Al Mulakhkhas Fiqhiy - Kitab Shalat

كِتَابُ الصَّلَاةِ

بَابٌ فِي وُجُوبِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ

كِتَابُ الصَّلَاةِ

Kitab Shalat

بَابٌ فِي وُجُوبِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ

Bab tentang kewajiban shalat lima waktu

الصَّلَاةُ هِيَ آكَدُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ، وَقَدْ وُضِعَتْ عَلَى أَكْمَلِ وُجُوهِ الْعِبَادَةِ وَأَحْسَنِهَا، وَقَدْ تَضَمَّنَتْ هَذِهِ الصَّلَاةُ كَثِيرًا مِنْ أَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ؛ مِنْ ذِكْرِ اللهِ، وَتِلَاوَةٍ لِكِتَابِهِ، وَقِيَامٍ بَيْنَ يَدَيِ اللهِ، وَرُكُوعٍ، وَسُجُودٍ، وَدُعَاءٍ، وَتَسْبِيحٍ، وَتَكْبِيرٍ، وَهِيَ رَأْسُ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ، وَلَمْ تَخْلُ مِنْهَا شَرِيعَةُ رَسُولٍ مِنْ رُسُلِ اللهِ.

Shalat adalah rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat, dan telah ditetapkan dalam bentuk ibadah yang paling sempurna dan terbaik. Shalat ini mencakup banyak jenis ibadah; seperti dzikir kepada Allah, membaca kitab-Nya, berdiri di hadapan Allah, ruku', sujud, doa, tasbih, dan takbir. Ia adalah puncak ibadah fisik, dan tidak ada syariat seorang rasul pun dari para rasul Allah yang kosong darinya.

وَقَدْ فَرَضَهَا اللهُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍصلى الله عليه وسلم خَاتَمِ الرُّسُلِ لَيْلَةَ الْمِعْرَاجِ فِي السَّمَاءِ؛ بِخِلَافِ سَائِرِ الشَّرَائِعِ؛ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى عَظَمَتِهَا وَتَأَكُّدِ وُجُوبِهَا وَمَكَانَتِهَا عِنْدَ اللهِ.

Allah telah mewajibkannya kepada Nabi-Nya Muhammad ﷺ, penutup para rasul, pada malam Isra' Mi'raj di langit; berbeda dengan syariat-syariat lainnya. Hal ini menunjukkan keagungannya, penegasan kewajibannya, dan kedudukannya di sisi Allah.

وَقَدْ جَاءَ فِي فَضْلِهَا وَوُجُوبِهَا عَلَى الْأَعْيَانِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ، وَفَرْضِيَّتُهَا مَعْلُومَةٌ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ بِالضَّرُورَةِ، فَمَنْ جَحَدَهَا؛ فَقَدْ ارْتَدَّ عَنْ دِينِ الْإِسْلَامِ، يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلَّا؛ قُتِلَ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ.

Dan telah datang dalam keutamaan dan kewajibannya atas individu banyak hadits, dan kefarduannya diketahui dari agama Islam secara darurat, maka barangsiapa yang mengingkarinya; maka sungguh dia telah murtad dari agama Islam, diminta untuk bertaubat, jika dia bertaubat, jika tidak; dibunuh dengan ijma' kaum muslimin.

وَالصَّلَاةُ فِي اللُّغَةِ: الدُّعَاءُ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَصَلِّ عَلَيْهِمْ﴾؛ أَيْ: ادْعُ لَهُمْ.

Dan shalat dalam bahasa: doa, Allah Ta'ala berfirman: "Dan berdoalah untuk mereka"; yaitu: berdoalah untuk mereka.

وَمَعْنَاهَا فِي الشَّرْعِ: أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مَخْصُوصَةٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ.

Dan maknanya dalam syariat: ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam.

سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِاشْتِمَالِهَا عَلَى الدُّعَاءِ؛ فَالْمُصَلِّي لَا يَنْفَكُّ عَنْ دُعَاءِ عِبَادَةٍ أَوْ ثَنَاءٍ أَوْ طَلَبٍ؛ فَلِذَلِكَ سُمِّيَتْ صَلَاةً، وَقَدْ فُرِضَتْ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ قَبْلَ الْهِجْرَةِ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ بِدُخُولِ أَوْقَاتِهَا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ.

Dinamakan demikian karena mencakup doa; maka orang yang shalat tidak lepas dari doa ibadah, pujian, atau permintaan; maka karena itu dinamakan shalat, dan telah diwajibkan pada malam Isra' sebelum hijrah lima shalat dalam sehari semalam dengan masuknya waktu-waktunya atas setiap muslim mukallaf.

قَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا﴾؛ أَيْ: مَفْرُوضًا فِي الْأَوْقَاتِ الَّتِي بَيَّنَهَا رَسُولُ اللَّهِ بِقَوْلِهِ وَبِفِعْلِهِ.

Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman"; yaitu: diwajibkan pada waktu-waktu yang dijelaskan oleh Rasulullah dengan perkataannya dan perbuatannya.

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ﴾ .

Dan Allah Ta'ala berfirman: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat".

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ﴾؛ فِي مَوَاضِعَ كَثِيرَةٍ مِنْ كِتَابِهِ الْكَرِيمِ.

Dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan dirikanlah shalat"; di banyak tempat dalam Kitab-Nya yang mulia.

وَقَالَ تَعَالَى ﴿قُلْ لِعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا يُقِيمُوا الصَّلَاةَ﴾ .

Dan Allah Ta'ala berfirman "Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat".

وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ. وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِينَ تُظْهِرُونَ﴾، فَمَنْ أَتَى عَلَيْهِ وَقْتُهَا وَهُوَ بَالِغٌ عَاقِلٌ؛ وَجَبَتْ عَلَيْهِ؛ إِلَّا حَائِضًا وَنُفَسَاءَ؛ فَلَا تَجِبُ عَلَيْهِمَا، وَلَا يَقْضِيَانِهَا إِذَا طَهُرَتَا إِجْمَاعًا، وَمَنْ كَانَ زَائِلَ الْعَقْلِ بِنَوْمٍ أَوْ إِغْمَاءٍ وَنَحْوِهِ؛ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ حِينَ يَصْحُوَا.

Dan Allah berfirman: "Maka bertasbihlah kepada Allah pada waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh. Dan bagi-Nya-lah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu Zuhur." Maka barangsiapa yang telah sampai waktunya dan dia telah baligh dan berakal, maka wajib atasnya shalat, kecuali wanita haid dan nifas, maka tidak wajib atas keduanya dan tidak pula mengqadha'nya apabila telah suci dengan ijma'. Dan barangsiapa yang hilang akalnya karena tidur atau pingsan dan sejenisnya, maka wajib atasnya mengqadha ketika dia sadar.

قَالَ تَعَالَى: ﴿وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي﴾ .

Allah Ta'ala berfirman: "Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku."

وَقَالَ: "مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا؛ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dan Nabi bersabda: "Barangsiapa yang tertidur dari shalat atau melupakannya, maka hendaklah dia shalat ketika dia mengingatnya", diriwayatkan oleh Muslim.

وَيَلْزَمُ وَلِيُّ الصَّغِيرِ أَنْ يَأْمُرَ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ وَإِنْ كَانَتْ لَا تَجِبُ عَلَيْهِنَّ وَلَكِنْ؛ لِيَهْتَمَّ بِهَا، وَيَتَمَرَّنَ عَلَيْهَا، وَلِيُكْتَبَ لَهُ وَلِوَلِيِّهِ الْأَجْرُ إِذَا صَلَّى؛ لِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا﴾، وَقَوْلِهِ لَمَّا رُفِعَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا، فَقَالَتْ: أَلِهَذَا حَجٌّ؟ قَالَ: "نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ"، فَيُعَلِّمُهُ وَلِيُّهُ الصَّلَاةَ وَالطَّهَارَةَ لَهَا.

Wajib bagi wali anak kecil untuk memerintahkan shalat jika telah mencapai usia tujuh tahun meskipun belum wajib atas mereka, tetapi agar dia memperhatikannya dan berlatih melakukannya, dan agar ditulis baginya dan bagi walinya pahala jika dia shalat, karena keumuman firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang datang dengan kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat", dan sabda Nabi ketika seorang wanita mengangkat seorang anak kecil kepadanya, lalu dia bertanya: "Apakah anak ini mendapatkan haji?" Beliau menjawab: "Ya, dan bagimu pahala", maka hendaklah walinya mengajarkan shalat dan bersuci untuknya.

وَيَجِبُ عَلَى الْوَلِيِّ أَنْ يَضْرِبَ الصَّغِيرَ إِذَا تَهَاوَنَ بِالصَّلَاةِ وَقَدْ بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ، لِقَوْلِهِ: "مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُمْ.

Wajib bagi wali untuk memukul anak kecil jika dia lalai dalam shalat dan telah mencapai usia sepuluh tahun, berdasarkan sabda Nabi: "Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika meninggalkannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka", diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lainnya.

وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ عَنْ وَقْتِهَا، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا﴾؛ أَيْ: مَفْرُوضَةً فِي أَوْقَاتٍ مُعَيَّنَةٍ، لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْهَا؛ إِلَّا لِمَنْ يُرِيدُ جَمْعَهَا مَعَ مَا بَعْدَهَا جَمْعَ تَأْخِيرٍ، إِذَا كَانَتْ مِمَّا يُجْمَعُ، وَكَانَ يُبَاحُ لَهُمُ الْجَمْعُ،

Dan tidak boleh menunda shalat dari waktunya, Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman"; artinya: diwajibkan pada waktu-waktu tertentu, tidak boleh menundanya dari waktu tersebut; kecuali bagi yang ingin menjamaknya dengan shalat setelahnya secara jama' ta'khir, jika shalat tersebut termasuk yang bisa dijamak, dan dibolehkan bagi mereka untuk menjamak,

وَأَمَّا تَأْخِيرُ صَلَاةِ اللَّيْلِ إِلَى النَّهَارِ أَوْ صَلَاةِ النَّهَارِ إِلَى اللَّيْلِ أَوِ الْفَجْرِ إِلَى مَا بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ؛ فَلَا يَجُوزُ بِحَالٍ مِنَ الْأَحْوَالِ؛ لَا لِجَنَابَةٍ، وَلَا نَجَاسَةٍ، وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ، بَلْ يُصَلِّيهَا فِي وَقْتِهَا عَلَى حَسَبِ حَالِهِ.

Adapun menunda shalat malam ke siang hari atau shalat siang ke malam hari atau shalat Subuh hingga setelah terbit matahari; maka tidak boleh dalam keadaan apapun; tidak karena junub, najis, atau lainnya, bahkan ia harus melaksanakannya pada waktunya sesuai dengan kondisinya.

وَبَعْضُ الْجُهَّالِ قَدْ يَكُونُ فِي حَالَةِ عِلَاجٍ فِي الْمُسْتَشْفَى عَلَى سَرِيرٍ يَسْتَطِيعُ النُّزُولَ مِنْهُ، أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ تَغْيِيرَ ثِيَابِهِ الَّتِي عَلَيْهَا نَجَاسَةٌ، أَوْ لَيْسَ عِنْدَهُ تُرَابٌ يَتَيَمَّمُ بِهِ، أَوْ لَا يَجِدُ مَنْ يُنَاوِلُهُ إِيَّاهُ؛ فَيُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا، وَيَقُولُ: أُصَلِّيهَا فِيمَا بَعْدُ إِذَا زَالَ الْعُذْرُ، وَهَذَا خَطَأٌ عَظِيمٌ، وَتَضْيِيعٌ لِلصَّلَاةِ، أَوْقَعَهُ فِيهِ الْجَهْلُ وَعَدَمُ السُّؤَالِ؛

Sebagian orang-orang bodoh mungkin sedang dalam keadaan pengobatan di rumah sakit di atas ranjang yang bisa turun darinya, atau tidak bisa mengganti pakaiannya yang terkena najis, atau tidak memiliki debu untuk bertayamum, atau tidak menemukan orang yang bisa memberikannya; lalu ia menunda shalat dari waktunya, dan berkata: Aku akan melaksanakannya nanti jika uzur telah hilang, dan ini adalah kesalahan besar, menyia-nyiakan shalat, yang disebabkan oleh kebodohan dan tidak bertanya;

فَالْوَاجِبُ عَلَى مِثْلِ هَذَا أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ فِي الْوَقْتِ، وَتُجْزِئُهُ صَلَاتُهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ، وَلَوْ صَلَّى بِدُونِ تَيَمُّمٍ أَوْ بِثِيَابٍ نَجِسَةٍ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم﴾، حَتَّى وَلَوْ صَلَّى إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ إِذَا كَانَ لَا يَسْتَطِيعُ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ؛ فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ.

Maka wajib bagi orang seperti ini untuk shalat sesuai kondisinya pada waktunya, dan shalatnya sah dalam keadaan ini, meskipun ia shalat tanpa tayamum atau dengan pakaian yang najis, Allah Ta'ala berfirman: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu", bahkan jika ia shalat tidak menghadap kiblat jika ia tidak mampu menghadap kiblat; maka shalatnya sah.

وَمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ تَهَاوُنًا أَوْ كَسَلًا مِنْ غَيْرِ جَحْدٍ لِوُجُوبِهَا؛ كَفَرَ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ، بَلْ هُوَ الصَّوَابُ الَّذِي تَدُلُّ عَلَيْهِ الْأَدِلَّةُ كَحَدِيثِ: "بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَغَيْرُهُ مِنَ الْأَدِلَّةِ.

Dan barangsiapa yang meninggalkan shalat karena meremehkan atau malas tanpa mengingkari kewajibannya; maka dia telah kafir menurut pendapat yang benar dari dua pendapat ulama, bahkan itu adalah kebenaran yang ditunjukkan oleh dalil-dalil seperti hadits: "Antara seorang laki-laki dan kekufuran adalah meninggalkan shalat", diriwayatkan oleh Muslim, dan dalil-dalil lainnya.

وَيَنْبَغِي الْإِشَاعَةُ عَنْ تَارِكِهَا بِتَرْكِهَا لِيَفْتَضِحَ حَتَّى يُصَلِّيَ، وَلَا يَنْبَغِي السَّلَامُ عَلَيْهِ، وَلَا إِجَابَةُ دَعْوَتِهِ، حَتَّى يَتُوبَ وَيُقِيمَ الصَّلَاةَ؛ لِأَنَّ الصَّلَاةَ عَمُودُ الدِّينِ، وَهِيَ الْفَارِقَةُ بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالْكَافِرِ؛ فَمَهْمَا عَمِلَ الْعَبْدُ مِنَ الْأَعْمَالِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُهُ مَا دَامَ مُضَيِّعًا لِلصَّلَاةِ.

Dan seharusnya disebarkan tentang orang yang meninggalkannya bahwa dia telah meninggalkannya agar dia merasa malu sehingga dia shalat, dan tidak seharusnya memberi salam kepadanya, tidak juga memenuhi undangannya, sampai dia bertaubat dan mendirikan shalat; karena shalat adalah tiang agama, dan ia adalah pembeda antara seorang Muslim dan orang kafir; maka apa pun yang dilakukan seorang hamba dari amalan-amalan; maka itu tidak bermanfaat baginya selama dia menyia-nyiakan shalat.

نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ.

Kita memohon kepada Allah keselamatan.

بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ

بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ

Bab tentang hukum-hukum adzan dan iqamah

لَمَّا كَانَتِ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ مُؤَقَّتَةً بِأَوْقَاتٍ مُعَيَّنَةٍ لَا يَجُوزُ فِعْلُهَا قَبْلَ دُخُولِ تِلْكَ الْأَوْقَاتِ، وَكَانَ الْكَثِيرُ مِنَ النَّاسِ لَا يَعْرِفُ دُخُولَ الْوَقْتِ، أَوْ قَدْ يَكُونُ مَشْغُولًا لَا يَنْتَبِهُ لِدُخُولِهِ؛ شَرَعَ اللهُ الْأَذَانَ لِلصَّلَاةِ؛ إِعْلَامًا بِدُخُولِ وَقْتِهَا.

Ketika shalat lima waktu ditentukan pada waktu-waktu tertentu yang tidak boleh dilakukan sebelum masuknya waktu-waktu tersebut, dan banyak orang tidak mengetahui masuknya waktu, atau mungkin sibuk sehingga tidak menyadari masuknya waktu; Allah mensyariatkan adzan untuk shalat; sebagai pemberitahuan masuknya waktunya.

وَقَدْ شُرِعَ الْأَذَانُ فِي السَّنَةِ الْأُولَى لِلْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ، وَسَبَبُ مَشْرُوعِيَّتِهِ أَنَّهُ لَمَّا عَسُرَ مَعْرِفَةُ الْأَوْقَاتِ عَلَيْهِمْ؛ تَشَاوَرُوا فِي نَصْبِ عَلَامَةٍ لَهَا؛ فَأُرِيَ عَبْدُ اللهِ بْنُ زَيْدٍ هَذَا الْأَذَانَ فِي الْمَنَامِ، وَأَقَرَّهُ الْوَحْيُ،

Adzan disyariatkan pada tahun pertama hijrah Nabi, dan sebab pensyariatannya adalah ketika sulit bagi mereka untuk mengetahui waktu-waktu shalat; mereka bermusyawarah untuk menetapkan tanda-tanda untuknya; lalu Abdullah bin Zaid diperlihatkan adzan ini dalam mimpi, dan wahyu menyetujuinya,

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ﴾،

dan Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli,"

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ﴾ .

dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat."

وَكُلٌّ مِنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ لَهُمَا أَلْفَاظٌ مَخْصُوصَةٌ مِنَ الذِّكْرِ، وَهُوَ كَلَامٌ جَامِعٌ لِعَقِيدَةِ الْإِيمَانِ؛ فَأَوَّلُهُمَا التَّكْبِيرُ، وَهُوَ إِجْلَالُ اللهِ ﷿، ثُمَّ إِثْبَاتُ الْوَحْدَانِيَّةِ لِلَّهِ ﷿، وَإِثْبَاتُ الرِّسَالَةِ لِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ بِالشَّهَادَتَيْنِ، ثُمَّ الدُّعَاءُ إِلَى الصَّلَاةِ الَّتِي هِيَ عَمُودُ الْإِسْلَامِ، وَالدُّعَاءُ إِلَى الْفَلَاحِ، وَهُوَ الْفَوْزُ وَالْبَقَاءُ فِي النَّعِيمِ الْمُقِيمِ، ثُمَّ يَخْتِمُهُ بِتَكْبِيرِ اللهِ وَإِجْلَالِهِ وَكَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ الَّتِي هِيَ مِنْ أَفْضَلِ الذِّكْرِ وَأَجَلِّهِ، وَالَّتِي لَوْ وُزِنَتْ بِالسَّمَاوَاتِ وَعَامِرِهِنَّ غَيْرَ اللهِ وَالْأَرَضِينَ السَّبْعَ وَعَامِرِهِنَّ؛ لَرَجَحَتْ بِهِنَّ لِعَظَمِهَا وَفَضْلِهَا.

Baik adzan maupun iqamah memiliki lafal-lafal khusus dari dzikir, dan itu adalah perkataan yang mencakup akidah iman; yang pertama adalah takbir, yaitu mengagungkan Allah ﷿, kemudian menetapkan keesaan Allah ﷿, dan menetapkan kerasulan Nabi kita Muhammad dengan dua kalimat syahadat, kemudian seruan untuk shalat yang merupakan tiang Islam, dan seruan untuk keberuntungan, yaitu kemenangan dan keabadian dalam kenikmatan yang kekal, kemudian diakhiri dengan bertakbir kepada Allah dan mengagungkan-Nya serta kalimat ikhlas yang merupakan dzikir terbaik dan paling agung, yang seandainya ditimbang dengan langit dan penghuninya selain Allah serta tujuh bumi dan penghuninya; niscaya akan lebih berat karena keagungan dan keutamaannya.

وَقَدْ جَاءَتْ أَحَادِيثُ فِي فَضْلِ الْأَذَانِ وَأَنَّ الْمُؤَذِّنِينَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Telah datang hadits-hadits tentang keutamaan adzan dan bahwa para muadzin adalah orang-orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat.

وَالْأَذَانُ وَالْإِقَامَةُ فَرْضُ كِفَايَةٍ مَا يَلْزَمُ جَمِيعَ الْمُسْلِمِينَ لِإِقَامَتِهِ، فَإِذَا قَامَ بِهِ مَنْ يَكْفِي؛ سَقَطَ الْإِثْمُ عَنِ الْبَاقِينَ، وَهُمَا مِنْ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ الظَّاهِرَةِ، وَهُمَا مَشْرُوعَانِ فِي حَقِّ الرِّجَالِ حَضَرًا وَسَفَرًا لِلصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، يُقَاتَلُ أَهْلُ بَلَدٍ تَرَكُوهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا مِنْ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ الظَّاهِرَةِ؛ فَلَا يَجُوزُ تَعْطِيلُهُمَا.

Adzan dan iqamah adalah fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Islam, jika telah dilaksanakan oleh orang yang mencukupi; maka gugurlah dosa dari yang lainnya, dan keduanya termasuk syiar Islam yang nyata, dan keduanya disyariatkan bagi laki-laki baik dalam keadaan mukim maupun safar untuk shalat lima waktu, penduduk suatu negeri yang meninggalkan keduanya diperangi; karena keduanya termasuk syiar Islam yang nyata; maka tidak boleh ditinggalkan.

وَالصِّفَاتُ الْمُعْتَبَرَةُ فِي الْمُؤَذِّنِ: أَنْ يَكُونَ صَيِّتًا؛ لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي الْإِعْلَامِ، أَمِينًا؛ لِأَنَّهُ مُؤْتَمَنٌ يُعْتَبَرُ أَذَانُهُ فِي دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْإِفْطَارِ،

Sifat-sifat yang dipertimbangkan pada muadzin: hendaknya dia bersuara lantang; karena itu lebih menyampaikan dalam pemberitahuan, dapat dipercaya; karena dia adalah orang yang dipercaya, adzannya dijadikan pertimbangan dalam masuknya waktu shalat, puasa, dan berbuka,

وَيَكُونُ عَالِمًا بِالْوَقْتِ؛ لِيُؤَذِّنَ فِي أَوَّلِهِ.

Dan dia harus mengetahui waktu; agar dia mengumandangkan adzan di awalnya.

وَالْأَذَانُ خَمْسَ عَشْرَةَ جُمْلَةً، كَمَا كَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ بِهِ بِحَضْرَةِ رَسُولِ اللهِ دَائِمًا، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَمَهَّلَ بِأَلْفَاظِ الْأَذَانِ مِنْ غَيْرِ تَمْطِيطٍ وَلَا مَدٍّ مُفْرِطٍ، وَيَقِفُ عَلَى كُلِّ جُمْلَةٍ مِنْهُ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ حَالَ الْأَذَانِ، وَيَجْعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ؛ لِأَنَّهُ أَرْفَعُ لِلصَّوْتِ، وَيَلْتَفِتُ يَمِينًا عِنْدَ قَوْلِهِ: "حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ"، وَشِمَالًا عِنْدَ قَوْلِهِ: "حَيَّ إِلَى الْفَلَاحِ"، وَيَقُولُ بَعْدَ "حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ الثَّانِيَةِ" مِنْ أَذَانِ الْفَجْرِ خَاصَّةً: "الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ"، مَرَّتَيْنِ؛ لِأَمْرِهِ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ وَقْتٌ يَنَامُ النَّاسُ فِيهِ غَالِبًا، وَلَا يَجُوزُ الزِّيَادَةُ عَلَى أَلْفَاظِ الْأَذَانِ بِأَذْكَارٍ أُخْرَى قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ، يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنَ الْبِدَعِ الْمُحْدَثَةِ؛ فَكُلُّ مَا يُفْعَلُ غَيْرَ الْأَذَانِ الثَّابِتِ عَنْ رَسُولِ اللهِ؛ فَهُوَ بِدْعَةٌ مُحَرَّمَةٌ؛ كَالتَّسْبِيحِ، وَالنَّشِيدِ، وَالدُّعَاءِ، وَالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى الرَّسُولِ جَهْرًا قَبْلَ الْأَذَانِ أَوْ بَعْدَهُ، كُلُّ ذَلِكَ مُحْدَثٌ مُبْتَدَعٌ، يَحْرُمُ فِعْلُهُ، وَيَجِبُ إِنْكَارُهُ عَلَى مَنْ فَعَلَهُ.

Dan adzan terdiri dari lima belas kalimat, sebagaimana Bilal selalu mengumandangkannya di hadapan Rasulullah, dan dianjurkan untuk mengucapkan lafal adzan dengan perlahan tanpa memanjangkan atau melebih-lebihkan, dan berhenti pada setiap kalimatnya, dan dianjurkan untuk menghadap kiblat saat adzan, dan meletakkan kedua jarinya di telinganya; karena itu lebih keras suaranya, dan menoleh ke kanan saat mengucapkan: "Hayya 'alaṣ-ṣalāh", dan ke kiri saat mengucapkan: "Hayya 'alal-falāḥ", dan mengucapkan setelah "Hayya 'alal-falāḥ yang kedua" dari adzan Subuh khususnya: "Aṣ-ṣalātu khairun minan-naum", dua kali; karena diperintahkan demikian; karena itu adalah waktu di mana orang-orang biasanya tidur, dan tidak boleh menambahkan lafal adzan dengan dzikir lain sebelum atau sesudahnya, dengan mengeraskan suaranya; karena itu termasuk bid'ah yang diada-adakan; maka setiap yang dilakukan selain adzan yang tetap dari Rasulullah; maka itu adalah bid'ah yang diharamkan; seperti tasbih, nyanyian, doa, dan shalawat serta salam kepada Rasul dengan suara keras sebelum adzan atau sesudahnya, semua itu adalah hal yang diada-adakan dan bid'ah, haram melakukannya, dan wajib mengingkarinya atas orang yang melakukannya.

وَالْإِقَامَةُ إِحْدَى عَشْرَةَ جُمْلَةً، يُحَدِّرُهَا أَيْ: يُسْرِعُ فِيهَا لِإِنْهَاءِ إِعْلَامِ الْحَاضِرِينَ؛ فَلَا دَاعِيَ لِلتَّرَسُّلِ فِيهَا، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَوَلَّى الْإِقَامَةَ مَنْ تَوَلَّى الْأَذَانَ، وَلَا يُقِيمُ إِلَّا بِإِذْنِ الْإِمَامِ؛ لِأَنَّ الْإِقَامَةَ مَنُوطٌ وَقْتُهَا بِنَظَرِ الْإِمَامِ؛ فَلَا تُقَامُ إِلَّا بِإِشَارَتِهِ، وَلَا يُجْزِئُ الْأَذَانُ قَبْلَ الْوَقْتِ؛ لِأَنَّهُ شُرِعَ الْإِعْلَامُ بِدُخُولِهِ؛ فَلَا يَحْصُلُ بِهِ الْمَقْصُودُ، وَلِأَنَّ فِيهِ تَغْرِيرًا لِمَنْ يَسْمَعُهُ؛ إِلَّا أَذَانَ الْفَجْرِ؛ فَيَجُوزُ تَقْدِيمُهُ قَبْلَ الصُّبْحِ؛ لِيَتَأَهَّبَ النَّاسُ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ، لَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يُؤَذِّنَ آذَانًا

Dan iqamah terdiri dari sebelas kalimat, ia mempercepat bacaannya yaitu: mempercepat untuk mengakhiri pemberitahuan kepada orang-orang yang hadir; maka tidak perlu bersantai-santai dalam melakukannya, dan dianjurkan agar iqamah dilakukan oleh orang yang melakukan adzan, dan tidak melakukan iqamah kecuali dengan izin imam; karena waktu iqamah terkait dengan pandangan imam; maka tidak dilakukan iqamah kecuali dengan isyaratnya, dan adzan tidak mencukupi jika dilakukan sebelum waktunya; karena adzan disyariatkan untuk memberitahu masuknya waktu shalat; maka tidak tercapai tujuan yang dimaksud dengannya, dan karena di dalamnya terdapat penipuan bagi orang yang mendengarnya; kecuali adzan Subuh; maka boleh mendahulukannya sebelum Subuh; agar orang-orang bersiap-siap untuk shalat Subuh, tetapi sebaiknya dia mengumandangkan adzan

آخِرُ عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ؛ لِيَعْرِفَ النَّاسُ دُخُولَ الْوَقْتِ وَحُلُولَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ.

Terakhir saat fajar; agar orang-orang mengetahui masuknya waktu dan tibanya shalat dan puasa.

وَيُسَنُّ لِمَنْ سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ إِجَابَتُهُ؛ بِأَنْ يَقُولَ مِثْلَ مَا يَقُولُ، وَيَقُولُ عِنْدَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ وَحَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ: "لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ"، ثُمَّ يَقُولُ بَعْدَمَا يَفْرُغُ الْمُؤَذِّنُ: "اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ الْمَقَامَ الْمَحْمُودَ الَّذِي وَعَدْتَهُ"،

Dan disunahkan bagi yang mendengar muadzin untuk menjawabnya; dengan mengatakan seperti yang dia katakan, dan mengatakan ketika Hayya 'alash-shalah dan Hayya 'alal-falah: "Laa haula wa laa quwwata illa billah", kemudian setelah muadzin selesai mengatakan: "Allahumma Rabba hadzihid-da'watit-tammah, wash-shalatil qa'imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab'atsul maqamal mahmuudal ladzi wa'adtah",

وَيَحْرُمُ الْخُرُوجُ مِنَ الْمَسْجِدِ بَعْدَ الْأَذَانِ بِلَا عُذْرٍ أَوْ نِيَّةِ رُجُوعٍ، وَإِذَا شَرَعَ الْمُؤَذِّنُ فِي الْأَذَانِ وَالْإِنْسَانُ جَالِسٌ؛ فَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَقُومَ، بَلْ يَصْبِرُ حَتَّى فَرَغَ؛ لِئَلَّا يَتَشَبَّهَ بِالشَّيْطَانِ.

Dan haram keluar dari masjid setelah adzan tanpa uzur atau niat kembali, dan jika muadzin memulai adzan dan seseorang sedang duduk; maka tidak sepatutnya dia berdiri, tetapi bersabar hingga selesai; agar tidak menyerupai setan.

وَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ إِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ أَنْ يَتَوَجَّهَ إِلَى الْمَسْجِدِ وَيَتْرُكَ سَائِرَ الْأَعْمَالِ الدُّنْيَوِيَّةِ.

Dan sepatutnya bagi seorang Muslim jika mendengar adzan untuk menuju ke masjid dan meninggalkan seluruh pekerjaan duniawi.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ﴾ الْآيَاتِ.

Allah Ta'ala berfirman: "Di rumah-rumah yang Allah izinkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, di sana bertasbih kepada-Nya pada waktu pagi dan petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang." Ayat-ayat.

وَالْإِقَامَةُ إِحْدَى عَشْرَةَ جُمْلَةً، يُحَدِّرُهَا – أَيْ: يُسْرِعُ فِيهَا – لِأَنَّهَا لِإِعْلَامِ الْحَاضِرِينَ، فَلَا دَاعِيَ لِلتَّرَسُّلِ فِيهَا، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَوَلَّى الْإِقَامَةَ مَنْ تَوَلَّى الْأَذَانَ، وَلَا يُقِيمُ إِلَّا بِإِذْنِ الْإِمَامِ، لِأَنَّ الْإِقَامَةَ مَنُوطٌ وَقْتُهَا بِنَظَرِ الْإِمَامِ، فَلَا تُقَامُ إِلَّا بِإِشَارَتِهِ

Dan iqamah terdiri dari sebelas kalimat, yang dia percepat - yaitu: mempercepat padanya - karena iqamah untuk memberitahu orang-orang yang hadir, maka tidak perlu pelan-pelan padanya, dan dianjurkan agar yang melakukan iqamah adalah yang melakukan adzan, dan tidak melakukan iqamah kecuali dengan izin imam, karena iqamah terkait waktunya dengan pandangan imam, maka tidak dilakukan iqamah kecuali dengan isyaratnya

بَابٌ فِي شُرُوطِ الصَّلَاةِ

بَابٌ فِي شُرُوطِ الصَّلَاةِ

Bab tentang syarat-syarat shalat

الشَّرْطُ لُغَةً: العَلَامَةُ.

Syarat secara bahasa: tanda.

وَشَرْعًا: مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ العَدَمُ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُودِهِ وُجُودٌ وَلَا عَدَمٌ لِذَاتِهِ، وَشُرُوطُ الصَّلَاةِ مَا تَتَوَقَّفُ صِحَّتُهَا عَلَيْهَا مَعَ الْإِمْكَانِ.

Dan secara syariat: apa yang jika tidak ada maka tidak ada, dan jika ada tidak harus ada atau tidak ada karena dirinya sendiri, dan syarat-syarat shalat adalah apa yang keabsahannya bergantung padanya jika memungkinkan.

وَلِلصَّلَاةِ شَرَائِطُ لَا تَصِحُّ إِلَّا بِهَا، إِذَا عُدِمَتْ أَوْ بَعْضُهَا؛ لَمْ تَصِحَّ الصَّلَاةُ، وَمِنْهَا:

Dan shalat memiliki syarat-syarat yang tidak sah kecuali dengannya, jika tidak ada atau sebagiannya; maka shalat tidak sah, di antaranya:

أَوَّلًا دُخُولُ وَقْتِهَا

Pertama, masuknya waktu shalat

قَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا﴾؛ أَيْ: مَفْرُوضًا فِي مُحَدَّدَةٍ؛ فَالتَّوْقِيتُ هُوَ التَّحْدِيدُ، وَقَدْ وَقَّتَ اللهُ الصَّلَاةَ؛ بِمَعْنَى أَنَّهُ سُبْحَانَهُ حَدَّدَ لَهَا وَقْتًا مِنَ الزَّمَانِ، وَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ لِلصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ أَوْقَاتًا مَخْصُوصَةً مَحْدُودَةً لَا يُجْزِئُ قَبْلَهَا.

Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman"; yaitu: diwajibkan pada waktu yang ditentukan; maka penentuan waktu adalah pembatasan, dan Allah telah menentukan waktu shalat; dalam arti bahwa Dia Mahasuci telah menentukan waktu untuknya dari masa, dan kaum muslimin telah sepakat bahwa shalat lima waktu memiliki waktu-waktu tertentu yang terbatas yang tidak mencukupi sebelumnya.

قَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: "الصَّلَاةُ لَهَا وَقْتٌ شَرَطَهُ اللهُ لَا تَصِحُّ إِلَّا بِهِ".

Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu berkata: "Shalat memiliki waktu yang Allah syaratkan, tidak sah kecuali dengannya".

فَالصَّلَاةُ تَجِبُ بِدُخُولِ وَقْتِهَا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ﴾، وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى فَضِيلَةِ الْإِتْيَانِ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا فِي الْجُمْلَةِ؛ لِهَذِهِ الْآيَةِ، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ﴾، وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ﴾

Shalat wajib dilakukan saat waktunya tiba; sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir". Para ulama telah sepakat tentang keutamaan melaksanakan shalat di awal waktunya secara umum; berdasarkan ayat ini, dan firman Allah Ta'ala: "Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan", dan firman-Nya: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu", dan Allah berfirman: "Dan orang-orang yang paling dahulu, merekalah yang didekatkan (kepada Allah)".

وَفِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّهُ سُئِلَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: "الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا"، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ﴾، وَمِنَ الْمُحَافَظَةِ عَلَيْهَا: الْإِتْيَانُ بِهَا أَوَّلَ وَقْتِهَا.

Dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) disebutkan bahwa Nabi ditanya: "Amalan apakah yang paling dicintai Allah?" Beliau menjawab: "Shalat pada waktunya". Allah Ta'ala berfirman: "Peliharalah semua shalat", dan termasuk memeliharanya adalah: melaksanakannya di awal waktunya.

وَالصَّلَوَاتُ الْمَفْرُوضَاتُ خَمْسٌ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، لِكُلِّ صَلَاةٍ مِنْهَا وَقْتٌ مُنَاسِبٌ اخْتَارَهُ اللهُ لَهَا، يَتَنَاسَبُ مَعَ أَحْوَالِ الْعِبَادِ، بِحَيْثُ يُؤَدُّونَ هَذِهِ الصَّلَوَاتِ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ، وَلَا تَحْبِسُهُمْ عَنْ أَعْمَالِهِمُ الْأُخْرَى، بَلْ تُعِينُهُمْ عَلَيْهَا، وَتُكَفِّرُ عَنْهُمْ خَطَايَاهُمُ الَّتِي يُصِيبُونَهَا؛ فَقَدْ شَبَّهَهَا النَّبِيُّ بِالنَّهْرِ الْجَارِي، الَّذِي يَغْتَسِلُ مِنْهُ الْإِنْسَانُ خَمْسَ مَرَّاتٍ، فَلَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ.

Shalat wajib ada lima dalam sehari semalam, setiap shalat memiliki waktu yang sesuai yang dipilih Allah untuknya, yang selaras dengan kondisi para hamba, sehingga mereka dapat melaksanakan shalat-shalat ini pada waktu-waktu tersebut, dan tidak menghalangi mereka dari pekerjaan lainnya, bahkan membantu mereka dalam mengerjakannya, serta menghapus dosa-dosa yang mereka lakukan; Nabi menyerupakannya dengan sungai yang mengalir, di mana seseorang mandi darinya lima kali, sehingga tidak tersisa sedikitpun kotoran padanya.

وَهَذِهِ الْمَوَاقِيتُ كَمَا يَلِي:

Dan waktu-waktu ini adalah sebagai berikut:

١ صَلَاةُ الظُّهْرِ: وَيَبْدَأُ وَقْتُهَا بِزَوَالِ الشَّمْسِ؛ أَيْ: مَيْلِهَا إِلَى الْمَغْرِبِ عَنْ خَطِّ الْمُسَامَتَةِ، وَهُوَ الدُّلُوكُ الْمَذْكُورُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ﴾، وَيُعْرَفُ الزَّوَالُ بِحُدُوثِ الظِّلِّ فِي جَانِبِ الْمَشْرِقِ بَعْدَ انْعِدَامِهِ مِنْ جَانِبِ الْمَغْرِبِ، وَيَمْتَدُّ وَقْتُ الظُّهْرِ إِلَى أَنْ يَصِيرَ ظِلُّ الشَّيْءِ مِثْلَهُ فِي الطُّولِ، ثُمَّ يَنْتَهِي بِذَلِكَ؛ لِقَوْلِهِ: "وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ" رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

1 Shalat Zhuhur: Waktunya dimulai dengan tergelincirnya matahari; yaitu: condongnya ke arah barat dari garis tengah langit, dan itulah yang disebut "duluk" dalam firman Allah Ta'ala: "Dirikanlah shalat karena tergelincirnya matahari", dan tergelincirnya matahari diketahui dengan munculnya bayangan di sebelah timur setelah tidak adanya bayangan di sebelah barat, dan waktu Zhuhur berlanjut hingga bayangan sesuatu menjadi sama panjangnya, kemudian berakhir dengannya; berdasarkan sabdanya: "Waktu Zhuhur adalah ketika matahari tergelincir dan bayangan seseorang seperti tingginya" diriwayatkan oleh Muslim.

وَيُسْتَحَبُّ تَعْجِيلُهَا فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ؛ إِلَّا فِي شِدَّةِ الْحَرِّ؛ فَيُسْتَحَبُّ تَأْخِيرُهَا إِلَى أَنْ يَنْكَسِرَ الْحَرُّ؛ لِقَوْلِهِ: "إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ؛ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ؛ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ".

Dan disunnahkan untuk menyegerakannya di awal waktu; kecuali dalam cuaca yang sangat panas; maka disunnahkan untuk menundanya hingga panas mereda; berdasarkan sabdanya: "Jika panas sangat terik; maka tundalah shalat; karena panas yang sangat terik berasal dari uap Jahannam".

٢ صَلَاةُ الْعَصْرِ: يَبْدَأُ وَقْتُهَا فِي نِهَايَةِ وَقْتِ الظُّهْرِ؛ أَيْ: مِنْ مَصِيرِ ظِلِّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَيَمْتَدُّ إِلَى اصْفِرَارِ الشَّمْسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ.

2 Shalat Ashar: Waktunya dimulai pada akhir waktu Zhuhur; yaitu: ketika bayangan segala sesuatu menjadi sama dengannya, dan berlanjut hingga menguningnya matahari menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama.

وَيُسَنُّ تَعْجِيلُهَا فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ، وَهِيَ الصَّلَاةُ الْوُسْطَى الَّتِي نَصَّ اللهُ عَلَيْهَا لِفَضْلِهَا، قَالَ تَعَالَى: ﴿حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى﴾، وَقَدْ ثَبَتَ فِي الْأَحَادِيثِ أَنَّهَا صَلَاةُ الْعَصْرِ.

Dan disunnahkan untuk menyegerakannya di awal waktu, dan ia adalah shalat Wustha yang Allah sebutkan secara khusus karena keutamaannya, Allah Ta'ala berfirman: "Peliharalah semua shalat dan shalat Wustha", dan telah ditetapkan dalam hadits-hadits bahwa ia adalah shalat Ashar.

٣ وَصَلَاةُ الْمَغْرِبِ: يَبْدَأُ وَقْتُهَا بِغُرُوبِ الشَّمْسِ؛ أَيْ: غُرُوبُ قُرْصِهَا جَمِيعِهِ؛ بِحَيْثُ لَا يُرَى مِنْهُ شَيْءٌ لَا مِنْ سَهْلٍ وَلَا مِنْ جَبَلٍ، وَيُعْرَفُ غُرُوبُ الشَّمْسِ أَيْضًا بِإِقْبَالِ ظَلْمَةِ اللَّيْلِ مِنَ الْمَشْرِقِ لِقَوْلِهِ: "إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا؛ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ" ثُمَّ يَمْتَدُّ وَقْتُ الْمَغْرِبِ إِلَى مَغِيبِ الشَّفَقِ الْأَحْمَرِ، وَالشَّفَقُ: بَيَاضٌ تُخَالِطُهُ حُمْرَةٌ، ثُمَّ تَذْهَبُ الْحُمْرَةُ وَيَبْقَى بَيَاضٌ خَالِصٌ ثُمَّ يَغِيبُ، فَيُسْتَدَلُّ بِغَيْبُوبَةِ الْبَيَاضِ عَلَى مَغِيبِ الْحُمْرَةِ.

3 Dan shalat Maghrib: waktunya dimulai dengan terbenamnya matahari; yaitu: terbenamnya seluruh piringan matahari; sehingga tidak terlihat darinya sesuatu pun baik dari dataran rendah maupun pegunungan, dan diketahui terbenamnya matahari juga dengan datangnya kegelapan malam dari arah timur berdasarkan sabdanya: "Jika malam telah datang dari sini, dan siang telah pergi dari sini; maka orang yang berpuasa telah berbuka" kemudian waktu Maghrib berlanjut hingga terbenamnya syafaq merah, dan syafaq adalah: putih yang bercampur merah, kemudian merah itu hilang dan tinggallah putih murni kemudian terbenam, maka terbenamnya putih itu menunjukkan terbenamnya merah.

وَيُسَنُّ تَعْجِيلُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا؛ لِمَا رَوَى التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ عَنْ سَلَمَةَ؛ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُصَلِّي الْمَغْرِبَ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَتَوَارَتْ بِالْحِجَابِ؛ قَالَ: "وَهُوَ قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ".

Dan disunahkan menyegerakan shalat Maghrib di awal waktunya; berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dishahihkannya dari Salamah; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa shalat Maghrib ketika matahari terbenam dan tertutup oleh hijab (awan); ia berkata: "Dan ini adalah pendapat para ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang setelah mereka".

٤ وَصَلَاةُ الْعِشَاءِ: يَبْدَأُ وَقْتُهَا بِانْتِهَاءِ وَقْتِ الْمَغْرِبِ؛ أَيْ: بِمَغِيبِ الشَّفَقِ الْأَحْمَرِ، وَيَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ الثَّانِي، وَيَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ: وَقْتُ اخْتِيَارٍ يَمْتَدُّ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ، وَوَقْتُ اضْطِرَارٍ مِنْ ثُلُثِ اللَّيْلِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ الثَّانِي.

4 Dan shalat Isya: waktunya dimulai dengan berakhirnya waktu Maghrib; yaitu: dengan terbenamnya syafaq merah, dan berlanjut hingga terbitnya fajar kedua, dan terbagi menjadi dua bagian: waktu pilihan yang berlanjut hingga sepertiga malam, dan waktu darurat dari sepertiga malam hingga terbitnya fajar kedua.

وَتَأْخِيرُ الصَّلَاةِ إِلَى آخِرِ الْوَقْتِ الْمُخْتَارِ "إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ" أَفْضَلُ إِنْ سَهُلَ فَإِنْ شَقَّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ؛ فَالْمُسْتَحَبُّ تَعْجِيلُهَا فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا؛ دَفْعًا لِلْمَشَقَّةِ.

Dan menunda shalat hingga akhir waktu pilihan "hingga sepertiga malam" lebih utama jika mudah, namun jika memberatkan bagi makmum; maka yang dianjurkan adalah menyegerakannya di awal waktu; untuk menghindari kesulitan.

وَيُكْرَهُ النَّوْمُ قَبْلَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ؛ لِئَلَّا يَسْتَغْرِقَ النَّائِمُ فَتَفُوتَهُ، وَيُكْرَهُ الْحَدِيثُ بَعْدَهَا، وَهُوَ التَّحَادُثُ مَعَ النَّاسِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَمْنَعُهُ مِنَ الْمُبَادَرَةِ بِالنَّوْمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ مُبَكِّرًا؛ فَيَنْبَغِي النَّوْمُ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ مُبَاشَرَةً؛ لِيَقُومَ فِي آخِرِ اللَّيْلِ، فَيَتَهَجَّدَ، وَيُصَلِّيَ الْفَجْرَ بِنَشَاطٍ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا.

Tidur sebelum shalat Isya itu makruh; agar orang yang tidur tidak terlelap sehingga melewatkannya, dan makruh pula berbincang setelahnya, yaitu mengobrol dengan orang-orang; karena hal itu mencegahnya untuk segera tidur hingga bangun pagi; maka sebaiknya tidur setelah shalat Isya secara langsung; agar dapat bangun di akhir malam, lalu bertahajud, dan shalat Subuh dengan semangat; karena Nabi membenci tidur sebelumnya dan berbincang setelahnya.

وَهَذَا إِذَا كَانَ سَهَرُهُ بَعْدَ الْعِشَاءِ مِنْ غَيْرِ فَائِدَةٍ، أَمَّا إِذَا كَانَ لِغَرَضٍ صَحِيحٍ وَحَاجَةٍ مُفِيدَةٍ؛ فَلَا بَأْسَ.

Ini jika begadangnya setelah Isya tanpa manfaat, adapun jika untuk tujuan yang benar dan kebutuhan yang bermanfaat; maka tidak mengapa.

٥ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ يَبْدَأُ وَقْتُهَا بِطُلُوعِ الْفَجْرِ الثَّانِي، وَيَمْتَدُّ إِلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ، وَيُسْتَحَبُّ تَعْجِيلُهَا إِذَا تَحَقَّقَ طُلُوعُ الْفَجْرِ.

5 Waktu shalat Subuh dimulai dengan terbitnya fajar kedua, dan berlanjut hingga terbitnya matahari, dan dianjurkan untuk menyegerakannya jika telah dipastikan terbitnya fajar.

هَذِهِ مَوَاقِيتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ الَّتِي فَرَضَهَا اللهُ فِيهَا؛ فَعَلَيْكَ بِالتَّقَيُّدِ بِهَا؛ بِحَيْثُ لَا تُصَلِّيهَا قَبْلَ وَقْتِهَا، وَلَا تُؤَخِّرُهَا عَنْهُ؛ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ﴾؛ أَيْ: الَّذِينَ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ أَوْقَاتِهَا، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ﴾

Inilah waktu-waktu shalat lima waktu yang Allah wajibkan di dalamnya; maka wajib bagimu untuk mematuhinya; dengan tidak melaksanakannya sebelum waktunya, dan tidak menundanya dari waktunya; Allah Ta'ala berfirman: "Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya"; yaitu: orang-orang yang menunda shalat dari waktunya, dan Allah Ta'ala berfirman: "Maka datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu, maka mereka kelak akan tersesat, kecuali orang yang bertaubat"

وَمَعْنَى أَضَاعُوهَا: أَخَّرُوهَا عَنْ وَقْتِهَا؛ فَالَّذِي يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا سَمَّاهُ اللهُ سَاهِيًا عَنْهَا وَمُضِيعًا لَهَا، وَتَوَعَّدَهُ بِالْوَيْلِ وَالْغَيِّ، وَهُوَ وَادٍ فِي جَهَنَّمَ، مَنْ نَسِيَهَا أَوْ نَمَ عَنْهَا؛ تَجِبُ عَلَيْهِ الْمُبَادَرَةُ إِلَى قَضَائِهَا؛ قَالَ: "مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا؛ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ".

Dan makna dari "mereka menyia-nyiakannya" adalah: mereka menunda-nundanya dari waktunya; maka orang yang menunda shalat dari waktunya, Allah menyebutnya lalai darinya dan menyia-nyiakannya, dan Allah mengancamnya dengan kecelakaan dan kesesatan, yaitu lembah di neraka Jahannam, bagi yang melupakannya atau tertidur darinya; wajib baginya untuk segera mengqadha'nya; Nabi bersabda: "Barangsiapa lupa shalat atau tertidur darinya; maka hendaklah ia shalat ketika mengingatnya, tidak ada kafarat baginya kecuali itu."

فَتَجِبُ الْمُبَادَرَةُ لِقَضَاءِ الصَّلَاةِ الْفَائِتَةِ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَا يَنْتَظِرُ إِلَى دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ الَّتِي تُشَابِهُهَا كَمَا يَظُنُّ بَعْضُ الْعَوَامِّ، وَلَا يُؤَخِّرُهَا إِلَى خُرُوجِ وَقْتِ النَّهْيِ، بَلْ يُصَلِّيهَا فِي الْحَالِ.

