَّ وِلَادَةَ الِاثْنَيْنِ فِي بَطْنٍ وَاحِدٍ كَثِيرَةُ الْوُقُوعِ، وَمَا زَادَ عَلَى الِاثْنَيْنِ نَادِرٌ، وَأَخْذُ الْكَفِيلِ كَمَا فِي الْقَوْلِ الثَّالِثِ قَدْ يَتَعَذَّرُ، وَحَتَّى

Yang lebih kuat dari pendapat-pendapat ini adalah yang di dalamnya tindakan pencegahan lebih banyak, yaitu pendapat kedua; karena kelahiran dua anak dalam satu kandungan sering terjadi, dan yang lebih dari dua adalah jarang, dan mengambil penjamin seperti dalam pendapat ketiga mungkin sulit, dan bahkan

لَوْ وُجِدَ الكَفِيلُ؛ فَقَدْ يَعْتَرِيهِ مَا يَعْتَرِيهِ، فَيَعْجِزُ عَنِ التَّحَمُّلِ، فَيَضِيعُ حَقُّ الحَمْلِ إِذَا تَبَيَّنَ أَكْثَرُ مِنْ وَاحِدٍ.

Jika ada penjamin; mungkin dia akan mengalami apa yang dialaminya, sehingga dia tidak mampu menanggung, maka hak janin akan hilang jika ternyata lebih dari satu.

فَعَلَى القَوْلِ المُرَجَّحِ يُجْعَلُ لِلْحَمْلِ سِتَّةُ تَقَادِيرَ؛ لِأَنَّهُ إِمَّا أَنْ يَنْفَصِلَ حَيًّا حَيَاةً مُسْتَقِرَّةً، وَإِمَّا يَنْفَصِلَ مَيِّتًا، وَإِذَا انْفَصَلَ حَيًّا حَيَاةً مُسْتَقِرَّةً، فَإِمَّا أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا فَقَطْ أَوْ أُنْثَى فَقَطْ، أَوْ ذَكَرًا وَأُنْثَى، أَوْ ذَكَرَيْنِ، أَوْ أُنْثَيَيْنِ؛ فَهَذِهِ سِتَّةُ مَقَادِيرَ، يُجْعَلُ لِكُلِّ تَقْدِيرٍ مَسْأَلَةٌ، وَتُجْرَى عَلَيْهَا العَمَلِيَّةُ الحِسَابِيَّةُ، وَيُنْظَرُ فِي أَحْوَالِ الوَرَثَةِ: فَمَنْ كَانَ يَرِثُ فِي جَمِيعِ المَسَائِلِ مُتَسَاوِيًا؛ أَعْطَيْتَهُ نَصِيبَهُ كَامِلًا، وَمَنْ كَانَ يَرِثُ فِيهَا مُتَفَاضِلًا؛ أَعْطَيْتَهُ الأَنْقَصَ، وَمَنْ كَانَ يَرِثُ فِي بَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ؛ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا وَيُوقَفُ البَاقِي إِلَى أَنْ يَتَّضِحَ حَالُ الحَمْلِ كَمَا سَبَقَ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Menurut pendapat yang kuat, janin diberi enam perkiraan; karena ia bisa saja terpisah dalam keadaan hidup yang stabil, atau terpisah dalam keadaan mati, dan jika terpisah dalam keadaan hidup yang stabil, maka ia bisa jadi hanya laki-laki atau hanya perempuan, atau laki-laki dan perempuan, atau dua laki-laki, atau dua perempuan; ini adalah enam perkiraan, setiap perkiraan dibuat satu masalah, dan dilakukan operasi perhitungan padanya, dan dilihat kondisi para ahli waris: siapa yang mewarisi dalam semua masalah secara sama; Anda memberinya bagiannya secara penuh, dan siapa yang mewarisi di dalamnya secara berbeda; Anda memberinya yang paling sedikit, dan siapa yang mewarisi dalam sebagiannya tanpa sebagian yang lain; Anda tidak memberinya apa pun dan menahan sisanya sampai kondisi janin menjadi jelas seperti yang telah lalu, dan Allah yang Maha Mengetahui.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْمَفْقُودِ

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْمَفْقُودِ

Bab tentang warisan orang yang hilang

الْمَفْقُودُ لُغَةً: اسْمُ مَفْعُولٍ مِنْ فَقَدَ الشَّيْءَ: إِذَا عَدِمَهُ، وَالْفَقْدُ أَنْ تَطْلُبَ الشَّيْءَ فَلَا تَجِدَهُ، وَالْمُرَادُ بِالْمَفْقُودِ هُنَا مَنِ انْقَطَعَ خَبَرُهُ وَجُهِلَ حَالُهُ؛ فَلَا يُدْرَى أَحَيٌّ هُوَ أَمْ مَيِّتٌ، سَوَاءٌ كَانَ سَبَبُ سَفَرِهِ أَوْ حُضُورِهِ قِتَالًا أَوِ انْكِسَارَ سَفِينَةٍ أَوْ أَسْرِهِ فِي أَيْدِي أَهْلِ الْحَرْبِ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ.

Secara bahasa, al-mafqūd adalah isim maf'ūl dari faqada asy-syai' (kehilangan sesuatu), yaitu ketika ia kehilangan sesuatu. Al-faqd adalah ketika Anda mencari sesuatu tetapi tidak menemukannya. Yang dimaksud dengan al-mafqūd di sini adalah orang yang terputus kabarnya dan tidak diketahui keadaannya; tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal, baik penyebab kepergiannya atau kehadirannya adalah peperangan, kecelakaan kapal, ditawan oleh musuh, atau lainnya.

وَلَمَّا كَانَ حَالُ الْمَفْقُودِ وَقْتَ فَقْدِهِ مُحْتَمِلًا مُتَرَدِّدًا بَيْنَ كَوْنِهِ مَوْجُودًا أَوْ مَعْدُومًا، وَلِكُلِّ حَالَةٍ مِنَ الْحَالَتَيْنِ أَحْكَامٌ تَخُصُّهَا: أَحْكَامٌ بِالنِّسْبَةِ لِزَوْجَتِهِ، وَأَحْكَامٌ بِالنِّسْبَةِ لِإِرْثِهِ مِنْ غَيْرِهِ وَإِرْثِ غَيْرِهِ مِنْهُ وَإِرْثِ غَيْرِهِ مَعَهُ، وَلَمْ يَتَرَجَّحْ أَحَدُ الِاحْتِمَالَيْنِ عَلَى الْآخَرِ؛ كَانَ لَا بُدَّ مِنْ ضَرْبِ مُدَّةٍ يَتَأَكَّدُ فِيهَا مِنْ وَاقِعِهِ، تَكُونُ فُرْصَةً لِلْبَحْثِ عَنْهُ، وَيَكُونُ مُضِيُّهَا بِدُونِ مَعْرِفَةِ شَيْءٍ عَنْهُ دَلِيلًا عَلَى عَدَمِ وُجُودِهِ.

Karena kondisi orang yang hilang pada saat kehilangannya mungkin ada atau tidak ada, dan setiap kondisi memiliki hukum-hukum khusus: hukum-hukum yang berkaitan dengan istrinya, hukum-hukum yang berkaitan dengan warisannya dari orang lain, warisan orang lain darinya, dan warisan orang lain bersamanya, dan salah satu dari dua kemungkinan tidak lebih kuat dari yang lain; maka harus ada penetapan jangka waktu untuk memastikan kondisinya, yang menjadi kesempatan untuk mencarinya, dan berlalunya waktu tanpa mengetahui sesuatu tentangnya menjadi bukti ketiadaannya.

وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ؛ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى ضَرْبِ تِلْكَ الْمُدَّةِ، لَكِنِ اخْتَلَفُوا فِي مِقْدَارِهَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Berdasarkan hal itu, para ulama sepakat untuk menetapkan jangka waktu tersebut, tetapi mereka berbeda pendapat tentang lamanya menjadi dua pendapat:

الْقَوْلُ الْأَوَّلُ: أَنَّهُ يُرْجَعُ فِي تَقْدِيرِ الْمُدَّةِ إِلَى اجْتِهَادِ الْحَاكِمِ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ حَيَاةُ الْمَفْقُودِ، وَلَا يَخْرُجُ عَنْ هَذَا الْأَصْلِ إِلَّا بِيَقِينٍ أَوْ مَا فِي حُكْمِهِ، وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ، سَوَاءٌ كَانَ يَغْلِبُ عَلَيْهِ السَّلَامَةُ أَمِ الْهَلَاكُ،

Pendapat pertama: Bahwa penentuan jangka waktu dikembalikan kepada ijtihad hakim; karena pada dasarnya orang yang hilang itu masih hidup, dan tidak keluar dari dasar ini kecuali dengan keyakinan atau apa yang setara dengannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, baik keselamatan atau kebinasaan lebih dominan padanya.

وَسَوَاءٌ فُقِدَ قَبْلَ التِّسْعِينَ مِنْ عُمْرِهِ أَوْ بَعْدَهَا، فَيُنْتَظَرُ حَتَّى تَقُومَ بَيِّنَةٌ بِمَوْتِهِ أَوْ تَمْضِيَ مُدَّةٌ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ لَا يَعِيشُ فَوْقَهَا.

Dan sama saja apakah dia hilang sebelum usia sembilan puluh tahun atau setelahnya, maka ditunggu sampai ada bukti yang jelas tentang kematiannya atau berlalu suatu masa yang diduga kuat bahwa dia tidak akan hidup lebih dari itu.

الْقَوْلُ الثَّانِي: التَّفْصِيلُ، وَذَلِكَ أَنَّ لِلْمَفْقُودِ حَالَتَيْنِ:

Pendapat kedua: Perincian, yaitu bahwa orang yang hilang memiliki dua keadaan:

الْأُولَى: أَنْ يَكُونَ الْغَالِبُ عَلَيْهِ الْهَلَاكُ؛ كَمَنْ يُفْقَدُ فِي مَهْلَكَةٍ، أَوْ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ، أَوْ مِنْ مَرْكَبٍ غَرِقَ فَسَلِمَ بَعْضُ أَهْلِهِ وَهَلَكَ بَعْضٌ، أَوْ يُفْقَدُ بَيْنَ أَهْلِهِ؛ كَأَنْ يَخْرُجَ لِصَلَاةٍ وَنَحْوِهَا؛ فَلَا يَرْجِعُ؛ فَهَذَا يُنْتَظَرُ أَرْبَعَ سِنِينَ مُنْذُ فُقِدَ؛ لِأَنَّهَا مُدَّةٌ يَتَكَرَّرُ فِيهَا تَرَدُّدُ الْمُسَافِرِينَ وَالتُّجَّارِ؛ فَانْقِطَاعُ خَبَرِهِ إِلَى هَذِهِ الْمُدَّةِ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ غَيْرُ حَيٍّ.

Pertama: Bahwa yang dominan padanya adalah kebinasaan; seperti orang yang hilang dalam bencana, atau di antara dua barisan, atau dari kendaraan yang tenggelam lalu sebagian penumpangnya selamat dan sebagian binasa, atau hilang di antara keluarganya; seperti keluar untuk shalat dan semisalnya; lalu tidak kembali; maka orang ini ditunggu selama empat tahun sejak dia hilang; karena itu adalah masa yang berulang-ulang padanya bolak-baliknya para musafir dan pedagang; maka terputusnya kabar tentangnya hingga masa ini diduga kuat bahwa dia tidak hidup.

