Al Mulakhkhas Fiqhiy - Kitab Thaharah
كِتَابُ الطَّهَارَةِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الطَّهَارَةِ وَالْمِيَاهِ
إِنَّ الصَّلَاةَ هِيَ الرُّكْنُ الثَّانِي مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ، وَهِيَ الْفَارِقَةُ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ، وَهِيَ عَمُودُ الْإِسْلَامِ، وَأَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ عَنْهُ الْعَبْدُ، فَإِنْ صَحَّتْ وَقُبِلَتْ؛ قُبِلَ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ رُدَّتْ؛ رُدَّ سَائِرُ عَلِمِهِ.
Sesungguhnya salat adalah rukun Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat, dan ia adalah pembeda antara seorang muslim dan kafir. Salat merupakan tiang agama Islam, dan merupakan amalan pertama yang akan dihisab dari seorang hamba. Jika salatnya sah dan diterima, maka seluruh amalannya akan diterima. Namun jika salatnya ditolak, maka seluruh ilmunya akan ditolak.
وَقَدْ ذُكِرَتِ الصَّلَاةُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ عَلَى صِفَاتٍ مُتَنَوِّعَةٍ؛ فَتَارَةً يَأْمُرُ اللهُ بِإِقَامَتِهَا، وَتَارَةً يُبَيِّنُ مَزِيَّتَهَا، وَتَارَةً يُبَيِّنُ ثَوَابَهَا، وَتَارَةً يَقْرِنُهَا مَعَ الصَّبْرِ وَيَأْمُرُ بِالِاسْتِعَانَةِ بِهِمَا عَلَى الشَّدَائِدِ.
Salat telah disebutkan di banyak tempat dalam Al-Qur'an yang mulia dengan berbagai sifat. Terkadang Allah memerintahkan untuk mendirikannya, terkadang Dia menjelaskan keutamaannya, terkadang Dia menjelaskan pahalanya, dan terkadang Dia menggandengkannya dengan kesabaran dan memerintahkan untuk memohon pertolongan dengan keduanya dalam menghadapi kesulitan.
وَمِنْ ثَمَّ كَانَتْ قُرَّةَ عَيْنِ الرَّسُولِ ﷺ مِنْ هَذِهِ الدُّنْيَا؛ فَهِيَ حِلْيَةُ النَّبِيِّينَ، وَشِعَارُ الصَّالِحِينَ، وَهِيَ صِلَةٌ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَهِيَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ.
Oleh karena itu, salat menjadi penyejuk mata Rasulullah ﷺ di dunia ini. Salat adalah perhiasan para nabi dan simbol orang-orang saleh. Salat merupakan penghubung antara seorang hamba dengan Tuhan semesta alam, dan ia mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
وَلَمَّا كَانَتْ هَذِهِ الصَّلَاةُ لَا تَصِحُّ إِلَّا بِطَهَارَةِ الْمُصَلِّي مِنَ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ حَسَبَ الْقُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ، وَكَانَتْ مَادَّةُ التَّطَهُّرِ هِيَ الْمَاءُ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ مِنَ التَّيَمُّمِ عِنْدَ عَدَمِ الْمَاءِ؛ صَارَ الْفُقَهَاءُ ﵀ يَبْدَؤُونَ بِكِتَابِ الطَّهَارَةِ؛ لِأَنَّهَا لَمَّا قُدِّمَتِ الصَّلَاةُ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ عَلَى غَيْرِهَا مِنْ بَقِيَّةِ
Karena salat tidak sah kecuali dengan kesucian orang yang salat dari hadats dan najis sesuai kemampuannya, dan bahan untuk bersuci adalah air atau pengganti air yaitu tayamum ketika tidak ada air, maka para ulama fikih ﵀ memulai dengan kitab thaharah (bersuci). Karena ketika salat didahulukan setelah dua kalimat syahadat atas selain keduanya dari sisa-sisa
أَرْكَانُ الإِسْلَامِ؛ نَاسَبَ تَقْدِيمُ مُقَدِّمَاتِهَا، وَمِنْهَا الطَّهَارَةُ، فَهِيَ مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ؛ كَمَا فِي الحَدِيثِ: "مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ"، وَذَلِكَ لِأَنَّ الحَدَثَ يَمْنَعُ الصَّلَاةَ؛ فَهُوَ كَالقِفْلِ يُوضَعُ عَلَى المُحْدِثِ، فَإِذَا تَوَضَّأَ؛ انْحَلَّ القِفْلُ.
Rukun-rukun Islam; dianjurkan untuk mengawali pengantarnya, dan di antaranya adalah thaharah, karena itu adalah kunci shalat; seperti dalam hadits: "Kunci shalat adalah bersuci", dan itu karena hadats mencegah shalat; itu seperti kunci yang ditempatkan pada orang yang berhadats, dan ketika dia berwudhu; kunci itu terbuka.
فَالطَّهَارَةُ أَوْكَدُ شُرُوطِ الصَّلَاةِ، وَالشَّرْطُ لَا بُدَّ أَنْ يُقَدَّمَ عَلَى المَشْرُوطِ.
Maka thaharah adalah syarat yang paling penting dalam shalat, dan syarat harus didahulukan sebelum yang disyaratkan.
وَمَعْنَى الطَّهَارَةِ لُغَةً: النَّظَافَةُ وَالنَّزَاهَةُ عَنِ الأَقْذَارِ الحِسِّيَّةِ وَالمَعْنَوِيَّةِ.
Dan makna thaharah secara bahasa adalah: kebersihan dan kesucian dari kotoran yang terlihat dan tidak terlihat.
وَمَعْنَاهَا شَرْعًا: ارْتِفَاعُ الحَدَثِ وَزَوَالُ النَّجَسِ.
Dan maknanya secara syariat adalah: hilangnya hadats dan hilangnya najis.
وَارْتِفَاعُ الحَدَثِ يَحْصُلُ بِاسْتِعْمَالِ المَاءِ مَعَ النِّيَّةِ فِي جَمِيعِ البَدَنِ إِنْ كَانَ حَدَثًا أَكْبَرَ، أَوْ فِي الأَعْضَاءِ الأَرْبَعَةِ إِنْ كَانَ حَدَثًا أَصْغَرَ، أَوِ اسْتِعْمَالُ مَا يَنُوبُ عَنِ المَاءِ عِنْدَ عَدَمِهِ أَوِ العَجْزِ عَنِ اسْتِعْمَالِهِ وَهُوَ التُّرَابُ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ، وَسَيَأْتِي إِنْ شَاءَ اللهُ بَيَانٌ لِصِفَةِ التَّطَهُّرِ مِنَ الحَدَثَيْنِ.
Dan hilangnya hadats terjadi dengan menggunakan air dengan niat pada seluruh tubuh jika itu hadats besar, atau pada empat anggota tubuh jika itu hadats kecil, atau menggunakan sesuatu yang menggantikan air ketika tidak ada atau tidak mampu menggunakannya yaitu debu dengan cara tertentu, dan akan datang insya Allah penjelasan tentang cara bersuci dari dua hadats.
وَغَرَضُنَا الآنَ بَيَانُ صِفَةِ المَاءِ الَّذِي يَحْصُلُ بِهِ التَّطَهُّرُ وَالمَاءِ الَّذِي لَا يَحْصُلُ بِهِ ذَلِكَ.
Dan tujuan kami sekarang adalah menjelaskan sifat air yang dengannya bisa bersuci dan air yang dengannya tidak bisa bersuci.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ﴾ .
Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami turunkan dari langit air yang suci", dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikanmu dengan (hujan) itu".
وَالطَّهُورُ هُوَ الطَّاهِرُ فِي ذَاتِهِ المُطَهِّرُ لِغَيْرِهِ، وَهُوَ البَاقِي عَلَى خِلْقَتِهِ أَيْ صِفَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا، سَوَاءً كَانَ نَازِلًا مِنَ السَّمَاءِ كَالمَطَرِ وَذَوْبِ الثُّلُوجِ وَالبَرَدِ، أَوْ جَارِيًا فِي الأَرْضِ كَمَاءِ الأَنْهَارِ وَالعُيُونِ وَالآبَارِ وَالبِحَارِ، أَوْ كَانَ مُقَطَّرًا.
Air yang suci adalah yang murni pada dirinya sendiri dan menyucikan yang lain, dan itu tetap pada ciptaan-Nya, yaitu sifat yang diciptakan atasnya, baik itu yang turun dari langit seperti hujan dan mencairnya salju dan es, atau yang mengalir di bumi seperti air sungai, mata air, sumur dan laut, atau air suling.
فَهَذَا هُوَ الَّذِي يَصِحُّ التَّطَهُّرُ بِهِ مِنَ الحَدَثِ وَالنَّجَاسَةِ، فَإِنْ تَغَيَّرَ بِنَجَاسَةٍ؛ لَمْ يَجُزِ التَّطَهُّرُ بِهِ؛ مِنْ غَيْرِ خِلَافٍ وَإِنْ تَغَيَّرَ بِشَيْءٍ طَاهِرٍ لَمْ يَغْلِبْ عَلَيْهِ؛ فَالصَّحِيحُ مِنْ قَوْلَيِ العُلَمَاءِ صِحَّةُ التَّطَهُّرِ بِهِ أَيْضًا.
Inilah yang sah untuk bersuci dengannya dari hadats dan najis. Jika berubah karena najis; maka tidak boleh bersuci dengannya; tanpa ada perbedaan pendapat. Dan jika berubah karena sesuatu yang suci yang tidak mendominasinya; maka yang benar dari dua pendapat ulama adalah sahnya bersuci dengannya juga.
قَالَ شَيْخُ الإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "أَمَّا مَسْأَلَةُ تَغَيُّرِ المَاءِ اليَسِيرِ أَوِ الكَثِيرِ بِالطَّاهِرَاتِ؛ كَالإِشْنَانِ، وَالصَّابُونِ، وَالسِّدْرِ، وَالخِطْمِيِّ، وَالتُّرَابِ، وَالعَجِينِ ... وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا قَدْ يُغَيِّرُ المَاءَ، مِثْلُ الإِنَاءِ إِذَا كَانَ فِيهِ أَثَرُ سِدْرٍ أَوْ خِطْمِيٍّ، وَوُضِعَ فِيهِ مَاءٌ، فَتَغَيَّرَ بِهِ، مَعَ بَقَاءِ اسْمِ المَاءِ؛ فَهَذَا فِيهِ قَوْلَانِ مَعْرُوفَانِ لِلْعُلَمَاءِ".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Adapun masalah perubahan air sedikit atau banyak karena hal-hal yang suci; seperti sabun, sabun, bidara, Khitmi, debu, dan adonan ... dan selain itu dari apa yang dapat mengubah air, seperti wadah jika ada bekas bidara atau Khitmi di dalamnya, dan air diletakkan di dalamnya, maka air itu berubah karenanya, dengan tetap menyandang nama air; maka dalam hal ini ada dua pendapat yang terkenal di kalangan ulama."
ثُمَّ ذَكَرَهَا مَعَ بَيَانِ وَجْهِ كُلِّ قَوْلٍ، وَرَجَّحَ القَوْلَ بِصِحَّةِ التَّطَهُّرِ بِهِ، وَقَالَ: "هُوَ الصَّوَابُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ تَعَالَى قَالَ: ﴿وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ﴾، وَقَوْلُهُ: ﴿فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً﴾ نَكِرَةٌ فِي سِيَاقِ النَّفْيِ، فَيَعُمُّ كُلَّ مَا هُوَ مَاءٌ، لَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ نَوْعٍ وَنَوْعٍ" انْتَهَى.
Kemudian ia menyebutkannya dengan menjelaskan setiap pendapat, dan ia mengunggulkan pendapat sahnya bersuci dengannya, dan ia berkata, "Itu adalah yang benar; karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu", dan firman-Nya: "maka jika kamu tidak memperoleh air" adalah nakirah (indefinite) dalam konteks penafian, maka mencakup semua yang disebut air, tidak ada perbedaan dalam hal itu antara jenis dan jenis." Selesai.
فَإِذَا عُدِمَ المَاءُ، أَوْ عَجَزَ عَنِ اسْتِعْمَالِهِ مَعَ وُجُودِهِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ جَعَلَ
Jika air tidak ada, atau tidak mampu menggunakannya meskipun ada; maka sesungguhnya Allah telah menjadikan
بَدَلُهُ التُّرَابُ، عَلَى صِفَةٍ لِاسْتِعْمَالِهِ بَيَّنَهَا النَّبِيُّ ﷺ فِي سُنَّتِهِ، وَسَيَأْتِي تَوْضِيحُ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللهُ فِي بَابِهِ.
Penggantinya adalah debu, dengan tata cara penggunaannya yang dijelaskan oleh Nabi ﷺ dalam sunnahnya, dan penjelasan tentang hal itu akan datang insya Allah pada babnya.
وَهَذَا مِنْ لُطْفِ اللهِ بِعِبَادِهِ، وَرَفْعِ الحَرَجِ عَنْهُمْ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا﴾ .
Ini adalah kemurahan Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan menghilangkan kesulitan dari mereka. Allah Ta'ala berfirman: "Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik; usaplah wajahmu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
قَالَ ابْنُ هُبَيْرَةَ: "وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الطَّهَارَةَ بِالْمَاءِ تَجِبُ عَلَى كُلِّ مَنْ لَزِمَتْهُ الطَّهَارَةُ مَعَ وُجُودِهِ فَإِنْ عَدِمَهُ؛ فَبَدَلُهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا﴾، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ﴾ انْتَهَى.
Ibnu Hubairah berkata: "Mereka (para ulama) sepakat bahwa bersuci dengan air wajib bagi setiap orang yang berkewajiban bersuci jika air tersedia. Jika tidak ada air, maka penggantinya (adalah tayamum). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik," dan firman-Nya: "Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu." Selesai.
وَهَذَا مِمَّا يَدُلُّ عَلَى عَظَمَةِ هَذَا الْإِسْلَامِ، الَّذِي هُوَ دِينُ الطَّهَارَةِ وَالنَّزَاهَةِ الْحِسِّيَّةِ وَالْمَعْنَوِيَّةِ، كَمَا يَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى عَظَمَةِ هَذِهِ الصَّلَاةِ، حَيْثُ لَمْ يَصِحَّ الدُّخُولُ فِيهَا بِدُونِ الطَّهَارَتَيْنِ: الطَّهَارَةِ الْمَعْنَوِيَّةِ مِنَ الشِّرْكِ، وَذَلِكَ بِالتَّوْحِيدِ وَإِخْلَاصِ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ، وَالطَّهَارَةِ الْحِسِّيَّةِ مِنَ الْحَدَثِ وَالنَّجَاسَةِ، وَذَلِكَ يَكُونُ بِالْمَاءِ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهُ.
Ini adalah salah satu hal yang menunjukkan keagungan Islam, yang merupakan agama kesucian dan kebersihan fisik dan spiritual. Hal itu juga menunjukkan keagungan salat ini, di mana tidak sah memasukinya tanpa dua kesucian: kesucian spiritual dari kesyirikan dengan tauhid dan mengikhlaskan ibadah kepada Allah, serta kesucian fisik dari hadats dan najis, yang dilakukan dengan air atau yang menggantikannya.
وَاعْلَمْ أَنَّ الْمَاءَ إِذَا كَانَ بَاقِيًا عَلَى خِلْقَتِهِ، لَمْ تُخَالِطْهُ مَادَّةٌ أُخْرَى؛ فَهُوَ طَهُورٌ بِالْإِجْمَاعِ، وَإِنْ تَغَيَّرَ أَحَدُ أَوْصَافِهِ الثَّلَاثَةِ رِيحٌ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ؛ فَهُوَ نَجِسٌ بِالْإِجْمَاعِ، لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ، وَإِنْ تَغَيَّرَ أَحَدُ أَوْصَافِهِ بِمُخَالَطَةِ مَادَّةٍ طَاهِرَةٍ كَأَوْرَاقِ الْأَشْجَارِ
Ketahuilah bahwa air, jika tetap pada bentuk aslinya dan tidak bercampur dengan zat lain, maka ia suci berdasarkan kesepakatan ulama. Jika salah satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, atau warna) berubah karena najis, maka air itu najis berdasarkan kesepakatan ulama dan tidak boleh digunakan. Jika salah satu sifatnya berubah karena tercampur dengan zat suci seperti dedaunan pohon
أَوِ الصَّابُونِ أَوِ الْإِشْنَانِ وَالسِّدْرِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَوَادِّ الطَّاهِرَةِ، وَلَمْ يَغْلِبْ ذَلِكَ الْمُخَالِطُ عَلَيْهِ؛ فَلِبَعْضِ الْعُلَمَاءِ فِي ذَلِكَ تَفَاصِيلُ وَخِلَافٌ، وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ طَهُورٌ، يَجُوزُ التَّطَهُّرُ بِهِ مِنَ الْحَدَثِ، وَالتَّطَهُّرُ بِهِ مِنَ النَّجَسِ.
Atau sabun atau isynan dan sidr atau bahan suci lainnya, dan campuran itu tidak mendominasi air; sebagian ulama memiliki rincian dan perbedaan pendapat tentang hal itu, dan yang benar adalah air itu suci, boleh bersuci dengannya dari hadats, dan bersuci dengannya dari najis.
فَعَلَى هَذَا؛ يَصِحُّ لَنَا أَنْ نَقُولَ:
Berdasarkan ini; kita dapat mengatakan dengan benar:
إِنَّ الْمَاءَ يَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ:
Air terbagi menjadi dua jenis:
الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: طَهُورٌ يَصِحُّ التَّطَهُّرُ بِهِ، سَوَاءٌ كَانَ بَاقِيًا عَلَى خِلْقَتِهِ أَوْ خَالَطَتْهُ مَادَّةٌ طَاهِرَةٌ لَمْ تَغْلِبْ عَيْهِ وَلَمْ تَسْلُبْهُ اسْمَهُ.
Jenis pertama: Suci yang sah digunakan untuk bersuci, baik tetap pada penciptaannya atau tercampur dengan bahan suci yang tidak mendominasinya dan tidak menghilangkan namanya.
الْقِسْمُ الثَّانِي: نَجِسٌ لَا يَجُوزُ اسْتِعْمَالُهُ؛ فَلَا يَرْفَعُ الْحَدَثَ، وَلَا يُزِيلُ النَّجَاسَةَ، وَهُوَ مِمَّا تَغَيَّرَ بِالنَّجَاسَةِ.
Jenis kedua: Najis yang tidak boleh digunakan; tidak menghilangkan hadats, dan tidak menghilangkan najis, yaitu air yang berubah karena najis.
وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
Dan Allah Ta'ala Maha Mengetahui.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْآنِيَةِ وَثِيَابِ الْكُفَّارِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْآنِيَةِ وَثِيَابِ الْكُفَّارِ
Bab tentang hukum-hukum wadah dan pakaian orang-orang kafir
الْآنِيَةُ هِيَ الْأَوْعِيَةُ الَّتِي يُحْفَظُ فِيهَا الْمَاءُ وَغَيْرُهُ، سَوَاءٌ كَانَتْ مِنَ الْحَدِيدِ أَوِ الْخَشَبِ أَوِ الْجُلُودِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ.
Wadah adalah tempat untuk menyimpan air dan lainnya, baik terbuat dari besi, kayu, kulit, atau selain itu.
وَالْأَصْلُ فِيهَا الْإِبَاحَةُ، فَيُبَاحُ اسْتِعْمَالُ وَاتِّخَاذُ كُلِّ إِنَاءٍ طَاهِرٍ، مَا عَدَا نَوْعَيْنِ، هُمَا:
Hukum asalnya adalah boleh, maka diperbolehkan menggunakan dan membuat setiap wadah yang suci, kecuali dua jenis, yaitu:
١" إِنَاءُ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَالْإِنَاءُ الَّذِي فِيهِ ذَهَبٌ أَوْ فِضَّةٌ، طِلَاءً أَوْ تَمْوِيهًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ جَعْلِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ فِي الْإِنَاءِ، مَا عَدَا الْيَسِيرَةَ مِنَ الْفِضَّةِ تُجْعَلُ فِي الْإِنَاءِ لِلْحَاجَةِ إِلَى إِصْلَاحِهِ.
1" Wadah emas dan perak, dan wadah yang mengandung emas atau perak, baik dilapisi, dihiasi, atau jenis lainnya dalam menempatkan emas dan perak pada wadah, kecuali sedikit perak yang ditempatkan pada wadah karena kebutuhan untuk memperbaikinya.
وَدَلِيلُ تَحْرِيمِ إِنَاءِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ قَوْلُهُصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهِمَا؛ فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَنَا فِي الْآخِرَةِ"، رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ،
Dalil pengharaman wadah emas dan perak adalah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: "Janganlah kalian minum pada bejana emas dan perak, dan jangan makan pada piring keduanya; karena itu untuk mereka di dunia dan untuk kita di akhirat", diriwayatkan oleh Jama'ah,
وَقَوْلُهُ ﷺ: "الَّذِي يَشْرَبُ فِي آنِيَةِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ يَتَنَاوَلُهُ خَالِصًا أَوْ مُجَزَّأً، فَيُحْرَمُ الْإِنَاءُ الْمُطَلِّي أَوِ الْمُمَوَّهُ بِالذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ أَوِ الَّذِي فِيهِ شَيْءٌ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، مَا عَدَا الضَّبَّةَ الْيَسِيرَةَ مِنَ الْفِضَّةِ كَمَا سَبَقَ؛ بِدَلِيلِ حَدِيثِ أَنَسٍ ﵁: "أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ ﷺ انْكَسَرَ، فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ"، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Dan sabdanya ﷺ: "Orang yang minum dalam bejana perak seolah-olah dia menuangkan api neraka Jahanam ke dalam perutnya", disepakati, dan larangan terhadap sesuatu mencakup yang murni atau sebagian darinya, maka haram wadah yang dilapisi atau dihiasi dengan emas atau perak atau yang di dalamnya terdapat sesuatu dari emas dan perak, kecuali logam perak yang sedikit seperti yang telah lalu; berdasarkan hadits Anas ﵁: "Bahwa gelas Nabi ﷺ pecah, maka beliau mengganti bagian yang pecah dengan rantai perak", diriwayatkan oleh al-Bukhari.
قَالَ النَّوَوِيُّ ﵀: "انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى تَحْرِيمِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فِيهَا، وَجَمِيعِ أَنْوَاعِ الِاسْتِعْمَالِ فِي مَعْنَى الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ بِالْإِجْمَاعِ". انْتَهَى.
An-Nawawi ﵀ berkata: "Telah terjadi ijmak atas pengharaman makan dan minum di dalamnya, dan semua jenis penggunaan yang maknanya sama dengan makan dan minum berdasarkan ijmak". Selesai.
وَتَحْرِيمُ الِاسْتِعْمَالِ وَالِاتِّخَاذِ يَشْمَلُ الذُّكُورَ وَالْإِنَاثَ؛ لِعُمُومِ الْأَخْبَارِ، وَعَدَمِ الْمُخَصِّصِ، وَإِنَّمَا أُبِيحَ التَّحِيُّ لِلنِّسَاءِ لِحَاجَتِهِنَّ إِلَى التَّزَيُّنِ لِلزَّوْجِ.
Pengharaman penggunaan dan pengambilan mencakup laki-laki dan perempuan; karena keumuman berita dan tidak adanya yang mengkhususkan, dan sesungguhnya diperbolehkan perhiasan bagi wanita karena kebutuhan mereka untuk berhias bagi suami.
وَتُبَاحُ آنِيَةُ الْكُفَّارِ الَّتِي يَسْتَعْمِلُونَهَا مَا لَمْ تُعْلَمْ نَجَاسَتُهَا، فَإِنْ عُلِمَتْ نَجَاسَتُهَا؛ فَإِنَّهَا تُغْسَلُ وَتُسْتَعْمَلُ بَعْدَ ذَلِكَ.
Diperbolehkan wadah orang-orang kafir yang mereka gunakan selama tidak diketahui kenajisannya, jika diketahui kenajisannya; maka wadah itu dicuci dan digunakan setelah itu.
٢" جُلُودُ الْمَيْتَةِ يَحْرُمُ اسْتِعْمَالُهَا؛ إِلَّا إِذَا دُبِغَتْ؛ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي جَوَازِ اسْتِعْمَالِهَا بَعْدَ الدِّبَاغِ، وَالصَّحِيحُ الْجَوَازُ، وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ؛ لِوُرُودِ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ بِجَوَازِ اسْتِعْمَالِهِ بَعْدَ الدِّبَاغِ، لِأَنَّ نَجَاسَتَهُ طَارِئَهٌ، فَتَزُولُ بِالدِّبَاغِ؛ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "يُطَهِّرُهُ الْمَاءُ وَالْقَرَظُ"، وَقَوْلُهُ ﷺ: "دِبَاغُ الْأَدِيمِ طُهُورُهُ".
2" Kulit bangkai haram digunakan; kecuali jika telah disamak; para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya menggunakannya setelah penyamakan, dan yang benar adalah boleh, dan ini adalah pendapat mayoritas; karena adanya hadits-hadits shahih yang membolehkan penggunaannya setelah penyamakan, karena kenajisannya bersifat sementara, maka hilang dengan penyamakan; sebagaimana sabda Nabi ﷺ: "Air dan daun qarazh dapat menyucikannya", dan sabdanya ﷺ: "Penyamakan kulit adalah penyuciannya".
وَتُبَاحُ ثِيَابُ الْكُفَّارِ إِذَا لَمْ تُعْلَمْ نَجَاسَتُهَا، لِأَنَّ الْأَصْلَ الطَّهَارَةُ؛ فَلَا تَزُولُ بِالشَّكِّ، وَيُبَاحُ مَا نَسَجُوهُ أَوْ صَبَغُوهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ وَأَصْحَابَهُ كَانُوا يَلْبَسُونَ مَا نَسَجَهُ الْكُفَّارُ وَصَبَغُوهُ.
Pakaian orang-orang kafir diperbolehkan jika tidak diketahui kenajisannya, karena hukum asalnya adalah suci; maka tidak hilang dengan keraguan, dan diperbolehkan apa yang mereka tenun atau celup; karena Nabi ﷺ dan para sahabatnya dahulu mengenakan apa yang ditenun dan dicelup oleh orang-orang kafir.
وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
Dan Allah Ta'ala Maha Mengetahui.
بَابٌ فِيمَا يَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ مُزَاوَلَتُهُ مِنَ الْأَعْمَالِ
بَابٌ فِيمَا يَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ مُزَاوَلَتُهُ مِنَ الْأَعْمَالِ
Bab tentang pekerjaan-pekerjaan yang haram dilakukan oleh orang yang berhadats
هُنَاكَ بَعْضٌ مِنَ الْأَعْمَالِ الَّتِي يَحْرُمُ عَلَى الْمُسْلِمِ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَى طَهَارَةٍ أَنْ يُزَاوِلَهَا لِشَرَفِهَا وَمَكَانَتِهَا، وَهَذِهِ الْأَعْمَالُ نُبَيِّنُهَا لَكَ بِأَدِلَّتِهَا؛ لِتَكُونَ مِنْكَ عَلَى بَالٍ؛ فَلَا تُقْدِمُ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهَا إِلَّا بَعْدَ التَّهَيُّؤِ لَهُ بِالطَّهَارَةِ الْمَطْلُوبَةِ.
Ada beberapa pekerjaan yang haram dilakukan oleh seorang Muslim jika dia tidak dalam keadaan suci karena kemuliaan dan kedudukannya, dan pekerjaan-pekerjaan ini akan kami jelaskan kepadamu beserta dalil-dalilnya; agar kamu memperhatikannya; maka janganlah kamu melakukan salah satu darinya kecuali setelah bersiap-siap untuknya dengan bersuci yang disyariatkan.
اِعْلَمْ يَا أَخِي أَنَّ هُنَاكَ أَشْيَاءَ تَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ، سَوَاءٌ كَانَ حَدَثُهُ أَكْبَرَ أَوْ أَصْغَرَ، وَهُنَاكَ أَشْيَاءُ يَخْتَصُّ تَحْرِيمُهَا بِمَنْ مُحْدِثٌ حَدَثًا أَكْبَرَ.
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa ada hal-hal yang haram bagi orang yang berhadats, baik hadatsnya besar maupun kecil, dan ada hal-hal yang keharamannya khusus bagi orang yang berhadats besar.
فَالْأَشْيَاءُ الَّتِي تَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ أَيِّ الْحَدَثَيْنِ:
Adapun hal-hal yang haram bagi orang yang berhadats, baik hadats besar maupun kecil:
١ مَسُّ الْمُصْحَفِ الشَّرِيفِ؛ فَلَا يَمَسُّهُ الْمُحْدِثُ بِدُونِ حَائِلٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ﴾؛ أَيِ: الْمُتَطَهِّرُونَ مِنَ الْحَدَثِ جَنَابَةً أَوْ غَيْرَهَا، عَلَى الْقَوْلِ بِأَنَّ الْمُرَادَ بِهِمُ الْمُطَهَّرُونَ مِنَ الْبَشَرِ، وَهُنَالِكَ مَنْ يَرَى أَنَّ الْمُرَادَ بِهِمُ الْمَلَائِكَةُ الْكِرَامُ.
1. Menyentuh mushaf yang mulia; maka orang yang berhadats tidak boleh menyentuhnya tanpa penghalang; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan"; yaitu: orang-orang yang bersuci dari hadats janabah atau lainnya, menurut pendapat bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang yang bersuci dari manusia, dan ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah para malaikat yang mulia.
وَحَتَّى لَوْ فُسِّرَتِ الْآيَةُ بِأَنَّ الْمُرَادَ بِهِمُ الْمَلَائِكَةُ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ يَتَنَاوَلُ الْبَشَرَ بِدَلَالَةِ الْإِشَارَةِ، وَكَمَا وَرَدَفِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ الرَّسُولُ ﷺ إِلَي
Dan sekalipun ayat itu ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah para malaikat; maka itu mencakup manusia dengan dilalah isyarat, dan seperti yang disebutkan dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah ﷺ kepada
أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ؛ قَوْلُهُ: "لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إِلَّا طَاهِرٌ"، رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَغَيْرُهُ مُتَّصِلًا.
penduduk Yaman dari hadits 'Amr bin Hazm; sabdanya: "Tidak boleh menyentuh mushaf kecuali orang yang suci", diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan lainnya secara muttashil.
قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ "إِنَّهُ أَشْبَهُ الْمُتَوَاتِرِ لِتَلَقِّي النَّاسِ لَهُ بِالْقَبُولِ".
Ibnu 'Abdil Barr berkata, "Hadits itu menyerupai hadits mutawatir karena diterima oleh orang-orang."
قَالَ شَيْخُ إِسْلَامٍ عَنْ مَنْعِ مَسِّ الْمُصْحَفِ لِغَيْرِ الْمُتَطَهِّرِ: "هُوَ مَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ".
Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) berkata tentang larangan menyentuh mushaf bagi selain orang yang bersuci: "Itu adalah madzhab empat imam."
وَقَالَ ابْنُ هُبَيْرَةَ فِي "الْإِفْصَاحِ": "أَجْمَعُوا "يَعْنِي: الْأَئِمَّةَ الْأَرْبَعَةَ" أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ مَسُّ الْمُصْحَفِ" انْتَهَى.