Maka wajib untuk segera mengqadha' shalat yang terlewat dengan segera, dan tidak menunggu hingga masuk waktu shalat yang menyerupainya seperti yang disangka sebagian orang awam, dan tidak menunda-nundanya hingga keluar waktu larangan, bahkan ia harus melaksanakannya saat itu juga.

ثَانِيًا: سَتْرُ الْعَوْرَةِ

Kedua: Menutup aurat

وَمِنْ شُرُوطِ الصَّلَاةِ سَتْرُ الْعَوْرَةِ، وَهِيَ مَا يَجِبُ تَغْطِيَتُهُ، وَيَقْبُحُ ظُهُورُهُ، وَيُسْتَحْيَا مِنْهُ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ﴾؛ أَيْ: عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ، وَقَالَ النَّبِيُّ: "لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ الْحَائِضِ" أَيْ: بَالِغٍ "؛ إِلَّا بِخِمَارٍ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ.

Dan di antara syarat shalat adalah menutup aurat, yaitu apa yang wajib ditutupi, dan buruk jika terlihat, dan malu karenanya. Allah Ta'ala berfirman: "Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid"; yaitu: setiap kali shalat. Dan Nabi bersabda: "Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haid" yaitu: baligh "kecuali dengan khimar", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan ia menghasankannya.

قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: "أَجْمَعُوا عَلَى فَسَادِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ ثَوْبَهُ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى الِاسْتِتَارِ بِهِ وَصَلَّى عُرْيَانًا؛ فَلَا خِلَافَ فِي وُجُوبِ سَتْرِ الْعَوْرَةِ فِي الصَّلَاةِ وَبِحَضْرَةِ النَّاسِ، وَفِي الْخَلْوَةِ عَلَى الصَّحِيحِ، قَالَ النَّبِيُّ: "احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ". قُلْتُ: فَإِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ؟ قَالَ: "فَإِنْ

Ibnu Abdil Barr berkata: "Mereka sepakat atas rusaknya shalat orang yang meninggalkan pakaiannya padahal ia mampu menutupi diri dengannya dan ia shalat dalam keadaan telanjang; maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menutup aurat dalam shalat dan di hadapan orang-orang, dan dalam kesendirian menurut pendapat yang sahih. Nabi bersabda: "Jagalah auratmu kecuali dari istrimu atau budak yang kamu miliki". Aku bertanya: Bagaimana jika suatu kaum sebagian mereka bersama sebagian yang lain? Beliau bersabda: "Jika

اسْتَطَعْتَ أَلَّا يَرَاهَا أَحَدٌ؛ فَلَا يُرِينَّهَا". قَالَ: فَإِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا؟ قَالَ: "اللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ.

"Jika kamu mampu agar tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka janganlah memperlihatkannya." Dia bertanya, "Bagaimana jika salah seorang dari kami sedang sendirian?" Beliau menjawab, "Allah lebih berhak untuk kamu malu kepada-Nya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.

وَقَدْ سَمَّى اللهُ كَشْفَ الْعَوْرَةِ فَاحِشَةً فِي قَوْلِهِ عَنِ الْكُفَّارِ: ﴿وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ﴾، وَكَانُوا يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ عُرَاةً وَيَزْعُمُونَ أَنَّ ذَلِكَ مِنَ الدِّينِ؛ فَكَشْفُ الْعَوْرَةِ وَالنَّظَرُ إِلَيْهَا يَجُرُّ إِلَى شَرٍّ خَطِيرٍ، وَوَسِيلَةٌ إِلَى الْوُقُوعِ فِي الْفَاحِشَةِ وَهَدْمِ الْأَخْلَاقِ؛ كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ فِي الْمُجْتَمَعَاتِ الْمُتَحَلِّلَةِ الَّتِي ضَاعَتْ كَرَامَتُهَا وَهُدِمَتْ أَخْلَاقِيَّاتُهَا؛ فَانْتَشَرَتْ فِيهَا الرَّذِيلَةُ، وَعُدِمَتْ فِيهَا الْفَضِيلَةُ.

Allah telah menyebut membuka aurat sebagai perbuatan keji dalam firman-Nya tentang orang-orang kafir: "Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, 'Kami mendapati nenek moyang kami melakukannya, dan Allah memerintahkan kami untuk melakukannya.' Katakanlah, 'Sesungguhnya Allah tidak pernah memerintahkan perbuatan keji.'" Mereka biasa melakukan tawaf di Ka'bah dalam keadaan telanjang dan mengklaim bahwa itu adalah bagian dari agama. Maka membuka aurat dan memandangnya dapat menyeret kepada keburukan yang berbahaya, dan menjadi sarana terjerumus dalam perbuatan keji serta menghancurkan akhlak; sebagaimana yang terlihat dalam masyarakat yang rusak yang kehilangan kehormatannya dan hancur moralitasnya; sehingga keburukan menyebar di dalamnya, dan kebajikan hilang darinya.

فَسَتْرُ الْعَوْرَةِ إِبْقَاءٌ عَلَى الْفَضِيلَةِ وَالْأَخْلَاقِ، وَلِهَذَا يَحْرِصُ الشَّيْطَانُ عَلَى إِغْرَاءِ بَنِي آدَمَ بِكَشْفِ عَوْرَاتِهِمْ، وَقَدْ حَذَّرَنَا اللهُ مِنْهُ فِي قَوْلِهِ: ﴿يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا﴾

Menutup aurat adalah untuk menjaga kebajikan dan akhlak. Oleh karena itu, setan sangat bersemangat untuk menggoda anak cucu Adam agar membuka aurat mereka. Allah telah memperingatkan kita tentangnya dalam firman-Nya: "Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai setan memperdayakan kamu sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua orang tuamu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya."

فَكَشْفُ الْعَوْرَاتِ مَكِيدَةٌ شَيْطَانِيَّةٌ قَدْ وَقَعَ فِيهَا كَثِيرٌ مِنَ الْمُجْتَمَعَاتِ الْبَشَرِيَّةِ الْيَوْمَ، وَرُبَّمَا يُسَمُّونَ ذَلِكَ رُقِيًّا وَتَفَنُّنًا؛ فَتَكَوَّنَتْ نَوَادِي الْعُرَاةِ، وَتَفَشَّى السُّفُورُ فِي النِّسَاءِ، فَعُرِضَتْ أَجْسَادُهَا أَمَامَ الرِّجَالِ؛ بِلَا حَيَاءٍ وَلَا خَجَلٍ.

Maka membuka aurat adalah tipu daya setan yang telah dilakukan oleh banyak masyarakat manusia saat ini. Mungkin mereka menyebut hal itu sebagai kemajuan dan kecanggihan; sehingga terbentuklah klub-klub nudis, dan telanjang menyebar di kalangan wanita, lalu tubuh mereka dipamerkan di hadapan para lelaki; tanpa rasa malu dan segan.

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، إِنَّهُ يَجِبُ سَتْرُ الْعَوْرَةِ بِمَا لَا يَصِفُ بَشَرَتَهَا، قَالَ تَعَالَى: ﴿يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ﴾؛ فَمُوَارَاةُ الْعَوْرَةِ بِاللِّبَاسِ السَّاتِرِ أَمْرٌ مَطْلُوبٌ وَوَاجِبٌ، وَحَدُّ عَوْرَةِ الرَّجُلِ الذَّكَرِ مِنَ السُّرَّةِ إِلَى الرُّكْبَةِ؛

Wahai Muslim, wajib menutup aurat dengan pakaian yang tidak menggambarkan kulitnya. Allah Ta'ala berfirman: "Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu". Maka menutup aurat dengan pakaian yang menutupi adalah perkara yang dituntut dan wajib. Batas aurat laki-laki adalah dari pusar hingga lutut.

لِحَدِيثِ عَلِيٍّ ﵁: "لَا تُبْرِزْ فَخِذَكَ، وَلَا تَنْظُرْ إِلَى فَخِذِ حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ"، رَوَاهُ أَبُوهُ دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ، وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ "غَطِّ فَخِذَكَ، فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ"، رَوَاهُ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ،

Berdasarkan hadits Ali ﵁: "Jangan perlihatkan pahamu, dan jangan melihat paha orang yang hidup atau mati", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Dalam hadits lain: "Tutuplah pahamu, karena paha adalah aurat", diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, dan Tirmidzi, dan ia menghasankannya.

وَمَعَ هَذَا كُلِّهِ؛ نَرَى مَعَ الْأَسَفِ الشَّدِيدِ كَثِيرًا مِنَ الرِّجَالِ عِنْدَمَا يُزَاوِلُونَ الْأَلْعَابَ يَكْشِفُونَ أَفْخَاذَهُمْ وَلَا يُغَطُّونَ إِلَّا الْعَوْرَةَ الْمُغَلَّظَةَ، وَهَذِهِ مُخَالَفَةٌ صَرِيحَةٌ لِهَذِهِ النُّصُوصِ؛ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِمُ التَّنَبُّهُ لِذَلِكَ، وَالتَّقَيُّدُ بِأَحْكَامِ دِينِهِمْ، وَعَدَمُ الِالْتِفَاتِ لِمَا يُخَالِفُهَا.

Meskipun demikian, dengan penyesalan yang mendalam, kita melihat banyak laki-laki ketika bermain olahraga, mereka memperlihatkan paha mereka dan hanya menutupi aurat yang berat (kemaluan). Ini adalah pelanggaran yang jelas terhadap nash-nash ini. Maka wajib bagi mereka untuk memperhatikan hal itu, berpegang teguh pada hukum-hukum agama mereka, dan tidak menoleh kepada apa yang menyalahinya.

وَالْمَرْأَةُ كُلُّهَا عَوْرَةٌ؛ لِقَوْلِهِ: "وَالْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ"، صَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَلِحَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ: أَتُصَلِّي الْمَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا إِزَارٌ؟، قَالَ: "إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ،

Wanita seluruhnya adalah aurat, berdasarkan sabdanya: "Wanita adalah aurat", dishahihkan oleh Tirmidzi. Dan berdasarkan hadits Ummu Salamah: Apakah wanita boleh shalat dengan memakai baju kurung dan kerudung tanpa memakai kain sarung? Beliau menjawab: "Jika baju kurung itu longgar menutupi punggung kedua kakinya", diriwayatkan oleh Abu Dawud.

وَلِأَبِي دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيِّ وَابْنِ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَهْ: "لَا يَقْبَلُ اللهُ

Dan riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Aisyah: "Allah tidak menerima

صَلَاةُ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ"، قَالَ التِّرْمِذِيُّ: "وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ؛ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا أَدْرَكَتْ فَصَلَّتْ وَشَيْءٌ مِنْ عَوْرَتِهَا مَكْشُوفٌ؛ لَا تَجُوزُ صَلَاتُهَا".

"Shalat seorang wanita haid kecuali dengan khimar", At-Tirmidzi berkata: "Dan amalan yang berlaku di kalangan ahli ilmu; bahwa jika seorang wanita mendapati waktu shalat dan dia shalat sementara sebagian auratnya terbuka; maka shalatnya tidak sah".

هَذِهِ الْأَحَادِيثُ، مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ﴾ الْآيَةَ، وَقَوْلِهِ: ﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ﴾، وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ﴾، وَقَوْلِ عَائِشَةَ: "كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ مُحْرِمَاتٍ، فَإِذَا مَرَّ بِنَا الرِّجَالُ؛ سَدَلَتْ إِحْدَانَا خِمَارَهَا عَلَى وَجْهِهَا، فَإِذَا جَاوَزُونَا؛ كَشَفْنَاهُ".

Hadits-hadits ini, bersama dengan firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka" ayat tersebut, dan firman-Nya: "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", dan firman Allah Ta'ala: "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka", dan perkataan Aisyah: "Kami bersama Nabi dalam keadaan ihram, jika ada laki-laki lewat di hadapan kami, salah seorang dari kami menutupkan khimarnya ke wajahnya, dan jika mereka telah berlalu, kami membukanya".

هَذِهِ النُّصُوصُ وَمَا جَاءَ بِمَعْنَاهَا مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَهِيَ كَثِيرَةٌ شَهِيرَةٌ، تَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ كُلَّهَا عَوْرَةٌ أَمَامَ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ، لَا يَجُوزُ أَنْ يَظْهَرَ مِنْ بَدَنِهَا شَيْءٌ بِحَضْرَتِهِمْ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا، أَمَّا إِذَا صَلَّتْ فِي مَكَانٍ خَالٍ مِنَ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ؛ فَإِنَّهَا تَكْشِفُ وَجْهَهَا فِي الصَّلَاةِ؛ فَهُوَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ فِي الصَّلَاةِ، لَكِنَّهُ عَوْرَةٌ عِنْدَ الرِّجَالِ غَيْرِ الْمَحَارِمِ؛ فَلَا يَجُوزُ نَظَرُهُمْ إِلَيْهِ.

Teks-teks ini dan apa yang datang dengan maknanya dari Al-Qur'an dan Sunnah, dan itu banyak dan terkenal, menunjukkan bahwa wanita seluruhnya adalah aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahram, tidak boleh terlihat sedikitpun dari tubuhnya di hadapan mereka dalam shalat dan lainnya. Adapun jika dia shalat di tempat yang kosong dari laki-laki yang bukan mahram, maka dia boleh membuka wajahnya dalam shalat; karena wajah bukan aurat dalam shalat, tetapi wajah adalah aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahram; maka tidak boleh mereka melihatnya.

وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُؤْسِفِ الْمُحْزِنِ مَا وَصَلَ إِلَيْهِ كَثِيرٌ مِنْ نِسَاءِ الْعَصْرِ الْمُسْلِمَاتِ مِنْ تَهَتُّكٍ وَتَسَاهُلٍ فِي السِّتْرِ، وَتَسَابُقٍ إِلَى إِبْرَازِ مَفَاتِنِهِنَّ، وَاتِّخَاذِ اللِّبَاسِ الَّذِي لَا يَسْتُرُ؛ تَقْلِيدًا لِنِسَاءِ الْكَفَرَةِ وَالْمُرْتَدِّينَ؛ فَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ.

Sungguh menyedihkan dan memilukan apa yang telah terjadi pada banyak wanita Muslim zaman sekarang, dari keterbukaan dan kelonggaran dalam menutup aurat, dan berlomba-lomba memamerkan pesona mereka, dan mengenakan pakaian yang tidak menutupi; meniru wanita-wanita kafir dan murtad; maka tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَمَرَ بِقَدْرٍ زَائِدٍ عَلَى سَتْرِ الْعَوْرَةِ فِي الصَّلَاةِ، وَهُوَ أَخْذُ الزِّينَةِ؛ وَقَالَ تَعَالَى: ﴿يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ﴾؛ فَأَمَرَ بِأَخْذِ الزِّينَةِ لَا بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ فَقَطْ، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمُسْلِمَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَلْبَسَ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَأَجْمَلَهَا فِي الصَّلَاةِ لِلْوُقُوفِ بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَبَارَكَ تَعَالَى؛ فَيَكُونُ الْمُصَلِّي فِي هَذَا الْمَوْقِفِ عَلَى أَكْمَلِ هَيْئَةٍ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا.

Sesungguhnya Allah Ta'ala telah memerintahkan sesuatu yang lebih dari sekadar menutup aurat dalam shalat, yaitu berhias; Allah Ta'ala berfirman: "Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid"; Dia memerintahkan untuk berhias, bukan hanya menutup aurat saja, yang menunjukkan bahwa seorang Muslim hendaknya mengenakan pakaian terbaiknya dan terindah dalam shalat untuk berdiri di hadapan Allah Tabaraka wa Ta'ala; sehingga orang yang shalat dalam posisi ini berada dalam kondisi paling sempurna, lahir dan batin.

ثَالِثًا: اجْتِنَابُ النَّجَاسَةِ

Ketiga: Menghindari najis

وَمِمَّا يُشْتَرَطُ لِلصَّلَاةِ اجْتِنَابُ النَّجَاسَةِ؛ بِأَنْ يَبْتَعِدَ عَنْهَا الْمُصَلِّي، وَيَخْلُوَ مِنْهَا تَمَامًا فِي بَدَنِهِ وَثَوْبِهِ وَبُقْعَتِهِ الَّتِي يَقِفُ عَلَيْهَا لِلصَّلَاةِ.

Di antara syarat shalat adalah menghindari najis; yaitu orang yang shalat menjauhinya, dan sepenuhnya bersih darinya pada badan, pakaian, dan tempat yang digunakan untuk shalat.

وَالنَّجَاسَةُ قَذَرٌ مَخْصُوصٌ يَمْنَعُ جِنْسُهُ الصَّلَاةَ؛ كَالْمَيْتَةِ، وَالدَّمِ، وَالْخَمْرِ، وَالْبَوْلِ، وَالْغَائِطِ: لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ﴾؛ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ: "اغْسِلْهَا بِالْمَاءِ "، وَقَالَ: "تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ؛ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ"، وَأَمَرَ الْمَرْأَةَ أَنْ تَغْسِلَ ثَوْبَهَا إِذْ أَصَابَهُ دَمُ الْحَيْضِ وَتُصَلِّيَ

Najis adalah kotoran tertentu yang jenisnya menghalangi shalat; seperti bangkai, darah, khamar, air kencing, dan tinja: berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan bersihkanlah pakaianmu"; Ibnu Sirin berkata: "Cucilah pakaian itu dengan air", dan beliau berkata: "Bersihkanlah diri dari air kencing; karena kebanyakan azab kubur disebabkan olehnya", dan beliau memerintahkan wanita untuk mencuci pakaiannya jika terkena darah haid lalu shalat

فِيهِ؛ وَأَمَرَ بِدَلْكِ النَّعْلَيْنِ ثُمَّ الصَّلَاةِ فِيهِمَا، وَأَمَرَ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى الْبَوْلِ الَّذِي حَصَلَ فِي الْمَسْجِدِ ... وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى اجْتِنَابِ النَّجَاسَةِ؛ فَلَا تَصِحُّ صَلَاةٌ مَعَ وُجُودِ النَّجَاسَةِ فِي بَدَنِ الْمُصَلِّي أَوْ ثَوْبِهِ أَوِ الْبُقْعَةِ الَّتِي يُصَلِّي عَلَيْهَا، وَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ حَامِلًا لِشَيْءٍ فِيهِ نَجَاسَةٌ.

Di dalamnya; dan memerintahkan untuk menggosok kedua sandal kemudian shalat dengan keduanya, dan memerintahkan untuk menuangkan air pada air kencing yang terjadi di masjid ... dan selain itu dari dalil-dalil yang menunjukkan untuk menjauhi najis; maka tidak sah shalat dengan adanya najis pada badan orang yang shalat atau pakaiannya atau tempat yang ia shalat di atasnya, dan demikian juga jika ia membawa sesuatu yang mengandung najis.

وَمَنْ رَأَى عَلَيْهِ نَجَاسَةً بَعْدَ الصَّلَاةِ وَلَا يَدْرِي مَتَى حَدَثَتْ؛ فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ، وَكَذَا لَوْ كَانَ عَالِمًا بِهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، لَكِنْ نَسِيَ أَنْ يُزِيلَهَا؛ فَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ عَلَى الْقَوْلِ الرَّاجِحِ.

Dan barangsiapa yang melihat najis pada dirinya setelah shalat dan tidak tahu kapan ia terjadi; maka shalatnya sah, dan demikian juga jika ia mengetahuinya sebelum shalat, tetapi lupa untuk menghilangkannya; maka shalatnya sah menurut pendapat yang rajih.

وَإِنْ عَلِمَ بِالنَّجَاسَةِ فِي أَثْنَاءِ الصَّلَاةِ وَأَمْكَنَةُ إِزَالَتِهَا مِنْ غَيْرِ عَمَلٍ كَثِيرٍ؛ كَخَلْعِ النَّعْلِ وَالْعِمَامَةِ وَنَحْوِهِمَا؛ أَزَالَهُمَا وَبَنَى، وَإِنْ لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ إِزَالَتِهَا؛ بَطَلَتِ الصَّلَاةُ.

Dan jika ia mengetahui adanya najis di tengah-tengah shalat dan memungkinkan untuk menghilangkannya tanpa banyak pekerjaan; seperti melepas sandal dan sorban dan sejenisnya; maka ia menghilangkan keduanya dan meneruskan, dan jika ia tidak mampu menghilangkannya; maka batallah shalat.

وَلَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي الْمَقْبَرَةِ؛ غَيْرِ صَلَاةِ الْجَنَازَةِ؛ لِقَوْلِهِ: "الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ"، رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ،

Dan tidak sah shalat di kuburan; selain shalat jenazah; karena sabdanya: "Bumi seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi", diriwayatkan oleh lima (perawi) kecuali An-Nasa'i, dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi,

وَقَالَ: "لَا تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلَا تَجْلِسُوا عَلَيْهَا"، رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إِلَّا الْبُخَارِيَّ، وَقَالَ ﵊: "فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ".

Dan dia berkata: "Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan duduk di atasnya", diriwayatkan oleh Jama'ah kecuali Bukhari, dan Nabi ﷺ bersabda: "Maka janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid".

وَلَيْسَ الْعِلَّةُ فِي النَّهْيِ عَنِ الصَّلَاةِ فِي الْمَقَابِرِ أَوْ عِنْدَهَا خَشْيَةَ النَّجَاسَةِ، وَإِنَّمَا هِيَ خَشْيَةُ تَعْظِيمِهَا وَاتِّخَاذِهَا أَوْثَانًا؛ فَالْعِلَّةُ سَدُّ الذَّرِيعَةِ عَنْ عِبَادَةِ الْمَقْبُورِينَ، وَتُسْتَثْنَى صَلَاةُ الْجَنَازَةِ؛ فَيَجُوزُ فِعْلُهَا فِي الْمَقْبَرَةِ؛ لِفِعْلِ النَّبِيِّ، وَذَلِكَ يُخَصِّصُ النَّهْيَ، وَكُلُّ مَا دَخَلَ فِي اسْمِ الْمَقْبَرَةِ مِمَّا حَوْلَ الْقُبُورِ لَا يُصَلَّى فِيهِ؛ لِأَنَّ النَّهْيَ يَشْمَلُ الْمَقْبَرَةَ وَفِنَاءَهَا الَّذِي حَوْلَهَا.

Dan alasan larangan shalat di kuburan atau di dekatnya bukanlah karena takut najis, melainkan karena khawatir mengagungkannya dan menjadikannya berhala; alasannya adalah menutup peluang untuk menyembah orang-orang yang dikubur, dan dikecualikan shalat jenazah; maka boleh melakukannya di kuburan; karena perbuatan Nabi, dan itu mengkhususkan larangan, dan semua yang termasuk dalam nama kuburan dari apa yang ada di sekitar kuburan tidak boleh shalat di dalamnya; karena larangan itu mencakup kuburan dan halamannya yang ada di sekitarnya.

وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي الْمَسْجِدِ الْمَبْنِيِّ عَلَى الْقَبْرِ: "لَا يُصَلَّى فِيهِ فَرْضٌ وَلَا نَفْلٌ، فَإِنْ كَانَ الْمَسْجِدُ قَبْلَ الْقَبْرِ؛ غَيَّرَ: إِمَّا بِتَسْوِيَةِ الْقَبْرِ، أَوْ نَبْشِهِ إِنْ كَانَ جَدِيدًا وَأَنْ كَانَ الْقَبْرُ قَبْلَ الْمَسْجِدِ؛ فَإِمَّا أَنْ يُزَالَ الْمَسْجِدُ، وَإِمَّا أَنْ تُزَالَ صُورَةُ الْقَبْرِ".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang masjid yang dibangun di atas kuburan: "Tidak boleh shalat fardhu atau sunnah di dalamnya. Jika masjid didirikan sebelum kuburan, maka harus diubah: baik dengan meratakan kuburan, atau menggalinya jika masih baru. Jika kuburan ada sebelum masjid, maka masjid harus dihilangkan, atau bentuk kuburan dihilangkan".

وَلَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي قِبْلَتُهُ إِلَى قَبْرٍ؛ لِقَوْلِهِ: "تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ".

Shalat tidak sah di masjid yang kiblatnya menghadap ke kuburan, berdasarkan sabda Nabi: "Janganlah kalian shalat menghadap kuburan".

وَلَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي الْحُشُوشِ، وَهِيَ الْمَرَاحِيضُ الْمُعَدَّةُ لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ؛ فَيُمْنَعُ مِنَ الصَّلَاةِ فِي دَاخِلِ الْحَشِّ؛ لِكَوْنِهِ مُعَدًّا لِلنَّجَاسَةِ، وَلِأَنَّ الشَّارِعَ مَنَعَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ فِيهَا؛ وَالصَّلَاةُ أَوْلَى بِالْمَنْعِ، وَلِأَنَّ الْحُشُوشَ تَحْضُرُهَا الشَّيَاطِينُ.

Shalat tidak sah di dalam toilet, yaitu tempat yang disediakan untuk buang hajat. Dilarang shalat di dalam toilet karena tempat itu disediakan untuk najis, dan karena Syari' melarang berzikir kepada Allah di dalamnya. Shalat lebih utama untuk dilarang, dan karena setan hadir di toilet.

وَلَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي الْحَمَّامِ وَهُوَ الْمَحَلُّ الْمُعَدُّ لِلِاغْتِسَالِ؛ لِأَنَّهُ مَحَلُّ كَشْفِ الْعَوْرَاتِ، وَمَأْوَى لِلشَّيَاطِينِ، وَالْمَنْعُ يَشْمَلُ كُلَّ مَا يُغْلَقُ عَلَيْهِ بَابُ الْحَمَّامِ؛ فَلَا تَجُوزُ الصَّلَاةُ فِيهِ

Shalat tidak sah di dalam kamar mandi, yaitu tempat yang disediakan untuk mandi, karena itu adalah tempat membuka aurat dan sarang setan. Larangan ini mencakup semua yang ditutup oleh pintu kamar mandi, sehingga tidak boleh shalat di dalamnya.

وَلَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ، وَهِيَ الْمَوَاطِنُ الَّتِي تُقِيمُ فِيهَا وَتَأْوِي إِلَيْهَا.

Shalat tidak sah dilakukan di kandang unta, yaitu tempat-tempat di mana unta tinggal dan berlindung.

قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: "نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ فِي أَعْطَانِهَا؛ لِأَنَّهَا مَأْوَى الشَّيَاطِينِ، وَكَمَا نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ فِي الْحَمَّامِ؛ لِأَنَّهُ مَأْوَى الشَّيَاطِينِ؛ فَإِنَّ مَأْوَى الْأَرْوَاحِ الْخَبِيثَةِ أَحَقُّ بِأَنْ تُجْتَنَبَ الصَّلَاةُ فِيهِ".

Syaikh Taqiyuddin berkata: "Beliau melarang shalat di kandang unta karena itu adalah tempat tinggal setan, dan sebagaimana beliau melarang shalat di kamar mandi karena itu adalah tempat tinggal setan; maka tempat tinggal roh-roh jahat lebih pantas untuk dijauhi shalatnya di dalamnya."

وَتُكْرَهُ الصَّلَاةُ فِي مَكَانٍ فِيهِ تَصَاوِيرُ، قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ: "وَهُوَ أَحَقُّ بِالْكَرَاهَةِ مِنْ الصَّلَاةِ فِي الْحَمَّامِ؛ لِأَنَّ كَرَاهِيَةَ الصَّلَاةِ فِي الْحَمَّامِ: إِمَّا لِكَوْنِهِ مَظِنَّةَ النَّجَاسَةِ، وَإِمَّا لِكَوْنِهِ بَيْتَ الشَّيْطَانِ، وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَأَمَّا مَحَلُّ الصُّوَرِ؛ فَمَظِنَّةُ الشِّرْكِ، وَغَالِبُ شِرْكِ الْأُمَمِ كَانَ مِنْ وَجْهَةِ الصُّوَرِ وَالْقُبُورِ" اهـ.

Shalat dimakruhkan di tempat yang terdapat gambar-gambar. Imam Ibnul Qayyim berkata: "Itu lebih pantas dimakruhkan daripada shalat di kamar mandi; karena kemakruhan shalat di kamar mandi: bisa jadi karena itu adalah tempat yang diduga najis, atau karena itu adalah rumah setan, dan ini yang benar. Adapun tempat gambar-gambar; maka itu adalah tempat yang diduga syirik, dan kebanyakan kesyirikan umat-umat terdahulu berasal dari arah gambar-gambar dan kuburan." Selesai.

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، عَلَيْكَ بِالْعِنَايَةِ بِصَلَاتِكَ؛ فَتَطَهَّرْ مِنْ النَّجَاسَةِ قَبْلَ دُخُولِكَ فِيهَا، وَتَجَنَّبْ الْمَوَاضِعَ الْمَنْهِيَّ عَنْ الصَّلَاةِ فِيهَا؛ لِتَكُونَ صَلَاتُكَ صَحِيحَةً عَلَى وَفْقِ مَا شَرَعَهُ اللهُ، وَلَا تَتَهَاوَنْ بِشَيْءٍ مِنْ أَحْكَامِهَا أَوْ تَتَسَاهَلْ فِيهِ؛ فَإِنَّ صَلَاتَكَ عَمُودُ دِينِكَ، مَتَى اسْتَقَامَتْ؛ اسْتَقَامَ الدِّينُ، وَمَتَى اخْتَلَّتْ؛ اخْتَلَّ الدِّينُ.

Wahai seorang Muslim, engkau harus memperhatikan shalatmu; maka bersucilah dari najis sebelum memasukinya, dan jauhilah tempat-tempat yang dilarang untuk shalat di dalamnya; agar shalatmu menjadi sah sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah, dan janganlah engkau meremehkan sesuatu dari hukum-hukumnya atau bersikap longgar padanya; karena shalatmu adalah tiang agamamu, kapan ia lurus maka agama menjadi lurus, dan kapan ia rusak maka agama menjadi rusak.

وَفَّقَنَا اللهُ جَمِيعًا لِمَا فِيهِ الْخَيْرُ وَالِاسْتِقَامَةُ.

Semoga Allah memberi kita semua taufik kepada kebaikan dan keteguhan.

رَابِعًا: اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ

Keempat: Menghadap kiblat

وَمِنْ شُرُوطِ الصَّلَاةِ اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ، وَهِيَ الْكَعْبَةُ الْمُشَرَّفَةُ،

Di antara syarat-syarat shalat adalah menghadap kiblat, yaitu Ka'bah yang mulia,

سُمِّيَتْ قِبْلَةً لِإِقْبَالِ النَّاسِ عَلَيْهَا، وَلِأَنَّ الْمُصَلِّيَ يُقَابِلُهَا، قَالَ تَعَالَى: ﴿فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ﴾ .

Disebut kiblat karena orang-orang menghadap ke arahnya, dan karena orang yang salat menghadapnya. Allah Ta'ala berfirman: "Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana pun engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu."

فَمَنْ قَرُبَ مِنَ الْكَعْبَةِ، وَكَانَ يَرَاهَا؛ وَجَبَ عَلَيْهِ اسْتِقْبَالُ نَفْسِ الْكَعْبَةِ بِجَمِيعِ بَدَنِهِ؛ لِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى التَّوَجُّهِ إِلَى عَيْنِهَا قَطْعًا، فَلَمْ يَجُزْ لَهُ الْعُدُولُ عَنْهَا، وَمَنْ كَانَ قَرِيبًا مِنْهَا، لَكِنْ يَرَاهَا؛ لِوُجُودِ حَائِلٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا؛ اجْتَهَدَ فِي إِصَابَتِهَا، وَالتَّوَجُّهِ إِلَيْهَا مَا أَمْكَنَهُ،

Barangsiapa yang dekat dengan Ka'bah dan dapat melihatnya, maka wajib baginya untuk menghadap ke arah Ka'bah itu sendiri dengan seluruh tubuhnya, karena ia mampu untuk menghadap ke arahnya dengan pasti, sehingga tidak boleh baginya untuk berpaling darinya. Barangsiapa yang dekat dengannya, tetapi tidak dapat melihatnya karena adanya penghalang antara dirinya dan Ka'bah, maka ia harus berusaha untuk menghadap ke arahnya semaksimal mungkin.

وَمَنْ كَانَ بَعِيدًا عَنِ الْكَعْبَةِ فِي أَيِّ وِجْهَةٍ مِنْ جِهَاتِ الْأَرْضِ؛ فَإِنَّهُ يَسْتَقْبِلُ فِي صَلَاتِهِ الْجِهَةَ الَّتِي فِيهَا الْكَعْبَةُ، وَلَا يَضُرُّ التَّيَامُنُ وَلَا التَّيَاسُرُ الْيَسِيرَانِ؛ لِحَدِيثِ: "مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ"؛ صَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَرَوَى عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَهَذَا بِالنِّسْبَةِ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَا وَافَقَ قِبْلَتَهَا مِمَّا سَامَتَهَا، وَلِسَائِرِ الْبُلْدَانِ مِثْلُ ذَلِكَ؛ فَالَّذِي فِي الْمَشْرِقِ مَثَلًا تَكُونُ قِبْلَتُهُ بَيْنَ الْجَنُوبِ وَالشَّمَالِ وَالَّذِي فِي الْمَغْرِبِ كَذَلِكَ.

Barangsiapa yang jauh dari Ka'bah di mana pun di muka bumi, maka dalam salatnya ia harus menghadap ke arah di mana Ka'bah berada. Sedikit menyimpang ke kanan atau ke kiri tidaklah mengapa, berdasarkan hadits: "Antara timur dan barat adalah kiblat", yang dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan diriwayatkan dari lebih dari satu sahabat. Ini berlaku untuk penduduk Madinah dan wilayah yang kiblatnya sama dengan Madinah. Demikian pula untuk negeri-negeri lainnya. Misalnya, bagi yang berada di timur, kiblatnya adalah antara selatan dan utara, begitu pula bagi yang berada di barat.

فَلَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ بِدُونِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ﴾؛ أَيْ: فِي بَرٍّ أَوْ جَوٍّ أَوْ بَحْرٍ أَوْ مَشْرِقٍ أَوْ مَغْرِبٍ؛

Shalat tidak sah tanpa menghadap kiblat, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan di mana pun kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arahnya", yaitu baik di darat, udara, laut, timur, atau barat.

إلَّا الْعَاجِزُ عَنِ اسْتِقْبَالِ الْكَعْبَةِ: كَالْمَرْبُوطِ أَوِ الْمَصْلُوبِ غَيْرَ الْقِبْلَةِ إِذَا كَانَ مُوَثَّقًا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ؛ فَإِنَّهُ يُصَلِّي حَسَبَ اسْتِطَاعَتِهِ، وَلَوْ لَمْ يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ؛ لِأَنَّ هَذَا الشَّرْطَ يَسْقُطُ عَنْهُ لِلْعَجْزِ بِإِجْمَاعِ أَهْلِ الْعِلْمِ،

Kecuali yang tidak mampu menghadap Ka'bah: seperti yang terikat atau disalib tidak menghadap kiblat jika dia terikat tidak mampu melakukannya; maka dia shalat sesuai kemampuannya, meskipun tidak menghadap kiblat; karena syarat ini gugur darinya karena ketidakmampuan berdasarkan ijma' para ulama,

وَكَذَا فِي حَالِ اشْتِدَادِ الْحَرْبِ، وَالْهَارِبِ مِنْ سَيْلٍ أَوْ نَارٍ أَوْ سَبُعٍ أَوْ عَدُوٍّ، وَالْمَرِيضِ الَّذِي لَا يَسْتَطِيعُ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ؛ فَكُلُّ هَؤُلَاءِ يُصَلُّونَ حَسَبَ حَالِهِمْ، وَلَوْ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ، وَتَصِحُّ صَلَاتُهُمْ؛ لِأَنَّهُ شَرْطٌ عَجَزَ عَنْهُ؛ فَسَقَطَ،

dan demikian pula dalam keadaan peperangan yang sengit, orang yang melarikan diri dari banjir, api, binatang buas, atau musuh, dan orang sakit yang tidak mampu menghadap kiblat; maka mereka semua shalat sesuai keadaan mereka, meskipun tidak menghadap kiblat, dan shalat mereka sah; karena itu adalah syarat yang dia tidak mampu melakukannya; maka gugur,

قَالَ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾، وَقَالَ النَّبِيُّ: "وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ؛ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ" وَوَرَدَ فِي الْحَدِيثِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ؛ أَنَّهُمْ عِنْدَ اشْتِدَادِ الْخَوْفِ يُصَلُّونَ مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ وَغَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا.

Allah Ta'ala berfirman: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu", dan Nabi bersabda: "Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian" dan dalam hadits yang disepakati; bahwa mereka ketika ketakutan yang sangat, mereka shalat menghadap kiblat dan tidak menghadapnya.

وَيَسْتَدِلُّ عَلَى الْقِبْلَةِ بِأَشْيَاءَ كَثِيرَةٍ؛ مِنْهَا: الْإِخْبَارُ، فَإِذَا أَخْبَرَهُ بِالْقِبْلَةِ مُكَلَّفٌ ثِقَةٌ عَدْلٌ؛ عَمِلَ بِخَبَرِهِ، إِذَا كَانَ الْمُخْبِرُ مُتَيَقِّنًا الْقِبْلَةَ؛ وَكَذَا إِذَا وَجَدَ مَحَارِيبَ إِسْلَامِيَّةً؛ عَمِلَ بِهَا، وَاسْتَدَلَّ بِهَا عَلَى الْقِبْلَةِ؛ لِأَنَّ دَوَامَ التَّوَجُّهِ إِلَى جِهَةِ تِلْكَ الْمَحَارِيبِ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ اتِّجَاهِهَا،

Dan petunjuk kiblat ada banyak hal; di antaranya: pemberitahuan, jika dia diberitahu tentang kiblat oleh orang mukallaf yang terpercaya lagi adil; maka dia mengamalkan beritanya, jika pemberi berita yakin tentang kiblat; dan demikian pula jika dia menemukan mihrab-mihrab Islam; maka dia mengamalkannya, dan menjadikannya petunjuk kiblat; karena terus menerus menghadap ke arah mihrab-mihrab itu menunjukkan kebenaran arahnya,

وَكَذَلِكَ يَسْتَدِلُّ عَلَى الْقِبْلَةِ بِالنُّجُومِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ﴾ .

dan demikian pula petunjuk kiblat dengan bintang-bintang, Allah Ta'ala berfirman: "Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk".

خَامِسًا: النِّيَّةُ

Kelima: Niat

وَمِنْ شُرُوطِ الصَّلَاةِ النِّيَّةُ، وَهِيَ لُغَةً: الْقَصْدُ، وَشَرْعًا: الْعَزْمُ عَلَى فِعْلِ الْعِبَادَةِ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ تَعَالَى.

Dan di antara syarat-syarat shalat adalah niat, yang secara bahasa berarti: menyengaja, dan secara syariat berarti: bertekad untuk melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ؛ فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى التَّلَفُّظِ بِهَا، بَلْ هُوَ بِدْعَةٌ، لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللهِ وَلَا أَصْحَابُهُ؛ فَيَنْوِي بِقَلْبِهِ الصَّلَاةَ الَّتِي يُرِيدُهَا؛ كَالظُّهْرِ وَالْعَصْرِ؛ لِحَدِيثِ: "إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ"، وَيَنْوِي مَعَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ؛ لِتَكُونَ النِّيَّةُ مُقَارِنَةً لِلْعِبَادَةِ، وَإِنْ تَقَدَّمَتْ بِزَمَنٍ يَسِيرٍ فِي الْوَقْتِ؛ فَلَا بَأْسَ.

Dan tempatnya adalah hati; maka tidak perlu mengucapkannya dengan lisan, bahkan itu adalah bid'ah, yang tidak dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya; maka ia berniat dalam hatinya untuk shalat yang ia inginkan; seperti Zuhur dan Asar; berdasarkan hadits: "Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya", dan ia berniat bersamaan dengan takbiratul ihram; agar niat itu bersamaan dengan ibadah, dan jika ia mendahuluinya dengan waktu yang singkat; maka tidak mengapa.

وَيُشْتَرَكُ أَنْ تَسْتَمِرَّ النِّيَّةُ فِي جَمِيعِ الصَّلَاةِ، فَإِنْ قَطَعَهَا فِي أَثْنَاءِ الصَّلَاةِ؛ بَطَلَتِ الصَّلَاةُ

Dan disyaratkan agar niat itu berlanjut di seluruh shalat, jika ia memutusnya di tengah-tengah shalat; maka shalat menjadi batal

وَيَجُوزُ لِمَنْ أَحْرَمَ فِي صَلَاةِ فَرِيضَةٍ وَهُوَ مَأْمُومٌ أَوْ مُنْفَرِدٌ أَنْ يُقَلِّبَ صَلَاتَهُ نَافِلَةً إِذَا كَانَ ذَلِكَ لِغَرَضٍ صَحِيحٍ؛ مِثْلَ أَنْ يُحْرِمَ مُنْفَرِدًا، فَيُرِيدُ الصَّلَاةَ مَعَ الْجَمَاعَةِ.

Dan boleh bagi orang yang telah ihram dalam shalat fardhu sedangkan ia makmum atau sendirian untuk mengubah shalatnya menjadi shalat sunnah jika itu untuk tujuan yang benar; seperti ia ihram sendirian, lalu ingin shalat bersama jamaah.

وَاعْلَمْ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ أَحْدَثُوا فِي النِّيَّةِ بِدْعَةً وَتَشَدُّدًا مَا أَنْزَلَ اللهُ بِهِمَا مِنْ سُلْطَانٍ، وَذَلِكَ بِأَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ: نَوَيْتُ أَنْ أُصَلِّيَ فَرْضَ كَذَا عَدَدَ كَذَا مِنَ الرَّكَعَاتِ أَدَاءً لِلَّهِ خَلْفَ هَذِهِ الْإِمَامِ ... وَنَحْوَ ذَلِكَ مِنَ الْأَلْفَاظِ، وَهَذَا شَيْءٌ لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللهِ، فَلَمْ يُنْقَلْ عَنْهُ أَنَّهُ تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ لَا سِرًّا وَلَا جَهْرًا، وَلَا أَمَرَ بِذَلِكَ.

Dan ketahuilah bahwa sebagian orang telah membuat bid'ah dan kesulitan dalam niat yang Allah tidak menurunkan kekuasaan untuk keduanya, yaitu dengan salah seorang dari mereka mengatakan: Aku niat untuk shalat fardhu ini sebanyak sekian rakaat dengan menunaikannya karena Allah di belakang imam ini ... dan semisalnya dari ungkapan-ungkapan itu, dan ini adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah, maka tidak dinukil darinya bahwa beliau mengucapkan niat baik secara diam-diam maupun terang-terangan, dan beliau tidak memerintahkan hal itu.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ أَنَّهُ لَا يُشْرَعُ الْجَهْرُ بِهَا وَلَا تَكْرِيرُهَا، بَلْ مَنْ اعْتَادَهُ يَنْبَغِي تَأْدِيبُهُ، وَالْجَاهِرُ بِهَا مُسْتَحِقٌّ لِلتَّعْزِيرِ بَعْدَ تَعْرِيفِهِ، لَا سِيَّمَا إِذَا آذَى بِهِ أَوْ كَرَّرَهُ ... "

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Para imam sepakat bahwa tidak disyariatkan mengeraskan suara dengannya (niat) dan tidak pula mengulanginya, bahkan siapa yang membiasakan hal itu, maka seharusnya dia dididik, dan orang yang mengeraskan suaranya dengannya berhak mendapatkan ta'zir setelah diberitahu, terlebih lagi jika dia menyakiti orang lain dengannya atau mengulanginya..."

إِلَى أَنْ قَالَ: "بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ خَرَّجَ وَجْهًا مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ فِي ذَلِكَ، وَغَلَّطَهُ جَمَاهِيرُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ، قَالَ الشَّافِعِيُّ، قَالَ الشَّافِعِيُّ: إِنَّ الصَّلَاةَ لَا بُدَّ مِنَ النُّطْقِ فِي أَوَّلِهَا، فَظَنَّ الْغَالِطُ أَنَّهُ أَرَادَ النُّطْقَ فِي أَوَّلِهَا، فَظَنَّ الْغَالِطُ أَنَّهُ أَرَادَ النُّطْقَ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا أَرَادَ التَّكْبِيرَ " اهـ كَلَامُ الشَّيْخِ.

Sampai beliau berkata: "Sebagian ulama mutakhir mengeluarkan satu pendapat dari mazhab Syafi'i dalam hal itu, dan mayoritas pengikut Syafi'i menyalahkannya. Imam Syafi'i berkata, Imam Syafi'i berkata: Sesungguhnya shalat harus diawali dengan pengucapan, maka orang yang salah menyangka bahwa beliau bermaksud pengucapan di awalnya, orang yang salah menyangka bahwa beliau bermaksud pengucapan niat, padahal yang beliau maksud adalah takbir." Selesai perkataan Syaikh.

وَالتَّلَفُّظُ بِالنِّيَّةِ كَمَا أَنَّهُ بِدْعَةٌ؛ فَقَدْ يَدْخُلُ فِي الرِّيَاءِ أَيْضًا؛ لِأَنَّ الْمَطْلُوبَ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَإِخْفَاؤُهُ؛ إِلَّا مَا وَرَدَ دَلِيلٌ بِإِظْهَارِهِ؛ فَالَّذِي يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَكُونَ وَقَّافًا عِنْدَ حُدُودِ الشَّرِيعَةِ، عَامِلًا بِالسُّنَنِ، تَارِكًا لِلْبِدَعِ، مَهْمَا كَانَ نَوْعُهَا، وَمِمَّنْ كَانَ مَصْدَرُهَا ...

Melafazkan niat selain merupakan bid'ah, juga bisa termasuk riya'; karena yang dituntut adalah mengikhlaskan amal untuk Allah dan menyembunyikannya; kecuali apa yang ada dalil untuk menampakkannya. Maka yang seharusnya bagi seorang Muslim adalah berhenti pada batasan-batasan syariat, mengamalkan sunnah, meninggalkan bid'ah, apa pun jenisnya, dan dari mana pun sumbernya...

وَفَّقَ اللَّهُ الْجَمِيعَ لِمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ، وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ: ﴿قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ﴾ .

Semoga Allah memberi taufik kepada semua untuk apa yang Dia cintai dan ridhai. Allah Ta'ala berfirman: "Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?"

فَاللَّهُ أَعْلَمُ بِنِيَّاتِ الْقُلُوبِ وَمَقَاصِدِهَا؛ فَلَا حَاجَةَ إِلَى التَّلَفُّظِ بِهَا فِي الصَّلَاةِ وَفِي جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ، وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

Maka Allah lebih mengetahui niat dan maksud hati; sehingga tidak perlu melafazkannya dalam shalat dan dalam semua ibadah. Dan Allah Ta'ala lebih mengetahui.

بَابٌ فِي آدَابِ الْمَشْيِ إِلَى الصَّلَاةِ

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، إِنَّكَ بِحَاجَةٍ مَاسَّةٍ إِلَى مَعْرِفَةِ الْآدَابِ الْمَشْرُوعَةِ الَّتِي تَسْبِقُ الصَّلَاةَ؛ اسْتِعْدَادًا لَهَا؛ لِأَنَّ الصَّلَاةَ عِبَادَةٌ عَظِيمَةٌ يَنْبَغِي أَنْ يَسْبِقَهَا اسْتِعْدَادٌ وَتَهَيُّؤٌ مُنَاسِبٌ لِيَدْخُلَ الْمُسْلِمُ فِي هَذِهِ الْعِبَادَةِ عَلَى أَحْسَنِ الْهَيْئَاتِ:

Wahai Muslim, Anda sangat perlu mengetahui adab-adab yang disyariatkan yang mendahului shalat; sebagai persiapan untuknya; karena shalat adalah ibadah yang agung yang seharusnya didahului oleh persiapan dan kesiapan yang sesuai agar Muslim dapat memasuki ibadah ini dalam keadaan terbaik:

فَإِذَا مَشَيْتَ إِلَى الْمَسْجِدِ لِتُؤَدِّيَ الصَّلَاةَ مَعَ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ؛ فَلْيَكُنْ ذَلِكَ بِسَكِينَةٍ وَوَقَارٍ، وَالسَّكِينَةُ: هِيَ الطُّمَأْنِينَةُ وَالتَّأَنِّي فِي الْمَشْيِ، وَالْوَقَارُ: الرَّزَانَةُ وَالْحِلْمُ وَغَضُّ الْبَصَرِ وَخَفْضُ الصَّوْتِ وَقِلَّةُ الِالْتِفَاتِ.

Jika Anda berjalan ke masjid untuk melaksanakan shalat bersama jamaah Muslim; hendaklah itu dilakukan dengan ketenangan dan kewibawaan, dan ketenangan: adalah ketentraman dan perlahan dalam berjalan, dan kewibawaan: adalah kesopanan, kesabaran, menundukkan pandangan, merendahkan suara, dan sedikit menoleh.