الثَّانِيَةُ: أَنَّهُ يَكُونُ الْغَالِبُ عَلَى الْمَفْقُودِ السَّلَامَةُ؛ كَمَنْ سَافَرَ لِتِجَارَةٍ أَوِ الْغَالِبُ أَنَّهُ لَا يَعِيشُ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا.

Kedua: Bahwa yang dominan pada orang yang hilang adalah keselamatan; seperti orang yang bepergian untuk berdagang atau yang dominan bahwa dia tidak akan hidup lebih dari ini.

وَالرَّاجِحُ هُوَ الْقَوْلُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ أَنَّهُ يُرْجَعُ فِي تَحْدِيدِ مُدَّةِ الِانْتِظَارِ الْمَفْقُودِ إِلَى اجْتِهَادِ الْحَاكِمِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَوْقَاتِ وَالْبُلْدَانِ وَالْأَشْخَاصِ؛ لِأَنَّهُ فِي زَمَانِنَا تَوَفَّرَتْ وَسَائِلُ الْإِعْلَامِ وَالْمُوَاصَلَاتِ، حَتَّى صَارَ الْعَالَمُ كُلُّهُ بِمَثَابَةِ الْبَلَدِ الْوَاحِدِ، مِمَّا يَخْتَلِفُ الْحَالُ بِهِ عَنِ الزَّمَانِ السَّابِقِ اخْتِلَافًا كَبِيرًا.

Dan yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, yaitu bahwa dalam menentukan masa penantian orang yang hilang dikembalikan kepada ijtihad hakim; karena hal itu berbeda-beda sesuai perbedaan waktu, negeri, dan orang-orang; karena di zaman kita telah tersedia sarana informasi dan komunikasi, sehingga seluruh dunia menjadi seperti satu negeri, yang mana keadaannya sangat berbeda dengan zaman sebelumnya.

فَإِذَا مَاتَ مُورِثُ الْمَفْقُودِ فِي مُدَّةِ الِانْتِظَارِ الْمَذْكُورَةِ:

Maka jika pewaris orang yang hilang meninggal dunia dalam masa penantian yang disebutkan:

فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ غَيْرُ الْمَفْقُودِ؛ وُقِفَ جَمِيعُ مَالِهِ، إِلَى أَنْ يَتَّضِحَ الْأَمْرُ، أَوْ تَمْضِيَ الْمُدَّةُ.

Jika dia tidak memiliki ahli waris selain orang yang hilang; maka seluruh hartanya ditahan, sampai perkaranya menjadi jelas, atau berlalunya masa tersebut.

وَإِنْ كَانَ لَهُ وَرَثَةٌ غَيْرُ الْمَفْقُودِ؛ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي كَيْفِيَّةِ

Dan jika dia memiliki ahli waris selain orang yang hilang; maka para ulama telah berselisih pendapat tentang tata cara

مَسْأَلَتُهُمْ عَلَى أَقْوَالٍ، أَرْجَحُهَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ: أَنَّهُ يُعَامَلُ الْوَرَثَةُ الَّذِينَ مَعَ الْمَفْقُودِ بِالْأَضَرِّ، فَيُعْطِي كُلُّ مِنْهُمْ إِرْثَهُ الْمُتَيَقَّنَ، وَيُوقَفُ الْبَاقِي، وَذَلِكَ بِأَنْ تُقْسَمَ الْمَسْأَلَةُ عَلَى اعْتِبَارِ الْمَفْقُودِ حَيًّا، ثُمَّ عَلَى اعْتِبَارِ مَيِّتًا، فَمَنْ كَانَ يَرِثُ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ مُتَفَاضِلًا؛ يُعْطَى الْأَنْقَصَ، وَمَنْ يَرِثُ فِيهِمَا مُتَسَاوِيًا؛ يُعْطَي نَصِيبَهُ كَامِلًا، وَمَنْ يَرِثُ فِي إِحْدَى الْمَسْأَلَتَيْنِ فَقَطْ؛ لَا يُعْطَى شَيْئًا، وَيُوقَفُ الْبَاقِي إِلَى تَبَيُّنِ أَمْرِ الْمَفْقُودِ.

Masalah mereka memiliki beberapa pendapat, yang paling kuat adalah pendapat mayoritas ulama: bahwa para ahli waris yang bersama orang yang hilang diperlakukan dengan cara yang paling merugikan, sehingga masing-masing dari mereka diberi warisan yang pasti, dan sisanya ditangguhkan, dengan cara membagi masalah dengan menganggap orang yang hilang itu hidup, kemudian dengan menganggapnya mati, maka siapa yang mewarisi dalam dua masalah secara berbeda; diberi yang paling sedikit, dan siapa yang mewarisi di dalamnya secara sama; diberi bagiannya secara penuh, dan siapa yang mewarisi dalam salah satu dari dua masalah saja; tidak diberi apa pun, dan sisanya ditangguhkan hingga jelas urusan orang yang hilang.

وَهَذَا فِي تَوْرِيثِ الْمَفْقُودِ مِنْ غَيْرِهِ، وَأَمَّا تَوْرِيثُ غَيْرِهِ مِنْهُ؛ فَإِنَّهُ إِذَا مَضَتْ مُدَّةُ انْتِظَارِهِ، وَلَمْ يَتَبَيَّنْ أَمْرُهُ؛ فَإِنَّهُ يُحْكَمُ بِمَوْتِهِ، وَيُقْسَمُ مَالُهُ الْخَاصُّ وَمَا وُقِفَ لَهُ مِنْ مَالِ مُوَرِّثِهِ عَلَى وَرَثَتِهِ الْمَوْجُودِينَ حِينَ الْحُكْمِ بِمَوْتِهِ، دُونَ مَنْ مَاتَ فِي مُدَّةِ الِانْتِظَارِ؛ لِأَنَّ الْحُكْمَ بِمَوْتِ الْمَفْقُودِ جَاءَ مُتَأَخِّرًا عَنْ وَفَاةِ مَنْ مَاتَ فِي مُدَّةِ الِانْتِظَارِ، وَمِنْ شَرْطِ الْإِرْثِ حَيَاةٌ بَعْدَ مَوْتِ الْمُوَرِّثِ

Ini dalam hal mewariskan orang yang hilang dari selain dirinya, adapun mewariskan selain dirinya darinya; jika telah berlalu masa penantiannya, dan urusannya tidak menjadi jelas; maka ia dihukumi meninggal, dan hartanya yang khusus serta apa yang ditangguhkan untuknya dari harta pewaris dibagikan kepada ahli warisnya yang ada ketika dihukumi kematiannya, bukan orang yang meninggal dalam masa penantian; karena hukum kematian orang yang hilang datang terlambat dari kematian orang yang meninggal dalam masa penantian, dan termasuk syarat warisan adalah hidup setelah kematian pewaris.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْغَرْقَى وَالْهَدْمَى

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْغَرْقَى وَالْهَدْمَى

Bab tentang warisan orang-orang yang tenggelam dan tertimpa reruntuhan

وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ كَثِيرَةُ الْوُقُوعِ، عَظِيمَةُ الْإِشْكَالِ، أَلَا وَهِيَ مَسْأَلَةُ الْمَوْتِ الْجَمَاعِيِّ، الَّذِي يَمُوتُ فِيهِ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُتَوَارِثِينَ، لَا يُعْرَفُ مَنِ السَّابِقُ بِالْوَفَاةِ لِيَكُونَ مَوْرُوثًا وَمَنِ الْمُتَأَخِّرُ لِيَكُونَ وَارِثًا، وَكَثِيرًا مَا يَقَعُ هَذَا فِي هَذَا الْعَصْرِ نَتِيجَةً لِحَوَادِثِ الطُّرُقِ الَّتِي يَذْهَبُ فِيهَا الْجَمَاعَاتُ مِنَ النَّاسِ؛ كَحَوَادِثِ السَّيَّارَاتِ وَالطَّائِرَاتِ وَالْقِطَارَاتِ، وَكَذَا حَوَادِتِ الْهَدْمِ وَالْحَرِيقِ وَالْغَرَقِ وَالْقَصْفِ فِي الْحُرُوبِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.

Masalah ini sering terjadi dan sangat rumit, yaitu masalah kematian massal, di mana sekelompok orang yang saling mewarisi meninggal, tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dulu untuk menjadi pewaris dan siapa yang meninggal belakangan untuk menjadi ahli waris. Hal ini sering terjadi di zaman sekarang akibat kecelakaan lalu lintas yang menimpa sekelompok orang; seperti kecelakaan mobil, pesawat terbang, dan kereta api, serta kecelakaan reruntuhan, kebakaran, tenggelam, dan pengeboman dalam peperangan dan lain-lain.

فَإِذَا حَصَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ؛ فَلَا يَخْلُو الْأَمْرُ مِنْ خَمْسِ حَالَاتٍ:

Jika terjadi sesuatu dari itu, maka perkaranya tidak lepas dari lima keadaan:

الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الْجَمَاعَةَ مَاتَ أَفْرَادُهَا جَمِيعًا فِي آنٍ وَاجِدٍ لَمْ سَبَقَ أَحَدُهُمُ الْآخَرَ؛ فَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ لَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمْ بِالْإِجْمَاعِ؛ لِأَنَّ مِنْ شَرْطِ الْإِرْثِ تَحَقُّقُ حَيَاةِ الْوَارِثِ بَعْدَ مَوْتِ الْمُورِثِ، وَهَذَا الشَّرْطُ مَفْقُودٌ هُنَا.

Keadaan pertama: Diketahui bahwa seluruh anggota kelompok itu meninggal secara bersamaan, tidak ada yang mendahului yang lain. Dalam keadaan ini, tidak ada saling mewarisi di antara mereka berdasarkan ijmak, karena salah satu syarat warisan adalah kepastian hidupnya ahli waris setelah kematian pewaris, dan syarat ini tidak terpenuhi di sini.

الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يُعْلَمَ تَأَخُّرُ مَوْتِ أَحَدِهِمْ بِعَيْنِهِ عَنْ مَوْتِ الْآخَرِ وَلَمْ

Keadaan kedua: Diketahui tertundanya kematian salah seorang dari mereka secara spesifik dari kematian yang lain dan tidak

يَنْسَ؛ فَالْمُتَأَخِّرُ يَرِثُ الْمُتَقَدِّمَ بِالْإِجْمَاعِ؛ لِتَحَقُّقِ حَيَاةِ الْوَارِثِ بَعْدَ مَوْتِ الْمُورِثِ.

Lupa; maka yang terakhir mewarisi yang terdahulu dengan ijma'; karena terwujudnya kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris.

الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يُعْلَمَ تَأَخُّرُ مَوْتِ بَعْضِهِمْ عَنْ مَوْتِ الْبَعْضِ الْآخَرِ مِنْ غَيْرِ تَعْيِينٍ لِلْمُتَقَدِّمِ وَالْمُتَأَخِّرِ.

Keadaan ketiga: Diketahui tertundanya kematian sebagian mereka dari kematian sebagian yang lain tanpa menentukan yang terdahulu dan yang terakhir.

الْحَالَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يُعْلَمَ تَأَخُّرُ مَوْتِ بَعْضِهِمْ عَنْ مَوْتِ الْبَعْضِ الْآخَرِ بِعَيْنِهِ، لَكِنْ نُسِيَ.

Keadaan keempat: Diketahui tertundanya kematian sebagian mereka dari kematian sebagian yang lain secara spesifik, tetapi terlupa.

الْحَالَةُ الْخَامِسَةُ: أَنْ يُجْهَلَ وَاقِعُ مَوْتِهِمْ؛ فَلَا يُدْرَى أَمَاتُوا جَمِيعًا أَمْ مَاتُوا مُتَفَاوِتِينَ.