Ibnu Hubairah berkata dalam kitab "al-Ifshah": "Mereka (maksudnya: empat imam) bersepakat bahwa tidak boleh bagi orang yang berhadats menyentuh mushaf." Selesai.
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَحْمِلَ غَيْرُ الْمُتَطَهِّرِ الْمُصْحَفَ فِي غِلَافٍ أَوْ كِيسٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَسَّهُ، وَكَذَلِكَ لَا بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ فِيهِ وَيَتَصَفَّحَهُ مِنْ غَيْرِ مَسٍّ.
Tidak mengapa jika selain orang yang bersuci membawa mushaf dalam sampul atau kantong tanpa menyentuhnya, demikian pula tidak mengapa jika melihat dan membolak-baliknya tanpa menyentuh.
٢ وَيَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ الصَّلَاةُ فَرْضًا أَوْ نَفْلًا، وَهَذَا بِإِجْمَاعِ أَهْلِ الْعِلْمِ، إِذَا اسْتَطَاعَ الطَّهَارَةَ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا﴾ الْآيَةَ،
2. Haram bagi orang yang berhadats untuk shalat, baik fardhu maupun sunnah, ini berdasarkan ijmak ahli ilmu, jika mampu bersuci; berdasarkan firman Allah Ta'ala "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah." Ayat,
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ بِغَيْرِ طُهُورٍ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ، وَحَدِيثُ: "لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ"؛ فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ مِنْ غَيْرِ طَهَارَةٍ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا، وَلَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ، سَوَاءٌ كَانَ جَاهِلًا أَوْ عَالِمًا، نَاسِيًا أَوْ عَامِدًا، لَكِنَّ الْعَالِمَ الْعَامِدَ إِذَا صَلَّى مِنْ غَيْرِ طَهَارَةٍ؛ يَأْثَمُ وَيُعَزَّرُ، وَإِنْ كَانَ جَاهِلًا أَوْ نَاسِيًا؛ فَإِنَّهُ لَا يَأْثَمُ، لَكِنْ؛ لَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ.
Nabi ﷺ bersabda: "Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci", diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dan hadits: "Allah tidak menerima shalat orang yang berhadats hingga dia berwudhu"; maka tidak boleh baginya shalat tanpa bersuci jika mampu melakukannya, dan shalatnya tidak sah, baik dia bodoh atau berilmu, lupa atau sengaja, tetapi orang berilmu yang sengaja jika shalat tanpa bersuci; maka dia berdosa dan dihukum, adapun jika bodoh atau lupa; maka dia tidak berdosa, tetapi shalatnya tidak sah.
٣ يَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ؛ إِلَّا أَنَّ أَبَاحَ فِيهِ الْكَلَامَ"، وَقَدْ تَوَضَّأَ النَّبِيُّ ﷺ لِلطَّوَافِ، وَصَحَّ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ مَنَعَ الْحَائِضَ مِنَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرَ، كُلُّ ذَلِكَ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى تَحْرِيمِ الطَّوَافِ عَلَى الْمُحْدِثِ حَتَّى يَتَطَهَّرَ.
3. Haram bagi orang yang berhadats untuk thawaf di Baitullah; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Thawaf di Baitullah adalah shalat; hanya saja diperbolehkan berbicara di dalamnya", dan Nabi ﷺ telah berwudhu untuk thawaf, dan sahih darinya ﷺ bahwa beliau melarang wanita haid thawaf di Baitullah hingga dia suci, semua itu menunjukkan keharaman thawaf bagi orang yang berhadats hingga dia bersuci.
وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى تَحْرِيمِهِ عَلَى الْمُحْدِثِ حَدَثًا أَكْبَرَ قَوْلُهُ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا﴾؛ أَيْ: لَا تَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ وَأَنْتُمْ جُنُبٌ إِلَّا مَارِّي طَرِيقٍ، فَمَنْعُهُ مِنْ دُخُولِ الْمَسْجِدِ لِلْبَقَاءِ فِيهِ يَقْتَضِي مَنْعَهُ مِنَ الطَّوَافِ مِنْ بَابِ أَوْلَى.
Dan di antara dalil yang menunjukkan keharaman thawaf bagi orang yang berhadas besar adalah firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat dalam keadaan mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu menghampiri masjid) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub)"; artinya: janganlah kalian memasuki masjid dalam keadaan junub kecuali sekedar lewat. Maka, larangan memasuki masjid untuk menetap di dalamnya mengharuskan larangan melakukan thawaf lebih-lebih lagi.
وَهَذِهِ الْأَعْمَالُ تَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ سَوَاءٌ كَانَ حَدَثُهُ أَكْبَرَ أَوْ أَصْغَرَ.
Dan perbuatan-perbuatan ini diharamkan bagi orang yang berhadas, baik hadasnya besar maupun kecil.
وَأَمَّا الْأَشْيَاءُ الَّتِي تَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ حَدَثًا أَكْبَرَ خَاصَّةً؛ فَهِيَ:
Adapun hal-hal yang diharamkan khusus bagi orang yang berhadas besar adalah:
١ يَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ حَدَثًا أَكْبَرَ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ؛ لِحَدِيثِ عَلِيٍّ ﵁: "لَا يَحْجُبُهُ" يَعْنِي: النَّبِيَّ ﷺ "عَنِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ، لَيْسَ الْجَنَابَةَ"، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ، وَلَفْظُ التِّرْمِذِيِّ: "يُقْرِئُنَا مَالَمْ يَكُنْ جُنُبًا"؛ فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى تَحْرِيمِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ عَلَى الْجُنُبِ، وَبِمَعْنَاهُ الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ، وَلَكِنْ رَخَّصَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ كَشَيْخِ الْإِسْلَامِ لِلْحَائِضِ أَنْ تَقْرَأَ الْقُرْآنَ إِذَا خَشِيَتْ نِسْيَانَهُ.
1. Haram bagi orang yang berhadas besar untuk membaca Al-Qur'an; berdasarkan hadis Ali ﵁: "Tidak ada yang menghalanginya" yakni Nabi ﷺ "dari Al-Qur'an kecuali janabah", diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lainnya, dan lafal Tirmidzi: "Beliau mengajarkan kami selama beliau tidak junub"; ini menunjukkan haramnya membaca Al-Qur'an bagi orang yang junub, dan demikian pula wanita haid dan nifas, tetapi sebagian ulama seperti Syaikhul Islam memberikan keringanan bagi wanita haid untuk membaca Al-Qur'an jika khawatir melupakannya.
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَكَلَّمَ الْمُحْدِثُ بِمَا وَافَقَ الْقُرْآنَ إِنْ لَمْ يَقْصِدِ الْقُرْآنَ بَلْ عَلَى وَجْهِ الذِّكْرِ؛ مِثْلُ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
Tidak mengapa bagi orang yang berhadas untuk mengucapkan apa yang sesuai dengan Al-Qur'an jika tidak bermaksud membaca Al-Qur'an melainkan sebagai dzikir; seperti: Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahi Rabbil
العَالَمِينَ؛ لِحَدِيثِ عَائِشَةَ ﵂: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ".
Alam semesta; karena hadits 'Aisyah ﵂: "Bahwa Nabi ﷺ senantiasa berdzikir kepada Allah di setiap waktunya".
٢ وَيَحْرُمُ عَلَى الْمُحْدِثِ حَدَثًا أَكْبَرَ مِنْ جَنَابَهٍ أَوْ حَيْضٍ أَوْ نِفَاسٍ اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ بِغَيْرِ وُضُوءٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا﴾؛ أَيْ: لَا تَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ لِلْبَقَاءِ فِيهِ، وَلِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ.
2 Haram bagi orang yang berhadas besar karena junub, haid, atau nifas untuk berdiam di masjid tanpa wudhu; berdasarkan firman Allah Ta'ala: ﴿Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi (mandi junub)﴾; artinya: janganlah kalian memasuki masjid untuk menetap di dalamnya, dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang junub", diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits 'Aisyah, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.
فَإِذَا تَوَضَّأَ مَنْ عَلَيْهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ؛ جَازَ لَهُ اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ؛ لِقَوْلِ عَطَاءٍ: "رَأَيْتُ رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ يَجْلِسُونَ وَهُمْ مُجْنِبُونَ إِذَا تَوَضَّؤُوا وُضُوءَ الصَّلَاةِ"، الْحِكْمَةُ مِنْ هَذَا الْوُضُوءِ الْجَنَابَةِ.
Jika seseorang yang memiliki hadats besar berwudhu, maka diperbolehkan baginya untuk berdiam di masjid; berdasarkan perkataan 'Atha': "Aku melihat beberapa sahabat Rasulullah ﷺ duduk dalam keadaan junub jika mereka berwudhu seperti wudhu untuk shalat", hikmah dari wudhu ini adalah janabah.
وَكَذَلِكَ يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ حَدَثًا أَكْبَرَ أَنْ يَمُرَّ بِالْمَسْجِدِ لِمُجَرَّدِ الْعُبُورِ مِنْهُ مِنْ غَيْرِ جُلُوسٍ فِيهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ﴾؛ أَيْ: مُتَجَاوِزِينَ فِيهِ لِلْخُرُوجِ مِنْهُ، وَالِاسْتِثْنَاءُ مِنَ النَّهْيِ إِبَاحَةٌ، فَيَكُونُ ذَلِكَ مُخَصِّصًا لِعُمُومِ قَوْلِهِ ﷺ: "لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ".
Demikian pula, diperbolehkan bagi orang yang berhadas besar untuk melewati masjid hanya untuk sekedar lewat tanpa duduk di dalamnya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: ﴿kecuali sekadar berlalu saja﴾; artinya: melewatinya untuk keluar darinya, dan pengecualian dari larangan adalah pembolehan, maka hal itu menjadi pengkhususan bagi keumuman sabda Nabi ﷺ: "Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang junub".
وَكَذَلِكَ مُصَلَّى الْعِيدِ لَا يَلْبَثُ فِيهِ مَنْ عَلَيْهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ بِغَيْرِ وُضُوءٍ،
Demikian pula, orang yang memiliki hadats besar tidak boleh berlama-lama di mushalla 'Id tanpa berwudhu,
وَيَجُوزُ لَهُ الْمُرُورُ مِنْهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "وَلْيَعْتَزِلِ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى".
tetapi diperbolehkan baginya untuk lewat di sana; karena Nabi ﷺ bersabda: "Dan hendaklah wanita haid menjauhi mushalla."
بَابٌ فِي آدَابِ قَضَاءِ الْحَاجَةِ
اعْلَمْ وَفَّقَنِي اللهُ وَإِيَّاكَ وَجَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ أَنَّ دِينَنَا كَامِلٌ مُتَكَامِلٌ، مَا تَرَكَ شَيْئًا مِمَّا يَحْتَاجُهُ النَّاسُ فِي دِينِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ؛ إِلَّا بَيَّنَهُ، وَمِنْ ذَلِكَ آدَابُ قَضَاءِ الْحَاجَةِ؛ لِيَتَمَيَّزَ الْإِنْسَانُ الَّذِي كَرَّمَهُ اللهُ عَنِ الْحَيَوَانِ بِمَا كَرَّمَهُ اللهُ بِهِ؛ فَدِينُنَا دِينُ النَّظَافَةِ وَدِينُ الطُّهْرِ؛ فَهُنَاكَ آدَابٌ شَرْعِيَّةٌ تُفْعَلُ عِنْدَ دُخُولِ الْخَلَاءِ وَحَالَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ.
Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadaku, Anda, dan seluruh umat Islam, bahwa agama kita adalah sempurna dan lengkap. Tidak ada sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam agama dan dunia mereka, kecuali telah dijelaskan, termasuk adab buang hajat. Hal ini agar manusia yang dimuliakan Allah berbeda dengan hewan dalam hal yang dimuliakan Allah kepadanya. Agama kita adalah agama kebersihan dan kesucian. Ada adab-adab syar'i yang dilakukan ketika memasuki tempat buang hajat dan saat buang hajat.
فَإِذْ أَرَادَ الْمُسْلِمُ دُخُولَ الْخَلَاءِ وَهُوَ الْمَحَلُّ الْمُعَدُّ لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ؛ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَقُولَ: بِسْمِ اللهِ، أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الْخُبْثِ وَالْخَبَائِثِ. وَيُقَدِّمُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى حَالَ الدُّخُولِ، وَعِنْدَ الْخُرُوجِ يُقَدِّمُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى، وَيَقُولُ: غُفْرَانَكَ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الْأَذَى وَعَافَانِي. وَذَلِكَ لِأَنَّ الْيُمْنَى تُسْتَعْمَلُ فِيمَا مِنْ شَأْنِهِ التَّكْرِيمُ وَالتَّجْمِيلُ، وَالْيُسْرَى تُسْتَعْمَلُ فِيمَا مِنْ شَأْنِهِ إِزَالَةُ الْأَذَى وَنَحْوُهُ.
Jika seorang Muslim ingin memasuki tempat buang hajat, yaitu tempat yang disediakan untuk buang hajat, maka disunnahkan baginya untuk mengucapkan: "Bismillah, aku berlindung kepada Allah dari kotoran dan kejahatan." Dia mendahulukan kaki kirinya saat masuk, dan saat keluar dia mendahulukan kaki kanannya, dan mengucapkan: "Ampunanmu, segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran dariku dan menyehatkanku." Hal itu karena kanan digunakan untuk hal-hal yang bersifat pemuliaan dan memperindah, sedangkan kiri digunakan untuk hal-hal yang bersifat menghilangkan kotoran dan sejenisnya.
وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقْضِيَ حَاجَتَهُ فِي فَضَاءٍ أَيْ: فِي غَيْرِ مُعَدٍّ
Jika dia ingin buang hajat di tempat terbuka, yaitu: di tempat yang tidak disediakan
يُسْتَحَبُّ لِمَنْ أَرَادَ قَضَاءَ الْحَاجَةِ أَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ النَّاسِ؛ بِحَيْثُ يَكُونُ فِي مَكَانٍ خَالٍ، وَيَسْتَتِرَ عَنِ الْأَنْظَارِ بِحَائِطٍ أَوْ شَجَرَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، وَيَحْرُمُ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ أَوْ يَسْتَدْبِرَهَا حَالَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ، بَلْ يَنْحَرِفُ عَنْهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَاسْتِدْبَارِهَا حَالَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَتَحَرَّزَ مِنْ رَشَاشِ الْبَوْلِ أَنْ يُصِيبَ بَدَنَهُ أَوْ ثَوْبَهُ، فَيَرْتَادُ لِبَوْلِهِ مَكَانًا رَخْوًا، حَتَّى لَا يَتَطَايَرَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْهُ.
Dianjurkan bagi orang yang ingin buang hajat untuk menjauh dari orang-orang; sehingga berada di tempat yang sepi, dan bersembunyi dari pandangan dengan dinding, pohon, atau lainnya. Haram menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat, bahkan menyimpang darinya; karena Nabi ﷺ melarang menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat. Ia harus berhati-hati agar percikan air kencing tidak mengenai badan atau pakaiannya, maka carilah tempat yang lembut untuk kencingnya, agar tidak ada yang memercik ke arahnya.
وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَمَسَّ فَرْجَهُ بِيَمِينِهِ، وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْضِيَ حَاجَتَهُ فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ، أَوْ مَوَارِدِ مِيَاهِهِمْ؛ لِنَهْيِ النَّبِيِّ ﷺ عَنْ ذَلِكَ؛ لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِضْرَارِ بِالنَّاسِ وَأَذِيَّتِهِمْ.
Tidak boleh baginya menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, dan juga tidak boleh baginya buang hajat di jalan orang-orang, atau di tempat teduh mereka, atau sumber air mereka; karena larangan Nabi ﷺ tentang hal itu; karena di dalamnya terdapat bahaya bagi orang-orang dan menyakiti mereka.
وَلَا يَدْخُلُ مَوْضِعَ الْخَلَاءِ بِشَيْءٍ فِيهِ ذِكْرُ اللهِ ﷿ أَوْ فِيهِ قُرْآنٌ، فَإِنْ خَافَ عَلَى مَا مَعَهُ مِمَّا فِيهِ ذِكْرُ اللهِ؛ جَازَ لَهُ الدُّخُولُ بِهِ، وَيُغَطِّيهِ.
Janganlah memasuki tempat buang air dengan sesuatu yang di dalamnya terdapat zikir Allah ﷿ atau Al-Qur'an. Jika khawatir terhadap apa yang dibawanya yang di dalamnya terdapat zikir Allah; maka boleh baginya memasukinya, dan menutupinya.
وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَكَلَّمَ حَالَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ؛ فَقَدْ وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ اللهَ يَمْقُتُ عَلَى ذَلِكَ، وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ.
Tidak sepatutnya baginya berbicara saat buang hajat; karena telah disebutkan dalam hadits bahwa Allah membenci hal itu, dan haram baginya membaca Al-Qur'an.
فَإِذَا فَرَغَ مِنْ قَضَاءِ الْحَاجَةِ؛ فَإِنَّهُ يُنَظِّفُ الْمَخْرَجَ بِالِاسْتِنْجَاءِ بِالْمَاءِ.
Apabila telah selesai buang hajat; maka ia membersihkan tempat keluarnya dengan beristinja' menggunakan air.
أَوِ الِاسْتِجْمَارُ بِالْأَحْجَارِ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهَا، وَإِنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا؛ فَهُوَ أَفْضَلُ، وَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى أَحَدِهِمَا؛ كَفَى.
Atau beristijmar dengan batu atau apa pun yang dapat menggantikannya, dan jika menggabungkan keduanya; itu lebih baik, dan jika hanya terbatas pada salah satunya; itu cukup.
وَالِاسْتِجْمَارُ يَكُونُ بِالْأَحْجَارِ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهَا مِهْ الْوَرَقِ الْخَشِنِ وَالْخِرَقِ وَنَحْوِهَا مِمَّا يُنَقِّي الْمَخْرَجَ وَيُنَشِّفُهُ، وَيُشْتَرَطُ ثَلَاثُ مَسَحَاتٍ مُنَقِّيَةٍ فَأَكْثَرُ إِذَا أَرَادَ الزِّيَادَةَ، وَلَا يَجُوزُ الِاسْتِجْمَارُ بِالْعِظَامِ وَرَجِيعِ الدَّوَابِّ أَيْ: رَوْثِهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنْ ذَلِكَ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُزِيلَ أَثَرَ الْخَارِجِ وَيُنَشِّفَهُ؛ لِئَلَّا يَبْقَى شَيْءٌ مِنَ النَّجَاسَةِ عَلَى جَسَدِهِ، وَلِئَلَّا تَنْتَقِلَ النَّجَاسَةُ إِلَى مَكَانٍ آخَرَ مِنْ جَسَدِهِ أَوْ ثِيَابِهِ.
Istijmar dilakukan dengan batu atau apa pun yang dapat menggantikannya seperti kertas kasar, kain perca, dan sejenisnya yang dapat membersihkan dan mengeringkan tempat keluarnya kotoran. Disyaratkan tiga kali usapan yang membersihkan atau lebih jika ingin menambah. Tidak boleh beristijmar dengan tulang dan kotoran hewan; karena Nabi ﷺ melarang hal itu. Seseorang harus menghilangkan bekas kotoran dan mengeringkannya; agar tidak ada sisa najis di tubuhnya, dan agar najis tidak berpindah ke tempat lain di tubuh atau pakaiannya.
قَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ: إِنَّ الِاسْتِنْجَمَارَ شَرْطٌ مِنْ شُرُوطِ صِحَّةِ الْوُضُوءِ، لَا بُدَّ أَنْ يَسْبِقَهُ، فَلَوْ تَوَضَّأَ قَبْلَهُ؛ لَمْ يَصِحَّ وُضُوؤُهُ؛ لِحَدِيثِ الْمِقْدَادِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ: "يَغْسِلُ ذَكَرَهُ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ".
Beberapa ahli fikih berkata: Sesungguhnya istinjā' adalah syarat sahnya wudhu, harus mendahuluinya. Jika seseorang berwudhu sebelum istinjā', wudhunya tidak sah; berdasarkan hadits Miqdad yang disepakati: "Dia mencuci kemaluannya, kemudian berwudhu."
قَالَ النَّوَوِيُّ: "وَالسُّنَّةُ أَنْ يَسْتَنْجِيَ قَبْلَ الْوُضُوءِ؛ لِيَخْرُجَ مِنَ الْخِلَافِ، وَيَأْمَنَ انْتِقَاضَ طُهْرِهِ".
An-Nawawi berkata: "Sunnah untuk beristinjā' sebelum wudhu; agar keluar dari perselisihan, dan aman dari batalnya kesucian."
أَيُّهَا الْمُسْلِمُ! احْرِصْ عَلَى التَّنَزُّهِ مِنَ الْبَوْلِ؛ فَإِنَّ عَدَمَ التَّنَزُّهِ مِنْهُ مِنْ مُوجِبَاتِ عَذَابِ الْقَبْرِ؛ فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁؛ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "اسْتَنْزِهُوا مِنَ الْبَوْلِ؛ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ"، رَوَاهُ
Wahai Muslim! Bersungguh-sungguhlah untuk membersihkan diri dari air kencing; karena tidak membersihkan diri darinya termasuk penyebab azab kubur; dari Abu Hurairah ﵁; dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: "Bersihkanlah diri kalian dari air kencing; karena kebanyakan azab kubur disebabkan olehnya", diriwayatkan
الدَّارَقُطْنِيُّ، قَالَ الحَافِظُ: "صَحِيحُ الإِسْنَادِ، وَلَهُ شَوَاهِدُ، وَأَصْلُهُ فِي الصَّحِيحَيْنِ".
Ad-Daraquthni, Al-Hafizh berkata: "Sanadnya shahih, memiliki syawahid (hadits pendukung), dan asalnya ada dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim)".
أَيُّهَا المُسْلِمُ! إِنَّ كَمَالَ الطَّهَارَةِ يُسَهِّلُ القِيَامَ بِالعِبَادَةِ، وَيُعِينُ عَلَى إِتْمَامِهَا وَإِكْمَالِهَا وَالقِيَامِ بِمَشْرُوعَاتِهَا.
Wahai seorang Muslim! Sesungguhnya kesempurnaan bersuci memudahkan pelaksanaan ibadah, dan membantu menyempurnakannya serta melaksanakan syariat-syariatnya.
رَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ ﵀ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ صَلَّى بِهِمُ الصُّبْحَ، فَقَرَأَ الرُّومَ فِيهَا، فَأَوْهَمَ، فَلَمَّا انْصَرَفَ؛ قَالَ: "إِنَّهُ يَلْبِسُ عَلَيْنَا القُرْآنَ، إِنَّ أَقْوَامًا مِنْكُمْ يُصَلُّونَ مَعَنَا لَا يُحْسِنُونَ الوُضُوءَ، فَمَنْ شَهِدَ الصَّلَاةَ مَعَنَا؛ فَلْيُحْسِنِ الوُضُوءَ".
Imam Ahmad ﵀ meriwayatkan dari seorang sahabat Nabi ﷺ bahwa Rasulullah ﷺ shalat Subuh bersama mereka, beliau membaca surah Ar-Rum di dalamnya, lalu beliau lupa. Setelah selesai, beliau bersabda: "Sesungguhnya Al-Qur'an menjadi tidak jelas bagi kami, sesungguhnya ada kaum di antara kalian yang shalat bersama kami tidak memperbaiki wudhu, maka barangsiapa yang menyaksikan shalat bersama kami, hendaklah ia memperbaiki wudhunya."
وَقَدْ أَثْنَى اللهُ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدِ قُبَاءَ بِقَوْلِهِ: ﴿فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ﴾، وَلَمَّا سُئِلُوا عَنْ صِفَةِ هَذَا التَّطَهُّرِ؛ قَالُوا: "إِنَّا نَتْبَعُ الحِجَارَةَ المَاءَ"، رَوَاهُ البَزَّارُ.
Allah telah memuji penduduk Masjid Quba dalam firman-Nya: "Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih." Ketika mereka ditanya tentang sifat bersuci ini, mereka menjawab: "Kami mengikuti batu dengan air." Diriwayatkan oleh Al-Bazzar.
وَهُنَا أَمْرٌ يَجِبُ التَّنْبِيهُ عَلَيْهِ، وَهُوَ أَنَّ بَعْضَ العَوَامِّ يَظُنُّ أَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ مِنَ الوُضُوءِ، فَإِذَا أَرَادَ يَتَوَضَّأُ؛ بَدَأَ بِالِاسْتِنْجَاءِ، وَلَوْ كَانَ قَدِ اسْتَنْجَى سَابِقًا بَعْدَ قَضَاءِ الحَاجَةِ، وَهَذَا خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الِاسْتِنْجَاءَ لَيْسَ مِنَ الوُضُوءِ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ شُرُوطِهِ؛ كَمَا سَبَقَ، وَمَحَلُّهُ بَعْدَ الفَرَاغِ مِنْ قَضَاءِ الحَاجَةِ،
Di sini ada perkara yang harus diingatkan, yaitu sebagian orang awam mengira bahwa istinja adalah bagian dari wudhu. Jika ia ingin berwudhu, ia memulai dengan istinja meskipun sebelumnya ia telah beristinja setelah buang hajat. Ini adalah kesalahan, karena istinja bukanlah bagian dari wudhu, melainkan salah satu syaratnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tempatnya adalah setelah selesai buang hajat.
وَلَا دَاعِيَ لِتَكْرَارِهِ مِنْ غَيْرِ وُجُودِ مُوجِبِهِ وَهُوَ قَضَاءُ الْحَاجَةِ وَتَلَوُّثُ الْمَخْرَجِ بِالنَّجَاسَةِ.
Dan tidak perlu mengulanginya tanpa adanya sebab yang mengharuskannya, yaitu buang hajat dan tercemarnya tempat keluarnya najis.
أَيُّهَا الْمُسْلِمُ! هَذَا دِينُنَا دِينُ الطَّهَارَةِ وَالنَّظَافَةِ وَالنَّزَاهَةِ، أَتَى بِأَحْسَنِ الْآدَابِ وَأَكْرَمِ الْأَخْلَاقِ، اسْتَوْعَبَ كُلَّ مَا يَحْتَاجُهُ الْمُسْلِمُ، وَكُلَّ مَا يُصْلِحُهُ، وَلَمْ يُغْفِلْ شَيْئًا فِيهِ مَصْلَحَةٌ لَنَا؛ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ وَالْمِنَّةُ، وَنَسْأَلُهُ الثَّبَاتَ عَلَى هَذَا الدِّينِ، وَالتَّبَصُّرَ فِي أَحْكَامِهِ، وَالْعَمَلَ بِشَرَائِعِهِ، مَعَ الْإِخْلَاصِ لِلَّهِ فِي ذَلِكَ، حَتَّى يَكُونَ عَمَلُنَا صَحِيحًا مَقْبُولًا.
Wahai Muslim! Inilah agama kita, agama kesucian, kebersihan, dan kemurnian. Ia datang dengan adab terbaik dan akhlak termulia, mencakup semua yang dibutuhkan seorang Muslim, dan semua yang memperbaikinya. Ia tidak mengabaikan sesuatu yang mengandung kemaslahatan bagi kita. Maka segala puji dan karunia hanya milik Allah. Kita memohon kepada-Nya keteguhan dalam agama ini, pemahaman akan hukum-hukumnya, dan pengamalan syariat-Nya, dengan ikhlas karena Allah dalam hal itu, hingga amalan kita menjadi benar dan diterima.
بَابٌ فِي السِّوَاكِ وَخِصَالِ الْفِطْرَةِ
بَابٌ فِي السِّوَاكِ وَخِصَالِ الْفِطْرَةِ
Bab tentang siwak dan sifat-sifat fitrah
رَوَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةُ ﵂؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ؛ قَالَ: "السِّوَاكُ مُطَهِّرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.
Ummul Mukminin 'Aisyah ﵂ meriwayatkan; bahwa Nabi ﷺ bersabda: "Siwak itu membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Rabb", diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.
وَثَبَتَ فِي "الصَّحِيحَيْنِ" عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁؛ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: الِاسْتِحْدَادُ، وَالْخِتَانُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَتَقْلِيمُ الْأَظَافِرِ".
Telah ditetapkan dalam "Ash-Shahihain" dari Abu Hurairah ﵁; ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: "Lima perkara termasuk fitrah: mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku".
وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" أَيْضًا عَنِ ابْنِ ﵄ مَرْفُوعًا: "أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى".
Juga dalam "Ash-Shahihain" dari Ibnu ﵄ secara marfu': "Guntinglah kumis dan biarkanlah jenggot".
مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ وَمَا جَاءَ بِمَعْنَاهَا أَخَذَ الْفُقَهَاءُ الأَحْكَامَ التَّالِيَةَ:
Dari hadits-hadits ini dan yang semakna dengannya, para fuqaha mengambil hukum-hukum berikut:
مَشْرُوعِيَّةُ السِّوَاكِ، وَهُوَ اسْتِعْمَالُ عُودٍ أَوْ نَحْوِهِ فِي الأَسْنَانِ وَاللِّثَةِ، لِيُذْهِبَ مَا عَلِقَ بِهِمَا مِنْ صُفْرَةٍ وَرَائِحَةٍ.
Disyariatkannya siwak, yaitu menggunakan kayu atau sejenisnya pada gigi dan gusi, untuk menghilangkan warna kuning dan bau yang menempel pada keduanya.
وَقَدْ وَرَدَ أَنَّهُ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ؛ فَأَوَّلُ مَنِ اسْتَاكَ إِبْرَاهِيمُ ﵊، وَقَدْ بَيَّنَ الرَّسُولُصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مُطَهِّرَةٌ لِلْفَمِ؛ أَيْ: مُنَظِّفٌ لَهُ مِمَّا يُسْتَكْرَهُ، وَأَنَّهُ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ؛ أَيْ: يُرْضِي الرَّبَّ ﵎، وَقَدْ وَرَدَ فِي بَيَانِهِ وَالْحَثِّ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْ مِئَةِ حَدِيثٍ، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ سُنَّهٌ مُؤَكَّدَةٌ، حَثَّ الشَّارِعُ عَلَيْهِ، وَرَغَّبَ فِيهِ، وَلَهُ فَوَائِدُ عَظِيمَةٌ، مِنْ أَعَمِّهَا وَأَجْمَعِهَا مَا أَشَارَ إِلَيْهِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: أَنَّهُ مُطَهِّرٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ.
Dan telah diriwayatkan bahwa itu termasuk sunnah para rasul; maka yang pertama kali bersiwak adalah Ibrahim ﵊, dan Rasulullah ﷺ telah menjelaskan bahwa itu adalah pembersih untuk mulut; yaitu: membersihkannya dari apa yang tidak disukai, dan bahwa itu adalah keridhaan bagi Rabb; yaitu: meridhai Rabb ﵎, dan telah diriwayatkan dalam penjelasannya dan anjuran untuk melakukannya lebih dari seratus hadits, yang menunjukkan bahwa itu adalah sunnah yang ditekankan, Asy-Syari' menganjurkannya, dan menyukainya, dan ia memiliki manfaat yang besar, yang paling umum dan komprehensif adalah apa yang diisyaratkan dalam hadits ini: bahwa itu adalah pembersih untuk mulut dan keridhaan bagi Rabb.