وَقَدْ وَرَدَ فِي "الصَّحِيحَيْنِ" عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: "إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلَاةَ " وَفِي لَفْظٍ: "إِذَا سَمِعْتُمُ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةَ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ؛ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ؛ فَأَتِمُّوا"، وَرَوَى الْإِمَامُ مُسْلِمٌ؛ قَالَ: "إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى

Telah diriwayatkan dalam "Shahihain" dari Nabi, beliau bersabda: "Jika kalian mendatangi shalat" dan dalam lafazh lain: "Jika kalian mendengar iqamah maka berjalanlah dan hendaklah kalian tenang, apa yang kalian dapati maka shalatlah, dan apa yang terlewat maka sempurnakanlah", dan Imam Muslim meriwayatkan; beliau berkata: "Sesungguhnya salah seorang dari kalian jika ia bermaksud untuk

الصَّلَاةُ؛ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ

Shalat; maka dia sedang dalam shalat

وَلْيَكُنْ خُرُوجُكَ أَيُّهَا الْمُسْلِمُ إِلَى الْمَسْجِدِ مُبَكِّرًا؛ لِتُدْرِكَ تَكْبِيرَةَ الْإِحْرَامِ، وَتَحْضُرَ الصَّلَاةَ مَعَ الْجَمَاعَةِ مِنْ أَوَّلِهَا، وَقَارِبْ بَيْنَ خُطَاكَ فِي مَشْيِكَ إِلَى الصَّلَاةِ؛ لِتَكْثُرَ حَسَنَاتُكَ؛ فَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" عَنِ النَّبِيِّ؛ أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ؛ لَمْ يَخْطُ خُطْوَةً؛ إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ"

Dan hendaklah keluarmu wahai seorang muslim ke masjid lebih awal; agar kamu mendapatkan takbiratul ihram, dan menghadiri shalat bersama jamaah dari awalnya, dan dekatkan langkahmu dalam perjalananmu ke shalat; agar kebaikanmu bertambah banyak; karena dalam "Shahihain" dari Nabi; bahwasanya beliau bersabda: "Jika salah seorang dari kalian berwudhu dan memperbagus wudhunya, kemudian keluar ke masjid; tidaklah ia melangkah satu langkah pun; kecuali diangkat baginya satu derajat, dan dihapus darinya satu kesalahan"

فَإِذَا وَصَلْتَ بَابَ الْمَسْجِدِ؛ فَقَدِّمْ رِجْلَكَ الْيُمْنَى عِنْدَ الدُّخُولِ، وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ، أَعُوذُ بِاللهِ الْعَظِيمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Maka jika kamu sampai di pintu masjid; maka dahulukan kaki kananmu ketika masuk, dan ucapkanlah: "Dengan nama Allah, aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung dan dengan wajah-Nya Yang Mulia dan kekuasaan-Nya Yang Abadi dari setan yang terkutuk, ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, ya Allah ampunilah dosa-dosaku, dan bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu"

وَإِذَا أَرَدْتَ الْخُرُوجَ؛ قَدِّمْ رِجْلَكَ الْيُسْرَى، وَقُلِ الدُّعَاءَ الَّذِي قُلْتَهُ عِنْدَ الدُّخُولِ، وَتَقُولُ بَدَلَ: "وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ": "وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ"، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَسْجِدَ مَحَلُّ الرَّحْمَةِ، وَخَارِجَ الْمَسْجِدِ مَحَلُّ الرِّزْقِ، وَهُوَ فَضْلٌ مِنَ اللهِ

Dan jika kamu ingin keluar; maka dahulukan kaki kirimu, dan ucapkanlah doa yang kamu ucapkan ketika masuk, dan gantilah: "dan bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu" dengan: "dan bukakanlah untukku pintu-pintu karunia-Mu", dan itu karena masjid adalah tempat rahmat, dan di luar masjid adalah tempat rezeki, dan itu adalah karunia dari Allah

فَإِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ؛ فَلَا تَجْلِسْ حَتَّى تُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ؛ لِقَوْلِهِ: "إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ؛ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ"

Maka jika kamu memasuki masjid; janganlah kamu duduk sampai kamu shalat dua rakaat penghormatan masjid; karena sabdanya: "Jika seseorang memasuki masjid; janganlah ia duduk sampai ia shalat dua rakaat"

ثُمَّ تَجْلِسُ تَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ، وَلْتَكُنْ حَالُ جُلُوسِكَ فِي الْمَسْجِدِ لِانْتِظَارِ الصَّلَاةِ مُشْتَغِلًا بِذِكْرِ اللهِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ، وَتَجَنَّبِ الْعَبَثَ؛ كَتَشْبِيكِ الْأَصَابِعِ وَغَيْرِهِ؛ فَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْهُ فِي حَقِّ مُنْتَظِرِ الصَّلَاةِ، قَالَ: "إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ؛ فَلَا يُشَبِّكَنَّ؛ فَإِنَّ التَّشْبِيكَ مِنَ الشَّيْطَانِ"؛ أَمَّا مَنْ كَانَ فِي الْمَسْجِدِ لِغَيْرِ انْتِظَارِ الصَّلَاةِ؛ فَلَا يُمْنَعُ مِنْ تَشْبِيكِ الْأَصَابِعِ؛ فَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ شَبَّكَ أَصَابِعَهُ فِي الْمَسْجِدِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ مِنَ الصَّلَاةِ.

Kemudian duduklah menunggu shalat, dan hendaklah keadaanmu ketika duduk di masjid untuk menunggu shalat disibukkan dengan dzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur'an, serta menghindari perbuatan sia-sia; seperti menautkan jari-jari dan lainnya; karena telah ada larangan tentang hal itu bagi orang yang menunggu shalat, beliau bersabda: "Jika salah seorang dari kalian berada di masjid; maka janganlah ia menautkan jari-jarinya; karena menautkan jari-jari itu dari setan"; adapun orang yang berada di masjid bukan untuk menunggu shalat; maka tidak dilarang untuk menautkan jari-jarinya; karena telah tetap bahwa Nabi menautkan jari-jarinya di masjid setelah beliau salam dari shalat.

وَفِي حَالِ انْتِظَارِكَ الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ؛ لَا تَخُضْ فِي أَحَادِيثِ الدُّنْيَا؛ لِأَنَّهُ وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّ ذَلِكَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ، وَقَدْ وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ الْعَبْدَ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ، وَالْمَلَائِكَةُ تَسْتَغْفِرُ لَهُ؛ فَلَا تُفَرِّطْ أَيُّهَا الْمُسْلِمُ فِي هَذَا الثَّوَابِ وَتُضَيِّعَهُ بِالْعَبَثِ وَالِاشْتِغَالِ بِالْقِيلِ وَالْقَالِ.

Dan dalam keadaan menunggu shalat di masjid; janganlah engkau terlibat dalam pembicaraan duniawi; karena telah disebutkan dalam hadits bahwa hal itu memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar, dan telah disebutkan dalam hadits yang lain bahwa seorang hamba dalam keadaan shalat selama ia menunggu shalat, dan para malaikat memohonkan ampunan untuknya; maka janganlah engkau, wahai seorang muslim, menyia-nyiakan pahala ini dan menghilangkannya dengan perbuatan sia-sia dan disibukkan dengan omongan yang tidak berguna.

وَإِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ؛ فَقُمْ إِلَيْهَا عِنْدَ قَوْلِ الْمُؤَذِّنِ: "قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ"؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ، وَإِنْ قُمْتَ عِنْدَ بَدْءِ الْإِقَامَةِ؛ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ، هَذَا إِذَا كَانَ الْمَأْمُومُ يَرَى الْإِمَامَ، فَإِنْ كَانَ لَا يَرَاهُ حَالَ الْإِقَامَةِ؛ فَالْأَفْضَلُ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَرَاهُ.

Dan jika shalat telah didirikan, maka berdirilah ketika muadzin mengucapkan: "Qad qāmatiṣ-ṣalāh"; karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan hal itu. Jika engkau berdiri pada awal iqamah, maka tidak mengapa. Ini jika makmum dapat melihat imam. Jika ia tidak dapat melihatnya saat iqamah, maka yang lebih utama adalah tidak berdiri sampai ia dapat melihatnya.

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، احْرِصْ أَنْ تَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ؛ فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ: "لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ، ثُمَّ لَا يَجِدُونَ إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ؛ لَاسْتَهَمُوا"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَقَالَ: "خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا"، وَاحْرِصْ عَلَى الْقُرْبِ مِنَ الْإِمَامِ؛ فَقَدْ قَالَ: "لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى"، هَذَا بِالنِّسْبَةِ لِلرَّجُلِ، وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِلْمَرْأَةِ؛ فَالصَّفُّ الْأَخِيرُ مِنْ صُفُوفِ النِّسَاءِ أَفْضَلُ لَهَا؛ لِقَوْلِهِ: "وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا"؛ أَنَّ ذَلِكَ أَبْعَدُ لَهَا عَنْ رُؤْيَةِ الرِّجَالِ.

Wahai seorang Muslim, bersemangatlah untuk berada di shaf pertama; karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seandainya orang-orang mengetahui keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan cara mengundi, niscaya mereka akan mengundi", muttafaq 'alaih. Beliau juga bersabda: "Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan". Dan bersemangatlah untuk dekat dengan imam; karena beliau bersabda: "Hendaklah orang-orang yang berakal dan bijak di antara kalian dekat denganku". Ini bagi laki-laki. Adapun bagi wanita, maka shaf terakhir dari shaf-shaf wanita adalah yang paling utama baginya; karena sabda beliau: "Dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang"; karena itu lebih jauh baginya dari pandangan laki-laki.

وَيَتَأَكَّدُ فِي حَقِّ الْإِمَامِ وَالْمُصَلِّينَ الِاهْتِمَامُ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ، قَالَ: "سَوُّوا صُفُوفَكُمْ؛ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ،

Dan ditekankan bagi imam dan orang-orang yang shalat untuk memperhatikan meluruskan shaf-shaf. Beliau bersabda: "Luruskanlah shaf-shaf kalian; karena meluruskan shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat", muttafaq 'alaih.

وَفِي الحَدِيثِ الآخَرِ: "لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ"، وَتَسْوِيَةُ الصُّفُوفِ هِيَ تَعْدِيلُهَا بِمُحَاذَاةِ المَنَاكِبِ وَالأَكْعُبِ.

Dalam hadits lain: "Luruskanlah shaf-shaf kalian atau Allah akan menjadikan wajah-wajah kalian saling berselisih", dan meluruskan shaf adalah menyamakannya dengan mensejajarkan pundak dan mata kaki.

وَيَتَأَكَّدُ فِي حَقِّ المُصَلِّينَ سَدُّ الفُرَجِ وَالتَّرَاصُّ فِي الصُّفُوفِ؛ لِقَوْلِهِ: "سَوُّوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا"، رَوَاهُ البُخَارِيُّ، وَمَعْنَاهُ: لَاصِقُوا الصُّفُوفَ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَكُمْ فُرَجٌ؛ فَالمُرَاصَّةُ: التِّصَاقُ بَعْضِ المَأْمُومِينَ بِبَعْضٍ؛ لِيَتَّصِلَ مَا بَيْنَهُمْ؛ وَيَنْسَدَّ الخَلَلُ؛ فَلَا تَبْقَى فُرَجَاتٌ لِلشَّيْطَانِ.

Dan ditekankan bagi orang-orang yang shalat untuk menutup celah dan merapatkan shaf; karena sabdanya: "Luruskanlah shaf-shaf kalian dan rapatkanlah", diriwayatkan oleh Bukhari, dan maknanya adalah: Rapatkanlah shaf-shaf sampai tidak ada celah di antara kalian; karena merapatkan adalah sebagian makmum melekat dengan sebagian yang lain; agar tersambung di antara mereka; dan tertutup celah; sehingga tidak ada celah untuk setan.

وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ يَهْتَمُّ بِتَسْوِيَةِ الصُّفُوفِ وَتَرَاصِّ المَأْمُومِينَ فِيهَا اهْتِمَامًا بَالِغًا؛ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَهَمِّيَّةِ ذَلِكَ وَفَائِدَتِهِ، وَلَيْسَ مَعْنَى رَصِّ الصُّفُوفِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الجُهَّالِ اليَوْمَ مِنْ فَحْجِ رِجْلَيْهِ حَتَّى يُضَايِقَ مَنْ بِجَانِبِهِ؛ لِأَنَّ هَذَا العَمَلَ يُوجِدُ فُرَجًا فِي الصُّفُوفِ١، وَيُؤْذِي المُصَلِّينَ، وَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ؛ فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِينَ الِاهْتِمَامُ بِذَلِكَ، وَالحِرْصُ عَلَيْهِ؛ اقْتِدَاءً بِنَبِيِّهِمْ، وَإِتْمَامًا لِصَلَاتِهِمْ، وَفَّقَ اللهُ الجَمِيعَ لِمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ.

Nabi sangat memperhatikan meluruskan shaf dan merapatkan makmum di dalamnya dengan perhatian yang besar; yang menunjukkan pentingnya hal itu dan manfaatnya, dan makna merapatkan shaf bukanlah apa yang dilakukan sebagian orang bodoh hari ini dengan mengangkangkan kakinya sampai menyempitkan orang di sampingnya; karena perbuatan ini menimbulkan celah dalam shaf¹, dan menyakiti orang-orang yang shalat, dan tidak ada dasarnya dalam syariat; maka hendaknya kaum muslimin memperhatikan hal itu, dan bersemangat melakukannya; mengikuti Nabi mereka, dan menyempurnakan shalat mereka, semoga Allah memberi taufik kepada semua untuk apa yang Dia cintai dan ridhai.

_________ ١ بَيْنَ رِجْلَيِ الفَاحِجِينَ.

_________ ¹ di antara kaki orang-orang yang mengangkang.

بَابٌ فِي أَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَوَاجِبَاتِهَا وَسُنَنِهَا

بَابٌ فِي أَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَوَاجِبَاتِهَا وَسُنَنِهَا

Bab tentang rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajiban, dan sunah-sunahnya

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، إِنَّ الصَّلَاةَ عِبَادَةٌ عَظِيمَةٌ، تَشْتَمِلُ عَلَى أَقْوَالٍ وَأَفْعَالٍ مَشْرُوعَةٍ تَتَكَوَّنُ مِنْهَا صِفَتُهَا الْكَامِلَةُ؛ فَهِيَ كَمَا يَعْرِفُهَا الْعُلَمَاءُ: أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ.

Wahai Muslim, sesungguhnya shalat adalah ibadah yang agung, mencakup ucapan dan perbuatan yang disyariatkan yang membentuk sifat sempurnanya; sebagaimana yang diketahui oleh para ulama: ucapan dan perbuatan yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam.

وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ وَالْأَفْعَالُ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ: أَرْكَانٌ، وَوَاجِبَاتٌ، وَسُنَنٌ.

Ucapan dan perbuatan ini terbagi menjadi tiga bagian: rukun, kewajiban, dan sunah.

فَالْأَرْكَانُ: إِذَا تُرِكَ مِنْهَا شَيْءٌ؛ بَطَلَتِ الصَّلَاةُ، سَوَاءٌ كَانَ تَرْكُهُ عَمْدًا أَوْ سَهْوًا، أَوْ بَطَلَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَرَكَهُ مِنْهَا، وَقَامَتِ الَّتِي تَلِيهَا مَقَامَهَا؛ كَمَا يَأْتِي بَيَانُهُ.

Adapun rukun-rukun: jika salah satunya ditinggalkan, maka shalat menjadi batal, baik ditinggalkan dengan sengaja atau lupa, atau rakaat yang ditinggalkan menjadi batal dan digantikan oleh rakaat berikutnya; sebagaimana akan dijelaskan nanti.

وَالْوَاجِبَاتُ: إِذَا تَرَكَ مِنْهَا شَيْءٌ عَمْدًا؛ بَطَلَتِ الصَّلَاةُ، وَإِنْ كَانَ تَرْكُهُ سَهْوًا لَمْ تَبْطُلْ، وَيَجْبُرُهُ سُجُودُ السَّهْوِ.

Adapun kewajiban-kewajiban: jika salah satunya ditinggalkan dengan sengaja, maka shalat menjadi batal. Jika ditinggalkan karena lupa, maka shalat tidak batal, dan dapat ditutupi dengan sujud sahwi.

وَالسُّنَنُ: لَا تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِتَرْكِ شَيْءٍ مِنْهَا لَا عَمْدًا وَلَا سَهْوًا، لَكِنْ تَنْقُصُ هَيْئَةُ الصَّلَاةِ بِذَلِكَ.

Adapun sunah-sunah: shalat tidak batal karena meninggalkan salah satunya, baik dengan sengaja maupun lupa, tetapi hal itu mengurangi kesempurnaan shalat.

وَالنَّبِيُّ صَلَّى صَلَاةً كَامِلَةً بِجَمِيعِ أَرْكَانِهَا وَوَاجِبَاتِهَا وَسُنَنِهَا، وَقَالَ: "صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ... ".

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan shalat secara sempurna dengan seluruh rukun, kewajiban, dan sunahnya, dan beliau bersabda, "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat..."

فَأَرْكَانُ الصَّلَاةِ أَرْبَعَةَ عَشَرَ: وَهِيَ كَمَا يَلِي:

Rukun shalat ada empat belas: yaitu sebagai berikut:

الرُّكْنُ الْأَوَّلُ: الْقِيَامُ فِي صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ﴾، وَفِي حَدِيثِ عِمْرَانَ مَرْفُوعًا: "صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ؛ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ؛ فَعَلَى جَنْبٍ"، فَدَلَّتِ الْآيَةُ وَالْحَدِيثُ عَلَى وُجُوبِ الْقِيَامِ فِي الصَّلَاةِ الْمَفْرُوضَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ.

Rukun pertama: Berdiri dalam shalat fardhu, Allah Ta'ala berfirman: "Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'". Dan dalam hadits 'Imran yang diriwayatkan secara marfu': "Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak mampu, maka dengan duduk, jika kamu tidak mampu, maka dengan berbaring". Ayat dan hadits ini menunjukkan kewajiban berdiri dalam shalat fardhu jika mampu.

فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْقِيَامِ لِمَرَضٍ؛ صَلَّى عَلَى حَسَبِ حَالِهِ قَاعِدًا أَوْ عَلَى جَنْبٍ، وَمِثْلُ الْمَرِيضِ الْخَائِفُ وَالْعُرْيَانُ، وَمَنْ يَحْتَاجُ لِلْجُلُوسِ أَوِ الِاضْطِجَاعِ لِمُدَاوَاةٍ تَتَطَلَّبُ عَدَمَ الْقِيَامِ، وَكَذَلِكَ مَنْ كَانَ لَا يَسْتَطِيعُ الْقِيَامَ لِقِصَرِ سَقْفٍ فَوْقَهُ، وَلَا يَسْتَطِيعُ الْخُرُوجَ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا بِتَرْكِ الْقِيَامِ مَنْ يُصَلِّي خَلْفَ الْإِمَامِ الرَّاتِبِ الَّذِي يَعْجِزُ عَنِ الْقِيَامِ، فَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا؛ فَإِنَّ مَنْ خَلْفَهُ يُصَلُّونَ قُعُودًا؛ تَبَعًا لِإِمَامِهِمْ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا مَرِضَ؛ صَلَّى قَاعِدًا، وَأَمَرَ مَنْ خَلْفَهُ بِالْقُعُودِ.

Jika tidak mampu berdiri karena sakit, maka shalatlah sesuai kondisinya dengan duduk atau berbaring. Seperti orang sakit, orang yang takut, orang yang telanjang, dan orang yang perlu duduk atau berbaring untuk pengobatan yang mengharuskan tidak berdiri. Demikian pula orang yang tidak mampu berdiri karena atap yang rendah di atasnya dan tidak bisa keluar. Juga dimaafkan meninggalkan berdiri bagi orang yang shalat di belakang imam tetap yang tidak mampu berdiri. Jika imam shalat dengan duduk, maka makmum di belakangnya shalat dengan duduk pula, mengikuti imam mereka. Karena ketika imam sakit dan shalat dengan duduk, beliau memerintahkan makmum di belakangnya untuk duduk.

وَصَلَاةُ النَّافِلَةِ يَجُوزُ أَنْ تُصَلَّى قِيَامًا وَقُعُودًا؛ فَلَا يَجِبُ الْقِيَامُ فِيهَا؛ لِثُبُوتِ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُصَلِّيهَا أَحْيَانًا جَالِسًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ.

Shalat sunnah boleh dilakukan dengan berdiri atau duduk; berdiri tidak wajib di dalamnya; karena terbukti bahwa Nabi terkadang melakukannya sambil duduk tanpa alasan.

الرُّكْنُ الثَّانِي: تَكْبِيرَةُ الْإِحْرَامِ فِي أَوَّلِهَا: لِقَوْلِهِ: "ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَكَبَّرَ"، وَقَوْلِهِ: "تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ".

Rukun kedua: takbiratul ihram di awalnya: karena sabdanya: "Kemudian menghadap kiblat dan bertakbir", dan sabdanya: "Pengharamannya adalah takbir".

وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْهُ أَنَّهُ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ بِغَيْرِ التَّكْبِيرِ، وَصِيغَتُهَا أَنْ يَقُولَ: اللهُ أَكْبَرُ، لَا يُجْزِيهِ غَيْرُهَا؛ لِأَنَّ هَذَا هُوَ الْوَارِدُ عَنِ الرَّسُولِ.

Dan tidak diriwayatkan darinya bahwa dia memulai shalat dengan selain takbir, dan redaksinya adalah dengan mengatakan: Allahu Akbar, tidak cukup selain itu; karena inilah yang diriwayatkan dari Rasulullah.

الرُّكْنُ الثَّالِثُ: قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ، لِحَدِيثِ: "لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ".

Rukun ketiga: membaca Al-Fatihah, berdasarkan hadits: "Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Fatihatul Kitab".

وَقِرَاءَتُهَا رُكْنٌ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، وَصَحَّ عَنِ النَّبِيِّ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَؤُهَا فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، وَحِينَمَا عَلَّمَ الْمُسِيءَ فِي صَلَاتِهِ كَيْفَ يُصَلِّي؛ أَمَرَهُ

Dan membacanya adalah rukun dalam setiap rakaat, dan telah sahih dari Nabi bahwa beliau membacanya dalam setiap rakaat, dan ketika mengajarkan orang yang salah dalam shalatnya bagaimana cara shalat; beliau memerintahkannya

بِقِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ.

Dengan membaca Al-Fatihah.

وَهَلْ هِيَ وَاجِبَةٌ فِي حَقِّ كُلِّ مُصَلٍّ، أَوْ يَخْتَصُّ وُجُوبُهَا بِالْإِمَامِ وَالْمُنْفَرِدِ؟ فِيهِ خِلَافٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ، وَالْأَحْوَطُ أَنَّ الْمَأْمُومَ يَحْرِصُ عَلَى قِرَاءَتِهَا فِي الصَّلَوَاتِ الَّتِي لَا يَجْهَرُ فِيهَا الْإِمَامُ، وَفِي سَكَتَاتِ الْإِمَامِ فِي الصَّلَاةِ الْجَهْرِيَّةِ.

Apakah itu wajib bagi setiap orang yang shalat, atau kewajibannya khusus untuk imam dan orang yang shalat sendirian? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hal ini. Yang paling hati-hati adalah makmum berusaha untuk membacanya dalam shalat di mana imam tidak mengeraskan suaranya, dan pada saat imam diam dalam shalat jahriyah.

الرُّكْنُ الرَّابِعُ: الرُّكُوعُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا﴾، وَقَدْ ثَبَتَ الرُّكُوعُ فِي سُنَّةِ الرَّسُولِ؛ فَهُوَ وَاجِبٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ.

Rukun keempat: Ruku' pada setiap rakaat, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah dan sujudlah", dan ruku' telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah; maka ia wajib berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma'.

وَهُوَ فِي اللُّغَةِ الِانْحِنَاءُ، وَالرُّكُوعُ الْمُجْزِئُ مِنَ الْقَائِمِ هُوَ أَنْ يَنْحَنِيَ حَتَّى تَبْلُغَ كَفَّاهُ رُكْبَتَيْهِ إِذَا كَانَ وَسَطَ الْخِلْقَةِ؛ أَيْ: غَيْرَ طَوِيلِ الْيَدَيْنِ أَوْ قَصِيرَهُمَا، وَقَدْرَ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ وَسَطِ الْخِلْقَةِ، وَالْمُجْزِئُ مِنَ الرُّكُوعِ فِي حَقِّ الْجَالِسِ مُقَابَلَةُ وَجْهِهِ مَا وَرَاءَ رُكْبَتَيْهِ مِنَ الْأَرْضِ.

Dalam bahasa, ruku' berarti membungkuk. Ruku' yang mencukupi bagi orang yang berdiri adalah membungkuk hingga kedua telapak tangannya mencapai lututnya jika ia memiliki postur tubuh sedang; yaitu tidak memiliki tangan yang panjang atau pendek, dan ukuran itu untuk orang yang tidak memiliki postur tubuh sedang. Adapun ruku' yang mencukupi bagi orang yang duduk adalah menghadapkan wajahnya ke tanah di belakang lututnya.

الرُّكْنَانِ الْخَامِسُ وَالسَّادِسُ: الرَّفْعُ مِنَ الرُّكُوعِ وَالِاعْتِدَالُ وَاقِفًا

Rukun kelima dan keenam: Bangkit dari ruku' dan berdiri tegak

كَحَالَتِهِ قَبْلَهُ، لِأَنَّهُ دَاوَمَ عَلَى فِعْلِهِ، وَقَالَ: "صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي".

Seperti keadaannya sebelumnya, karena dia terus melakukannya, dan berkata: "Shalatlah seperti kalian melihatku shalat".

الرُّكْنُ السَّابِعُ: السُّجُودُ، وَهُوَ وَضْعُ الْجَبْهَةِ عَلَى الْأَرْضِ، وَيَكُونُ عَلَى الْأَعْضَاءِ السَّبْعَةِ، فِي كُلِّ رَكْعَةٍ مَرَّتَيْنِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَاسْجُدُوا﴾، وَلِلْأَحَادِيثِ الْوَارِدَةِ مِنْ أَمْرِ النَّبِيِّ بِهِ، وَفِعْلِهِ لَهُ، وَقَوْلِهِ: "صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي".

Rukun ketujuh: Sujud, yaitu meletakkan dahi di atas tanah, dan dilakukan pada tujuh anggota badan, dalam setiap rakaat dua kali; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan sujudlah", dan berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari perintah Nabi tentangnya, perbuatannya, dan perkataannya: "Shalatlah seperti kalian melihatku shalat".

فَالْأَعْضَاءُ السَّبْعَةُ هِيَ: الْجَبْهَةُ، وَالْأَنْفُ، وَالْيَدَانِ، وَالرُّكْبَتَانِ، وَأَطْرَافُ الْقَدَمَيْنِ؛ فَلَا بُدَّ أَنْ يُبَاشِرَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَعْضَاءِ مَوْضِعَ السُّجُودِ وَحَسْبَ الْإِمْكَانِ، وَالسُّجُودُ أَعْظَمُ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ، وَأَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ؛ فَأَفْضَلُ الْأَحْوَالِ حَالٌ يَكُونُ الْعَبْدُ فِيهَا أَرْبَ إِلَى اللَّهِ، وَهُوَ السُّجُودُ.

Tujuh anggota badan tersebut adalah: dahi, hidung, kedua tangan, kedua lutut, dan ujung kedua kaki; maka setiap anggota badan tersebut harus menyentuh tempat sujud sesuai kemampuan. Sujud adalah rukun shalat yang paling agung, dan sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika dia sedang sujud; maka keadaan yang paling utama adalah keadaan di mana seorang hamba paling dekat dengan Allah, yaitu sujud.

الرُّكْنُ الثَّامِنُ: الرَّفْعُ مِنَ السُّجُودِ وَالْجُلُوسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، لِقَوْلِ عَائِشَةَ ﵂: "كَانَ النَّبِيُّ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ؛ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا" رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Rukun kedelapan: Bangkit dari sujud dan duduk di antara dua sujud, berdasarkan perkataan Aisyah ﵂: "Nabi ketika mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak sujud lagi hingga duduk dengan lurus" diriwayatkan oleh Muslim.

الرُّكْنُ التَّاسِعُ: الطُّمَأْنِينَةُ فِي كُلِّ الأَفْعَالِ المَذْكُورَةِ، وَهِيَ السُّكُونُ، وَغَنْ قَلَّ، وَقَدْ دَلَّ الكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ لَا يَطْمَئِنُّ فِي صَلَاتِهِ؛ لَا يَكُونُ مُصَلِّيًا، وَيُؤْمَرُ بِإِعَادَتِهَا.

Rukun kesembilan: Tuma'ninah (tenang) dalam semua perbuatan yang disebutkan, yaitu diam, meskipun sebentar. Al-Qur'an dan Sunnah telah menunjukkan bahwa orang yang tidak tuma'ninah dalam shalatnya, tidak dianggap sebagai orang yang shalat, dan diperintahkan untuk mengulanginya.

الرُّكْنَانِ العَاشِرُ وَالحَادِي عَشَرَ: التَّشَهُّدُ الأَخِيرُ وَجَلْسَتُهُ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: "التَّحِيَّاتُ...." إِلَخْ، "اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ"؛ فَقَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ لَازِمَهُ، وَقَالَ: "صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي"، وَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ ﵁: "كُنَّا نَقُولُ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ عَلَيْنَا التَّشَهُّدُ"؛ فَقَوْلُهُ: "قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ عَلَيْنَا": دَلِيلٌ عَلَى فَرْضِهِ.

Rukun kesepuluh dan kesebelas: Tasyahud akhir dan duduknya, yaitu dengan mengucapkan: "At-tahiyyatu..." dan seterusnya, "Allahumma shalli 'ala Muhammad". Telah ditetapkan bahwa itu adalah keharusan baginya. Nabi bersabda: "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat". Ibnu Mas'ud ﵁ berkata: "Kami mengucapkannya sebelum tasyahud diwajibkan kepada kami". Perkataannya: "sebelum diwajibkan kepada kami" adalah dalil atas kewajibannya.

الرُّكْنُ الثَّانِي عَشَرَ: الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فِي التَّشَهُّدِ الأَخِيرِ:

Rukun kedua belas: Bershalawat kepada Nabi ﷺ dalam tasyahud akhir:

بِأَنْ يَقُولَ:"اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ"، وَمَا زَادَ عَلِي ذَلِكَ، فَهُوَ سُنَّةٌ

Dengan mengucapkan: "Allahumma shalli 'ala Muhammad", dan apa yang ditambahkan setelah itu adalah sunnah.

الرُّكْنُ الثَّالِثَ عَشَرَ: التَّرْتِيبُ بَيْنَ الأَرْكَانِ:

Rukun ketiga belas: Berurutan di antara rukun-rukun:

لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّيهَا مُرَتَّبَةً، وَقَالَ: " صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي"، وَقَدْ عَلَّمَهَا لِلْمُسِيءِ مُرَتَّبَةً بِ"ثُمَّ"

Karena Nabi ﷺ melaksanakannya secara berurutan, dan bersabda: "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat". Beliau telah mengajarkannya kepada orang yang keliru secara berurutan dengan kata "tsumma" (kemudian).

الرُّكْنُ الرَّابِعَ عَشَرَ: التَّسْلِيمُ:

Rukun keempat belas: Salam:

لِقَوْلِهِ ﷺ: "وَخِتَامُهَا التَّسْلِيمُ"، وَقَوْلِهِ ﷺ: "وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ"؛فَالتَّسْلِيمُ شُرِعَ لِلتَّحَلُّلِ مِنَ الصَّلَاةِ؛ فَهُوَ خِتَامُهَا وَعَلَامَةُ انْتِهَائِهَا

Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Dan penutupnya adalah salam", dan sabdanya ﷺ: "Dan penghalalnya adalah salam"; maka salam disyariatkan untuk keluar dari shalat; ia adalah penutup dan tanda berakhirnya shalat.

أَيُّهَا الْقَارِئُ الْكَرِيمُ، مَنْ تَرَكَ رُكْنًا مِنْ هَذِهِ الْأَرْكَانِ:

Wahai pembaca yang mulia, barangsiapa meninggalkan salah satu rukun dari rukun-rukun ini:

فَإِنْ كَانَ التَّحْرِيمَةَ؛ لَمْ تَنْعَقِدِ الصَّلَاةُ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ التَّحْرِيمَةِ، وَقَدْ تَرَكَهُ عَمْدًا؛ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ أَيْضًا، وَإِنْ كَانَ تَرَكَهُ سَهْوًا كَرُكُوعٍ أَوْ سُجُودٍ، فَإِنْ ذَكَرَهُ قَبْلَ شُرُوعِهِ فِي قِرَاءَةِ رَكْعَةٍ أُخْرَى؛ فَإِنَّهُ يَعُودُ لِيَأْتِيَ بِهِ وَبِمَا بَعْدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الَّتِي تَرَكَهُ فِيهَا، وَإِنْ ذَكَرَهُ بَعْدَ شُرُوعِهِ فِي قِرَاءَةِ الرَّكْعَةِ الْأُخْرَى؛ أُلْغِيَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَرَكَهُ مِنْهَا وَقَامَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي شَرَعَ فِي قِرَاءَتِهَا مَقَامَهَا، وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ، وَإِنْ عَلِمَ الرُّكْنَ الْمَتْرُوكَ بَعْدَ السَّلَامِ، فَإِنْ كَانَ تَشَهُّدًا أَخِيرًا أَوْ سَلَامًا؛ أَتَى بِهِ، وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ وَسَلَّمَ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَهُمَا كَرُكُوعٍ أَوْ سُجُودٍ؛ فَإِنَّهُ يَأْتِي بِرَكْعَةٍ كَامِلَةٍ بَدَلَ الرَّكْعَةِ الَّتِي تَرَكَهُ مِنْهَا، وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ، مَا لَمْ يَطُلِ الْفَصْلُ، فَإِنْ طَالَ الْفَصْلُ، أَوِ انْتَقَضَ وُضُوؤُهُ؛ أَعَادَ الصَّلَاةَ كَامِلَةً.

Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya tidak sah. Jika selain takbiratul ihram dan dia meninggalkannya dengan sengaja, maka shalatnya juga batal. Jika dia meninggalkannya karena lupa, seperti ruku' atau sujud, jika dia mengingatnya sebelum memulai membaca pada rakaat lain, maka dia kembali untuk melakukannya dan apa yang setelahnya dari rakaat di mana dia meninggalkannya. Jika dia mengingatnya setelah memulai membaca pada rakaat lain, maka rakaat yang dia tinggalkan darinya dibatalkan dan rakaat yang dia mulai membacanya menggantikan posisinya, dan dia sujud sahwi. Jika dia mengetahui rukun yang ditinggalkan setelah salam, jika itu tasyahud akhir atau salam, dia melakukannya, sujud sahwi, dan salam. Jika selain keduanya seperti ruku' atau sujud, maka dia melakukan satu rakaat penuh sebagai ganti rakaat yang dia tinggalkan darinya, dan sujud sahwi, selama jeda waktunya tidak panjang. Jika jeda waktunya panjang atau wudhunya batal, dia mengulangi shalat secara lengkap.

فَمَا أَعْظَمَ هَذِهِ الصَّلَاةَ وَمَا تَشْمَلُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ الْجَلِيَّةِ!

Betapa agungnya shalat ini dan apa yang mencakup ucapan dan perbuatan yang jelas!

وَفَّقَ اللهُ الْجَمِيعَ لِإِقَامَتِهَا وَالْمُحَافَظَةِ عَلَيْهَا.

Semoga Allah memberi taufik kepada semua untuk mendirikan dan memeliharanya.

وَاجِبَاتُ الصَّلَاةِ ثَمَانِيَةٌ:

Kewajiban shalat ada delapan:

الْأَوَّلُ: جَمِيعُ التَّكْبِيرَاتِ الَّتِي فِي الصَّلَاةِ غَيْرُ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ وَاجِبَةٌ؛ فَجَمِيعُ تَكْبِيرَاتِ الِانْتِقَالِ مِنْ قَبِيلِ الْوَاجِبِ لَا مِنْ قَبِيلِ الرُّكْنِ.

Pertama: Semua takbir dalam shalat selain takbiratul ihram adalah wajib; semua takbir perpindahan termasuk wajib, bukan rukun.

الثَّانِي: التَّحْمِيدُ؛ أَيْ قَوْلُ: "رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ"، لِإِمَامٍ وَالْمَأْمُومِ وَالْمُنْفَرِدِ؛ لِقَوْلِهِ: "إِذَا قَالَ الْإِمَامُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ؛ فَقُولُوا: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ".

Kedua: Tahmid; yaitu mengucapkan: "Rabbana walakal hamdu", bagi imam, makmum, dan orang yang shalat sendirian; berdasarkan sabdanya: "Jika imam mengucapkan: Sami'allahu liman hamidah; maka ucapkanlah: Rabbana walakal hamdu".

الرَّابِعُ: قَوْلُ: "سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى"، فِي السُّجُودِ، مَرَّةً وَاحِدَةً، وَيُسَنُّ الزِّيَادَةُ إِلَى ثَلَاثٍ هِيَ أَوْفَى الْكَمَالِ، وَإِلَى عَشْرٍ وَهِيَ أَعْلَاهُ.

Keempat: Mengucapkan: "Subhana Rabbiyal A'la", dalam sujud, satu kali, dan disunnahkan menambahnya hingga tiga kali yang merupakan kesempurnaan, dan hingga sepuluh kali yang merupakan puncaknya.

الْخَامِسُ: قَوْلُهُ: "سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى"، فِي السُّجُودِ، مَرَّةً وَاحِدَةً، وَتُسَنُّ الزِّيَادَةُ إِلَى ثَلَاثٍ.

Kelima: Mengucapkan: "Subhana Rabbiyal A'la", dalam sujud, satu kali, dan disunnahkan menambahnya hingga tiga kali.

السَّادِسُ: قَوْلُ: "رَبِّ اغْفِرْ لِي"، بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، مَرَّةً وَاحِدَةً، وَتُسَنُّ الزِّيَادَةُ إِلَى ثَلَاثٍ.

Keenam: Mengucapkan: "Rabbighfirli", di antara dua sujud, satu kali, dan disunnahkan menambahnya hingga tiga kali.

السَّابِعُ: التَّشَهُّدُ الْأَوَّلُ، وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: "التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ مِمَّا وَرَدَ.

Ketujuh: Tasyahud awal, yaitu dengan mengucapkan: "At-tahiyyatu lillahi wash-shalawatu wath-thayyibatu, as-salamu 'alaika ayyuhan-nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuhu, as-salamu 'alaina wa 'ala 'ibadillahish-shalihin, asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluhu", atau semisalnya dari apa yang diriwayatkan.

الثَّامِنُ: الجُلُوسُ لِلتَّشَهُّدِ الأَوَّلِ لِفِعْلِهِ ذَلِكَ، وَمُدَاوَمَتِهِ عَلَيْهِ، مَعَ قَوْلِهِ: "صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي".

Kedelapan: Duduk untuk tasyahud awal karena beliau melakukannya, dan senantiasa melakukannya, serta sabdanya: "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat".

وَمَنْ تَرَكَ وَاجِبًا مِنْ هَذِهِ الوَاجِبَاتِ القَوْلِيَّةِ وَالفِعْلِيَّةِ الثَّمَانِيَةِ مُتَعَمِّدًا، بَطَلَتْ صَلَاتُهُ؛ لِأَنَّهُ مُتَلَاعِبٌ فِيهَا، وَمَنْ تَرَكَهُ سَهْوًا أَوْ جَهْلًا؛ فَإِنَّهُ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ؛ لِأَنَّهُ تَرَكَ وَاجِبًا يَحْرُمُ تَرْكُهُ، فَيُجْبِرُهُ بِسُجُودِ السَّهْوِ.

Barangsiapa yang meninggalkan salah satu dari delapan kewajiban perkataan dan perbuatan ini dengan sengaja, maka shalatnya batal; karena dia main-main dalam shalatnya. Dan barangsiapa yang meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu; maka dia harus sujud sahwi; karena dia telah meninggalkan kewajiban yang haram untuk ditinggalkan, maka dia harus menggantinya dengan sujud sahwi.

سُنَنُ الصَّلَاةِ:

Sunnah-sunnah shalat:

وَالقِسْمُ الثَّالِثُ أَفْعَالٌ وَأَقْوَالٌ الصَّلَاةِ غَيْرُ مَا ذُكِرَ فِي القِسْمَيْنِ الأَوَّلَيْنِ: سُنَّةٌ، لَا تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِتَرْكِهِ.

Bagian ketiga adalah perbuatan dan perkataan dalam shalat selain yang disebutkan dalam dua bagian pertama: sunnah, shalat tidak batal karena meninggalkannya.

وَسُنَنُ الصَّلَاةِ نَوْعَانِ:

Sunnah-sunnah shalat ada dua jenis:

النَّوْعُ الأَوَّلُ: سُنَنُ الأَقْوَالِ، وَهِيَ كَثِيرَةٌ؛ مِنْهَا: الِاسْتِفْتَاحُ، وَالتَّعَوُّذُ، البَسْمَلَةُ، وَالتَّأْمِينُ، وَالقِرَاءَةُ بَعْدَ الفَاتِحَةِ بِمَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْآنِ فِي صَلَاةِ الفَجْرِ وَصَلَاةِ الجُمُعَةِ وَالعِيدِ وَصَلَاةِ الكُسُوفِ وَالرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ وَالظُّهْرِ وَالعَصْرِ.

Jenis pertama: sunnah-sunnah perkataan, dan itu banyak; di antaranya: doa iftitah, ta'awwudz, basmalah, mengucapkan aamiin, dan membaca setelah Al-Fatihah dengan apa yang mudah dari Al-Qur'an dalam shalat Subuh, shalat Jumat, shalat Ied, shalat gerhana, dan dua rakaat pertama dari Maghrib, Isya, Zuhur, dan Ashar.

وَمِنْ سُنَنِ الأَقْوَالِ: قَوْلُ: "مِلْءَ السَّمَاءِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَاشِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ"؛ بَعْدَ قَوْلِهِ: "رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ"،وَمَا زَادَ عَلَى المَرَّةِ الوَاحِدَةِ فِي تَسْبِيحِ رُكُوعٍ وَسُجُودٍ، وَالزِّيَادَةُ عَلَى المَرَّةِ فِي قَوْلِ: "رَبِّ اغْفِرْ لِي"؛ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، وَقَوْلُهُ: "اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَسِيحِ الدَّجَّالِ"، وَمَا

Di antara sunnah-sunnah perkataan: mengucapkan: "Sepenuh langit dan sepenuh bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelahnya"; setelah mengucapkan: "Wahai Rabb kami, dan segala puji bagi-Mu", dan apa yang lebih dari satu kali dalam bertasbih ketika ruku' dan sujud, dan menambahkan lebih dari satu kali dalam mengucapkan: "Ya Rabb, ampunilah aku"; di antara dua sujud, dan mengucapkan: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal", dan apa

زَادَ عَلَى ذَلِكَ الدُّعَاءُ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ.

Selain itu, ada doa dalam tasyahud akhir.

وَالنَّوْعُ الثَّانِي: سُنَنُ الْأَفْعَالِ؛ كَرَفْعِ الْيَدَيْنِ عِنْدَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ، وَعِنْدَ الْهَوِيِّ إِلَى الرُّكُوعِ، وَعِنْدَ الرَّفْعِ مِنْهُ، وَوَضْعِ الْيَدِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، وَوَضْعِهِمَا عَلَى صَدْرِهِ أَوْ تَحْتَ سُرَّتِهِ فِي حَالِ الْقِيَامِ، وَالنَّظَرِ إِلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ، وَوَضْعِ الْيَدَيْنِ عَلَى الرُّكْبَتَيْنِ فِي الرُّكُوعِ، وَمُجَافَاةِ بَطْنِهِ عَنْ فَخِذَيْهِ وَفَخِذَيْهِ عَنْ سَاقَيْهِ فِي السُّجُودِ، وَمَدِّ ظَهْرِهِ فِي الرُّكُوعِ مُعْتَدِلًا، وَجَعْلِ رَأْسِهِ حِيَالَهُ؛ فَلَا يَخْفِضُهُ وَلَا يَرْفَعُهُ، وَتَمْكِينِ جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ وَبَقِيَّةِ الْأَعْضَاءِ مِنْ مَوْضِعِ السُّجُودِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ سُنَنِ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ مِمَّا هُوَ مُفَصَّلٌ فِي كُتُبِ الْفِقْهِ.

Jenis kedua: sunnah-sunnah perbuatan; seperti mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram, saat turun untuk ruku', saat bangkit dari ruku', meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, meletakkan keduanya di dada atau di bawah pusar saat berdiri, memandang tempat sujud, meletakkan kedua tangan di atas lutut saat ruku', menjauhkan perut dari paha dan paha dari betis saat sujud, meluruskan punggung saat ruku' dengan seimbang, menjadikan kepala sejajar; tidak menunduk atau mengangkatnya, menekankan dahi, hidung, dan anggota tubuh lainnya pada tempat sujud, dan sunnah-sunnah perkataan dan perbuatan lainnya yang dijelaskan secara rinci dalam kitab-kitab fikih.

وَهَذِهِ السُّنَنُ لَا يَلْزَمُ الْإِتْيَانُ بِهَا فِي الصَّلَاةِ، بَلْ مَنْ فَعَلَهَا أَوْشَيْئًا مِنْهَا؛ فَلَهُ زِيَادَةُ أَجْرٍ، وَمَنْ تَرَكَهَا أَوْ بَعْضَهَا؛ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ؛ شَأْنُ سَائِرِ السُّنَنِ.

Sunnah-sunnah ini tidak wajib dilakukan dalam shalat, tetapi siapa yang melakukannya atau sebagiannya; maka dia mendapatkan tambahan pahala, dan siapa yang meninggalkannya atau sebagiannya; maka tidak ada dosa atasnya; sebagaimana sunnah-sunnah lainnya.

وَمِنْ هُنَا لَا نَرَى مُرَرًا لِمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الشَّبَابِ الْيَوْمَ مِنَ التَّشَدُّدِ يِ أَمْرِ السُّنَنِ فِي الصَّلَاةِ، حَتَّى رُبَّمَا أَدَّى بِهِمْ هَذَا التَّزَيُّدُ فِي تَطْبِيقِهَا بِصُورَةٍ غَرِيبَةٍ؛ كَأَنْ يَحْنِيَ أَحَدُهُمْ رَأْسَهُ فِي الْقِيَامِ إِلَى قَرِيبٍ مِنَ الرُّكُوعِ، وَيَجْمَعَ يَدَيْهِ عَلَى ثُغْرَةِ نَحْرِهِ بَدَلًا مِنْ وَضْعِهَا عَلَى صَدْرِهِ أَوْ تَحْتَ سُرَّتِهِ؛ كَمَا وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّةُ، وَتَشَدُّدِهِمْ فِي شَأْنِ السُّتْرَةِ، حَتَّى إِنَّ بَعْضَهُمْ يَتْرُكُ الْقِيَامَ فِي الصَّفِّ لِأَدَاءِ النَّافِلَةِ، وَيَذْهَبُ إِلَى مَكَانٍ آخَرَ، يَبْحَثُ فِيهِ عَنْ سُتْرَةٍ،

Dari sini, kami tidak melihat kepahitan terhadap apa yang dilakukan sebagian pemuda saat ini berupa sikap keras dalam masalah sunnah-sunnah dalam shalat, sampai-sampai sikap berlebihan ini terkadang membawa mereka untuk menerapkannya dengan cara yang aneh; seperti seseorang membungkukkan kepalanya saat berdiri mendekati ruku', mengumpulkan kedua tangannya di atas lehernya sebagai ganti meletakkannya di dada atau di bawah pusar; sebagaimana yang diajarkan oleh sunnah, dan sikap keras mereka dalam masalah sutrah, sampai-sampai sebagian mereka meninggalkan berdiri di shaf untuk melaksanakan shalat sunnah, dan pergi ke tempat lain, mencari sutrah di sana,

وَكَذَا مَدَّ أَحَدُهُمْ رَأْسَهُ إِلَى أَمَامٍ وَرِجْلَيْهِ إِلَى خَلْفٍ فِي السُّجُودِ، حَتَّى يُصْبِحَ كَالْقَوْسِ أَوْ قَرِيبًا مِنَ الْمُنْبَطِحِ،

Dan begitu pula, salah seorang dari mereka memanjangkan kepalanya ke depan dan kakinya ke belakang saat sujud, hingga menjadi seperti busur atau hampir terbaring,

وَكَذَا فَحَجَ أَحَدُهُمْ رِجْلَيْهِ فِي حَالِ الْقِيَامِ حَتَّى يُضَيِّقَ عَلَى مَنْ بِجَانِبِهِ، وَهَذِهِ صِفَاتٌ غَرِيبَةٌ، رُبَّمَا تُؤَدِّي إِلَى الْغُلُوِّ الْمَمْقُوتِ.

Dan begitu pula, salah seorang dari mereka merenggangkan kakinya saat berdiri hingga menyempitkan orang di sampingnya, dan ini adalah sifat-sifat yang aneh, mungkin mengarah pada sikap berlebihan yang dibenci.

وَنَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَهُمُ التَّوْفِيقَ لِلْحَقِّ وَالْعَمَلَ بِهِ.

Dan kami memohon kepada Allah bagi kami dan mereka petunjuk kepada kebenaran dan mengamalkannya.

بَابٌ فِي صِفَةِ الصَّلَاةِ

بَعْدَ أَنْ بَيَّنَّا أَرْكَانَ الصَّلَاةِ وَوَاجِبَاتِهَا وَسُنَنَهَا الْقَوْلِيَّةَ وَالْفِعْلِيَّةَ نُرِيدُ أَنْ نَذْكُرَ صِفَةَ الصَّلَاةِ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى تِلْكَ الْأَرْكَانِ وَالْوَاجِبَاتِ وَالسُّنَنِ حَسْبَمَا وَرَدَتْ بِهِ النُّصُوصُ مِنْ صِفَةِ صَلَاةِ النَّبِيِّ؛ لِتَكُونَ قُدْوَةً لِلْمُسْلِمِ؛ عَمَلًا بِقَوْلِهِ: "وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي"، وَإِلَيْكَ سِيَاقَ ذَلِكَ.

Setelah kami menjelaskan rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajibannya, dan sunah-sunahnya baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, kami ingin menyebutkan sifat shalat yang mencakup rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan sunah-sunah tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam nash-nash tentang sifat shalat Nabi; agar menjadi teladan bagi seorang Muslim; mengamalkan sabdanya: "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat", dan inilah penjelasannya.

كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ؛ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، وَاسْتَقْبَلَ بِبُطُونِ أَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ، وَقَالَ: "اللهُ أَكْبَرُ".

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika berdiri untuk shalat; beliau menghadap kiblat, mengangkat kedua tangannya, dan menghadapkan telapak jari-jarinya ke arah kiblat, lalu mengucapkan: "Allahu Akbar".

ثُمَّ يُمْسِكُ شِمَالَهُ بِيَمِينِهِ، وَيَضَعُهُمَا عَلَى صَدْرِهِ.