Keadaan kelima: Tidak diketahui kenyataan kematian mereka; maka tidak diketahui apakah mereka mati bersamaan atau mati dalam waktu yang berbeda-beda.

فَفِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الثَّلَاثِ الْأَخِيرَةِ مَجَالٌ لِلِاحْتِمَالِ وَمَسْرَحٌ لِلِاجْتِهَادِ وَالنَّظَرِ، وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ ﵏ فِيمَا عَلَى قَوْلَيْنِ:

Dalam tiga keadaan terakhir ini terdapat ruang untuk kemungkinan dan tempat untuk ijtihad dan penelitian, dan para ulama ﵏ telah berselisih pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat:

الْقَوْلُ الْأَوَّلُ: عَدَمُ التَّوَارُثِ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الثَّلَاثِ جَمِيعًا.

Pendapat pertama: Tidak ada saling mewarisi dalam ketiga keadaan ini semuanya.

وَهُوَ قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ؛ مِنْهُمْ: أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَابْنُ عَبَّاسٍ ﵃. وَقَالَ بِهِ الْأَئِمَّةُ الثَّلَاثَةُ: أَبُو حَنِيفَةَ، وَمَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، وَهُوَ تَخْرِيجٌ فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ؛ لِأَنَّ مِنْ شُرُوطِ الْإِرْثِ تَحَقُّقُ حَيَاةِ الْوَارِثِ بَعْدَ مَوْتِ الْمُورِثِ، وَهَذَا الشَّرْطُ لَيْسَ بِمُتَحَقِّقٍ هُنَا، بَلْ هُوَ مَشْكُوكٌ فِيهِ، وَلَا تَوْرِيثَ مَعَ الشَّكِّ، وَلِأَنَّ قَتْلَى وَقْعَةِ الْيَمَامَةِ وَقَتْلَى وَقْعَةِ صِفِّينَ وَقَتْلَى الْحَرَّةِ لَمْ يُورِثْ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ.

Ini adalah pendapat sekelompok sahabat; di antaranya: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Abbas ﵃. Tiga imam mengatakan hal itu: Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi'i, dan itu adalah takhrij dalam mazhab Ahmad; karena di antara syarat-syarat warisan adalah terwujudnya kehidupan ahli waris setelah kematian pewaris, dan syarat ini tidak terpenuhi di sini, bahkan diragukan, dan tidak ada pewarisan dengan keraguan, dan karena korban tewas perang Yamamah, korban tewas perang Shiffin, dan korban tewas perang Harrah tidak saling mewarisi satu sama lain.

الْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يُورَثُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْآخَرِ.

Pendapat kedua: Bahwa setiap orang saling mewarisi satu sama lain.

وَهُوَ قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ ﵃؛ مِنْهُمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلِيٌّ ﵄، وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ أَحْمَدَ ﵀، وَوَجْهُ هَذَا الْقَوْلِ أَنَّ حَيَاةَ

Ini adalah pendapat sekelompok sahabat ﵃; di antaranya Umar bin Al-Khathab dan Ali ﵄, dan ini adalah zhahir mazhab Ahmad ﵀, dan sisi pendapat ini adalah bahwa kehidupan

كُلٌّ مِنْهُمْ كَانَتْ ثَابِتَةً بِيَقِينٍ، وَالْأَصْلُ بَقَاؤُهَا إِلَى مَا بَعْدَ مَوْتِ الْآخَرِ، وَلِأَنَّ عُمَرَ ﵁ لَمَّا وَقَعَ الطَّاعُونُ فِي الشَّامِ جَعَلَ أَهْلَ الْبَيْتِ يَمُوتُونَ عَنْ آخِرِهِمْ، فَكَتَبَ بِذَلِكَ إِلَى عُمَرَ، فَأَمَرَ أَنْ يُوَرِّثُوا بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ.

Masing-masing dari mereka telah ditetapkan dengan yakin, dan asalnya tetap ada setelah kematian yang lain, dan karena Umar ﵁ ketika wabah menyerang Syam, ia menjadikan anggota keluarga meninggal satu per satu, lalu ia menulis surat kepada Umar tentang hal itu, maka ia memerintahkan agar sebagian dari mereka mewarisi sebagian yang lain.

وَيُشْتَرَطُ لِلتَّوْرِيثِ أَنْ لَا يَخْتَلِفَ وَرَثَةُ الْمَوْتَى الْمُشْتَبِهِ فِي تَرَتُّبِ مَوْتِهِمْ، فَيَدَّعِي وَرَثَةُ كُلِّ مَيِّتٍ تَأَخُّرَ مَوْتِ مُوَرِّثِهِمْ، وَلَيْسَ هُنَاكَ بَيِّنَةٌ؛ فَإِنَّهُمْ حِينَئِذٍ يَتَحَالَفُونَ، وَلَا تَوَارُثَ.

Dan disyaratkan untuk pewarisan bahwa ahli waris orang-orang yang meninggal yang tidak jelas urutan kematiannya tidak berselisih, lalu ahli waris setiap orang yang meninggal mengklaim bahwa kematian pewaris mereka terlambat, dan tidak ada bukti yang jelas; maka pada saat itu mereka saling bersumpah, dan tidak ada saling mewarisi.

وَكَيْفِيَّةُ التَّوْرِيثِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ:

Dan cara pewarisan berdasarkan pendapat ini:

أَنْ يُوَرِّثَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ تِلَادِ مَالِ الْآخَرِ؛ أَيْ: مِنْ مَالِهِ الْقَدِيمِ؛ دُونَ طَرِيفِهِ؛ أَيْ: مَالِهِ الْجَدِيدِ الَّذِي وَرِثَهُ مِمَّنْ مَاتَ مَعَهُ فِي الْحَادِثِ، وَذَلِكَ بِأَنْ تَفْرِضَ أَنَّ أَحَدَهُمْ مَاتَ أَوَّلًا، فَتُقْسَمَ مَالَهُ الْقَدِيمَ عَلَى وَرَثَتِهِ الْأَحْيَاءِ وَمَنْ مَاتَ مَعَهُ، فَمَا حَصَلَ لِمَنْ مَاتَ مَعَهُ مِنْ مَالِهِ بِهَذِهِ الْقِسْمَةِ؛ قَسَمْتَهُ بَيْنَ وَرَثَتِهِ الْأَحْيَاءِ فَقَطْ، دُونَ مَنْ مَاتَ مَعَهُ؛ لِئَلَّا يَرِثَ مَالَ نَفْسِهِ، ثُمَّ تَعْكِسَ الْعَمَلِيَّةَ مَعَ الْآخَرِ، فَتَفْرِضَهُ مَاتَ أَوَّلًا، وَتَعْمَلَ مَعَهُ مَا عَمِلْتَهُ مَعَ الْأَوَّلِ.

Bahwa setiap orang mewarisi dari harta lama yang lain; yaitu: dari hartanya yang lama; bukan dari harta barunya; yaitu: harta barunya yang diwarisinya dari orang yang meninggal bersamanya dalam peristiwa itu, dan itu dengan mengasumsikan bahwa salah satu dari mereka meninggal terlebih dahulu, lalu hartanya yang lama dibagikan kepada ahli warisnya yang masih hidup dan orang yang meninggal bersamanya, maka apa yang didapatkan oleh orang yang meninggal bersamanya dari hartanya dengan pembagian ini; engkau membaginya di antara ahli warisnya yang masih hidup saja, bukan orang yang meninggal bersamanya; agar ia tidak mewarisi harta dirinya sendiri, kemudian engkau membalikkan proses itu dengan yang lain, lalu engkau menganggapnya meninggal terlebih dahulu, dan engkau melakukan dengannya apa yang engkau lakukan dengan yang pertama.

وَالرَّاجِحُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ هُوَ الْقَوْلُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ عَدَمُ التَّوَارُثِ؛ لِأَنَّ الْإِرْثَ لَا يَثْبُتُ بِالِاحْتِمَالِ وَالشَّكِّ، وَوَاقِعُ الْمَوْتَى فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَجْهُولٌ، وَالْمَجْهُولُ كَالْمَعْدُومِ، وَتَقَدُّمُ مَوْتِ أَحَدِهِمْ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ مَجْهُولٌ؛ فَهُوَ كَالْمَعْدُومِ.

Dan pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yaitu tidak ada saling mewarisi; karena warisan tidak ditetapkan dengan kemungkinan dan keraguan, dan kenyataan orang-orang yang meninggal dalam masalah ini tidak diketahui, dan yang tidak diketahui seperti yang tidak ada, dan mendahulukan kematian salah satu dari mereka dalam keadaan ini tidak diketahui; maka ia seperti yang tidak ada.

وَأَيْضًا الْمِيرَاثُ إِنَّمَا حَصَلَ لِلْحَيِّ لِيَكُونَ خَلِيفَةً لِلْمَيِّتِ يَنْتَفِعُ بِمَالِهِ بَعْدَهُ، وَهَذَا مَفْقُودٌ هُنَا، مَعَ مَا يَلْزَمُ عَلَى الْقَوْلِ بِتَوَارُثِهِمْ

Dan juga warisan hanya didapatkan oleh orang yang hidup agar menjadi pengganti bagi orang yang meninggal yang memanfaatkan hartanya setelahnya, dan ini tidak ada di sini, dengan apa yang harus ada berdasarkan pendapat tentang saling mewarisi di antara mereka.

مِنَ التَّنَاقُضِ؛ لِأَنَّ تَوْرِيثَ أَحَدِهِمْ مِنْ صَاحِبِهِ يَقْتَضِي أَنَّهُ مُتَأَخِّرٌ عَنْهُ بِالْوَفَاةِ، وَتَوْرِيثَ صَاحِبِهِ مِنْهُ يَقْتَضِي أَنَّهُ مُتَقَدِّمٌ، فَيَكُونُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُتَقَدِّمًا مُتَأَخِّرًا؛

Ini adalah kontradiksi; karena mewariskan salah satu dari mereka dari sahabatnya mengharuskan bahwa dia meninggal setelahnya, dan mewariskan sahabatnya darinya mengharuskan bahwa dia meninggal sebelumnya, sehingga masing-masing dari mereka menjadi yang terdahulu dan yang terakhir;

فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ الرَّاجِحِ وَهُوَ عَدَمُ التَّوَارُثِ يَكُونُ مَالُ كُلٍّ مِنْهُمْ لِوَرَثَتِهِ الْأَحْيَاءِ فَقَطْ دُونَ مَنْ مَاتَ مَعَهُ؛ عَمَلًا بِالْيَقِينِ، وَابْتِعَادًا عَنِ الِاشْتِبَاهِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Berdasarkan pendapat yang kuat ini, yaitu tidak ada saling mewarisi, harta masing-masing dari mereka hanya untuk ahli waris yang masih hidup, bukan untuk yang meninggal bersamanya; berdasarkan keyakinan, dan menjauh dari keraguan, dan Allah yang lebih mengetahui.

بَابٌ فِي التَّوْرِيثِ بِالرَّدِّ

بَابٌ فِي التَّوْرِيثِ بِالرَّدِّ

Bab tentang warisan dengan Ar-Radd

الرَّدُّ لُغَةً: الصَّرْفُ وَالْإِرْجَاعُ، يُقَالُ: رَدَّهُ رَدًّا: أَرْجَعَهُ وَصَرَفَهُ، وَالِارْتِدَادُ الرُّجُوعُ، وَمِنْهُ سُمِّيَتِ الرِّدَّةُ؛ لِأَنَّهَا رُجُوعٌ عَنِ الدِّينِ الصَّحِيحِ.