وَيَكُونُ التَّسَوُّكُ بِعُودٍ لَيِّنٍ مِنْ أَرَاكٍ أَوْ زَيْتُونٍ أَوْ عَرْجُونٍ أَوْ غَيْرِهَا مِمَّا لَا يَتَفَتَّتُ وَلَا يَجْرَحُ الْفَمَ.
Dan siwak dilakukan dengan kayu yang lembut dari pohon Arak, zaitun, pelepah kurma, atau selainnya yang tidak hancur dan tidak melukai mulut.
وَيُسَنُّ السِّوَاكُ فِي جَمِيعِ الأَوْقَاتِ، حَتَّى لِلصَّائِمِ فِي جَمِيعِ الْيَوْمِ، عَلَى الصَّحِيحِ، وَيَتَأَكَّدُ فِي أَوْقَاتٍ مَخْصُوصَةٍ؛ فَيَتَأَكَّدُ عِنْدَ الْوُضُوءِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي؛ لَأَمَرْتُهُمْ
Dan siwak disunnahkan pada setiap waktu, bahkan bagi orang yang berpuasa sepanjang hari, menurut pendapat yang sahih, dan ditekankan pada waktu-waktu tertentu; maka ditekankan ketika berwudhu; karena sabdanya ﷺ: "Seandainya aku tidak memberatkan umatku; niscaya aku perintahkan mereka
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ"؛ فَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى تَأَكُّدِ اسْتِحْبَابِ السِّوَاكِ عِنْدَ الْوُضُوءِ، وَيَكُونُ ذَلِكَ حَالَ الْمَضْمَضَةِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ أَبْلَغُ فِي الْإِنْقَاءِ وَتَنْظِيفِ الْفَمِ،
"Dengan siwak pada setiap wudhu"; Hadits ini menunjukkan penekanan pada dianjurkannya bersiwak ketika berwudhu, dan itu dilakukan saat berkumur; karena itu lebih efektif dalam membersihkan dan menyucikan mulut,
وَيَتَأَكَّدُ السِّوَاكُ أَيْضًا عِنْدَ الصَّلَاةِ فَرْضًا أَوْ نَفْلًا؛ لِأَنَّنَا مَأْمُورُونَ عِنْدَ التَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ أَنْ نَكُونَ فِي حَالِ كَمَالٍ وَنَظَافَةٍ؛ إِظْهَارًا لِشَرَفِ الْعِبَادَةِ،
dan bersiwak juga ditekankan ketika shalat, baik wajib maupun sunnah; karena kita diperintahkan ketika mendekatkan diri kepada Allah untuk berada dalam keadaan sempurna dan bersih; sebagai manifestasi kemuliaan ibadah,
وَيَتَأَكَّدُ السِّوَاكُ أَيْضًا عِنْدَ الِانْتِبَاهِ مِنْ نَوْمِ اللَّيْلِ أَوْ نَوْمِ النَّهَارِ؛ لِأَنَّهُ ﷺ كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ؛ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ، وَالشَّوْصُ: الدَّلْكُ،
dan bersiwak juga ditekankan ketika bangun dari tidur malam atau tidur siang; karena Nabi ﷺ ketika bangun di malam hari; beliau menggosok mulutnya dengan siwak, dan Asy-Shaush artinya: menggosok,
وَذَلِكَ لِأَنَّ النَّوْمَ تَتَغَيَّرُ مَعَهُ رَائِحَةُ الْفَمِ؛ لِتَصَاعُدِ أَبْخِرَةِ الْمَعِدَةِ، وَالسِّوَاكُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يُنَظِّفُ الْفَمَ مِنْ آثَارِهَا،
dan itu karena tidur mengubah bau mulut; karena naiknya uap lambung, dan bersiwak dalam keadaan ini membersihkan mulut dari efeknya,
وَيَتَأَكَّدُ السِّوَاكُ أَيْضًا عِنْدَ تَغَيُّرِ رَائِحَةِ الْفَمِ بِأَكْلٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَيَتَأَكَّدُ أَيْضًا عِنْدَ قِرَاءَةِ قُرْآنٍ؛ لِتَنْظِيفِ الْفَمِ وَتَطْيِيبِهِ لِتِلَاوَةِ كَلَامِ اللهِ ﷿
dan bersiwak juga ditekankan ketika bau mulut berubah karena makan atau lainnya, dan juga ditekankan ketika membaca Al-Qur'an; untuk membersihkan dan mewangikan mulut untuk membaca firman Allah ﷿
وَصِفَةُ التَّسَوُّكِ أَنْ يُمَرَّ الْمِسْوَاكُ عَلَى لِثَّتِهِ وَأَسْنَانِهِ؛ فَيَبْتَدِئُ مِنَ الْجَانِبِ الْأَيْمَنِ إِلَى الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ، وَيُمْسِكُ الْمِسْوَاكَ بِيَدِهِ الْيُسْرَى.
Dan cara bersiwak adalah dengan mengusapkan siwak pada gusi dan giginya; dimulai dari sisi kanan ke sisi kiri, dan memegang siwak dengan tangan kirinya.
وَمِنَ الْمَزَايَا الَّتِي جَاءَ بِهَا دِينُنَا الْحَنِيفُ خِصَالُ الْفِطْرَةِ الَّتِي مَرَّ ذِكْرُهَا فِي الْحَدِيثِ، وَسُمِّيَتْ خِصَالُ الْفِطْرَةِ؛ لِأَنَّ فَاعِلَهَا يَتَّصِفُ بِالْفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللهُ عَلَيْهَا الْعِبَادَ، وَحَثَّهُمْ عَلَيْهَا، وَاسْتَحَبَّهَا لَهُمْ؛ لِيَكُونُوا عَلَى
Dan di antara keunggulan yang dibawa oleh agama kita yang lurus adalah sifat-sifat fitrah yang telah disebutkan dalam hadits, dan disebut sifat-sifat fitrah; karena pelakunya memiliki sifat fitrah yang Allah ciptakan pada hamba-hamba-Nya, dan Dia mendorong mereka untuk melakukannya, dan Dia menganggapnya baik bagi mereka; agar mereka berada di atas
أَكْمَلُ الصِّفَاتِ وَأَشْرَفُهَا، وَلِيَكُونُوا عَلَى أَجَلِّ هَيْئَةٍ وَأَحْسَنِ خِلْقَةٍ، وَهِيَ السُّنَّةُ الْقَدِيمَةُ الَّتِي اخْتَارَهَا الْأَنْبِيَاءُ وَاتَّفَقَتْ عَلَيْهَا الشَّرَائِعُ، وَهَذِهِ الْخِصَالُ هِيَ:
Sifat yang paling sempurna dan mulia, agar mereka berada dalam keadaan yang paling agung dan ciptaan yang paling baik, dan ini adalah sunnah kuno yang dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh syariat, dan sifat-sifat ini adalah:
١ الِاسْتِحْدَادُ: وَهُوَ حَلْقُ الْعَانَةِ، وَهِيَ الشَّعْرُ النَّابِتُ حَوْلَ الْفَرْجِ، سُمِّيَ اسْتِحْدَادًا؛ لِاسْتِعْمَالِ الْحَدِيدَةِ فِيهِ، وَهِيَ الْمُوسَى، وَفِي إِزَالَتِهِ تَجْمِيلٌ وَنَظَافَةٌ؛ فَيُزِيلُهُ بِمَا شَاءَ مِنْ حَلْقٍ أَوْ غَيْرِهِ.
1 Istihdad: yaitu mencukur rambut kemaluan, yaitu rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, disebut istihdad karena penggunaan besi di dalamnya, yaitu pisau cukur, dan dalam menghilangkannya terdapat keindahan dan kebersihan; maka ia menghilangkannya dengan apa yang ia inginkan dari pencukuran atau lainnya.
٢ الْخِتَانُ: وَهُوَ إِزَالَةُ الْجِلْدَةِ الَّتِي تُغَطِّي الْحَشَفَةَ حَتَّى تَبْرُزَ الْحَشَفَةُ، وَيَكُونُ زَمَنَ الصِّغَرِ؛ لِأَنَّهُ أَسْرَعُ بُرْأً، وَلِيَنْشَأَ الصَّغِيرُ عَلَى أَكْمَلِ الْأَحْوَالِ.
2 Khitan: yaitu menghilangkan kulit yang menutupi kepala penis sampai kepala penis menonjol, dan dilakukan pada masa kecil; karena lebih cepat sembuh, dan agar anak kecil tumbuh dalam keadaan yang paling sempurna.
وَمِنَ الْحِكْمَةِ فِي الْخِتَانِ تَطْهِيرُ الذَّكَرِ مِنَ النَّجَاسَةِ الْمُتَحَقِّنَةِ فِي الْقُلْفَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْفَوَائِدِ.
Dan di antara hikmah dalam khitan adalah membersihkan penis dari najis yang terperangkap di kulup dan manfaat lainnya.
٣ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِخْفَاؤُهُ: وَهُوَ الْمُبَالَغَةُ فِي قَصِّهِ؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ التَّجْمِيلِ وَالنَّظَافَةِ وَمُخَالَفَةِ الْكُفَّارِ.
3 Memotong kumis dan menyembunyikannya: yaitu berlebihan dalam memotongnya; karena di dalamnya terdapat keindahan, kebersihan, dan menyelisihi orang-orang kafir.
وَقَدْ وَرَدَتِ الْأَحَادِيثُ فِي الْحَثِّ عَلَى قَصِّهِ وَإِخْفَائِهِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ وَإِرْسَالِهَا وَإِكْرَامِهَا؛ لِمَا فِي بَقَاءِ اللِّحْيَةِ مِنَ الْجَمَالِ وَمَظْهَرِ الْجُولَةِ، وَقَدْ عَكَسَ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الْأَمْرَ؛ فَصَارُوا يُوَفِّرُونَ شَوَارِبَهُمْ وَيَحْلِقُونَ لِحَاهُمْ أَوْ يَقُصُّونَهَا أَوْ يُحَاصِرُونَهَا فِي نِطَاقٍ ضَيِّقٍ؛ إِمْعَانًا فِي الْمُخَالَفَةِ لِلْهَدْيِ النَّبَوِيِّ، وَتَقْلِيدًا لِأَعْدَاءِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَنُزُولًا عَنْ سِمَاتِ الرُّجُولَةِ وَالشَّهَامَةِ إِلَى سِمَاتِ النِّسَاءِ وَالسُّفَلَةِ، حَتَّى صَدَقَ عَلَيْهِمْ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Dan telah datang hadits-hadits yang mendorong untuk memotongnya, menyembunyikannya, membiarkan jenggot, membiarkannya, dan memuliakannya; karena dalam memelihara jenggot terdapat keindahan dan penampilan yang gagah, dan banyak orang telah membalikkan perkara; mereka membiarkan kumis mereka dan mencukur jenggot mereka atau memotongnya atau mengepungnya dalam lingkup yang sempit; berlebihan dalam menyelisihi petunjuk Nabi, dan meniru musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya, dan turun dari ciri-ciri kejantanan dan keberanian ke ciri-ciri wanita dan orang-orang rendahan, sehingga benar atas mereka perkataan penyair:
يُقضَى على المَرءِ في أيّامِ مِحنَتِه ... حتى يَرَى حَسنا ما لَيس بالحَسنِ
Seseorang akan dihakimi pada hari-hari cobaannya ... sampai dia melihat kebaikan pada apa yang tidak baik
وقول الآخر:
Dan perkataan yang lain:
ولا عَجَبُ أنَّ النساءَ تَرَجَّلت ... ولكِنَّ تَأنيثَ الرِّجالِ عَجيبُ
Tidak mengherankan bahwa wanita menjadi maskulin ... tetapi feminisasi pria itu mengherankan
٤ ومن خصال الفطرة: تقليم الأظافر، وهو قطعها؛ بحيث لا تترك تطول؛ لما في ذلك من التجميل وإزالة الوسخ المتراكم تحتها، والبعد عن مشابهة السباع البهيمية، وقد خالف هذه الفطرة النبوية طوائف من الشباب المتخنفس والنساء الهمجيات؛ فصاروا يطيلون أظافرهم؛ مخالفة للهدي النبوي، وإمعانا في التقليد الأعمى.
4 Di antara sifat-sifat fitrah: memotong kuku, yaitu memotongnya; sehingga tidak dibiarkan memanjang; karena hal itu untuk mempercantik dan menghilangkan kotoran yang menumpuk di bawahnya, dan menjauhkan diri dari menyerupai binatang buas, dan telah menyelisihi fitrah kenabian ini kelompok-kelompok pemuda yang menyimpang dan wanita-wanita yang biadab; maka mereka memanjangkan kuku mereka; menyelisihi petunjuk kenabian, dan berlebihan dalam taklid buta.
٥ ومن خصال الفطرة: نتف الإبط أي: إزالة الشعر النابت في الإبط، فيسن إزالة هذا الشعر بالنتف أو الحلق أو غير ذلك؛ لما في إزالة هذا الشعر من لنظافة وقطع الرائحة الكريهة التي تتضاعف مع وجود هذا الشعر.
5 Di antara sifat-sifat fitrah: mencabut bulu ketiak yaitu: menghilangkan rambut yang tumbuh di ketiak, maka disunahkan untuk menghilangkan rambut ini dengan mencabut atau mencukur atau selain itu; karena menghilangkan rambut ini untuk kebersihan dan memotong bau tidak sedap yang berlipat ganda dengan adanya rambut ini.
أيها المسلم! هكذا جاء ديننا بتشريع هذه الخصال؛ لما فيها من التجمل والتنظف؛ ليكون المسلم على أحسن حال وأجمل مظهر؛ مخالفا بذلك هدى المشركين، ولما في بعضها من تمييز بين الرجال والنساء؛ ليبقى لكل منهما شخصيته المناسبة لوظيفته في الحياة، لكن؛ أبى كثير من المخدوعين، الذين يظلمون أنفسهم، فأبوا إلا مخالفة الرسول ﷺ، واستيراد التقاليد التي لا تتناسب مع ديننا وشخصيتنا الإسلامية، واتخذوا من سفلة الغرب أو الشرق قدوة لهم في شخصيتهم؛ فاستبدلوا الذي هو أدنى بالذي هو
Wahai Muslim! Demikianlah agama kita datang dengan mensyariatkan sifat-sifat ini; karena di dalamnya terdapat keindahan dan kebersihan; agar Muslim berada dalam keadaan terbaik dan penampilan terindah; berbeda dengan petunjuk orang-orang musyrik, dan karena sebagiannya terdapat pembedaan antara laki-laki dan perempuan; agar masing-masing dari mereka memiliki kepribadian yang sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan, tetapi; banyak orang yang tertipu, yang menzalimi diri mereka sendiri, maka mereka enggan kecuali menyelisihi Rasulullah ﷺ, dan mengimpor tradisi yang tidak sesuai dengan agama dan kepribadian Islam kita, dan mereka menjadikan orang-orang rendahan dari Barat atau Timur sebagai teladan bagi mereka dalam kepribadian mereka; maka mereka mengganti yang lebih rendah dengan yang
خَيْرٌ، بَلِ اسْتَبْدَلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ، وَالْكَمَالَ بِالنَّقْصِ؛ فَجَنَوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَى مُجْتَمَعِهِمْ، وَجَاؤُوا بِسُنَّةٍ سَيِّئَةٍ، بَاؤُوا بِإِثْمِهَا وَإِثْمِ مَنْ عَمِلَ بِهَا تَبَعًا لَهُمْ،
Tidak, sebaliknya mereka mengganti yang baik dengan yang buruk, dan yang sempurna dengan yang kurang; sehingga mereka merugikan diri mereka sendiri dan masyarakat mereka, dan mereka datang dengan sunnah yang buruk, mereka menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikutinya,
وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ.
dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
اللَّهُمَّ وَفِّقِ الْمُسْلِمِينَ لِإِصْلَاحِ أَعْمَالِهِمْ وَأَقْوَالِهِمْ، وَارْزُقْهُمُ الْإِخْلَاصَ لِوَجْهِكَ الْكَرِيمِ، وَالتَّمَسُّكَ بِسُنَّةِ نَبِيِّكَ ﷺ.
Ya Allah, berilah taufik kepada kaum muslimin untuk memperbaiki amalan dan perkataan mereka, dan karuniakanlah kepada mereka keikhlasan karena wajah-Mu yang mulia, dan berpegang teguh pada sunnah Nabi-Mu ﷺ.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْوُضُوءِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الوُضُوءِ
Bab tentang hukum-hukum wudhu
يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ﴾ الْآيَةَ؛ فَهَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ أَوْجَبَتِ الْوُضُوءَ لِلصَّلَاةِ، وَبَيَّنَتِ الْأَعْضَاءَ الَّتِي يَجِبُ غَسْلُهَا أَوْ مَسْحُهَا فِي الْوُضُوءِ، وَحَدَّدَتْ مَوَاقِعَ الْوُضُوءِ مِنْهَا، ثُمَّ بَيَّنَ النَّبِيُّ ﷺ صِفَةَ الْوُضُوءِ بِقَوْلِهِ بَيَانًا كَافِيًا.
Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai ke kedua mata kaki" ayat. Ayat yang mulia ini mewajibkan wudhu untuk shalat, dan menjelaskan anggota tubuh yang wajib dibasuh atau disapu dalam wudhu, serta menentukan tempat-tempat wudhu darinya. Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan sifat wudhu dengan perkataannya secara memadai.
فَالشُّرُوطُ ثَمَانِيَةٌ هِيَ:
Syarat-syaratnya ada delapan, yaitu:
الْإِسْلَامُ، وَالْعَقْلُ، وَالتَّمْيِيزُ، وَالنِّيَّةُ؛ فَلَا يَصِحُّ
Islam, berakal, mumayyiz (dapat membedakan), dan niat; maka tidak sah
الوُضُوءُ مِنْ كَافِرٍ، وَلَا مِنْ مَجْنُونٍ وَلَا مِنْ صَغِيرٍ لَا يُمَيِّزُهُ، وَلَا مِمَّنْ لَمْ يَنْوِ الْوُضُوءَ؛ بِأَنْ نَوَى تَبَرُّدًا، أَوْ غَسَلَ أَعْضَاءَهُ لِيُزِيلَ عَنْهَا نَجَاسَةً أَوْ وَسَخًا.
Wudhu dari orang kafir, orang gila, anak kecil yang tidak bisa membedakan, dan orang yang tidak berniat wudhu; dengan niat mendinginkan diri, atau membasuh anggota tubuhnya untuk menghilangkan najis atau kotoran, tidak sah.
وَيُشْتَرَطُ لِلْوُضُوءِ أَيْضًا أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ طَهُورًا كَمَا سَبَقَ، فَإِنْ كَانَ نَجِسًا؛ لَمْ يُجْزِئْهُ. وَيُشْتَرَطُ لِلْوُضُوءِ أَيْضًا أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ مُبَاحًا، فَإِنْ كَانَ مَغْصُوبًا أَوْ تَحَصَّلَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ طَرِيقٍ شَرْعِيٍّ؛ لَمْ يَصِحَّ الْوُضُوءُ بِهِ.
Disyaratkan juga untuk wudhu bahwa air harus suci seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika air itu najis; maka tidak mencukupi. Disyaratkan juga untuk wudhu bahwa air harus diperbolehkan, jika air itu dirampas atau diperoleh dengan cara yang tidak sesuai syariat; maka wudhu dengannya tidak sah.
وَكَذَلِكَ يُشْتَرَطُ لِلْوُضُوءِ أَيْضًا إِزَالَةُ مَا يَمْنَعُ وُصُولَ الْمَاءِ إِلَى الْجِلْدِ؛ فَلَا بُدَّ لِلْمُتَوَضِّئِ أَنْ يُزِيلَ مَا عَلَى أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ مِنْ طِينٍ أَوْ عَجِينٍ أَوْ شَمْعٍ أَوْ وَسَخٍ مُتَرَاكِمٍ أَوْ أَصْبَاغٍ سَمِيكَةٍ؛ لِيَجْرِيَ الْمَاءُ عَلَى جِلْدِ الْعُضْوِ مُبَاشَرَةً مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ.
Demikian pula disyaratkan untuk wudhu juga menghilangkan apa yang menghalangi air sampai ke kulit; maka orang yang berwudhu harus menghilangkan apa yang ada pada anggota wudhu dari tanah liat, adonan, lilin, kotoran yang menumpuk, atau cat tebal; agar air dapat mengalir langsung pada kulit anggota tubuh tanpa penghalang.
وَأَمَّا فُرُوضُ الْوُضُوءِ وَهِيَ أَعْضَاؤُهُ؛ فَهِيَ سِتَّةٌ:
Adapun rukun-rukun wudhu, yaitu anggota-anggotanya; ada enam:
أَحَدُهَا: غَسْلُ الْوَجْهِ بِكَامِلِهِ، وَمِنْهُ الْمَضْمَضَةُ وَالِاسْتِنْشَاقُ، فَمَنْ غَسَلَ وَجْهَهُ وَتَرَكَ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ أَوْ أَحَدَهُمَا؛ لَمْ يَصِحَّ وُضُوءُهُ؛ لِأَنَّ الْفَمَ وَالْأَنْفَ مِنَ الْوَجْهِ، وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ: ﴿فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ﴾؛ فَأَمَرَ بِغَسْلِ الْوَجْهِ كُلِّهِ، فَمَنْ تَرَكَ شَيْئًا مِنْهُ؛ لَمْ يَكُنْ مُمْتَثِلًا أَمْرَ اللَّهِ تَعَالَى، وَالنَّبِيُّ ﷺ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ.
Pertama: membasuh wajah seluruhnya, termasuk berkumur dan memasukkan air ke hidung, barangsiapa membasuh wajahnya dan meninggalkan berkumur dan memasukkan air ke hidung atau salah satunya; maka wudhunya tidak sah; karena mulut dan hidung termasuk wajah, dan Allah Ta'ala berfirman: "Maka basuhlah wajahmu"; maka Dia memerintahkan untuk membasuh seluruh wajah, barangsiapa meninggalkan sesuatu darinya; maka dia tidak mematuhi perintah Allah Ta'ala, dan Nabi ﷺ berkumur dan memasukkan air ke hidung.
الثَّانِي: غَسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ﴾؛ أَيْ: مَعَ الْمَرَافِقِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَدَارَ الْمَاءَ عَلَى
Kedua: membasuh kedua tangan beserta siku; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan tanganmu sampai siku"; yaitu: beserta siku; karena Nabi ﷺ memutar air pada
مَرْفِقَيْهِ، وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ: "غَسَلَ يَدَيْهِ حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ"، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى دُخُولِ الْمِرْفَقَيْنِ فِي الْمَغْسُولِ.
Siku-sikunya, dan dalam hadits lain: "Dia mencuci tangannya sampai ke lengan atas", yang menunjukkan masuknya siku-siku dalam bagian yang dicuci.
وَالثَّالِثُ: مَسْحُ الرَّأْسِ كُلِّهِ، وَمِنْهُ الْأُذُنَانِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ﴾، وَقَالَ ﷺ: "الْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَةَ وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُمَا؛ فَلَا يُجْزِئُ مَسْحُ بَعْضِ الرَّأْسِ.
Dan yang ketiga: mengusap seluruh kepala, termasuk kedua telinga; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan usaplah kepalamu", dan Nabi ﷺ bersabda: "Kedua telinga termasuk bagian dari kepala", diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, dan lainnya; maka tidak cukup hanya mengusap sebagian kepala.
وَالرَّابِعُ: غَسْلُ الرِّجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ﴾، وَ"إِلَى" بِمَعْنَى "مَعَ"، وَذَلِكَ لِلْأَحَادِيثِ الْوَارِدَةِ فِي صِفَةِ الْوُضُوءِ؛ فَإِنَّهَا تَدُلُّ عَلَى دُخُولِ الْكَعْبَيْنِ فِي الْمَغْسُولِ.
Dan yang keempat: membasuh kedua kaki beserta mata kaki; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan (basuh) kedua kakimu sampai ke mata kaki", dan "sampai" bermakna "beserta", dan itu berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan tentang sifat wudhu; karena hadits-hadits tersebut menunjukkan masuknya mata kaki dalam bagian yang dibasuh.
وَالْخَامِسُ: التَّرْتِيبُ؛ بِأَنْ يَغْسِلَ الْوَجْهَ أَوَّلًا، ثُمَّ الْيَدَيْنِ، ثُمَّ يَمْسَحَ الرَّأْسَ، ثُمَّ يَغْسِلَ رِجْلَيْهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ﴾، وَالنَّبِيُّ ﷺ رَتَّبَ الْوُضُوءَ عَلَى هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ، وَقَالَ: "هَذَا وُضُوءٌ لَا يَقْبَلُ اللهُ الصَّلَاةَ بِهِ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ.
Dan yang kelima: berurutan; yaitu dengan membasuh wajah terlebih dahulu, kemudian kedua tangan, lalu mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kakinya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke mata kaki", dan Nabi ﷺ mengurutkan wudhu dengan cara ini, dan beliau bersabda: "Ini adalah wudhu yang Allah tidak menerima shalat tanpanya", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.
السَّادِسُ: الْمُوَالَاةُ، وَهِيَ أَنْ يَكُونَ غَسْلُ الْأَعْضَاءِ الْمَذْكُورَةِ
Keenam: Al-Muwalah, yaitu membasuh anggota tubuh yang disebutkan
مُتَوَالِيًا، بِحَيْثُ لَا يَفْصِلُ بَيْنَ غَسْلِ عُضْوٍ وَغَسْلِ الْعُضْوِ الَّذِي قَبْلَهُ، بَلْ يُتَابِعُ غَسْلَ الْأَعْضَاءِ الْوَاحِدِ تِلْوَ الْآخَرِ حَسَبَ الْإِمْكَانِ.
Berurutan, sehingga tidak ada jeda antara membasuh satu anggota tubuh dengan anggota tubuh sebelumnya, tetapi melanjutkan membasuh anggota tubuh satu demi satu sesuai kemampuan.
هَذِهِ فُرُوضُ الْوُضُوءِ الَّتِي لَا بُدَّ مِنْهَا فِيهِ عَلَى وَفْقِ مَا ذَكَرَهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ.
Ini adalah kewajiban-kewajiban wudhu yang harus dipenuhi sesuai dengan apa yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya.
وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي حُكْمِ التَّسْمِيَةِ فِي ابْتِدَاءِ الْوُضُوءِ؛ هَلْ هِيَ وَاجِبَةٌ أَوْ سُنَّةٌ؟ فَهِيَ عِنْدَ الْجَمِيعِ مَشْرُوعَةٌ، وَلَا يَنْبَغِي تَرْكُهَا، وَصِفَتُهَا أَنْ يَقُولَ: بِسْمِ اللهِ وَإِنْ زَادَ: الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ؛ فَلَا بَأْسَ.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca basmalah pada permulaan wudhu; apakah itu wajib atau sunnah? Menurut semua ulama, itu disyariatkan dan tidak boleh ditinggalkan. Cara membacanya adalah dengan mengucapkan: "Bismillah", dan jika ditambahkan: "Ar-Rahman Ar-Rahim"; maka tidak apa-apa.
وَالْحِكْمَةُ وَاللهُ أَعْلَمُ فِي اخْتِصَاصِ هَذِهِ الْأَعْضَاءِ الْأَرْبَعَةِ بِالْوُضُوءِ؛ لِأَنَّهَا أَسْرَعُ مَا يَتَحَرَّكُ مِنَ الْبَدَنِ؛ لِاكْتِسَابِ الذُّنُوبِ، فَكَانَ تَطْهِيرُ ظَاهِرِهَا تَنْبِيهٌ عَلَى تَطْهِيرِ بَاطِنِهَا، وَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ ﷺ أَنَّ الْمُسْلِمَ كُلَّمَا غَسَلَ عُضْوًا مِنْهَا؛ حَطَّ عَنْهُ كُلَّ خَطِيئَةٍ أَصَابَهَا بِذَلِكَ الْعُضْوِ، وَأَنَّهَا تَخْرُجُ خَطَايَاهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ.
Hikmah, dan Allah lebih mengetahui, dalam mengkhususkan keempat anggota tubuh ini untuk wudhu adalah karena anggota tubuh tersebut paling cepat bergerak untuk melakukan dosa. Maka, membersihkan bagian luarnya merupakan peringatan untuk membersihkan bagian dalamnya. Nabi ﷺ telah mengabarkan bahwa setiap kali seorang Muslim membasuh salah satu anggota tubuh tersebut, Allah akan menghapus setiap kesalahan yang dilakukan oleh anggota tubuh itu, dan kesalahan-kesalahannya keluar bersama air atau bersama tetesan air terakhir.
ثُمَّ أَرْشَدَ ﷺ بَعْدَ غَسْلِ هَذِهِ الْأَعْضَاءِ إِلَى تَجْدِيدِ الْإِيمَانِ بِالشَّهَادَتَيْنِ؛ إِشَارَةً إِلَى الْجَمْعِ بَيْنَ الطَّهَارَتَيْنِ الْحِسِّيَّةِ وَالْمَعْنَوِيَّةِ.
Kemudian Nabi ﷺ membimbing setelah membasuh anggota tubuh ini untuk memperbaharui iman dengan dua kalimat syahadat; sebagai isyarat untuk menggabungkan antara kesucian fisik dan maknawi.
فَالْحِسِّيَّةُ تَكُونُ بِالْمَاءِ عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي بَيَّنَهَا اللهُ فِي كِتَابِهِ مَعَ غَسْلِ هَذِهِ الْأَعْضَاءِ، وَالْمَعْنَوِيَّةُ تَكُونُ بِالشَّهَادَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تُطَهِّرَانِ مِنَ الشِّرْكِ.
Kesucian fisik dilakukan dengan air sesuai dengan cara yang dijelaskan Allah dalam Kitab-Nya disertai dengan membasuh anggota tubuh ini. Sedangkan kesucian maknawi dilakukan dengan dua kalimat syahadat yang mensucikan dari syirik.
وَقَدْ قَالَ تَعَالَى فِي آخِرِ آيَةِ الْوُضُوءِ: ﴿مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ﴾.
Allah Ta'ala berfirman di akhir ayat wudhu: "Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur."
وَهَكَذَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُ شَرَعَ اللهُ لَكَ الْوُضُوءَ؛ لِيُطَهِّرَكَ بِهِ مِنْ خَطَايَاكَ، وَلِيُتِمَّ بِهِ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ.
Demikianlah wahai seorang Muslim, Allah mensyariatkan bagimu wudhu; untuk menyucikanmu dengannya dari kesalahan-kesalahanmu, dan untuk menyempurnakan dengannya nikmat-Nya atasmu.
وَتَأَمَّلْ افْتِتَاحَ آيَةِ الْوُضُوءِ بِهَذَا النِّدَاءِ الْكَرِيمِ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا﴾؛ فَقَدْ وَجَّهَ سُبْحَانَهُ الْخِطَابَ إِلَى مَنْ يَتَّصِفُ بِالْإِيمَانِ؛ لِأَنَّهُ هُوَ الَّذِي يُصْغِي لِأَوَامِرِ اللهِ، وَيَنْتَفِعُ بِهَا، وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ".