Kemudian beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya, dan meletakkan keduanya di atas dadanya.

ثُمَّ يَسْتَفْتِحُ، وَلَمْ يَكُنْ يُدَاوِمُ عَلَى اسْتِفْتَاحٍ وَاحِدٍ؛ فَكُلُّ الِاسْتِفْتَاحَاتِ الثَّابِتَةِ عَنْهُ يَجُوزُ الِاسْتِفْتَاحُ بِهَا، وَمِنْهَا: "سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ".

Kemudian beliau membaca doa Istiftah, dan beliau tidak selalu membaca satu doa Istiftah saja; maka semua doa Istiftah yang shahih dari beliau boleh dibaca, di antaranya: "Subhaanaka Allaahumma wa bihamdika, wa tabaaraka ismuka, wa ta'aala jadduka, wa laa ilaaha ghairuka".

ثُمَّ يَقُولُ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.

Kemudian beliau mengucapkan: "A'uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim, bismillaahir rahmaanir rahiim".

ثُمَّ يَقْرَأُ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، فَإِذَا خَتَمَهَا؛ قَالَ: "آمِينَ".

Kemudian beliau membaca Al-Fatihah, dan ketika selesai membacanya; beliau mengucapkan: "Aamiin".

ثُمَّ يَقْرَأُ بَعْدَ ذَلِكَ سُورَةً طَوِيلَةً تَارَةً وَقَصِيرَةً تَارَةً وَمُتَوَسِّطَةً تَارَةً، وَكَانَ يُطِيلُ قِرَاءَةَ الْفَجْرِ أَكْثَرَ مِنْ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ، وَكَانَ يَجْهَرُ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْفَجْرِ وَالْأُولَيَيْنِ مِنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَيُسِرُّ الْقِرَاءَةَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ، وَكَانَ يُطِيلُ الرَّكْعَةَ الْأُولَى مِنْ كُلِّ صَلَاةٍ عَلَى الثَّانِيَةِ.

Kemudian setelah itu beliau membaca surah yang panjang pada suatu waktu, pendek pada waktu yang lain, dan sedang pada waktu yang lain. Beliau memanjangkan bacaan Fajar lebih dari shalat lainnya, dan beliau mengeraskan bacaan pada Fajar, dua rakaat pertama Maghrib dan Isya, dan merendahkan suara pada selain itu. Beliau memanjangkan rakaat pertama dari setiap shalat dibandingkan rakaat kedua.

ثُمَّ يَرْفَعُ يَدَيْهِ كَمَا رَفَعَهُمَا فِي الِاسْتِفْتَاحِ، ثُمَّ يَقُولُ: "اللهُ أَكْبَرُ"، وَيَخِرُّ رَاكِعًا، وَيَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ مُفَرِّجَتَيِ الْأَصَابِعِ، وَيُمَكِّنُهُمَا، وَيَمُدُّ ظَهْرَهُ، وَيَجْعَلُ رَأْسَهُ يَالَهُ، لَا يَرْفَعُهُ وَلَا يَخْفِضُهُ، وَيَقُولُ: "سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ".

Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seperti ketika mengangkatnya saat takbiratul ihram, lalu mengucapkan: "Allahu Akbar", dan ruku' dengan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya dengan jari-jari terbuka, menegakkan punggungnya, dan menjadikan kepalanya sejajar, tidak mengangkat atau menundukkannya, dan mengucapkan: "Subhana Rabbiyal 'Azhim".

ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَائِلًا: "سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ"، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ كَمَا يَرْفَعُهُمَا عِنْدَ الرُّكُوعِ.

Kemudian beliau mengangkat kepalanya seraya mengucapkan: "Sami'allahu liman hamidah", dan mengangkat kedua tangannya seperti ketika mengangkatnya saat ruku'.

فَإِذَا اعْتَدَلَ قَائِمًا؛ قَالَ: "رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ"، وَكَانَ يُطِيلُ هَذَا الِاعْتِدَالَ.

Ketika berdiri tegak, beliau mengucapkan: "Rabbana lakal hamd", dan beliau memanjangkan i'tidal ini.

ثُمَّ يُكَبِّرُ، وَيَخِرُّ سَاجِدًا، وَلَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ، فَيَسْجُدُ عَلَى جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ وَيَدَيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ وَأَطْرَافِ قَدَمَيْهِ، وَيَسْتَقْبِلُ بِأَصَابِعِ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ، وَيَعْتَدِلُ فِي سُجُودِهِ، وَيُمَكِّنُ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ مِنَ الْأَرْضِ، وَيَعْتَمِدُ عَلَى كَفَّيْهِ، وَيَرْفَعُ مِرْفَقَيْهِ، وَيُجَافِي عَضُدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَيَرْفَعُ بَطْنَهُ عَنْ فَخِذَيْهِ، وَفَخِذَيْهِ عَنْ سَاقَيْهِ، وَكَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ: "سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى".

Kemudian beliau bertakbir dan sujud tanpa mengangkat kedua tangannya. Beliau sujud di atas dahi, hidung, kedua tangan, lutut, dan ujung kedua kakinya. Beliau menghadapkan jari-jari tangan dan kakinya ke arah kiblat, bersikap i'tidal dalam sujudnya, meletakkan dahi dan hidungnya di atas tanah, bertumpu pada kedua telapak tangannya, mengangkat sikunya, menjauhkan lengan atasnya dari sisi tubuhnya, mengangkat perutnya dari pahanya, dan pahanya dari betisnya. Dalam sujudnya beliau mengucapkan: "Subhana Rabbiyal A'la".

ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَائِلًا: " اللهُ أَكْبَرُ"، ثُمَّ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى، وَيَجْلِسُ عَلَيْهَا، وَيَنْصِبُ الْيُمْنَى، وَيَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، ثُمَّ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِ، وَاجْبُرْنِي، وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي".

Kemudian beliau mengangkat kepalanya seraya mengucapkan: "Allahu Akbar", lalu membentangkan kaki kirinya dan duduk di atasnya, menegakkan kaki kanannya, meletakkan kedua tangannya di atas pahanya, kemudian mengucapkan: "Allahummaghfir li, warhamni, wajburni, wahdini, warzuqni".

ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَسْجُدُ، وَيَصْنَعُ فِي الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا صَنَعَ فِي الأُولَى.

Kemudian ia bertakbir dan sujud, dan melakukan pada sujud kedua seperti yang ia lakukan pada sujud pertama.

ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مُكَبِّرًا وَيَنْهَضُ عَلَى صُدُورِ قَدَمَيْهِ، مُعْتَمِدًا عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَفَخِذَيْهِ.

Kemudian ia mengangkat kepalanya sambil bertakbir dan bangkit dengan bertumpu pada ujung-ujung jari kakinya, bersandar pada lututnya dan pahanya.

فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا؛ أَخَذَ فِي الْقِرَاءَةِ، وَيُصَلِّي الرَّكْعَةَ الثَّانِيَةَ كَالأُولَى.

Ketika ia telah berdiri sempurna, ia mulai membaca, dan melaksanakan rakaat kedua seperti rakaat pertama.

ثُمَّ يَجْلِسُ لِلتَّشَهُّدِ الأَوَّلِ مُفْتَرِشًا كَمَا يَجْلِسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، وَيَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى، وَيَضَعُ إِبْهَامَ يَدِهِ الْيُمْنَى عَلَى إِصْبَعِهِ الْوُسْطَى كَهَيْئَةِ الْحَلْقَةِ، وَيُشِيرُ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ، وَيَنْظُرُ إِلَيْهَا، وَيَقُولُ: "التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ، وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"، وَكَانَ يُخَفِّفُ هَذِهِ الْجَلْسَةَ.

Kemudian ia duduk untuk tasyahud awal dengan duduk iftirasy seperti duduk di antara dua sujud, meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya, tangan kirinya di atas paha kirinya, meletakkan ibu jari tangan kanannya di atas jari tengahnya seperti membentuk lingkaran, berisyarat dengan jari telunjuknya, memandang ke arahnya, dan mengucapkan: "Segala penghormatan hanya milik Allah, juga segala pengagungan dan kebaikan. Semoga keselamatan terlimpahkan kepadamu wahai Nabi, begitu juga rahmat dan berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya." Dan beliau meringankan duduk ini.

ثُمَّ يَنْهَضُ مُكَبِّرًا، فَيُصَلِّي الثَّالِثَةَ وَالرَّابِعَةَ، وَيُخَفِّفُهُمَا عَنِ الأُولَيَيْنِ، وَيَقْرَأُ فِيهِمَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.

Kemudian ia bangkit sambil bertakbir, lalu melaksanakan rakaat ketiga dan keempat, meringankan keduanya dibanding dua rakaat pertama, dan membaca Al-Fatihah pada keduanya.

ثُمَّ يَجْلِسُ فِي تَشَهُّدِهِ الأَخِيرِ مُتَوَرِّكًا؛ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى، بِأَنْ يَجْعَلَ ظَهْرَهَا عَلَى الأَرْضِ، وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى، وَيُخْرِجُهُمَا عَنْ يَمِينِهِ، وَيَجْعَلُ أَلْيَتَيْهِ عَلَى الأَرْضِ.

Kemudian ia duduk pada tasyahud akhir dengan duduk tawarruk; ia membentangkan kaki kirinya dengan meletakkan punggung telapak kakinya ke tanah, menegakkan kaki kanannya, mengeluarkan keduanya ke arah kanannya, dan meletakkan pantatnya ke tanah.

ثُمَّ يَتَشَهَّدُ التَّشَهُّدَ الأَخِيرَ، وَهُوَ التَّشَهُّدُ الأَوَّلُ، وَيَزِيدُ عَلَيْهِ: "اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ؛ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ؛ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ".

Kemudian ia bertasyahud dengan tasyahud akhir, yaitu tasyahud awal, dan menambahkan: "Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan shalawat kepada keluarga Ibrahim; sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Dan limpahkanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan berkah kepada keluarga Ibrahim; sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia."

وَيَسْتَعِيذُ بِاللهِ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِحِ الدَّجَّالِ، وَيَدْعُوا بِمَا وَرَدَ مِنَ الْأَدْعِيَةِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

Dan berlindunglah kepada Allah dari azab neraka Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal, serta berdoalah dengan doa-doa yang terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.

ثُمَّ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ؛ فَيَقُولُ: "السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ"، وَعَنْ يَسَارِهِ كَذَلِكَ؛ يَبْتَدِئُ السَّلَامَ مُتَوَجِّهًا إِلَى الْقِبْلَةِ، وَيُنْهِيهِ مَعَ تَمَامِ الِالْتِفَاتِ.

Kemudian ucapkan salam ke kanan dengan mengatakan, "Assalamu'alaikum warahmatullah", dan ke kiri juga demikian; memulai salam dengan menghadap kiblat dan mengakhirinya dengan menoleh sepenuhnya.

فَإِذَا سَلَّمَ؛ قَالَ: "أَسْتَغْفِرُ اللهَ "ثَلَاثًا "، اللَّهُمَّ إِنَّكَ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ"، ثُمَّ يَذْكُرُ اللهَ بِمَا وَرَدَ.

Setelah salam, ucapkanlah, "Astaghfirullah" tiga kali, "Allahumma antas-salaam, wa minkas-salaam, tabaarakta yaa dzal-jalaali wal-ikraam", kemudian berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir-dzikir yang diajarkan.

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، هَذِهِ جُمْلَةٌ مُخْتَصَرَةٌ فِي صِفَةِ الصَّلَاةِ حَسْبَمَا وَرَدَ فِي النُّصُوصِ؛ فَعَلَيْكَ أَنْ تَهْتَمَّ بِصَلَاتِكَ غَيَةَ الِاهْتِمَامِ، وَأَنْ تَكُونَ صَلَاتُكَ مُتَّفِقَةً حَسْبَ الْإِمْكَانِ مَعَ صَلَاةِ النَّبِيِّ؛ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا﴾ .

Wahai seorang Muslim, ini adalah penjelasan ringkas tentang tata cara shalat sebagaimana yang terdapat dalam nash-nash; maka hendaklah engkau memperhatikan shalatmu dengan sepenuh perhatian, dan hendaklah shalatmu sesuai semaksimal mungkin dengan shalat Nabi; Allah Ta'ala berfirman, "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah."

وَنَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ وَالْقَبْلَ.

Kami memohon kepada Allah agar memberi taufik dan menerima amal kita semua.

بَابٌ فِي بَيَانِ مَا يُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ

يُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ الِالْتِفَاتُ بِوَجْهِهِ وَصَدْرِهِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ: "وَهُوَ اخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ الْعَبْدِ"، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ؛ إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِحَاجَةٍ؛ فَلَا بَأْسَ بِهِ؛ كَمَا فِي حَالَةِ الْخَوْفِ، أَوْ كَانَ لِغَرَضٍ صَحِيحٍ.

Tidak disukai dalam shalat menoleh dengan wajah dan dadanya; berdasarkan sabda Nabi: "Dan itu adalah sesuatu yang dicuri oleh setan dari shalat seorang hamba", diriwayatkan oleh Bukhari; kecuali jika itu karena kebutuhan; maka tidak apa-apa; seperti dalam keadaan takut, atau untuk tujuan yang benar.

فَإِنِ اسْتَدَارَ بِجَمِيعِ بَدَنِهِ، أَوِ اسْتَدْبَرَ الْكَعْبَةَ فِي غَيْرِ حَالَةِ الْخَوْفِ؛ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ؛ لِتَرْكِهِ الِاسْتِقْبَالَ بِلَا عُذْرٍ.

Jika ia berpaling dengan seluruh tubuhnya, atau membelakangi Ka'bah dalam keadaan selain takut; maka shalatnya batal; karena meninggalkan menghadap kiblat tanpa udzur.

فَتَبَيَّنَ بِهَذَا أَنَّ الِالْتِفَاتَ فِي الصَّلَاةِ فِي حَالَةِ الْخَوْفِ لَابَأْسَ بِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ ضَرُورِيَّاتِ الْقِتَالِ، وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ حَالَةِ الْخَوْفِ، فَإِنْ كَانَ بِالْوَجْهِ وَالصَّدْرِ فَقَطْ بَقِيَّةَ دُونَ بَقِيَّةِ الْبَدَنِ، فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ؛ فَلَا بَأْسَ، إِنْ كَانَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ؛ فَهُوَ مَكْرُوهٌ، وَإِنْ كَانَ بِجَمِيعِ الْبَدَنِ؛ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ.

Dengan ini jelas bahwa menoleh dalam shalat pada saat takut tidak apa-apa; karena itu termasuk kebutuhan dalam peperangan, dan jika itu bukan dalam keadaan takut, jika itu hanya dengan wajah dan dada saja, bukan seluruh tubuh, jika itu karena kebutuhan; maka tidak apa-apa, jika itu bukan karena kebutuhan; maka itu makruh, dan jika itu dengan seluruh tubuh; maka shalatnya batal.

يُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ رَفْعُ بَصَرِهِ إِلَى السَّمَاءِ؛ فَقَدْ أَنْكَرَ النَّبِيُّ عَلَى مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ؛ فَقَالَ: "مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي

Tidak disukai dalam shalat mengangkat pandangannya ke langit; Nabi telah mengingkari orang yang melakukan hal itu; beliau bersabda: "Ada apa dengan kaum yang mengangkat pandangan mereka ke langit dalam

صَلَاتَهُمْ؟! "، وَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ، حَتَّى قَالَ: "لَيَنْتَهِنَّ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارَهُمْ"، رَوَاهُ البُخَارِيُّ.

Shalat mereka?!" Dan perkataannya menjadi keras tentang hal itu, sampai beliau bersabda: "Hendaklah mereka berhenti atau pandangan mereka akan direnggut", diriwayatkan oleh Al-Bukhari.

وَقَدْ سَبَقَ أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ نَظَرُهُ إِلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ؛ فَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُسَرِّحَ بِبَصَرِهِ فِيمَا أَمَامَهُ مِنَ الجُدْرَانِ وَالنُّقُوشِ وَالكِتَابَاتِ وَنَحْوِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَشْغَلُهُ عَنْ صَلَاتِهِ.

Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa hendaknya pandangannya tertuju ke tempat sujudnya; maka tidak sepatutnya dia memandang ke depan pada dinding, ukiran, tulisan, dan sejenisnya; karena hal itu akan menyibukkannya dari shalatnya.

وَيُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ تَغْمِيضُ عَيْنَيْهِ بِغَيْرِ حَاجَةٍ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ فِعْلِ اليَهُودِ، وَإِنْ كَانَ التَّغْمِيضُ لِحَاجَةٍ، كَأَنْ يَكُونَ أَمَامَهُ مَا يُشَوِّشُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ؛ كَالزَّخَارِفِ وَالتَّزْوِيقِ؛ فَلَا يُكْرَهُ إِغْمَاضُ عَيْنَيْهِ عَنْهُ، هَذَا مَعْنَى مَا ذَكَرَهُ ابْنُ القَيِّمِ ﵀.

Dan dimakruhkan dalam shalat menutup kedua matanya tanpa ada kebutuhan; karena hal itu termasuk perbuatan orang-orang Yahudi. Jika penutupan mata karena suatu kebutuhan, seperti di depannya terdapat sesuatu yang mengganggu shalatnya; seperti hiasan dan dekorasi; maka tidak dimakruhkan menutup kedua matanya darinya. Ini adalah makna dari apa yang disebutkan oleh Ibnu Al-Qayyim ﵀.

وَيُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ إِقْعَاؤُهُ فِي الجُلُوسِ، وَهُوَ أَنْ يَفْرُشَ قَدَمَيْهِ وَيَجْلِسَ عَلَى عَقِبَيْهِ؛ لِقَوْلِهِ: "إِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ؛ فَلَا تَقْعُ كَمَا يَقْعِي الكَلْبُ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَمَا جَاءَ بِمَعْنَاهُ مِنَ الأَحَادِيثِ.

Dan dimakruhkan dalam shalat duduk iq'a, yaitu meluruskan kedua telapak kakinya dan duduk di atas tumitnya; karena sabda beliau: "Jika engkau mengangkat kepalamu dari sujud; maka janganlah engkau duduk seperti duduknya anjing", diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya.

وَيُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ أَنْ يَسْتَنِدَ إِلَى جِدَارٍ وَنَحْوِهِ حَالَ القِيَامِ؛ إِلَّا مِنْ حَاجَةٍ؛ لِأَنَّهُ يُزِيلُ مَشَقَّةَ القِيَامِ، فَإِنْ فَعَلَهُ لِحَاجَةٍ كَالمَرَضِ وَنَحْوِهِ؛ فَلَا بَأْسَ.

Dan dimakruhkan dalam shalat bersandar pada dinding atau sejenisnya ketika berdiri; kecuali karena kebutuhan; karena hal itu menghilangkan kesulitan berdiri. Jika dilakukan karena kebutuhan seperti sakit atau sejenisnya; maka tidak mengapa.

وَيُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ افْتِرَاشُ ذِرَاعَيْهِ حَالَ السُّجُودِ؛ بِأَنْ يَمُدَّهُمَا عَلَى الْأَرْضِ مَعَ إِلْصَاقِهِمَا بِهَا، قَالَ: "اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ، وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ: "وَلَا يَفْتَرِشْ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ الْكَلْبِ".

Dalam shalat, makruh hukumnya membentangkan kedua lengan saat sujud, yaitu dengan merentangkannya di atas tanah dan menempelkannya. Nabi bersabda: "Luruskanlah dalam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua lengannya seperti anjing membentangkan", muttafaq 'alaih. Dalam hadits lain: "Dan janganlah membentangkan kedua lengannya seperti anjing membentangkan".

وَيُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ الْعَبَثُ وَهُوَ اللَّعِبُ وَعَمَلُ مَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ بِيَدٍ أَوْ رِجْلٍ أَوْ لِحْيَةٍ أَوْ ثَوْبٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، مِنْهُ مَسْحُ الْأَرْضِ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ.

Dalam shalat, makruh hukumnya melakukan perbuatan sia-sia, yaitu bermain-main dan melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat dengan tangan, kaki, jenggot, pakaian, atau lainnya, termasuk mengusap tanah tanpa ada keperluan.

وَيُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ التَّحَضُّرُ، وَهُوَ وَضْعُ الْيَدِ عَلَى الْخَاصِرَةِ، وَهِيَ الشَّاكِلَةُ مَا فَوْقَ رَأْسِ الْوَرِكِ مِنَ الْمُسْتَدِقِّ، وَذَلِكَ لِأَنَّ التَّحَضُّرَ فِعْلُ الْكُفَّارِ وَالْمُتَكَبِّرِينَ، وَقَدْ نُهِينَا عَنِ التَّشَبُّهِ بِهِمْ، وَقَدْ ثَبَتَ فِي الْحَدِيثِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ النَّهْيُ عَنْ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُتَخَصِّرًا.

Dalam shalat, makruh hukumnya bertolak pinggang (التحضر), yaitu meletakkan tangan di atas pinggang, yang merupakan bagian yang menipis di atas pangkal paha. Hal itu karena bertolak pinggang merupakan perbuatan orang-orang kafir dan sombong, dan kita telah dilarang menyerupai mereka. Telah ditetapkan dalam hadits yang disepakati larangan shalat sambil bertolak pinggang.

وَيُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ فَرْقَعَةُ أَصَابِعِهِ وَتَشْبِيكُهَا.

Dalam shalat, makruh hukumnya memetikkan jari-jarinya dan menjalinnya.

وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ وَبَيْنَ يَدَيْهِ مَا يَشْغَلُهُ وَيُلْهِيهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَشْغَلُهُ عَنْ إِكْمَالِ صَلَاتِهِ.

Makruh hukumnya seseorang shalat sementara di hadapannya terdapat sesuatu yang menyibukkan dan melalaikannya, karena hal itu akan menyibukkannya dari menyempurnakan shalatnya.

وَتُكْرَهُ الصَّلَاةُ فِي مَكَانٍ فِيهِ تَصَاوِيرُ؛ لِمَا فِيهِ مِنَ التَّشَبُّهِ بِعِبَادَةِ

Makruh hukumnya shalat di tempat yang terdapat gambar-gambar, karena hal itu menyerupai ibadah

الأَصْنَامُ، سَوَاءٌ كَانَتِ الصُّورَةُ مَنْصُوبَةً أَوْ غَيْرَ مَنْصُوبَةٍ عَلَى الصَّحِيحِ.

Berhala, baik gambar itu didirikan atau tidak didirikan, menurut pendapat yang benar.

وَيُكْرَهُ أَنْ يَدْخُلَ فِي الصَّلَاةِ وَهُوَ مُشَوَّشُ الْفِكْرِ بِسَبَبِ وُجُودِ شَيْءٍ يُضَايِقُهُ؛ كَاحْتِبَاسِ بَوْلٍ، أَوْ غَائِطٍ، أَوْ رِيحٍ، أَوْ حَالَةِ بَرْدٍ أَوْ حَرٍّ شَدِيدَيْنِ، أَوْ جُوعٍ أَوْ عَطَشٍ مُفْرِطَيْنِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَمْنَعُ الْخُشُوعَ.

Dan dimakruhkan memasuki shalat dalam keadaan pikiran yang kacau karena adanya sesuatu yang mengganggunya; seperti menahan buang air kecil, buang air besar, atau kentut, atau keadaan dingin atau panas yang ekstrem, atau lapar atau haus yang berlebihan; karena hal itu mencegah kekhusyukan.

وَكَذَا يُكْرَهُ دُخُولُهُ فِي الصَّلَاةِ بَعْدَ حُضُورِ طَعَامٍ يَشْتَهِيهِ؛ لِقَوْلِهِ: "لَا صَلَاةَ يَحْضُرَةَ طَعَامٍ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Demikian pula dimakruhkan memasuki shalat setelah hidangan makanan yang ia sukai telah siap; berdasarkan sabda Nabi: "Tidak ada shalat ketika hidangan telah siap, dan tidak pula ketika ia menahan dua kotoran", diriwayatkan oleh Muslim.

وَذَلِكَ كُلُّهُ رِعَايَةً لِحَقِّ اللهِ تَعَالَى لِيَدْخُلَ الْعَبْدُ فِي الْعِبَادَةِ بِقَلْبٍ حَاضِرٍ مُقْبِلٍ عَلَى رَبِّهِ.

Semua itu demi menjaga hak Allah Ta'ala agar seorang hamba memasuki ibadah dengan hati yang hadir dan menghadap kepada Tuhannya.

وَيُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُخَصَّ جَبْهَتَهُ بِمَا يَسْجُدُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ شِعَارِ الرَّافِضَةِ؛ فَفِي ذَلِكَ الْفِعْلِ تَشَبُّهٌ بِهِمْ.

Dan dimakruhkan bagi seorang Muslim untuk mengkhususkan dahinya dengan sesuatu yang ia gunakan untuk sujud; karena hal itu merupakan ciri khas Rafidah; maka perbuatan itu menyerupai mereka.

وَيُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ مَسْحُ جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ مِمَّا عَلِقَ بِهِمَا مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ، وَلَا بَأْسَ بِمَسْحِ ذَلِكَ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَاةِ.

Dan dimakruhkan dalam shalat mengusap dahi dan hidungnya dari bekas sujud yang menempel pada keduanya, dan tidak mengapa mengusapnya setelah selesai shalat.

وَيُكْرَهُ فِي الصَّلَاةِ الْعَبَثُ بِمَسْحِ لِحْيَتِهِ وَكَفِّ ثَوْبِهِ وَتَنْظِيفِ أَنْفِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَشْغَلُهُ عَنْ صَلَاتِهِ.

Dan dimakruhkan dalam shalat melakukan hal-hal yang sia-sia seperti mengusap jenggotnya, menepuk-nepuk pakaiannya, membersihkan hidungnya, dan semacamnya; karena hal itu menyibukkannya dari shalatnya.

وَالْمَطْلُوبُ مِنَ الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَّجِهَ إِلَى صَلَاتِهِ بِكُلِّيَّتِهِ، وَلَا يَتَشَاغَلَ عَنْهَا بِمَا لَيْسَ مِنْهَا، يَقُولُ اللهُ سُبْحَانَهُ تَعَالَى: ﴿حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ﴾؛

Dan yang dituntut dari seorang Muslim adalah agar ia menghadap ke arah shalatnya dengan sepenuhnya, dan tidak menyibukkan diri darinya dengan sesuatu yang bukan bagian darinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Peliharalah semua shalat dan shalat wustha. Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk."

فَالْمَطْلُوبُ إِقَامَةُ الصَّلَاةِ بِحُضُورِ الْقَلْبِ وَالْخُشُوعِ، وَالْإِتْيَانُ بِمَا يُشْرَعُ لَهُمَا، وَتَرْكُ مَا يُنَافِيهِمَا أَوْ يُنْقِصُهُمَا مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ؛ لِتَكُونَ صَلَاةً صَحِيحَةً مُبْرِئَةً لِذِمَّةِ فَاعِلِهَا، وَلِتَكُونَ صَلَاةً فِي صُورَتِهَا وَحَقِيقَتِهَا، لَا فِي صُورَتِهَا فَقَطْ.

Maka yang dituntut adalah mendirikan shalat dengan kehadiran hati dan kekhusyukan, melakukan apa yang disyariatkan untuk keduanya, dan meninggalkan apa yang bertentangan dengan keduanya atau mengurangi keduanya dari perkataan dan perbuatan; agar menjadi shalat yang sah yang membebaskan tanggungan pelakunya, dan agar menjadi shalat dalam bentuk dan hakikatnya, bukan hanya dalam bentuknya saja.

وَفَّقَ اللهُ الْجَمِيعَ لِمَا فِيهِ الْخَيْرُ وَالسَّعَادَةُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.

Semoga Allah memberi taufik kepada semua untuk apa yang di dalamnya terdapat kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

بَابٌ فِي بَيَانِ مَا يُسْتَحَبُّ أَوْ يُبَاحُ فِعْلُهُ فِي الصَّلَاةِ

يُسَنُّ لِلْمُصَلِّي رَدُّ الْمَارِّ مِنْ أَمَامِهِ قَرِيبًا مِنْهُ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ: "إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي؛ فَلَا يَدَعَنْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَإِنْ أَبَى؛ فَلْيُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Disunnahkan bagi orang yang shalat untuk menolak orang yang lewat di depannya dengan dekat; karena sabda Nabi: "Jika salah seorang dari kalian sedang shalat; maka janganlah membiarkan seseorang lewat di depannya, jika dia menolak; maka perangilah dia; karena bersamanya ada setan", diriwayatkan oleh Muslim.

لَكِنْ إِذَا كَانَ أَمَامَ الْمُصَلِّي سُتْرَةٌ "أَيْ: شَيْءٌ مُرْتَفِعٌ مِنْ جِدَارٍ أَوْ نَحْوِهِ "؛ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَمُرَّ مِنْ وَرَائِهَا، وَكَذَا إِذَا احْتَاجَ إِلَى الْمُرُورِ لِضِيقِ الْمَكَانِ؛ فَيَمُرُّ، وَلَا يَرُدُّهُ الْمُصَلِّي، وَكَذَا إِذَا كَانَ يُصَلِّي فِي الْحَرَمِ؛ فَلَا يَمْنَعُ الْمُرُورَ بَيْنَ يَدَيْهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُصَلِّي بِمَكَّةَ وَالنَّاسُ يَمُرُّونَ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَيْسَ دُونَهُمْ سُتْرَةٌ، رَوَاهُ الْخَمْسَةُ.

Tetapi jika di depan orang yang shalat ada sutrah "yaitu: sesuatu yang tinggi seperti dinding atau sejenisnya"; maka tidak mengapa lewat di belakangnya, demikian juga jika butuh lewat karena sempitnya tempat; maka dia lewat, dan orang yang shalat tidak menolaknya, demikian juga jika dia shalat di Masjidil Haram; maka tidak mencegah orang lewat di depannya; karena Nabi pernah shalat di Makkah dan orang-orang lewat di depannya dan tidak ada sutrah di depan mereka, diriwayatkan oleh lima (Imam).

وَاتِّخَاذُ السُّتْرَةِ سُنَّةٌ فِي حَقِّ الْمُنْفَرِدِ وَالْإِمَامِ؛ لِقَوْلِهِ: "إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ؛ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ، وَأَمَّا الْمَأْمُونُ؛ فَسُتْرَتُهُ سُتْرَةُ إِمَامِهِ.

Dan mengambil sutrah adalah sunnah bagi orang yang shalat sendirian dan imam; karena sabdanya: "Jika salah seorang dari kalian shalat; maka hendaklah dia shalat menghadap sutrah, dan hendaklah dia mendekat kepadanya", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari hadits Abu Sa'id, adapun makmum; maka sutrahnya adalah sutrah imamnya.

وَلَيْسَ اتِّخَاذُ السُّتْرَةِ بِوَاجِبٍ؛ لِحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّهُ صَلَّى فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ.

Mengambil sutrah (pembatas shalat) tidaklah wajib; berdasarkan hadits Ibnu Abbas; bahwa beliau shalat di tempat terbuka tanpa ada sesuatu di depannya, diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud.

وَيَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ السُّتْرَةُ قَائِمَةً كَمُؤَخَّرَةِ الرَّحْلِ؛ أَيْ: قَدْرَ ذِرَاعٍ، سَوَاءٌ كَانَتْ دَقِيقَةً أَوْ عَرِيضَةً.

Sebaiknya sutrah itu berdiri seperti bagian belakang pelana unta; yaitu: sekitar satu hasta, baik itu kecil atau lebar.

وَالْحِكْمَةُ فِي اتِّخَاذِهَا؛ لِتَمْنَعَ الْمَارَّ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَلِتَمْنَعَ الْمُصَلِّيَ مِنَ الِانْشِغَالِ بِمَا وَرَاءَهَا.

Hikmah mengambilnya; untuk mencegah orang lewat di depannya, dan untuk mencegah orang yang shalat dari kesibukan dengan apa yang ada di belakangnya.

وَإِنْ كَانَ فِي صَحْرَاءَ؛ صَلَّى إِلَى شَيْءٍ شَاخِصٍ مِنْ شَجَرٍ أَوْ حَجَرٍ أَوْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ غَرْزُ الْعَصَا فِي الْأَرْضِ؛ وَضَعَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَرْضًا.

Jika berada di padang pasir; shalatlah menghadap sesuatu yang menonjol dari pohon, batu, atau tongkat, jika tidak mungkin menancapkan tongkat di tanah; letakkan di depannya secara melintang.

وَإِذَا الْتَبَسَتِ الْقِرَاءَةُ عَلَى الْإِمَامِ؛ فَلِلْمَأْمُومِ أَنْ يُسْمِعَهُ الْقِرَاءَةَ الصَّحِيحَةَ.

Jika bacaan menjadi tidak jelas bagi imam; maka makmum boleh memperdengarkan bacaan yang benar kepadanya.

وَيُبَاحُ لِلْمُصَلِّي لُبْسُ الثَّوْبِ وَنَحْوِهِ، وَحَمْلُ شَيْءٍ وَوَضْعُهُ، وَفَتْحُ الْبَابِ، وَلَهُ قَتْلُ حَيَّةٍ وَعَقْرَبٍ؛ لِأَنَّهُ أُمِرَ بِقَتْلِ الْأَسْوَدَيْنِ فِي الصَّلَاةِ؛ الْحَيَّةِ وَالْعَقْرَبِ، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ، لَكِنْ؛ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الْأَفْعَالِ الْمُبَاحَةِ فِي الصَّلَاةِ إِلَّا لِضَرُورَةٍ، فَإِنْ أَكْثَرَ مِنْهَا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ، وَكَانَتْ مُتَوَالِيَةً؛ أَبْطَلَتِ الصَّلَاةَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِمَّا يُنَافِي الصَّلَاةَ وَيَشْغَلُ عَنْهَا.

Orang yang shalat diperbolehkan memakai baju dan sejenisnya, membawa sesuatu dan meletakkannya, membuka pintu, dan dia boleh membunuh ular dan kalajengking; karena dia diperintahkan untuk membunuh dua binatang hitam dalam shalat; ular dan kalajengking, diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dan dia menshahihkannya, tetapi; dia tidak seharusnya memperbanyak perbuatan yang diperbolehkan dalam shalat kecuali karena darurat, jika dia memperbanyaknya tanpa darurat, dan itu berturut-turut; maka itu membatalkan shalat; karena hal itu termasuk yang menyelisihi shalat dan menyibukkan darinya.

وَإِذَا عَرَضَ لِلْمُصَلِّي أَمْرٌ؛ كَاسْتِئْذَانٍ عَلَيْهِ، أَوْ سَهْوٍ أَمَامَهُ، أَوْ خَافَ عَلَى إِنْسَانٍ الْوُقُوعَ فِي هَلَكَةٍ؛ فَلَهُ التَّنْبِيهُ عَلَى ذَلِكَ؛ بِأَنْ يُسَبِّحَ الرَّجُلُ وَتُصَفِّقَ الْمَرْأَةُ؛ لِقَوْلِهِ: "إِذَا نَابَكُمْ شَيْءٌ فِي صَلَاتِكُمْ؛ فَلْيُسَبِّحِ الرِّجَالُ، وَلْتُصَفِّقِ النِّسَاءُ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dan jika seorang yang sedang shalat menghadapi suatu perkara; seperti permintaan izin kepadanya, atau lupa di depannya, atau khawatir seseorang akan jatuh ke dalam kebinasaan; maka ia boleh memberi peringatan tentang hal itu; dengan cara laki-laki bertasbih dan perempuan bertepuk tangan; berdasarkan sabdanya: "Jika kalian menghadapi sesuatu dalam shalat kalian; maka hendaklah laki-laki bertasbih, dan hendaklah perempuan bertepuk tangan", disepakati.

وَلَا يُكْرَهُ السَّلَامُ عَلَى الْمُصَلِّي إِذَا كَانَ يَعْرِفُ كَيْفَ يَرُدُّ، وَلِلْمُصَلِّي حِينَئِذٍ رَدُّ السَّلَامِ فِي حَالِ الصَّلَاةِ بِالْإِشَارَةِ لَا بِاللَّفْظِ؛ فَلَا يَقُولُ: وَعَلَيْكُمُ السَّلَامُ، فَإِنْ رَدَّهُ بِاللَّفْظِ؛ بَطَلَتْ بِهِ صَلَاتُهُ؛ لِأَنَّهُ خِطَابُ آدَمِيٍّ، وَلَهُ تَأْخِيرُ الرَّدِّ إِلَى مَا بَعْدَ السَّلَامِ.

Dan tidak makruh memberi salam kepada orang yang sedang shalat jika ia tahu bagaimana menjawabnya, dan orang yang sedang shalat boleh menjawab salam dalam keadaan shalat dengan isyarat bukan dengan lafaz; maka ia tidak mengatakan: wa'alaikumussalam, jika ia menjawabnya dengan lafaz; maka shalatnya batal; karena itu adalah percakapan manusia, dan ia boleh menunda jawaban sampai setelah salam.

وَيَجُوزُ لِلْمُصَلِّي أَنْ يَقْرَأَ عِدَّةَ سُوَرٍ فِي رَكْعَةٍ وَاحِدَةٍ؛ لِمَا فِي "الصَّحِيحِ": أَنَّ النَّبِيَّ قَرَأَ فِي رَكْعَةٍ مِنْ قِيَامِهِ بِالْبَقَرَةِ وَآلِ عِمْرَانَ وَالنِّسَاءِ، وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُكَرِّرَ قِرَاءَةَ السُّورَةِ فِي رَكْعَتَيْنِ، وَأَنْ يَقْسِمَ السُّورَةَ الْوَاحِدَةَ بَيْنَ رَكْعَتَيْنِ، وَيَجُوزُ لَهُ قِرَاءَةُ أَوَاخِرِ السُّوَرِ وَأَوْسَاطِهَا؛ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى مِنْ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا﴾ الْآيَةَ، وَفِي الثَّانِيَةِ الْآيَةَ فِي آلِ عِمْرَانَ: ﴿قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ﴾ الْآيَةَ، وَلِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَاقْرَأُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ﴾، لَكِنْ؛ لَا يَنْبَغِي

Dan boleh bagi orang yang shalat untuk membaca beberapa surah dalam satu rakaat; berdasarkan apa yang ada dalam "Shahih": bahwa Nabi membaca dalam satu rakaat dari shalatnya dengan Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan An-Nisa', dan boleh baginya untuk mengulangi bacaan surah dalam dua rakaat, dan untuk membagi satu surah antara dua rakaat, dan boleh baginya membaca akhir surah dan pertengahannya; berdasarkan apa yang diriwayatkan Ahmad dan Muslim dari Ibnu Abbas; bahwa Nabi biasa membaca pada rakaat pertama dari dua rakaat Fajar firman-Nya Ta'ala: "Katakanlah (wahai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami" ayat, dan pada rakaat kedua ayat dalam Ali 'Imran: "Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu" ayat, dan karena keumuman firman-Nya Ta'ala: "Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an", tetapi; tidak sepatutnya

الإِكْثَارُ مِنْ ذَلِكَ، بَلْ يَفْعَلُ أَحْيَانًا.

Tidak melakukannya secara berlebihan, tetapi terkadang melakukannya.

وَلِلْمُصَلِّي أَنْ يَسْتَعِيذَ عِنْدَ قِرَاءَةِ آيَةٍ فِيهَا ذِكْرُ عَذَابٍ، وَأَنْ يَسْأَلَ اللهَ عِنْدَ قِرَاءَةِ آيَةٍ فِيهِ ذِكْرُ رَحْمَةٍ، وَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى النَّبِيِّ عِنْدَ قِرَاءَةِ ذِكْرِهِ؛ لِتَأَكُّدِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ عِنْدَ ذِكْرِهِ.

Orang yang shalat boleh memohon perlindungan ketika membaca ayat yang menyebutkan azab, memohon rahmat Allah ketika membaca ayat yang menyebutkan rahmat, dan bershalawat kepada Nabi ketika membaca penyebutan beliau, karena shalawat kepada beliau ditekankan ketika menyebutnya.

هَذِهِ جُمْلَةٌ مِنَ الأُمُورِ الَّتِي يُسْتَحَبُّ لَكَ أَوْ يُبَاحُ لَكَ فِعْلُهَا حَالَ الصَّلَاةِ، عَرَضْنَاهَا عَلَيْكَ رَجَاءَ أَنْ تَسْتَفِيدَ مِنْهَا وَتَعْمَلَ بِهَا، حَتَّى تَكُونَ عَلَى بَصِيرَةٍ مِنْ دِينِكَ، وَنَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكَ الْمَزِيدَ مِنَ الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ.

Ini adalah serangkaian hal yang dianjurkan atau diperbolehkan bagimu untuk melakukannya saat shalat. Kami menyajikannya kepadamu dengan harapan agar kamu dapat mengambil manfaat darinya dan mengamalkannya, sehingga kamu memiliki pemahaman yang jelas tentang agamamu. Kami memohon kepada Allah untuk memberikan kepada kami dan kepadamu tambahan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.

وَلْيَعْلَمْ أَنَّ الصَّلَاةَ عِبَادَةٌ عَظِيمَةٌ، لَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ أَوْ يُقَالَ فِيهَا إِلَّا فِي حُدُودِ الشَّرْعِ الْوَارِدِ عَنِ الرَّسُولِ؛ فَعَلَيْكَ بِالِاهْتِمَامِ بِهَا وَمَعْرِفَةِ مَا يُكَمِّلُهَا وَمَا يُنْقِصُهَا، حَتَّى تُؤَدِّيَهَا عَلَى الْوَجْهِ الأَكْمَلِ.

Ketahuilah bahwa shalat adalah ibadah yang agung. Tidak boleh melakukan atau mengatakan sesuatu di dalamnya kecuali dalam batasan syariat yang datang dari Rasulullah. Maka, perhatikanlah shalat, ketahuilah apa yang menyempurnakannya dan apa yang menguranginya, sehingga kamu dapat melaksanakannya dengan cara yang paling sempurna.

بَابٌ فِي السُّجُودِ لِلسَّهْوِ

لَمَّا كَانَ الْإِنْسَانُ عُرْضَةً لِلنِّسْيَانِ وَالذُّهُولِ، وَكَانَ الشَّيْطَانُ يَحْرِصُ عَلَى أَنْ يُشَوِّشَ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ بِبَعْثِ الْأَفْكَارِ وَإِشْغَالِ بَالِهِ بِهَا عَنْ صَلَاتِهِ، رُبَّمَا تَرَتَّبَ عَلَى ذَلِكَ نَقْصٌ فِي الصَّلَاةِ أَوْ زِيَادَةٌ فِيهَا بِدَافِعِ النِّسْيَانِ وَالذُّهُولِ؛ فَشَرَعَ اللهُ لِلْمُصَلِّي أَنْ يَسْجُدَ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ؛ تَفَادِيًا لِذَلِكَ، وَإِرْغَامًا لِلشَّيْطَانِ، وَجَبْرًا لِلنُّقْصَانِ، وَإِرْضَاءً لِلرَّحْمَنِ، وَهَذَا السُّجُودُ هُوَ مَا يُسَمِّيهِ الْعُلَمَاءُ سُجُودَ السَّهْوِ

Ketika manusia rentan terhadap kelupaan dan kealpaan, dan setan selalu berusaha untuk mengganggu shalatnya dengan membangkitkan pikiran-pikiran dan menyibukkan pikirannya dengannya dari shalatnya, mungkin hal itu mengakibatkan kekurangan dalam shalat atau penambahan di dalamnya karena dorongan kelupaan dan kealpaan; maka Allah mensyariatkan bagi orang yang shalat untuk sujud di akhir shalatnya; untuk menghindari hal itu, dan untuk mempermalukan setan, dan untuk menutupi kekurangan, dan untuk menyenangkan Ar-Rahman, dan sujud ini adalah apa yang disebut oleh para ulama sebagai sujud sahwi

وَالسَّهْوُ هُوَ النِّسْيَانُ، وَقَدْ سَهَا النَّبِيُّ فِي الصَّلَاةِ، وَكَانَ سَهْوُ مِنْ تَمَامِ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى أُمَّتِهِ وَإِكْمَالِ دِينِهِمْ؛ لِيَقْتَدُوا بِهِ فِيمَا يَشْرَعُهُ لَهُمْ عِنْدَ السَّهْوِ؛ فَقَدْ حُفِظَ عَنْهُ وَقَائِعُ السَّهْوِ فِي الصَّلَاةِ، سَلَّمَ فِي اثْنَتَيْنِ فَسَجَدَ، وَسَلَّمَ مِنْ ثَلَاثٍ فَسَجَدَ، وَقَامَ فِي اثْنَتَيْنِ وَلَمْ يَتَشَهَّدْ فَسَجَدَ، وَغَيْرُ ذَلِكَ، وَقَالَ: "إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ؛ فَلْيَسْجُدْ" سَجْدَتَيْنِ.

Dan sahwi adalah lupa, dan Nabi pernah lupa dalam shalat, dan lupanya adalah kesempurnaan nikmat Allah atas umatnya dan kesempurnaan agama mereka; agar mereka mengikutinya dalam apa yang Dia syariatkan bagi mereka ketika lupa; maka telah dijaga darinya peristiwa-peristiwa lupa dalam shalat, beliau salam pada rakaat kedua lalu sujud, dan beliau salam dari tiga rakaat lalu sujud, dan beliau berdiri pada dua rakaat dan tidak tasyahud lalu sujud, dan selain itu, dan beliau bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian lupa; maka hendaklah ia sujud" dua kali sujud.

وَيُشْرَعُ سُجُودُ السَّهْوِ لِأَحَدِ ثَلَاثِ أُمُورٍ.

Sujud sahwi disyariatkan karena salah satu dari tiga hal.

أَوَّلًا: إِذَا زَادَ فِي الصَّلَاةِ سَهْوًا.

Pertama: Jika ia menambahkan sesuatu dalam shalat karena lupa.

ثَانِيًا: إِذَا نَقَصَ مِنْهَا سَهْوًا.

Kedua: Jika ia mengurangi sesuatu darinya karena lupa.

ثَالِثًا: إِذَا حَصَلَ عِنْدَهُ شَكٌّ فِي زِيَادَةٍ أَوْ نُقْصَانٍ.

Ketiga: Jika ia ragu apakah telah menambahkan atau mengurangi sesuatu.

فَيَسْجُدُ لِأَحَدِ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ حَسْبَمَا وَرَدَ بِهِ الدَّلِيلُ، لَا لِكُلِّ زِيَادَةٍ أَوْ نُقْصَانٍ أَوْ شَكٍّ.

Maka ia sujud karena salah satu dari tiga hal ini sesuai dengan dalil yang ada, bukan untuk setiap penambahan, pengurangan, atau keraguan.

وَيُشْرَعُ سُجُودُ السَّهْوِ إِذَا وُجِدَ سَبَبُهُ، سَوَاءٌ كَانَتِ الصَّلَاةُ فَرِيضَةً أَوْ نَافِلَةً؛ لِعُمُومِ الْأَدِلَّةِ.

Sujud sahwi disyariatkan jika ada sebabnya, baik shalat itu wajib atau sunnah; karena keumuman dalil-dalil.

فَالْحَالَةُ الْأُولَى مِنَ الْأَحْوَالِ الَّتِي يُشْرَعُ لَهَا سُجُودُ السَّهْوِ: هِيَ حَالَةُ الزِّيَادَةِ فِي الصَّلَاةِ، وَهِيَ إِمَّا زِيَادَةُ أَفْعَالٍ أَوْ زِيَادَةُ أَقْوَالٍ:

Keadaan pertama dari keadaan-keadaan yang disyariatkan sujud sahwi untuknya adalah: keadaan menambahkan sesuatu dalam shalat, baik itu penambahan perbuatan atau penambahan ucapan:

فَزِيَادَةُ الْأَفْعَالِ إِذَا كَانَتْ زِيَادَةً مِنْ جِنْسِ الصَّلَاةِ؛ كَالْقِيَامِ فِي مَحَلِّ الْقُعُودِ، وَالْقُعُودِ فِي مَحَلِّ الْقِيَامِ، أَوْ زَادَ رُكُوعًا أَوْ سُجُودًا، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ سَهْوًا؛ فَإِنَّهُ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ؛ لِقَوْلِهِ فِي حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ: "فَإِذَا زَادَ الرَّجُلُ أَوْ نَقَصَ فِي صَلَاتِهِ؛ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَلِأَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الصَّلَاةِ نَقْصٌ مِنْ هَيْئَتِهَا فِي الْمَعْنَى، فَشُرِعَ السُّجُودُ لَهَا؛ لِيَنْجَبِرَ النَّقْصُ.

Adapun penambahan perbuatan, jika itu penambahan dari jenis shalat; seperti berdiri di tempat duduk, duduk di tempat berdiri, atau menambahkan ruku' atau sujud, maka jika ia melakukan itu karena lupa; ia harus sujud sahwi; berdasarkan sabdanya dalam hadits Ibnu Mas'ud: "Jika seseorang menambahkan atau mengurangi dalam shalatnya; hendaklah ia sujud dua kali", diriwayatkan oleh Muslim, dan karena penambahan dalam shalat adalah pengurangan dari bentuknya secara makna, maka disyariatkan sujud untuknya; agar kekurangan itu tertutupi.

وَكَذَا لَوْ زَادَ رَكْعَةً سَهْوًا، وَلَمْ يَعْلَمْ إِلَّا بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ، أَمَّا إِنْ عَلِمَ فِي أَثْنَاءِ الرَّكْعَةِ الزَّائِدَةِ؛ فَإِنَّهُ يَجْلِسُ فِي الْحَالِ، وَيَتَشَهَّدُ إِنْ لَمْ يَكُنْ تَشَهَّدَ، ثُمَّ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ وَيُسَلِّمُ.

Demikian pula jika ia menambahkan satu rakaat karena lupa, dan tidak menyadarinya kecuali setelah selesai darinya; maka ia harus sujud sahwi. Adapun jika ia menyadari di tengah-tengah rakaat tambahan; maka ia harus duduk seketika, dan bertasyahud jika belum bertasyahud, kemudian sujud sahwi dan salam.