Ar-Radd secara bahasa berarti pengembalian dan pengalihan. Dikatakan: Raddahu raddan, artinya mengembalikannya dan mengalihkannya. Irtidad berarti kembali, dan dari sini disebut riddah (murtad); karena ia adalah kembali dari agama yang benar.

وَالرَّدُّ فِي اصْطِلَاحِ الْفَرْضِيِّينَ: هُوَ صَرْفُ الْبَاقِي مِنَ التَّرِكَةِ عَنْ فُرُوضِ الْوَرَثَةِ إِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ عَاصِبٌ يَسْتَحِقُّهُ إِلَى أَصْحَابِ الْفُرُوضِ بِقَدْرِ فُرُوضِهِمْ.

Ar-Radd dalam istilah ahli faraidh adalah: mengalihkan sisa harta warisan dari bagian para ahli waris jika tidak ada 'ashabah yang berhak menerimanya kepada ashhabul furudh sesuai kadar bagian mereka.

وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ قَدَّرَ فُرُوضَ الْوَرَثَةِ بِالنِّصْفِ وَالرُّبُعِ وَالثُّمُنِ وَالثُّلُثَيْنِ وَالثُّلُثِ وَالسُّدُسِ، وَبَيَّنَ كَيْفِيَّةَ تَوْرِيثِ الْعَصَبَةِ مِنَ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ، وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا؛ فَمَا بَقِيَ؛ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ"؛ فَكَانَ هَذَا الْحَدِيثُ الشَّرِيفُ مُبَيِّنًا لِلْقُرْآنِ وَمُرَتِّبًا لِلْوَرَثَةِ بِنَوْعَيْهِمْ: أَصْحَابِ الْفُرُوضِ وَالْعَصَبَاتِ، فَإِذَا وُجِدَ أَصْحَابُ فُرُوضٍ وَعَصَبَةٌ؛ فَالْحُكْمُ وَاضِحٌ، ذَلِكَ بِأَنْ يُعْطَى ذَوُو الْفُرُوضِ فُرُوضَهُمْ، وَمَا بَقِيَ بَعْدَهَا يُعْطَى لِلْعَصَبَةِ، وَإِنْ لَمْ يَبْقَ شَيْءٌ؛ سَقَطَ الْعَصَبَةُ؛ عَمَلًا بِهَذَا الْحَدِيثِ الشَّرِيفِ، وَإِنْ وُجِدَ عَصَبَةٌ فَقَطْ؛ أَخَذُوا الْمَالَ بِالتَّعْصِيبِ عَلَى عَدَدِ رُءُوسِهِمْ.

Hal itu karena Allah Subhanahu telah menetapkan bagian para ahli waris dengan setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam. Dia juga menjelaskan cara mewariskan 'ashabah dari laki-laki dan perempuan. Nabi ﷺ bersabda: "Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan kepada yang berhak menerimanya; adapun sisanya, maka untuk laki-laki yang paling dekat (hubungan kekerabatannya)". Hadits yang mulia ini menjelaskan Al-Qur'an dan mengurutkan para ahli waris dengan dua jenis mereka: ashhabul furudh dan 'ashabah. Jika terdapat ashhabul furudh dan 'ashabah, maka hukumnya jelas, yaitu diberikan kepada ashhabul furudh bagian mereka, dan apa yang tersisa setelahnya diberikan kepada 'ashabah. Jika tidak ada yang tersisa, maka 'ashabah gugur, berdasarkan hadits yang mulia ini. Jika hanya terdapat 'ashabah saja, mereka mengambil harta dengan 'ashabah sesuai jumlah kepala mereka.

إِنَّمَا الْإِشْكَالُ فِيمَا إِذَا وُجِدَ أَصْحَابُ فُرُوضٍ لَا تَسْتَغْرِقُ فُرُوضُهُمُ التَّرِكَةَ، وَلَمْ يُوجَدْ عَصَبَةٌ يَأْخُذُونَ الْبَاقِيَ؛ فَالْبَاقِي فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يُرَدُّ عَلَى أَصْحَابِ الْفُرُوضِ بِقَدْرِ فُرُوضِهِمْ؛ غَيْرَ الزَّوْجَيْنِ، وَذَلِكَ لِلْأَدِلَّةِ الْآتِيَةِ:

Masalahnya adalah ketika ada pemilik bagian yang bagiannya tidak menghabiskan harta warisan, dan tidak ada 'ashabah yang mengambil sisanya; maka sisa dalam keadaan ini dikembalikan kepada pemilik bagian sesuai dengan bagian mereka; selain suami-istri, dan itu karena dalil-dalil berikut:

أَوَّلًا: قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَأُولُوا الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ﴾، وَأَصْحَابُ الْفُرُوضِ مِنْ ذَوِي أَرْحَامِ الْمَيِّتِ؛ فَهُمْ أَوْلَى بِمَالِهِ، وَأَحَقُّ مِنْ غَيْرِهِمْ.

Pertama: Firman Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya menurut Kitab Allah", dan pemilik bagian adalah kerabat mayit; maka mereka lebih berhak atas hartanya, dan lebih berhak daripada yang lain.

ثَانِيًا: قَوْلُ النَّبِيِّ ﷺ: "مَنْ تَرَكَ مَالًا فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ"، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَهَذَا عَامٌّ فِي جَمِيعِ الْمَالِ الَّذِي يَتْرُكُهُ الْمَيِّتُ، وَمِنْهُ مَا يَبْقَى بَعْدَ الْفُرُوضِ، فَيَكُونُ أَصْحَابُ الْفُرُوضِ أَحَقَّ بِهِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ مَالِ مُوَرِّثِهِمْ.

Kedua: Sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa meninggalkan harta maka itu untuk ahli warisnya", diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan ini umum mencakup semua harta yang ditinggalkan mayit, termasuk yang tersisa setelah pembagian, maka pemilik bagian lebih berhak atasnya; karena itu adalah harta pewaris mereka.

ثَالِثًا: جَاءَ فِي حَدِيثِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ ﵁؛ أَنَّهُ قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ لَمَّا جَاءَهُ يَعُودُهُ مِنْ مَرَضٍ أَصَابَهُ: "يَا رَسُولَ اللَّهِ! لَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي"، وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ النَّبِيُّ ﷺ حَصْرَ الْمِيرَاثِ فِي بِنْتِهِ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ خَطَأً؛ لَمْ يُقِرَّهُ؛ فَدَلَّ الْحَدِيثُ عَلَى أَنَّ صَاحِبَ الْفَرْضِ يَأْخُذُ مَا بَقِيَ بَعْدَ فَرْضِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ عَاصِبٌ، وَهَذَا هُوَ الرَّدُّ.

Ketiga: Disebutkan dalam hadits Sa'd bin Abi Waqqash ﵁; bahwa ia berkata kepada Nabi ﷺ ketika beliau datang menjenguknya dari sakit yang menimpanya: "Wahai Rasulullah! Tidak ada yang mewarisiku kecuali putriku", dan Nabi ﷺ tidak mengingkari pembatasan warisan pada putrinya, dan seandainya itu salah; tentu beliau tidak akan menyetujuinya; maka hadits ini menunjukkan bahwa pemilik bagian mengambil apa yang tersisa setelah bagiannya jika tidak ada 'asib, dan inilah ar-radd.

وَالَّذِينَ يُرَدُّ عَلَيْهِمْ هُمْ جَمِيعُ أَصْحَابِ الْفُرُوضِ، مَاعَدَا الزَّوْجَيْنِ؛ لِأَنَّ الزَّوْجَيْنِ قَدْ يَكُونَانِ مِنْ غَيْرِ ذَوِي الْأَرْحَامِ؛ فَلَا يَدْخُلَانِ فِي

Dan orang-orang yang menerima pengembalian adalah semua pemilik bagian, kecuali suami-istri; karena suami-istri terkadang bukan dari kerabat; maka mereka tidak termasuk dalam

عُمُومُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأُولُوا الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ﴾ .

Keumuman firman Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah."

وَقَدِ اتَّفَقَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَرِدُ عَلَى الزَّوْجَيْنِ؛ إِلَّا مَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ ﵁، أَنَّهُ رَدَّ عَلَى زَوْجٍ، وَهَذَا يَحْتَمِلُ أَنَّهُ أَعْطَاهُ لِسَبَبٍ غَيْرِ الرَّدِّ؛ كَكَوْنِهِ عَصَبَةً أَوْ ذَا رَحِمٍ، فَأَعْطَاهُ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ، لَا مِنْ أَجْلِ الرَّدِّ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini tidak berlaku untuk suami istri; kecuali apa yang diriwayatkan dari Utsman ﵁, bahwa ia mengembalikan (sisa warisan) kepada suami, dan ini mungkin saja ia memberikannya karena sebab lain, bukan karena pengembalian (sisa warisan); seperti karena ia adalah 'ashabah atau memiliki hubungan kekerabatan, maka ia memberikannya karena itu, bukan karena pengembalian (sisa warisan). Wallahu a'lam.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ ذَوِي الْأَرْحَامِ

بَابٌ فِي مِيرَاثِ ذَوِي الْأَرْحَامِ

Bab tentang warisan dzawil arham

ذَوُو الْأَرْحَامِ فِي اصْطِلَاحِ الْفَرْضِيِّينَ: كُلُّ قَرِيبٍ لَيْسَ بِذِي فَرْضٍ وَلَا عَصَبَةٍ، وَهُمْ عَلَى سَبِيلِ الْإِجْمَالِ أَرْبَعَةُ أَصْنَافٍ:

Dzawil arham dalam istilah ahli faraidh adalah setiap kerabat yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah. Secara global, mereka terbagi menjadi empat kelompok:

الصِّنْفُ الْأَوَّلُ: مَنْ يَنْتَمِي إِلَى الْمَيِّتِ، وَهُمْ أَوْلَادُ الْبَنَاتِ وَأَوْلَادُ بَنَاتِ الْبَنِينَ وَإِنْ نَزَلُوا.

Kelompok pertama: Orang yang dinisbatkan kepada mayit, yaitu anak-anak perempuan dan anak-anak dari anak perempuan, meskipun mereka berada pada tingkatan yang lebih rendah.

الصِّنْفُ الثَّانِي: مَنْ يَنْتَمِي إِلَيْهِمُ الْمَيِّتُ، وَهُمُ الْأَجْدَادُ السَّاقِطُونَ وَالْجَدَّاتُ السَّوَاقِطُ وَإِنْ عَلَوْا.

Kelompok kedua: Orang yang dinisbatkan kepada mereka mayit, yaitu kakek-kakek yang gugur dan nenek-nenek yang gugur, meskipun mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi.

الصِّنْفُ الثَّالِثُ: مَنْ يَنْتَمِي إِلَى الْمَيِّتِ، وَهُوَ أَوْلَادُ الْأَخَوَاتِ وَبَنَاتُ الْإِخْوَةِ وَأَوْلَادُ الْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ وَمَنْ يُدْلِي بِهِمْ وَإِنْ نَزَلُوا:

Kelompok ketiga: Orang yang dinisbatkan kepada mayit, yaitu anak-anak saudara perempuan, anak-anak perempuan saudara laki-laki, anak-anak saudara seibu, dan orang yang dihubungkan dengan mereka, meskipun mereka berada pada tingkatan yang lebih rendah.