Dan renungkanlah pembukaan ayat wudhu dengan seruan yang mulia ini: ﴿Wahai orang-orang yang beriman﴾; Maha Suci Dia yang mengarahkan khitab kepada orang yang bersifat dengan iman; karena dialah yang mendengarkan perintah-perintah Allah, dan mengambil manfaat darinya, dan karena inilah Nabi ﷺ bersabda: "Dan tidak ada yang menjaga wudhu kecuali seorang mukmin".
وَمَا زَادَ عَمَّا ذُكِرَ فِي صِفَةِ الْوُضُوءِ؛ فَهُوَ مُسْتَحَبٌّ: مِنْ فَعَلَهُ؛ فَلَهُ زِيَادَةُ أَجْرٍ، وَمَنْ تَرَكَهُ؛ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ، وَمِنْ سَمَّى الْفُقَهَاءُ تِلْكَ الْأَفْعَالَ: سُنَنَ الْوُضُوءِ؛ أَيْ: مُسْتَحَبَّاتِهِ؛ فَسُنَنُ الْوُضُوءِ هِيَ:
Dan apa yang lebih dari apa yang disebutkan dalam sifat wudhu; maka itu adalah mustahab: barangsiapa yang melakukannya; maka baginya tambahan pahala, dan barangsiapa yang meninggalkannya; maka tidak ada dosa atasnya, dan dari apa yang dinamakan oleh para fuqaha perbuatan-perbuatan tersebut: sunan wudhu; yaitu: hal-hal yang disunahkan; maka sunan wudhu adalah:
أَوَّلًا: السِّوَاكُ، وَتَقَدَّمَ بَيَانُ فَضِيلَتِهِ وَكَيْفِيَّتِهِ، وَمَحَلُّهُ عِنْدَ الْمَضْمَضَةِ؛ لِيَحْصُلَ بِهِ وَالْمَضْمَضَةِ تَنْظِيفُ الْفَمِ لِاسْتِقْبَالِ الْعِبَادَةِ وَالتَّهَيُّؤِ لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَمُنَاجَاةِ اللهِ ﷿.
Pertama: Siwak, dan telah dijelaskan sebelumnya keutamaannya dan cara melakukannya, dan tempatnya adalah ketika berkumur-kumur; agar dengannya dan dengan berkumur-kumur dapat membersihkan mulut untuk menghadapi ibadah dan bersiap-siap untuk membaca Al-Qur'an dan bermunajat kepada Allah ﷿.
ثَانِيًا: غَسْلُ الْكَفَّيْنِ ثَلَاثًا فِي أَوَّلِ الْوُضُوءِ قَبْلَ غَسْلِ الْوَجْهِ؛ لِوُرُودِ الْأَحَادِيثِ بِهِ، وَلِأَنَّ الْيَدَيْنِ آلَةُ نَقْلِ الْمَاءِ إِلَى الْأَعْضَاءِ؛ فَفِي غَسْلِهِمَا احْتِيَاطٌ لِجَمِيعِ الْوُضُوءِ.
Kedua: Membasuh kedua telapak tangan tiga kali di awal wudhu sebelum membasuh wajah; karena adanya hadits-hadits tentangnya, dan karena kedua tangan adalah alat untuk memindahkan air ke anggota tubuh; maka dalam membasuhnya terdapat kehati-hatian untuk seluruh wudhu.
ثَالِثًا: الْبَدَاءَةُ بِالْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ قَبْلَ غَسْلِ الْوَجْهِ؛ لِوُرُودِ الْبَدَاءَةِ بِهِمَا فِي الْأَحَادِيثِ، وَيُبَالِغُ فِيهَا إِنْ كَانَ غَيْرَ صَائِمٍ،
Ketiga: Memulai dengan berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung sebelum membasuh wajah; karena adanya riwayat tentang memulai dengan keduanya dalam hadits-hadits, dan hendaknya melebih-lebihkan dalam melakukannya jika sedang tidak berpuasa,
وَمَعْنَى الْمُبَالَغَةِ فِي الْمَضْمَضَةِ: إِدَارَةُ الْمَاءِ فِي جَمِيعِ فَمِهِ، وَفِي الِاسْتِنْشَاقِ: جَذْبُ الْمَاءِ إِلَى أَقْصَى أَنْفِهِ.
Dan arti berlebihan dalam berkumur adalah: memutar air di seluruh mulutnya, dan dalam istinsyaq: menarik air ke ujung hidungnya.
رَابِعًا: وَمِنْ سُنَنِ الْوُضُوءِ تَخْلِيلُ اللِّحْيَةِ الْكَثِيفَةِ بِالْمَاءِ حَتَّى يَبْلُغَ دَاخِلَهَا، وَتَخْلِيلُ أَصَابِعِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ.
Keempat: Di antara sunnah-sunnah wudhu adalah menyisir jenggot yang lebat dengan air hingga mencapai bagian dalamnya, dan menyisir jari-jari tangan dan kaki.
خَامِسًا: التَّيَامُنُ، وَهُوَ الْبَدْءُ بِالْيُمْنَى مِنَ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ قَبْلَ الْيُسْرَى.
Kelima: Tayamun, yaitu memulai dengan yang kanan dari tangan dan kaki sebelum yang kiri.
سَادِسًا: الزِّيَادَةُ عَلَى الْغَسْلَةِ الْوَاحِدَةِ إِلَى ثَلَاثِ غَسَلَاتٍ فِي غَسْلِ الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ.
Keenam: Menambah satu kali basuhan menjadi tiga kali basuhan saat membasuh wajah, tangan, dan kaki.
هَذِهِ شُرُوطُ الْوُضُوءِ وَفُرُوضُهُ وَسُنَنُهُ، يَجْدُرُ بِكَ أَنْ تَتَعَلَّمَهَا وَتَحْرِصَ عَلَى تَطْبِيقِهَا فِي كُلِّ وُضُوءٍ، لِيَكُونَ وُضُوؤُكَ مُسْتَكْمِلًا لِلصِّفَةِ الْمَشْرُوعَةِ، لِتَحُوزَ عَلَى الثَّوَابِ.
Ini adalah syarat-syarat wudhu, kewajiban-kewajibannya, dan sunnah-sunnahnya. Sudah sepatutnya Anda mempelajarinya dan bersemangat untuk menerapkannya dalam setiap wudhu, agar wudhu Anda memenuhi sifat yang disyariatkan, sehingga Anda mendapatkan pahala.
وَنَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكَ الْمَزِيدَ مِنَ الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ.
Dan kami memohon kepada Allah untuk kami dan Anda tambahan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.
بَابٌ فِي بَيَانِ صِفَةِ الْوُضُوءِ
بَعْدَ أَنْ عَرَفْتَ شَرَائِطَ الْوُضُوءِ وَفَرَائِضَهُ وَسُنَنَهُ عَلَى مَا سَبَقَ بَيَانُهُ، كَأَنَّكَ تَطَلَّعْتَ إِلَى بَيَانِ صِفَةِ الْوُضُوءِ الَّتِي تُطَبِّقُ فِيهَا تِلْكَ الْأَحْكَامَ، وَهِيَ صِفَةُ الْوُضُوءِ الْكَامِلِ الْمُشْتَمِلِ عَلَى الْفُرُوضِ وَالسُّنَنِ الْمُسْتَوْحَاةِ مِنْ نُصُوصِ الشَّرْعِ؛ لِتَعْمَلَ عَلَى تَطْبِيقِهَا إِنْ شَاءَ اللهُ؛ فَصِفَةُ الْوُضُوءِ:
Setelah Anda mengetahui syarat-syarat wudhu, kewajiban-kewajibannya, dan sunah-sunahnya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, seolah-olah Anda ingin mengetahui penjelasan tentang tata cara wudhu yang menerapkan hukum-hukum tersebut, yaitu tata cara wudhu yang sempurna yang mencakup kewajiban-kewajiban dan sunah-sunah yang bersumber dari nash-nash syariat; agar Anda dapat menerapkannya insya Allah; maka tata cara wudhu adalah:
أَنْ يَنْوِيَ الْوُضُوءَ لِمَا يُشْرَعُ لَهُ الْوُضُوءُ مِنْ صَلَاةٍ وَنَحْوِهَا.
Berniat wudhu untuk apa yang disyariatkan wudhu untuknya, seperti shalat dan sebagainya.
ثُمَّ يَقُولُ: بِسْمِ اللهِ.
Kemudian mengucapkan: "Bismillah".
ثُمَّ يَغْسِلُ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ.
Kemudian membasuh kedua telapak tangan tiga kali.
ثُمَّ يَتَمَضْمَضُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَيَسْتَنْشِقُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَيَنْثُرُ الْمَاءَ مِنْ أَنْفِهِ بِيَسَارِهِ.
Kemudian berkumur-kumur tiga kali, dan menghirup air ke hidung tiga kali, lalu menyemburkan air dari hidungnya dengan tangan kirinya.
وَيَغْسِلُ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَحَدُّ الْوَجْهِ طُولًا مِنْ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ الْمُعْتَادِ إِلَى مَا انْحَدَرَ مِنَ اللَّحْيَيْنِ وَالذَّقَنِ،
Dan membasuh wajahnya tiga kali, dan batas wajah secara memanjang adalah dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang biasa sampai ke bagian yang turun dari kedua rahang dan dagu,
وَاللَّحْيَانِ عَظْمَانِ فِي أَسْفَلِ الْوَجْهِ: أَحَدُهُمَا مِنْ جِهَةِ الْيَمِينِ، وَالثَّانِي مِنْ جِهَةِ الْيَسَارِ، وَالذَّقَنُ مَجْمَعُهُمَا، وَشَعْرُ اللِّحْيَةِ مِنَ الْوَجْهِ؛ فَيَجِبُ غَسْلُهُ، وَلَوْ طَالَ، فَإِنْ كَانَتِ اللِّحْيَةُ خَفِيفَةَ الشَّعْرِ؛ وَجَبَ غَسْلُ بَاطِنِهَا وَظَاهِرِهَا، وَإِنْ كَانَتْ كَثِيفَةً "أَيْ: سَاتِرَةً لِلْجِلْدِ"؛ وَجَبَ غَسْلُ ظَاهِرِهَا، وَيُسْتَحَبُّ تَخْلِيلُ بَاطِنِهَا كَمَا تَقَدَّمَ، وَحَدُّ الْوَجْهِ عَرْضًا مِنَ الْأُذُنِ إِلَى الْأُذُنِ، وَالْأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ؛ فَيُمْسَحَانِ مَعَ كَمَا تَقَدَّمَ.
Dan dua rahang adalah dua tulang di bagian bawah wajah: salah satunya di sebelah kanan, dan yang kedua di sebelah kiri, dan dagu adalah tempat berkumpulnya keduanya, dan rambut jenggot adalah bagian dari wajah; maka wajib membasuhnya, meskipun panjang, jika jenggot itu tipis rambutnya; wajib membasuh bagian dalamnya dan luarnya, dan jika tebal "yaitu: menutupi kulit"; wajib membasuh bagian luarnya, dan dianjurkan menyela-nyela bagian dalamnya seperti yang telah lalu, dan batas wajah lebarnya dari telinga ke telinga, dan dua telinga adalah bagian dari kepala; maka keduanya diusap bersama seperti yang telah lalu.
ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَحَدُّ الْيَدِ هُنَا: مِنْ رُؤُوسِ الْأَصَابِعِ مَعَ الْأَظَافِرِ إِلَى أَوَّلِ الْعَضُدِ، وَلَا بُدَّ أَنْ يُزِيلَ مَا عَلِقَ بِالْيَدَيْنِ قَبْلَ الْغَسْلِ مِنْ عَجِينٍ وَطِينٍ وَصِبْغٍ كَثِيفٍ عَلَى الْأَظَافِرِ حَتَّى يَتَبَلَّغَ بِمَاءِ الْوُضُوءِ.
Kemudian dia membasuh kedua tangannya bersama dengan kedua siku tiga kali, dan batas tangan di sini: dari ujung jari-jari bersama kuku-kuku sampai awal lengan atas, dan harus menghilangkan apa yang menempel pada kedua tangan sebelum membasuh dari adonan, tanah, dan cat kuku yang tebal pada kuku-kuku hingga air wudhu dapat menjangkaunya.
ثُمَّ يَمْسَحُ كُلَّ رَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ مَرَّةً وَاحِدَةً بِمَاءٍ جَدِيدٍ غَيْرِ الْبَلَلِ الْبَاقِي مِنْ غَسْلِ يَدَيْهِ، وَصِفَةُ مَسْحِ الرَّأْسِ أَنْ يَضَعَ يَدَيْهِ مَبْلُولَتَيْنِ بِالْمَاءِ عَلَى مُقَدَّمِ رَأْسِهِ، وَيَمُرَّهُمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ يَرُدَّهُمَا إِلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ، ثُمَّ يُدْخِلُ أُصْبُعَيْهِ السَّبَّابَتَيْنِ فِي خُرْقَيْ أُذُنَيْهِ، وَيَمْسَحُ ظَاهِرَهُمَا بِإِبْهَامَيْهِ.
Kemudian dia mengusap seluruh kepalanya dan kedua telinganya satu kali dengan air baru selain sisa basahan dari membasuh kedua tangannya, dan cara mengusap kepala adalah dengan meletakkan kedua tangannya yang basah dengan air di bagian depan kepalanya, dan menggerakkan keduanya ke bagian belakang kepalanya, kemudian mengembalikan keduanya ke tempat semula, kemudian memasukkan kedua jari telunjuknya ke dalam lubang telinganya, dan mengusap bagian luarnya dengan kedua ibu jarinya.
ثُمَّ يَغْسِلُ رِجْلَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مَعَ الْكَعْبَيْنِ، وَالْكَعْبَانِ: هُمَا الْعَظْمَانِ النَّاتِئَانِ فِي أَسْفَلِ السَّاقِ.
Kemudian dia membasuh kedua kakinya tiga kali bersama dengan kedua mata kaki, dan kedua mata kaki: keduanya adalah dua tulang yang menonjol di bagian bawah betis.
وَمَنْ كَانَ مَقْطُوعَ الْيَدِ أَوِ الرِّجْلِ؛ فَإِنَّهُ يَغْسِلُ مَا بَقِىَ مِنَ الذِّرَاعِ أَوِ الرِّجْلِ، فَإِنْ قُطِعَ مِنْ مَفْصِلِ الْمِرْفَقِ؛ غَسَلَ رَأْسَ الْعَضُدِ، وَإِنْ قُطِعَ مِنَ الْكَعْبِ؛ غَسَلَ طَرَفَ السَّاقِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾، وَقَوْلِهِ ﷺ: "إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ؛ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ"، فَإِذَا غَسَلَ بَقِيَّةَ الْمَفْرُوضِ؛ فَقَدْ أَتَى بِمَا اسْتَطَاعَ.
Dan barangsiapa yang tangannya atau kakinya terpotong, maka ia membasuh apa yang tersisa dari lengan atau kaki. Jika terpotong dari sendi siku, maka ia membasuh ujung lengan atas. Jika terpotong dari mata kaki, maka ia membasuh ujung betis. Berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu", dan sabda Nabi ﷺ: "Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah semampu kalian". Maka jika ia membasuh sisa anggota wudhu yang wajib, sungguh ia telah melakukan apa yang ia mampu.
ثُمَّ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الْوُضُوءِ عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي ذَكَرْنَا، يَرْفَعُ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ، وَيَقُولُ مَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ مِنَ الْأَدْعِيَةِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ، وَمِنْ ذَلِكَ: "أَشْهَدُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِينَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ، سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، وَأَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ".
Kemudian setelah selesai berwudhu dengan cara yang telah kami sebutkan, hendaklah ia mengangkat pandangannya ke langit dan mengucapkan doa-doa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ pada kondisi ini, di antaranya: "Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci. Mahasuci Engkau ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu".
وَالْمُنَاسَبَةُ فِي الْإِتْيَانِ بِهَذَا الذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ بَعْدَ الْوُضُوءِ: أَنَّهُ لَمَّا كَانَ الْوُضُوءُ طَهَارَةً لِلظَّاهِرِ؛ نَاسَبَ ذِكْرَ طَهَارَةِ الْبَاطِنِ؛ بِالتَّوْحِيدِ وَالتَّوْبَةِ، وَهُمَا أَعْظَمُ الْمُطَهِّرَاتِ، فَإِذَا اجْتَمَعَ لَهُ الطَّهُورَانِ؛ طَهُورُ الظَّاهِرِ بِالْوُضُوءِ،
Kesesuaian dalam mendatangkan zikir dan doa ini setelah wudhu adalah: karena wudhu merupakan penyucian lahiriah, maka sesuai untuk menyebutkan penyucian batin dengan tauhid dan taubat, dan keduanya adalah penyuci yang paling agung. Maka jika telah terkumpul baginya dua kesucian: kesucian lahir dengan wudhu,
وَطُهُورُ الْبَاطِنِ بِالتَّوْحِيدِ وَالتَّوْبَةِ؛ صَلُحَ لِلدُّخُولِ عَلَى اللهِ، وَالْوُقُوفِ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَمُنَاجَاتِهِ.
Dan penyucian batin dengan tauhid dan taubat; menjadi layak untuk masuk ke hadirat Allah, berdiri di hadapan-Nya, dan bermunajat kepada-Nya.
وَلَا بَأْسَ أَنْ يُنَشِّفَ الْمُتَوَضِّئُ أَعْضَاءَهُ مِنْ مَاءِ الْوُضُوءِ بِمَسْحِهِ بِخِرْقَةٍ وَنَحْوِهَا.
Dan tidak mengapa jika orang yang berwudhu mengeringkan anggota wudhunya dari air wudhu dengan menyekanya menggunakan kain atau sejenisnya.
ثُمَّ اعْلَمْ أَيُّهَا الْمُسْلِمُ: أَنَّهُ يَجِبُ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ، وَهُوَ إِتْمَامُهُ بِاسْتِكْمَالِ الْأَعْضَاءِ وَتَعْمِيمِ كُلِّ عُضْوٍ بِالْمَاءِ، وَلَا يَتْرُكُ مِنْهُ شَيْئًا لَمْ يُصِبْهُ الْمَاءُ:
Kemudian ketahuilah wahai saudaraku Muslim: bahwa wajib menyempurnakan wudhu, yaitu menyempurnakannya dengan melengkapi anggota wudhu dan meratakan setiap anggota dengan air, dan tidak meninggalkan darinya sesuatu yang tidak terkena air:
فَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ ﷺ رَجُلًا تَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ؛ فَقَالَ لَهُ: "ارْجِعْ؛ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ".
Nabi ﷺ pernah melihat seorang laki-laki yang meninggalkan tempat kuku di kakinya; maka beliau bersabda kepadanya: "Kembalilah; dan perbaikilah wudhumu".
وَعَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ؛ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي وَفِي بَعْضِ قَدَمِهِ لَمْعَةٌ قَدْرَ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ؛ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ، وَقَالَ ﷺ: "وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ" أَوْ تَبْقَى فِيهِمَا بَقِيَّةٌ لَا يَعُمُّهَا الْمَاءُ؛ فَيُعَذَّبَانِ بِالنَّارِ بِسَبَبِ ذَلِكَ.
Dan dari sebagian istri Nabi ﷺ; bahwa beliau melihat seorang laki-laki shalat dan pada sebagian kakinya terdapat bagian seukuran dirham yang tidak terkena air; maka beliau memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalat, dan bersabda ﷺ: "Celakalah tumit-tumit dari api neraka" atau jika tersisa padanya sisa yang tidak dibasahi air; maka keduanya akan disiksa dengan api neraka karena hal itu.
وَقَالَ ﷺ فِي الْحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ: "إِنَّهُ لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللهُ؛ فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ يَمْسَحَ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ".
Dan Nabi ﷺ bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya: "Sesungguhnya shalat salah seorang di antara kalian tidak sempurna hingga ia menyempurnakan wudhu sebagaimana yang diperintahkan Allah; yaitu membasuh wajahnya, kedua tangannya hingga siku, lalu mengusap kepalanya dan kedua kakinya hingga mata kaki".
ثُمَّ اعْلَمْ أَيُّهَا الْمُسْلِمُ: أَنَّهُ لَيْسَ مَعْنَى إِسْبَاغِ الْوُضُوءِ كَثْرَةَ صَبِّ الْمَاءِ، بَلْ مَعْنَاهُ تَعْمِيمُ الْعُضْوِ بِجَرَيَانِ الْمَاءِ عَلَيْهِ كُلِّهِ، وَأَمَّا كَثْرَةُ صَبِّ الْمَاءِ؛ فَهَذَا إِسْرَافٌ مَنْهِيٌّ عَنْهُ، بَلْ قَدْ يَكْثُرُ صَبُّ الْمَاءِ وَلَا يَتَطَهَّرُ الطَّهَارَةَ الْوَاجِبَةَ، وَإِذَا حَصَلَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ مَعَ تَقْلِيلِ الْمَاءِ؛ فَهَذَا هُوَ الْمَشْرُوعُ:
Kemudian ketahuilah wahai seorang Muslim: bahwa makna menyempurnakan wudhu bukanlah dengan banyak menuangkan air, tetapi maknanya adalah meratakan anggota tubuh dengan mengalirkan air ke seluruhnya. Adapun banyak menuangkan air, maka ini adalah pemborosan yang dilarang. Bahkan terkadang air dituangkan dengan banyak namun tidak bersuci dengan bersuci yang wajib. Jika penyempurnaan wudhu terjadi dengan sedikit air, maka inilah yang disyariatkan.
فَقَدْ ثَبَتَ فِي "الصَّحِيحَيْنِ": أَنَّهُ ﷺ كَانَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ.
Telah ditetapkan dalam "Shahihain" (Shahih Bukhari dan Muslim): bahwa Nabi ﷺ berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha' hingga lima mud.
وَنَهَى ﷺ عَنِ الْإِسْرَافِ فِي الْمَاءِ؛ فَقَدْ مَرَّ ﷺ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ؛ فَقَالَ: "مَا هَذَا السَّرَفُ؟ "، فَقَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ إِسْرَافٌ؟! فَقَالَ: "نَعَمْ، وَلَوْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارٍ" رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ، وَلَهُ شَوَاهِدُ، وَالسَّرَفُ ضِدُّ الْقَصْدِ.
Dan Nabi ﷺ melarang berlebih-lebihan dalam menggunakan air; beliau ﷺ pernah melewati Sa'd yang sedang berwudhu, lalu bersabda: "Apa ini, pemborosan?" Sa'd bertanya: "Apakah dalam wudhu ada pemborosan?" Beliau menjawab: "Ya, meskipun engkau berada di sungai yang mengalir." Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan memiliki penguat. Pemborosan adalah kebalikan dari kesederhanaan.
وَأَخْبَرَ ﷺ أَنَّهُ يَكُونُ فِي أُمَّتِهِ مَنْ يَتَعَدَّى فِي الطُّهُورِ، وَقَالَ: "إِنَّ لِلْوُضُوءِ شَيْطَانًا يُقَالُ لَهُ: الْوَلْهَانُ؛ فَاتَّقُوا وَسْوَاسَ الْمَاءِ".
Nabi ﷺ memberitahu bahwa akan ada di antara umatnya yang melampaui batas dalam bersuci, dan beliau bersabda: "Sesungguhnya wudhu memiliki setan yang disebut Al-Walhan; maka takutlah bisikan (was-was) air."
وَالسَّرَفُ فِي صَبِّ الْمَاءِ مَعَ أَنَّهُ يُضَيِّعُ الْمَاءَ مِنْ غَيْرِ فَائِدَةٍ يُوقِعُ فِي مَفَاسِدَ أُخْرَى:
Pemborosan dalam menuangkan air, selain menyia-nyiakan air tanpa manfaat, juga menyebabkan kerusakan lainnya:
مِنْهَا: أَنَّهُ قَدْ يَعْتَمِدُ عَلَى كَثْرَةِ الْمَاءِ؛ فَلَا يَتَعَاهَدُ وُصُولَ الْمَاءِ إِلَى أَعْضَائِهِ؛ فَرُبَّمَا تَبْقَى بَقِيَّةٌ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ، وَلَا يَدْرِي عَنْهَا، فَيَبْقَى وُضُوؤُهُ نَاقِصًا، فَيُصَلِّي بِغَيْرِ طَهَارَةٍ.
Di antaranya: dia mungkin mengandalkan banyaknya air; sehingga tidak memperhatikan air sampai ke anggota wudhunya; mungkin ada bagian yang tidak terkena air, dan dia tidak menyadarinya, sehingga wudhunya menjadi tidak sempurna, lalu dia shalat tanpa bersuci.
وَمِنْهَا: الْخَوْفُ عَلَيْهِ مِنَ الْغُلُوِّ فِي الْعِبَادَةِ؛ فَإِنَّ الْوُضُوءَ عِبَادَةٌ، وَالْعِبَادَةُ إِذَا دَخَلَهَا الْغُلُوُّ؛ فَسَدَتْ.
Di antaranya: kekhawatiran akan sikap berlebihan dalam ibadah; karena wudhu adalah ibadah, dan jika ibadah dicampuri sikap berlebihan, maka ia menjadi rusak.
وَمِنْهَا: أَنَّهُ قَدْ يَحْدُثُ لَهُ الْوَسْوَاسُ فِي الطَّهَارَةِ بِسَبَبِ الْإِسْرَافِ فِي صَبِّ الْمَاءِ.
Di antaranya: dia mungkin mengalami was-was dalam bersuci karena pemborosan dalam menuangkan air.
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي الِاقْتِدَاءِ بِالرَّسُولِ ﷺ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَفَّقَ اللهُ الْجَمِيعَ لِمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ.
Semua kebaikan ada dalam mengikuti Rasulullah ﷺ, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Semoga Allah memberi taufik kepada semua untuk melakukan apa yang Dia cintai dan ridhai.
فَعَلَيْكَ أَيُّهَا الْمُسْلِمُ بِالْحِرْصِ عَلَى يَكُونَ وُضُوؤُكَ وَجَمِيعُ عِبَادَاتِكَ عَلَى الْوَجْهِ الْمَشْرُوعِ؛ مِنْ غَيْرِ إِفْرَاطٍ وَلَا تَفْرِيطٍ؛ فَكِلَا طَرَفَيِ الْأُمُورِ ذَمِيمٌ، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا،
Maka, wahai saudaraku Muslim, bersemangatlah agar wudhumu dan semua ibadahmu sesuai dengan cara yang disyariatkan; tanpa berlebihan atau meremehkan; karena kedua sisi ekstrem itu tercela, dan sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.
وَالْمُتَسَاهِلُ فِي الْعِبَادَةِ يَنْتَقِصُهَا، وَالْغَالِي فِيهَا يَزِيدُ عَلَيْهَا مَا لَيْسَ مِنْهَا، وَالْمُسْتَنُّ فِيهَا بِسُنَّةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الَّذِي يُوفِيهَا حَقَّهَا.
Orang yang menganggap remeh ibadah akan menguranginya, orang yang berlebihan dalam ibadah akan menambahkan apa yang bukan bagian darinya, dan orang yang mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ dalam ibadah adalah orang yang memenuhi haknya.
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ، وَلَا تَجْعَلْهُ مُلْتَبِسًا عَلَيْنَا؛ فَنَضِلَّ.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya, dan janganlah Engkau jadikan ia samar bagi kami sehingga kami tersesat.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَغَيْرِهِمَا مِنَ الْحَوَائِلِ
إِنَّ دِينَنَا دِينُ يُسْرٍ لَا دِينُ مَشَقَّةٍ وَحَرَجٍ، يَضَعُ لِكُلِّ حَالَةٍ مَا يُنَاسِبُهَا مِنَ الْأَحْكَامِ مِمَّا بِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَصْلَحَةُ وَتَنْتَفِي الْمَشَقَّةُ، وَمِنْ ذَلِكَ مَا شَرَعَهُ اللهُ فِي حَالَةِ الْوُضُوءِ، إِذَا كَانَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ أَعْضَاءِ الْمُتَوَضِّئِ حَائِلٌ يَشُقُّ نَزْعُهُ وَيَحْتَاجُ إِلَى بَقَائِهِ: إِمَّا لِوِقَايَةِ الرِّجْلَيْنِ كَالْخُفَّيْنِ وَنَحْوِهِمَا، أَوْ لِوِقَايَةِ الرَّأْسِ كَالْعِمَامَةِ، وَإِمَّا لِوِقَايَةِ جُرْحٍ وَنَحْوِهِ كَالْجَبِيرَةِ وَنَحْوِهَا؛ فَإِنَّ الشَّارِعَ رَخَّصَ لِلْمُتَوَضِّئِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَى هَذِهِ الْحَوَائِلِ، وَيَكْتَفِيَ بِذَلِكَ عَنْ نَزْعِهَا وَغَسْلِ مَا تَحْتَهَا؛ تَخْفِيفًا مِنْهُ سُبْحَانَهُ تَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ، وَدَفْعًا لِلْحَرَجِ عَنْهُمْ.
Sesungguhnya agama kita adalah agama kemudahan, bukan agama kesulitan dan kesempitan. Agama kita menetapkan untuk setiap keadaan hukum-hukum yang sesuai dengannya, yang dengannya terwujud kemaslahatan dan hilang kesulitan. Di antara hal itu adalah apa yang Allah syariatkan dalam keadaan wudhu, jika pada salah satu anggota tubuh orang yang berwudhu terdapat penghalang yang sulit untuk dilepas dan perlu untuk tetap ada: baik untuk melindungi kedua kaki seperti khuff dan sejenisnya, atau untuk melindungi kepala seperti imamah (sorban), atau untuk melindungi luka dan sejenisnya seperti gips dan sejenisnya; maka Pembuat syariat memberikan keringanan bagi orang yang berwudhu untuk mengusap penghalang-penghalang ini, dan mencukupkan hal itu daripada melepasnya dan membasuh apa yang ada di bawahnya; sebagai keringanan dari-Nya Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-hamba-Nya, dan untuk menghilangkan kesulitan dari mereka.
فَأَمَّا مَسْحُ الْخُفَّيْنِ أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهُمَا مِنَ الْجَوْرَبَيْنِ وَالِاكْتِفَاءُ بِهِ عَنْ غَسْلِ الرِّجْلَيْنِ؛ فَهُوَ ثَابِتٌ بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْمُسْتَفِيضَةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فِي مَسْحِهِ ﷺ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ، وَأَمْرِهِ بِذَلِكَ، وَتَرْخِيصِهِ فِيهِ.
Adapun mengusap khuff atau apa yang menggantikan keduanya seperti kaus kaki dan mencukupkan hal itu daripada membasuh kedua kaki; maka hal itu tetap (berlaku) berdasarkan hadits-hadits shahih yang banyak dan mutawatir tentang beliau ﷺ mengusap (khuff) dalam keadaan mukim dan safar, dan perintah beliau untuk melakukan hal itu, serta pemberian keringanan beliau dalam hal itu.
قَالَ الْحَسَنُ: "حَدَّثَنِي سَبْعُونَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ أَنَّهُ مَسَحَ
Al-Hasan berkata, "Tujuh puluh orang dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ telah menceritakan kepadaku bahwa beliau mengusap
وَقَالَ النَّوَوِيُّ: "رَوَى الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ خَلَائِقُ لَا يُحْصَوْنَ مِنَ الصَّحَابَةِ".