وَإِنْ كَانَ إِمَامًا؛ لَزِمَ مَنْ عَلِمَ مِنَ الْمَأْمُومِينَ بِالزِّيَادَةِ تَنْبِيهُهُ بِأَنْ يُسَبِّحَ الرِّجَالُ وَتُصَفِّقَ النِّسَاءُ، وَيَلْزَمُ الْإِمَامَ حِينَئِذٍ الرُّجُوعُ إِلَى تَنْبِيهِهِمْ إِذَا لَمْ يَجْزِمْ بِصَوَابِ نَفْسِهِ؛ لِأَنَّهُ رُجُوعٌ إِلَى الصَّوَابِ، وَكَذَا يَلْزَمُهُمْ تَنْبِيهُهُ عَلَى النَّقْصِ.

Dan jika dia adalah seorang imam; maka orang-orang yang makmum yang mengetahui adanya penambahan harus memperingatkannya dengan cara laki-laki bertasbih dan perempuan bertepuk tangan, dan imam wajib kembali kepada peringatan mereka jika dia tidak yakin dengan kebenaran dirinya; karena itu adalah kembali kepada kebenaran, dan demikian pula mereka wajib memperingatkannya atas kekurangan.

وَأَمَّا زِيَادَةُ الْأَقْوَالِ؛ كَالْقِرَاءَةِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، وَقِرَاءَةِ سُورَةٍ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأَخِيرَتَيْنِ مِنَ الرُّبَاعِيَّةِ وَالثَّالِثَةِ مِنَ الْمَغْرِبِ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ سَهْوًا اسْتُحِبَّ لَهُ السُّجُودُ لِلسَّهْوِ.

Adapun penambahan ucapan; seperti membaca dalam ruku' dan sujud, dan membaca surah pada dua rakaat terakhir dari shalat empat rakaat dan rakaat ketiga dari shalat Maghrib, maka jika dia melakukan hal itu karena lupa, disunnahkan baginya sujud sahwi.

وَأَمَّا الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ، وَهِيَ مَا إِذَا نَقَصَ مِنَ الصَّلَاةِ سَهْوًا بِأَنْ تَرَكَ مِنْهَا شَيْئًا: فَإِنْ كَانَ الْمَتْرُوكُ رُكْنًا، وَكَانَ هَذَا الرُّكْنُ تَكْبِيرَةَ الْإِحْرَامِ؛ لَمْ تَنْعَقِدْ صَلَاتُهُ وَلَا يُغْنِي عَنْهُ سُجُودُ السَّهْوِ.

Adapun keadaan kedua, yaitu jika dia mengurangi shalat karena lupa dengan meninggalkan sesuatu darinya: jika yang ditinggalkan adalah rukun, dan rukun ini adalah takbiratul ihram; maka shalatnya tidak sah dan sujud sahwi tidak mencukupinya.

وَإِنْ كَانَ رُكْنًا غَيْرَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ؛ كَرُكُوعٍ أَوْ سُجُودٍ، وَذَكَرَ هَذَا الْمَتْرُوكَ قَبْلَ شُرُوعِهِ فِي قِرَاءَةِ رَكْعَةٍ أُخْرَى؛ فَإِنَّهُ يَعُودُ وُجُوبًا، فَيَأْتِي بِهِ وَبِمَا بَعْدَهُ، وَإِنْ ذَكَرَهُ بَعْدَ شُرُوعِهِ فِي قِرَاءَةِ رَكْعَةٍ أُخْرَى؛ بَطَلَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَرَكَهُ مِنْهَا، وَقَامَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَلِيهَا مَقَامَهَا؛ لِأَنَّهُ تَرَكَ رُكْنًا لَمْ يُمْكِنْهُ اسْتِدْرَاكُهُ؛ لِتَلَبُّسِهِ بِالرَّكْعَةِ الَّتِي بَعْدَهَا.

Dan jika itu adalah rukun selain takbiratul ihram; seperti ruku' atau sujud, dan dia mengingat yang tertinggal ini sebelum memulai membaca rakaat lain; maka dia harus kembali secara wajib, lalu melakukannya dan apa yang setelahnya, dan jika dia mengingatnya setelah memulai membaca rakaat lain; maka batallah rakaat yang dia tinggalkan darinya, dan rakaat yang mengikutinya menggantikan posisinya; karena dia meninggalkan rukun yang tidak mungkin dia perbaiki; karena dia telah memulai rakaat setelahnya.

وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِالرُّكْنِ الْمَتْرُوكِ إِلَّا بَعْدَ السَّلَامِ؛ فَإِنَّهُ يَعْتَبِرُهُ كَتَرْكِ رَكْعَةٍ كَامِلَةٍ، فَإِنْ لَمْ يُطِلِ الْفَصْلَ، وَهُوَ بَاقٍ عَلَى طَهَارَتِهِ؛ أَتَى بِرَكْعَةٍ كَامِلَةٍ، وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ، وَسَلَّمَ،

Dan jika dia tidak mengetahui rukun yang tertinggal kecuali setelah salam; maka dia menganggapnya seperti meninggalkan satu rakaat penuh, maka jika jeda waktunya tidak lama, dan dia masih dalam keadaan suci; dia melakukan satu rakaat penuh, sujud sahwi, dan salam,

وَإِنْ طَالَ الفَصْلُ، أَوْ انْتَقَضَ وُضُوؤُهُ؛ اسْتَأْنَفَ الصَّلَاةَ مِنْ جَدِيدٍ؛ إِلَّا أَنْ يَكُونَ المَتْرُوكُ تَشَهُّدًا أَخِيرًا أَوْ سَلَامًا؛ فَإِنَّهُ لَا يُعْتَبَرُ كَتَرْكِ رَكْعَةٍ كَامِلَةٍ، بَلْ يَأْتِي بِهِ وَيَسْجُدُ وَيُسَلِّمُ.

Dan jika jeda berlangsung lama, atau wudhu'nya batal; ia harus memulai shalat dari awal; kecuali jika yang tertinggal adalah tasyahud akhir atau salam; maka itu tidak dianggap seperti meninggalkan satu rakaat penuh, tetapi ia melakukannya, sujud, dan salam.

وَإِنْ نَسِيَ التَّشَهُّدَ الأَوَّلَ، وَقَامَ إِلَى الرَّكْعَةِ الثَّالِثَةِ؛ لَزِمَهُ الرُّجُوعُ لِلْإِتْيَانِ بِالتَّشَهُّدِ؛ مَا لَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا، كُرِهَ رُجُوعُهُ؛ لِأَنَّهُ تَلَبَّسَ بِرُكْنٍ آخَرَ؛ فَلَا يَقْطَعُهُ.

Dan jika ia lupa tasyahud awal, dan berdiri untuk rakaat ketiga; ia harus kembali untuk melakukan tasyahud; selama ia belum berdiri sempurna, ia makruh untuk kembali; karena ia telah memulai rukun lain; maka ia tidak boleh memutusnya.

وَإِنْ تَرَكَ التَّسْبِيحَ فِي الرُّكُوعِ أَوْ السُّجُودِ؛ لَزِمَهُ الرُّجُوعُ لِلْإِتْيَانِ بِهِ؛ مَا لَمْ يَعْتَدِلْ قَائِمًا فِي الرَّكْعَةِ الأُخْرَى، وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ فِي كُلِّ هَذِهِ الحَالَاتِ.

Dan jika ia meninggalkan tasbih dalam ruku' atau sujud; ia harus kembali untuk melakukannya; selama ia belum berdiri tegak pada rakaat yang lain, dan ia harus sujud sahwi dalam semua keadaan ini.

وَأَمَّا الحَالَةُ الثَّالِثَةُ وَهِيَ حَالَةُ الشَّكِّ فِي الصَّلَاةِ: فَإِنْ شَكَّ فِي عَدَدِ الرَّكَعَاتِ؛ بِأَنْ شَكَّ أَصَلَّى ثِنْتَيْنِ أَمْ ثَلَاثًا مَثَلًا؛ فَإِنَّهُ يَبْنِي عَلَى الأَقَلِّ؛ لِأَنَّهُ المُتَيَقَّنُ، ثُمَّ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ قَبْلَ السَّلَامِ؛ لِأَنَّ الأَصْلَ عَدَمُ مَا شَكَّ فِيهِ، وَلِحَدِيثِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ: "إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ اثْنَتَيْنِ؛ فَلْيَجْعَلْهَا وَاحِدَةً، أَوْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا؛ فَلْيَجْعَلْهَا اثْنَتَيْنِ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِيُّ.

Adapun keadaan ketiga yaitu keadaan ragu dalam shalat: jika ia ragu tentang jumlah rakaat; seperti ragu apakah ia telah shalat dua atau tiga rakaat misalnya; maka ia harus membangun (shalatnya) di atas yang paling sedikit; karena itulah yang diyakini, kemudian ia sujud sahwi sebelum salam; karena pada dasarnya tidak ada apa yang diragukan, dan berdasarkan hadits Abdurrahman bin Auf: "Jika salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan ia tidak tahu apakah ia telah shalat satu atau dua (rakaat); maka hendaklah ia menjadikannya satu, atau jika ia tidak tahu apakah dua atau tiga; maka hendaklah ia menjadikannya dua", diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi.

وَإِنْ شَكَّ الْمَأْمُومُ أَدْخَلَ مَعَ الْإِمَامِ فِي الْأُولَى أَوْ فِي الثَّانِيَهِ؛ جَعَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ، أَوْ شَكَّ هَلْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ أَمْ لَا؛ لَمْ يَعْتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ، وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ.

Jika makmum ragu apakah ia masuk bersama imam pada rakaat pertama atau kedua, maka ia menjadikannya pada rakaat kedua. Atau jika ia ragu apakah ia mendapatkan rakaat atau tidak, maka ia tidak menghitung rakaat tersebut dan ia sujud sahwi.

وَإِنْ شَكَّ فِي تَرْكِ رُكْنٍ؛ فَكَمَا لَوْ تَرَكَهُ، فَيَأْتِي بِهِ وَبِمَا بَعْدَهُ عَلَى التَّفْصِيلِ السَّابِقِ.

Jika ia ragu meninggalkan rukun, maka seperti jika ia meninggalkannya. Ia melakukannya dan apa yang setelahnya sesuai rincian sebelumnya.

وَإِنْ شَكَّ فِي تَرْكِ وَاجِبٍ؛ لَمْ يَعْتَبِرْ هَذَا الشَّكَّ، وَلَا يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ، وَكَذَا لَوْ شَكَّ فِي زِيَادَةٍ؛ لَمْ يَلْتَفِتْ إِلَى هَذَا الشَّكِّ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الزِّيَادَةِ.

Jika ia ragu meninggalkan wajib, maka keraguan ini tidak dianggap dan ia tidak sujud sahwi. Demikian pula jika ia ragu tentang penambahan, ia tidak memperhatikan keraguan ini karena pada dasarnya tidak ada penambahan.

هَذِهِ جُمَلٌ مِنْ أَحْكَامِ سُجُودِ السَّهْوِ، وَمَنْ أَرَادَ الزِّيَادَةَ؛ فَلْيُرَاجِعْ كُتُبَ الْأَحْكَامِ، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ.

Ini adalah beberapa poin tentang hukum-hukum sujud sahwi. Siapa yang ingin lebih banyak, silakan merujuk kitab-kitab hukum. Allah-lah yang memberi taufik.

بَابٌ فِي الذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلَاةِ

بَابٌ فِي الذِّكْرِ بَعْدَ الصَّلَاةِ

Bab tentang dzikir setelah shalat

قَالَ اللهُ سُبْحَانَهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا﴾ .

Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah Allah dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang."

وَخَصَّصَ سُبْحَانَهُ الْأَمْرَ بِذِكْرِهِ بَعْدَ أَدَاءِ الْعِبَادَاتِ:

Dan Allah Yang Maha Suci mengkhususkan perintah untuk berdzikir kepada-Nya setelah menunaikan ibadah:

فَأَمَرَ بِذِكْرِهِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَوَاتِ؛ فَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ﴾،

Dia memerintahkan untuk berdzikir kepada-Nya setelah selesai melaksanakan shalat; Allah Yang Maha Suci berfirman: "Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring."

وَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ .

Dan Allah Yang Maha Suci berfirman: "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."

وَأَمَرَ بِذِكْرِهِ بَعْدَ إِكْمَالِ صِيَامِ رَمَضَانَ، فَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ﴾ .

Dan Dia memerintahkan untuk berdzikir kepada-Nya setelah menyempurnakan puasa Ramadhan, Allah Yang Maha Suci berfirman: "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."

وَأَمَرَ بِذِكْرِهِ بَعْدَ قَضَاءِ مَنَاسِكِ الْحَجِّ؛ فَقَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا﴾ .

Dan Dia memerintahkan untuk berdzikir kepada-Nya setelah menyelesaikan manasik haji; Allah Yang Maha Suci berfirman: "Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu."

وَذَلِكَ وَاللهُ أَعْلَمُ جَبْرُ لِمَا يَحْصُلُ فِي الْعِبَادَةِ مِنَ النَّقْصِ وَالْوَسَاوِسِ، وَلِإِشْعَارِ الْإِنْسَانِ أَنَّهُ مَطْلُوبٌ مِنْهُ مُوَاصَلَةُ الذِّكْرِ وَالْعِبَادَةِ؛ لِئَلَّا يَظُنَّ أَنَّهُ إِذَا فَرَغَ مِنَ الْعِبَادَةِ؛ فَقَدْ أَدَّى مَا عَلَيْهِ.

Dan itu, Allah yang lebih mengetahui, adalah untuk memperbaiki kekurangan dan bisikan-bisikan yang terjadi dalam ibadah, dan untuk membuat manusia merasa bahwa ia dituntut untuk terus-menerus berdzikir dan beribadah; agar ia tidak mengira bahwa jika ia telah selesai beribadah, maka ia telah menunaikan kewajibannya.

وَالذِّكْرُ الْمَشْرُوعُ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ عَلَى الصِّفَةِ الْوَارِدَةِ عَنِ النَّبِيِّ، لَا عَلَى الصِّفَةِ الْمُحْدَثَةِ الْمُبْتَدَعَةِ الَّتِي يَفْعَلُهَا الصُّوفِيَّةُ الْمُبْتَدِعَةُ.

Dan dzikir yang disyariatkan setelah shalat fardhu harus sesuai dengan sifat yang diriwayatkan dari Nabi, bukan dengan sifat yang diada-adakan dan bid'ah yang dilakukan oleh kaum sufi yang bid'ah.

فَفِي "صَحِيحِ مُسْلِمٍ" عَنْ ثَوْبَانَ ﵁؛ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ: إِذَا انْصَرَفَ فِي صَلَاتِهِ؛ اسْتَغْفَرَ اللهَ ثَلَاثًا، وَقَالَ: "اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ"

Dalam "Shahih Muslim" dari Tsauban ﵁, ia berkata: Rasulullah jika selesai dari shalatnya, beliau beristighfar kepada Allah tiga kali, dan mengucapkan: "Ya Allah, Engkau adalah As-Salam (Yang Maha Sejahtera), dan dari-Mu lah kesejahteraan, Maha Suci Engkau wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Mulia."

وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ " عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ ﵁؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ إِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ؛ قَالَ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ".

Dalam "Shahihain" dari Al-Mughirah bin Syu'bah ﵁, bahwasanya Rasulullah jika selesai shalat, beliau mengucapkan: "Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau cegah, dan kekayaan tidak bermanfaat bagi pemiliknya di hadapan-Mu."

وَفِي "صَحِيحِ مُسْلِمٍ " عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ﵄؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ يُهَلِّلُ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ حِينَ يُسَلِّمُ بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ،

Dalam "Shahih Muslim" dari Abdullah bin Az-Zubair ﵄, bahwasanya Rasulullah biasa bertahlil setelah setiap shalat ketika salam dengan kalimat-kalimat ini: "Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya."

لَهُ النِّعْمَةُ، وَلَهُ الْفَضْلُ، وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ، وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Bagi-Nya nikmat, bagi-Nya karunia, dan bagi-Nya pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah, dengan ikhlas kepada-Nya dalam beragama, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai.

وَفِي "السُّنَنِ" مِنْ حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ: "مَنْ قَالَ فِي دُبُرِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ ثَانِ رِجْلَيْهِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ؛ عَشْرَ مَرَّاتٍ؛ كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ، وَمُحِيَ عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ، وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ، وَكَانَ يَوْمَهُ ذَلِكَ كُلَّهُ فِي حِرْزٍ مِنْ كُلِّ مَكْرُوهٍ، وَحُرِسَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَلَمْ يَنْبَغِ لِذَنْبٍ أَنْ يُدْرِكَهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ؛ إِلَّا الشِّرْكَ بِاللهِ"، قَالَ التِّرْمِذِيُّ: "هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ"، وَوَرَدَ أَنَّ هَذِهِ التَّهْلِيلَاتِ الْعَشْرَ تُقَالُ بَعْدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ أَيْضًا فِي حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ عِنْدَ أَحْمَدَ، وَحَدِيثِ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ فِي "صَحِيحِ ابْنِ حِبَّانَ"

Dalam "As-Sunan" dari hadits Abu Dzar: Bahwa Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan setelah shalat Fajar dan dia melipat kedua kakinya sebelum berbicara: Tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala puji, Yang menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; sebanyak sepuluh kali; maka ditulis baginya sepuluh kebaikan, dihapus darinya sepuluh keburukan, diangkat baginya sepuluh derajat, dan dia pada hari itu seluruhnya berada dalam perlindungan dari segala yang dibenci, dijaga dari setan, dan tidak pantas bagi dosa untuk menimpanya pada hari itu; kecuali syirik kepada Allah", At-Tirmidzi berkata: "Ini adalah hadits hasan shahih", dan telah diriwayatkan bahwa sepuluh tahlil ini juga diucapkan setelah shalat Maghrib dalam hadits Ummu Salamah menurut Ahmad, dan hadits Abu Ayyub Al-Anshari dalam "Shahih Ibnu Hibban".

وَيَقُولُ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَالْفَجْرِ أَيْضًا: "رَبِّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ"؛ سَبْعَ مَرَّاتٍ؛ لِمَا رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَغَيْرُهُمْ

Dan dia juga mengucapkan setelah Maghrib dan Fajar: "Ya Tuhanku, lindungilah aku dari api neraka"; tujuh kali; sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan lainnya.

ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ بَعْدَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيَحْمَدُهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيُكَبِّرُهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيَقُولُ تَمَامَ الْمِئَةِ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ"؛ لِمَا رَوَى مُسْلِمٌ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ: "مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَحَمِدَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَكَبَّرَ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ؛ فَتِلْكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ، ثُمَّ قَالَ تَمَامَ الْمِئَةِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ؛ غُفِرَتْ لَهُ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ".

Kemudian ia bertasbih kepada Allah setelah setiap shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, memuji-Nya tiga puluh tiga kali, dan bertakbir kepada-Nya tiga puluh tiga kali, serta mengucapkan untuk menyempurnakan seratus: "Tidak ada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu"; berdasarkan apa yang diriwayatkan Muslim bahwa Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah seusai setiap shalat tiga puluh tiga kali, memuji Allah tiga puluh tiga kali, dan bertakbir kepada Allah tiga puluh tiga kali; maka itu berjumlah sembilan puluh sembilan, kemudian ia mengucapkan untuk menyempurnakan seratus: Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, dan bagi-Nya segala puji, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; maka dosanya akan diampuni meskipun sebanyak buih lautan".

ثُمَّ يَقْرَأُ آيَةَ الْكُرْسِيِّ، وَ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾، وَ﴿قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ﴾، وَ﴿قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ﴾؛ لِمَا رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَالطَّبَرَانِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ ﵁؛ قَالَ ك قَالَ: رَسُولُ اللهِ: "مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ؛ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا أَنْ يَمُوتَ"؛ يَعْنِي: لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ دُخُولِ الْجَنَّةِ إِلَّا الْمَوْتُ، وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ: "كَانَ فِي ذِمَّةِ اللهِ إِلَى الصَّلَاةِ الْأُخْرَى"، وَفِي "السُّنَنِ" عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ﵁؛ قَالَ: "أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ أَنْ اقْرَأَ الْمُعَوِّذَتَيْنِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ".

Kemudian ia membaca Ayat Kursi, surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, dan surat An-Nas; berdasarkan apa yang diriwayatkan An-Nasa'i dan Ath-Thabrani dari Abu Umamah ﵁; ia berkata: Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang membaca Ayat Kursi seusai setiap shalat; maka tidak ada yang menghalanginya untuk masuk surga kecuali kematian"; artinya: tidak ada yang menghalangi antara dirinya dan masuk surga kecuali kematian, dan dalam hadits lain: "Ia berada dalam jaminan Allah hingga shalat berikutnya", dan dalam "As-Sunan" dari 'Uqbah bin 'Amir ﵁; ia berkata: "Rasulullah memerintahkanku untuk membaca Al-Mu'awwidzatain (surat Al-Falaq dan An-Nas) seusai setiap shalat".

لَقَدْ دَلَّتْ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ الشَّرِيفَةُ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ هَذِهِ الْأَذْكَارِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ، وَعَلَى مَا يَحْصُلُ عَلَيْهِ مَنْ قَالَهَا مِنَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ؛ فَيَنْبَغِي لَنَا الْمُحَافَظَةُ عَلَيْهَا، وَالْإِتْيَانُ بِهَا؛ عَلَى الصِّفَةِ الْوَارِدَةِ عَنِ النَّبِيِّ، وَأَنْ تَأْتِيَ بِهَا بَعْدَ السَّلَامِ مِنَ الصَّلَاةِ مُبَاشَرَةً، قَبْلَ أَنْ نَقُومَ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِي صَلَّيْنَا فِيهِ، وَنُرَتِّبَهَا عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ:

Hadits-hadits mulia ini menunjukkan disyariatkannya dzikir-dzikir ini setelah shalat wajib, dan pahala serta ganjaran yang didapatkan oleh orang yang mengucapkannya; maka sepatutnya kita menjaganya, dan melakukannya; sesuai dengan tata cara yang diriwayatkan dari Nabi, dan hendaknya kita melakukannya setelah salam dari shalat secara langsung, sebelum kita berdiri dari tempat yang kita shalat di dalamnya, dan kita mengurutkannya sesuai urutan ini:

فَإِذَا سَلَّمْنَا مِنَ الصَّلَاةِ؛ نَسْتَغْفِرُ اللهَ ثَلَاثًا.

Jika kita telah salam dari shalat; kita beristighfar kepada Allah tiga kali.

ثُمَّ نَقُولُ: "اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ".

Kemudian kita mengucapkan: "Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Yang Memberi Keselamatan), dan dari-Mu keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Dzat Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan".

ثُمَّ نَقُولُ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ"؛: أَيْ لَا يَنْفَعُ الْغَنِيَّ مِنْكَ عِنَاهُ، وَإِنَّمَا يَنْفَعُهُ الْعَمَلُ الصَّالِحُ.

Kemudian kita mengucapkan: "Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan, dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Ya Allah tidak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak bermanfaat kekayaan orang yang kaya di sisi-Mu"; yakni tidak bermanfaat bagi orang kaya kekayaannya di sisi-Mu, yang bermanfaat baginya hanyalah amal shalih.

ثُمَّ نَقُولُ: "لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ، وَلَهُ الْفَضْلُ، وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ".

Kemudian kita mengucapkan: "Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dan kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya, bagi-Nya nikmat, bagi-Nya karunia, dan bagi-Nya pujian yang baik, tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dengan memurnikan ibadah kepada-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukai".

ثُمَّ نُسَبِّحُ اللهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَنَحْمَدُهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَنُكَبِّرُهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَنَقُولُ تَمْتِمُ الْمِئَةَ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ".

Kemudian kita bertasbih (mengucapkan subhanallah) kepada Allah tiga puluh tiga kali, memuji-Nya (mengucapkan alhamdulillah) tiga puluh tiga kali, bertakbir (mengucapkan Allahu akbar) tiga puluh tiga kali, dan kita mengucapkan untuk melengkapi seratus: "Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".

وَبَعْدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ وَصَلَاةِ الْفَجْرِ نَأْتِي بِالتَّهْلِيلَاتِ الْعَشْرِ، وَنَقُولُ: "رَبِّ أَجِرْنِي مِنَ النَّارِ"؛ سَبْعَ مَرَّاتٍ.

Dan setelah shalat Maghrib dan shalat Subuh kita melakukan tahlil sepuluh kali, dan kita mengucapkan: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari api neraka"; sebanyak tujuh kali.

ثُمَّ بَعْدَ أَنْ نَفْرَغَ مِنْ هَذِهِ الْأَذْكَارِ عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ؛ نَقْرَأُ آيَةَ الْكُرْسِيِّ، وَسُوَرَ: ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾، وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ.

Kemudian setelah kita selesai membaca dzikir-dzikir ini sesuai urutan tersebut; kita membaca Ayat Kursi, dan surat-surat: ﴿Qul huwa Allāhu aḥad﴾, dan Al-Mu'awwidzatain.

وَيُسْتَحَبُّ تَكْرَارُ قِرَاءَةِ هَذِهِ السُّوَرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ وَصَلَاةِ الْفَجْرِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ.

Dan dianjurkan untuk mengulangi pembacaan surat-surat ini setelah shalat Maghrib dan shalat Subuh sebanyak tiga kali.

وَيُسْتَحَبُّ الْجَهْرُ بِالتَّهْلِيلِ وَالتَّسْبِيحِ وَالتَّحْمِيدِ وَالتَّكْبِيرِ عَقِبَ الصَّلَاةِ، لَكِنْ لَا يَكُونُ بِصَوْتٍ جَمَاعِيٍّ، وَإِنَّمَا يَرْفَعُ بِهِ كُلُّ وَاحِدٍ صَوْتَهُ مُنْفَرًا.

Dan dianjurkan untuk mengeraskan suara saat bertahlil, tasbih, tahmid, dan takbir setelah shalat, tetapi tidak dengan suara berjamaah, melainkan setiap orang mengeraskan suaranya sendiri-sendiri.

وَيَسْتَعِينُ عَلَى ضَبْطِ عَدَدِ التَّهْلِيلَاتِ وَعَدَدِ التَّسْبِيحِ وَالتَّحْمِيدِ وَالتَّكْبِيرِ عَقِبَ الصَّلَاةِ، لَكِنْ لَا يَكُونُ بِصَوْتٍ جَمَاعِيٍّ، وَإِنَّمَا يَرْفَعُ بِهِ كُلُّ وَاحِدٍ صَوْتَهُ مُنْفَرِدًا.

Dan membantu dalam menghitung jumlah tahlil, tasbih, tahmid, dan takbir setelah shalat, tetapi tidak dengan suara berjamaah, melainkan setiap orang mengeraskan suaranya sendiri-sendiri.

وَيَسْتَعِينُ عَلَى ضَبْطِ عَدَدِ التَّهْلِيلَاتِ وَعَدَدِ التَّسْبِيحِ وَالتَّحْمِيدِ وَالتَّكْبِيرِ بِعَقْدِ الْأَصَابِعِ؛ لِأَنَّ الْأَصَابِعَ مَسْؤُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Dan membantu dalam menghitung jumlah tahlil, tasbih, tahmid, dan takbir dengan menghitung jari-jari; karena jari-jari akan dimintai pertanggungjawaban dan ditanya pada hari kiamat.

وَيُبَاحُ اسْتِعْمَالُ السُّبْحَةِ لِيَعُدَّ بِهَا الْأَذْكَارَ وَالتَّسْبِيحَاتِ، مِنْ غَيْرِ اعْتِقَادٍ أَنَّ فِيهَا فَضِيلَةً خَاصَّةً، وَكَرِهَهَا بَعْضُ الْعُلَمَاءِ، وَإِنِ اعْتَقَدَ أَنَّ لَهَا فَضِيلَةً؛ فَاتِّخَاذُهَا بِدْعَةٌ، وَذَلِكَ مِثْلُ السُّبَحِ الَّتِي يَتَّخِذُهَا الصُّوفِيَّةُ، وَيُعَلِّقُونَهَا فِي أَعْنَاقِهِمْ، أَوْ يَجْعَلُونَهَا كَالْأَسْوِرَةِ فِي أَيْدِيهِمْ، وَهَذَا مَعَ كَوْنِهِ بِدْعَةً؛ فَإِنَّ فِيهِ رِيَاءً وَتَكَلُّفًا.

Dan diperbolehkan menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir dan tasbih, tanpa meyakini bahwa ada keutamaan khusus di dalamnya, dan sebagian ulama memakruhkannya, dan jika meyakini bahwa tasbih memiliki keutamaan; maka menggunakannya adalah bid'ah, seperti tasbih yang digunakan oleh kaum sufi, dan mereka mengalungkannya di leher mereka, atau menjadikannya seperti gelang di tangan mereka, dan ini selain menjadi bid'ah; juga mengandung riya' dan dibuat-buat.

ثُمَّ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ هَذِهِ الْأَذْكَارِ يَدْعُو سِرًّا بِمَا شَاءَ؛ فَإِنَّ الدُّعَاءَ عَقِبَ هَذِهِ الْعِبَادَةِ وَهَذِهِ الْأَذْكَارِ الْعَظِيمَةِ أَحْرَى بِالْإِجَابَةِ، وَلَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ بِالدُّعَاءِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ كَمَا يَفْعَلُ بَعْضُ النَّاسِ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ، وَإِنَّمَا يَفْعَلُ هَذَا بَعْدَ النَّافِلَةِ أَحْيَانًا، وَلَا يَجْهَرُ بِالدُّعَاءِ، بَلْ يُخْفِيهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْإِخْلَاصِ وَالْخُشُوعِ، وَأَبْعَدُ عَنِ الرِّيَاءِ.

Kemudian setelah selesai membaca dzikir-dzikir ini, hendaklah berdoa secara rahasia dengan apa yang dia kehendaki; karena doa setelah ibadah ini dan dzikir-dzikir yang agung ini lebih diharapkan untuk dikabulkan, dan janganlah mengangkat kedua tangan untuk berdoa setelah shalat fardhu seperti yang dilakukan sebagian orang; karena itu adalah bid'ah, dan hanya dilakukan setelah shalat sunnah terkadang, dan janganlah mengeraskan suara dalam berdoa, tetapi memelankannya; karena itu lebih dekat kepada keikhlasan dan kekhusyukan, dan lebih jauh dari riya'.

وَأَمَّا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ فِي بَعْضِ الْبِلَادِ مِنَ الدُّعَاءِ الْجَمَاعِيِّ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ بِأَصْوَاتٍ مُرْتَفِعَةٍ مَعَ رَفْعِ الْأَيْدِي، أَوْ يَدْعُو الْإِمَامُ وَالْحَاضِرُونَ يُؤَمِّنُونَ رَافِعِي أَيْدِيهِمْ؛ فَهَذَا الْعَمَلُ بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنِ النَّبِيِّ أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى بِالنَّاسِ يَدْعُو بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ؛ لَا فِي الْفَجْرِ، وَلَا فِي الْعَصْرِ وَلَا غَيْرِهِمَا مِنَ الصَّلَوَاتِ، وَلَا اسْتَحَبَّ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ.

Adapun apa yang dilakukan sebagian orang di sebagian negeri berupa doa berjamaah setelah shalat dengan suara keras sambil mengangkat tangan, atau imam berdoa dan para hadirin mengamini sambil mengangkat tangan mereka; maka amalan ini adalah bid'ah yang mungkar; karena tidak diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau ketika shalat bersama orang-orang berdoa setelah selesai shalat dengan cara seperti ini; tidak pada shalat Subuh, tidak pada shalat Ashar, dan tidak pula pada shalat-shalat lainnya, dan tidak seorang pun dari para imam yang menganggap itu mustahab.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "مَنْ نَقَلَ ذَلِكَ عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ؛ فَقَدْ غَلِطَ عَلَيْهِ، فَيَجِبُ التَّقَيُّدُ بِمَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ فِي ذَلِكَ وَفِي غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: ﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾، وَيَقُولُ سُبْحَانَهُ: ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا﴾ .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Barangsiapa yang menukil hal itu dari Imam Asy-Syafi'i; maka sungguh ia telah keliru terhadapnya, maka wajib berpegang teguh dengan apa yang datang dari Nabi dalam hal itu dan selainnya; karena Allah Ta'ala berfirman: 'Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.' Dan Allah Subhanahu berfirman: 'Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.'"

بَابٌ فِي صَلَاةِ التَّطَوُّعِ

اعْلَمُوا أَنَّ رَبَّكُمْ سُبْحَانَهُ تَعَالَى شَرَعَ لَكُمْ بِجَانِبِ فَرَائِضِ الصَّلَوَاتِ التَّقَرُّبَ إِلَيْهِ بِنَوَافِلِ الصَّلَوَاتِ؛ فَالتَّطَوُّعُ بِالصَّلَاةِ مِنْ أَفْضَلِ القُرُبَاتِ بَعْدَ الجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللهِ وَطَلَبِ العِلْمِ؛ لِمُدَاوَمَةِ النَّبِيِّ عَلَى التَّقَرُّبِ إِلَى رَبِّهِ بِنَوَافِلِ الصَّلَوَاتِ، وَقَالَ ﵊: "اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ".

Ketahuilah bahwa Tuhanmu Yang Maha Suci dan Maha Tinggi telah mensyariatkan bagimu, di samping shalat wajib, untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan shalat sunnah. Shalat sunnah adalah salah satu pendekatan terbaik setelah berjihad di jalan Allah dan menuntut ilmu, karena Nabi senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan shalat sunnah. Beliau bersabda ﵊: "Istiqamahlah dan kamu tidak akan dapat menghitung (pahala), dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal perbuatanmu adalah shalat".

وَالصَّلَاةُ تَجْمَعُ أَنْوَاعًا مِنَ العِبَادَةِ؛ كَالقِرَاءَةِ، وَالرُّكُوعِ، وَالسُّجُودِ، وَالدُّعَاءِ، وَالذُّلِّ، وَالخُضُوعِ، وَمُنَاجَاةِ الرَّبِّ ﷾، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّسْبِيحِ، وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ.

Shalat mencakup berbagai jenis ibadah, seperti membaca (Al-Qur'an), ruku', sujud, doa, kerendahan hati, ketundukan, bermunajat kepada Tuhan ﷾, bertakbir, bertasbih, dan bershalawat kepada Nabi.

وَصَلَوَاتُ التَّطَوُّعِ عَلَى نَوْعَيْنِ:

Shalat sunnah terbagi menjadi dua jenis:

النَّوْعُ الأَوَّلُ: صَلَوَاتٌ مُؤَقَّتَةٌ بِأَوْقَاتٍ مُعَيَّنَةٍ، وَتُسَمَّى بِالنَّوَافِلِ المُقَيَّدَةِ.

Jenis pertama: Shalat yang ditentukan waktunya pada waktu-waktu tertentu, dan disebut sebagai shalat sunnah muqayyad (terikat).

وَالنَّوْعُ الثَّانِي: صَلَوَاتٌ غَيْرُ مُؤَقَّتَةٍ بِأَوْقَاتٍ مُعَيَّنَةٍ، وَتُسَمَّى بِالنَّوَافِلِ الْمُطْلَقَةِ.

Dan jenis kedua: shalat yang tidak terikat dengan waktu tertentu, dan disebut dengan shalat sunnah mutlak.

وَالنَّوْعُ الْأَوَّلُ، أَنْوَاعٌ مُتَعَدِّدَةٌ، بَعْضُهَا آكَدُ مِنْ بَعْضٍ، وَآكَدُ أَنْوَاعِهِ صَلَاةُ الْكُسُوفِ، ثُمَّ صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ، ثُمَّ صَلَاةُ الْوِتْرِ، وَكُلُّ مِنْ هَذِهِ الصَّلَوَاتِ سَيَأْتِي عَنْهُ حَدِيثٌ خَاصٌّ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى

Dan jenis pertama, terdiri dari beberapa macam, sebagiannya lebih ditekankan daripada yang lain, dan yang paling ditekankan adalah shalat gerhana, kemudian shalat Tarawih, kemudian shalat Witir, dan masing-masing dari shalat ini akan dibahas secara khusus insya Allah Ta'ala.

بَابٌ فِي صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَحْكَامِهَا

بَابٌ فِي صَلَاةِ الْوِتْرِ وَأَحْكَامِهَا

Bab tentang shalat witir dan hukum-hukumnya

وَلْنَبْدَأِ الْآنَ بِالْحَدِيثِ عَنْ صَلَاةِ الْوِتْرِ لِأَهَمِّيَّتِهِ، فَقَدْ قِيلَ: إِنَّهُ آكَدُ التَّطَوُّعِ، وَذَهَبَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ إِلَى وُجُوبِهِ، وَمَا اخْتَلَفَ وُجُوبُهُ؛ فَهُوَ آكَدُ مِنْ غَيْرِهِ مِمَّا لَمْ يَخْتَلِفْ فِي عَدَمِ وُجُوبِهِ.

Sekarang mari kita mulai membahas tentang shalat witir karena pentingnya. Telah dikatakan bahwa ia adalah shalat sunnah yang paling ditekankan. Beberapa ulama berpendapat bahwa ia wajib. Apa yang berbeda dalam kewajibannya, maka ia lebih ditekankan daripada yang lain yang tidak ada perbedaan pendapat tentang ketidakwajibannya.

اتَّفَقَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الْوِتْرِ، فَلَا يَنْبَغِي تَرْكُهُ، وَمَنْ أَصَرَّ عَلَى تَرْكِهِ؛ فَإِنَّهُ تُرَدُّ شَهَادَتُهُ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: "مَنْ تَرَكَ الْوِتْرَ عَمْدًا؛ فَهُوَ رَجُلٌ سُوءٍ، لَا يَنْبَغِي أَنْ تُقْبَلَ شَهَادَتُهُ"، وَرَوَى أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ مَرْفُوعًا: "مَنْ لَمْ يُوتِرْ؛ فَلَيْسَ مِنَّا".

Kaum muslimin sepakat atas disyariatkannya witir, maka tidak sepatutnya ditinggalkan. Barangsiapa bersikeras meninggalkannya, maka kesaksiannya tertolak. Imam Ahmad berkata, "Barangsiapa meninggalkan witir dengan sengaja, maka ia adalah orang yang buruk, tidak sepatutnya kesaksiannya diterima." Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan secara marfu', "Barangsiapa tidak melakukan witir, maka ia bukan dari golongan kami."

وَالْوِتْرُ: اسْمٌ لِلرَّكْعَةِ الْمُنْفَصِلَةِ عَمَّا قَبْلَهَا، وَلِثَلَاثِ الرَّكَعَاتِ وَلِلْخَمْسِ وَالسَّبْعِ وَالتِّسْعِ وَالْإِحْدَى عَشْرَةَ "إِذَا كَانَتْ هَذِهِ الرَّكَعَاتُ مُتَّصِلَةً بِسَلَامٍ وَاحِدٍ"، فَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ الرَّكَعَاتُ بِسَلَامَيْنِ فَأَكْثَرَ؛ فَالْوِتْرُ اسْمٌ لِلرَّكْعَةِ الْمُنْفَصِلَةِ وَحْدَهَا.

Witir adalah nama untuk satu rakaat yang terpisah dari rakaat sebelumnya, juga untuk tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat, sembilan rakaat, dan sebelas rakaat "jika rakaat-rakaat ini disambung dengan satu salam". Jika rakaat-rakaat ini dilakukan dengan dua salam atau lebih, maka witir adalah nama untuk satu rakaat yang terpisah saja.

وَوَقْتُ الْوِتْرِ يَبْدَأُ مِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَيَسْتَمِرُّ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ؛ فَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" عَنْ عَائِشَةَ ﵂؛ قَالَتْ: "مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ أَوْتَرَ رَسُولُ اللَّهِ؛ مِنْ أَوَّلِهِ، وَأَوْسَطِهِ، وَآخِرِهِ، وَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ".

Waktu Witir dimulai setelah shalat Isya dan berlanjut hingga terbitnya fajar; Dalam "Shahihain" dari Aisyah ﵂; dia berkata: "Rasulullah melakukan shalat Witir di setiap malam; di awal malam, di tengah malam, dan di akhir malam, dan Witir beliau berakhir hingga Sahur".

وَقَدْ وَرَدَتْ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ جَمِيعَ اللَّيْلِ وَقْتٌ لِلْوِتْرِ؛ إِلَّا مَا قَبْلَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ، فَمَنْ كَانَ يَثِقُ مِنْ قِيَامِهِ فِي آخِرِ اللَّيْلِ؛ فَتَأْخِيرُ الْوِتْرِ إِلَى آخِرِ اللَّيْلِ أَفْضَلُ، وَمَنْ كَانَ لَا يَثِقُ مِنْ قِيَامِهِ فِي آخِرِ اللَّيْلِ؛ فَإِنَّهُ يُوتِرُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ، بِهَذَا أَوْصَى النَّبِيُّ؛ فَقَدْ رَوَى مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ: "أَيُّكُمْ خَافَ أَلَّا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ؛ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ لِيَرْقُدْ، وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامِهِ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ؛ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ؛ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ".

Dan telah diriwayatkan banyak hadits yang menunjukkan bahwa seluruh malam adalah waktu untuk Witir; kecuali sebelum shalat Isya, maka barangsiapa yang yakin akan bangun di akhir malam; maka menunda Witir hingga akhir malam lebih utama, dan barangsiapa yang tidak yakin akan bangun di akhir malam; maka dia melakukan Witir sebelum tidur, inilah yang diwasiatkan oleh Nabi; Muslim meriwayatkan dari hadits Jabir dari Nabi: "Siapa di antara kalian yang khawatir tidak akan bangun di akhir malam; maka hendaklah dia Witir kemudian tidur, dan barangsiapa yang yakin akan bangun di akhir malam; maka hendaklah dia Witir di akhirnya; karena bacaan di akhir malam disaksikan, dan itu lebih utama".

وَأَقَلُّ الْوِتْرِ رَكْعَةٌ وَاحِدَةٌ؛ لِوُرُودِ الْأَحَادِيثِ بِذَلِكَ، وَثُبُوتِهِ عَنْ عَشَرَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ ﵃، لَكِنَّ الْأَفْضَلَ وَالْأَحْسَنَ أَنْ تَكُونَ مَسْبُوقَةً بِالشَّفْعِ.

Dan paling sedikit Witir adalah satu rakaat; karena adanya hadits-hadits tentang hal itu, dan telah tetap dari sepuluh sahabat ﵃, tetapi yang paling utama dan paling baik adalah didahului dengan shalat genap.

وَأَكْثَرُ الْوِتْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، أَوْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّيهَا

Dan paling banyak Witir adalah sebelas rakaat, atau tiga belas rakaat, yang dilaksanakan

رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَةً وَاحِدَةً يُوتِرُ بِهَا؛ لِقَوْلِ عَائِشَةَ ﵂: "كَانَ رَسُولُ اللهِ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ "، رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَفِي لَفْظٍ: "يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ".

Dua rakaat dua rakaat, kemudian shalat satu rakaat witir dengannya; berdasarkan perkataan Aisyah ﵂: "Rasulullah ﷺ shalat pada malam hari sebelas rakaat, beliau berwitir dengan satu rakaat", diriwayatkan oleh Muslim, dan dalam lafaz lain: "Beliau salam di antara setiap dua rakaat dan berwitir dengan satu rakaat".

وَلَهُ أَنْ يَسْرُدَهَا، ثُمَّ يَجْلِسَ بَعْدَ الْعَاشِرَةِ، وَيَتَشَهَّدَ وَلَا يُسَلِّمَ، ثُمَّ يَقُومَ وَيَأْتِيَ بِالْحَادِيَةَ عَشْرَةَ، وَيَتَشَهَّدَ وَيُسَلِّمَ.

Dan dia boleh melakukannya secara terus-menerus, kemudian duduk setelah yang kesepuluh, bertasyahud dan tidak salam, kemudian berdiri dan melakukan rakaat kesebelas, lalu bertasyahud dan salam.

وَلَهُ أَنْ يَسْرُدَهَا، وَلَا يَجْلِسَ إِلَّا بَعْدَ الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ، وَيَتَشَهَّدَ وَيُسَلِّمَ. وَالصِّفَةُ الْأُولَى أَفْضَلُ.

Dan dia boleh melakukannya secara terus-menerus, dan tidak duduk kecuali setelah yang kesebelas, bertasyahud dan salam. Dan cara yang pertama lebih utama.

وَلَهُ أَنْ يُوتِرَ بِتِسْعِ رَكَعَاتٍ، يَسْرُدُ ثَمَانِيًا، ثُمَّ يَجْلِسُ عَقِبَ الرَّكْعَةِ الثَّامِنَةِ، وَيَتَشَهَّدُ التَّشَهُّدَ الْأَوَّلَ وَلَا يُسَلِّمُ، ثُمَّ يَقُومُ، فَيَأْتِي بِالرَّكْعَةِ التَّاسِعَةِ، وَيَتَشَهَّدُ التَّشَهُّدَ الْأَخِيرَ وَيُسَلِّمُ.

Dan dia boleh berwitir dengan sembilan rakaat, melakukan delapan rakaat secara terus-menerus, kemudian duduk setelah rakaat kedelapan, bertasyahud tasyahud pertama dan tidak salam, kemudian berdiri, lalu melakukan rakaat kesembilan, bertasyahud tasyahud terakhir dan salam.

وَلَهُ أَنْ يُوتِرَ بِسَبْعِ رَكَعَاتٍ أَوْ بِخَمْسِ رَكَعَاتٍ، لَا يَجْلِسُ إِلَّا فِي آخِرِ، وَيَتَشَهَّدُ وَيُسَلِّمُ؛ لِقَوْلِ أُمِّ سَلَمَةَ ﵂: "كَانَ رَسُولُ اللهِ يُوتِرُ بِسَبْعٍ وَبِخَمْسٍ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِسَلَامٍ وَلَا كَلَامٍ ".

Dan dia boleh berwitir dengan tujuh rakaat atau lima rakaat, tidak duduk kecuali di akhir, bertasyahud dan salam; berdasarkan perkataan Ummu Salamah ﵂: "Rasulullah ﷺ berwitir dengan tujuh dan lima rakaat, beliau tidak memisahkan di antara mereka dengan salam atau pembicaraan".

وَلَهُ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ، يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَيُسَلِّمُ، ثُمَّ يُصَلِّي الرَّكْعَةَ الثَّالِثَةَ وَحْدَهَا، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ فِي الْأُولَى بِ ﴿سَبَّحَ﴾، وَفِي الثَّانِيَةِ: ﴿قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ﴾، وَالثَّالِثَةِ: ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾ .

Dan dia boleh berwitir dengan tiga rakaat, shalat dua rakaat dan salam, kemudian shalat rakaat ketiga sendirian, dan dianjurkan untuk membaca pada rakaat pertama dengan surah ﴿سَبَّحَ﴾ (Al-A'la), pada rakaat kedua: ﴿قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ﴾ (Al-Kafirun), dan pada rakaat ketiga: ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾ (Al-Ikhlas).

وَقَدْ تَبَيَّنَ مِمَّا مَرَّ أَنَّ لَكَ أَنَّ الْوِتْرَ: بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، أَوْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ، وَبِتِسْعِ رَكَعَاتٍ، وَبِخَمْسِ رَكَعَاتٍ، وَبِثَلَاثِ رَكَعَاتٍ، وَبِرَكْعَةٍ وَاحِدَةٍ؛ فَأَعْلَى الْكَمَالِ إِحْدَى عَشْرَةَ، وَأَدْنَى الْكَمَالِ ثَلَاثُ رَكَعَاتٍ، وَالْمُجْزِئُ رَكْعَةٌ وَاحِدَةٌ.

Dan telah menjadi jelas dari apa yang telah lalu bahwa bagimu witir itu: dengan sebelas rakaat, atau tiga belas, dan dengan sembilan rakaat, dan dengan lima rakaat, dan dengan tiga rakaat, dan dengan satu rakaat; maka paling tinggi kesempurnaan adalah sebelas, dan paling rendah kesempurnaan adalah tiga rakaat, dan yang mencukupi adalah satu rakaat.

وَيُسْتَحَبُّ لَكَ أَنْ تَقْنُتَ فِي الرُّكُوعِ فِي الْوِتْرِ؛ بِأَنْ تَدْعُوَ اللَّهَ سُبْحَانَهُ، فَتَرْفَعَ يَدَيْكَ، وَتَقُولَ: "اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ ... " إِلَخْ الدُّعَاءِ الْوَارِدِ.

Dan dianjurkan bagimu untuk qunut dalam ruku' pada witir; dengan berdoa kepada Allah Subhanahu, lalu engkau mengangkat kedua tanganmu, dan engkau mengucapkan: "Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk..." dan seterusnya doa yang diajarkan.

بَابٌ فِي صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ وَأَحْكَامِهَا

بَابٌ فِي صَلَاةِ التَّرَاوِيحِ وَأَحْكَامِهَا

Bab tentang shalat Tarawih dan hukum-hukumnya

مِمَّا شَرَعَةُ نَبِيُّ الْهُدَى مُحَمَّدٌ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ الْمُبَارَكِ صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ، وَهِيَ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ، سُمِّيَتْ تَرَاوِيحَ لِأَنَّ النَّاسَ كَانُوا يَسْتَرِيحُونَ فِيهَا بَيْنَ كُلِّ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ ١؛ لِأَنَّهُمْ يُطِيلُونَ الصَّلَاةَ.

Di antara yang disyariatkan oleh Nabi pemberi petunjuk Muhammad pada bulan Ramadhan yang diberkahi adalah shalat Tarawih, dan itu adalah sunnah yang ditekankan. Dinamakan Tarawih karena orang-orang beristirahat di dalamnya setiap empat rakaat 1; karena mereka memanjangkan shalat.