الصِّنْفُ الرَّابِعُ: مَنْ يَنْتَمِي إِلَى أَجْدَادِ الْمَيِّتِ وَجَدَّاتِهِ، وَهُمْ: الْأَعْمَامُ لِلْأُمِّ، وَالْعَمَّاتُ مُطْلَقًا، وَبَنَاتُ الْأَعْمَامِ مُطْلَقًا، وَالْخُؤُولَةُ مُطْلَقًا، وَإِنْ تَبَاعَدُوا، وَأَوْلَادُهُمْ وَإِنْ نَزَلُوا.

Kelompok keempat: Orang yang dinisbatkan kepada kakek dan nenek mayit, yaitu paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah maupun ibu, anak perempuan paman dari pihak ayah maupun ibu, paman dari pihak ibu secara mutlak, meskipun mereka jauh, dan anak-anak mereka meskipun mereka berada pada tingkatan yang lebih rendah.

هَذِهِ أَصْنَافُهُمْ عَلَى سَبِيلِ الْإِجْمَالِ، وَهُمْ يَرِثُونَ إِذَا لَمْ يُوجَدْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ الْفُرُوضِ غَيْرَ الزَّوْجَيْنِ، وَلَمْ أَحَدٌ مِنَ الْعَصَبَةِ، وَذَلِكَ لِأَدِلَّةٍ؛ مِنْهَمَا:

Inilah kelompok-kelompok mereka secara global. Mereka mewarisi jika tidak ada seorang pun dari ashhabul furudh selain suami atau istri, dan tidak ada seorang pun dari 'ashabah, berdasarkan beberapa dalil, di antaranya:

أَوَّلًا: قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَأُولُوا الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ﴾؛ أَيْ: بَعْضُهُمْ أَحَقُّ بِمِيرَاثِ الْبَعْضِ الْآخَرِ فِي حُكْمِ اللهِ تَعَالَى.

Pertama: Firman Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah"; artinya: sebagian mereka lebih berhak mewarisi sebagian yang lain dalam hukum Allah Ta'ala.

ثَانِيًا: عُمُومُ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ﴾؛ فَلَفْظُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْأَقْرَبِينَ يَشْمَلُ ذَوِي الْأَرْحَامِ، وَمَنْ ادَّعَى التَّخْصِيصَ؛ فَعَلَيْهِ الدَّلِيلُ.

Kedua: Keumuman firman Allah Ta'ala: "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya"; maka lafaz laki-laki, perempuan, dan kerabat mencakup dzawil arham, dan siapa yang mengklaim pengkhususan; maka ia harus menunjukkan dalil.

ثَالِثًا: قَوْلُ الرَّسُولِ ﷺ: "الْخَالُ وَارِثٌ مَنْ لَا لَهُ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: "حَدِيثٌ حَسَنٌ".

Ketiga: Sabda Rasulullah ﷺ: "Paman (dari pihak ibu) adalah pewaris bagi orang yang tidak memiliki ahli waris", diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, dan ia berkata: "Hadits hasan".

وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ مِنْهُ أَنَّهُ جَعَلَ الْخَالَ وَارِثًا عِنْدَ عَدَمِ الْوَارِثِ بِالْفَرْضِ أَوِ التَّعْصِيبِ، وَهُوَ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ، فَيُلْحَقُ بِهِ غَيْرُهُ مِنْهُمْ.

Dan sisi penunjukan darinya adalah bahwa ia menjadikan paman (dari pihak ibu) sebagai pewaris ketika tidak ada ahli waris yang berhak mendapatkan bagian tetap (fardh) atau 'ashabah, dan ia termasuk dzawil arham, maka yang lainnya dari mereka diikutkan dengannya.

هَذِهِ بَعْضُ أَدِلَّةِ مَنْ يَرَى تَوْرِيثَ ذَوِي الْأَرْحَامِ، وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، مِنْهُمْ عُمَرُ وَعَلِيٌّ ﵄، وَهُوَ مَذْهَبُ الْحَنَابِلَةِ وَالْحَنَفِيَّةِ وَالْوَجْهُ الثَّانِي فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ إِذَا لَمْ يُنْتَظَرْ بَيْتُ الْمَالِ.

Ini adalah sebagian dalil dari orang-orang yang berpendapat mewariskan kepada dzawil arham, dan itu diriwayatkan dari sekelompok sahabat, di antaranya Umar dan Ali ﵄, dan itu adalah mazhab Hanabilah, Hanafiyah, dan pendapat kedua dalam mazhab Syafi'iyah jika tidak menunggu baitul mal.

وَقَدِ اخْتَلَفَ الْقَائِلُونَ بِتَوْرِيثِ ذَوِي الْأَرْحَامِ فِي كَيْفِيَّةِ تَوْرِيثِهِمْ عَلَى أَقْوَالٍ، أَشْهَرُهَا قَوْلَانِ:

Dan orang-orang yang berpendapat mewariskan kepada dzawil arham telah berselisih pendapat tentang cara mewariskan kepada mereka, yang paling terkenal adalah dua pendapat:

الْقَوْلُ الْأَوَّلُ: أَنَّهُمْ يَرِثُونَ بِالتَّنْزِيلِ؛ بِأَنْ يُنَزَّلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَنْزِلَةَ

Pendapat pertama: Bahwa mereka mewarisi dengan cara tanzil; yaitu dengan menempatkan setiap orang dari mereka pada kedudukan

مَنْ أَدْلَى بِهِ، فَيَجْعَلُ لَهُ نَصِيبَهُ؛ فَأَوْلَادُ الْبَنَاتِ وَأَوْلَادُ بَنَاتِ الْبَنِينَ بِمَنْزِلَةِ أُمَّهَاتِهِمْ، وَالْعُمُّ لِأُمٍّ وَالْعَمَّاتُ بِمَنْزِلَةِ الْأَبِ، وَالْأَخْوَالُ وَالْخَالَاتُ وَأَبُو الْأُمِّ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ، وَبَنَاتُ الْإِخْوَةِ وَبَنَاتُ بَنِيهِمْ بِمَنْزِلَةِ آبَائِهِنَّ ... وَهَكَذَا.

Siapa yang memberikan kepadanya, maka ia menjadikan baginya bagiannya; maka anak-anak perempuan dan anak-anak perempuan dari anak laki-laki seperti ibu-ibu mereka, paman-paman dari ibu dan bibi-bibi seperti ayah, paman-paman dari ibu dan bibi-bibi dan ayah ibu seperti ibu, dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak-anak perempuan dari anak laki-laki mereka seperti ayah-ayah mereka ... dan begitulah.

الْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ تَوْرِيثَ ذَوِي الْأَرْحَامِ كَتَوْرِيثِ الْعَصَبَاتِ، فَيُقَدَّمُ الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ مِنْهُمْ، وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

Pendapat kedua: bahwa mewariskan kepada dzawil arham seperti mewariskan kepada 'ashabah, maka didahulukan yang lebih dekat kemudian yang lebih dekat dari mereka, dan Allah Ta'ala lebih mengetahui.

بَابٌ فِي مِيرَاثِ الْمُطَلَّقَةِ

مِنَ الْمَعْلُومِ أَنَّ عَقْدَ الزَّوْجِيَّةِ هُوَ مِمَّا جَعَلَهُ اللهُ سَبَبًا مِنْ أَسْبَابِ الْإِرْثِ؛ حَيْثُ يَقُولُ جَلَّ شَأْنُهُ: ﴿وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ﴾ .

Sudah diketahui bahwa akad pernikahan adalah salah satu sebab dari sebab-sebab warisan yang Allah jadikan; di mana Allah Yang Maha Agung berfirman: "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya."

فَمَا دَامَ عَقْدُ الزَّوْجِيَّةِ بَاقِيًا؛ فَالْإِرْثُ بَاقٍ؛ مَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ مَانِعٌ مِنْ مَوَانِعِ الْإِرْثِ.

Selama akad pernikahan masih ada; maka warisan tetap ada; selama tidak ada penghalang dari penghalang-penghalang warisan.

وَإِذَا حَلَّ عَقْدُ الزَّوْجِيَّةِ بِالطَّلَاقِ حَلًّا كَامِلًا وَهُوَ مَا يُسَمَّى بِالطَّلَاقِ الْبَائِنِ؛ فَإِنَّهُ يَنْتَفِي الْإِرْثُ؛ لِأَنَّهُ إِذَا عُدِمَ السَّبَبُ؛ عُدِمَ الْمُسَبَّبُ؛ إِلَّا أَنَّهَا قَدْ تَكُونُ هُنَاكَ مُلَابَسَاتٌ حَوْلَ الطَّلَاقِ تَجْعَلُهُ لَا يَمْنَعُ الْإِرْثَ؛ كَمَا أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَحُلَّ عَقْدُ النِّكَاحِ بِالطَّلَاقِ حَلًّا كَامِلًا؛ فَإِنَّ التَّوَارُثَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ لَا يَنْتَفِي، مَا دَامَتْ فِي الْعِدَّةِ، وَهُوَ مَا يُسَمَّى بِالطَّلَاقِ الرَّجْعِيِّ، لِهَذَا يَعْقِدُ الْفُقَهَاءُ بَابًا يُسَمُّونَهُ بَابَ مِيرَاثِ الْمُطَلَّقَةِ.

Dan jika akad pernikahan terputus dengan talak secara sempurna yang disebut dengan talak ba'in; maka warisan menjadi tidak ada; karena jika sebab tidak ada; maka musabab (yang disebabkan) juga tidak ada; kecuali jika ada keadaan-keadaan seputar talak yang membuatnya tidak menghalangi warisan; sebagaimana jika akad nikah tidak terputus dengan talak secara sempurna; maka saling mewarisi antara suami istri tidak hilang, selama masih dalam masa 'iddah, dan inilah yang disebut dengan talak raj'i, oleh karena itu para fuqaha membuat bab yang mereka namakan bab warisan wanita yang ditalak.

فَالْمُطَلَّقَاتُ إِجْمَالًا ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ:

Maka wanita-wanita yang ditalak secara global ada tiga jenis:

النَّوْعُ الأَوَّلُ: المُطَلَّقَةُ الرَّجْعِيَّةُ، سَوَاءٌ حَصَلَ طَلَاقُهَا فِي حَالِ صِحَّةِ المُطَلِّقِ أَوْ مَرَضِهِ.

Jenis pertama: Wanita yang ditalak raj'i, baik talaknya terjadi saat suami dalam keadaan sehat atau sakit.

الثَّانِي: المُطَلَّقَةُ البَائِنُ، الَّتِي حَصَلَ طَلَاقُهَا فِي حَالِ صِحَّةِ المُطَلِّقِ.

Kedua: Wanita yang ditalak ba'in, yang talaknya terjadi saat suami dalam keadaan sehat.

الثَّالِثُ: المُطَلَّقَةُ البَائِنُ، الَّتِي حَصَلَ طَلَاقُهَا فِي حَالِ مَرَضِ مَوْتِ المُطَلِّقِ.

Ketiga: Wanita yang ditalak ba'in, yang talaknya terjadi saat suami dalam keadaan sakit menjelang kematian.

فَالمُطَلَّقَةُ الرَّجْعِيَّةُ تَرِثُ بِالإِجْمَاعِ إِذَا مَاتَ المُطَلِّقُ؛ وَهِيَ فِي العِدَّةِ؛ لِأَنَّهَا زَوْجَةٌ لَهَا مَا لِلزَّوْجَاتِ مَا دَامَتْ فِي العِدَّةِ.

Wanita yang ditalak raj'i mewarisi berdasarkan ijma' jika suami meninggal; dan dia masih dalam masa 'iddah; karena dia adalah istri yang memiliki hak-hak istri selama masih dalam masa 'iddah.