Nawawi berkata: "Banyak sekali sahabat yang meriwayatkan hadits tentang mengusap khuff, jumlahnya tak terhitung".
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: "لَيْسَ فِي نَفْسِي مِنَ الْمَسْحِ شَيْءٌ، فِيهِ أَرْبَعُونَ حَدِيثًا عَنِ النَّبِيِّ ﷺ ".
Imam Ahmad berkata: "Aku tidak ragu sedikitpun tentang mengusap khuff, ada 40 hadits dari Nabi ﷺ tentang hal itu".
وَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ وَغَيْرُهُ: "لَيْسَ فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ بَيْنَ الصَّحَابَةِ اخْتِلَافٌ، هُوَ جَائِزٌ".
Ibnu Al-Mubarak dan lainnya berkata: "Tidak ada perbedaan pendapat di antara para sahabat tentang mengusap khuff, hukumnya boleh".
وَنَقَلَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ إِجْمَاعَ الْعُلَمَاءِ عَلَى جَوَازِهِ، وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ؛ بِخِلَافِ الْمُبْتَدِعَةِ الَّذِينَ لَا يَرَوْنَ جَوَازَهُ.
Ibnu Al-Mundzir dan lainnya menukil ijma' (konsensus) para ulama tentang kebolehannya, dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepakat atas hal itu; berbeda dengan ahli bid'ah yang tidak membolehkannya.
وَحُكْمُ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ: أَنَّهُ رُخْصَةٌ، فِعْلُهُ أَفْضَلُ مِنْ نَزْعِ الْخُفَّيْنِ وَغَسْلِ الرِّجْلَيْنِ؛ أَخْذًا بِرُخْصَةِ اللهِ ﷿، وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ لَا يَتَكَلَّفُ ضِدَّ حَالَةٍ الَّتِي عَلَيْهِ قَدَمَاهُ، بَلْ إِنْ كَانَتَا فِي الْخُفَّيْنِ؛ مَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ، وَإِنْ كَانَتَا مَكْشُوفَتَيْنِ؛ غَسَلَ الْقَدَمَيْنِ؛ فَلَا يُشْرَعُ لُبْسُ الْخُفِّ لِيَمْسَحَ عَلَيْهِ.
Hukum mengusap khuff adalah rukhshah (keringanan), melakukannya lebih utama daripada melepas khuff dan membasuh kaki; mengambil rukhshah dari Allah ﷿. Nabi ﷺ tidak memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kondisi kakinya. Jika kakinya berada dalam khuff, beliau mengusap khuff. Jika kakinya terbuka, beliau membasuh kakinya. Maka, tidak disyariatkan memakai khuff hanya untuk mengusapnya.
وَمُدَّةُ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ بِالنِّسْبَةِ لِلْمُقِيمِ وَمَنْ سَفَرُهُ لَا يُبِيحُ لَهُ الْقَصْرَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، وَبِالنِّسْبَةِ لِمُسَافِرٍ سَفَرًا يُبِيحُ لَهُ الْقَصْرَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ بِلَيَالِيهَا؛ لِمَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ بِلَيَالِيهِنَّ، وَلِلْمُقِيمِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ".
Dan masa mengusap khuf bagi orang yang mukim dan orang yang perjalanannya tidak membolehkan qashar adalah sehari semalam, sedangkan bagi musafir yang perjalanannya membolehkan qashar adalah tiga hari dengan malamnya; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim; bahwa Nabi ﷺ bersabda: "Bagi musafir tiga hari dengan malamnya, dan bagi mukim sehari semalam".
وَابْتِدَاءُ الْمُدَّةِ فِي الْحَالَتَيْنِ يَكُونُ مِنَ الْحَدَثِ بَعْدَ اللُّبْسِ؛ لِأَنَّ الْحَدَثَ هُوَ الْمُوجِبُ لِلْوُضُوءِ، وَلِأَنَّ جَوَازَ الْمَسْحِ يَبْتَدِئُ مِنَ الْحَدَثِ، فَيَكُونُ ابْتِدَاءُ الْمُدَّةِ مِنْ أَوَّلِ جَوَازِ الْمَسْحِ، وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَرَى أَنَّ ابْتِدَاءَ الْمُدَّةِ يَكُونُ مِنَ الْمَسْحِ بَعْدَ الْحَدَثِ.
Dan permulaan masa pada kedua keadaan tersebut adalah dari hadats setelah memakai khuf; karena hadats itulah yang mewajibkan wudhu, dan karena bolehnya mengusap dimulai dari hadats, maka permulaan masa adalah dari awal bolehnya mengusap, dan di antara ulama ada yang berpendapat bahwa permulaan masa adalah dari mengusap setelah hadats.
شُرُوطُ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَنَحْوِهِمَا:
Syarat-syarat mengusap khuf dan sejenisnya:
١ يُشْتَرَطُ لِلْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَمَا يَقُومُ مَقَامَهَا مِنَ الْجَوَارِبِ وَنَحْوِهَا أَنْ يَكُونَ الْإِنْسَانُ حَالَ لُبْسِهِمَا عَلَى طَهَارَةٍ مِنَ الْحَدَثِ؛ لِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهِمَا؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ لِمَنْ أَرَادَ نَزْعَ خُفَّيْهِ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ: "دَعْهُمَا؛ فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ"، وَحَدِيثُ: "أُمِرْنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ"، وَهَذَا وَاضِحُ الدَّلَالَةِ عَلَى اشْتِرَاطِ الطَّهَارَةِ عِنْدَ اللُّبْسِ لِلْخُفَّيْنِ، فَلَوْ كُنَّا حَالَ لُبْسِهِمَا مُحْدِثًا؛ لَمْ يَجُزِ الْمَسْحُ عَلَيْهِمَا.
1 Disyaratkan untuk mengusap khuf dan apa yang menggantikan kedudukannya seperti kaos kaki dan sejenisnya, bahwa seseorang ketika memakainya dalam keadaan suci dari hadats; berdasarkan hadits dalam Shahihain dan selainnya; bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada orang yang ingin melepas khufnya ketika berwudhu: "Biarkanlah keduanya; karena aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci", dan hadits: "Kita diperintahkan untuk mengusap khuf jika kita memasukkan keduanya dalam keadaan suci", dan ini menunjukkan dengan jelas disyaratkannya kesucian ketika memakai khuf, seandainya kita memakainya dalam keadaan berhadats; maka tidak boleh mengusap keduanya.
٢ وَيُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ الْخُفُّ وَنَحْوُهُ مُبَاحًا، فَإِنْ كَانَ مَغْصُوبًا أَوْ حَرِيرًا بِالنِّسْبَةِ لِلرَّجُلِ؛ لَمْ يَجُزْ الْمَسْحُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْمُحَرَّمَ لَا تُسْتَبَاحُ بِهِ الرُّخْصَةُ.
2 Dan disyaratkan bahwa khuff dan sejenisnya harus mubah (diperbolehkan), jika khuff itu hasil ghasab (merampas) atau terbuat dari sutra bagi laki-laki; maka tidak boleh mengusap di atasnya; karena perkara yang haram tidak dapat dihalalkan dengan rukhshah (keringanan).
٣ وَيُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ الْخُفُّ وَنَحْوُهُ سَاتِرًا لِلرِّجْلِ؛ فَلَا يُمْسَحُ عَلَيْهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ ضَافِيًا مُغَطِّيًا لِمَا يَجِبُ غَسْلُهُ؛ بِأَنْ كَانَ نَازِلًا عَنْ الْكَعْبِ أَوْ كَانَ ضَافِيًا لَكِنَّهُ لَا يَسْتُرُ الرِّجْلَ؛ لِصَفَائِهِ أَوْ خِفَّتِهِ؛ كَجَوْرَبٍ غَيْرِ صَفِيقٍ؛ فَلَا يُمْسَحُ عَلَى ذَلِكَ كُلِّهِ؛ لِعَدَمِ سَتْرِهِ.
3 Dan disyaratkan bahwa khuff dan sejenisnya harus menutupi kaki; maka tidak boleh mengusap di atasnya jika tidak menutupi dan menyelimuti bagian yang wajib dibasuh; dengan turun di bawah mata kaki atau menutupi tetapi tidak menutup kaki; karena tipisnya atau ringannya; seperti kaus kaki yang tidak tebal; maka tidak boleh mengusap di atas semua itu; karena tidak menutupinya.
وَيُمْسَحُ عَلَى مَا تَقُومُ مَقَامَ الْخُفَّيْنِ؛ فَيَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَى الْجَوْرَبِ الصَّفِيقِ الَّذِي يَسْتُرُ الرِّجْلَ مِنْ صُوفٍ أَوْ غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ مَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَيَسْتَمِرُّ الْمَسْحُ عَلَيْهِ إِلَى تَمَامِ الْمُدَّةِ؛ دُونَ مَا يُلْبَسُ فَوْقَهُ مِنْ خُفٍّ أَوْ نَعْلٍ وَنَحْوِهِ، وَلَا تَأْثِيرَ لِتَكْرَارِ خَلْعِهِ وَلُبْسِهِ إِذَا كَانَ قَدْ بَدَأَ الْمَسْحَ عَلَى الْجَوْرَبِ.
Dan boleh mengusap di atas apa yang menggantikan kedudukan khuff; maka boleh mengusap di atas kaus kaki tebal yang menutupi kaki dari wol atau lainnya; karena Nabi ﷺ mengusap di atas kaus kaki dan sandal, diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi, dan mengusap di atasnya terus berlanjut hingga selesai masa; tidak termasuk apa yang dipakai di atasnya seperti khuff atau sandal dan sejenisnya, dan tidak berpengaruh jika berulang kali melepas dan memakainya jika sudah memulai mengusap di atas kaus kaki.
وَيَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَى الْعِمَامَةِ بِشَرْطَيْنِ:
Dan boleh mengusap di atas surban dengan dua syarat:
أَحَدُهُمَا: تَكُونُ سَاتِرَةً لِمَا لَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِكَشْفِهِ مِنْ الرَّأْسِ.
Pertama: Surban itu menutupi bagian kepala yang biasanya tidak dibuka.
الشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ الْعِمَامَةُ مُحَنَّكَةً، وَهِيَ الَّتِي يُدَارُ مِنْهَا تَحْتَ الْحَنَكِ دَوْرٌ فَأَكْثَرُ، أَوْ تَكُونَ ذَاتَ ذُؤَابَةٍ، وَهِيَ الَّتِي يُرْخَى طَرَفُهَا مِنْ
Syarat kedua: Surban itu diikat di bawah dagu (muhannakah), yaitu yang diputar di bawah dagu satu putaran atau lebih, atau surban itu memiliki ujung yang menjuntai (dzu'abah), yaitu yang ujungnya terurai dari
الخُفَّ؛ فَقَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ المَسْحُ عَلَى العِمَامَةِ بِأَحَادِيثَ أَخْرَجَهَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الأَئِمَّةِ، وَقَالَ عُمَرُ: "مَنْ لَمْ يُطَهِّرْهُ المَسْحُ عَلَى العِمَامَةِ؛ فَلَا طَهَّرَهُ اللهُ".
Khuf; Telah terbukti dari Nabi ﷺ mengusap sorban dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu imam, dan Umar berkata: "Barangsiapa yang tidak disucikan dengan mengusap sorban; maka Allah tidak akan menyucikannya".
وَإِنَّمَا يَجُوزُ المَسْحُ عَلَى الخُفَّيْنِ وَالعِمَامَةِ فِي الطَّهَارَةِ مِنَ الحَدَثِ الأَصْغَرِ، وَأَمَّا الحَدَثُ الأَكْبَرُ؛ فَلَا يُمْسَحُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فِيهِ، بَلْ يَجِبُ غَسْلُ مَا تَحْتَهُمَا.
Hanya diperbolehkan mengusap khuf dan sorban dalam bersuci dari hadats kecil, adapun hadats besar; maka tidak boleh mengusap apapun dalam hal itu, bahkan wajib membasuh apa yang ada di bawahnya.
وَيُمْسَحُ عَلَى الجَبِيرَةِ، وَهِيَ أَعْوَادٌ وَنَحْوُهَا تُرْبَطُ عَلَى الكَسْرِ، وَيُمْسَحُ عَلَى الضِّمَادِ الَّذِي يَكُونُ عَلَى الجُرْحِ، وَكَذَلِكَ يُمْسَحُ عَلَى اللَّصُوقِ الَّذِي يُجْعَلُ عَلَى القُرُوحِ، كُلُّ هَذِهِ الأَشْيَاءِ يُمْسَحُ عَلَيْهَا؛ بِشَرْطِ أَنْ تَكُونَ عَلَى قَدْرِ الحَاجَةِ؛ بِحَيْثُ تَكُونُ عَلَى الكَسْرِ أَوِ الجُرْحِ وَمَا قَرُبَ مِنْهُ مِمَّا لَا بُدَّ مِنْ وَضْعِهَا عَلَيْهِ لِتُؤَدِّيَ مَهَمَّتَهَا، فَإِنْ تَجَاوَزَتْ قَدْرَ الحَاجَةِ؛ لَزِمَهُ نَزْعُ مَا زَادَ عَنِ الحَاجَةِ.
Dan boleh mengusap Jabirah, yaitu kayu dan sejenisnya yang diikatkan pada patah tulang, dan mengusap perban yang ada pada luka, dan juga mengusap plester yang diletakkan pada luka, semua ini boleh diusap; dengan syarat sesuai kebutuhan; di mana ia berada pada patah tulang atau luka dan yang dekat dengannya yang harus diletakkan padanya agar dapat menjalankan fungsinya, jika melebihi kebutuhan; maka wajib melepas kelebihannya.
وَيَجُوزُ المَسْحُ عَلَى الجَبِيرَةِ وَنَحْوِهَا فِي الحَدَثِ الأَصْغَرِ وَالأَكْبَرِ، وَلَيْسَ لِلْمَسْحِ عَلَيْهَا وَقْتٌ مُحَدَّدٌ، بَلْ يَمْسَحُ عَلَيْهَا إِلَى نَزْعِهَا أَوْ بُرْءِ مَا تَحْتَهَا؛ لِأَنَّ مَسْحَهَا لِأَجْلِ الضَّرُورَةِ إِلَيْهَا، فَيُقْتَدَرُ بِقَدْرِ الضَّرُورَةِ.
Dan boleh mengusap Jabirah dan sejenisnya dalam hadats kecil dan besar, dan tidak ada waktu tertentu untuk mengusapnya, bahkan mengusapnya sampai dilepas atau sembuhnya apa yang ada di bawahnya; karena mengusapnya karena darurat kepadanya, maka dibatasi sesuai kadar darurat.
وَالدَّلِيلُ عَلَى مَسْحِ الجَبِيرَةِ حَدِيثُ جَابِرٍ ﵁ قَالَ: "خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ، فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ، فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ، ثُمَّ احْتَلَمَ، فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ: هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ؟ قَالُوا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى المَاءِ. فَاغْتَسَلَ، فَمَاتَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ؛ أُخْبِرَ بِذَلِكَ، فَقَالَ "قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللهُ، أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا؛ فَإِنَّمَا شِفَاءُ
Dan dalil tentang mengusap Jabirah adalah hadits Jabir ﵁ berkata: "Kami keluar dalam suatu perjalanan, lalu seorang laki-laki dari kami terkena batu, lalu melukai kepalanya, kemudian dia mimpi basah, lalu dia bertanya kepada sahabatnya: Apakah kalian menemukan keringanan bagiku dalam bertayamum? Mereka berkata: Kami tidak menemukan keringanan bagimu sedangkan kamu mampu (menggunakan) air. Lalu dia mandi, lalu meninggal, ketika kami datang kepada Rasulullah ﷺ; beliau diberitahu tentang hal itu, lalu beliau bersabda "Mereka telah membunuhnya semoga Allah membunuh mereka, mengapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak tahu; karena sesungguhnya obat
العِيُّ السُّؤَالُ، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ السِّكْنِ.
Kesulitan dalam bertanya, cukuplah baginya untuk bertayamum dan membalut lukanya dengan kain kemudian mengusapnya", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Ibnu as-Sikn.
مَحَلُّ الْمَسْحِ مِنْ هَذِهِ الْحَوَائِلِ:
Tempat mengusap dari penghalang-penghalang ini:
يَمْسَحُ ظَاهِرَ الْخُفِّ وَالْجَوْرَبِ، وَيَمْسَحُ أَكْثَرَ الْعِمَامَةِ، وَيَخْتَصُّ ذَلِكَ بِدَوَائِرِهَا، وَيَمْسَحُ عَلَى جَمِيعِ الْجَبِيرَةِ.
Mengusap bagian luar sepatu bot dan kaus kaki, mengusap sebagian besar sorban, khusus pada lingkarannya, dan mengusap seluruh perban.
وَصِفَةُ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ أَنْ يَضَعَ أَصَابِعَ يَدَيْهِ مَبْلُولَتَيْنِ بِالْمَاءِ عَلَى أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ ثُمَّ يَمُرَّهُمَا إِلَى سَاقِهِ، يَمْسَحُ الرِّجْلَ الْيُمْنَى بِالْيَدِ الْيُمْنَى، وَالرِّجْلَ الْيُسْرَى بِالْيَدِ الْيُسْرَى، وَيُفَرِّجُ أَصَابِعَهُ إِذَا مَسَحَ، وَلَا يُكَرِّرُ الْمَسْحَ.
Cara mengusap sepatu bot adalah dengan meletakkan jari-jari tangannya yang basah dengan air pada jari-jari kakinya kemudian menggerakkannya ke betisnya, mengusap kaki kanan dengan tangan kanan, dan kaki kiri dengan tangan kiri, merenggangkan jari-jarinya saat mengusap, dan tidak mengulangi usapan.
وَفَّقَنَا اللهُ جَمِيعًا لِلْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ.
Semoga Allah memberi kita semua taufik untuk ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.
بَابٌ فِي بَيَانِ نَوَاقِضِ الْوُضُوءِ
بَابٌ فِي بَيَانِ نَوَاقِضِ الْوُضُوءِ
Bab tentang penjelasan hal-hal yang membatalkan wudhu
عَرَفْتَ مِمَّا سَبَقَ كَيْفَ يَتِمُّ الْوُضُوءُ بِشُرُوطِهِ وَفُرُوضِهِ وَسُنَنِهِ كَمَا بَيَّنَهُ النَّبِيُّ ﷺ فَكُنْتَ بِحَاجَةٍ إِلَى مَعْرِفَةِ مَا يُفْسِدُ هَذَا الْوُضُوءَ وَيَنْقُضُهُ؛ لِئَلَّا تَسْتَمِرَّ عَلَى وُضُوءٍ قَدْ بَطَلَ مَفْعُولُهُ، فَتُؤَدِّيَ بِهِ عِبَادَةً لَا تَصِحُّ مِنْكَ.
Anda telah mengetahui dari penjelasan sebelumnya bagaimana cara berwudhu dengan syarat-syarat, rukun-rukun, dan sunah-sunahnya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi ﷺ. Maka Anda perlu mengetahui apa saja yang dapat membatalkan wudhu ini dan menghilangkan keabsahannya, agar Anda tidak terus-menerus berada dalam keadaan wudhu yang telah batal pengaruhnya, sehingga Anda melakukan ibadah dengannya yang tidak sah dari Anda.
فَاعْلَمْ أَيُّهَا الْمُسْلِمُ: أَنَّ لِلْوُضُوءِ مُفْسِدَاتٍ لَا يَبْقَى مَعَ وَاحِدٍ مِنْهَا لَهُ تَأْثِيرٌ، فَيَحْتَاجُ إِلَى اسْتِئْنَافِهِ مِنْ جَدِيدٍ عِنْدَ إِرَادَتِهِ مُزَاوَلَةَ عَمَلٍ مِنَ الْأَعْمَالِ الَّتِي يُشْرَعُ لَهَا الْوُضُوءُ، وَهَذِهِ الْمُفْسِدَاتُ تُسَمَّى نَوَاقِضَ وَتُسَمَّى مُبْطِلَاتٍ، وَالْمَعْنَى وَاحِدٌ، وَهَذِهِ الْمُفْسِدَاتُ أَوِ النَّوَاقِضُ أَوِ الْمُبْطِلَاتُ أُمُورٌ عَيَّنَهَا الشَّارِعُ، وَهِيَ عِلَلٌ تُؤَثِّرُ فِي إِخْرَاجِ الْوُضُوءِ عَمَّا هُوَ الْمَطْلُوبُ مِنْهُ، وَهِيَ إِمَّا أَحْدَاثٌ تَنْقُضُ الْوُضُوءَ بِنَفْسِهَا كَالْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَسَائِرِ الْخَارِجِ مِنَ السَّبِيلَيْنِ، وَإِمَّا أَسْبَابٌ لِلْأَحْدَاثِ؛ بِحَيْثُ إِذَا وَقَعَتْ؛ تَكُونُ مَظِنَّةً لِحُصُولِ
Ketahuilah wahai saudaraku muslim, bahwa wudhu memiliki hal-hal yang dapat membatalkannya, yang mana jika salah satu darinya terjadi, maka wudhu tidak lagi memiliki pengaruh. Sehingga diperlukan untuk memperbarui wudhu dari awal ketika ingin melakukan suatu amalan yang disyariatkan untuk berwudhu. Hal-hal yang membatalkan ini disebut nawaqidh (pembatal-pembatal) dan disebut juga mubthilat (hal-hal yang membatalkan), dan maknanya sama. Hal-hal yang membatalkan atau nawaqidh atau mubthilat ini adalah perkara-perkara yang telah ditentukan oleh Syari' (Allah), dan ia adalah sebab-sebab yang berpengaruh dalam mengeluarkan wudhu dari apa yang dituntut darinya. Hal-hal tersebut adakalanya merupakan hadats (kotoran) yang membatalkan wudhu dengan sendirinya seperti kencing, buang air besar, dan segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur), dan adakalanya merupakan sebab-sebab hadats, di mana jika terjadi maka menjadi tempat dugaan terjadinya
الأَحْدَاثُ؛ كَزَوَالِ الْعَقْلِ، أَوْ تَغْطِيَتِهِ بِالنَّوْمِ وَالإِغْمَاءِ وَالْجُنُونِ؛ فَإِنَّ زَائِلَ الْعَقْلِ لَا يُحِسُّ بِمَا يَحْصُلُ مِنْهُ، فَأُقِيمَتِ الْمَظِنَّةُ مَقَامَ الْحَدَثِ.
Peristiwa-peristiwa; seperti hilangnya akal, atau tertutupnya akal oleh tidur, pingsan, dan gila; karena orang yang kehilangan akal tidak merasakan apa yang terjadi darinya, maka dugaan kuat didirikan sebagai pengganti hadats.
وَإِلَيْكَ بَيَانُ ذَلِكَ بِالتَّفْصِيلِ:
Dan berikut penjelasan tentang hal itu secara rinci:
١ الْخَارِجُ مِنْ سَبِيلٍ؛ أَيْ: مِنْ مَخْرَجِ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالْخَارِجُ مِنَ السَّبِيلِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ بَوْلًا أَوْ مَنِيًّا أَوْ مَذْيًا أَوْ دَمَ اسْتِحَاضَةٍ أَوْ غَائِطًا أَوْ رِيحًا.
1 Sesuatu yang keluar dari jalan; yaitu: dari tempat keluarnya air kencing dan tinja, dan sesuatu yang keluar dari jalan itu bisa jadi air kencing, mani, madzi, darah istihadhah, tinja, atau kentut.
فَإِنْ كَانَ الْخَارِجُ بَوْلًا أَوْ غَائِطًا؛ فَهُوَ نَاقِضٌ لِلْوُضُوءِ بِالنَّصِّ وَالإِجْمَاعِ، قَالَ تَعَالَى فِي مُوجِبَاتِ الْوُضُوءِ: ﴿أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ﴾ .
Jika yang keluar adalah air kencing atau tinja; maka itu membatalkan wudhu berdasarkan nash dan ijma', Allah Ta'ala berfirman tentang hal-hal yang mewajibkan wudhu: "atau salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air".
وَإِنْ كَانَ مَنِيًّا أَوْ مَذْيًا؛ فَهُوَ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ بِدَلَالَةِ الأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ، وَحَكَى الإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ.
Jika yang keluar adalah mani atau madzi; maka itu membatalkan wudhu berdasarkan dalil hadits-hadits shahih, dan Ibnu Al-Mundzir dan yang lainnya menyebutkan adanya ijma' tentang hal itu.
وَكَذَا يَنْقُضُ خُرُوجُ دَمِ الِاسْتِحَاضَةِ، وَهُوَ دَمُ فَسَادٍ، لَا دَمُ حَيْضٍ؛ لِحَدِيثِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ؛ أَنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ﷺ: "فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي؛ فَإِنَّمَا هُوَ دَمُ عِرْقٍ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَقَالَ: "إِسْنَادُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ".
Demikian pula keluarnya darah istihadhah membatalkan wudhu, dan itu adalah darah kerusakan, bukan darah haid; berdasarkan hadits Fathimah binti Abi Hubaisy; bahwa ia mengalami istihadhah, maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: "Berwudhulah dan shalatlah; karena itu hanyalah darah 'irq (urat)", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ad-Daruquthni, dan ia berkata: "Sanadnya semuanya tsiqat".
وَكَذَا يَنْقُصُ الْوُضُوءَ خُرُوجُ الرِّيحِ بِدَلَالَةِ الأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ وَبِالإِجْمَاعِ، قَالَ ﷺ: "وَلَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ"،
Demikian pula keluarnya angin mengurangi wudhu berdasarkan dalil hadits-hadits shahih dan ijma', Nabi ﷺ bersabda: "Dan Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika ia berhadats hingga ia berwudhu",
وَقَالَ ﷺ فِيمَنْ شَكَّ هَلْ خَرَجَ مِنْهُ رِيحٌ أَوْلَا: "فَلَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا".
Nabi ﷺ bersabda tentang orang yang ragu apakah ada angin yang keluar darinya atau tidak: "Janganlah ia pergi sampai ia mendengar suara atau mencium bau."
وَأَمَّا الْخَارِجُ مِنَ الْبَدَنِ مِنْ غَيْرِ السَّبِيلَيْنِ كَالدَّمِ وَالْقَيْءِ وَالرُّعَافِ؛ فَمَوْضِعُ خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ؛ هَلْ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ أَوْلَا يَنْقُضُهُ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ، وَالرَّاجِحُ أَنَّهُ لَا يَنْقُضُ، لَكِنْ خُرُوجًا مِنَ الْخِلَافِ؛ لَكَانَ أَحْسَنَ.
Adapun yang keluar dari tubuh selain dari dua jalan seperti darah, muntah, dan mimisan; maka ini adalah tempat perbedaan pendapat di antara para ulama; apakah itu membatalkan wudhu atau tidak? Ada dua pendapat, dan yang rajih (kuat) adalah bahwa itu tidak membatalkan, tetapi keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) itu lebih baik.
٢ مِنَ النَّوَاقِضِ زَوَالُ الْعَقْلِ أَوْ تَغْطِيَتُهُ، وَزَوَالُ الْعَقْلِ يَكُونُ بِالْجُنُونِ وَنَحْوِهِ، وَتَغْطِيَتُهُ تَكُونُ بِالنَّوْمِ أَوِ الْإِغْمَاءِ وَنَحْوِهِمَا، فَمَنْ زَالَ عَقْلُهُ أَوْ غُطِيَ بِنَوْمٍ وَنَحْوِهِ؛ انْتَقَضَ وَضُؤُهُ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مَظِنَّةُ خُرُوجِ الْحَدَثِ، وَهُوَ لَا يَحْسُنُ بِهِ؛ إِلَّا يَسِيرَ النَّوْمِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ؛ لِأَنَّ الصَّحَابَةَ ﵃ كَانَ يُصِيبُهُمُ النُّعَاسُ وَهُمْ يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ، وَإِنَّمَا يَنْقُضُهُ النَّوْمُ الْمُسْتَغْرِقُ؛ جَمْعًا بَيْنَ الْأَدِلَّةِ.
2 Di antara pembatal wudhu adalah hilangnya akal atau tertutupnya akal, dan hilangnya akal terjadi karena gila dan sejenisnya, dan tertutupnya akal terjadi karena tidur atau pingsan dan sejenisnya, maka barangsiapa yang hilang akalnya atau tertutup akalnya karena tidur dan sejenisnya; maka batallah wudhunya; karena itu adalah tempat keluarnya hadats, dan ia tidak menyadarinya; kecuali tidur sebentar; maka itu tidak membatalkan wudhu; karena para sahabat ﵃ pernah mengantuk ketika mereka menunggu shalat, dan yang membatalkannya hanyalah tidur yang nyenyak; sebagai penggabungan antara dalil-dalil.
٣ مِنْ نَوَاقِضِ الْوُضُوءِ أَكْلُ لَحْمِ الْإِبِلِ، سَوَاءٌ كَانَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا، لِصِحَّةِ الْحَدِيثِ فِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَصَرَاحَتَةِ.
3 Di antara pembatal wudhu adalah memakan daging unta, baik sedikit maupun banyak, karena sahihnya hadits tentang hal itu dari Rasulullah ﷺ dan kejelasannya.
قَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ ﵀: "فِيهِ حَدِيثَانِ صَحِيحَانِ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ".
Imam Ahmad ﵀ berkata: "Ada dua hadits shahih dari Rasulullah ﷺ di dalamnya".
وَأَمَّا أَكْلُ اللَّحْمِ مِنْ غَيْرِ الإِبِلِ؛ فَلَا يَنْقُضُ الوُضُوءَ.
Adapun memakan daging selain daging unta, maka tidak membatalkan wudhu.
وَهُنَاكَ أَشْيَاءُ قَدِ اخْتَلَفَ العُلَمَاءُ فِيهَا؛ هَلْ تَنْقُضُ الوُضُوءَ أَمْ لَا؟:
Ada beberapa hal yang diperselisihkan oleh para ulama; apakah membatalkan wudhu atau tidak?:
وَهِيَ: مَسُّ الذَّكَرِ، وَمَسُّ المَرْأَةِ بِشَهْوَةٍ، وَتَغْسِيلُ المَيِّتِ، وَالرِّدَّةُ عَنِ الإِسْلَامِ، فَمِنَ العُلَمَاءِ مَنْ قَالَ: لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الأَشْيَاءِ يَنْقُضُ الوُضُوءَ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: لَا يَنْقُضُ، وَالمَسْأَلَةُ مَحَلُّ نَظَرٍ وَاجْتِهَادٍ، لَكِنْ لَوْ تَوَضَّأَ مِنْ هَذِهِ الأَشْيَاءِ خُرُوجًا مِنَ الخِلَافِ؛ لَكَانَ أَحْسَنَ.
Yaitu: menyentuh kemaluan, menyentuh wanita dengan syahwat, memandikan mayit, dan murtad dari Islam. Sebagian ulama mengatakan: karena setiap satu dari hal-hal ini membatalkan wudhu, dan sebagian lagi mengatakan: tidak membatalkan. Masalah ini adalah tempat untuk berijtihad dan berpendapat. Namun, jika seseorang berwudhu karena hal-hal ini untuk keluar dari perselisihan, itu lebih baik.