وَفَعَلَهَا جَمَاعَةً فِي الْمَسْجِدِ؛ فَقَدْ صَلَّاهَا النَّبِيُّ بِأَصْحَابِهِ فِي الْمَسْجِدِ لَيَالِيَ، ثُمَّ تَأَخَّرَ عَنِ الصَّلَاةِ بِهِمْ؛ خَوْفًا مِنْ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْهِمْ؛ كَمَا ثَبَتَ فِي "الصَّحِيحَيْنِ " عَنْ عَائِشَةَ ﵂: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ، وَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ، وَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، لَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ،

Dan melakukannya secara berjamaah di masjid; Nabi telah melakukannya bersama para sahabatnya di masjid selama beberapa malam, kemudian beliau terlambat shalat bersama mereka; karena khawatir akan diwajibkan kepada mereka; sebagaimana ditetapkan dalam "Shahihain" dari Aisyah ﵂: bahwa Nabi shalat di masjid pada suatu malam, dan orang-orang shalat mengikuti shalatnya, kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, dan orang-orang semakin banyak, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, beliau tidak keluar kepada mereka,

١ أَيْ: بَيْنَ كُلِّ تَسْلِيمَتَيْنِ؛ لِأَنَّ التَّرَاوِيحَ مَثْنَى مَثْنَى، وَصَلَاةَ التَّهَجُّدِ كَذَلِكَ، وَقَدْ يُغَلِّطُ بَعْضُ أَئِمَّةِ الْمَسَاجِدِ الَّذِينَ لَا فِقْهَ لَدَيْهِمْ، فَلَا يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فِي التَّرَاوِيحِ أَوِ التَّهَجُّدِ، وَهَذَا خِلَافُ السُّنَّةِ، وَقَدْ نَصَّ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ مَنْ قَامَ إِلَى ثَالِثَةٍ فِي التَّرَاوِيحِ أَوْ فِي التَّهَجُّدِ؛ فَهُوَ كَمَنْ قَامَ إِلَى ثَالِثَةٍ فِي فَجْرٍ؛ أَيْ: تَبْطُلُ صَلَاتُهُ، وَلِلشَّيْخِ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ بَازٍ جَوَابٌ يَرُدُّ عَلَى هَؤُلَاءِ وَيُبَيِّنُ خَطَأَهُمْ.

1 Yaitu: di antara setiap dua salam; karena Tarawih dilakukan dua rakaat-dua rakaat, dan shalat Tahajjud juga demikian. Sebagian imam masjid yang tidak memiliki pemahaman fikih mungkin melakukan kesalahan, sehingga tidak salam setiap dua rakaat dalam Tarawih atau Tahajjud, dan ini bertentangan dengan Sunnah. Para ulama telah menegaskan bahwa siapa yang berdiri untuk rakaat ketiga dalam Tarawih atau Tahajjud; maka ia seperti orang yang berdiri untuk rakaat ketiga dalam shalat Subuh; yaitu: shalatnya batal. Syaikh Abdul Aziz bin Baz memiliki jawaban yang menyanggah mereka dan menjelaskan kesalahan mereka.

فَلَمَّا أَصْبَحَ؛ قَالَ: "قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ"، وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ، وَفَعَلَهَا صَحَابَتُهُ مِنْ بَعْدِهِ، وَتَلَقَّتْهَا أُمَّتُهُ بِالْقَبُولِ، وَقَالَ: "مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ، كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ"، وَقَالَ: "مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Ketika pagi tiba, beliau berkata: "Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian kecuali aku khawatir hal itu akan diwajibkan atas kalian", dan itu terjadi pada bulan Ramadhan. Para sahabatnya melakukannya setelah beliau, dan umatnya menerimanya. Beliau bersabda: "Barangsiapa yang shalat bersama imam hingga selesai, maka ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk". Beliau juga bersabda: "Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni", hadits ini disepakati.

فَهِيَ سُنَّةٌ ثَابِتَةٌ، لَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ تَرْكُهَا.

Maka itu adalah sunnah yang tetap, tidak sepatutnya bagi seorang muslim untuk meninggalkannya.

أَمَّا عَدَدُ رَكَعَاتِهَا؛ فَلَمْ يَثْبُتْ فِيهِ شَيْءٌ عَنِ النَّبِيِّ، وَالْأَمْرُ فِي ذَلِكَ وَاسِعٌ.

Adapun jumlah rakaatnya, tidak ada sesuatu yang tetap dari Nabi tentang hal itu, dan perkara ini luas.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، كَمَا هُوَ مَشْهُورٌ مِنْ مَذْهَبِ أَحْمَدَ وَالشَّافِعِيِّ، وَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ سِتًّا

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Dia boleh shalat dua puluh rakaat, sebagaimana yang terkenal dari mazhab Ahmad dan Asy-Syafi'i, dan dia boleh shalat enam rakaat

وَثَلَاثِينَ، كَمَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، وَكُلٌّ حَسَنٌ؛ فَيَكُونُ تَكْثِيرُ الرَّكَعَاتِ أَوْ تَقْلِيلُهَا بِحَسَبِ طُولِ الْقِيَامِ وَقِصَرِهِ.

Dan tiga puluh, sebagaimana mazhab Malik, dan dia boleh shalat sebelas rakaat dan tiga belas rakaat, dan semuanya baik; maka memperbanyak rakaat atau menguranginya tergantung pada panjang atau pendeknya berdiri.

وَعُمَرُ ﵁ لَمَّا جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيٍّ؛ صَلَّى بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَالصَّحَابَةُ ﵃ مِنْهُمْ مَنْ يُقِلُّ وَمِنْهُمْ مَنْ يُكْثِرُ، وَالْحَدُّ الْمَحْدُودُ لَا نَصَّ عَلَيْهِ مِنَ الشَّارِعِ.

Dan Umar ﵁ ketika mengumpulkan orang-orang di belakang Ubay; dia shalat bersama mereka dua puluh rakaat, dan para sahabat ﵃ di antara mereka ada yang sedikit dan ada yang banyak, dan batasan yang ditentukan tidak ada nash dari Syari'.

وَكَثِيرٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ "أَيْ: أَئِمَّةِ الْمَسَاجِدِ" فِي التَّرَاوِيحِ يُصَلُّونَ صَلَاةً لَا يَعْقِلُونَهَا، وَلَا يَطْمَئِنُّونَ فِي الرُّكُوعِ وَلَا فِي السُّجُودِ، وَالطُّمَأْنِينَةُ رُكْنٌ، وَالْمَطْلُوبُ فِي الصَّلَاةِ حُضُورُ الْقَلْبِ بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالَى، وَاتِّعَاظُهُ بِكَلَامِ اللهِ إِذْ يُتْلَى، وَهَذَا لَا يَحْصُلُ فِي الْعَجَلَةِ الْمَكْرُوهَةِ، وَصَلَاةُ عَشْرِ رَكَعَاتٍ مَعَ طُولِ الْقِرَاءَةِ وَالطُّمَأْنِينَةِ أَوْلَى مِنْ عِشْرِينَ رَكْعَةً مَعَ الْعَجَلَةِ وَالْمَكْرُوهَةِ؛ لِأَنَّ لُبَّ الصَّلَاةِ وَرُوحَهَا هُوَ إِقْبَالُ الْقَلْبِ عَلَى اللهِ ﷿، وَرُبَّ قَلِيلٍ خَيْرٌ مِنْ كَثِيرٍ، وَكَذَلِكَ تَرْتِيلُ الْقِرَاءَةِ أَفْضَلُ مِنَ السُّرْعَةِ، وَالسُّرْعَةُ الْمُبَاحَةُ هِيَ الَّتِي لَا يَحْصُلُ مَعَهَا إِسْقَاطُ شَيْءٍ مِنَ الْحُرُوفِ، فَإِنْ أَسْقَطَ بَعْضَ الْحُرُوفِ لِأَجْلِ السُّرْعَةِ؛ لَمْ يَجُزْ ذَلِكَ، وَيُنْهَى عَنْهُ، وَأَمَّا إِذَا قَرَأَ قِرَاءَةً بَيِّنَةً يَنْتَفِعُ بِهَا الْمُصَلُّونَ خَلْفَهُ؛ فَحَسَنٌ.

Dan banyak dari para imam "yaitu: imam masjid" dalam shalat Tarawih mereka shalat dengan shalat yang tidak mereka pahami, dan mereka tidak tenang dalam ruku' dan sujud, padahal tuma'ninah adalah rukun, dan yang dituntut dalam shalat adalah hadirnya hati di hadapan Allah Ta'ala, dan mengambil pelajaran dari firman Allah ketika dibacakan, dan ini tidak terjadi dalam tergesa-gesa yang makruh, dan shalat sepuluh rakaat dengan bacaan yang panjang dan tuma'ninah lebih utama daripada dua puluh rakaat dengan tergesa-gesa dan makruh; karena inti shalat dan ruhnya adalah menghadapnya hati kepada Allah ﷿, dan sedikit lebih baik daripada banyak, dan demikian pula tartil bacaan lebih utama daripada cepat, dan kecepatan yang dibolehkan adalah yang tidak mengakibatkan gugurnya sesuatu dari huruf-huruf, jika menggugurkan sebagian huruf karena kecepatan; maka itu tidak boleh, dan dilarang darinya, adapun jika dia membaca bacaan yang jelas yang bermanfaat bagi orang-orang yang shalat di belakangnya; maka itu baik.

وَقَدْ ذَمَّ اللهُ الَّذِينَ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ بِلَا فَهْمِ مَعْنَاهُ، فَقَالَ تَعَالَى:

Dan sungguh Allah telah mencela orang-orang yang membaca Al-Qur'an tanpa memahami maknanya, maka Allah Ta'ala berfirman:

وَفَّقَ اللهُ الجَمِيعَ لِمَا فِيهِ الصَّلَاحُ وَالفَلَاحُ.

Semoga Allah memberi taufik kepada semua orang untuk kebaikan dan kesuksesan.

بَابٌ فِي السُّنَنِ الرَّاتِبَةِ مَعَ الْفَرَائِضِ

اعْلَمُوا أَيُّهَا الإِخْوَانُ أَنَّ السُّنَنَ الرَّاتِبَةَ يَتَأَكَّدُ فِعْلُهَا وَيُكْرَهُ تَرْكُهَا، وَمَنْ دَاوَمَ عَلَى تَرْكِهَا؛ سَقَطَتْ عَدَالَتُهُ عِنْدَ بَعْضِ الأَئِمَّةِ، وَأَثِمَ بِسَبَبِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْمُدَاوَمَةَ عَلَى تَرْكِهَا تَدُلُّ عَلَى قِلَّةِ دِينِهِ، وَعَدَمِ مُبَالَاتِهِ.

Ketahuilah wahai saudara-saudara, bahwa sunnah rawatib sangat ditekankan untuk dilakukan dan dibenci untuk ditinggalkan. Barangsiapa yang terus-menerus meninggalkannya, maka keadilannya gugur menurut sebagian imam, dan ia berdosa karena hal itu. Karena terus-menerus meninggalkannya menunjukkan sedikitnya agama dan ketidakpeduliannya.

وَجُمْلَةُ السُّنَنِ الرَّوَاتِبِ عَشْرُ رَكَعَاتٍ، وَبَيَانُهَا كَالتَّالِي:

Jumlah sunnah rawatib adalah sepuluh rakaat, dan penjelasannya adalah sebagai berikut:

رَكْعَتَانِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَعِنْدَ جَمْعٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَرْبَعُ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ؛ فَعَلَيْهِ تَكُونُ جُمْلَةُ السُّنَنِ الرَّوَاتِبِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.

Dua rakaat sebelum Zuhur, dan menurut sekelompok ulama empat rakaat sebelum Zuhur; maka dengan demikian jumlah sunnah rawatib menjadi dua belas rakaat.

وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الظُّهْرِ.

Dan dua rakaat setelah Zuhur.

وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ.

Dan dua rakaat setelah Maghrib.

وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ الْعِشَاءِ.

Dan dua rakaat setelah Isya.

وَرَكْعَتَانِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ.

Dan dua rakaat sebelum shalat Fajar setelah terbitnya fajar.

وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذِهِ الرَّوَاتِبِ بِهَذَا التَّفْصِيلِ الْمَذْكُورِ هُوَ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ ﵄؛ قَالَ: "حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ عَشْرَ رَكَعَاتٍ: رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ،

Dan dalil tentang rawatib ini dengan rincian yang disebutkan adalah hadits Ibnu Umar ﵄; ia berkata: "Aku hafal dari Rasulullah sepuluh rakaat: dua rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib di rumahnya,

وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ، كَانَتْ سَاعَةً لَا يَدْخُلُ عَلَى النَّبِيِّ فِيهَا أَحَدٌ، حَدَّثَتْنِي حَفْصَةُ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَطَلَعَ الْفَجْرُ؛ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dan dua rakaat setelah Isya di rumahnya, dan dua rakaat sebelum Subuh, itu adalah waktu ketika tidak ada seorang pun yang masuk kepada Nabi. Hafshah menceritakan kepadaku bahwa ketika muadzin mengumandangkan adzan dan fajar menyingsing, beliau shalat dua rakaat", disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

وَفِي "صَحِيحِ مُسْلِمٍ" عَنْ عَائِشَةَ ﵂: "كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا فِي بَيْتِي، ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ يَرْجِعُ بَيْتِي فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ".

Dalam "Shahih Muslim" dari Aisyah ﵂: "Beliau biasa shalat sebelum Zuhur empat rakaat di rumahku, kemudian keluar dan shalat bersama orang-orang, lalu kembali ke rumahku dan shalat dua rakaat".

فَيُؤْخَذُ مِنْ هَذَا أَنَّ فِعْلَ الرَّاتِبَةِ فِي الْبَيْتِ أَفْضَلُ مِنْ فِعْلِهَا فِي الْمَسْجِدِ، وَذَلِكَ لِمَصَالِحَ تَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ؛ مِنْهَا: الْبُعْدُ عَنِ الرِّيَاءِ وَالْإِعْجَابِ وَلِإِخْفَاءِ الْعَمَلِ عَنِ النَّاسِ، وَمِنْهَا: أَنَّ ذَلِكَ سَبَبٌ لِتَمَامِ الْخُشُوعِ وَالْإِخْلَاصِ، وَمِنْهَا: عِمَارَةُ الْبَيْتِ بِذِكْرِ اللهِ وَالصَّلَاةِ الَّتِي بِسَبَبِهَا تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ عَلَى أَهْلِ الْبَيْتِ وَيَبْتَعِدُ عَنِ الشَّيْطَانِ، وَقَدْ قَالَ: "اجْعَلُوا مِنْ صَلَاتِكُمْ فِي بُيُوتِكُمْ، وَلَا تَجْعَلُوهَا قُبُورًا".

Dari ini dapat diambil bahwa melakukan shalat rawatib di rumah lebih utama daripada melakukannya di masjid, karena ada beberapa maslahat yang terkait dengan hal itu; di antaranya: menjauhkan diri dari riya' dan ujub serta menyembunyikan amalan dari orang-orang, di antaranya: hal itu menjadi sebab kesempurnaan khusyuk dan ikhlas, dan di antaranya: memakmurkan rumah dengan dzikir kepada Allah dan shalat yang karenanya turun rahmat kepada penghuni rumah dan menjauhkan dari setan, dan beliau bersabda: "Jadikanlah sebagian shalat kalian di rumah-rumah kalian, dan janganlah menjadikannya seperti kuburan".

وَآكَدُ هَذِهِ الرَّوَاتِبِ رَكْعَتَانِ الفَجْرِ؛ لِقَوْلِ عَائِشَةَ ﵂: "لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ تَعَاهُدًا مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيِ الفَجْرِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَقَالَ: "رَكْعَتَانِ الفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا"، وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا وَعَلَى الوِتْرِ فِي الحَضَرِ وَالسَّفَرِ.

Dan yang paling ditekankan dari shalat rawatib ini adalah dua rakaat Fajar; berdasarkan perkataan Aisyah ﵂: "Nabi tidak lebih menjaga shalat sunnah melebihi dua rakaat Fajar", disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dan beliau bersabda: "Dua rakaat Fajar lebih baik dari dunia dan seisinya", dan karena inilah Nabi selalu menjaga keduanya dan shalat Witir baik saat mukim maupun safar.

وَأَمَّا مَا عَدَا رَكْعَتَيِ الفَجْرِ وَالوِتْرِ مِنَ الرَّوَاتِبِ؛ فَلَمْ يُنْقَلْ عَنِ النَّبِيِّ أَنَّهُ صَلَّى رَاتِبَةً فِي السَّفَرِ غَيْرَ سُنَّةِ الفَجْرِ وَالوِتْرِ.

Adapun selain dua rakaat Fajar dan Witir dari shalat rawatib; tidak diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau shalat rawatib dalam safar selain sunnah Fajar dan Witir.

وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ ﵄ لَمَّا سُئِلَ عَنْ سُنَّةِ الظُّهْرِ فِي السَّفَرِ؛ قَالَ: "لَوْ كُنْتُ مُسَبِّحًا؛ لَأَتْمَمْتُ ".

Dan Ibnu Umar ﵄ ketika ditanya tentang sunnah Zuhur dalam safar; ia berkata: "Seandainya aku melakukan shalat sunnah; tentu aku akan menyempurnakannya".

وَقَالَ ابْنُ القَيِّمِ ﵀: "وَكَانَ مِنْ هَدْيِهِ فِي سَفَرِهِ الاقْتِصَارُ عَلَى الفَرْضِ، وَلَمْ يُحْفَظْ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى سُنَّةَ الصَّلَاةِ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا؛ إِلَّا مَا كَانَ مِنَ الوِتْرِ وَسُنَّةِ الفَجْرِ".

Dan Ibnu Qayyim ﵀ berkata: "Dan termasuk petunjuknya dalam safar adalah mencukupkan diri pada shalat fardhu, dan tidak dihafal darinya bahwa beliau shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat fardhu; kecuali Witir dan sunnah Fajar".

وَالسُّنَّةُ تَخْفِيفُ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ؛ لِمَا فِي "الصَّحِيحَيْنِ" وَغَيْرِهِمَا عَنْ عَائِشَةَ ﵂: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ، وَيَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مِنْ سُنَّةِ الْفَجْرِ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ: ﴿قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ﴾، وَفِي الثَّانِيَةِ: ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾، وَيَقْرَأُ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا: ﴿قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا﴾ الْآيَةَ الَّتِي فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ، وَيَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ: ﴿قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا﴾ الْآيَةَ الَّتِي فِي سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ.

Dan sunnahnya adalah meringankan dua rakaat Fajar; karena apa yang ada dalam "Shahihain" dan selain keduanya dari 'Aisyah ﵂: bahwa Nabi ﷺ meringankan dua rakaat sebelum shalat Subuh, dan membaca pada rakaat pertama dari sunnah Fajar setelah Al-Fatihah: ﴿Katakanlah wahai orang-orang kafir﴾, dan pada rakaat kedua: ﴿Katakanlah Dialah Allah Yang Maha Esa﴾, dan membaca pada rakaat pertama dari keduanya: ﴿Katakanlah kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami﴾ ayat yang ada di surah Al-Baqarah, dan membaca pada rakaat kedua: ﴿Katakanlah wahai Ahli Kitab marilah kepada kalimat yang sama di antara kami﴾ ayat yang ada di surah Ali 'Imran.

وَكَذَلِكَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ بِالْكَافِرُونَ وَالْإِخْلَاصِ؛ لِمَا رَوَى الْبَيْهَقِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُمَا عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ؛ قَالَ: "مَا أُحْصِي مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ: ﴿قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ﴾، وَ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾.

Dan demikian juga ia membaca pada dua rakaat setelah Maghrib dengan surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlas; karena apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, At-Tirmidzi dan selain keduanya dari Ibnu Mas'ud; ia berkata: "Aku tidak dapat menghitung berapa banyak aku mendengar dari Rasulullah ﷺ membaca pada dua rakaat setelah Maghrib dan pada dua rakaat sebelum Fajar: ﴿Katakanlah wahai orang-orang kafir﴾, dan ﴿Katakanlah Dialah Allah Yang Maha Esa﴾.

وَإِذَا فَاتَكَ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ السُّنَنِ الرَّوَاتِبِ؛ فَإِنَّهُ يُسَنُّ لَكَ قَضَاؤُهُ، وَكَذَا إِذَا فَاتَكَ الْوِتْرُ مِنَ اللَّيْلِ؛ فَإِنَّهُ يُسَنُّ لَكَ قَضَاؤُهُ فِي النَّهَارِ؛ لِأَنَّهُ ﷺ قَضَى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ مَعَ الْفَجْرِ حِينَ نَامَ عَنْهُمَا، وَقَضَى الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ

Dan jika kamu melewatkan sesuatu dari sunnah-sunnah rawatib ini; maka disunnahkan bagimu untuk mengqadhanya, dan demikian juga jika kamu melewatkan witir di malam hari; maka disunnahkan bagimu untuk mengqadhanya di siang hari; karena beliau ﷺ mengqadha dua rakaat Fajar bersama Fajar ketika beliau tertidur dari keduanya, dan mengqadha dua rakaat yang

بَعْدَ الظُّهْرِ بَعْدَ الْعَصْرِ، حِينَ شُغِلَ عَنْهُمَا وَيُقَاسُ الْبَاقِي مِنَ الرَّوَاتِبِ فِي مَشْرُوعِيَّةِ قَضَائِهِ إِذَا فَاتَ عَلَى مَا فِيهِ النَّصُّ، وَقَالَ: "مَنْ نَامَ عَنِ الْوِتْرِ أَوْ نَسِيَهُ؛ فَلْيُصَلِّهِ إِذَا أَصْبَحَ أَوْ ذَكَرَ"، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَأَبُو دَاوُدَ.

Setelah Zuhur setelah Asar, ketika sibuk dari keduanya dan sisanya diukur dari gaji dalam keabsahan mengganti jika terlewat atas apa yang ada di dalamnya teks, dan dia berkata: "Barangsiapa tidur dari witir atau melupakannya; maka shalatlah jika pagi atau ingat", diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Daud.

وَيُقْضَى الْوِتْرُ مَعَ شَفْعِهِ؛ لِمَا فِي "الصَّحِيحِ " عَنْ عَائِشَةَ ﵂: "كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ مَنَعَهُ مِنْ قِيَامِ اللَّيْلِ نَوْمٌ أَوْ وَجَعٌ؛ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً".

Dan witir diganti dengan genap; karena apa yang ada dalam "Shahih" dari Aisyah ﵂: "Nabi ﷺ ketika dilarang dari shalat malam karena tidur atau sakit; shalat pada siang hari dua belas rakaat".

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، حَافِظْ عَلَى هَذِهِ السُّنَنِ الرَّوَاتِبِ؛ لِأَنَّ فِي ذَلِكَ اقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ، وَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا﴾ .

Wahai Muslim, jagalah sunnah-sunnah rawatib ini; karena dalam hal itu mengikuti Nabi, dan Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".

وَفِي الْمُحَافَظَةِ عَلَى هَذِهِ السُّنَنِ الرَّوَاتِبِ أَيْضًا جَبْرٌ لِمَا يَحْصُلُ فِي صَلَاةِ الْفَرِيضَةِ مِنَ النَّقْصِ وَالْخَلَلِ، وَالْإِنْسَانُ مُعَرَّضٌ لِلنَّقْصِ وَالْخَلَلِ، وَهُوَ بِحَاجَةٍ مَا يَجْبُرُ بِهِ نَقْصَهُ؛ فَلَا تُفَرِّطْ بِهَذِهِ الرَّوَاتِبِ أَيُّهَا الْمُسْلِمُ؛ فَإِنَّهَا مِنْ زِيَادَةِ الْخَيْرِ الَّذِي تَجِدُهُ عِنْدَ رَبِّكَ،

Dan dalam menjaga sunnah-sunnah rawatib ini juga terdapat perbaikan atas kekurangan dan cacat yang terjadi dalam shalat fardhu, dan manusia rentan terhadap kekurangan dan cacat, dan dia membutuhkan sesuatu untuk memperbaiki kekurangannya; maka janganlah kamu menyia-nyiakan rawatib ini wahai Muslim; karena itu termasuk tambahan kebaikan yang kamu temukan di sisi Tuhanmu,

وَهَكَذَا كُلُّ فَرِيضَةٍ يُشْرَعُ إِلَى جَانِبِهَا نَافِلَةٌ مِنْ جِنْسِهَا؛ كَفَرِيضَةِ الصَّلَاةِ وَفَرِيضَةِ الصِّيَامِ، وَفَرِيضَةِ الزَّكَاةِ، وَفَرِيضَةِ الْحَجِّ، كُلٌّ مِنْ هَذِهِ الْفَرَائِضِ يُشْرَعُ إِلَى جَانِبِهَا نَافِلَةٌ مِنْ جِنْسِهَا؛ تَجْبُرُ نَقْصَهَا وَتُصْلِحُ خَلَلَهَا، وَهَذَا مِنْ فَضْلِ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ، حَيْثُ نَوَّعَ لَهُمُ الطَّاعَاتِ لِيَرْفَعَ لَهُمُ الدَّرَجَاتِ، وَيَحُطَّ عَنْهُمُ الْخَطَايَا.

Demikian pula setiap kewajiban yang disyariatkan, di sampingnya ada amalan sunnah yang sejenis; seperti kewajiban shalat, kewajiban puasa, kewajiban zakat, dan kewajiban haji. Setiap kewajiban ini disyariatkan di sampingnya amalan sunnah yang sejenis; untuk menutupi kekurangannya dan memperbaiki celanya. Ini adalah karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya, di mana Dia memberikan berbagai macam ketaatan kepada mereka untuk meninggikan derajat mereka dan menghapus kesalahan-kesalahan mereka.

فَنَسْأَلُ اللهَ لَنَا جَمِيعًا التَّوْفِيقَ لِمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ، إِنَّهُ سَمِيعٌ مُجِيبٌ.

Maka kita memohon kepada Allah agar memberi kita semua taufik untuk melakukan apa yang Dia cintai dan ridhai. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

بَابٌ فِي صَلَاةِ الضُّحَى

بَابٌ فِي صَلَاةِ الضُّحَى

Bab tentang shalat Dhuha

اِعْلَمْ أَيُّهَا الْمُسْلِمُ أَنَّهُ قَدْ وَرَدَتْ فِي صَلَاةِ الضُّحَى أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ:

Ketahuilah wahai seorang Muslim, bahwa telah diriwayatkan banyak hadits tentang shalat Dhuha:

مِنْهَا مَا فِي "الصَّحِيحَيْنِ": عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁؛ قَالَ: "أَوْصَانِي خَلِيلِي رَسُولُ اللهِ بِثَلَاثٍ: صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ".

Di antaranya adalah apa yang terdapat dalam "Shahihain" (Bukhari dan Muslim): dari Abu Hurairah ﵁; dia berkata: "Kekasihku Rasulullah mewasiatkan kepadaku tiga hal: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat shalat Dhuha, dan melakukan witir sebelum tidur".

وَفِي حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُصَلِّي الضُّحَى حَتَّى نَقُولُ: لَا يَدَعُهَا، وَيَدَعُهَا حَتَّى نَقُولُ: لَا يُصَلِّيهَا.

Dan dalam hadits Abu Sa'id; bahwa Nabi biasa melakukan shalat Dhuha sampai kami mengatakan: beliau tidak meninggalkannya, dan beliau meninggalkannya sampai kami mengatakan: beliau tidak melakukannya.

وَأَقَلُّ صَلَاةِ الضُّحَى رَكْعَتَانِ؛ لِقَوْلِهِ فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الَّذِي ذَكَرْنَا قَرِيبًا: "وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى"، وَلِحَدِيثِ أَنَسٍ: "مَنْ قَعَدَ فِي مُصَلَّاهُ حِينَ يَنْصَرِفُ الصُّبْحَ، حَتَّى يُسَبِّحَ رَكْعَتَيِ الضُّحَى، لَا يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا؛ غُفِرَتْ لَهُ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ

Dan minimal shalat Dhuha adalah dua rakaat; berdasarkan sabdanya dalam hadits Abu Hurairah yang telah kami sebutkan: "dan dua rakaat shalat Dhuha", dan berdasarkan hadits Anas: "Barangsiapa duduk di tempat shalatnya setelah selesai shalat Subuh, sampai dia bertasbih dua rakaat shalat Dhuha, dia tidak mengatakan kecuali kebaikan; maka dosanya akan diampuni meskipun lebih banyak dari buih lautan", diriwayatkan oleh Abu Dawud.

وَأَكْثَرُهَا ثَمَانُ رَكَعَاتٍ؛ لِمَا رَوَتْ أُمُّ هَانِئٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ عَامَ الْفَتْحِ صَلَّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى، رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ، وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ ﵂: كَانَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللهُ.

Dan paling banyak adalah delapan rakaat; berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ummu Hani'; bahwa Nabi ﷺ pada tahun penaklukan Mekah melaksanakan shalat Dhuha delapan rakaat, diriwayatkan oleh Jamaah, dan menurut Muslim dari Aisyah ﵂: Beliau biasa melaksanakan shalat Dhuha empat rakaat, dan menambah sekehendak Allah.

وَوَقْتُ صَلَاةِ الضُّحَى يَبْتَدِئُ مِنْ ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ بَعْدَ طُلُوعِهَا قَدْرَ رُمْحٍ، وَيَمْتَدُّ إِلَى قُبَيْلَ الزَّوَالِ؛ أَيْ: وَقْتَ قِيَامِ الشَّمْسِ فِي كَبِدِ السَّمَاءِ، وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُصَلِّيَ إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ؛ لِحَدِيثِ: "صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ؛ أَيْ: حِينَ تَحْمَى الرَّمْضَاءُ؛ فَتَبْرُكُ الْفِصَالُ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ.

Dan waktu shalat Dhuha dimulai dari naiknya matahari setelah terbit setinggi tombak, dan berlanjut hingga menjelang zawal; yaitu: waktu matahari berada di tengah langit, dan yang paling utama adalah melaksanakan shalat ketika panas menjadi sangat terik; berdasarkan hadits: "Shalat orang-orang yang kembali kepada Allah adalah ketika anak-anak unta merasa kepanasan", diriwayatkan oleh Muslim; yaitu: ketika bumi menjadi panas; sehingga anak-anak unta berlutut karena panasnya.

بَابٌ فِي سُجُودِ التِّلَاوَةِ

بَابٌ فِي سُجُودِ التِّلَاوَةِ

Bab tentang sujud tilawah

وَمِنَ السُّنَنِ سُجُودُ التِّلَاوَةِ، سُمِّيَ بِذَلِكَ مِنْ إِضَافَةِ الْمُسَبَّبِ لِلسَّبَبِ؛ لِأَنَّ التِّلَاوَةَ سَبَبُهُ؛ فَهُوَ سُجُودٌ شَرَعَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ عُبُودِيَّةً عِنْدَ تِلَاوَةِ الْآيَاتِ وَاسْتِمَاعِهَا تَقَرُّبًا إِلَيْهِ سُبْحَانَهُ، وَخُضُوعًا لِعَظَمَتِهِ، وَتَذَلُّلًا بَيْنَ يَدَيْهِ.

Di antara sunnah adalah sujud tilawah, dinamakan demikian karena menyandarkan akibat kepada sebab; karena tilawah adalah sebabnya; maka ia adalah sujud yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya sebagai ibadah ketika membaca ayat-ayat dan mendengarkannya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, tunduk kepada keagungan-Nya, dan merendahkan diri di hadapan-Nya.

وَيُسَنُّ سُجُودُ التِّلَاوَةِ لِلْقَارِئِ وَالْمُسْتَمِعِ، وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهِ.

Sujud tilawah disunnahkan bagi pembaca dan pendengar, dan para ulama telah bersepakat atas pensyariatannya.

قَالَ ابْنُ عُمَرَ ﵄: "كَانَ النَّبِيُّ يَقْرَأُ عَلَيْنَا السُّورَةَ فِيهَا السَّجْدَةُ، فَيَسْجُدُ، وَنَسْجُدُ مَعَهُ، حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُنَا مَوْضِعًا لِجَبْهَتِهِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Ibnu Umar ﵄ berkata: "Nabi biasa membacakan kepada kami surah yang di dalamnya terdapat ayat sajdah, lalu beliau sujud, dan kami pun sujud bersamanya, hingga salah seorang dari kami tidak mendapatkan tempat untuk dahinya," muttafaq 'alaih.

قَالَ الْإِمَامُ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "وَمَوَاضِعُ السَّجَدَاتِ أَخْبَارٌ وَأَوَامِرُ: خَبَرٌ مِنَ اللهِ عَنْ سُجُودِ مَخْلُوقَاتِهِ لَهُ عُمُومًا أَوْ خُصُوصًا؛ فَسَنَّ لِلتَّالِي وَالسَّامِعِ أَنْ يَتَشَبَّهَ بِهِمْ عِنْدَ تِلَاوَتِهِ آيَةَ السَّجْدَةِ أَوْ سَمَاعِهَا،

Imam Al-'Allamah Ibnu Al-Qayyim ﵀ berkata: "Tempat-tempat sujud adalah berita dan perintah: berita dari Allah tentang sujudnya makhluk-Nya kepada-Nya secara umum atau khusus; maka disunnahkan bagi pembaca dan pendengar untuk menyerupai mereka ketika membaca atau mendengar ayat sajdah,"

وَآيَاتُ الأَوَامِرِ "أَيْ: الَّتِي تَأْمُرُ بِالسُّجُودِ " بِطَرِيقِ الأَوْلَى".

Dan ayat-ayat perintah "yaitu: yang memerintahkan untuk bersujud" lebih utama.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: "إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ، فَيَسْجُدُ؛ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي، يَقُولُ: يَا وَيْلَهُ! أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ، فَسَجَدَ؛ فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ، فَأَبَيْتُ؛ فَلِيَ النَّارُ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَابْنُ مَاجَهْ.

Dari Abu Hurairah secara marfu': "Jika anak Adam membaca ayat sajdah, lalu ia bersujud; setan menjauh sambil menangis, ia berkata: 'Celakalah dia! Anak Adam diperintahkan untuk bersujud, maka ia bersujud; maka baginya surga, dan aku diperintahkan untuk bersujud, namun aku enggan; maka bagiku neraka'," diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah.

وَيُشْرَعُ سُجُودُ التِّلَاوَةِ فِي حَقِّ الْقَارِئِ وَالْمُسْتَمِعِ، وَهُوَ الَّذِي يَقْصِدُ الِاسْتِمَاعَ لِلْقِرَاءَةِ، وَفِي حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ: "كَانَ النَّبِيُّ يَقْرَأُ عَلَيْنَا السُّورَةَ فِيهَا السَّجْدَةُ؛ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ مَعَهُ "؛ فَفِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ سُجُودِ الْمُسْتَمِعِ، وَأَمَّا السَّامِعُ، وَهُوَ الَّذِي لَمْ يَقْصِدِ الِاسْتِمَاعَ؛ فَلَا يُشْرَعُ فِي حَقِّهِ سُجُودُ التِّلَاوَةِ؛ لِمَا رَوَى الْبُخَارِيُّ؛ أَنَّ عُثْمَانَ ﵁ مَرَّ بِقَارِئٍ يَقْرَأُ سَجْدَةً لِيَسْجُدَ مَعَهُ عُثْمَانُ؛ فَلَمْ يَسْجُدْ، وَقَالَ: "إِنَّمَا السَّجْدَةُ عَلَى مَنِ اسْتَمَعَ "، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ.

Sujud tilawah disyariatkan bagi pembaca dan pendengar, yaitu orang yang sengaja mendengarkan bacaan. Dalam hadits Ibnu Umar: "Nabi membacakan kepada kami surah yang di dalamnya terdapat ayat sajdah; beliau sujud dan kami pun sujud bersamanya"; di dalamnya terdapat dalil tentang disyariatkannya sujud bagi pendengar. Adapun orang yang mendengar, yaitu orang yang tidak sengaja mendengarkan; maka sujud tilawah tidak disyariatkan baginya; berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari; bahwa Utsman ﵁ melewati seorang pembaca yang membaca ayat sajdah agar Utsman sujud bersamanya; namun ia tidak sujud, dan berkata: "Sujud itu hanya bagi orang yang mendengarkan", dan hal itu diriwayatkan dari selain beliau dari kalangan sahabat.

وَسَجَدَاتُ التِّلَاوَةِ وَالْقُرْآنِ؛ فِي: الأَعْرَافِ، وَالرَّعْدِ، وَالنَّحْلِ، وَالْإِسْرَاءِ، وَحَرِيمَ، وَالْحَجِّ، وَالْفُرْقَانِ، وَالنَّمْلِ، وَألَمْ تَنْزِلْ، وَحم السَّجْدَةِ، وَالنَّجْمِ، وَالِانْشِقَاقِ، وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ،

Sujud tilawah dan Al-Qur'an terdapat dalam: Al-A'raf, Ar-Ra'd, An-Nahl, Al-Isra', Harim, Al-Hajj, Al-Furqan, An-Naml, Alam Tanzil, Ha Mim As-Sajdah, An-Najm, Al-Insyiqaq, dan Iqra' Bismi Rabbika.

وَفِي سَجْدَةِ "ص" خِلَافٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ؛ هَلْ هِيَ سَجْدَةُ شُكْرٍ أَوْ سَجْدَةُ تِلَاوَةٍ؟، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Dalam sujud "Shad" ada perbedaan pendapat di antara para ulama; apakah itu sujud syukur atau sujud tilawah?, dan Allah yang lebih mengetahui.

وَيُكَبِّرُ إِذَا سَجَدَ لِلتِّلَاوَةِ لِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ: "كَانَ ﵊ يَقْرَأُ عَلَيْنَا الْقُرْآنَ، فَإِذَا مَرَّ بِالسَّجْدَةِ؛ كَبَّرَ، وَسَجَدَ، وَسَجَدْنَا مَعَهُ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ.

Dan bertakbirlah ketika sujud tilawah berdasarkan hadits Ibnu Umar: "Nabi ﷺ membacakan Al-Qur'an kepada kami, jika melewati ayat sajdah; beliau bertakbir, sujud, dan kami sujud bersamanya", diriwayatkan oleh Abu Dawud.

وَيَقُولُ فِي سُجُودِهِ: "سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى"، كَمَا يَقُولُ فِي سُجُودِ الصَّلَاةِ، وَإِنْ قَالَ: "سَجَدَ وَجْهِي لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ، اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي أَجْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ"؛ فَلَا بَأْسَ.

Dan ucapkanlah dalam sujudnya: "Subhaana Rabbiyal A'laa", sebagaimana yang diucapkan dalam sujud shalat. Jika mengucapkan: "Wajahku bersujud kepada Allah yang telah menciptakannya dan membentuknya, yang membelah pendengaran dan penglihatannya, dengan kekuatan dan kekuasaan-Nya. Ya Allah, tuliskanlah pahala untukku, hapuskanlah dosa dariku karenanya, jadikanlah ia sebagai simpanan untukku di sisi-Mu, dan terimalah ia dariku sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Dawud"; maka tidak mengapa.

وَالْإِتْيَانُ بِسُجُودِ التِّلَاوَةِ عَنْ قِيَامٍ أَفْضَلُ مِنَ الْإِتْيَانِ بِهِ عَنْ قُعُودٍ.

Melakukan sujud tilawah dari posisi berdiri lebih utama daripada melakukannya dari posisi duduk.

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، إِنَّ طُرُقَ الْخَيْرِ كَثِيرٌ؛ فَعَلَيْكَ بِالْجِدِّ وَالِاجْتِهَادِ فِيهَا، وَالْإِخْلَاصِ فِي الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ، لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَكْتُبَكَ مِنْ جُمْلَةِ السُّعَدَاءِ.

Wahai seorang Muslim, sesungguhnya jalan kebaikan itu banyak; maka bersungguh-sungguhlah dan berusahalah dalam menempuhnya, serta ikhlaslah dalam perkataan dan perbuatan, semoga Allah menuliskanmu termasuk golongan orang-orang yang berbahagia.

بَابٌ فِي التَّطَوُّعِ الْمُطْلَقِ

بَابٌ فِي التَّطَوُّعِ الْمُطْلَقِ

Bab tentang shalat sunnah mutlak

رَوَى أَهْلُ السُّنَنِ؛ أَنَّ النَّبِيَّ سُئِلَ: أَيُّ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ؟ قَالَ: "إِنَّ فِي اللَّيْلِ سَاعَةً، لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ، يَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ؛ إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ".

Ahli Sunan meriwayatkan; bahwa Nabi ditanya: Shalat apakah yang paling utama setelah shalat wajib? Beliau bersabda: "Sesungguhnya pada malam hari ada satu waktu, tidaklah seorang hamba muslim mendapatinya, ia meminta kepada Allah kebaikan dari urusan dunia dan akhirat; melainkan Allah akan memberikannya kepadanya".

وَقَالَ: "عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ؛ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ عَنِ الْإِثْمِ"، رَوَاهُ الْحَاكِمُ.

Dan beliau bersabda: "Hendaklah kalian melaksanakan shalat malam; karena ia adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, ia mendekatkan kepada Rabb kalian, menghapus kesalahan-kesalahan, dan mencegah dari dosa", diriwayatkan oleh Al-Hakim.

وَقَدْ مَدَحَ اللهُ الْقَائِمِينَ مِنَ اللَّيْلِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ ~ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ ~ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ﴾

Dan sungguh Allah telah memuji orang-orang yang bangun di malam hari, Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik ~ Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam ~ Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah)"

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ~ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾ .

Dan Allah Ta'ala berfirman: "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak ada jiwa yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan pandangan sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."

وَالنُّصُوصُ فِي ذَلِكَ كَثِيرَةٌ تَدُلُّ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ؛ فَالتَّطَوُّعُ الْمُطْلَقُ أَفْضَلُهُ قِيَامُ اللَّيْلِ؛ لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي الْإِسْرَارِ، وَأَقْرَبُ إِلَى الْإِخْلَاصِ، وَلِأَنَّهُ وَقْتُ غَفْلَةِ النَّاسِ، وَلِمَا فِيهِ مِنْ إِيثَارِ الطَّاعَةِ عَلَى النَّوْمِ وَالرَّاحَةِ.

Dan teks-teks tentang itu banyak yang menunjukkan pada shalat malam; maka shalat sunnah mutlak yang paling utama adalah shalat malam; karena ia lebih dalam kerahasiaan, dan lebih dekat kepada keikhlasan, dan karena ia adalah waktu kelalaian manusia, dan karena di dalamnya terdapat pengutamaan ketaatan atas tidur dan istirahat.

وَيُسْتَحَبُّ التَّنَفُّلُ بِالصَّلَاةِ فِي جَمِيعِ الْأَوْقَاتِ؛ غَيْرَ أَوْقَاتِ النَّهْيِ.

Dan dianjurkan shalat sunnah pada semua waktu; selain waktu-waktu yang dilarang.

وَصَلَاةُ اللَّيْلِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ النَّهَارِ لِمَا سَبَقَ، وَأَفْضَلُ صَلَاةِ اللَّيْلِ الصَّلَاةُ فِي ثُلُثِ اللَّيْلِ بَعْدَ نِصْفِهِ؛ لِمَا فِي "الصَّحِيحِ " مَرْفُوعًا: "أَفْضَلُ الصَّلَاةِ صَلَاةُ دَاوُدَ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ، وَيَنَامُ سُدُسَهُ"، فَكَانَ يُرِيحُ نَفْسَهُ بِنَوْمِ أَوَّلِ اللَّيْلِ، ثُمَّ يَقُومُ فِي اللَّيْلِ، ثُمَّ يَقُومُ الَّذِي يُنَادِي اللَّهَ فِيهِ، فَيَقُولُ: "هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ سُؤْلَهُ؟ "، ثُمَّ يَنَامُ بَقِيَّةَ اللَّيْلِ فِي السُّدُسِ الْأَخِيرِ؛ لِيَأْخُذَ رَاحَتَهُ، حَتَّى يَسْتَقْبِلَ صَلَاةَ الْفَجْرِ بِنَشَاطٍ، هَذَا هُوَ الْأَفْضَلُ، وَإِلَّا؛ فَاللَّيْلُ كُلُّهُ مَحَلُّ الْقِيَامِ.

Dan shalat malam lebih utama daripada shalat siang karena apa yang telah lalu, dan shalat malam yang paling utama adalah shalat pada sepertiga malam setelah setengahnya; karena apa yang ada dalam "Shahih" secara marfu': "Shalat yang paling utama adalah shalat Dawud, ia tidur setengah malam, dan bangun sepertiganya, dan tidur seperenamnya", maka ia mengistirahatkan dirinya dengan tidur di awal malam, kemudian bangun di malam hari, kemudian bangun yang mana Allah menyerunya di dalamnya, lalu berfirman: "Adakah yang meminta maka Aku memberinya permintaannya?", kemudian tidur di sisa malam pada seperenam terakhir; agar ia mengambil istirahatnya, hingga menyambut shalat Subuh dengan semangat, inilah yang paling utama, jika tidak; maka seluruh malam adalah tempat untuk shalat malam.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ﵀: "قِيَامُ اللَّيْلِ مِنَ الْمَغْرِبِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ ".

Imam Ahmad ﵀ berkata: "Shalat malam adalah dari Maghrib hingga terbit fajar."

وَعَلَيْهِ، فَالنَّافِلَةُ بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ مِنْ قِيَامِ اللَّيْلِ، لَكِنْ تَأْخِيرُ الْقِيَامِ إِلَى آخِرِ اللَّيْلِ أَفْضَلُ كَمَا سَبَقَ، قَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا﴾، وَالنَّاشِئَةُ هِيَ الْقِيَامُ بَعْدَ النَّوْمِ، وَالتَّهَجُّدُ إِنَّمَا يَكُونُ بَعْدَ النَّوْمِ.

Oleh karena itu, shalat sunnah antara dua Isya adalah bagian dari shalat malam, tetapi menunda shalat malam hingga akhir malam lebih baik seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan." An-Naasyiah adalah bangun setelah tidur, dan tahajjud hanya terjadi setelah tidur.

فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ لَهُ حَظًّا مِنْ قِيَامِ اللَّيْلِ، يُدَاوِمُ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَلَّ.

Seorang Muslim harus memiliki bagian dalam shalat malam, terus menerus melakukannya, meskipun sedikit.

وَيَنْبَغِي أَنْ يَنْوِيَ قِيَامَ اللَّيْلِ.

Dan dia harus berniat untuk melakukan shalat malam.

فَإِذَا اسْتَيْقَظَ؛ اسْتَاكَ، وَذَكَرَ اللهَ، وَقَالَ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَسُبْحَانَ اللهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ"، وَيَقُولُ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانِي بَعْدَمَا أَمَاتَنِي وَإِلَيْهِ النُّشُورُ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَدَّ عَلَيَّ رُوحِي، وَعَافَانِي فِي جَسَدِي، وَأَذِنَ لِي بِذِكْرِهِ".

Ketika bangun, dia menggunakan siwak, mengingat Allah, dan berkata: "Tidak ada tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, segala puji bagi Allah, Mahasuci Allah, tidak ada tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah," dan dia berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan aku setelah mematikan aku dan kepada-Nya tempat kembali, segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan ruhku, menyehatkan tubuhku, dan mengizinkan aku untuk mengingat-Nya."

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَفْتَتِحَ تَهَجُّدَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ؛ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ: "إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ؛ فَلْيَفْتَتِحْ صَلَاتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ.

Dianjurkan untuk memulai tahajjud dengan dua rakaat yang ringan, berdasarkan hadits Abu Hurairah: "Jika salah seorang di antara kalian bangun di malam hari, hendaklah dia memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan," diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya.

وَيُسَلِّمُ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ؛ لِقَوْلِهِ: "صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى"، رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ،

Dan dia mengucapkan salam dalam shalat malam setiap dua rakaat, berdasarkan sabda Nabi: "Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat," diriwayatkan oleh Jamaah.

وَمَعْنَى: "مَثْنَى مَثْنَى"؛ أَيْ: رَكْعَتَانِ؛ بِتَشَهُّدٍ وَتَسْلِيمَتَيْنِ؛ فَهِيَ ثُنَائِيَّةٌ لَا رُبَاعِيَّةٌ.

Dan makna: "dua-dua"; yaitu: dua rakaat; dengan tasyahud dan dua salam; maka itu adalah shalat yang terdiri dari dua rakaat, bukan empat rakaat.

وَيَنْبَغِي إِطَالَةُ الْقِيَامِ وَالرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ.

Dan sebaiknya memanjangkan berdiri, ruku', dan sujud.

وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ تَهَجُّدُهُ فِي بَيْتِهِ؛ فَقَدِ اتَّفَقَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ التَّطَوُّعِ فِي الْبَيْتِ أَفْضَلُ، وَكَانَ يُصَلِّي فِي بَيْتِهِ، وَقَالَ ﵊: "صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ؛ فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ؛ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَلِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى الْإِخْلَاصِ.

Dan sebaiknya tahajudnya dilakukan di rumahnya; karena para ulama telah sepakat bahwa shalat sunnah di rumah lebih utama, dan beliau ﷺ biasa shalat di rumahnya, dan beliau ﷺ bersabda: "Shalatlah di rumah-rumah kalian; karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya; kecuali shalat wajib", diriwayatkan oleh Muslim, dan karena itu lebih dekat kepada keikhlasan.

وَصَلَاةُ النَّافِلَةِ قَائِمًا أَفْضَلُ مِنَ الصَّلَاةِ قَاعِدًا بِلَا عُذْرٍ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ صَلَّى قَائِمًا؛ فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا؛ فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ صَلَاةِ الْقَائِمِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dan shalat sunnah dengan berdiri lebih utama daripada shalat dengan duduk tanpa udzur; karena sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa yang shalat dengan berdiri; maka itu lebih utama, dan barangsiapa yang shalat dengan duduk; maka baginya setengah pahala shalat orang yang berdiri", muttafaq 'alaih.

وَأَمَّا مَنْ صَلَّى النَّافِلَةَ قَاعِدًا لِعُذْرٍ؛ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْقَائِمِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ؛ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا "،

Adapun orang yang shalat sunnah dengan duduk karena udzur; maka pahalanya seperti pahala orang yang berdiri; karena sabda Nabi ﷺ: "Jika seorang hamba sakit atau bepergian; maka dituliskan baginya seperti apa yang biasa dia kerjakan ketika mukim dan sehat",

وَجَوَازُ التَّطَوُّعِ جَالِسًا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقِيَامِ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ.