وَالمُطَلَّقَةُ البَائِنُ فِي حَالِ الصِّحَّةِ لَا تَرِثُ بِالإِجْمَاعِ؛ لِانْقِطَاعِ صِلَةِ الزَّوْجِيَّةِ؛ مِنْ غَيْرِ تُهْمَةٍ تَلْحَقُ الزَّوْجَ فِي ذَلِكَ، وَكَذَا إِذَا حَصَلَ هَذَا الطَّلَاقُ فِي مَرَضِ الزَّوْجِ غَيْرِ المَخُوفِ.

Wanita yang ditalak ba'in dalam keadaan sehat tidak mewarisi berdasarkan ijma'; karena terputusnya hubungan pernikahan; tanpa ada tuduhan yang menimpa suami dalam hal itu, demikian pula jika talak ini terjadi saat suami sakit yang tidak mengkhawatirkan.

وَالمُطَلَّقَةُ البَائِنُ فِي مَرَضِ الزَّوْجِ المَخُوفِ، وَهُوَ غَيْرُ مُتَّهَمٍ بِقَصْدِ حِرْمَانِهَا مِنَ المِيرَاثِ، لَا تَرِثُ أَيْضًا.

Wanita yang ditalak ba'in saat suami sakit parah, dan dia tidak dituduh bermaksud menghalanginya dari warisan, juga tidak mewarisi.

وَالمُطَلَّقَةُ البَائِنُ فِي مَرَضِ المَوْتِ المَخُوفِ، إِذَا كَانَ الزَّوْجُ مُتَّهَمًا فِيهِ بِقَصْدِ حِرْمَانِ الزَّوْجَةِ مِنَ المِيرَاثِ؛ فَإِنَّهَا تَرِثُ فِي العِدَّةِ وَبَعْدَهَا؛ مَا لَمْ تَتَزَوَّجْ أَوْ تَرْتَدَّ.

Wanita yang ditalak ba'in saat sakit menjelang kematian yang mengkhawatirkan, jika suami dituduh bermaksud menghalangi istri dari warisan; maka dia mewarisi selama masa 'iddah dan setelahnya; selama dia belum menikah lagi atau murtad.

وَالدَّلِيلُ عَلَى تَوْرِيثِ المُطَلَّقَةِ طَلَاقًا بَائِنًا يُتَّهَمُ فِيهِ الزَّوْجُ: أَنَّ عُثْمَانَ ﵁ قَضَى بِتَوْرِيثِ زَوْجَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ ﵁، وَقَدْ طَلَّقَهَا فِي مَرَضِ مَوْتِهِ فَبَتَّهَا، وَاشْتَهَرَ هَذَا

Dalil untuk mewarisi wanita yang ditalak ba'in di mana suami dituduh (bermaksud menghalanginya dari warisan): bahwa Utsman ﵁ memutuskan untuk mewarisi istri Abdurrahman bin Auf ﵁, dan dia telah mentalaknya saat sakit menjelang kematiannya dengan talak ba'in, dan ini terkenal

الْقَضَاءُ بَيْنَ الصَّحَابَةِ، وَلَمْ يُنْكِرْ، مَعَ قَاعِدَةِ سَدِّ الذَّرَائِعِ؛ لِأَنَّ هَذَا الْمُطْلَقَ قَصَدَ قَصْدًا فَاسِدًا فِي الْمِيرَاثِ، فَعُومِلَ بِنَقِيضِ قَصْدِهِ، وَهَذَا الْمَعْنَى لَا يَنْحَصِرُ فِي زَمَنٍ حَتَّى يُقْصَرَ التَّوْرِيثُ عَلَى زَمَنِ الْعِدَّةِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Keputusan di antara para sahabat, dan tidak mengingkari, dengan kaidah sadd adz-dzara'i; karena orang yang dicerai ini memiliki niat yang rusak dalam warisan, maka diperlakukan dengan kebalikan dari niatnya, dan makna ini tidak terbatas pada suatu masa sampai pemberian warisan dibatasi pada masa 'iddah, dan Allah lebih mengetahui.

وَيَتَوَارَثُ الزَّوْجَانِ بِعَقْدِ النِّكَاحِ إِذَا مَاتَ أَحَدُهُمَا قَبْلَ الدُّخُولِ وَالْخَلْوَةِ؛ لِعُمُومِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ، وَهِيَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ﴾ الْآيَةَ؛ لِأَنَّ عَلَامَةَ الزَّوْجِيَّةِ عَلَاقَةٌ وَثِيقَةٌ وَشَرِيفَةٌ، يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا أَحْكَامٌ وَتُبْنَى عَلَيْهَا مَصَالِحُ عَظِيمَةٌ، فَجَعَلَ اللهُ لِكُلِّ مِنْهُمَا نَصِيبًا مِنْ مَالِ الْآخَرِ إِذَا مَاتَ؛ كَمَا جَعَلَ لِأَقْرِبَائِهِ، وَهَذَا مِمَّا يُؤَكِّدُ عَلَى الزَّوْجَيْنِ أَنْ يَنْظُرَ كُلُّ مِنْهُمَا إِلَى الْآخَرِ نَظْرَةَ احْتِرَامٍ وَتَوْقِيرٍ.

Suami istri saling mewarisi dengan akad nikah jika salah satu dari keduanya meninggal sebelum dukhul dan khalwat; karena keumuman ayat yang mulia, yaitu firman Allah Ta'ala: "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu" hingga firman-Nya: "Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan" ayat tersebut; karena tanda pernikahan adalah hubungan yang erat dan mulia, yang memiliki konsekuensi hukum dan dibangun di atasnya kemaslahatan yang besar, maka Allah menjadikan bagi masing-masing dari keduanya bagian dari harta pasangannya jika meninggal; sebagaimana Dia menjadikan bagi kerabatnya, dan ini termasuk yang menegaskan kepada suami istri agar masing-masing memandang pasangannya dengan pandangan hormat dan penghargaan.

وَهَذِهِ هِيَ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ، كُلُّهَا خَيْرٌ وَبَرَكَةٌ.

Dan inilah hukum-hukum Islam, semuanya baik dan berkah.

نَسْأَلُ اللهَ ﷾ أَنْ يُثَبِّتَنَا عَلَيْهِ وَيُمِيتَنَا عَلَيْهِ.

Kami memohon kepada Allah ﷾ agar meneguhkan kami di atasnya dan mematikan kami di atasnya.

بَابٌ فِي التَّوَارُثِ مَعَ اخْتِلَافِ الدِّينِ

بَابٌ فِي التَّوَارُثِ مَعَ اخْتِلَافِ الدِّينِ

Bab tentang saling mewarisi dengan perbedaan agama

اخْتِلَافُ الدِّينِ هُوَ أَنْ يَكُونَ الْمُوَرِّثُ عَلَى مِلَّةٍ وَالْوَارِثُ عَلَى مِلَّةٍ أُخْرَى.

Perbedaan agama adalah ketika pewaris berada pada satu agama dan ahli waris berada pada agama yang lain.

وَتَحْتَ ذَلِكَ مَسْأَلَتَانِ:

Di bawah itu ada dua permasalahan:

الْمَسْأَلَةُ الْأُولَى: إِرْثُ الْكَافِرِ مِنَ الْمُسْلِمِ وَإِرْثُ الْمُسْلِمِ مِنَ الْكَافِرِ:

Masalah pertama: Warisan orang kafir dari orang Muslim dan warisan orang Muslim dari orang kafir:

اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْوَالٍ:

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi empat pendapat:

الْقَوْلُ الْأَوَّلُ: أَنَّهُ لَا تَوَارُثَ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَكَافِرٍ مُطْلَقًا، وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Pendapat pertama: Bahwa tidak ada saling mewarisi antara Muslim dan kafir secara mutlak, dan ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Orang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang Muslim", muttafaq 'alaih.

الْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ تَوَارُثَ بَيْنَ مُسْلِمٍ وَكَافِرٍ إِلَّا بِالْوَلَاءِ؛ لِحَدِيثِ: "لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ النَّصْرَانِيَّ؛ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَبْدَهُ أَوْ أَمَتَهُ"، رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ؛

Pendapat kedua: Bahwa ada saling mewarisi antara Muslim dan kafir kecuali dengan wala'; berdasarkan hadits: "Orang Muslim tidak mewarisi orang Nasrani; kecuali jika dia adalah budak laki-laki atau budak perempuannya", diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni;

فَهُوَ يَدُلُّ عَلَى إِرْثِ الْمُسْلِمِ لِعَتِيقِهِ النَّصْرَانِيِّ، وَيُقَاسُ عَلَيْهِ الْعَكْسُ، وَهُوَ إِرْثُ النَّصْرَانِيِّ مَثَلًا لِعَتِيقِهِ الْمُسْلِمِ.

Ini menunjukkan warisan seorang Muslim kepada budak Kristennya, dan sebaliknya juga berlaku, yaitu warisan seorang Kristen misalnya kepada budak Muslimnya.

الْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّهُ يَرِثُ الْكَافِرُ مِنْ قَرِيبِهِ الْمُسْلِمِ إِذَا أَسْلَمَ قَبْلَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ؛ لِحَدِيثِ: "كُلُّ قَسْمٍ قُسِمَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ؛ فَهُوَ عَلَى مَا قُسِمَ، وَكُلُّ قَسْمٍ أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ؛ فَإِنَّهُ عَلَى مَا قَسَمَ الْإِسْلَامُ"؛ فَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَوْ أَسْلَمَ كَافِرٌ قَبْلَ قَسْمِ مِيرَاثِ مُوَرِّثِهِ الْمُسْلِمِ؛ وَرِثَ.

Pendapat ketiga: bahwa orang kafir mewarisi dari kerabat Muslimnya jika dia masuk Islam sebelum pembagian warisan; berdasarkan hadits: "Setiap pembagian yang dibagi pada masa Jahiliyah; maka ia sesuai dengan apa yang telah dibagi, dan setiap pembagian yang dikejar oleh Islam; maka ia sesuai dengan apa yang dibagi oleh Islam"; hadits ini menunjukkan bahwa jika seorang kafir masuk Islam sebelum pembagian warisan pewaris Muslimnya; dia mewarisi.

الْقَوْلُ الرَّابِعُ: أَنَّهُ يَرِثُ الْمُسْلِمُ مِنَ الْكَافِرِ دُونَ الْعَكْسِ؛ لِحَدِيثِ: "الْإِسْلَامُ يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ"، وَتَوْرِيثُ الْمُسْلِمِ مِنَ الْكَافِرِ زِيَادَةٌ، وَعَدَمُ تَوْرِيثِهِ مِنْهُ نَقْصٌ، وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْإِسْلَامَ يَجْلِبُ الزِّيَادَةَ وَلَا يَجْلِبُ النَّقْصَ.

Pendapat keempat: bahwa Muslim mewarisi dari orang kafir, bukan sebaliknya; berdasarkan hadits: "Islam itu bertambah dan tidak berkurang", dan mewariskan Muslim dari orang kafir adalah tambahan, dan tidak mewariskannya darinya adalah pengurangan, dan hadits ini menunjukkan bahwa Islam mendatangkan tambahan dan tidak mendatangkan pengurangan.