هَذَا، وَقَدْ بَقِيَتْ مَسْأَلَةٌ مُهِمَّةٌ تَتَعَلَّقُ بِهَذَا المَوْضُوعِ، وَهِيَ: مَنْ تَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ، شَكَّ فِي حُصُولِ نَاقِضٍ مِنْ نَوَاقِضِهَا؛ مَاذَا يَفْعَلُ؟.
Selain itu, masih ada satu masalah penting yang berkaitan dengan topik ini, yaitu: seseorang yang yakin suci, tetapi ragu apakah terjadi pembatal wudhu atau tidak; apa yang harus dia lakukan?
لَقَدْ ثَبَتَ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي الحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: "إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا، فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؛ فَلَا يَخْرُجْ مِنَ المَسْجِدِ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا".
Telah terbukti dari Rasulullah ﷺ dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ﵁; bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Jika salah seorang dari kalian mendapati sesuatu di perutnya, lalu dia ragu apakah sesuatu telah keluar darinya atau tidak; maka janganlah dia keluar dari masjid, sampai dia mendengar suara atau mencium bau".
فَدَلَّ هَذَا الحَدِيثُ الشَّرِيفُ وَمَا جَاءَ بِمَعْنَاهُ عَلَى أَنَّ المُسْلِمَ إِذَا تَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ وَشَكَّ فِي انْتِقَاضِهَا؛ أَنَّهُ يَبْقَى عَلَى الطَّهَارَةِ؛ لِأَنَّهَا الأَصْلُ، وَلِأَنَّهَا مُتَيَقَّنَةٌ، وَحُصُولُ النَّاقِضِ مَشْكُوكٌ فِيهِ، وَاليَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ.
Hadits yang mulia ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa seorang Muslim jika dia yakin suci dan ragu tentang batalnya; maka dia tetap suci; karena itu adalah asalnya, dan karena kesucian itu yakin, sedangkan terjadinya pembatal masih diragukan, dan keyakinan tidak hilang karena keraguan.
وَهَذِهِ قَاعِدَةٌ عَظِيمَةٌ عَامَّةٌ فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ؛ أَنَّهَا تَبْقَى عَلَى أُصُولِهَا حَتَّى يَتَيَقَّنَ خِلَافُهَا، وَكَذَلِكَ الْعَكْسُ، فَإِذَا يَتَقَّنَ الْحَدَثُ وَشَكَّ فِي الطَّهَارَةِ؛ فَإِنَّهُ يَتَوَضَّأُ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَدَثِ؛ فَلَا يُرْفَعُ بِالشَّكِّ.
Dan ini adalah kaidah yang agung dan umum dalam segala hal; bahwa sesuatu tetap pada asalnya hingga dipastikan sebaliknya, dan begitu pula sebaliknya. Jika seseorang yakin telah berhadats dan ragu tentang kesuciannya, maka ia harus berwudhu; karena pada dasarnya hadats itu tetap ada; maka tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
أَخِي الْمُسْلِمُ، عَلَيْكَ بِالْمُحَافَظَةِ عَلَى الطَّهَارَةِ لِلصَّلَاةِ وَالِاهْتِمَامِ بِهَا، لِأَنَّهَا لَا تَصِحُّ صَلَاةٌ بِدُونِ طُهُورٍ، كَمَا يَجِبُ عَلَيْكَ أَنْ تَحْذَرَ مِنَ الْوَسْوَاسِ وَتَسَلُّطِ الشَّيْطَانِ عَلَيْكَ؛ بِحَيْثُ يُخَيِّلُ إِلَيْكَ انْتِقَاضَ طَهَارَتِكَ وَيُلَبِّسُ عَلَيْكَ؛ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنْ شَرِّهِ، وَلَا تَلْتَفِتْ إِلَى وَسَاوِسِهِ، وَاسْأَلْ أَهْلَ الْعِلْمِ عَمَّا أَشْكَلَ عَلَيْكَ مِنْ أُمُورِ الطَّهَارَةِ؛ لِتَكُونَ عَلَى بَصِيرَةٍ مِنْ أَمْرِكَ، وَاهْتَمَّ أَيْضًا بِطَهَارَةِ ثِيَابِكَ مِنَ النَّجَاسَةِ؛ لِتَكُونَ صَلَاتُكَ صَحِيحَةً وَعِبَادَتُكَ مُسْتَقِيمَةً؛ فَإِنَّ اللهَ ﷾: ﴿يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ﴾ .
Saudaraku Muslim, engkau harus menjaga kesucian untuk shalat dan memperhatikannya, karena shalat tidak sah tanpa bersuci. Engkau juga harus waspada terhadap was-was dan pengaruh setan terhadapmu; di mana ia membisikkan kepadamu bahwa kesucianmu telah batal dan mengaburkan pikiranmu; maka berlindunglah kepada Allah dari kejahatannya, dan jangan hiraukan bisikan-bisikannya. Tanyakanlah kepada orang-orang berilmu tentang hal-hal yang tidak jelas bagimu dalam masalah bersuci; agar engkau memiliki pemahaman yang jelas tentang urusanmu. Perhatikan juga kesucian pakaianmu dari najis; agar shalatmu sah dan ibadahmu lurus; karena Allah ﷾ berfirman: "Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri".
وَفَّقَنَا اللهُ جَمِيعًا لِلْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ.
Semoga Allah memberi kita semua taufik untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْغُسْلِ
عَرَفْتَ مِمَّا سَبَقَ أَحْكَامَ الطَّهَارَةِ مِنَ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ وَنَوَاقِضَهَا؛ فَكُنْتَ بِحَاجَةٍ إِلَى أَنْ تَعْرِفَ أَحْكَامَ الطَّهَارَةِ مِنَ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ؛ جَنَابَةً كَانَ أَوْ حَيْضًا أَوْ نِفَاسًا، وَهَذِهِ الطَّهَارَةُ تُسَمَّى بِالْغُسْلِ بِضَمِّ الْغَيْنِ، وَهُوَ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِي جَمِيعِ الْبَدَنِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ يَأْتِي بَيَانُهَا.
Anda telah mengetahui dari apa yang telah lalu tentang hukum-hukum bersuci dari hadats kecil dan hal-hal yang membatalkannya; maka Anda perlu mengetahui hukum-hukum bersuci dari hadats besar; baik itu janabah, haid, atau nifas, dan bersuci ini disebut dengan mandi (ghusl) dengan dhammah pada huruf ghain, yaitu menggunakan air pada seluruh badan dengan cara tertentu yang akan dijelaskan.
وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِهِ: قَوْلُ اللهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا﴾ .
Dan dalil atas kewajibannya adalah firman Allah Ta'ala: "Dan jika kamu junub maka bersucilah."
وَقَدْ ذَكَرُوا أَنَّ الْغُسْلَ مِنَ الْجَنَابَةِ كَانَ مَعْمُولًا بِهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَهُوَ مِنْ بَقَايَا دِينِ إِبْرَاهِيمَ ﵊ فِيهِمْ.
Dan mereka telah menyebutkan bahwa mandi janabah telah dilakukan pada masa Jahiliyah, dan itu adalah dari sisa-sisa agama Ibrahim ﷺ di antara mereka.
وَمُوجِبَاتُ الْغُسْلِ سِتَّةُ أَشْيَاءَ، إِذَا حَصَلَ وَاحِدٌ مِنْهَا؛ وَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِ الِاغْتِسَالُ:
Dan perkara-perkara yang mewajibkan mandi ada enam, jika salah satunya terjadi; maka wajib bagi seorang Muslim untuk mandi:
أَحَدُهَا: خُرُوجُ الْمَنِيِّ مِنْ مَخْرَجِهِ مِنَ الذَّكَرِ أَوِ الْأُنْثَى، وَلَا يَخْلُو: إِمَّا أَنْ يَخْرُجَ فِي حَالِ الْيَقَظَةِ، أَوْ حَالِ النَّوْمِ، فَإِنْ خَرَجَ
Pertama: keluarnya mani dari tempat keluarnya dari laki-laki atau perempuan, dan tidak lepas dari: adakalanya keluar dalam keadaan terjaga, atau dalam keadaan tidur, maka jika keluar
فِي حَالِ الْيَقَظَةِ، أَوْ حَالِ النَّوْمِ، فَإِنْ خَرَجَ فِي حَالِ الْيَقَظَةِ؛ اشْتَرَطَ وُجُودَ اللَّذَّةِ بِخُرُوجِهِ، فَإِنْ خَرَجَ بِدُونِ لَذَّةٍ؛ لَمْ يُوجِبِ الْغُسْلَ؛ كَالَّذِي يَخْرُجُ بِسَبَبِ مَرَضٍ أَوْ عَدَمِ إِمْسَاكٍ، وَإِنْ خَرَجَ فِي حَالِ النَّوْمِ، وَهُوَ مَا يُسَمَّى بِالِاحْتِلَامِ؛ وَجَبَ الْغُسْلُ مُطْلَقًا؛ لِفَقْدِ إِدْرَاكِهِ؛ فَقَدْ لَا يَشْعُرُ بِاللَّذَّةِ؛ فَالنَّائِمُ إِذَا اسْتَيْقَظَ وَوَجَدَ أَثَرَ الْمَنِيِّ؛ وَجَبَ عَلَيْهِ الْغُسْلُ، وَإِنِ احْتَلَمَ، وَلَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ مَنِيٌّ، وَلَمْ يَجِدْ لَهُ أَثَرًا؛ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْغُسْلُ.
Dalam keadaan terjaga atau tidur, jika keluar dalam keadaan terjaga; disyaratkan adanya kenikmatan dengan keluarnya, jika keluar tanpa kenikmatan; tidak mewajibkan mandi; seperti yang keluar karena sakit atau tidak bisa menahan, dan jika keluar dalam keadaan tidur, yang disebut ihtilam; wajib mandi secara mutlak; karena hilangnya kesadarannya; mungkin dia tidak merasakan kenikmatan; orang yang tidur jika terbangun dan menemukan bekas mani; wajib baginya mandi, dan jika bermimpi basah, dan tidak keluar darinya mani, dan tidak menemukan bekasnya; tidak wajib baginya mandi.
الثَّانِي: مِنْ مُوجِبَاتِ الْغُسْلِ إِيلَاجُ الذَّكَرِ فِي الْفَرْجِ، وَلَوْ لَمْ يَحْصُلْ إِنْزَالٌ؛ لِلْحَدِيثِ الَّذِي رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: "إِذَا قَعَدَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ، ثُمَّ مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ؛ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ"، فَيَجِبُ الْغُسْلُ عَلَى الْوَاطِئِ وَالْمَوْطُوءَةِ بِالْإِيلَاجِ، وَلَوْ لَمْ يَحْصُلْ إِنْزَالٌ؛ لِهَذَا الْحَدِيثِ، وَلِإِجْمَاعِ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى ذَلِكَ.
Kedua: di antara hal-hal yang mewajibkan mandi adalah memasukkan penis ke dalam vagina, meskipun tidak terjadi ejakulasi; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari Nabi ﷺ: "Jika dia duduk di antara empat cabangnya, kemudian khitan menyentuh khitan; maka wajib mandi", maka wajib mandi bagi orang yang menyetubuhi dan yang disetubuhi dengan memasukkan penis, meskipun tidak terjadi ejakulasi; karena hadits ini, dan karena ijma' para ulama tentang hal itu.
الثَّالِثُ: مِنْ مُوجِبَاتِ الْغُسْلِ عِنْدَ طَائِفَةٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ: إِسْلَامُ الْكَافِرِ، فَإِذَا اسْلَمَ الْكَافِرُ؛ وَجَبَ عَلَيْهِ الْغُسْلُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ بَعْضَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا أَنْ يَغْتَسِلُوا، وَيَرَى كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ اغْتِسَالَ الْكَافِرِ إِذَا أَسْلَمَ مُسْتَحَبٌّ،
Ketiga: di antara hal-hal yang mewajibkan mandi menurut sekelompok ulama: Islamnya orang kafir, jika orang kafir masuk Islam; dia wajib mandi; karena Nabi ﷺ memerintahkan sebagian orang yang masuk Islam untuk mandi, dan banyak ulama berpendapat bahwa mandi orang kafir jika masuk Islam adalah mustahab,
وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ كَانَ يَأْمُرُ بِهِ كُلَّ مَنْ أَسْلَمَ، فَيُحْمَلُ الْأَمْرُ بِهِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ؛ جَمْعًا بَيْنَ الْأَدِلَّةِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Dan itu tidak wajib; karena tidak diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau memerintahkan setiap orang yang masuk Islam untuk melakukannya, sehingga perintah itu dipahami sebagai anjuran; untuk menggabungkan antara dalil-dalil, dan Allah yang lebih mengetahui.
الرَّابِعُ: مِنْ مُوجِبَاتِ الْغُسْلِ: الْمَوْتُ، فَيَجِبُ تَغْسِيلُ الْمَيِّتِ؛ غَيْرَ الشَّهِيدِ فِي الْمَعْرَكَةِ؛ فَإِنَّهُ لَا يُغَسَّلُ، وَتَفَاصِيلُ ذَلِكَ تَأْتِي فِي أَحْكَامِ الْجَنَائِزِ إِنْ شَاءَ اللهُ.
Keempat: Di antara hal-hal yang mewajibkan mandi: kematian, maka wajib memandikan mayit; kecuali orang yang mati syahid di medan perang; karena ia tidak dimandikan, dan rincian tentang itu akan dibahas dalam hukum-hukum jenazah insya Allah.
الْخَامِسُ وَالسَّادِسُ: مِنْ مُوجِبَاتِ الْغُسْلِ الْحَيْضُ وَالنِّفَاسُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "وَإِذَا ذَهَبَتْ حَيْضَتُكِ؛ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي"، وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِذَا تَطَهَّرْنَ﴾؛ يَعْنِي: الْحَيْضَ بِتَطَهُّرِنَ بِالِاغْتِسَالِ بَعْدَ انْتِهَاءِ الْحَيْضِ.
Kelima dan keenam: Di antara hal-hal yang mewajibkan mandi adalah haid dan nifas; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Jika haidmu telah selesai, mandilah dan shalatlah", dan firman Allah Ta'ala: ﴿Apabila mereka telah suci﴾; maksudnya: haid, dengan bersuci melalui mandi setelah selesai haid.
وَصِفَةُ الْغُسْلِ الْكَامِلِ:
Tata cara mandi sempurna:
أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ.
Berniat dalam hatinya.
ثُمَّ يُمَسِّي وَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثَلَاثًا وَيَغْسِلُ فَرْجَهُ.
Kemudian membasuh dan mencuci kedua tangannya tiga kali serta mencuci kemaluannya.
ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءًا كَامِلًا.
Kemudian berwudhu dengan wudhu yang sempurna.
ثُمَّ يَحْثِي الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يُرْوِي أُصُولَ شَعْرِهِ.
Kemudian menuangkan air ke kepalanya tiga kali, membasahi akar-akar rambutnya.
ثُمَّ يَعُمُّ بَدَنَهُ بِالْغُسْلِ، وَيَدْلُكُ بَدَنَهُ بِيَدَيْهِ؛ لِيَصِلَ الْمَاءُ إِلَيْهِ.
Kemudian membasuh seluruh tubuhnya, dan menggosok tubuhnya dengan kedua tangannya agar air sampai ke seluruh tubuh.
وَالْمَرْأَةُ الْحَائِضُ أَوِ النُّفَسَاءُ تَنْقُضُ رَأْسَهَا لِلْغُسْلِ مِنَ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ، وَأَمَّا الْجَنَابَةُ؛ فَلَا تَنْقُضُهُ حِينَ تَغْتَسِلُ لَهَا؛ لِمَشَقَّةِ التَّكْرَارِ، وَلَكِنْ؛ يَجِبُ عَلَيْهَا أَنْ تُرْوِيَ أُصُولَ شَعْرِهَا بِالْمَاءِ.
Wanita yang haid atau nifas harus membuka kepangnya untuk mandi dari haid dan nifas, adapun untuk janabah, ia tidak perlu membukanya ketika mandi darinya, karena sulitnya mengulangi, tetapi ia wajib membasahi akar-akar rambutnya dengan air.
وَيَجِبُ عَلَى الْمُغْتَسِلِ رَجُلًا كَانَ أَوِ امْرَأَةً أَنْ يَتَفَقَّدَ أُصُولَ شَعْرِهِ
Orang yang mandi, baik laki-laki maupun perempuan, wajib memeriksa akar-akar rambutnya
وَمَغَابِنَ بَدَنِهِ وَمَا تَحْتَ حَلْقِهِ وَإِبْطَيْهِ وَسُرَّتِهِ وَطَيِّ رُكْبَتَيْهِ، وَإِنْ كَانَ لَابِسًا سَاعَةً أَوْ خَاتَمًا؛ فَإِنَّهُ يُحَرِّكُهُمَا لِيَصِلَ الْمَاءُ إِلَى مَا تَحْتَهُمَا.
Dan lipatan-lipatan tubuhnya, apa yang ada di bawah tenggorokannya, ketiaknya, pusarnya, dan lipatan lututnya. Jika dia mengenakan jam tangan atau cincin, maka dia harus menggerakkannya agar air dapat mencapai bagian di bawahnya.
وَهَكَذَا يَجِبُ أَنْ يَهْتَمَّ بِإِسْبَاغِ الْغُسْلِ؛ بِحَيْثُ لَا يَبْقَى مِنْ بَدَنِهِ شَيْءٌ لَا يَصِلُ إِلَيْهِ الْمَاءُ، وَقَالَ ﷺ: "تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةٌ؛ فَاغْسِلُوا الشَّعْرَ، وَأَنْقُوا الْبَشَرَ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ.
Demikianlah, seseorang harus memperhatikan kesempurnaan mandi, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terkena air. Nabi ﷺ bersabda, "Di bawah setiap rambut ada janabah (kotoran), maka cucilah rambut dan bersihkanlah kulit." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi.
وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُسْرِفَ فِي صَبِّ الْمَاءِ؛ فَالْمَشْرُوعُ تَقْلِيلُ الْمَاءِ مَعَ الْإِسْبَاغِ؛ فَقَدْ كَانَ ﷺ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ؛ فَيَنْبَغِي الِاقْتِدَاءُ بِهِ فِي تَقْلِيلِ الْمَاءِ وَعَدَمِ الْإِسْرَافِ.
Seseorang tidak boleh berlebihan dalam menuangkan air. Yang disyariatkan adalah meminimalkan air dengan tetap menyempurnakannya. Nabi ﷺ berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha'. Oleh karena itu, disarankan untuk mengikuti teladannya dalam meminimalkan air dan tidak berlebihan.
كَمَا يَجِبُ عَلَى الْمُغْتَسِلِ أَنْ يَسْتَتِرَ؛ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَغْتَسِلَ عُرْيَانًا بَيْنَ النَّاسِ؛ لِحَدِيثِ: "إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسِّتْرَ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ؛ فَلْيَسْتَتِرْ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ.
Orang yang mandi juga harus menutupi diri. Tidak boleh mandi telanjang di antara orang-orang, berdasarkan hadits, "Sesungguhnya Allah itu Maha Pemalu, menyukai rasa malu dan menutupi diri. Jika salah seorang di antara kalian mandi, hendaklah dia menutupi diri." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa'i.
وَالْغُسْلُ مِنَ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ أَمَانَةٌ مِنْ جُمْلَةِ الْأَمَانَاتِ الَّتِي بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ، يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يَهْتَمَّ بِأَحْكَامِهِ؛ لِيُؤَدِّيَهُ عَلَى الْوَجْهِ الْمَشْرُوعِ،
Mandi dari hadats besar adalah amanah dari sekian banyak amanah antara seorang hamba dan Tuhannya. Dia wajib menjaganya dan memperhatikan hukum-hukumnya, agar dapat menunaikannya sesuai dengan cara yang disyariatkan.
وَمَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِهِ وَمُوجِبَاتِهِ؛ سَأَلَ عَنْهُ، وَلَا يَمْنَعُهُ الْحَيَاءُ مِنْ ذَلِكَ؛ فَإِنَّ اللهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، فَالْحَيَاءُ الَّذِي يَمْنَعُ صَاحِبَهُ مِنَ السُّؤَالِ عَنْ أُمُورِ دِينِهِ حَيَاءٌ مَذْمُومٌ، وَهُوَ جُبْنٌ مِنَ الشَّيْطَانِ؛ لِيُثَبِّطَ بِهِ الْإِنْسَانَ عَنِ اسْتِكْمَالِ دِينِهِ وَمَعْرِفَةِ مَا يَلْزَمُهُ مِنْ أَحْكَامِهِ.
Dan apa yang sulit baginya dari hukum-hukum dan kewajibannya; dia bertanya tentangnya, dan rasa malu tidak mencegahnya dari itu; karena Allah tidak malu dari kebenaran, maka rasa malu yang mencegah seseorang dari bertanya tentang urusan agamanya adalah rasa malu yang tercela, dan itu adalah pengecut dari setan; untuk menghalangi manusia dari menyempurnakan agamanya dan mengetahui apa yang wajib baginya dari hukum-hukumnya.
وَأَمْرُ الطَّهَارَةِ عَظِيمٌ، وَالتَّفْرِيطُ فِي شَأْنِهَا خَطِيرٌ؛ لِأَنَّهَا تَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا صِحَّةُ الصَّلَاةِ الَّتِي هِيَ عَمُودُ الْإِسْلَامِ.
Dan perkara bersuci itu agung, dan meremehkan urusannya itu berbahaya; karena kesahihan shalat yang merupakan tiang Islam bergantung padanya.
نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ الْبَصِيرَةَ فِي دِينِهِ وَالْإِخْلَاصَ لَهُ فِي الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ.
Kami memohon kepada Allah untuk kami dan seluruh kaum muslimin kecerdasan dalam agama-Nya dan keikhlasan kepada-Nya dalam perkataan dan perbuatan.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ التَّيَمُّمِ
إِنَّ اللهَ ﷾ قَدْ شَرَعَ التَّطَهُّرَ لِلصَّلَاةِ مِنَ الْحَدَثَيْنِ الْأَصْغَرِ وَالْأَكْبَرِ بِالْمَاءِ الَّذِي أَنْزَلَهُ اللهُ لَنَا طَهُورًا، وَهَذَا وَاجِبٌ لَابُدَّ مِنْهُ مَعَ الْإِمْكَانِ،
Sesungguhnya Allah ﷾ telah mensyariatkan bersuci untuk shalat dari hadats kecil dan besar dengan air yang Allah turunkan kepada kita sebagai alat bersuci, dan ini adalah kewajiban yang harus dilakukan jika memungkinkan,
لَكِنْ قَدْ تَعْرِضُ حَالَاتٌ يَكُونُ الْمَاءُ فِيهَا مَعْدُومًا، أَوْ فِي حُكْمِ الْمَعْدُومِ، أَوْ مَوْجُودًا، لَكِنْ يَتَعَذَّرُ اسْتِعْمَالُهُ لِعُذْرٍ مِنَ الْأَعْذَارِ الشَّرْعِيَّةِ،
tetapi mungkin ada keadaan di mana air tidak tersedia, atau dianggap tidak ada, atau ada tetapi tidak dapat digunakan karena alasan syar'i,
وَهُنَا قَدْ جَعَلَ اللهُ مَا يَنُوبُ عَنْهُ، وَهُوَ التَّيَمُّمُ بِالتُّرَابِ؛ تَيْسِيرًا عَلَى الْخَلْقِ، وَرَفْعًا لِلْحَرَجِ.
dan di sini Allah telah menjadikan sesuatu yang dapat menggantikannya, yaitu tayamum dengan debu; untuk memudahkan makhluk-Nya dan menghilangkan kesulitan.
يَقُولُ اللهُ تَعَالَى فِي مُحْكَمِ تَنْزِيلِهِ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ﴾ .
Allah Ta'ala berfirman dalam ayat-Nya yang muhkam: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur."
وَالتَّيَمُّمُ فِي اللُّغَةِ: الْقَصْدُ. وَالتَّيَمُّمُ فِي الشَّرْعِ: هُوَ مَسْحُ الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ بِصَعِيدٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوصٍ.
Tayamum secara bahasa berarti: niat. Tayamum secara syariat adalah: mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu dengan cara yang khusus.
وَكَمَا هُوَ ثَابِتٌ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ؛ فَهُوَ ثَابِتٌ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ، وَهُوَ فَضِيلَةٌ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ، اخْتَصَّهَا اللَّهُ بِهِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُ طَهُورًا لِغَيْرِهَا؛ تَوْسِعَةً عَلَيْهَا، وَإِحْسَانًا مِنْهُ إِلَيْهَا.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Qur'an yang mulia; ia juga ditetapkan oleh sunnah Rasulullah ﷺ dan ijma' umat, dan itu adalah keutamaan bagi umat Muhammad ini, yang Allah khususkan untuknya, dan tidak menjadikannya sebagai alat bersuci bagi selain mereka; sebagai kelapangan bagi mereka, dan kebaikan dari-Nya kepada mereka.
فَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" وَغَيْرِهِمَا: قَالَ ﷺ: "أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ؛ فَلْيُصَلِّ"، وَفِي لَفْظٍ: "فَعِنْدَهُ مَسْجِدُهُ وَطَهُورُهُ".
Dalam "Shahihain" dan lainnya: Beliau ﷺ bersabda: "Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa takut sejauh perjalanan sebulan, bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan alat bersuci, maka siapa pun dari umatku yang didatangi waktu shalat; hendaklah ia shalat", dan dalam lafaz lain: "Maka di sisinya ada masjid dan alat bersucinya".
فَالتَّيَمُّمُ بَدَلُ طَهَارَةِ الْمَاءِ عِنْدَ الْعَجْزِ عَنْهُ شَرْعًا، يُفْعَلُ بِالتَّطَهُّرِ بِهِ كُلُّ مَا يُفْعَلُ بِالتَّطَهُّرِ بِالْمَاءِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالطَّوَافِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، فَإِنَّ اللَّهَ جَعَلَ التَّيَمُّمَ مُطَهِّرًا كَمَا جَعَلَ الْمَاءَ مُطَهِّرًا، قَالَ ﵊: "وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا" يَعْنِي: الْأَرْضَ "لَنَا طَهُورًا ... ".
Tayamum adalah pengganti bersuci dengan air ketika tidak mampu melakukannya secara syar'i, dengan bersuci dengannya dapat dilakukan semua yang dilakukan dengan bersuci dengan air seperti shalat, thawaf, membaca Al-Qur'an dan lainnya, karena Allah telah menjadikan tayamum sebagai alat bersuci sebagaimana Dia menjadikan air sebagai alat bersuci, Dia ﵊ berfirman: "Dan dijadikan tanahnya" yaitu: bumi "bagi kita sebagai alat bersuci ... ".
وَيَنُوبُ التَّيَمُّمُ عَنِ الْمَاءِ فِي أَحْوَالٍ هِيَ:
Tayamum menggantikan air dalam beberapa keadaan, yaitu:
أَوَّلًا: إِذَا عَدَمَ الْمَاءَ: لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا﴾، سَوَاءٌ عَدَمَهُ فِي الْحَضَرِ أَوِ السَّفَرِ، وَطَلَبَهُ، وَلَمْ يَجِدْهُ.
Pertama: Jika tidak menemukan air: Berdasarkan firman Allah Ta'ala: ﴿Jika kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah﴾, baik tidak menemukannya di tempat menetap atau dalam perjalanan, dan telah mencarinya, namun tidak menemukannya.
ثَانِيًا: إِذَا كَانَ مَعَهُ مَاءٌ يَحْتَاجُهُ لِشُرْبٍ وَطَبْخٍ، فَلَوْ تَطَهَّرَ مِنْهُ؛ لَأَضَرَّ حَاجَتَهُ؛ بِحَيْثُ يَخَافُ الْعَطَشَ عَلَى نَفْسِهِ، أَوْ عَطَشَ غَيْرِهِ مِنْ آدَمِيٍّ أَوْ بَهِيمَةٍ مُحْتَرَمَيْنِ.
Kedua: Jika dia memiliki air yang dia butuhkan untuk minum dan memasak, dan jika dia bersuci dengannya, itu akan membahayakan kebutuhannya; sedemikian rupa sehingga dia takut kehausan untuk dirinya sendiri, atau kehausan orang lain dari manusia atau hewan yang dihormati.
ثَالِثًا: إِذَا خَافَ بِاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ الضَّرَرَ فِي بَدَنِهِ بِمَرَضٍ أَوْ تَأَخُّرِ بُرْءٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا﴾ الْآيَةَ.
Ketiga: Jika dia takut menggunakan air akan membahayakan tubuhnya dengan penyakit atau penundaan penyembuhan; karena firman Allah Ta'ala: "Dan jika kamu sakit" sampai firman-Nya: "Maka bertayamumlah dengan debu yang baik" ayat tersebut.
رَابِعًا: إِذَا عَجَزَ عَنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ، لِمَرَضٍ لَا يَسْتَطِيعُ مَعَهُ الْحَرَكَةَ، وَلَيْسَ عِنْدَهُ مَنْ يُوَضِّئُهُ، وَخَافَ خُرُوجَ الْوَقْتِ.
Keempat: Jika dia tidak mampu menggunakan air, karena penyakit yang membuatnya tidak bisa bergerak, dan tidak ada orang yang bisa berwudhu untuknya, dan dia takut waktu akan habis.
خَامِسًا: إِذَا خَافَ بَرْدًا بِاسْتِعْمَالِ الْمَاءِ وَلَمْ يَجِدْ مَا يُسَخِّنُهُ بِهِ؛ تَيَمَّمَ وَصَلَّى؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ﴾؛ فَفِي تِلْكَ الْأَحْوَالِ يَتَيَمَّمُ وَيُصَلِّي.
Kelima: Jika dia takut kedinginan karena menggunakan air dan tidak menemukan sesuatu untuk menghangatkannya; dia bertayamum dan shalat; karena firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu"; maka dalam keadaan-keadaan tersebut dia bertayamum dan shalat.
وَإِنْ وَجَدَ مَاءً يَكْفِي بَعْضَ طُهْرِهِ؛ اسْتَعْمَلَهُ فِيمَا يُمْكِنُهُ مِنْ أَعْضَائِهِ أَوْ بَدَنِهِ، وَتَيَمَّمَ عَنِ الْبَاقِي الَّذِي قَصُرَ عَنْهُ الْمَاءُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾ .
Dan jika dia menemukan air yang cukup untuk sebagian bersucinya; dia menggunakannya pada anggota tubuh atau badannya yang memungkinkan, dan bertayamum untuk sisanya yang airnya tidak mencukupi; karena firman Allah Ta'ala: "Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian".
وَإِنْ كَانَ بِهِ جُرْحٌ يَتَضَرَّرُ بِغَسْلِهِ أَوْ مَسْحِهِ بِالْمَاءِ؛ تَيَمَّمَ لَهُ، وَغَسَلَ الْبَاقِيَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ﴾ .
Dan jika dia memiliki luka yang akan membahayakan jika dicuci atau diusap dengan air; dia bertayamum untuknya, dan membasuh sisanya karena firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu".
وَإِنْ كَانَ جُرْحُهُ لَا يَتَضَرَّرُ بِالْمَسْحِ؛ مَسَحَ الضِّمَادَ الَّذِي فَوْقَهُ بِالْمَاءِ، وَكَفَاهُ الْمَسْحُ عَنِ التَّيَمُّمِ.