Diperbolehkannya shalat sunnah dengan duduk meskipun mampu berdiri adalah kesepakatan ulama.

وَيَخْتِمُ صَلَاتَهُ بِالْوِتْرِ؛ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ يَجْعَلُ آخِرَ صَلَاتِهِ بِاللَّيْلِ وِتْرًا، وَأَمَرَ بِذَلِكَ فِي أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ.

Dan dia menutup shalatnya dengan witir; karena Nabi biasa menjadikan akhir shalatnya di malam hari dengan witir, dan memerintahkan hal itu dalam banyak hadits.

وَمَنْ فَاتَهُ تَهَجُّدُهُ مِنَ اللَّيْلِ؛ اسْتُحِبَّ قَضَاؤُهُ قَبْلَ الظُّهْرِ؛ لِحَدِيثِ: "مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ مِنَ اللَّيْلِ، أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ، فَقَأَهُ مَا بَيْنَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الظُّهْرِ؛ كُتِبَ لَهُ، كَأَنَّمَا قَرَأَهُ اللَّيْلَ".

Barangsiapa yang tertinggal shalat malamnya; disunnahkan mengqadhanya sebelum Zhuhur; berdasarkan hadits: "Barangsiapa yang tertidur dan meninggalkan wiridnya di malam hari, atau sebagiannya, lalu dia melakukannya antara shalat Fajar dan shalat Zhuhur; maka akan dicatat baginya seolah-olah dia melakukannya pada malam hari".

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، لَا تَحْرِمْ نَفْسَكَ مِنَ الْمُشَارَكَةِ فِي قِيَامِ اللَّيْلِ، وَلَوْ بِشَيْءٍ قَلِيلٍ تُدَاوِمُ عَلَيْهِ؛ لِتَنَالَ مِنْ ثَوَابِ الْقَائِمِينَ الْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ، وَرُبَّمَا يَدْفَعُ بِكَ الْقَلِيلُ إِلَي الْكَثِيرِ، وَاللهُ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ.

Wahai saudaraku muslim, janganlah engkau menghalangi dirimu untuk berpartisipasi dalam shalat malam, meskipun hanya sedikit yang engkau lakukan secara rutin; agar engkau mendapatkan pahala orang-orang yang berdiri (shalat) dan beristighfar di waktu sahur, dan barangkali sedikit itu akan mendorongmu menuju yang banyak, dan Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.

بَابٌ فِي الْأَوْقَاتِ الْمَنْهِيِّ عَنِ الصَّلَاةِ فِيهَا

بَابٌ فِي الْأَوْقَاتِ الْمَنْهِيِّ عَنِ الصَّلَاةِ فِيهَا

Bab tentang waktu-waktu yang dilarang untuk shalat

سَبَقَ أَنْ بَيَّنَّا جُمَلًا مِنْ أَحْكَامِ صَلَاةِ التَّطَوُّعِ، وَيَجْدُرُ بِنَا الْآنَ أَنْ نُنَبِّهَ عَلَى أَنَّ هُنَاكَ أَوْقَاتًا وَرَدَ النَّهْيُ عَنِ الصَّلَاةِ فِيهَا؛ إِلَّا مَا اسْتُثْنِيَ، وَهِيَ أَوْقَاتٌ خَمْسَةٌ:

Sebelumnya kami telah menjelaskan beberapa hukum shalat sunnah, dan sekarang kami perlu mengingatkan bahwa ada waktu-waktu yang dilarang untuk shalat di dalamnya; kecuali yang dikecualikan, dan itu adalah lima waktu:

الْأَوَّلُ: مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ الثَّانِي إِلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ؛ لِقَوْلِهِ: "إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ؛ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُمَا، فَإِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ؛ فَإِنَّهُ لَا يُصَلِّي تَطَوُّعًا إِلَّا رَاتِبَةَ الْفَجْرِ.

Pertama: dari terbitnya fajar kedua hingga terbitnya matahari; karena sabdanya: "Jika fajar telah terbit; maka tidak ada shalat kecuali dua rakaat Fajar", diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya, maka jika fajar telah terbit; maka ia tidak shalat sunnah kecuali shalat sunnah Fajar.

الثَّانِي: مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ حَتَّى تَرْتَفِعَ قَدْرَ رُمْحٍ فِي رَأْيِ الْعَيْنِ.

Kedua: dari terbitnya matahari hingga naik setinggi tombak dalam pandangan mata.

وَالثَّالِثُ: عِنْدَ قِيَامِ الشَّمْسِ حَتَّى تَزُولَ، وَقِيَامُ الشَّمْسِ يُعْرَفُ بِوُقُوفِ الظِّلِّ، لَا يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ، إِلَى أَنْ تَزُولَ إِلَى جِهَةِ الْغَرْبِ؛ لِقَوْلِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ: "ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَنْهَانَا

Dan ketiga: ketika matahari berada di tengah-tengah langit hingga tergelincir, dan posisi matahari di tengah-tengah langit diketahui dengan berhentinya bayangan, tidak bertambah dan tidak berkurang, hingga tergelincir ke arah barat; karena perkataan 'Uqbah bin 'Amir: "Tiga waktu Rasulullah ﷺ melarang kami

أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَزُولَ، وَحِينَ تَتَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ "، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Bahwa kita shalat di dalamnya dan menguburkan orang mati kita di dalamnya: ketika matahari terbit hingga naik, ketika waktu zhuhur tiba hingga tergelincir, dan ketika matahari condong ke barat hingga terbenam," diriwayatkan oleh Muslim.

وَالرَّابِعُ: مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ؛ لِقَوْلِهِ: "لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dan yang keempat: dari shalat Ashar hingga matahari terbenam; karena sabdanya: "Tidak ada shalat setelah Subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam", muttafaq 'alaih.

وَالْوَقْتُ الْخَامِسُ: إِذَا شَرَعَتِ الشَّمْسُ فِي الْغُرُوبِ حَتَّى تَغِيبَ

Dan waktu yang kelima: jika matahari mulai terbenam hingga terbenam

وَاعْلَمْ أَنَّهُ يَجُوزُ قَضَاءُ الْفَرَائِضِ الْفَائِتَةِ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ؛ لِعُمُومِ قَوْلِهِ: "مَنْ نَامَ عَنِ الصَّلَاةِ أَوْ نَسِيَهَا؛ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dan ketahuilah bahwa diperbolehkan mengqadha shalat fardhu yang terlewat pada waktu-waktu ini; karena keumuman sabdanya: "Barangsiapa tertidur dari shalat atau melupakannya; maka hendaklah ia shalat ketika mengingatnya", muttafaq 'alaih.

وَيَجُوزُ أَيْضًا فِعْلُ رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ؛ لِقَوْلِهِ: "لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ"، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ؛ فَهَذَا إِذْنٌ مِنْهُ بِفِعْلِهَا فِي جَمِيعِ أَوْقَاتِ النَّهْيِ، وَلِأَنَّ الطَّوَافَ جَائِزٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ؛ فَكَذَلِكَ رَكْعَتَاهُ.

Dan juga diperbolehkan melakukan dua rakaat thawaf pada waktu-waktu ini; karena sabdanya: "Janganlah kalian melarang seseorang yang thawaf di Ka'bah ini dan shalat pada waktu malam atau siang hari", diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia menshahihkannya; maka ini adalah izin darinya untuk melakukannya di semua waktu larangan, dan karena thawaf diperbolehkan di setiap waktu; maka demikian pula dua rakaatnya.

وَيَجُوزُ أَيْضًا عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ فِعْلُ ذَوَاتِ الْأَسْبَابِ مِنَ الصَّلَوَاتِ؛ كَصَلَاةِ الْجَنَازَةِ، وَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ، وَصَلَاةِ الْكُسُوفِ؛ لِلْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى ذَلِكَ، وَهِيَ تُخَصُّ عُمُومَ النَّهْيِ عَنِ الصَّلَاةِ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ، فَتُحْمَلُ عَلَى مَا لَا سَبَبَ لَهُ؛ فَلَا يَجُوزُ فِعْلُمَا بِأَنْ تُبْتَدَأَ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ صَلَاةُ تَطَوُّعٍ لَا سَبَبَ لَهَا.

Juga diperbolehkan menurut pendapat yang benar dari dua pendapat ulama pada waktu-waktu ini untuk melakukan shalat yang memiliki sebab; seperti shalat jenazah, tahiyatul masjid, dan shalat gerhana; karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan hal itu, dan itu mengkhususkan keumuman larangan shalat pada waktu-waktu ini, sehingga diartikan pada shalat yang tidak memiliki sebab; maka tidak boleh memulai pada waktu-waktu ini shalat sunnah yang tidak memiliki sebab.

وَيَجُوزُ قَضَاءُ سُنَّةِ الْفَجْرِ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَكَذَا يَجُوزُ أَنْ يَقْضِيَ سُنَّةَ الظُّهْرِ بَعْدَ الْعَصْرِ، وَلَا سِيَّمَا إِذَا جَمَعَ الظُّهْرَ مَعَ الْعَصْرِ؛ فَقَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ؛ أَنَّهُ قَضَى سُنَّةَ الظُّهْرِ بَعْدَ الْعَصْرِ.

Diperbolehkan mengqadha sunnah Fajar setelah shalat Fajar, dan juga diperbolehkan mengqadha sunnah Zuhur setelah Asar, terlebih lagi jika mengumpulkan Zuhur dengan Asar; karena telah tetap dari Nabi; bahwa beliau mengqadha sunnah Zuhur setelah Asar.

بَابٌ فِي وُجُوبِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ وَفَضْلِهَا

شَعِيرَةٌ عَظِيمَةٌ مِنْ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَدِ اتَّفَقَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ أَدَاءَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فِي الْمَسَاجِدِ مِنْ أَوْكَدِ الطَّاعَاتِ وَأَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، بَلْ وَأَعْظَمِ وَأَظْهَرِ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ.

Salah satu syiar Islam yang agung adalah shalat berjamaah di masjid. Umat Islam telah sepakat bahwa melaksanakan shalat lima waktu di masjid termasuk ketaatan yang paling ditekankan dan pendekatan diri kepada Allah yang paling agung, bahkan merupakan syiar Islam yang paling agung dan nyata.

فَقَدْ شَرَعَ اللهُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ الِاجْتِمَاعَ فِي أَوْقَاتٍ مَعْلُومَةٍ، مِنْهَا مَا هُوَ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ؛ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ؛ فَإِنَّ الْمُسْلِمِينَ يَجْمَعُونَ لِأَدَائِهَا فِي الْمَسَاجِدِ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ، وَمِنْ هَذِهِ الِاجْتِمَاعَاتِ مَا هُوَ فِي الْأُسْبُوعِ مَرَّةً؛ كَالِاجْتِمَاعِ لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَهُوَ اجْتِمَاعٌ أَكْبَرُ مِنَ الِاجْتِمَاعِ لِلصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ،

Allah telah mensyariatkan bagi umat ini untuk berkumpul pada waktu-waktu tertentu. Di antaranya adalah setiap hari dan malam, seperti shalat lima waktu. Kaum muslimin berkumpul untuk melaksanakannya di masjid setiap hari dan malam sebanyak lima kali. Di antara pertemuan-pertemuan ini ada yang dilakukan seminggu sekali, seperti berkumpul untuk shalat Jumat, dan ini merupakan pertemuan yang lebih besar daripada pertemuan untuk shalat lima waktu.

وَمِنْهَا اجْتِمَاعٌ يَتَكَرَّرُ كُلَّ سَنَةٍ مَرَّتَيْنِ، وَهُوَ أَكْبَرُ مِنَ الِاجْتِمَاعِ لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ؛ بِحَيْثُ يُشْرَعُ فِيهِ اجْتِمَاعُ أَهْلِ الْبَلَدِ، وَمِنْهَا اجْتِمَاعٌ مَرَّةً وَاحِدَةً فِي السَّنَةِ، وَهُوَ الِاجْتِمَاعُ فِي الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، وَهُوَ أَكْبَرُ مِنِ اجْتِمَاعِ الْعِيدَيْنِ؛ لِأَنَّهُ يُشْرَعُ لِلْمُسْلِمِينَ عُمُومًا فِي كُلِّ أَقْطَارِ الْأَرْضِ.

Di antaranya ada pertemuan yang berulang dua kali setiap tahun, dan ini lebih besar daripada pertemuan untuk shalat Jumat, di mana disyariatkan pertemuan penduduk suatu negeri. Di antaranya ada pertemuan setahun sekali, yaitu pertemuan di Arafah, dan ini lebih besar daripada pertemuan dua hari raya, karena disyariatkan bagi umat Islam secara umum di seluruh penjuru bumi.

وَإِنَّمَا شُرِعَتْ هَذِهِ الاِجْتِمَاعَاتُ العَظِيمَةُ فِي الإِسْلَامِ؛ لِأَجْلِ مَصَالِحِ المُسْلِمِينَ؛ لِيَحْصُلَ التَّوَاصُلُ بَيْنَهُمْ بِالإِحْسَانِ وَالعَطْفِ وَالرِّعَايَةِ، وَلِأَجْلِ التَّوَادُّدِ وَالتَّحَابُّبِ بَيْنَهُمْ فِي القُلُوبِ، وَلِأَجْلِ أَنْ يَعْرِفَ بَعْضُهُمْ أَحْوَالَ بَعْضٍ؛ فَيَقُومُونَ بِعِيَادَةِ المَرْضَى، وَتَشْيِيعِ المُتَوَفَّى، وَإِغَاثَةِ المَلْهُوفِينَ، وَلِأَجْلِ إِظْهَارِ قُوَّةِ المُسْلِمِينَ وَتَعَارُفِهِمْ وَتَلَاحُمِهِمْ؛ فَيُغِيظُونَ بِذَلِكَ أَعْدَاءَهُمْ مِنَ الكُفَّارِ وَالمُنَافِقِينَ، وَلِأَجْلِ إِزَالَةِ مَا يَنْسِجُهُ بَيْنَهُمْ شَيَاطِينُ الجِنِّ وَالإِنْسِ مِنَ العَدَاوَةِ وَالتَّقَاطُعِ وَالأَحْقَادِ؛ فَيَحْصُلُ الائْتِلَافُ وَاجْتِمَاعُ القُلُوبِ عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى، وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَا تَخْتَلِفُوا؛ فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ".

Sesungguhnya pertemuan-pertemuan besar ini disyariatkan dalam Islam untuk kemaslahatan kaum muslimin, agar terjadi komunikasi di antara mereka dengan kebaikan, kasih sayang, dan kepedulian, untuk saling mencintai dan mengasihi di dalam hati, agar sebagian mereka mengetahui keadaan sebagian yang lain, sehingga mereka menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan menolong orang yang tertimpa musibah, untuk menunjukkan kekuatan kaum muslimin, saling mengenal, dan kekompakan mereka, sehingga dengan itu mereka membuat marah musuh-musuh mereka dari orang-orang kafir dan munafik, untuk menghilangkan permusuhan, perselisihan, dan kebencian yang dirajut di antara mereka oleh setan dari kalangan jin dan manusia, sehingga terjadi kerukunan dan bersatunya hati dalam kebaikan dan ketakwaan. Oleh karena itu, Nabi ﷺ bersabda: "Janganlah kalian berselisih, nanti hati kalian akan berselisih."

وَمِنْ فَوَائِدِ صَلَاةِ الجَمَاعَةِ:

Di antara manfaat shalat berjamaah:

تَعْلِيمُ الجَاهِلِ، وَمُضَاعَفَةُ الأَجْرِ وَالنَّشَاطِ عَلَى العَمَلِ الصَّالِحِ عِنْدَمَا يُشَاهِدُ المُسْلِمُ إِخْوَانَهُ المُسْلِمِينَ يُزَاوِلُونَ الأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ، فَيَقْتَدِي بِهِمْ.

Mengajarkan orang yang tidak tahu, melipatgandakan pahala dan semangat untuk beramal saleh ketika seorang muslim melihat saudara-saudaranya sesama muslim melakukan amalan-amalan saleh, sehingga ia mengikuti mereka.

وَفِي الحَدِيثِ المُتَّفَقِ عَلَيْهِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: "صَلَاةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَلَى صَلَاةِ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً"، وَفِي رِوَايَةٍ: "بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ".

Dalam hadits yang disepakati dari Nabi ﷺ: "Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat", dan dalam riwayat lain: "dengan dua puluh lima derajat".

فَصَلَاةُ الْجَمَاعَةِ فَرْضٌ عَلَى الرِّجَالِ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ، وَفِي حَالِ الْأَمَانِ وَحَالِ الْخَوْفِ، وُجُوبًا عَيْنِيًّا، وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَعَمَلُ الْمُسْلِمِينَ قَرْنًا بَعْدَ قَرْنٍ، خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ.

Shalat berjamaah adalah kewajiban bagi laki-laki di tempat tinggal dan dalam perjalanan, dalam keadaan aman dan takut, sebagai kewajiban individu, dan dalilnya adalah Al-Qur'an, Sunnah, dan amalan umat Islam dari generasi ke generasi, dari pendahulu ke pengikut.

وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ؛ عُمِرَتِ الْمَسَاجِدُ، وَرُتِّبَ لَهَا الْأَئِمَّةُ وَالْمُؤَذِّنُونَ، وَشُرِعَ النِّدَاءُ لَهَا بِأَعْلَى صَوْتٍ: "حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ".

Karena itu, masjid-masjid dibangun, imam dan muadzin ditugaskan untuknya, dan disyariatkan adzan dengan suara lantang: "Marilah shalat, marilah menuju kemenangan".

وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي حَالِ الْخَوْفِ: ﴿وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُم﴾ الْآيَةَ؛ فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ عَلَى تَأَكُّدِ وُجُوبِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ، حَيْثُ لَمْ يُرَخِّصْ لِلْمُسْلِمِينَ فِي تَرْكِهَا الْخَوْفُ، فَلَوْ كَانَتْ غَيْرَ وَاجِبَةٍ؛ لَكَانَ أَوْلَى الْأَعْذَارِ بِسُقُوطِهَا عُذْرُ الْخَوْفِ؛ فَإِنَّ الْجَمَاعَةَ فِي صَلَاةِ الْخَوْفِ يُتْرَكُ لَهَا أَكْثَرُ وَاجِبَاتِ الصَّلَاةِ، فَلَوْلَا تَأَكُّدُ وُجُوبِهَا؛ لَمْ يُتْرَكْ مِنْ أَجْلِهَا تِلْكَ الْوَاجِبَاتُ الْكَثِيرَةُ؛ فَقَدِ اغْتُفِرَتْ فِي صَلَاةِ أَفْعَالٍ كَثِيرَةٍ مِنْ أَجْلِهَا.

Allah Ta'ala berfirman dalam keadaan takut: "Dan apabila engkau berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu" ayat ini; Ayat yang mulia ini menunjukkan penegasan kewajiban shalat berjamaah, di mana rasa takut tidak memberi keringanan bagi umat Islam untuk meninggalkannya. Jika shalat berjamaah tidak wajib, maka alasan paling utama untuk meninggalkannya adalah alasan takut; karena dalam shalat khauf, sebagian besar kewajiban shalat ditinggalkan demi berjamaah. Seandainya kewajiban shalat berjamaah tidak ditegaskan, maka kewajiban-kewajiban yang banyak itu tidak akan ditinggalkan karenanya; karena dalam shalat khauf, banyak perbuatan yang dimaafkan karenanya.

وَفِي الْحَدِيثِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ؛ أَنَّهُ قَالَ: "أَثْقَلُ الصَّلَاةِ عَلَى الْمُنَافِقِ صَلَةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا؛ لَتَوَهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَهَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامُ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ، ثُمَّ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ، إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ".

Dalam hadits yang disepakati dari Abu Hurairah ﵁ dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: "Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh, dan seandainya mereka mengetahui apa yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan shalat didirikan, kemudian aku memerintahkan seseorang untuk mengimami orang-orang, kemudian bersamaku ada orang-orang yang membawa ikatan kayu bakar, mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api".

وَوَجَّهَ الِاسْتِدْلَالَ مِنَ الْحَدِيثِ عَلَى وُجُوبِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ مِنْ نَاحِيَتَيْنِ:

Dan dia mengarahkan penalaran dari hadits tentang kewajiban shalat berjamaah dari dua sisi:

النَّاحِيَةُ الْأُولَى: أَنَّهُ وَصَفَ الْمُتَخَلِّفِينَ عَنْهَا بِالنِّفَاقِ، وَالْمُتَخَلِّفُ عَنِ السُّنَّةِ لَا يُعَدُّ مُنَافِقًا؛ فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ تَخَلَّفُوا عَنْ وَاجِبٍ.

Sisi pertama: bahwa dia menggambarkan orang-orang yang tidak hadir di dalamnya sebagai munafik, dan orang yang tidak mengikuti sunnah tidak dianggap munafik; ini menunjukkan bahwa mereka tidak memenuhi kewajiban.

وَالنَّاحِيَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُ ﷺ هَمَّ بِعُقُوبَتِهِمْ عَلَى التَّخَلُّفِ عَنْهَا، وَالْعُقُوبَةُ إِنَّمَا تَكُونُ عَلَى تَرْكِ وَاجِبٍ، وَإِنَّمَا مَنَعَهُ ﷺ مِنْ تَنْفِيذِ هَذِهِ الْعُقُوبَةِ مَنْ فِي الْبُيُوتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالذَّرَارِيِّ الَّذِينَ لَا تَجِبُ عَلَيْهِمُ الْجَمَاعَةُ.

Dan sisi kedua: bahwa dia ﷺ berniat untuk menghukum mereka karena tidak hadir, dan hukuman hanya dijatuhkan karena meninggalkan kewajiban, dan yang mencegahnya ﷺ dari melaksanakan hukuman ini adalah mereka yang berada di rumah dari kalangan wanita dan anak-anak yang tidak wajib atas mereka shalat berjamaah.

وَفِي "صَحِيحِ مُسْلِمٍ" أَنَّ رَجُلًا أَعْمَى قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ، فَسَأَلَهُ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ، فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى؛ دَعَاهُ، فَقَالَ: "هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ؟"، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: "فَأَجِبْ".

Dan dalam "Shahih Muslim" bahwa seorang laki-laki buta berkata: Wahai Rasulullah! Aku tidak memiliki penuntun yang menuntunku ke masjid, maka dia meminta izin kepadanya untuk mengizinkannya shalat di rumahnya, maka beliau mengizinkannya. Ketika dia berpaling, beliau memanggilnya dan bersabda: "Apakah engkau mendengar adzan?" Dia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Maka penuhilah."

فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ ﷺ بِالْحُضُورِ إِلَى الْمَسْجِدِ لِصَلَاةِ الْجَمَاعَةِ وَإِجَابَةِ النِّدَاءِ مَعَ مَا يُلَاقِيهِ مِنَ الْمَشَقَّةِ، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ.

Maka Nabi ﷺ memerintahkannya untuk hadir ke masjid untuk shalat berjamaah dan menjawab panggilan adzan meskipun mengalami kesulitan, maka hal itu menunjukkan shalat berjamaah.

وَقَدْ كَانَ وُجُوبُ كَانَ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ مُسْتَقِرًّا عِنْدَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ صَدْرِ هَذِهِ الْأُمَّةِ:

Dan kewajiban shalat berjamaah telah mapan di kalangan orang-orang beriman sejak awal umat ini:

قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ ﵁: "وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ".

Ibnu Mas'ud ﵁ berkata: "Sungguh kami telah melihat, dan tidak ada yang absen darinya kecuali seorang munafik yang dikenal kemunafikannya, dan sungguh seorang laki-laki didatangkan dengan dipapah di antara dua orang hingga didirikan di shaf."

فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى اسْتِقْرَارِ وُجُوبِهَا عِنْدَ صَحَابَةِ

Maka hal itu menunjukkan kemapanan kewajibannya di kalangan para sahabat.

رَسُولُ اللهِ ﷺ، وَلَمْ يَعْلَمُوا ذَلِكَ إِلَّا مِنْ جِهَةِ النَّبِيِّ ﷺ وَمَعْلُومٌ أَنَّ كُلَّ أَمْرٍ لَا يَتَخَلَّفُ عَنْهُ إِلَّا مُنَافِقٌ يَكُونُ وَاجِبًا عَلَى الْأَعْيَانِ.

Rasulullah ﷺ, dan mereka tidak mengetahui hal itu kecuali dari Nabi ﷺ. Sudah diketahui bahwa setiap perkara yang tidak ditinggalkan kecuali oleh orang munafik, hukumnya wajib atas setiap individu.

وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مَرْفُوعًا: "الْجَفَاءُ كُلُّ الْجَفَاءِ، وَالْكُفْرُ وَالنِّفَاقُ، مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ إِلَى الصَّلَاةِ؛ فَلَا يُجِبْهُ".

Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan secara marfu': "Kekasaran adalah seluruh kekasaran, kekufuran, dan kemunafikan, barangsiapa mendengar muadzin mengumandangkan adzan; namun tidak menjawabnya".

وَثَبَتَ حَدِيثٌ بِذَلِكَ: "يَدُ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ، فَمَنْ شَذَّ؛ شَذَّ فِي النَّارِ".

Dan telah ditetapkan hadits tentang hal itu: "Tangan Allah di atas jamaah, barangsiapa menyimpang; maka ia menyimpang dalam neraka".

وَسُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَجُلٍ يَقُومُ اللَّيْلَ وَيَصُومُ النَّهَارَ وَلَا يَحْضُرُ الْجَمَاعَةَ؛ فَقَالَ: "هُوَ فِي النَّارِ ".

Ibnu Abbas ditanya tentang seorang laki-laki yang shalat malam dan berpuasa di siang hari namun tidak menghadiri shalat berjamaah; maka ia berkata: "Dia di dalam neraka".

نَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ وَالتَّوْفِيقَ لِمَعْرِفَةِ الْحَقِّ وَاتِّبَاعِهِ، إِنَّهُ سَمِيعٌ مُجِيبٌ.

Kita memohon kepada Allah keselamatan dan pertolongan untuk mengetahui kebenaran dan mengikutinya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

حُكْمُ الْمُتَخَلِّفِ عَنْ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ وَمَا تَنْعَقِدُ بِهِ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ:

Hukum orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah dan apa yang menjadikan shalat berjamaah sah:

إِنَّ الْمُتَخَلِّفَ عَنْ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ إِذَا صَلَّى وَحْدَهُ؛ فَلَهُ حَالَتَانِ:

Sesungguhnya orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah jika ia shalat sendirian; maka ia memiliki dua keadaan:

الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ يَكُونَ مَعْذُورًا فِي تَخَلُّفِهِ لِمَرَضٍ أَوْ خَوْفٍ، وَلَيْسَ مِنْ عَادَتِهِ التَّخَلُّفُ لَوْلَا الْعُذْرُ؛ فَهَذَا يُكْتَبُ لَهُ أَجْرُ مَنْ صَلَّى فِي جَمَاعَةٍ، لِمَا فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ: "إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ؛ كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ

Keadaan pertama: Bahwa ia memiliki udzur dalam ketidakhadirannya karena sakit atau takut, dan bukan kebiasaannya untuk tidak hadir seandainya tidak ada udzur; maka orang ini ditulis baginya pahala orang yang shalat berjamaah, berdasarkan hadits shahih: "Jika seorang hamba sakit atau bepergian; maka ditulis baginya apa yang biasa ia kerjakan".

صَحِيحًا مُقِيمًا"، فَمَنْ كَانَ عَازِمًا عَلَى الصَّلَاةِ مَعَ الْجَمَاعَةِ عَزْمًا جَازِمًا، وَلَكِنْ حَالَ دُونَهُ وَدُونَ ذَلِكَ عُذْرٌ شَرْعِيٌّ؛ كَانَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ صَلَّى مَعَ الْجَمَاعَةِ؛ نَظَرًا لِنِيَّتِهِ الطَّيِّبَةِ.

"Sah dan menetap", jadi siapa pun yang bertekad untuk shalat berjamaah dengan tekad yang kuat, tetapi ada alasan syar'i yang menghalanginya dari melakukannya, maka ia seperti orang yang shalat berjamaah, mengingat niatnya yang baik.

وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ تَخَلُّفُهُ عَنِ الصَّلَاةِ مَعَ الْجَمَاعَةِ لِغَيْرِ عُذْرٍ؛ فَهَذَا إِذَا صَلَّى وَحْدَهُ؛ تَصِحُّ صَلَاتُهُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ، لَكِنَّهُ يَخْسَرُ أَجْرًا عَظِيمًا وَثَوَابًا جَزِيلًا؛ لِأَنَّ صَلَاةَ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْمُنْفَرِدِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، وَكَذَلِكَ يَفْقِدُ أَجْرَ الْخُطُوَاتِ الَّتِي يَخْطُوهَا إِلَى الْمَسْجِدِ، وَمَعَ خُسْرَانِهِ لِهَذَا الثَّوَابِ الْجَزِيلِ يَأْثَمُ إِثْمًا عَظِيمًا؛ لِأَنَّهُ تَرَكَ وَاجِبًا عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ، وَارْتَكَبَ مُنْكَرًا يَجِبُ إِنْكَارُهُ عَلَيْهِ وَتَأْدِيبُهُ مِنْ قِبَلِ وَلِيِّ الْأَمْرِ، حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى رُشْدِهِ.

Kasus kedua: ketidakhadirannya dalam shalat berjamaah tanpa alasan; jika dia shalat sendirian, shalatnya sah menurut mayoritas ulama, tetapi dia kehilangan pahala yang besar dan berlimpah, karena shalat berjamaah lebih baik daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat, dan dia juga kehilangan pahala langkah-langkah yang dia ambil ke masjid, dan dengan kehilangan pahala yang berlimpah ini, dia berdosa besar karena meninggalkan kewajiban tanpa alasan, dan melakukan kemungkaran yang harus diingkari dan didisiplinkan oleh penguasa sampai dia kembali ke akal sehatnya.

أَيُّهَا الْمُسْلِمُ، وَمَكَانُ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ هُوَ الْمَسْجِدُ؛ لِإِظْهَارِ شِعَارِ الْإِسْلَامِ، وَمَا شُرِعَتْ عِمَارَةُ الْمَسَاجِدِ إِلَّا لِذَلِكَ، وَفِي إِقَامَةِ الْجَمَاعَةِ فِي غَيْرِهَا تَعْطِيلٌ لَهَا:

Wahai Muslim, tempat shalat berjamaah adalah masjid; untuk menampakkan simbol Islam, dan pembangunan masjid hanya disyariatkan untuk itu, dan mendirikan jamaah di tempat lain akan menonaktifkannya:

وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ﴾ .

Allah Ta'ala berfirman: "Di rumah-rumah yang Allah izinkan untuk dibangun dan disebut nama-Nya di dalamnya; di dalamnya bertasbih kepada-Nya pada pagi dan petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang."

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ﴾ .

Dan Allah Ta'ala berfirman: "Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat."

فَفِي هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ الْكَرِيمَتَيْنِ تَنْوِيهٌ بِالْمَسَاجِدِ وَعُمَّارِهَا، وَوَعْدٌ لَهُ بِجَزِيلِ الثَّوَابِ، وَفِي ضِمْنِ ذَلِكَ ذَمٌّ لِمَنْ تَخَلَّفَ عَنِ الْحُضُورِ لِلصَّلَاةِ فِيهَا.

Dalam dua ayat mulia ini terdapat pujian terhadap masjid dan orang-orang yang memakmurkannya, dan janji pahala yang berlimpah baginya, dan termasuk dalam hal itu adalah celaan bagi orang yang tidak hadir untuk shalat di dalamnya.

وَقَدْ رُوِيَ أَنَّهُ: "لَا صَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ"، وَعَنْ عَلِيٍّ ﵁ مِثْلُهُ، وَزَادَ: "وَجَارُ الْمَسْجِدِ مَنْ أَسْمَعَهُ الْمُنَادِي"، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ.

Dan telah diriwayatkan bahwa: "Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid", dan dari Ali ﵁ seperti itu, dan dia menambahkan: "Dan tetangga masjid adalah orang yang mendengar muadzin", diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih.

قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "وَمَنْ تَأَمَّلَ السُّنَّةَ حَقَّ التَّأَمُّلِ؛ تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّ فِعْلَهَا فِي الْمَسَاجِدِ فَرْضٌ عَلَى الْأَعْيَانِ إِلَّا لِعَارِضٍ يَجُوزُ مَعَ تَرْكِ الْجَمَاعَةِ؛ فَتَرْكُ حُضُورِ الْمَسَاجِدِ لِغَيْرِ عُذْرٍ كَتَرْكِ أَصْلِ الْجَمَاعَةِ لِغَيْرِ عُذْرٍ، وَبِهَذَا تَتَّفِقُ الْأَحَادِيثُ وَجَمِيعُ الْآثَارِ ... " انْتَهَى.

Ibnu Al-Qayyim ﵀ berkata: "Dan barangsiapa yang merenungkan sunnah dengan sebenar-benarnya perenungan; maka akan jelas baginya bahwa melakukannya di masjid adalah fardhu 'ain kecuali ada halangan yang membolehkan meninggalkan jamaah; maka meninggalkan kehadiran di masjid tanpa udzur seperti meninggalkan asal jamaah tanpa udzur, dan dengan ini sesuai hadits-hadits dan seluruh atsar..." Selesai.

وَقَدْ تَوَعَّدَ اللَّهُ مَنْ عَطَّلَ الْمَسَاجِدَ وَمَنَعَ إِقَامَةَ الصَّلَاةِ فِيهَا؛ فَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴾ .

Dan sungguh Allah telah mengancam orang yang menelantarkan masjid dan mencegah mendirikan shalat di dalamnya; maka Allah Ta'ala berfirman: "Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat azab yang berat."

وَفِي إِقَامَةِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ خَارِجَ الْمَسْجِدِ تَعْطِيلٌ لِلْمَسَاجِدِ أَوْ تَقْلِيلٌ مِنَ الْمُصَلِّينَ فِيهَا، وَبِالتَّالِي يَكُونُ فِي ذَلِكَ تَقْلِيلٌ مِنْ أَهَمِّيَّةِ الصَّلَاةِ فِي النُّفُوسِ، وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ: ﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ﴾، وَهَذَا يَشْمَلُ رَفْعَهَا حِسِّيًّا وَمَعْنَوِيًّا؛ وَكُلُّ ذَلِكَ مَطْلُوبٌ.

Dan dalam mendirikan shalat berjamaah di luar masjid terdapat penelantaran masjid atau pengurangan jumlah orang yang shalat di dalamnya, dan dengan demikian akan terjadi pengurangan pentingnya shalat dalam jiwa-jiwa, dan Allah Ta'ala berfirman: "Di rumah-rumah yang Allah izinkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya", dan ini mencakup pemuliaan secara fisik dan maknawi; dan semua itu dituntut.

لَكِنْ إِذَا دَعَتْ حَاجَةٌ لِإِقَامَةِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ خَارِجَ الْمَسْجِدِ، كَأَنْ يَكُونَ الْمُصَلُّونَ مُوَظَّفِينَ فِي دَائِرَتِهِمْ وَفِي مَجْمَعِ عَمَلِهِمْ، وَإِذَا صَلَّوْا فِي مَكَانِهِمْ؛ كَانَ أَحْزَمَ لِلْعَمَلِ، وَكَانَ فِي ذَلِكَ إِلْزَامُ الْمُوَظَّفِينَ بِحُضُورِ الصَّلَاةِ وَإِقَامَتِهَا، وَلَا يَتَعَطَّلُ مِنْ جَرَّاءِ ذَلِكَ الْمَسْجِدُ الَّذِي حَوْلَهُمْ لِوُجُودِ مَنْ يُصَلِّي فِيهِ غَيْرُهُمْ، لَعَلَّهُ فِي تِلْكَ الْحَالِ وَنَظَرًا لِهَذِهِ الْمُبَرِّرَاتِ لَا يَكُونُ عَلَيْهِمْ حَرَجٌ فِي الصَّلَاةِ فِي دَائِرَتِهِمْ.

Namun jika ada kebutuhan untuk mendirikan shalat berjamaah di luar masjid, seperti jika para jamaah adalah pegawai di kantor mereka dan di kompleks kerja mereka, dan jika mereka shalat di tempat mereka; itu lebih bijaksana untuk pekerjaan, dan di dalamnya ada kewajiban bagi para pegawai untuk menghadiri shalat dan mendirikannya, dan masjid di sekitar mereka tidak terganggu karena adanya orang lain yang shalat di dalamnya, mungkin dalam keadaan itu dan mengingat alasan-alasan ini, tidak ada dosa bagi mereka untuk shalat di kantor mereka.

وَأَقَلُّ مَاتَنْعَقِدُ بِهِ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ اثْنَانِ؛ لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الِاجْتِمَاعِ، وَالِاثْنَانِ أَقَلُّ مَا يَتَحَقَّقُ بِهِ الْجَمْعُ، وَلِحَدِيثِ أَبِي مُوسَى مَرْفُوعًا: "الِاثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَلِحَدِيثِ: "مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا؟ ". فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ، فَقَالَ: "هَذَانِ جَمَاعَةٌ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ، وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ: "وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا"، وَحَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى هَذَا.

Dan minimal jumlah orang yang dapat melaksanakan shalat berjamaah adalah dua orang; karena jamaah diambil dari berkumpul, dan dua orang adalah jumlah minimal yang dapat terwujud dengan berkumpul, dan karena hadits Abu Musa yang diriwayatkan secara marfu': "Dua orang atau lebih adalah jamaah", diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan karena hadits: "Siapa yang mau bersedekah kepada orang ini? ". Lalu seorang laki-laki berdiri dan shalat bersamanya, maka beliau bersabda: "Ini adalah dua jamaah", diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya, dan karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Malik bin Al-Huwairits: "Dan hendaklah yang menjadi imam di antara kalian berdua adalah yang paling tua", dan beliau menyebutkan ijma' (kesepakatan ulama) tentang hal ini.

وَيُبَاحُ لِلنِّسَاءِ حُضُورُ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسَاجِدِ بِإِذْنِ أَزْوَاجِهِنَّ

Dan diperbolehkan bagi wanita untuk menghadiri shalat berjamaah di masjid dengan izin suami mereka

غَيْرَ مُتَطَيِّبَاتٍ وَغَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ، مَعَ التَّسَتُّرِ التَّامِّ وَالِابْتِعَادِ عَنْ مُخَالَطَةِ الرِّجَالِ، وَيَكُنَّ وَرَاءَ صُفُوفِ الرِّجَالِ؛ لِحُضُورِهِنَّ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ.

Tidak memakai wewangian dan tidak berhias dengan perhiasan, dengan menutup aurat secara sempurna dan menjauh dari bercampur baur dengan laki-laki, dan mereka berada di belakang shaf laki-laki; karena kehadiran mereka pada masa Nabi ﷺ.

وَيُسَنُّ حُضُورُهُنَّ مَجَالِسَ الْوَعْظِ وَمَجَالِسَ الْعِلْمِ مُنْفَرِدَاتٍ عَنِ الرِّجَالِ.

Dan disunahkan bagi mereka untuk menghadiri majelis-majelis nasihat dan majelis-majelis ilmu secara terpisah dari laki-laki.

وَيُسَنُّ لَهُنَّ أَنْ يُصَلِّينَ مَعَ بَعْضِهِنَّ جَمَاعَةً مُنْفَرِدَاتٍ عَنِ الرِّجَالِ؛ سَوَاءٌ كَانَتْ إِمَامَتُهُنَّ مِنْهُنَّ، أَوْ يَؤُمُّهُنَّ رَجُلٌ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ أُمَّ وَرَقَةَ أَنْ تَجْعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا، وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا "، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَهْلُ السُّنَنِ، وَفَعَلَهُ غَيْرُهَا مِنَ الصَّحَابِيَاتِ، وَلِعُمُومِ قَوْلِهِ ﷺ: "تَفْضُلُ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ عَلَى صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً".

Dan disunahkan bagi mereka untuk shalat bersama sebagian dari mereka secara berjamaah terpisah dari laki-laki; baik imamnya dari kalangan mereka sendiri, atau seorang laki-laki yang mengimami mereka; karena Nabi ﷺ memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengangkat seorang muadzin untuknya, dan memerintahkannya untuk mengimami penghuni rumahnya," diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlu Sunan, dan hal itu juga dilakukan oleh para sahabat wanita lainnya, dan karena keumuman sabdanya ﷺ: "Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat."

وَالْأَفْضَلُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُصَلِّيَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي لَا تُقَامُ فِيهِ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ إِلَّا بِحُضُورِهِ؛ لِأَنَّهُ يَحْصُلُ بِذَلِكَ عَلَى ثَوَابِ عِمَارَةِ الْمَسْجِدِ؛ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ﴾ .

Dan yang paling utama bagi seorang Muslim adalah shalat di masjid yang tidak dilaksanakan shalat berjamaah di dalamnya kecuali dengan kehadirannya; karena dengan demikian ia mendapatkan pahala memakmurkan masjid; Allah Ta'ala berfirman: "Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian."

ثُمَّ الْأَفْضَلُ بَعْدَ ذَلِكَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يَكُونُ أَكْثَرَ جَمَاعَةً مِنْ غَيْرِهِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ أَجْرًا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "صَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ، وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَانِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ، وَمَا كَانَ أَكْثَرَ؛ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللهِ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ؛ فَفِيهِ أَنَّ مَا كَثُرَ جَمْعُهُ فَهُوَ أَفْضَلُ؛ لِمَا فِي الِاجْتِمَاعِ مِنْ نُزُولِ الرَّحْمَةِ وَالسَّكِينَةِ، وَلِشُمُولِ الدُّعَاءِ وَرَجَاءِ الْإِجَابَةِ، لَا سِيَّمَا إِذَا كَانَ فِيهِمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَأَهْلِ الصَّلَاحِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ﴾؛ فَفِيهِ اسْتِحْبَابُ الصَّلَاةِ مَعَ الْجَمَاعَةِ الصَّالِحِينَ الْمُحَافِظِينَ عَلَى الطَّهَارَةِ وَإِسْبَاغِ الْوُضُوءِ.

Kemudian yang terbaik setelah itu adalah shalat berjamaah di masjid yang jamaahnya lebih banyak daripada yang lain karena pahalanya lebih besar; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Shalat seseorang bersama satu orang lain lebih baik daripada shalatnya sendirian, dan shalatnya bersama dua orang lain lebih baik daripada shalatnya bersama satu orang, dan semakin banyak maka semakin dicintai Allah", diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban; di dalamnya terdapat bahwa apa yang banyak dikumpulkan maka itu lebih utama; karena dalam perkumpulan terdapat turunnya rahmat dan ketenangan, dan agar doa mencakup semuanya serta pengharapan untuk dikabulkan, terlebih lagi jika di antara mereka terdapat para ulama dan orang-orang shalih, Allah Ta'ala berfirman: "Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih"; maka di dalamnya terdapat anjuran shalat bersama jamaah orang-orang shalih yang menjaga kesucian dan menyempurnakan wudhu.

ثُمَّ الْأَفْضَلُ بَعْدَ ذَلِكَ الصَّلَاةُ فِي الْمَسْجِدِ الْقَدِيمِ؛ لِسَبْقِ الطَّاعَةِ فِيهِ عَلَى الْمَسْجِدِ الْجَدِيدِ.

Kemudian yang terbaik setelah itu adalah shalat di masjid yang lama; karena ketaatan telah mendahului di dalamnya dibandingkan masjid yang baru.

ثُمَّ الْأَفْضَلُ بَعْدَ ذَلِكَ الصَّلَاةُ فِي الْمَسْجِدِ الْأَبْعَدِ عَنْهُ مَسَافَةً؛ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلَاةِ فِي الْمَسْجِدِ الْقَرِيبِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "أَعْظَمُ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ فَأَبْعَدُهُمْ مَمْشًى"، وَقَالَ ﷺ: "صَلَاةُ الْجَمِيعِ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا

Kemudian yang terbaik setelah itu adalah shalat di masjid yang lebih jauh darinya; maka itu lebih utama daripada shalat di masjid yang dekat; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Orang yang paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalanannya, kemudian yang paling jauh", dan beliau ﷺ bersabda: "Shalat berjamaah melebihi shalatnya di rumahnya dan shalatnya di pasarnya sebanyak dua puluh lima derajat, maka sesungguhnya salah seorang dari kalian apabila

تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، وَأَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ؛ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً؛ إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَهٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ، حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ"، وَلِقَوْلِهِ ﷺ: "يَابَنِي سَلَمَةَ! دِيَارَكُمْ تُكْتَبُ آثَارَكُمْ".

Dia berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu pergi ke masjid hanya untuk shalat; dia tidak melangkah satu langkah pun kecuali derajatnya diangkat dan kesalahannya dihapus, sampai dia memasuki masjid", dan sabda Nabi ﷺ: "Wahai Bani Salamah! Rumah-rumah kalian mencatat jejak-jejak kalian".

وَبَعْضُ الْعُلَمَاءِ يَرَى أَنَّ أَقْرَبَ الْمَسْجِدَيْنِ أَوْلَى؛ لِأَنَّ لَهُ جِوَارًا، فَكَانَ أَحَقَّ بِصَلَاتِهِ فِيهِ، وَلِأَنَّهُ قَدْ وَرَدَ: "لَا صَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ"، وَلِأَنَّ تَعَدِّي الْمَسْجِدِ الْقَرِيبِ إِلَى الْبَعِيدِ قَدْ يُحْدِثُ عِنْدَ جِيرَانِهِ اسْتِغْرَابًا، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَوْلَى؛ لِأَنَّ تَخَطِّي الْمَسْجِدِ الَّذِي يَلِيهِ إِلَى غَيْرِهِ ذَرِيعَةٌ إِلَى هَجْرِ الْمَسْجِدِ الَّذِي يَلِيهِ، وَإِحْرَاجٌ لِإِمَامِهِ؛ بِحَيْثُ يُسَاءُ الظَّنُّ بِهِ.

Sebagian ulama berpendapat bahwa masjid yang lebih dekat lebih utama; karena ia memiliki kedekatan, maka ia lebih berhak untuk shalat di dalamnya, dan karena telah diriwayatkan: "Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di dalam masjid", dan karena melewati masjid yang dekat menuju yang jauh dapat menimbulkan keheranan di kalangan tetangganya, dan mungkin pendapat ini lebih utama; karena melewati masjid yang dekat dengannya menuju yang lain adalah jalan menuju meninggalkan masjid yang dekat dengannya, dan membuat malu imamnya; sehingga berprasangka buruk kepadanya.

وَمِنْ أَحْكَامِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ: أَنَّهُ يَحْرُمُ أَنْ يَؤُمَّ الْجَمَاعَةَ فِي الْمَسْجِدِ أَحَدٌ غَيْرُ إِمَامِهِ الرَّاتِبِ؛ إِلَّا بِإِذْنِهِ أَوْ عُذْرِهِ؛ فَفِي "صَحِيحِ مُسْلِمٍ" وَغَيْرِهِ: "وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ"، قَالَ النَّوَوِيُّ: "مَعْنَاهُ أَنَّ صَاحِبَ الْبَيْتِ وَالْمَجْلِسِ وَإِمَامَ الْمَسْجِدِ أَحَقُّ مِنْ غَيْرِهِ، وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ إِسَاءَةً إِلَى إِمَامِ الْمَسْجِدِ الرَّاتِبِ، وَتَنْفِيرًا عَنْهُ، وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ".

Di antara hukum shalat berjamaah: bahwa haram bagi selain imam tetap masjid untuk mengimami jamaah di masjid; kecuali dengan izinnya atau uzurnya; dalam "Shahih Muslim" dan lainnya: "Janganlah seseorang mengimami orang lain di wilayah kekuasaannya kecuali dengan izinnya", An-Nawawi berkata: "Maknanya adalah pemilik rumah, majelis, dan imam masjid lebih berhak daripada yang lain, dan karena hal itu merupakan penghinaan terhadap imam tetap masjid, menjauhkan darinya, dan memecah belah kaum muslimin".

وَذَهَبَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهُ إِذَا صَلَّى بِجَمَاعَةِ الْمَسْجِدِ غَيْرُ إِمَامِهِ الرَّاتِبِ بِدُونِ إِذْنِهِ أَوْ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ يُسَوِّغُ ذَلِكَ؛ أَنَّهَا لَا تَصِحُّ صَلَاتُهُمْ، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى خُطُورَةِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ؛ فَلَا يَنْبَغِي التَّسَاهُلُ فِي شَأْنِهَا، وَيَجِبُ عَلَى جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يُرَاعُوا حَقَّ إِمَامِهِمْ، وَلَا يَتَعَدَّوْا عَلَيْهِ فِي صَلَاحِيَّتِهِ، كَمَا يَجِبُ عَلَى إِمَامِ الْمَسْجِدِ أَنْ يَحْتَرِمَ حَقَّ الْمَأْمُومِينَ وَلَا يُحْرِجَهُمْ.

Beberapa ulama berpendapat bahwa jika seseorang shalat bersama jamaah masjid selain imam tetapnya tanpa izin atau udzur syar'i yang membolehkan hal itu, maka shalat mereka tidak sah. Ini menunjukkan bahaya masalah ini, sehingga tidak sepatutnya bersikap longgar dalam perkaranya. Jamaah muslim wajib memperhatikan hak imam mereka dan tidak melampaui batas kewenangannya. Demikian pula, imam masjid wajib menghormati hak makmum dan tidak mempersulit mereka.

وَهَكَذَا كُلٌّ يُرَاعِي حَقَّ الْآخَرِ، حَتَّى يَحْصُلَ الْوِئَامُ وَالتَّآلُفُ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِينَ، فَإِنْ تَأَخَّرَ الْإِمَامُ عَنِ الْحُضُورِ وَضَاقَ الْوَقْتُ؛ صَلَّوْا لِفِعْلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ ﵄ حِينَ غَابَ النَّبِيُّ ﷺ فِي ذَهَابِهِ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ، فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ ﵁، وَصَلَّى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ بِالنَّاسِ لَمَّا تَخَلَّفَ النَّبِيُّ ﷺ فِي وَاقِعَةٍ أُخْرَى، وَصَلَّى مَعَهُ النَّبِيُّ ﷺ الرَّكْعَةَ الْأَخِيرَةَ، ثُمَّ أَتَمَّ صَلَاتَهُ وَقَالَ: "أَحْسَنْتُمْ".