وَالرَّاجِحُ وَاللهُ أَعْلَمُ الْقَوْلُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ عَدَمُ التَّوَارُثِ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ؛ لِصِحَّةِ دَلِيلِهِ وَصَرَاحَتِهِ؛ بِخِلَافِ بَقِيَّةِ الْأَقْوَالِ؛ فَإِنَّ أَدِلَّتَهَا إِمَّا غَيْرُ صَحِيحَةٍ وَإِمَّا غَيْرُ صَرِيحَةٍ؛ فَلَا تُعَارِضُ دَلِيلَ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ.

Dan yang rajih (kuat), wallahu a'lam, adalah pendapat pertama, yaitu tidak ada saling mewarisi antara Muslim dan kafir; karena keabsahan dan kejelasan dalilnya; berbeda dengan pendapat-pendapat lainnya; karena dalil-dalilnya ada yang tidak sahih dan ada yang tidak jelas; sehingga tidak bertentangan dengan dalil pendapat pertama.

الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: تَوَارُثُ الْكُفَّارِ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ.

Masalah kedua: saling mewarisi di antara orang-orang kafir.

لِلْكُفَّارِ حَالَتَيْنِ:

Orang-orang kafir memiliki dua keadaan:

الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ يَكُونُوا عَلَى دِينٍ وَاحِدٍ؛ كَالْيَهُودِيِّ مَثَلًا مَعَ الْيَهُودِيِّ، وَالنَّصْرَانِيِّ مَعَ النَّصْرَانِيِّ، فَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ لَا خِلَافَ فِي إِرْثِ بَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ.

Keadaan pertama: mereka berada dalam satu agama; seperti Yahudi misalnya dengan Yahudi, dan Nasrani dengan Nasrani, maka dalam keadaan ini tidak ada perbedaan pendapat tentang saling mewarisi di antara mereka.

الحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَخْتَلِفَ أَدْيَانُهُمْ؛ كَالْيَهُودِ مَعَ النَّصَارَى أَوِ الْمَجُوسِ أَوِ الْوَثَنِيِّينَ؛ فَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي حُكْمِ تَوْرِيثِ بَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ، وَمَبْنَى الِاخْتِلَافِ هُوَ هَلِ الْكُفْرُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ أَوْ مِلَلٌ مُتَعَدِّدَةٌ؟.

Kasus kedua: bahwa agama mereka berbeda; seperti Yahudi dengan Nasrani atau Majusi atau penyembah berhala; dalam kasus ini para ulama berbeda pendapat tentang hukum saling mewarisi di antara mereka, dan dasar perbedaannya adalah apakah kekufuran itu satu millah atau beberapa millah?

الْقَوْلُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ قَوْلُ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ مَعَ اتِّحَادِ الدَّارِ، وَرِوَايَةٌ فِي مَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ: أَنَّ الْكُفْرَ بِجَمِيعِ أَشْكَالِهِ وَاخْتِلَافِ نِحَلِهِ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ، فَيَتَوَارَثُ الْكُفَّارُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ دُونَ نَظَرٍ إِلَى اخْتِلَافِ دِيَانَاتِهِمْ؛ لِعُمُومِ النُّصُوصِ فِي تَوَارُثِ الْآبَاءِ وَالْأَبْنَاءِ؛ فَلَا يُخَصُّ مِنْ عُمُومِهَا إِلَّا مَا اسْتَثْنَاهُ الشَّارِعُ، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ﴾ .

Pendapat pertama: yaitu pendapat Hanafiyah dan Syafi'iyah dengan kesatuan negeri, dan satu riwayat dalam mazhab Hanbali, dan ini adalah pendapat jumhur: bahwa kekufuran dengan segala bentuknya dan perbedaan kelompoknya adalah satu millah, maka orang-orang kafir saling mewarisi satu sama lain tanpa memandang perbedaan agama mereka; karena keumuman nash-nash tentang saling mewarisi antara bapak dan anak; maka tidak dikhususkan dari keumumannya kecuali apa yang dikecualikan oleh Syari', dan karena firman Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain".

الْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْكُفْرَ ثَلَاثُ مِلَلٍ؛ فَالْيَهُودِيَّةُ مِلَّةٌ، وَالنَّصْرَانِيَّةُ مِلَّةٌ، وَبَقِيَّةُ الْكُفْرِ مِلَّةٌ؛ لِأَنَّهُمْ يَجْمَعُهُمْ أَنَّهُمْ لَا كِتَابَ لَهُمْ؛ فَلَا يَرِثُ الْيَهُودِيُّ مِنَ النَّصْرَانِيِّ، وَلَا يَرِثُ أَحَدُهُمَا مِنَ الْوَثَنِيِّ.

Pendapat kedua: bahwa kekufuran itu ada tiga millah; Yahudi adalah satu millah, Nasrani adalah satu millah, dan selain kekufuran adalah satu millah; karena mereka disatukan bahwa mereka tidak memiliki kitab; maka orang Yahudi tidak mewarisi dari orang Nasrani, dan salah satu dari keduanya tidak mewarisi dari orang penyembah berhala.

الْقَوْلُ الثَّالِثُ: أَنَّ الْكُفْرَ مِلَلٌ مُتَعَدِّدَةٌ؛ فَلَا يَرِثُ أَهْلُ كُلِّ مِلَّةٍ مِنْ أَهْلِ الْمِلَّةِ الْأُخْرَى؛ بِدَلِيلِ قَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: "لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ.

Pendapat ketiga: bahwa kekufuran adalah beberapa millah; maka ahli setiap millah tidak mewarisi dari ahli millah yang lain; dengan dalil sabda Nabi ﷺ: "Tidak saling mewarisi ahli dua millah yang berbeda", diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah.

وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ هُوَ الرَّاجِحُ؛ لِهَذَا الْحَدِيثِ، وَهُوَ نَصٌّ فِي مَحَلِّ النِّزَاعِ، وَلِعَدَمِ التَّنَاصُرِ بَيْنَ أَهْلِ الْمِلَلِ؛ فَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمْ؛ كَالْمُسْلِمِينَ مَعَ

Dan mungkin pendapat inilah yang rajih; karena hadits ini, dan ia adalah nash dalam tempat perselisihan, dan karena tidak adanya saling menolong di antara ahli millah; maka tidak ada saling mewarisi di antara mereka; seperti kaum muslimin dengan

الكُفَّارُ، وَلِأَنَّهُ قَدْ تَعَارَضَ مُوجِبُ الْإِرْثِ مَعَ الْمَانِعِ مِنَ الْإِرْثِ وَهُوَ اخْتِلَافُ الدِّينِ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الدِّينِ يُوجِبُ الْمُبَايَنَةَ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ، فَقَوِيَ الْمَانِعُ، وَمَنَعَ مُوجِبَ الْإِرْثِ، فَلَمْ يَعْمَلِ الْمُوجِبُ؛ لِقِيَامِ الْمَانِعِ.

Orang-orang kafir, dan karena telah bertentangan antara penyebab pewarisan dengan penghalang pewarisan yaitu perbedaan agama; karena perbedaan agama menyebabkan perbedaan dari segala sisi, maka penghalang menjadi kuat, dan menghalangi penyebab pewarisan, sehingga penyebab tidak berlaku; karena adanya penghalang.

وَالَّذِينَ يَرَوْنَ أَنَّ الْكُفْرَ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ يَرَوْنَ أَنَّ اخْتِلَافَ الدَّارِ مَانِعٌ مِنْ تَوَارُثِ بَعْضِ الْكُفَّارِ مِنْ بَعْضٍ؛ لِعَدَمِ التَّنَاصُرِ وَالتَّآزُرِ بَيْنَهُمْ، وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ مَعَ اخْتِلَافِ الْمِلَلِ؛ فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ الَّذِي يَظْهَرُ لَنَا أَنَّ الرَّاجِحَ أَنَّهُ لَا يَرِثُ النَّصْرَانِيُّ مَثَلًا قَرِيبَهُ الْيَهُودِيَّ أَوْ قَرِيبَهُ الْمَجُوسِيَّ أَوِ الْوَثَنِيَّ، وَلَا يَرِثُ الْوَثَنِيُّ مَثَلًا قَرِيبَهُ الْيَهُودِيَّ، وَإِنَّمَا يَتَوَارَثُ النَّصَارَى فِيمَا بَيْنَهُمْ، وَالْيَهُودُ فِيمَا بَيْنَهُمْ، وَالْمَجُوسُ فِيمَا بَيْنَهُمْ، وَكَذَا بَقِيَّةُ الْمِلَلِ الْكُفْرِيَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

Dan orang-orang yang berpendapat bahwa kekufuran adalah satu agama, mereka berpendapat bahwa perbedaan negara menghalangi sebagian orang kafir mewarisi sebagian yang lain; karena tidak adanya tolong-menolong dan dukungan di antara mereka, dan makna ini ada pada perbedaan agama; maka berdasarkan pendapat ini, yang nampak bagi kami bahwa yang rajih adalah seorang Nasrani misalnya tidak mewarisi kerabatnya yang Yahudi, Majusi, atau penyembah berhala, dan seorang penyembah berhala misalnya tidak mewarisi kerabatnya yang Yahudi, dan sesungguhnya orang-orang Nasrani saling mewarisi di antara mereka, orang-orang Yahudi saling mewarisi di antara mereka, orang-orang Majusi saling mewarisi di antara mereka, dan begitu pula agama-agama kufur lainnya. Dan Allah lebih mengetahui.

بَابٌ فِي حُكْمِ تَوْرِيثِ الْقَاتِلِ

بَابٌ فِي حُكْمِ تَوْرِيثِ الْقَاتِلِ

Bab tentang hukum mewariskan kepada pembunuh

قَدْ تَتَوَفَّرُ أَسْبَابُ الْإِرْثِ، وَلَكِنَّهُ لَا يَتَحَقَّقُ لِمَانِعٍ عَارِضٍ هَذِهِ الْأَسْبَابَ فَمَنَعَ مِنْ تَحَقُّقِ مُقْتَضَاهَا.

Sebab-sebab pewarisan mungkin tersedia, tetapi tidak terealisasi karena adanya penghalang yang menghalangi sebab-sebab ini sehingga mencegah terealisasinya konsekuensinya.

وَمَوَانِعُ الْإِرْثِ كَثِيرَةٌ، مِنْهَا قَتْلُ الْوَارِثِ لِمُوَرِّثِهِ، وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَيْسَ لِقَاتِلٍ مِيرَاثٌ"، وَقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ شَيْئًا"، وَلِأَجْلِ سَدِّ الذَّرِيعَةِ؛ لِأَنَّ الْوَارِثَ قَدْ يَحْمِلُهُ حُبُّ الْمَالِ عَلَى قَتْلِ مُوَرِّثِهِ لِأَجْلِ الْحُصُولِ عَلَى مَالِهِ، وَالْقَاعِدَةُ الْمَعْرُوفَةُ أَنَّ مَنْ تَعَجَّلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ؛ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ.

Penghalang pewarisan ada banyak, di antaranya adalah pembunuhan ahli waris terhadap pewaris, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Tidak ada warisan bagi pembunuh", dan sabdanya ﷺ: "Pembunuh tidak mewarisi apapun", dan untuk menutup celah; karena ahli waris mungkin terdorong oleh kecintaan terhadap harta untuk membunuh pewarisnya demi mendapatkan hartanya, dan kaidah yang terkenal adalah barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya; maka ia dihukum dengan tidak mendapatkannya.