Dan jika lukanya tidak membahayakan jika diusap; dia mengusap perban yang ada di atasnya dengan air, dan mengusapnya sudah cukup baginya daripada bertayamum.
وَيَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِمَا عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مِنْ تُرَابٍ وَسَبْخِهِ وَرَمْلٍ وَغَيْرِهِ، هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ مِنْ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا﴾، وَكَانَ ﷺ وَأَصْحَابُهُ إِذَا أَدْرَكَتْهُمُ الصَّلَاةُ؛ تَيَمَّمُوا بِالْأَرْضِ الَّتِي يُصَلُّونَ عَلَيْهَا، تُرَابًا أَوْ غَيْرَهُ، وَلَمْ يَكُونُوا يَحْمِلُونَ مَعَهُمُ التُّرَابَ.
Dan diperbolehkan bertayamum dengan apa yang ada di permukaan bumi dari debu, tanah yang mengandung garam, pasir, dan lainnya. Ini adalah pendapat yang benar dari dua pendapat ulama; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Maka bertayamumlah dengan debu yang suci", dan Nabi ﷺ dan para sahabatnya jika waktu shalat telah tiba; mereka bertayamum dengan tanah tempat mereka shalat, baik itu debu atau lainnya, dan mereka tidak membawa debu bersama mereka.
وَصِفَةُ التَّيَمُّمِ:
Dan tata cara tayamum:
أَنْ يَضْرِبَ التُّرَابَ بِيَدَيْهِ مُفَرِّجَتَيِ الْأَصَابِعِ، ثُمَّ يَمْسَحَ وَجْهَهُ بِبَاطِنِ أَصَابِعِهِ، وَيَمْسَحَ كَفَّيْهِ بِرَاحَتَيْهِ، وَيُعَمِّمَ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ بِالْمَسْحِ، وَإِنْ مَسَحَ بِضَرْبَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا يَمْسَحُ بِهَا وَجْهَهُ وَالثَّانِيَةُ يَمْسَحُ بِهَا بَدَنَهُ؛ جَازَ، لَكِنَّ الصِّفَةَ الْأُولَى هِيَ الْوَارِدَةُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ.
Yaitu dengan memukulkan kedua tangannya yang jari-jarinya terbuka ke debu, kemudian mengusap wajahnya dengan bagian dalam jari-jarinya, dan mengusap kedua telapak tangannya dengan kedua telapak tangannya, dan meratakan wajah dan kedua telapak tangan dengan usapan. Jika mengusap dengan dua pukulan, yang pertama mengusap wajahnya dan yang kedua mengusap badannya; maka diperbolehkan, tetapi cara yang pertama adalah yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ.
وَيَبْطُلُ التَّيَمُّمُ عَنْ حَدَثٍ أَصْغَرَ بِمُبْطِلَاتِ الْوُضُوءِ وَعَنْ حَدَثٍ أَكْبَرَ بِمُوجِبَاتِ الْغُسْلِ مِنْ جَنَابَةٍ وَحَيْضٍ وَنِفَاسٍ؛ لِأَنَّ الْبَدَلَ لَهُ حُكْمُ الْمُبْدَلِ، وَيَبْطُلُ التَّيَمُّمُ أَيْضًا بِوُجُودِ الْمَاءِ إِنْ كَانَ التَّيَمُّمُ لِعَدَمِهِ، وَبِزَوَالِ الْعُذْرِ الَّذِي مِنْ أَجْلِهِ شُرِعَ التَّيَمُّمُ مِنْ مَرَضٍ وَنَحْوِهِ.
Dan tayamum menjadi batal dari hadats kecil karena hal-hal yang membatalkan wudhu, dan dari hadats besar karena hal-hal yang mewajibkan mandi seperti junub, haid, dan nifas; karena pengganti memiliki hukum yang digantikan. Tayamum juga batal dengan adanya air jika tayamum dilakukan karena ketiadaan air, dan dengan hilangnya uzur yang karenanya tayamum disyariatkan seperti sakit dan sejenisnya.
وَمَنْ عَدِمَ الْمَاءَ وَالتُّرَابَ أَوْ وَصَلَ إِلَى حَالٍ لَا يَسْتَطِيعُ مَعَ لَمْسِ الْبَشَرَةِ بِمَاءٍ وَلَا تُرَابٍ؛ فَإِنَّهُ يُصَلِّي عَلَى حَسَبِ حَالِهِ؛ بِلَا وُضُوءٍ وَلَا تَيَمُّمٍ؛ لِأَنَّ اللَّهَ لَا يُكَلِّفُ نَفْسًا غَلَا وُسْعَهَا، وَلَا يُعِيدُ هَذِهِ الصَّلَاةَ؛ لِأَنَّهُ أَتَى بِمَا أُمِرَ بِهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾، وَقَوْلِهِ ﷺ:
Dan barangsiapa yang tidak memiliki air dan debu atau sampai pada keadaan tidak mampu menyentuh kulit dengan air atau debu; maka ia shalat sesuai keadaannya; tanpa wudhu dan tanpa tayamum; karena Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya, dan ia tidak mengulangi shalat ini; karena ia telah melakukan apa yang diperintahkan kepadanya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian", dan sabda Nabi ﷺ:
"إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ؛ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ".
"Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka lakukanlah semampu kalian."
هَذِهِ جُمْلَةٌ مِنْ أَحْكَامِ التَّيَمُّمِ سُقْنَاهَا لَكَ، فَإِنْ أَشْكَلَ عَلَيْكَ شَيْءٌ مِنْهَا أَوْ مِنْ غَيْرِهَا؛ فَعَلَيْكَ أَنْ تَسْأَلَ أَهْلَ الْعِلْمِ، وَلَا تَتَسَاهَلْ فِي أَمْرِ دِينِكَ، لَا سِيَّمَا أَمْرَ الصَّلَاةِ الَّتِي هِيَ عَمُودُ الْإِسْلَامِ؛ فَإِنَّ الْأَمْرَ مُهِمٌّ جِدًّا.
Ini adalah sebuah kalimat dari hukum-hukum tayamum yang telah kami sampaikan kepadamu. Jika ada sesuatu yang tidak jelas bagimu darinya atau dari yang lainnya, maka bertanyalah kepada ahli ilmu, dan janganlah kamu menganggap remeh urusan agamamu, terutama urusan shalat yang merupakan tiang Islam. Sesungguhnya perkara ini sangat penting.
وَفَّقَنَا اللهُ جَمِيعًا لِلصَّوَابِ وَالسَّدَادِ فِي الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ، وَأَنْ يَكُونَ عَمَلُنَا خَالِصًا لِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، إِنَّهُ سَمِيعٌ مُجِيبُ الدُّعَاءِ.
Semoga Allah memberi kita semua petunjuk kepada kebenaran dan kelurusan dalam perkataan dan perbuatan, dan semoga amal kita ikhlas karena wajah-Nya Yang Mulia. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ
Bab tentang hukum-hukum menghilangkan najis
فَكَمَا أَنَّهُ مَطْلُوبٌ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا مِنَ الْحَدَثِ إِذَا أَرَادَ الصَّلَاةَ؛ فَكَذَلِكَ مَطْلُوبٌ مِنْهُ الْبَدَنُ وَالثَّوْبُ وَالْبُقْعَةُ مِنَ النَّجَاسَةِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ﴾، وَأَمَرَ النَّبِيُّ ﷺ الْمَرْأَةَ بِغَسْلِ دَمِ الْحَيْضِ مِنْ ثَوْبِهَا.
Sebagaimana seorang Muslim dituntut untuk suci dari hadats ketika hendak shalat, ia juga dituntut untuk menyucikan badan, pakaian, dan tempat dari najis. Allah Ta'ala berfirman: "Dan bersihkanlah pakaianmu", dan Nabi ﷺ memerintahkan wanita untuk mencuci darah haid dari pakaiannya.
لَمَّا كَانَ الْأَمْرُ كَذَلِكَ؛ تَطَلَّبَ مِنَّا أَنْ نُلْقِيَ الضَّوْءَ عَلَى هَذَا الْمَوْضُوعِ، وَهُوَ مَوْضُوعُ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ، عَارِضِينَ لِأَهَمِّ أَحْكَامِهِ، رَجَاءَ أَنْ يَنْتَفِعَ بِذَلِكَ مَنْ يَقْرَؤُهُ مِنْ إِخْوَانِنَا الْمُسْلِمِينَ، وَلَقَدْ كَانَ الْفُقَهَاءُ ﵏ يَعْقِدُونَ لِهَذَا الْمَوْضُوعِ بَابًا خَاصًّا، يُسَمُّونَهُ: بَابُ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ؛ أَيْ: تَطْهِيرُ مَوَارِدِ النَّجَاسَةِ، أَيْ: تَطْهِيرُ مَوَارِدِ النَّجَاسَةِ، الَّتِي تَطْرَأُ عَلَى مَحَلٍّ طَاهِرٍ مِنَ الثِّيَابِ وَالْأَوَانِي وَالْفُرُشِ وَالْبِقَاعِ وَنَحْوِهَا.
Ketika demikian adanya, maka kita dituntut untuk menyoroti topik ini, yaitu topik menghilangkan najis, dengan memaparkan hukum-hukum terpentingnya, dengan harapan agar bermanfaat bagi siapa saja dari saudara-saudara Muslim kita yang membacanya. Para fuqaha ﵏ telah mengkhususkan bab tersendiri untuk topik ini, yang mereka namakan: Bab Menghilangkan Najis; yaitu menyucikan sumber-sumber najis yang menimpa tempat yang suci seperti pakaian, wadah, alas, tanah, dan sebagainya.
وَالْأَصْلُ الَّذِي تُزَالُ بِهِ النَّجَاسَةُ هُوَ الْمَاءُ؛ فَهُوَ الْأَصْلُ فِي
Dan asal yang dengannya najis dihilangkan adalah air; ia adalah asal dalam
التَّطْهِيرُ؛ لِأَنَّ اللهَ وَصَفَهُ بِذَلِكَ؛ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ﴾ .
Penyucian; karena Allah telah menyifatinya demikian; sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan Allah menurunkan kepadamu air dari langit untuk menyucikan kamu dengan air itu".
وَالنَّجَاسَةُ الَّتِي تَجِبُ إِزَالَتُهَا:
Dan najis yang wajib dihilangkan:
إِمَّا أَنْ تَكُونَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ وَمَا اتَّصَلَ بِهَا مِنَ الْحِيطَانِ وَالْأَحْوَاضِ وَالصُّخُورِ: فَهَذِهِ يَكْفِي فِي تَطْهِيرِهَا غَسْلَةٌ وَاحِدَةٌ تَذْهَبُ بِعَيْنِ النَّجَاسَةِ؛ بِمَعْنَى أَنَّهَا تُغْمَرُ بِالْمَاءِ بِصَبِّهِ عَلَيْهَا مَرَّةً وَاحِدَةً؛ لِأَمْرِهِ ﷺ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَوْلِ الْأَعْرَابِيِّ الَّذِي بَالَ فِي الْمَسْجِدِ، وَكَذَا إِذَا غَمَرَتْ بِمَاءِ الْمَطَرِ وَالسُّيُولِ، فَإِذَا زَالَتْ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَيْهَا أَوْ بِمَاءِ الْمَطَرِ النَّازِلِ أَوِ الْجَارِي عَلَيْهَا؛ كَفَى ذَلِكَ فِي تَطْهِيرِهَا.
Jika najis itu berada di permukaan tanah dan apa yang terhubung dengannya seperti dinding, kolam, dan batu: maka cukup untuk menyucikannya dengan satu kali siraman yang menghilangkan zat najisnya; dalam arti bahwa najis itu disiram dengan air satu kali; karena perintah Nabi ﷺ untuk menyiramkan air pada air kencing orang Arab Badui yang kencing di masjid, dan juga jika digenangi oleh air hujan dan banjir, maka jika najis itu hilang dengan menyiramkan air di atasnya atau dengan air hujan yang turun atau mengalir di atasnya; maka itu sudah cukup untuk menyucikannya.
وَإِنْ كَانَتِ النَّجَاسَةُ عَلَى غَيْرِ الْأَرْضِ وَمَا اتَّصَلَ بِهَا:
Dan jika najis itu berada di selain tanah dan apa yang terhubung dengannya:
فَإِنْ كَانَتْ مِنْ كَلْبٍ أَوْ خِنْزِيرٍ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا؛ فَتَطْهِيرُهَا بِسَبْعِ غَسَلَاتٍ، إِحْدَاهُنَّ بِالتُّرَابِ؛ بِأَنْ يُجْعَلَ التُّرَابُ مَعَ إِحْدَى الْغَسَلَاتِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ؛ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ، وَهَذَا الْحُكْمُ عَامٌّ فِي الْإِنَاءِ وَغَيْرِهِ؛ كَالثِّيَابِ وَالْفُرُشِ.
Jika najis itu berasal dari anjing atau babi dan apa yang lahir dari keduanya; maka penyuciannya dengan tujuh kali cucian, salah satunya dengan tanah; dengan menjadikan tanah bersama salah satu cucian; karena sabda Nabi ﷺ: "Jika anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian; maka hendaklah dia mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah", diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dan hukum ini umum untuk bejana dan selainnya; seperti pakaian dan alas.
وَإِنْ كَانَتْ نَجَاسَةٌ غَيْرُ كَلْبٍ أَوْ خِنْزِيرٍ؛ كَالْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالدَّمِ وَنَحْوِهَا؛ فَإِنَّهَا تُغْسَلُ بِالْمَاءِ مَعَ الْفَرْكِ وَالْعَصْرِ، حَتَّى تَزُولَ؛ فَلَا يَبْقَى لَهَا عَيْنٌ وَلَا لَوْنٌ.
Jika najis selain anjing atau babi; seperti air kencing, tinja, darah, dan sejenisnya; maka harus dicuci dengan air disertai dengan menggosok dan memeras, hingga hilang; sehingga tidak tersisa wujud atau warnanya.
فَالْمَغْسُولَاتُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَنْوَاعٍ:
Barang-barang yang dicuci terbagi menjadi tiga jenis:
النَّوْعُ الْأَوَّلُ: مَا يُمْكِنُ عَصْرُهُ؛ مِثْلُ الثَّوْبِ؛ فَلَا بُدَّ مِنْ عَصْرِهِ.
Jenis pertama: yang dapat diperas; seperti pakaian; maka harus diperas.
النَّوْعُ الثَّانِي: مَا لَا يُمْكِنُ عَصْرُهُ، وَيُمْكِنُ تَقْلِيبُهُ؛ كَالْجُلُودِ وَنَحْوِهَا؛ فَلَا بُدَّ مِنْ تَقْلِيبِهِ.
Jenis kedua: yang tidak dapat diperas, tetapi dapat dibalik; seperti kulit dan sejenisnya; maka harus dibalik.
النَّوْعُ الثَّالِثُ: مَا لَا يُمْكِنُ عَصْرُهُ وَلَا تَقْلِيبُهُ؛ فَلَا بُدَّ مِنْ دَقِّهِ وَتَثْقِيلِهِ؛ بِأَنْ يَضَعَ عَلَيْهِ شَيْئًا ثَقِيلًا، حَتَّى يَذْهَبَ أَكْثَرُ مَا فِيهِ مِنَ الْمَاءِ.
Jenis ketiga: yang tidak dapat diperas atau dibalik; maka harus dipukul dan diberi beban; dengan meletakkan sesuatu yang berat di atasnya, hingga sebagian besar airnya hilang.
وَإِنْ خَفِيَ مَوْضِعُ نَجَاسَةٍ فِي بَدَوْنٍ أَوْ ثَوْبٍ أَوْ بُقْعَةٍ صَغِيرَةٍ كَمُصَلًّى صَغِيرٍ؛ وَجَبَ غَسْلُ مَا احْتَمَلَ وُجُودَ النَّجَاسَةِ فِيهِ، حَتَّى يَجْزِمَ بِزَوَالِهَا، وَإِنْ لَمْ يَدْرِ فِي أَيِّ جِهَةٍ مِنْهُ؛ غَسَلَهُ جَمِيعَهُ.
Jika tempat najis tidak jelas pada badan, pakaian, atau area kecil seperti tempat shalat kecil; maka wajib mencuci bagian yang mungkin terkena najis, hingga yakin najisnya hilang, dan jika tidak tahu di bagian mana; maka cuci seluruhnya.
وَيَكْفِي فِي تَطْهِيرِ بَوْلِ الْغُلَامِ الَّذِي لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ رَشُّهُ بِالْمَاءِ؛ لِحَدِيثِ أُمِّ قَيْسٍ؛ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَأَجْلَسَهُ فِي حِجْرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Cukup untuk menyucikan air kencing anak laki-laki yang belum makan makanan dengan memercikkan air; berdasarkan hadits Ummu Qais; bahwa dia membawa anaknya yang masih kecil yang belum makan makanan kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau mendudukkannya di pangkuannya, kemudian dia kencing di pakaian beliau, maka beliau meminta air, lalu memercikkannya dan tidak mencucinya. Muttafaq 'alaih.
وَإِنْ كَانَ يَأْكُلُ الطَّعَامَ لِشَهْوَةٍ وَاخْتِيَارٍ؛ فَبَوْلُهُ مِثْلُ بَوْلِ الْكَبِيرِ، وَكَذَا
Jika dia makan makanan karena nafsu dan pilihan; maka air kencingnya seperti air kencing orang dewasa, dan begitu juga
بَوْلُ الأُنْثَى الصَّغِيرِ مِثْلُ بَوْلِ الْكَبِيرَةِ، وَفِي جَمِيعِ هَذِهِ الأَحْوَالِ يُغْسَلُ كَغَسْلِ سَائِرِ النَّجَاسَاتِ.
Air kencing anak perempuan kecil sama seperti air kencing perempuan dewasa, dan dalam semua keadaan ini dicuci seperti mencuci najis lainnya.
فَالنَّجَاسَاتُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَنْوَاعٍ:
Najis ada tiga jenis:
نَجَاسَةٌ مُغَلَّظَةٌ، وَهِيَ نَجَاسَةُ الْكَلْبِ وَنَحْوِهِ.
Najis berat (مُغَلَّظَة), yaitu najisnya anjing dan sejenisnya.
وَنَجَاسَةٌ مُخَفَّفَةٌ، وَهِيَ نَجَاسَةُ الْغُلَامِ الَّذِي لَا يَأْكُلُ الطَّعَامَ.
Najis ringan (مُخَفَّفَة), yaitu najisnya anak laki-laki yang belum makan makanan.
وَنَجَاسَةٌ بَيْنَ ذَلِكَ، وَهِيَ بَقِيَّةُ النَّجَاسَاتِ.
Najis di antara keduanya, yaitu najis-najis lainnya.
وَيَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ مَا هُوَ طَاهِرٌ وَمَا هُوَ نَجِسٌ مِنْ أَرْوَاثِ وَأَبْوَالِ الْحَيَوَانَاتِ: فَمَا كَانَ يَحِلُّ أَكْلُ لَحْمِهِ مِنْهَا؛ فَبَوْلُهُ وَرَوْثُهُ طَاهِرٌ؛ كَالْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَنَحْوِهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ الْعِرْنِينَ أَنْ يَلْحَقُوا بِإِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَيَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Kita harus mengetahui mana yang suci dan mana yang najis dari kotoran dan air kencing hewan: Hewan yang dagingnya halal dimakan; maka air kencing dan kotorannya suci; seperti unta, sapi, kambing, dan sejenisnya; karena Nabi ﷺ memerintahkan orang-orang 'Urainah untuk pergi ke unta zakat, lalu meminum air kencing dan susunya. Muttafaq 'alaih.
فَدَلَّ عَلَيْهِ طَهَارَةُ بَوْلِهَا؛ لِأَنَّ النَّجِسَ لَايُبَاحُ التَّدَاوِي بِهِ وَشُرْبُهُ، فَإِنْ قِيلَ: إِنَّمَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ؛ قُلْنَا: لَمْ يَأْمُرْهُمُ النَّبِيُّ ﷺ بِغَسْلِ أَثَرِهِ إِذَا أَرَادُوا الصَّلَاةَ.
Ini menunjukkan kesucian air kencingnya; karena sesuatu yang najis tidak boleh digunakan untuk berobat dan diminum. Jika dikatakan: Itu dibolehkan karena darurat; kami katakan: Nabi ﷺ tidak memerintahkan mereka untuk mencuci bekas air kencing itu jika mereka ingin shalat.
وَفِي "الصَّحِيحِ": أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَأَمَرَ بِالصَّلَاةِ فِيهَا وَهِيَ لَا شَكَّ تَبُولُ فِيهَا.
Dalam "Shahih": Bahwa Nabi ﷺ shalat di kandang kambing dan memerintahkan untuk shalat di dalamnya, padahal kambing-kambing itu pasti kencing di sana.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَةَ: "الْأَصْلُ فِي الْأَرْوَاثِ الطَّهَارَةُ؛ إِلَّا مَا اسْتُثْنِيَ ... " انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Hukum asal kotoran adalah suci; kecuali yang dikecualikan..." Selesai.
وَسُؤْرُ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ طَاهِرٌ، وَهُوَ بَقِيَّةُ طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ.
Sisa makanan dan minuman dari hewan yang dagingnya dimakan adalah suci, yaitu sisa makanan dan minumannya.
وَسُؤْرُ الْهِرَّةِ طَاهِرٌ؛ لِحَدِيثِ أَبِي قَتَادَةَ فِي الْهِرَّةِ؛ قَالَ "إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجِسٍ، إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ"، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ وَصَحَّحَهُ، شَبَّهَهَا بِالْمَمَالِيكِ مِنْ خَدَمِ الْبَيْتِ الَّذِينَ يَطُوفُونَ عَلَى أَهْلِهِ لِلْخِدْمَةِ وَلِعَدَمِ التَّحَرُّزِ مِنْهَا؛ فَفِي ذَلِكَ رَفْعٌ لِلْحَرَجِ وَالْمَشَقَّةِ.
Sisa minuman kucing itu suci; berdasarkan hadits Abu Qatadah tentang kucing; ia berkata "Sesungguhnya kucing itu tidaklah najis, ia termasuk hewan yang berkeliling di sekitar kalian", diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya serta dishahihkan, ia menyerupakannya dengan para budak dari pembantu rumah yang berkeliling melayani pemiliknya dan tidak menjaga diri darinya; maka dalam hal itu terdapat keringanan dari kesulitan dan kesusahan.
وَأَلْحَقَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ بِالْهِرَّةِ مَاكَانَ دُونَهَا فِي الْخِلْقَةِ مِنْ طَيْرٍ وَغَيْرِهِ؛ فَسُؤْرُهُ طَاهِرٌ كَسُؤْرِ الْهِرَّةِ؛ بِجَامِعِ الطَّوَافِ.
Sebagian ulama menyamakan dengan kucing hewan-hewan yang lebih kecil darinya dalam ukuran tubuh, baik burung atau lainnya; maka sisa minumannya suci seperti sisa minuman kucing; dengan kesamaan berkeliling.
وَمَاعَدَا وَمَا أُلْحِقَ بِهَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ؛ فَرَوْثُهُ وَبَوْلُهُ وَسُؤْرُهُ نَجِسٌ.
Adapun selain kucing dan yang disamakan dengannya yang dagingnya tidak dimakan; maka kotorannya, kencingnya, dan sisa minumannya adalah najis.
أَيُّهَا الْمُسْلِمُ،:
Wahai seorang Muslim,:
عَلَيْكَ أَنْ تَهْتَمَّ بِالطَّهَارَةِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا: بَاطِنًا بِالتَّوْحِيدِ وَالْإِخْلَاصِ لِلَّهِ فِي الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ، وَظَاهِرًا بِالطَّهَارَةِ مِنَ الْحَدَثِ وَالْأَنْجَاسِ؛ فَإِنَّ دِينَنَا دِينُ الطَّهَارَةِ وَالنَّظَافَةِ وَالنَّزَاهَةِ مِنَ الْأَقْذَارِ الْحِسِّيَّةِ وَالْمَعْنَوِيَّةِ؛ فَالْمُسْلِمُ طَاهِرٌ نَزِيهٌ مُلَازِمٌ لِلطَّهَارَةِ، وَقَالَ ﷺ: "الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ ... ".
Anda harus memperhatikan kesucian lahir dan batin: batin dengan tauhid dan keikhlasan kepada Allah dalam perkataan dan perbuatan, dan lahir dengan kesucian dari hadats dan najis; karena agama kita adalah agama kesucian, kebersihan, dan kemurnian dari kotoran fisik dan maknawi; seorang Muslim itu suci, bersih, dan senantiasa menjaga kesucian, dan Nabi ﷺ bersabda: "Bersuci adalah setengah dari iman ... ".
فَعَلَيْكَ يَا عَبْدَ اللهِ بِالِاهْتِمَامِ بِالطَّهَارَةِ، وَالِابْتِعَادِ عَنِ الْأَنْجَاسِ؛ فَقَدْ أَخْبَرَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ حِينَمَا لَا يَتَحَرَّزُ مِنْهُ الْإِنْسَانُ، فَإِذَا أَصَابَكَ نَجَاسَةٌ؛ فَبَادِرْ إِلَى تَطْهِيرِهَا مَا أَمْكَنَكَ؛ لِتَبْقَى طَاهِرًا، لَا سِيَّمَا عِنْدَمَا تُرِيدُ الصَّلَاةَ؛ فَتَفَقَّدْ حَالَكَ مِنَ الطَّهَارَةِ، وَعِنْدَمَا تُرِيدُ الدُّخُولَ فِي الْمَسْجِدِ؛ فَانْظُرْ فِي نَعْلَيْكَ، فَإِنْ وَجَدْتَ فِيهِمَا أَذًى، فَامْسَحْهُمَا وَنَقِّهِمَا وَلَا تَدْخُلْ بِهِمَا أَوْ تُدْخِلْهُمَا فِي الْمَسْجِدِ وَفِيهِمَا نَجَاسَةٌ.
Maka, wahai hamba Allah, perhatikanlah kesucian dan jauhilah najis; karena Rasulullah ﷺ telah mengabarkan bahwa sebagian besar azab kubur berasal dari air kencing ketika seseorang tidak berhati-hati darinya. Jika Anda terkena najis, segeralah membersihkannya semampu Anda agar tetap suci, terutama ketika Anda ingin shalat; periksalah keadaan kesucian Anda, dan ketika Anda ingin memasuki masjid; lihatlah sandal Anda, jika Anda menemukan kotoran padanya, usaplah dan bersihkanlah keduanya, dan jangan masuk dengan keduanya atau memasukkannya ke dalam masjid sementara ada najis padanya.
وَفَّقَ اللهُ الْجَمِيعَ لِمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ.
Semoga Allah memberi taufik kepada semua orang terhadap apa yang Dia cintai dan ridhai dari perkataan dan perbuatan.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ
Bab tentang hukum-hukum haid dan nifas
أَوَّلًا: الْحَيْضُ وَأَحْكَامُهُ:
Pertama: Haid dan hukum-hukumnya:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ﴾
Allah Ta'ala berfirman: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."
وَالْحَيْضُ هُوَ دَمُ طَبِيعَةٍ وَجِبِلَّةٍ، يَخْرُجُ مِنْ قَعْرِ الرَّحِمِ فِي أَوْقَاتٍ مَعْلُومَةٍ، خَلَقَهُ اللهُ لِحِكْمَةِ غِذَاءِ الْوَلَدِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ؛ لَا فْتِقَارِهِ إِلَى الْغِذَاءِ؛ إِذْ لَوْ شَارَكَهَا فِي غِذَائِهَا؛ لَضَعُفَتْ قُوَاهَا، فَجَعَلَ اللهُ لَهُ هَذَا الْغِذَاءَ؛ لِذَلِكَ قَلَّ أَنْ تَحِيضَ الْحَامِلُ، فَإِذَا وَلَدَتْ؛ قَلَبَهُ اللهُ لَبَنًا يَدِرُّ مِنْ ثَدْيَيْهَا؛ لِيَتَغَذَّى بِهِ وَلَدُهَا، وَلِذَلِكَ قَلَّ أَنْ تَحِيضَ الْمُرْضِعُ، فَإِذَا خَلَتِ الْمَرْأَةُ مِنَ الْحَمْلِ وَرَضَاعٍ؛ بَقِيَ لَا مَصْرِفَ لَهُ؛ لِيَسْتَقِرَّ فِي مَكَانٍ مِنْ رَحِمِهَا، ثُمَّ يَخْرُجُ فِي الْغَالِبِ فِي كُلِّ شَهْرٍ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ، وَقَدْ يَزِيدُ عَنْ ذَلِكَ أَوْ يَقِلُّ، وَيَطُولُ شَهْرُ الْمَرْأَةِ وَيَقْصُرُ حَسْبَمَا رَكَّبَهُ اللهُ مِنَ الطِّبَاعِ.
Haid adalah darah alami dan bawaan, yang keluar dari dasar rahim pada waktu-waktu tertentu, yang Allah ciptakan untuk hikmah memberi nutrisi kepada anak dalam perut ibunya; karena kebutuhannya akan nutrisi; jika ia berbagi nutrisi dengan ibunya; maka kekuatan ibunya akan melemah, maka Allah menjadikan nutrisi ini untuknya; oleh karena itu, jarang terjadi wanita hamil mengalami haid, jika ia melahirkan; Allah mengubahnya menjadi air susu yang mengalir dari kedua payudaranya; agar anaknya mendapatkan nutrisi darinya, dan oleh karena itu, jarang terjadi wanita menyusui mengalami haid, jika wanita kosong dari kehamilan dan menyusui; maka darah haid tetap tidak ada salurannya; sehingga menetap di suatu tempat dalam rahimnya, kemudian pada umumnya keluar setiap bulan selama enam atau tujuh hari, dan mungkin lebih dari itu atau kurang, dan bulan wanita menjadi panjang atau pendek sesuai dengan tabiat yang Allah ciptakan padanya.
وَلِلْحَائِضِ خِلَالَ حَيْضِهَا وَعِنْدَ نِهَايَتِهِ أَحْكَامٌ مُفَصَّلَةٌ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ:
Bagi wanita yang sedang haid, selama masa haid dan pada akhir haidnya, terdapat hukum-hukum yang terperinci dalam Al-Qur'an dan Sunnah:
مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ: أَنَّ الْحَائِضَ لَا تُصَلِّي وَلَا تَصُومُ حَالَ حَيْضِهَا، قَالَ ﵊ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ: "إِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ؛ فَدَعِي الصَّلَاةَ"، فَلَوْ صَامَتِ الْحَائِضُ أَوْصَلَّتْ حَالَ حَيْضِهَا؛ لَمْ يَصِحَّ لَهَا صَوْمٌ وَلَا صَلَاةٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَاهَا عَنْ ذَلِكَ، وَالنَّهْيُ يَقْتَضِي عَدَمَ الصِّحَّةِ، بَلْ تَكُونُ بِذَلِكَ عَاصِيَةً لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ.
Di antara hukum-hukum ini: bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh shalat dan tidak boleh berpuasa selama masa haidnya. Allah berfirman kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: "Jika datang haid, maka tinggalkanlah shalat." Jika seorang wanita yang sedang haid berpuasa atau shalat selama masa haidnya, maka puasa dan shalatnya tidak sah, karena Nabi ﷺ telah melarangnya dari hal itu. Larangan menunjukkan ketidaksahan, bahkan dengan melakukan itu, ia menjadi durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.
فَإِذَا طَهُرَتْ مِنْ حَيْضِهَا؛ فَإِنَّهَا تَقْضِي الصَّوْمَ دُونَ الصَّلَاةِ بِإِجْمَاعِ أَهْلِ الْعِلْمِ، قَالَتْ عَائِشَةُ ﵂: "كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؛ فَكُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Jika ia telah suci dari haidnya, maka ia harus mengqadha puasa tanpa shalat berdasarkan ijma' para ulama. Aisyah ﵂ berkata: "Kami mengalami haid pada masa Rasulullah ﷺ, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat." (Muttafaq 'alaih)
وَمِنْ أَحْكَامِ الْحَائِضِ: أَنَّهَا يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَطُوفَ بِالْبَيْتِ، وَلَا تَقْرَأَ الْقُرْآنَ، وَلَا تَجْلِسَ فِي الْمَسْجِدِ، وَيَحْرُمُ عَلَى زَوْجِهَا وَطْؤُهَا فِي الْفَرْجِ حَتَّى يَنْقَطِعَ حَيْضُهَا وَتَغْتَسِلَ:
Di antara hukum-hukum wanita haid: bahwa ia boleh melakukan thawaf di Ka'bah, tidak boleh membaca Al-Qur'an, tidak boleh duduk di masjid, dan haram bagi suaminya untuk menyetubuhinya pada kemaluannya hingga haidnya berhenti dan ia mandi:
قَالَ تَعَالَى: ﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ﴾،وَمَعْنَى الِاعْتِزَالِ: تَرْكُ الْوَطْءِ.
Allah berfirman: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu". Makna al-i'tizal adalah meninggalkan jima'.
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ "اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ"، رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إِلَّا الْبُخَارِيَّ، وَفِي لَفْظٍ: "إِلَّا الْجِمَاعَ".
Nabi ﷺ bersabda: "Lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah", diriwayatkan oleh Jama'ah kecuali Bukhari, dan dalam lafaz lain: "kecuali jima'".
وَيَجُوزُ لِزَوْجِ الْحَائِضِ أَنْ يَسْتَمْتِعَ مِنْهَا بِغَيْرِ الْجِمَاعِ فِي الْفَرْجِ؛ كَالْقُبْلَةِ وَاللَّمْسِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.
Suami dari wanita haid boleh bersenang-senang dengannya selain jima' pada farji, seperti ciuman, sentuhan, dan semisalnya.
وَلَا يَجُوزُ لِزَوْجِهَا أَنْ يُطَلِّقَهَا وَهِيَ حَائِضٌ، قَالَ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ﴾؛ أَيْ طَاهِرَاتٍ مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ، وَقَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ ﷺ مَنْ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ أَنْ يُرَاجِعَهَا ثُمَّ يُطَلِّقَهَا حَالَ طُهْرِهَا إِنْ أَرَادَ.
Tidak boleh bagi suaminya untuk mentalaknya saat dia sedang haid. Allah berfirman: "Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)", yaitu dalam keadaan suci tanpa jima'. Nabi ﷺ telah memerintahkan orang yang mentalak istrinya saat haid untuk merujuknya kemudian mentalaknya saat suci jika memang ingin.
وَالطُّهْرُ هُوَ انْقِطَاعُ الدَّمِ، فَإِذَا انْقَطَعَ دَمُهَا؛ فَقَدْ طَهُرَتْ، وَانْتَهَتْ فَتْرَةُ حَيْضِهَا؛ فَيَجِبُ عَلَيْهَا الِاغْتِسَالُ، ثُمَّ تُزَاوِلُ مَا مُنِعَتْ مِنْهُ بِسَبَبِ الْحَيْضِ، وَإِنْ رَأَتْ بَعْدَ الطُّهْرِ كُدْرَةً أَوْ صُفْرَةً؛ لَمْ تَلْتَفِتْ إِلَيْهَا؛ لِقَوْلِ أُمِّ عَطِيَّةَ ﵂: "كُنَّا لَا نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الصُّفْرَةِ شَيْئًا"، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Suci adalah berhentinya darah. Jika darahnya telah berhenti, maka dia telah suci dan selesai masa haidnya. Wajib baginya mandi, kemudian melakukan apa yang dilarang karena haid. Jika setelah suci dia melihat warna keruh atau kekuningan, maka jangan dihiraukan, berdasarkan perkataan Ummu 'Athiyyah ﵂: "Kami tidak menganggap warna kekuningan dan keruh setelah suci sebagai sesuatu (haid)", diriwayatkan oleh Bukhari.
وَغَيْرِهِ، وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ؛ لِأَنَّهُ تَقْرِيرٌ مِنْهُ ﷺ.
Dan lainnya, dan ia memiliki hukum marfu'; karena ia adalah ketetapan dari beliau ﷺ.
تَنْبِيهٌ هَامٌّ:
Peringatan penting:
إِذَا طَهُرَتِ الْحَائِضُ أَوِ النُّفَسَاءُ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ؛ لَزِمَهَا أَنْ تُصَلِّيَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ مِنْ هَذَا الْيَوْمِ، وَمَنْ طَهُرَتْ مِنْهُمَا قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ؛ لَزِمَهَا أَنْ تُصَلِّيَ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ مِنْ هَذِهِ اللَّيْلَةِ؛ لِأَنَّ وَقْتَ الصَّلَاةِ الثَّانِيَةِ وَقْتٌ لِلصَّلَاةِ الْأُولَى فِي حَالِ الْعُذْرِ.
Jika wanita haid atau nifas suci sebelum terbenamnya matahari; ia wajib shalat Zuhur dan Asar pada hari itu, dan siapa di antara mereka yang suci sebelum terbit fajar; ia wajib shalat Maghrib dan Isya pada malam itu; karena waktu shalat kedua adalah waktu untuk shalat pertama dalam kondisi udzur.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀ فِي "الْفَتَاوَى" "٢٢/ ٤٣٤": "وَلِهَذَا كَانَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ كَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ إِذَا طَهُرَتِ الْحَائِضُ فِي آخِرِ النَّهَارِ؛ صَلَّتِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَإِذَا طَهُرَتْ فِي آخِرِ اللَّيْلِ؛ صَلَّتِ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا؛ كَمَا نُقِلَ ذَلِكَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ لِأَنَّ الْوَقْتَ مُشْتَرَكٌ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي حَالِ الْعُذْرِ، فَإِذَا طَهُرَتْ فِي آخِرِ النَّهَارِ؛ فَوَقْتُ الظُّهْرِ بَاقٍ، فَتُصَلِّيهَا قَبْلَ الْعَصْرِ، وَإِذَا طَهُرَتْ فِي آخِرِ اللَّيْلِ؛ فَوَقْتُ الْمَغْرِبِ بَاقٍ فِي حَالِ الْغَدْرِ، فَتُصَلِّيهَا قَبْلَ الْعِشَاءِ" انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata dalam "Al-Fatawa" "22/434": "Oleh karena itu, mayoritas ulama seperti Malik, Asy-Syafi'i, dan Ahmad berpendapat jika wanita haid suci di akhir siang; ia shalat Zuhur dan Asar bersamaan, dan jika ia suci di akhir malam; ia shalat Maghrib dan Isya bersamaan; sebagaimana hal itu diriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas; karena waktunya berserikat antara dua shalat dalam kondisi udzur, maka jika ia suci di akhir siang; waktu Zuhur masih tersisa, maka ia shalat Zuhur sebelum Asar, dan jika ia suci di akhir malam; waktu Maghrib masih tersisa dalam kondisi udzur, maka ia shalat Maghrib sebelum Isya." Selesai.
وَأَمَّا إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا وَقْتُ صَلَاةٍ، ثُمَّ حَاضَتْ أَوْ نَفِسَتْ قَبْلَ أَنْ تُصَلِّيَ؛
Adapun jika telah masuk waktu shalat baginya, kemudian ia haid atau nifas sebelum shalat;
فَالْقَوْلُ الرَّاجِحُ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهَا قَضَاءُ تِلْكَ الصَّلَاةِ الَّتِي أَدْرَكَتْ أَوَّلَ وَقْتِهَا ثُمَّ حَاضَتْ أَوْ نَفِسَتْ قَبْلَ أَنْ تُصَلِّيَهَا.
Pendapat yang kuat adalah bahwa dia tidak harus mengqadha shalat yang dia dapati awal waktunya kemudian dia haid atau nifas sebelum dia melaksanakannya.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَهْ ﵀ فِي "مَجْمُوعِ الْفَتَاوِي" "٢٣/ ٣٣٥" فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: "وَالْأَظْهَرُ فِي الدَّلِيلِ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ؛ أَنَّهَا لَا يَلْزَمُهَا شَيْءٌ؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ إِنَّمَا يَجِبُ بِأَمْرٍ جَدِيدٍ، وَلَا أَمْرَ هُنَا يَلْزَمُهَا بِالْقَضَاءِ، وَلِأَنَّهَا أَخَّرَتْ تَأْخِيرًا جَائِزًا؛ فَهِيَ غَيْرُ مُفَرِّطَةٍ، وَأَمَّا النَّائِمُ أَوِ النَّاسِي؛ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُفَرِّطٍ أَيْضًا؛ فَإِنَّ مَا يَفْعَلُهُ لَيْسَ قَضَاءً، بَلْ ذَلِكَ وَقْتُ الصَّلَاةِ فِي حَقِّهِ حِينَ يَسْتَيْقِظُ وَيَذْكُرُ" انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata dalam "Majmu' Al-Fatawa" "23/335" tentang masalah ini: "Yang paling jelas dalam dalil adalah mazhab Abu Hanifah dan Malik; bahwa dia tidak wajib mengqadha apapun; karena qadha hanya wajib dengan perintah baru, dan tidak ada perintah di sini yang mewajibkannya untuk mengqadha, dan karena dia menunda dengan penundaan yang diperbolehkan; maka dia tidak lalai, adapun orang yang tidur atau lupa; meskipun dia juga tidak lalai; maka apa yang dia lakukan bukanlah qadha, tetapi itu adalah waktu shalat baginya ketika dia bangun dan ingat" selesai.
ثَانِيًا: الِاسْتِحَاضَةُ وَأَحْكَامُهَا:
Kedua: Istihadhah dan hukum-hukumnya:
الِاسْتِحَاضَةُ: سَيَلَانُ الدَّمِ فِي غَيْرِ وَقْتِهِ عَلَى سَبِيلِ النَّزِيفِ مِنْ عِرْقٍ يُسَمَّى الْعَاذِلَ.
Istihadhah adalah: mengalirnya darah di luar waktunya dengan cara pendarahan dari urat yang disebut 'adzil.
وَالْمُسْتَحَاضَةُ أَمْرُهَا مُشْكِلٌ؛ لِاشْتِبَاهِ دَمِ الْحَيْضِ بِدَمِ الِاسْتِحَاضَةِ، فَإِذَا كَانَ الدَّمُ يَنْزِلُ مِنْهَا بِاسْتِمْرَارٍ أَوْ غَالِبَ الْوَقْتِ؛ فَمَا الَّذِي تَعْتَبِرُهُ مِنْهُ حَيْضًا وَمَا الَّذِي تَعْتَبِرُهُ اسْتِحَاضَةً لَا تَتْرُكُ مِنْ أَجْلِهِ الصَّوْمَ وَالصَّلَاةَ؟ فَإِنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ يُعْتَبَرُ لَهَا أَحْكَامُ الطَّاهِرَاتِ.
Perkara wanita mustahadhah itu rumit; karena kemiripan darah haid dengan darah istihadhah, jika darah keluar darinya secara terus-menerus atau sebagian besar waktu; maka mana yang dia anggap sebagai haid dan mana yang dia anggap sebagai istihadhah sehingga dia tidak meninggalkan puasa dan shalat karenanya? Karena wanita mustahadhah dianggap memiliki hukum-hukum wanita yang suci.
وَبِنَاءً عَلَى ذَلِكَ؛ فَإِنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ لَهَا ثَلَاثُ حَالَاتٍ:
Berdasarkan hal tersebut; maka wanita yang mengalami istihadhah memiliki tiga keadaan:
الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ تَكُونَ لَهَا عَادَةٌ مَعْرُوفَةٌ لَدَيْهَا قَبْلَ إِصَابَتِهَا بِالِاسْتِحَاضَةِ؛ بِأَنْ كَانَتْ قَبْلَ الِاسْتِحَاضَةِ تَحِيضُ خَمْسَةَ أَيَّامٍ أَوْ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ مَثَلًا فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ وَسَطِهِ، فَتَعْرِفُ عَدَدَهَا وَوَقْتَهَا؛ فَهَذِهِ تَجْلِسُ قَدْرَ عَادَتِهَا، وَتَدَعُ الصَّلَاةَ وَالصِّيَامَ، وَتُعْتَبَرُ لَهَا أَحْكَامُ الْحَيْضِ، فَإِذَا انْتَهَتْ عَادَتُهَا؛ اغْتَسَلَتْ وَصَلَّتْ، وَاعْتَبَرَتِ الدَّمَ الْبَاقِيَ دَمَ اسْتِحَاضَةٍ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ لِأُمِّ حَبِيبَةَ: "امْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ، ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَلِقَوْلِهِ ﷺ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ: "إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، وَلَيْسَ بِحَيْضٍ، فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ؛ فَدَعِي الصَّلَاةَ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Keadaan pertama: Dia memiliki kebiasaan yang diketahui sebelum terkena istihadhah; di mana sebelum istihadhah dia haid selama lima hari atau delapan hari misalnya di awal bulan atau pertengahannya, sehingga dia mengetahui jumlah dan waktunya; maka dia duduk sesuai kebiasaannya, meninggalkan shalat dan puasa, dan dianggap baginya hukum-hukum haid, jika kebiasaannya telah selesai; dia mandi dan shalat, dan menganggap darah yang tersisa sebagai darah istihadhah; berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Ummu Habibah: "Diamlah selama masa haidmu biasanya menahanmu, kemudian mandilah dan shalatlah", diriwayatkan oleh Muslim, dan sabdanya ﷺ kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: "Sesungguhnya itu adalah urat, dan bukan haid, jika haidmu datang; maka tinggalkanlah shalat", muttafaq 'alaih.
الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا عَادَةٌ مَعْرُوفَةٌ، لَكِنَّ دَمَهَا مُتَمَيِّزٌ، بَعْضُهُ يَحْمِلُ صِفَةَ الْحَيْضِ؛ بِأَنْ يَكُونَ أَسْوَدَ أَوْ ثَخِينًا أَوْ لَهُ رَائِحَةٌ، وَبَقِيَّتُهُ لَا تَحْمِلُ صِفَةَ الْحَيْضِ؛ بِأَنْ يَكُونَ أَحْمَرَ لَيْسَ لَهُ رَائِحَةٌ لَا ثَخِينًا؛
Keadaan kedua: Jika dia tidak memiliki kebiasaan yang diketahui, tetapi darahnya dapat dibedakan, sebagiannya memiliki sifat haid; yaitu berwarna hitam atau kental atau memiliki bau, dan sisanya tidak memiliki sifat haid; yaitu berwarna merah tidak berbau dan tidak kental;
فَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ تُعْتَبَرُ الدَّمَ الَّذِي يَحْمِلُ صِفَةَ الْحَيْضِ حَيْضًا، فَتَجْلِسُ، وَتَدَعُ الصَّلَاةَ وَالصِّيَامَ، وَتَعْتَبِرُ مَا عَادَاهُ اسْتِحَاضَةً، تَغْتَسِلُ عِنْدَ نِهَايَةِ الَّذِي يَحْمِلُ صِفَةَ الْحَيْضِ، وَتُصَلِّي وَتَصُومُ، وَتَعْتَبِرُ طَاهِرًا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ: "إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ؛ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ؛ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ؛ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ، فَفِيهِ أَنَّ الْمُسْتَحَاضَةَ تَعْتَبِرُ صِفَةَ الدَّمِ، فَتُمَيِّزُ بِهَا بَيْنَ الْحَيْضِ وَغَيْرِهِ.
Dalam kasus ini, darah yang memiliki karakteristik haid dianggap sebagai haid, maka ia duduk, meninggalkan shalat dan puasa, dan menganggap selain itu sebagai istihadhah. Ia mandi ketika akhir dari yang memiliki karakteristik haid, shalat dan puasa, dan dianggap suci; berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: "Jika itu darah haid; maka ia berwarna hitam dan dikenali; maka berhentilah dari shalat, dan jika itu yang lain; maka berwudhulah dan shalatlah", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa'i, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, di dalamnya bahwa wanita mustahadhah mempertimbangkan sifat darah, maka ia membedakan dengannya antara haid dan selainnya.
الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا عَادَةٌ تَعْرِفُهَا وَلَا صِفَةٌ تُمَيِّزُ بِهَا الْحَيْضَ مِنْ غَيْرِهِ؛ فَإِنَّهَا تَجْلِسُ غَالِبَ الْحَيْضِ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، لِأَنَّ هَذِهِ عَادَةُ غَالِبِ النِّسَاءِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ لِحَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ: "إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ اغْتَسِلِي، فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ؛ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ، وَصُومِي وَصَلِّي، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكِ، وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ" رَوَاهُ الْخَمْسَةُ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ.
Kasus ketiga: Jika ia tidak memiliki kebiasaan yang ia ketahui dan tidak ada karakteristik yang dengannya ia membedakan haid dari selainnya; maka ia duduk pada umumnya haid selama enam atau tujuh hari setiap bulan, karena ini adalah kebiasaan kebanyakan wanita; berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Hamnah binti Jahsy: "Itu hanyalah dorongan dari setan, maka berhaislah selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah, jika kamu telah suci; maka shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga (hari), dan berpuasalah dan shalatlah, karena itu cukup bagimu, dan lakukanlah demikian sebagaimana wanita-wanita haid" diriwayatkan oleh lima (imam), dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi.
وَالْحَاصِلُ مِمَّا سَبَقَ:
Kesimpulan dari apa yang telah disebutkan sebelumnya:
أَنَّ الْمُعْتَادَةَ تَرِدُ إِلَى عَادَتِهَا، وَالْمُمَيِّزَةَ تَرِدُ إِلَى الْعَمَلِ بِالتَّمْيِيزِ، وَالْفَاقِدَةَ لَهُمَا تَحِيضُ سِتًّا أَوْ سَبْعًا، وَفِي هَذَا جَمْعٌ بَيْنَ السُّنَنِ الثَّلَاثِ الْوَارِدَةِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي الْمُسْتَحَاضَةِ.
Bahwa wanita yang biasa haid kembali kepada kebiasaannya, wanita yang dapat membedakan kembali kepada tindakan dengan pembedaan, dan wanita yang kehilangan keduanya haid selama enam atau tujuh hari, dan dalam hal ini terdapat penggabungan antara tiga sunnah yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ tentang wanita yang mengalami istihadhah.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "الْعَلَامَاتُ الَّتِي قِيلَ بِهَا سِتٌّ: إِمَّا الْعَادَةُ؛ فَإِنَّ الْعَادَةَ أَقْوَى الْعَلَامَاتِ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ مُقَامُ الْحَيْضِ دُونَ غَيْرِهِ، وَإِمَّا التَّمْيِيزُ لِأَنَّ الدَّمَ الْأَسْوَدَ وَالثَّخِينَ الْمُنْتِنَ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ حَيْضًا مِنَ الْأَحْمَرِ، وَأَمَّا اعْتِبَارُ غَالِبِ عَادَةِ النِّسَاءِ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ إِلْحَاقُ الْفَرْدِ بِالْأَعَمِّ الْأَغْلَبِ؛ فَهَذِهِ الْعَلَامَاتُ الثَّلَاثُ تَدُلُّ عَلَيْهَا السُّنَّةُ وَالِاعْتِبَارُ"، ثُمَّ ذَكَرَ بَقِيَّةَ الْعَلَامَاتِ الَّتِي قِيلَ بِهَا.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Tanda-tanda yang disebutkan ada enam: Pertama, kebiasaan; karena kebiasaan adalah tanda terkuat; karena pada dasarnya haid menempati posisi selain yang lain. Kedua, pembedaan karena darah hitam, kental, dan berbau lebih utama menjadi darah haid daripada yang merah. Ketiga, mempertimbangkan kebiasaan umum wanita; karena pada dasarnya individu dikaitkan dengan yang paling umum dan dominan; maka ketiga tanda ini ditunjukkan oleh Sunnah dan pertimbangan," kemudian ia menyebutkan sisa tanda-tanda yang disebutkan.
وَقَالَ فِي "النِّهَايَةِ": "وَأَصْوَبُ الْأَقْوَالِ اعْتِبَارُ الْعَلَامَاتِ الَّتِي جَاءَتْ بِهَا السُّنَّةُ، وَإِلْغَاءُ مَا سِوَى ذَلِكَ" انْتَهَى.
Dia berkata dalam "An-Nihayah": "Pendapat yang paling tepat adalah mempertimbangkan tanda-tanda yang disebutkan dalam Sunnah, dan mengabaikan selain itu." Selesai.
مَا يَلْزَمُ الْمُسْتَحَاضَةَ فِي حَالِ الْحُكْمِ بِطَهَارَتِهَا:
Apa yang harus dilakukan oleh wanita yang mengalami istihadhah ketika dihukumi suci:
١ يَجِبُ عَلَيْهَا أَنْ تَغْتَسِلَ عِنْدَ نِهَايَةِ حَيْضَتِهَا الْمُعْتَبَرَةِ حَسْبَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ.
1. Dia wajib mandi ketika akhir haidnya yang dianggap sah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
٢ تَغْسِلُ فَرْجَهَا لِإِزَالَةِ مَاعَلَيْهِ مِنَ الْخَارِجِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ، وَتَجْعَلُ فِي الْمَخْرَجِ قُطْنًا وَنَحْوَهُ يَمْنَعُ الْخَارِجَ، وَتَشُدُّ عَلَيْهِ مَا يُمْسِكُهُ مِنَ السُّقُوطِ، ثُمَّ تَتَوَضَّأُ عِنْدَ دُخُولِ وَقْتِ كُلِّ صَلَاةٍ.
2. Dia mencuci kemaluannya untuk menghilangkan apa yang keluar darinya setiap kali shalat, dan memasukkan kapas atau sejenisnya ke dalam lubang untuk mencegah keluarnya darah, dan mengikatnya dengan sesuatu yang menahannya dari jatuh, kemudian berwudhu ketika masuk waktu setiap shalat.
لِقَوْلِهِ ﷺ فِي الْمُسْتَحَاضَةِ: "تَدَعُ الصَّلَاةَ أَيَّامَ إِقْرَائِهَا، ثُمَّ تَغْتَسِلُ وَتَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: "حَدِيثٌ حَسَنٌ"، وَقَالَ ﷺ: "انْعَتْ لَكِ الْكُرْسُفَ، تَحْشِينَ بِهِ الْمَكَانَ"، وَالْكُرْسُفُ الْقُطْنُ، وَيُمْكِنُ اسْتِعْمَالُ الْحَفَائِظِ الطِّبِّيَّةِ الْمَوْجُودَةِ الْآنَ.
Berdasarkan sabda Nabi ﷺ tentang wanita yang mengalami istihadhah: "Tinggalkan shalat pada hari-hari haidnya, kemudian mandi dan berwudhu setiap kali shalat", diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi yang mengatakan: "Hadits hasan", dan Nabi ﷺ bersabda: "Sediakan kapas untuk dirimu, isilah tempat itu dengannya", dan kapas adalah katun, dan sekarang bisa menggunakan pembalut medis yang tersedia.
ثَالِثًا: النِّفَاسُ وَأَحْكَامُهُ:
Ketiga: Nifas dan hukum-hukumnya:
وَالنِّفَاسُ كَالْحَيْضِ فِيمَا يَحِلُّ؛ كَالِاسْتِمْتَاعِ مِنْهَا بِمَا دُونَ الْفَرْجِ،
Nifas seperti haid dalam hal yang diperbolehkan; seperti bersenang-senang dengannya selain pada kemaluannya,
وَفِيمَا يَحْرُمُ؛ كَالْوَطْأِ فِي الْفَرْجِ وَمَنْعِ الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالطَّلَاقِ وَالطَّوَافِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَاللُّبْثِ فِي الْمَسْجِدِ، وَفِي وُجُوبِ الْغُسْلِ عَلَى النُّفَسَاءِ عِنْدَ انْقِطَاعِ دَمِهَا كَالْحَيْضِ، وَيَجِبُ عَلَيْهَا أَنْ تَقْضِيَ الصِّيَامَ دُونَ الصَّلَاةِ؛ فَلَا تَقْضِيهَا كَالْحَائِضِ.
Dan dalam hal-hal yang diharamkan; seperti bersetubuh di kemaluan, larangan berpuasa, shalat, talak, thawaf, membaca Al-Qur'an, dan berdiam di masjid, dan dalam kewajiban mandi bagi wanita nifas ketika darahnya berhenti seperti haid, dan dia wajib mengqadha puasa tanpa shalat; maka dia tidak mengqadhanya seperti wanita haid.
وَالنِّفَاسُ دَمُ تَرْخِيَةِ الرَّحِمِ لِلْوِلَادَةِ وَبَعْدَهَا، وَهُوَ بَقِيَّةُ الدَّمِ الَّذِي احْتَبَسَ فِي مُدَّةِ الْحَمْلِ، وَأَكْثَرُ مُدَّتِهِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ أَرْبَعُونَ يَوْمًا.
Nifas adalah darah yang melonggarkan rahim untuk melahirkan dan setelahnya, dan itu adalah sisa darah yang tertahan selama masa kehamilan, dan masa maksimalnya menurut jumhur ulama adalah empat puluh hari.
قَالَ التِّرْمِذِيُّ "أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ عَلَى أَنَّ النُّفَسَاءَ تَدَعُ الصَّلَاةَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا؛ إِلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ؛ فَتَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي" اهـ.
At-Tirmidzi berkata, "Para ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang setelah mereka sepakat bahwa wanita nifas meninggalkan shalat selama empat puluh hari; kecuali jika dia melihat suci sebelum itu; maka dia mandi dan shalat." Selesai.
فَإِذَا انْقَطَعَ دَمُ النُّفَسَاءِ قَبْلَ الْأَرْبَعِينَ؛ فَقَدِ انْتَهَى نِفَاسُهَا، فَتَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي وَتُزَاوِلُ مَا مُنِعَتْ مِنْهُ بِسَبَبِ النِّفَاسِ
Jika darah nifas berhenti sebelum empat puluh hari; maka nifasnya telah berakhir, lalu dia mandi, shalat, dan melakukan apa yang dilarang darinya karena nifas.
وَإِذَا أَلْقَتِ الْحَامِلُ مَا تَبَيَّنَ فِيهِ خَلْقُ إِنْسَانٍ، بِأَنْ كَانَ فِيهِ تَخْطِيطٌ، وَصَارَ مَعَهَا دَمٌ بَعْدَهُ؛ فَلَهَا أَحْكَامُ النُّفَسَاءِ، وَالْمُدَّةُ الَّتِي يَتَبَيَّنُ فِيهَا خَلْقُ الْإِنْسَانِ فِي الْحَمْلِ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ غَالِبًا، وَأَقَلُّهَا وَاحِدٌ وَثَمَانُونَ يَوْمًا، وَإِنْ أَلْقَتْ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً؛ لَمْ يَتَبَيَّنْ فِيهَا تَخْطِيطُ إِنْسَانٍ؛ لَمْ تُعْتَبَرْ مَا يَنْزِلُ بَعْدَهَا مِنَ الدَّمِ نِفَاسًا؛ فَلَا تَتْرُكُ الصَّلَاةَ وَلَا الصِّيَامَ، وَلَيْسَتْ لَهَا أَحْكَامُ النُّفَسَاءِ.
Jika wanita hamil mengeluarkan sesuatu yang terlihat padanya penciptaan manusia, dengan adanya garis-garis, dan bersamanya terdapat darah setelahnya; maka dia memiliki hukum-hukum wanita nifas, dan masa di mana penciptaan manusia terlihat dalam kehamilan umumnya adalah tiga bulan, dan minimalnya delapan puluh satu hari, dan jika dia mengeluarkan segumpal darah atau segumpal daging; yang tidak terlihat padanya garis-garis manusia; maka darah yang turun setelahnya tidak dianggap nifas; sehingga dia tidak meninggalkan shalat dan puasa, dan dia tidak memiliki hukum-hukum wanita nifas.
تَنْبِيهٌ هَامٌّ:
Peringatan penting:
وَهُنَا مَسْأَلَةٌ يَجِبُ التَّنْبِيهُ عَلَيْهَا، وَهِيَ أَنَّ الْبَعْضَ مِنَ النِّسَاءِ قَدْ تَتَنَاوَلُ دَوَاءً لِمَنْعِ نُزُولِ دَمِ الْحَيْضِ حَتَّى تَتَمَكَّنَ مِنْ صِيَامِ رَمَضَانَ أَوْ أَدَاءِ الْحَجِّ، فَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الْحُبُوبُ لِمَنْعِ نُزُولِ الدَّمِ فَتْرَةً وَلَا تَقْطَعُهُ؛ فَلَا بَأْسَ بِتَنَاوُلِهَا، وَإِنْ كَانَتْ تَقْطَعُ الْحَيْضَ قَطْعًا مُؤَبَّدًا؛ فَهَذَا لَا يَجُوزُ؛ إِلَّا بِإِذْنِ الزَّوْجِ؛ لِأَنَّ هَذَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ قَطْعُ النَّسْلِ.
Dan di sini ada masalah yang harus diperingatkan, yaitu bahwa sebagian wanita mungkin mengonsumsi obat untuk mencegah turunnya darah haid agar dapat berpuasa Ramadhan atau melaksanakan haji. Jika pil-pil ini untuk mencegah turunnya darah untuk sementara waktu dan tidak memotongnya; maka tidak apa-apa meminumnya. Namun jika memotong haid secara permanen; maka ini tidak boleh; kecuali dengan izin suami; karena ini akan mengakibatkan pemutusan keturunan.
هَذِهِ جُمَلٌ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ، مَرَرْنَا عَلَيْهَا مَرًّا سَرِيعًا، وَتَفَاصِيلُهَا تَحْتَاجُ إِلَى وَقْتٍ طَوِيلٍ، لَكِنْ يَجِبُ عَلَى مَنْ أَشْكَلَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْهَا أَوْ مِنْ غَيْرِهَا أَنْ يَسْأَلَ الْعُلَمَاءَ، فَيَسْجُدُ عِنْدَهُمْ إِنْ شَاءَ اللهُ مَا يُزِيلُ إِشْكَالَهُ، وَبِاللهِ التَّوْفِيقُ.
Ini adalah beberapa kalimat tentang hukum-hukum haid, yang kita lewati dengan cepat, dan rinciannya membutuhkan waktu yang lama. Namun, siapa pun yang mengalami kesulitan dengan sesuatu darinya atau yang lainnya, harus bertanya kepada para ulama, dan mereka akan bersujud di hadapan mereka, insya Allah, apa yang akan menghilangkan masalahnya, dan dengan pertolongan Allah.