وَحِرْمَانُ الْقَاتِلِ الْمِيرَاثَ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْجُمْلَةِ، وَإِنِ اخْتَلَفُوا فِي تَحْدِيدِ نَوْعِيَّةِ الْقَتْلِ الَّذِي مَنَعَ مِنَ الْإِرْثِ:

Pencabutan hak waris bagi pembunuh disepakati oleh para ulama secara umum, meskipun mereka berbeda pendapat dalam menentukan jenis pembunuhan yang menghalangi pewarisan:

وَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ ﵀ أَنَّ الْقَاتِلَ لَا يَرِثُ

Pendapat yang benar dari mazhab Syafi'i ﵀ adalah bahwa pembunuh tidak mewarisi

بِحَالٍ، أَيًّا كَانَ نَوْعُ الْقَتْلِ؛ لِعُمُومِ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ شَيْئًا"، وَلِأَنَّ الْقَاتِلَ حُرِمَ الْمِيرَاثَ لِئَلَّا يُجْعَلَ الْقَتْلُ ذَرِيعَةً إِلَى اسْتِعْمَالِ الْمِيرَاثِ، فَوَجَبَ أَنْ يُحْرَمَ بِكُلِّ حَالٍ؛ لِحَسْمِ الْبَابِ.

Dalam keadaan apa pun, apa pun jenis pembunuhannya; karena keumuman sabda Nabi ﷺ: "Pembunuh tidak mewarisi apa pun", dan karena pembunuh diharamkan dari warisan agar pembunuhan tidak dijadikan sarana untuk menggunakan warisan, maka wajib diharamkan dalam segala keadaan; untuk menutup pintu.

فَعَلَى هَذَا لَا يَرِثُ كُلُّ مَنْ لَهُ دَخْلٌ فِي الْقَتْلِ، وَلَوْ كَانَ بِحَقٍّ؛ كَالْمُقْتَصِّ، وَمَنْ حَكَمَ بِالْقَتْلِ؛ كَالْقَاضِي، وَكَذَا الشَّاهِدُ، وَحَتَّى لَوْ كَانَ الْقَتْلُ بِغَيْرِ قَصْدٍ؛ كَالْقَتْلِ الَّذِي يَحْصُلُ مِنْ نَائِمٍ وَمَجْنُونٍ وَطِفْلٍ، وَكَذَا لَوْ كَانَ الْقَتْلُ نَاتِجًا عَنْ فِعْلٍ مَأْذُونٍ فِيهِ شَرْعًا؛ كَالْمُؤَدِّبِ وَالْمُدَاوِي إِذَا تَرَتَّبَ عَلَى التَّأْدِيبِ وَالْعِلَاجِ مَوْتُ الْمُؤَدَّبِ وَالْمُعَالَجِ.

Berdasarkan hal ini, setiap orang yang terlibat dalam pembunuhan tidak mewarisi, meskipun itu adalah hak; seperti orang yang menuntut qisas, dan orang yang memutuskan pembunuhan; seperti hakim, dan juga saksi, bahkan jika pembunuhan itu tidak disengaja; seperti pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidur, orang gila, dan anak kecil, dan juga jika pembunuhan itu dihasilkan dari tindakan yang diizinkan secara syar'i; seperti pendidik dan dokter jika kematian murid dan pasien terjadi karena pendidikan dan pengobatan.

وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّ الْقَتْلَ الَّذِي يَمْنَعُ الْإِرْثَ هُوَ الْقَتْلُ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَهُوَ مَا وَجَبَ ضَمَانُهُ بِقَوَدٍ أَوْ دِيَةٍ أَوْ كَفَّارَةٍ؛ كَالْقَتْلِ الْعَمْدِ وَشِبْهِ الْعَمْدِ وَالْخَطَأِ وَمَا جَرَى مَجْرَاهُ كَالْقَتْلِ بِالسَّبَبِ وَالْقَتْلِ مِنَ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ وَالنَّائِمِ، وَمَا لَيْسَ بِمَضْمُونٍ بِشَيْءٍ مِمَّا ذُكِرَ؛ فَإِنَّهُ لَا يَمْنَعُ الْمِيرَاثَ؛ كَالْقَتْلِ قِصَاصًا أَوْ حَدًّا أَوْ دَفْعًا عَنِ النَّفْسِ أَوْ كَانَ الْقَاتِلُ عَادِلًا الْمَقْتُولَ بَاغِيًا أَوْ كَانَ الْقَتْلُ نَاتِجًا عَنْ فِعْلٍ مَأْذُونٍ بِهِ شَرْعًا؛ كَالتَّأْدِيبِ وَالْعِلَاجِ.

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa pembunuhan yang mencegah warisan adalah pembunuhan tanpa hak, yaitu pembunuhan yang wajib dijamin dengan qisas, diyat, atau kafarat; seperti pembunuhan sengaja, semi sengaja, tidak sengaja, dan yang serupa dengannya seperti pembunuhan dengan sebab, pembunuhan oleh anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur, dan pembunuhan yang tidak dijamin dengan sesuatu yang disebutkan; maka itu tidak mencegah warisan; seperti pembunuhan sebagai qisas, had, atau membela diri, atau jika pembunuh adalah orang yang adil dan yang terbunuh adalah pemberontak, atau jika pembunuhan itu dihasilkan dari tindakan yang diizinkan secara syar'i; seperti pendidikan dan pengobatan.

وَكَذَا مَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ؛ إِلَّا أَنَّهُمُ اعْتَبَرُوا الْقَتْلَ بِالتَّسَبُّبِ لَا يَمْنَعُ الْمِيرَاثَ؛ كَمَا لَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ وَضَعَ حَجَرًا فِي الطَّرِيقِ، فَانْقَتَلَ بِذَلِكَ مُوَرِّثُهُ، وَكَذَا الْقَتْلُ بِغَيْرِ قَصْدٍ لَا يَمْنَعُ الْمِيرَاثَ؛ كَالْقَتْلِ مِنَ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ.

Demikian pula mazhab Hanafi; hanya saja mereka menganggap pembunuhan dengan sebab tidak mencegah warisan; seperti jika seseorang menggali sumur atau meletakkan batu di jalan, lalu orang yang mewariskannya terbunuh karena itu, dan juga pembunuhan tanpa sengaja tidak mencegah warisan; seperti pembunuhan oleh anak kecil dan orang gila.

وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّ الْقَاتِلَ لَهُ حَالَتَانِ:

Menurut mazhab Maliki, pembunuh memiliki dua keadaan:

الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ يَكُونَ قَتَلَ مُوَرِّثَهُ عَمْدًا عُدْوَانًا؛ فَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ لَا يَرِثُ مِنْ مَالِ مُوَرِّثِهِ وَلَا مِنْ دِيَتِهِ.

Keadaan pertama: bahwa dia membunuh orang yang mewariskannya dengan sengaja dan permusuhan; dalam keadaan ini, dia tidak mewarisi dari harta orang yang mewariskannya dan tidak pula dari diyatnya.

الحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ قَتَلَ مُورِثَهُ خَطَأً؛ فَفِي هَذِهِ الحَالَةِ يَرِثُ مِنْ مَالِهِ، وَلَا يَرِثُ مِنْ دِيَتِهِ، وَوَجْهُ تَوْرِيثِهِ مِنَ المَالِ عِنْدَهُمْ فِي هَذِهِ الحَالَةِ أَنَّهُ لَمْ يَتَعَجَّلْهُ بِالقَتْلِ، وَوَجْهُ كَوْنِهِ لَمْ يَرِثْ مِنَ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهَا وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ، وَلَا مَعْنَى لِكَوْنِهِ يَرِثُ مِنْ شَيْءٍ يَجِبُ عَلَيْهِ.

Kasus kedua: bahwa dia membunuh pewaris karena kesalahan; dalam kasus ini, dia mewarisi dari hartanya, dan tidak mewarisi dari diyatnya. Alasan mewarisi dari harta menurut mereka dalam kasus ini adalah karena dia tidak terburu-buru membunuhnya, dan alasan dia tidak mewarisi dari diyat adalah karena itu wajib atasnya, dan tidak masuk akal baginya untuk mewarisi sesuatu yang wajib atasnya.

وَبِاسْتِعْرَاضِ هَذِهِ الأَقْوَالِ نَجِدُ القَوْلَ الوَسَطَ مِنْهَا، وَهُوَ أَنَّ القَتْلَ الَّذِي يُوجِبُ الضَّمَانَ عَلَى القَاتِلِ يَمْنَعُ المِيرَاثَ، وَالقَتْلَ الَّذِي لَا يُوجِبُ الضَّمَانَ عَلَى القَاتِلِ لَا يَمْنَعُ المِيرَاثَ؛ كَمَا قَالَ بِهِ الحَنَابِلَةُ وَالحَنَفِيَّةُ؛ لِأَنَّ مَا أَوْجَبَ الضَّمَانَ يَكُونُ القَاتِلُ لَا يَمْنَعُ المِيرَاثَ؛ كَمَا قَالَ بِهِ الحَنَابِلَةُ وَالحَنَفِيَّةُ؛ لِأَنَّ مَا أَوْجَبَ الضَّمَانَ يَكُونُ القَاتِلُ فِيهِ غَيْرَ مَعْذُورٍ وَمُتَحَمِّلًا لِمَسْؤُولِيَّتِهِ، فَيَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ حِرْمَانُهُ مِنَ المِيرَاثِ، وَمَا لَا يُوجِبُ الضَّمَانَ يَكُونُ القَاتِلُ مَعْذُورًا فِيهِ وَغَيْرَ مُتَحَمِّلٍ لِمَسْؤُولِيَّتِهِ؛ فَلَا يَمْنَعُهُ مِنَ المِيرَاثِ، وَلَوْ عَمِلْنَا بِقَوْلِ الشَّافِعِيَّةِ، فَجَعَلْنَا كُلَّ قَتْلٍ يَمْنَعُ المِيرَاثَ؛ لَكَانَ ذَلِكَ سَبَبًا لِعَدَمِ إِقَامَةِ الحُدُودِ الوَاجِبَةِ وَلِعَدَمِ اسْتِيفَاءِ الحُقُوقِ كَالقِصَاصِ وَنَحْوِهِ.

Dengan meninjau pendapat-pendapat ini, kita menemukan pendapat yang moderat di antaranya, yaitu bahwa pembunuhan yang mewajibkan jaminan atas pembunuh mencegah warisan, dan pembunuhan yang tidak mewajibkan jaminan atas pembunuh tidak mencegah warisan; sebagaimana dikatakan oleh Hanabilah dan Hanafiyah; karena apa yang mewajibkan jaminan, pembunuh tidak mencegah warisan; sebagaimana dikatakan oleh Hanabilah dan Hanafiyah; karena apa yang mewajibkan jaminan, pembunuh di dalamnya tidak dimaafkan dan bertanggung jawab, maka konsekuensinya adalah dia terhalang dari warisan. Adapun yang tidak mewajibkan jaminan, pembunuh dimaafkan di dalamnya dan tidak bertanggung jawab; maka tidak mencegahnya dari warisan. Seandainya kita mengamalkan pendapat Syafi'iyah, lalu kita menjadikan setiap pembunuhan mencegah warisan; tentu itu akan menjadi sebab tidak ditegakkannya hudud yang wajib dan tidak ditunaikannya hak-hak seperti qishash dan sejenisnya.

فَعَلَى هَذَا يَكُونُ عُمُومُ قَوْلِ الرَّسُولِ ﷺ: "لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِيرَاثٌ": مَخْصُوصٌ بِمَا إِذَا كَانَ القَتْلُ بِغَيْرِ حَقٍّ وَغَيْرِ مَضْمُونٍ.

Berdasarkan ini, keumuman sabda Rasulullah ﷺ: "Pembunuh tidak mendapat warisan" dikhususkan jika pembunuhan tanpa hak dan tidak dijamin.