Dengan demikian, masing-masing memperhatikan hak yang lain, sehingga tercipta keharmonisan dan keakraban antara imam dan makmum. Jika imam terlambat hadir dan waktu menjadi sempit, mereka shalat seperti yang dilakukan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Abdurrahman bin Auf ﵄ ketika Nabi ﷺ tidak hadir karena pergi ke Bani Amr bin Auf untuk mendamaikan mereka. Abu Bakar ﵁ mengimami shalat, dan Abdurrahman bin Auf mengimami orang-orang ketika Nabi ﷺ tidak hadir pada kejadian lain. Nabi ﷺ shalat bersama mereka pada rakaat terakhir, kemudian menyempurnakan shalatnya dan bersabda, "Kalian telah berbuat baik."

وَمِنْ أَحْكَامِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ: أَنَّ مَنْ سَبَقَ لَهُ أَنْ صَلَّى، ثُمَّ حَضَرَ إِقَامَةَ الصَّلَاةِ فِي الْمَسْجِدِ؛ سُنَّ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَ الْجَمَاعَةِ تِلْكَ الصَّلَاةَ الَّتِي أُقِيمَتْ؛ لِحَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ: "صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أُقِيمَتْ وَأَنْتَ فِي الْمَسْجِدِ؛ فَصَلِّ، وَلَا تَقُلْ: إِنِّي صَلَّيْتُ؛ فَلَا أُصَلِّي"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَتَكُونُ

Di antara hukum shalat berjamaah: Barangsiapa yang telah shalat kemudian hadir saat iqamah shalat di masjid, disunnahkan baginya untuk shalat bersama jamaah pada shalat yang didirikan itu, berdasarkan hadits Abu Dzar, "Shalatlah pada waktunya. Jika iqamah dikumandangkan saat engkau berada di masjid, maka shalatlah. Janganlah engkau berkata, 'Aku telah shalat, maka aku tidak akan shalat (lagi).'" Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim. Dan menjadi

هَذِهِ الصَّلَاةُ فِي حَقِّهِ نَافِلَةٌ؛ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ مِنْ قَوْلِهِ ﷺ لِلرَّجُلَيْنِ اللَّذَيْنِ أَمَرَهُمَا النَّبِيُّ ﷺ بِالْإِعَادَةِ: "فَإِنَّهُمَا لَكُمَا نَافِلَةٌ".

Shalat ini baginya adalah shalat sunnah; sebagaimana disebutkan dalam hadits lain dari sabda Nabi ﷺ kepada dua orang yang diperintahkan oleh Nabi ﷺ untuk mengulangi: "Maka sesungguhnya keduanya bagi kalian adalah shalat sunnah".

وَلِئَلَّا يَكُونَ قُعُودُهُ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ ذَرِيعَةً إِلَى إِسَاءَةِ الظَّنِّ بِهِ وَأَنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْمُصَلِّينَ.

Dan agar duduknya ketika orang-orang sedang shalat tidak menjadi sarana buruk sangka terhadapnya dan bahwa dia bukan termasuk orang-orang yang shalat.

وَمِنْ أَحْكَامِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ: أَنَّهَا إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ أَيْ: إِذَا شُرِعَ فِي إِقَامَةِ الصَّلَاةِ؛ لَمْ يَجُزِ الشُّرُوعُ فِي صَلَاةِ نَافِلَةٍ لَا رَاتِبَةٍ وَلَا تَحِيَّةِ مَسْجِدٍ وَلَا غَيْرِهَا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ؛ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَفِي رِوَايَةٍ: "فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الَّتِي أُقِيمَتْ"؛

Dan di antara hukum-hukum shalat berjamaah: bahwa apabila shalat telah dikumandangkan yaitu: apabila telah dimulai mendirikan shalat; maka tidak boleh memulai shalat sunnah, baik shalat rawatib, tahiyatul masjid, maupun yang lainnya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Apabila shalat telah dikumandangkan; maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib", diriwayatkan oleh Muslim, dan dalam riwayat lain: "Maka tidak ada shalat kecuali shalat yang dikumandangkan";

فَلَا تَنْعَقِدُ صَلَاةُ النَّافِلَةِ الَّتِي أَحْرَمَ فِيهَا بَعْدَ إِقَامَةِ الْفَرِيضَةِ الَّتِي يُرِيدُ أَنْ يَفْعَلَهَا مَعَ ذَلِكَ الْإِمَامِ الَّذِي أُقِيمَتْ لَهُ.

Maka tidak sah shalat sunnah yang diikrarkan setelah dikumandangkan shalat fardhu yang ingin dia lakukan bersama imam yang untuknya shalat tersebut dikumandangkan.

قَالَ الْإِمَامُ النَّوَوِيُّ ﵀: "وَالْحِكْمَةُ أَنْ يَتَفَرَّغَ لِلْفَرِيضَةِ مِنْ أَوَّلِهَا، فَيَشْرَعَ فِيهَا عَقِبَ شُرُوعِ الْإِمَامِ، وَالْمُحَافَظَةُ عَلَى مُكَمِّلَاتِ الْفَرِيضَةِ أَوْلَى مِنَ التَّشَاغُلِ بِالنَّافِلَةِ، وَلِأَنَّهُ نَهَى ﷺ عَنِ الِاخْتِلَافِ عَنِ الْأَئِمَّةِ،

Imam Nawawi ﵀ berkata: "Dan hikmahnya adalah agar dia fokus pada shalat fardhu dari awalnya, sehingga dia memulainya setelah imam memulai, dan menjaga kesempurnaan shalat fardhu lebih utama daripada sibuk dengan shalat sunnah, dan karena Nabi ﷺ melarang menyelisihi para imam,

وَلِحُصُولِ تَكْبِيرَةِ الإِحْرَامِ، وَلَا تَحْصُلُ فَضِيلَتُهَا المَنْصُوصَةُ إِلَّا بِشُهُودِ تَحْرِيمِ الإِمَامِ ".

Dan untuk mendapatkan takbiratul ihram, dan tidak akan mendapatkan keutamaannya yang disebutkan kecuali dengan menyaksikan takbiratul ihram imam ".

وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ وَهُوَ فِي صَلَاةِ نَافِلَةٍ قَدْ أَحْرَمَ بِهَا مِنْ قَبْلُ؛ أَتَمَّهَا خَفِيفَةً، وَلَا يَقْطَعُهَا؛ إِلَّا أَنْ يَخْشَى فَوَاتَ الجَمَاعَةِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ﴾، فَإِنْ خَشِيَ فَوْتَ الجَمَاعَةِ؛ قَطَعَ النَّافِلَةَ؛ لِأَنَّ الفَرْضَ أَهَمُّ.

Dan jika shalat (fardhu) telah didirikan sementara dia sedang melakukan shalat sunnah yang telah dia mulai sebelumnya; maka dia harus menyelesaikannya dengan ringan, dan tidak memutusnya; kecuali jika dia khawatir akan ketinggalan shalat berjamaah; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu", maka jika dia khawatir akan ketinggalan shalat berjamaah; dia harus memutus shalat sunnah tersebut; karena shalat fardhu lebih penting.

بَابٌ فِي الْأَحْكَامِ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِالْمَسْبُوقِ

الصَّحِيحُ مِنْ قَوْلَيِ العُلَمَاءِ: أَنَّ المَسْبُوقَ لَا يُدْرِكُ صَلَاةَ الجَمَاعَةِ؛ إِلَّا بِإِدْرَاكِ رَكْعَةٍ، فَإِنْ أَدْرَكَ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ؛ لَمْ يَكُنْ مُدْرِكًا لِلْجَمَاعَةِ، لَكِنْ يَدْخُلُ مَعَ الإِمَامِ فِيمَا أَدْرَكَ، وَلَهُ بِنِيَّتِهِ أَجْرُ الجَمَاعَةِ؛ كَمَا إِذَا وَجَدَهُمْ قَدْ صَلَّوْا؛ فَإِنَّ لَهُ بِنِيَّتِهِ أَجْرُ مَنْ صَلَّى فِي جَمَاعَةٍ؛ كَمَا وَرَدَتْ بِهِ الأَحَادِيثُ؛ أَنَّ مَنْ نَوَى الخَيْرَ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهِ؛ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ فَعَلَهُ.

Pendapat yang benar dari dua pendapat ulama adalah bahwa orang yang tertinggal (masbūq) tidak mendapatkan shalat berjamaah kecuali dengan mendapatkan satu rakaat. Jika ia mendapatkan kurang dari itu, maka ia tidak dianggap mendapatkan jamaah. Namun, ia masuk bersama imam pada bagian yang ia dapatkan, dan ia mendapatkan pahala jamaah dengan niatnya, seperti ketika ia mendapati mereka telah selesai shalat. Maka sesungguhnya ia mendapatkan pahala orang yang shalat berjamaah dengan niatnya, sebagaimana hadits-hadits yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang berniat kebaikan namun tidak mampu melakukannya, maka dicatat baginya pahala seperti orang yang melakukannya.

وَتُدْرَكُ الرَّكْعَةُ بِإِدْرَاكِ الرُّكُوعِ عَلَى الصَّحِيحِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوعَ؛ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَلِمَا فِي "الصَّحِيحِ" مِنْ حَدِيثِ أَبِي بَكْرَةَ، وَقَدْ جَاءَ وَالنَّبِيُّ ﷺ فِي الرُّكُوعِ، فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ، وَلَمْ يَأْمُرْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِعَادَةِ الرَّكْعَةِ، فَدَلَّ عَلَى الِاجْتِزَاءِ بِهَا.

Satu rakaat diperoleh dengan mendapatkan ruku' menurut pendapat yang benar, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa mendapatkan ruku', maka ia telah mendapatkan satu rakaat", diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dan berdasarkan hadits Abu Bakrah dalam "Shahih", bahwa ia datang saat Nabi ﷺ sedang ruku', lalu ia ruku' di belakang shaf, dan Nabi ﷺ tidak memerintahkannya untuk mengulangi rakaat tersebut, sehingga menunjukkan cukupnya rakaat itu.

فَإِذَا أَدْرَكَ الإِمَامَ رَاكِعًا؛ فَإِنَّهُ يُكَبِّرُ تَكْبِيرَةَ الإِحْرَامِ قَائِمًا، ثُمَّ يَرْكَعُ

Jika seseorang mendapati imam sedang ruku', maka ia bertakbir takbiratul ihram dalam keadaan berdiri, kemudian ruku'.

مَعَ تَكْبِيرَةٍ ثَانِيَةٍ، هَذَا هُوَ الأَفْضَلُ، وَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى تَكْبِيرَةِ الإِحْرَامِ؛ أَجْزَأَتْهُ عَنْ تَكْبِيرَةِ الرُّكُوعِ؛ فَتَكْبِيرَةُ الإِحْرَامِ؛ لَا بُدَّ مِنَ الإِتْيَانِ بِهَا وَهُوَ قَائِمٌ، وَأَمَّا تَكْبِيرَةُ الرُّكُوعِ؛ فَمِنَ الأَفْضَلِ الإِتْيَانُ بِهَا بَعْدَهَا.

Dengan takbir kedua, ini adalah yang terbaik, dan jika hanya terbatas pada takbiratul ihram; itu cukup baginya untuk takbir ruku'; takbiratul ihram; harus dilakukan saat berdiri, adapun takbir ruku'; yang terbaik adalah melakukannya setelahnya.

وَإِذَا وَجَدَ الْمَسْبُوقُ الإِمَامَ عَلَى أَيِّ حَالٍ مِنَ الصَّلَاةِ؛ دَخَلَ مَعَهُ؛ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِ: "إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ، وَنَحْنُ سُجُودٌ؛ فَاسْجُدُوا، وَلَا تَعُدُّوهَا شَيْئًا".

Dan jika masbuk mendapati imam dalam keadaan apa pun dari shalat; dia masuk bersamanya; karena hadits Abu Hurairah dan lainnya: "Jika kalian datang untuk shalat, dan kami sedang sujud; maka sujudlah, dan jangan menghitungnya sebagai sesuatu".

فَإِذَا سَلَّمَ الإِمَامُ التَّسْلِيمَةَ الثَّانِيَةَ؛ قَامَ الْمَسْبُوقُ لِيَأْتِيَ بِمَا فَاتَهُ مِنَ الصَّلَاةِ، وَلَا يَقُومُ قَبْلَ التَّسْلِيمَةِ الثَّانِيَةِ.

Ketika imam mengucapkan salam kedua; masbuk berdiri untuk melakukan bagian shalat yang terlewat, dan tidak berdiri sebelum salam kedua.

وَمَا أَدْرَكَ الْمَسْبُوقُ مَعَ إِمَامِهِ؛ فَهُوَ أَوَّلُ صَلَاتِهِ عَلَى الْقَوْلِ الصَّحِيحِ، وَمَا يَأْتِي بِهِ بَعْدَ سَلَامِ الإِمَامِ هُوَ آخِرُهَا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "وَمَا فَاتَكُمْ؛ فَأَتِمُّوا"، وَهُوَ رِوَايَةُ الْجُمْهُورِ لِلْحَدِيثِ، وَإِتْمَامُ الشَّيْءِ لَا يَأْتِي إِلَّا بَعْدَ تَقَدُّمِ أَوَّلِهِ، وَرِوَايَةُ: "وَمَا فَاتَكُمْ؛ فَاقْضُوا" لَا تُخَالِفُ رِوَايَةَ: "فَأَتِمُّوا"؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ يُرَادُ بِهِ الْفِعْلُ١؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ﴾، وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ﴾، فَيُحْمَلُ قَوْلُهُ: ﴿فَاقْضُوا﴾ عَلَى الأَدَاءِ وَالْفَرَاغِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

Apa yang didapatkan masbuk bersama imamnya; itu adalah awal shalatnya menurut pendapat yang benar, dan apa yang dia lakukan setelah salam imam adalah akhir shalatnya; karena sabda Nabi ﷺ: "Dan apa yang terlewat oleh kalian; maka sempurnakanlah", dan ini adalah riwayat mayoritas ulama untuk hadits tersebut, dan penyempurnaan sesuatu tidak terjadi kecuali setelah didahului oleh awalnya, dan riwayat: "Dan apa yang terlewat oleh kalian; maka qadha'lah" tidak bertentangan dengan riwayat: "maka sempurnakanlah"; karena qadha' yang dimaksud adalah perbuatan¹; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Maka apabila telah ditunaikan shalat", dan firman-Nya Ta'ala: "Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu", maka firman-Nya: "maka qadha'lah" ditafsirkan sebagai pelaksanaan dan penyelesaian. Dan Allah lebih mengetahui.

١أَيْ: الإِتْمَامُ وَالْفَرَاغُ.

¹Yaitu: penyempurnaan dan penyelesaian.

وَإِذَا كَانَتِ الصَّلَاةُ جَهْرِيَّةً؛ وَجَبَ عَلَى الْمَأْمُومِ أَنْ يَسْتَمِعَ لِقِرَاءَةِ الْإِمَامِ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَقْرَأَ وَإِمَامُهُ يَقْرَأُ، لَا سُورَةَ الْفَاتِحَةِ وَلَا غَيْرَهَا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴾ .

Dan jika shalat itu dilakukan dengan suara keras (jahr); maka wajib bagi makmum untuk mendengarkan bacaan imam, dan tidak boleh baginya untuk membaca sementara imamnya sedang membaca, baik itu surat Al-Fatihah maupun yang lainnya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ﵀ "أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ فِي الصَّلَاةِ ".

Imam Ahmad ﵀ berkata, "Mereka (para ulama) sepakat bahwa ayat ini berkaitan dengan shalat."

فَلَوْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ تَجِبُ عَلَى الْمَأْمُومِ؛ لَمَا أُمِرَ بِتَرْكِهَا لِسُنَّةِ الِاسْتِمَاعِ، وَلِأَنَّهُ إِذَا انْشَغَلَ الْمَأْمُومُ بِالْقِرَاءَةِ؛ لَمْ يَكُنْ لِجَهْرِ الْإِمَامِ فَائِدَةٌ، وَلِأَنَّ تَأْمِينَ الْمَأْمُومِ عَلَى قِرَاءَةِ الْإِمَامِ يَنْزِلُ مَنْزِلَةَ قِرَاءَتِهَا؛ فَقَدْ قَالَهُ تَعَالَى لِمُوسَى وَهَارُونَ: ﴿قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا﴾، وَقَدْ دَعَا مُوسَى، فَقَالَ: ﴿رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا﴾ الْآيَةَ، وَأَمَّنَ هَارُونُ عَلَى دُعَائِهِ، فَنَزَلَ تَأْمِينُهُ مَنْزِلَةَ مَنْ دَعَا، فَقَالَ تَعَالَى: ﴿قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا﴾، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَنْ أَمَّنَ عَلَى دُعَاءٍ؛ فَكَأَنَّمَا قَالَهُ.

Seandainya membaca (Al-Fatihah) itu wajib bagi makmum; tentu dia tidak akan diperintahkan untuk meninggalkannya demi sunnah mendengarkan, dan karena jika makmum sibuk dengan membaca; maka bacaan keras imam tidak ada manfaatnya, dan karena aminnya makmum terhadap bacaan imam menempati kedudukan membacanya sendiri; sebagaimana Allah berfirman kepada Musa dan Harun: "Sungguh, telah diperkenankan permohonan kamu berdua," dan Musa telah berdoa, ia berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberikan kepada Fir'aun dan para pembesarnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia," hingga akhir ayat, dan Harun mengamini doanya, maka aminnya menempati kedudukan orang yang berdoa, lalu Allah berfirman: "Sungguh, telah diperkenankan permohonan kamu berdua," ini menunjukkan bahwa siapa yang mengamini doa; maka seakan-akan dia yang mengucapkannya.

أَمَّا إِذَا كَانَتِ الصَّلَاةُ سِرِّيَّةً، أَوْ كَانَ الْمَأْمُومُ لَا يَسْمَعُ الْإِمَامَ؛ فَإِنَّهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ فِي هَذِهِ الْحَالِ، وَبِهَذَا تَجْتَمِعُ الْأَدِلَّةُ؛ أَيْ: وَجَبَ قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ عَلَى الْمَأْمُومِ فِي الصَّلَاةِ السِّرِّيَّةِ دُونَ الْجَهْرِيَّةِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

Adapun jika shalat itu dilakukan dengan suara pelan (sirr), atau makmum tidak mendengar imam; maka dia membaca Al-Fatihah dalam keadaan ini, dan dengan ini terkumpullah dalil-dalil; yaitu: wajib membaca Al-Fatihah bagi makmum dalam shalat sirr, bukan dalam shalat jahr. Dan Allah lebih mengetahui.

وَمِنْ أَحْكَامِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ الْمُهِمَّةِ: وُجُوبُ اقْتِدَاءِ الْمَأْمُومِ بِالْإِمَامِ بِالْمُتَابَعَةِ التَّامَّةِ لَهُ، وَتَحْرُمُ مُسَابَقَتُهُ؛ لِأَنَّ الْمَأْمُومَ مُتَّبِعٌ لِإِمَامِهِ، مُقْتَدٍ بِهِ، وَالتَّابِعُ الْمُقْتَدِي لَا يَتَقَدَّمُ عَلَى مَتْبُوعِهِ وَقُدْوَتِهِ،

Dan di antara hukum-hukum penting shalat berjamaah: wajibnya makmum mengikuti imam dengan mengikutinya secara sempurna, dan haram mendahuluinya; karena makmum adalah pengikut imamnya, yang mengikutinya, dan pengikut yang mengikuti tidak boleh mendahului yang diikuti dan teladannya,

وَقَدْ قَالَ ﷺ: "أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَنْ يُحَوِّلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ صُورَتَهُ صُورَةَ حِمَارٍ؟! "، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ؛ فَمَنْ تَقَدَّمَ عَلَى إِمَامِهِ؛ كَانَ كَالْحِمَارِ الَّذِي لَا يَفْقَهُ مَا يُرَادُ بِعَمَلِهِ، وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ؛ اسْتَحَقَّ الْعُقُوبَةَ.

Dan Nabi ﷺ telah bersabda: "Tidakkah salah seorang dari kalian takut jika mengangkat kepalanya sebelum imam, Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai, atau menjadikan rupanya seperti rupa keledai?!" (Muttafaq 'alaih). Maka barangsiapa yang mendahului imamnya, ia seperti keledai yang tidak memahami apa yang dimaksud dengan perbuatannya. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, ia berhak mendapatkan hukuman.

وَفِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ: "إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ؛ فَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ، وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ".

Dan dalam hadits shahih disebutkan: "Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka janganlah kalian rukuk hingga ia rukuk, dan janganlah kalian sujud hingga ia sujud."

وَرَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ: "إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا رَكَعَ؛ فَارْكَعُوا، وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ، وَإِذَا سَجَدَ، فَاسْجُدُوا، وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ".

Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan: "Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jika ia rukuk, rukuklah, dan janganlah kalian rukuk hingga ia rukuk. Jika ia sujud, sujudlah, dan janganlah kalian sujud hingga ia sujud."

وَكَانَ الصَّحَابَةُ خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ لَا يَحْنِي أَحَدٌ مِنْهُمْ ظَهْرَهُ حَتَّى يَقَعَ رَسُولُ اللهِ ﷺ سَاجِدًا، ثُمَّ يَقَعُونَ سُجُودًا بَعْدَهُ.

Para sahabat di belakang Nabi ﷺ, tidak ada seorang pun dari mereka yang membungkukkan punggungnya hingga Rasulullah ﷺ jatuh bersujud, kemudian mereka jatuh sujud setelahnya.

وَلَمَّا رَأَى عُمَرُ ﵁ رَجُلًا يُسَابِقُ الْإِمَامَ؛ ضَرَبَهُ، وَقَالَ: "وَلَا وَحْدَكَ صَلَّيْتَ، وَلَا بِإِمَامِكَ اقْتَدَيْتَ".

Ketika Umar ﵁ melihat seseorang yang mendahului imam, ia memukulnya dan berkata, "Engkau tidak shalat sendirian, dan tidak mengikuti imammu."

وَهَذَا شَيْءٌ يَتَسَاهَلُ فِيهِ أَوْ يَتَجَاهَلُهُ بَعْضُ الْمُصَلِّينَ، فَيُسَابِقُونَ الْإِمَامَ، وَيَتَعَرَّضُونَ لِلْوَعِيدِ الشَّدِيدِ، بَلْ يُخْشَى أَنْ لَا تَصِحَّ صَلَاتُهُمْ،

Dan ini adalah sesuatu yang dianggap remeh atau diabaikan oleh sebagian orang yang shalat, sehingga mereka mendahului imam, dan mereka terpapar ancaman yang keras, bahkan dikhawatirkan shalat mereka tidak sah,

وَرَوَى مُسْلِمٌ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ؛ أَنَّهُ قَالَ: "لَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ وَلَا بِالِانْصِرَافِ".

Dan Muslim meriwayatkan dari Nabi ﷺ; bahwa beliau bersabda: "Janganlah kalian mendahuluiku dalam ruku', sujud, dan meninggalkan shalat".

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "مُسَابَقَةُ الْإِمَامِ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَرْكَعَ قَبْلَ إِمَامِهِ، وَلَا يَرْفَهُ قَبْلَهُ، وَلَا يَسْجُدَ قَبْلَهُ، وَقَدِ اسْتَفَاضَتِ الْأَحَادِيثُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ بِالنَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ ".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Mendahului imam adalah haram berdasarkan kesepakatan para imam, tidak boleh bagi siapa pun untuk ruku' sebelum imamnya, tidak mengangkat kepala sebelumnya, dan tidak sujud sebelumnya, dan telah banyak hadits dari Nabi ﷺ yang melarang hal itu".

وَمُسَابَقَةُ الْإِمَامِ تَلَاعُبٌ مِنَ الشَّيْطَانِ بِبَعْضِ الْمُصَلِّينَ حَتَّى يُخِلَّ بِصَلَاتِهِ، وَإِلَّا؛ فَمَاذَا يَسْتَفِيدُ الَّذِي يُسَابِقُ الْإِمَامَ؛ لِأَنَّهُ لَنْ يَخْرُجَ مِنَ الصَّلَاةِ إِلَّا بَعْدَ سَلَامِ الْإِمَامِ؟!.

Dan mendahului imam adalah permainan setan pada sebagian orang yang shalat sehingga merusak shalatnya, jika tidak; maka apa yang didapatkan oleh orang yang mendahului imam; karena dia tidak akan keluar dari shalat kecuali setelah salam imam?!.

فَيَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَتَنَبَّهَ لِذَلِكَ، وَأَنْ يَكُونَ مُلْتَزِمًا لِأَحْكَامِ الِائْتِمَامِ وَالْإِقْتِدَاءِ.

Maka seorang Muslim wajib memperhatikan hal itu, dan harus mematuhi hukum-hukum mengikuti dan meneladani imam.

نَسْأَلُ اللَّهَ لِلْجَمِيعِ الْفِقْهَ فِي دِينِهِ وَالْبَصِيرَةَ فِي أَحْكَامِهِ، إِنَّهُ سَمِيعٌ مُجِيبٌ؛ فَإِنَّهُ مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا؛ يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.

Kami memohon kepada Allah untuk semua orang agar memahami agama-Nya dan memiliki wawasan dalam hukum-hukum-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan; karena sesungguhnya barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya; Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.

بَابٌ فِي حُكْمِ حُضُورِ النِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ

بَابٌ فِي حُكْمِ حُضُورِ النِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ

Bab tentang hukum kehadiran wanita ke masjid

إِنَّ دِينَنَا كَامِلٌ وَشَامِلٌ لِمَصَالِحِنَا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، جَاءَ بِالْخَيْرِ لِلْمُسْلِمِينَ رِجَالًا وَنِسَاءً: ﴿مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾؛ فَهُوَ قَدْ اهْتَمَّ بِشَأْنِ الْمَرْأَةِ، وَوَضَعَهَا مَوْضِعَ الْإِكْرَامِ وَالِاحْتِرَامِ، إِنْ هِيَ تَمَسَّكَتْ بِهَدْيِهِ، وَتَحَلَّتْ بِفَضَائِلِهِ.

Sesungguhnya agama kita sempurna dan mencakup kemaslahatan kita di dunia dan akhirat, datang dengan kebaikan bagi kaum muslimin laki-laki dan perempuan: "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan"; maka agama telah memperhatikan urusan wanita, dan menempatkannya pada posisi kemuliaan dan kehormatan, jika dia berpegang teguh pada petunjuknya, dan menghiasi diri dengan keutamaannya.

وَمِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ سَمَحَ لَهَا بِالْحُضُورِ إِلَى الْمَسَاجِدِ لِلْمُشَارَكَةِ فِي الْخَيْرِ مِنْ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ وَحُضُورِ مَجَالِسِ الذِّكْرِ مَعَ الِاحْتِشَامِ وَالْتِزَامِ الِاحْتِيَاطَاتِ الَّتِي تُبْعِدُهَا عَنِ الْفِتْنَةِ وَتَحْفَظُ لَهَا كَرَامَتَهَا.

Di antaranya, agama mengizinkan wanita untuk hadir ke masjid untuk berpartisipasi dalam kebaikan seperti shalat berjamaah dan menghadiri majelis dzikir dengan tetap menjaga kesopanan dan melakukan tindakan pencegahan yang menjauhkannya dari fitnah dan menjaga kehormatannya.

فَإِذَا اسْتَأْذَنَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ؛ كُرِهَ مَنْعُهَا، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ، وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلَاتٍ" ١، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ، وَذَلِكَ لِأَنَّ أَدَاءَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ فِي جَمَاعَةٍ فِيهَا فَضْلٌ كَبِيرٌ لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، وَكَذَلِكَ الْمَشْيُ إِلَى الْمَسَاجِدِ،

Jika seorang wanita meminta izin untuk pergi ke masjid, maka dimakruhkan untuk melarangnya. Nabi ﷺ bersabda: "Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah untuk pergi ke masjid-masjid Allah, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka, dan hendaklah mereka keluar tanpa wewangian" ¹, diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Hal itu karena menunaikan shalat fardhu secara berjamaah memiliki keutamaan yang besar bagi laki-laki dan perempuan, demikian pula berjalan ke masjid.

_________ ١ أَيْ: غَيْرَ مُتَزَيِّنَاتٍ وَلَا مُتَطَيِّبَاتٍ.

_________ ¹ Yaitu: tidak berhias dan tidak memakai wewangian.

وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" وَغَيْرِهِمَا: "إِذَا اسْتَأْذَنَتْ نِسَاءَكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسَاجِدِ؛ فَأْذَنُوا لَهُنَّ".

Dalam "Shahihain" dan lainnya: "Jika istri-istrimu meminta izin di malam hari untuk pergi ke masjid, maka izinkanlah mereka."

وَوَجْهُ كَوْنِهَا تَسْتَأْذِنُ لِزَوْجٍ فِي ذَلِكَ؛ لِأَنَّ مُلَازَمَةَ الْبَيْتِ حَقٌّ لِلزَّوْجِ، وَخُرُوجُهَا لِلْمَسْجِدِ فِي تِلْكَ الْحَالِ مُبَاحٌ؛ فَلَا تَتْرُكُ الْوَاجِبَ لِأَجْلِ مُبَاحٍ، فَإِذَا أَذِنَ الزَّوْجُ؛ فَقَدْ اسْقَطَ حَقَّهُ، وَقَوْلُهُ ﷺ: "وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ"؛ أَيْ: خَيْرٌ لَهُنَّ مِنَ الصَّلَاةِ فِي الْمَسَاجِدِ، وَذَلِكَ لِأَمْنِ الْفِتْنَةِ بِمُلَازَمَتِهِنَّ الْبُيُوتَ.

Alasan mengapa seorang istri harus meminta izin kepada suaminya adalah karena menetap di rumah adalah hak suami, sedangkan keluar ke masjid dalam keadaan tersebut adalah mubah. Jadi, jangan meninggalkan yang wajib demi yang mubah. Jika suami mengizinkan, maka dia telah menggugurkan haknya. Sabda Nabi ﷺ: "Rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka", yaitu lebih baik bagi mereka daripada shalat di masjid, karena aman dari fitnah dengan menetap di rumah.

وَقَوْلُهُ ﷺ: "وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلَاتٍ"؛ أَيْ: غَيْرَ مُتَطَيِّبَاتٍ، وَإِنَّمَا أُمِرْنَ بِذَلِكَ؛ لِئَلَّا يُفْتَنَ الرِّجَالُ بِطِيبِهِنَّ، وَيَصْرِفُوا أَنْظَارَهُمْ إِلَيْهِنَّ، فَيَحْصُلُ بِذَلِكَ الِافْتِتَانُ بِهِنَّ، وَيَلْحَقُ بِالطِّيبِ مَا كَانَ بِمَعْنَاهُ كَحُسْنِ الْمَلْبَسِ وَإِظْهَارِ الْحُلِيِّ.

Sabda Nabi ﷺ: "Dan hendaklah mereka keluar tanpa wewangian", yaitu tidak memakai wewangian. Mereka diperintahkan demikian agar para lelaki tidak tergoda dengan wewangian mereka dan tidak memperhatikan mereka, sehingga terjadi fitnah karenanya. Yang termasuk dalam kategori wewangian adalah apa yang semakna dengannya, seperti pakaian yang bagus dan menampakkan perhiasan.

فَإِنْ تَطَيَّبَتْ أَوْ لَبِسَتْ ثِيَابَ زِينَةٍ؛ حَرُمَ عَلَيْهَا ذَلِكَ، وَوَجَبَ مَنْعُهَا مِنَ الْخُرُوجِ، وَفِي "صَحِيحِ مُسْلِمٍ" وَغَيْرِهِ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا؛ فَلَا تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْأَخِيرَ".

Jika seorang wanita memakai wewangian atau mengenakan pakaian perhiasan, maka hukumnya haram baginya dan wajib dicegah dari keluar rumah. Dalam "Shahih Muslim" dan lainnya: "Wanita mana saja yang terkena wewangian, maka janganlah dia menghadiri shalat Isya bersama kami."

وَكَذَلِكَ إِذَا خَرَجَتِ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَسْجِدِ؛ فَلْتَبْتَعِدْ عَنْ مُزَاحَمَةِ الرِّجَالِ.

Demikian pula, jika seorang wanita keluar ke masjid, hendaklah dia menjauh dari berdesakan dengan laki-laki.

قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "يَجِبُ عَلَى وَلِيِّ الْأَمْرِ أَنْ يَمْنَعَ مِنِ اخْتِلَاطِ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ فِي الْأَسْوَاقِ وَمَجَامِعِ الرِّجَالِ، وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ

Imam Ibnu Qayyim ﵀ berkata: "Wajib bagi pemimpin untuk mencegah percampuran antara laki-laki dan perempuan di pasar dan tempat berkumpulnya laki-laki, dan dia bertanggung jawab atas

ذَلِكَ، وَالْفِتْنَةُ بِهِ عَظِيمَةٌ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ ... " إِلَى أَنْ قَالَ: "يَجِبُ عَلَيْهِ مَنْعُهُنَّ مُتَزَيِّنَاتٍ مُتَجَمِّلَاتٍ، وَمَنْعُهُنَّ مِنَ الثِّيَابِ الَّتِي يَكُنَّ بِهَا كَاسِيَاتٍ عَارِيَاتٍ كَالثِّيَابِ وَالْوَاسِعَةِ الرِّقَاقِ، وَمَنْعُهُنَّ مِنْ حَدِيثِ الرِّجَالِ؛ أَيْ: التَّحَدُّثُ إِلَيْهِمْ فِي الطُّرُقَاتِ، وَمَنْعُ الرِّجَالِ مِنْ ذَلِكَ " انْتَهَى.

Itu, dan fitnah dengannya sangat besar, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda: "Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita..." sampai beliau bersabda: "Wajib atasnya mencegah mereka berhias dan mempercantik diri, dan mencegah mereka dari pakaian yang dengannya mereka berpakaian tetapi telanjang seperti pakaian yang lebar dan tipis, dan mencegah mereka dari berbicara dengan laki-laki; yaitu: berbicara dengan mereka di jalan-jalan, dan mencegah laki-laki dari itu." Selesai.

فَإِذَا تَمَسَّكَتِ الْمَرْأَةُ بِآدَابِ الْإِسْلَامِ مِنْ لُزُومِ الْحَيَاءِ، وَالتَّسَتُّرِ، وَتَرْكِ الزِّينَةِ وَالطِّيبِ، وَالِابْتِعَادِ عَنْ مُخَالَطَةِ الرِّجَالِ؛ أُبِيحَ لَهَا الْخُرُوجُ إِلَى الْمَسْجِدِ لِحُضُورِ الصَّلَاةِ وَالِاسْتِمَاعِ لِلتَّذْكِيرِ، وَبَقَاؤُهَا فِي بَيْتِهَا خَيْرٌ لَهَا مِنَ الْخُرُوجِ فِي تِلْكَ الْحَالِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: "وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ".

Jika seorang wanita berpegang teguh pada adab-adab Islam seperti menjaga rasa malu, menutup aurat, meninggalkan perhiasan dan wewangian, serta menjauh dari bercampur baur dengan laki-laki; maka dibolehkan baginya keluar ke masjid untuk menghadiri shalat dan mendengarkan dzikir, dan berdiam di rumahnya lebih baik baginya daripada keluar dalam keadaan tersebut; karena Nabi ﷺ bersabda: "Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka."

وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ صَلَاةَ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا خَيْرٌ لَهَا مِنَ الصَّلَاةِ فِي الْمَسْجِدِ؛ ابْتِعَادًا عَنِ الْفِتْنَةِ، وَتَغْلِيبًا لِجَانِبِ السَّلَامَةِ، وَحَسْمًا لِمَادَّةِ الشَّرِّ.

Kaum muslimin sepakat bahwa shalat seorang wanita di rumahnya lebih baik baginya daripada shalat di masjid; untuk menjauh dari fitnah, mengutamakan sisi keselamatan, dan memutus bahan keburukan.

أَمَّا إِذَا لَمْ تَلْتَزِمْ بِآدَابِ الْإِسْلَامِ، وَلَمْ تَجْتَنِبْ مَا نَهَى عَنْهُ الرَّسُولُ ﷺ مِنِ اسْتِعْمَالِهَا الزِّينَةَ وَالطِّيبَ لِلْخُرُوجِ؛ فَخُرُوجُهَا لِلْمَسْجِدِ حِينَئِذٍ حَرَامٌ، وَيَجِبُ عَلَى وَلِيِّهَا وَذَوِي السُّلْطَةِ مَنْعُهَا مِنْهُ

Adapun jika dia tidak mematuhi adab-adab Islam, dan tidak menjauhi apa yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ dari menggunakan perhiasan dan wewangian untuk keluar; maka keluarnya ke masjid saat itu haram, dan wajib bagi walinya dan pihak berwenang untuk mencegahnya dari itu.

وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ " مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ ﵂: "لَوْ رَأَى "تَعْنِي: الرَّسُولَ ﷺ " مَا رَأَيْنَا؛ لَمَنَعَهُنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي

Dalam "Shahihain" dari hadits Aisyah ﵂: "Seandainya dia melihat "maksudnya: Rasulullah ﷺ" apa yang kami lihat; niscaya beliau akan melarang mereka dari masjid sebagaimana wanita Bani Israel dilarang

إِسْرَائِيلَ"؛ فَخُرُوجُ الْمَرْأَةِ إِلَى الْمَسَاجِدِ مُرَاعًى فِيهِ الْمَصْلَحَةُ وَانْدِفَاعُ الْمَفْسَدَةِ، فَإِذَا كَانَ جَانِبُ الْمَفْسَدَةِ أَعْظَمَ؛ مُنِعَتْ

Israel"; karena keluarnya wanita ke masjid mempertimbangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan, jika sisi kerusakan lebih besar; maka dia dilarang

وَإِذَا كَانَ هَذَا الشَّأْنُ فِي خُرُوجِهَا لِلْمَسْجِدِ؛ فَخُرُوجُهَا لِغَيْرِ الْمَسْجِدِ مِنْ بَابِ أَوْلَى أَنْ تُرَاعَى فِيهِ الْحِيطَةُ وَالِابْتِعَادُ عَنْ مَوَاطِنِ الْفِتْنَةِ.

Dan jika ini adalah keadaan keluarnya ke masjid; maka keluarnya untuk selain masjid lebih utama untuk diperhatikan kehati-hatian dan menjauhi tempat-tempat fitnah.

وَإِذَا كَانَ هُنَاكَ الْيَوْمَ مَنْ يُنَادُونَ بِخُرُوجِ الْمَرْأَةِ لِمُزَاوَلَةِ الْأَعْمَالِ الْوَظِيفِيَّةِ كَمَا هُوَ شَأْنُهَا فِي الْغَرْبِ وَمَنْ هُمْ عَلَى شَاكِلَةِ الْغَرْبِ؛ فَإِنَّ هَؤُلَاءِ يَدْعُونَ إِلَى الْفِتْنَةِ، وَيَقُودُونَ الْمَرْأَةَ إِلَى شَقَائِهَا وَسَلْبِ كَرَامَتِهَا فَالْوَاجِبُ إِيقَافُ هَؤُلَاءِ عَنْ حَدِّهِمْ، وَكَفُّ أَلْسِنَتِهِمْ وَأَقْلَامِهِمْ عَنْ هَذِهِ الدَّعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ، وَكَفَى مَا وَقَعَتْ فِيهِ الْمَرْأَةُ فِي بِلَادِ الْغَرْبِ وَمَنْ حَذَا حَذْوَهَا مِنْ وَيْلَاتٍ، وَتَوَرَّطَتْ فِيهِ مِنْ وَاقِعٍ مُؤْلِمٍ، تَئِنُّ لَهُ مُجْتَمَعَاتُهُمْ، وَلْيَكُنْ لَنَا فِيهِمْ عِبْرَةٌ؛ فَالسَّعِيدُ مَنْ وُعِظَ بِغَيْرِهِ.

Dan jika hari ini ada orang-orang yang menyerukan keluarnya wanita untuk melakukan pekerjaan fungsional seperti yang terjadi di Barat dan mereka yang seperti Barat; maka mereka ini mengajak kepada fitnah, dan menggiring wanita kepada kesengsaraan dan perampasan kehormatannya, maka wajib menghentikan mereka dari batas mereka, dan menahan lidah dan pena mereka dari dakwah jahiliyah ini, dan cukuplah apa yang menimpa wanita di negeri Barat dan yang mengikuti jejaknya dari kesengsaraan, dan terjerumus dalam realitas yang menyakitkan, yang membuat masyarakat mereka merintih, dan hendaklah bagi kita pelajaran pada mereka; karena orang yang bahagia adalah yang mengambil pelajaran dari orang lain.

وَلَيْسَ لِهَؤُلَاءِ مِنْ حُجَّةٍ يُبَرِّرُونَ بِهَا دَعْوَتَهُمْ؛ إِلَّا قَوْلَهُمْ: أَنَّ نِصْفَ الْمُجْتَمَعِ مُعَطَّلٌ عَنِ الْعَمَلِ. وَبِهَذَا يُرِيدُونَ أَنْ تُشَارِكَ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فِي عَمَلِهِ وَتُزَاحِمَهُ فِيهِ جَنْبًا إِلَى جَنْبٍ، وَنَسُوا أَوْ تَنَاسَوْا أَوْ تَجَاهَلُوا مَا تَقُومُ بِهِ الْمَرْأَةُ مِنْ عَمَلٍ جَلِيلٍ دَاخِلَ بَيْتِهَا، وَمَا تُؤَدِّيهِ لِلْمُجْتَمَعِ مِنْ خِدْمَةٍ عَظِيمَةٍ، لَا يَقُومُ بِهَا غَيْرُهَا، تُنَاسِبُ خِلْقَتَهَا، وَتَتَمَشَّى مَعَ فِطْرَتِهَا؛ فَهِيَ الزَّوْجَةُ الَّتِي يَسْكُنُ إِلَيْهَا زَوْجُهَا، وَهِيَ الْأُمُّ وَالْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ، وَهِيَ الْمُرَبِّيَةُ لِلْأَوْلَادِ، وَهِيَ الْقَائِمَةُ بِعَمَلِ الْبَيْتِ، فَلَوْ أَنَّهَا أُخْرِجَتْ مِنَ الْبَيْتِ، وَشَارَكَتِ الرِّجَالَ فِي

Dan mereka tidak memiliki hujjah untuk membenarkan dakwah mereka; kecuali perkataan mereka: bahwa setengah masyarakat menganggur dari pekerjaan. Dan dengan ini mereka ingin agar wanita berpartisipasi dengan laki-laki dalam pekerjaannya dan bersaing dengannya berdampingan, dan mereka lupa atau pura-pura lupa atau mengabaikan apa yang dilakukan wanita dari pekerjaan mulia di dalam rumahnya, dan apa yang dia lakukan untuk masyarakat dari pelayanan besar, yang tidak dapat dilakukan oleh selainnya, sesuai dengan penciptaannya, dan sejalan dengan fitrahnya; karena dia adalah istri yang menjadi tempat ketenangan suaminya, dan dia adalah ibu dan yang mengandung dan menyusui, dan dia adalah pendidik anak-anak, dan dia adalah yang melakukan pekerjaan rumah, seandainya dia dikeluarkan dari rumah, dan berpartisipasi dengan laki-laki dalam

أَعْمَالَهُمْ؛ مَنْ ذَا سَيَقُومُ بِهَذِهِ الْأَعْمَالِ؟! إِنَّهَا سَتَتَعَطَّلُ، وَيَوْمَهَا سَيَفْقِدُ الْمُجْتَمَعُ نِصْفَهُ الثَّانِي؛ فَمَاذَا يُغْنِيهِ النِّصْفُ الْبَاقِي؟! سَيَخْتَلُّ بُنْيَانُهُ، وَتَتَدَاعَى أَرْكَانُهُ.

Pekerjaan mereka; siapa yang akan melakukan pekerjaan ini?! Itu akan terhenti, dan pada hari itu masyarakat akan kehilangan setengah dari bagian keduanya; jadi apa yang bisa dilakukan oleh setengah yang tersisa?! Strukturnya akan rusak, dan pilar-pilarnya akan runtuh.

إِنَّنَا نَقُولُ لِهَؤُلَاءِ الدُّعَاةِ: ثُوبُوا إِلَى رُشْدِكُمْ، وَلَا تَكُونُوا مِمَّنْ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ، كُونُوا دُعَاةَ بِنَاءٍ وَلَا تَكُونُوا دُعَاةَ هَدْمٍ.

Kami berkata kepada para da'i ini: Kembalilah ke akal sehatmu, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menempatkan kaumnya di tempat kebinasaan, jadilah penyeru pembangunan dan jangan menjadi penyeru kehancuran.

أَيَّتُهَا الْمَرْأَةُ الْمُسْلِمَةُ! تَمَسَّكِي بِتَعَالِيمِ دِينِكِ، وَلَا تَغُرَّنَّكِ دَعَايَاتُ الْمُضِلِّينَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ سَلْبَ كَرَامَتِكِ الَّتِي بَوَّأَكِ مَنْزِلَتَهَا دِينُ الْإِسْلَامِ، وَلَيْسَ غَيْرُ الْإِسْلَامِ، وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا؛ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ، وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ.

Wahai wanita muslimah! Berpeganglah pada ajaran agamamu, dan jangan tertipu oleh propaganda orang-orang yang menyesatkan yang ingin merampas kehormatanmu yang telah ditempatkan oleh agama Islam, dan bukan selain Islam, dan barangsiapa mencari agama selain Islam; maka sekali-kali tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.

وَفَّقَنَا اللهُ جَمِيعًا لِمَا فِيهِ الْخَيْرُ وَالصَّلَاحُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.

Semoga Allah memberi kita semua taufik untuk kebaikan dan kebaikan di dunia dan akhirat.

بَابٌ فِي بَيَانِ أَحْكَامِ الْإِمَامَةِ

بَابٌ فِي بَيَانِ أَحْكَامِ الْإِمَامَةِ

Bab tentang penjelasan hukum-hukum imamah

هَذِهِ الْوَظِيفَةُ الدِّينِيَّةُ الْمُهِمَّةُ الَّتِي تَوَلَّاهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ بِنَفْسِهِ، وَتَوَلَّاهَا خُلَفَاؤُهُ الرَّاشِدُونَ.

Ini adalah tugas keagamaan yang penting yang dipikul oleh Rasulullah ﷺ sendiri, dan dipikul oleh para khalifah yang lurus.

وَقَدْ جَاءَ فِي فَضْلِ الْإِمَامَةِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ؛ مِنْهَا: قَوْلُهُ ﷺ: "ثَلَاثَةٌ عَلَى كُثْبَانِ الْمِسْكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"، وَذَكَرَ: "أَنَّ مِنْهُمْ رَجُلًا أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ بِهِ رَاضُونَ "، وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ: "أَنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ ".

Dan telah datang banyak hadits tentang keutamaan imamah; di antaranya: sabda Nabi ﷺ: "Tiga orang di atas tumpukan kesturi pada hari kiamat", dan beliau menyebutkan: "Di antara mereka adalah seorang laki-laki yang menjadi imam suatu kaum dan mereka ridha dengannya", dan dalam hadits yang lain: "Bahwa baginya pahala seperti pahala orang yang shalat di belakangnya".

وَلِهَذَا؛ كَانَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ ﵃ يَقُولُ لِلنَّبِيِّ ﷺ: اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي؛ لِمَا يَعْلَمُونَ فِي ذَلِكَ مِنَ الْفَضِيلَةِ وَالْأَجْرِ.

Oleh karena itu; sebagian sahabat ﵃ berkata kepada Nabi ﷺ: Jadikanlah aku imam kaumku; karena mereka mengetahui keutamaan dan pahala yang ada pada hal tersebut.

لَكِنْ مَعَ الْأَسَفِ الشَّدِيدِ؛ نَرَى فِي وَقْتِنَا هَذَا كَثِيرًا مِنْ طَلَبَةِ الْعِلْمِ

Namun dengan penyesalan yang mendalam; kita melihat pada zaman kita ini banyak dari para penuntut ilmu

يَرْغَبُونَ عَنِ الإِمَامَةِ، وَيَزْهَدُونَ فِيهَا، وَيَتَخَلَّوْنَ عَنِ القِيَامِ بِهَا؛ إِيثَارًا لِلْكَسَلِ وَقِلَّةَ رَغْبَةٍ فِي الخَيْرِ، وَمَا هَذَا إِلَّا تَخْذِيلٌ مِنَ الشَّيْطَانِ.

Mereka enggan menjadi imam, tidak tertarik dengannya, dan meninggalkan kewajiban untuk melakukannya; lebih memilih kemalasan dan kurang keinginan dalam kebaikan, dan ini tidak lain hanyalah godaan dari setan.

فَالَّذِي يَنْبَغِي لَهُمْ بِهَا بِجِدٍّ وَنَشَاطٍ وَاحْتِسَابٍ لِلْأَجْرِ عِنْدَ اللهِ؛ فَإِنَّ طَلَبَةَ العِلْمِ أَوْلَى بِالقِيَامِ بِهَا وَبِغَيْرِهَا مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ.

Apa yang seharusnya mereka lakukan adalah dengan sungguh-sungguh, semangat, dan mengharapkan pahala dari Allah; karena para penuntut ilmu lebih berhak untuk melakukannya dan amalan-amalan saleh lainnya.

وَكُلَّمَا تَوَافَرَتْ مُؤَهِّلَاتُ الإِمَامَةِ فِي شَخْصٍ؛ كَانَ أَوْلَى بِالقِيَامِ بِهَا مِمَّنْ هُوَ دُونَهُ، بَلْ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ القِيَامُ بِهَا إِذَا لَمْ يُوجَدْ غَيْرُهُ:

Dan semakin seseorang memenuhi kualifikasi untuk menjadi imam, maka ia lebih berhak untuk melakukannya daripada orang yang di bawahnya, bahkan ia wajib melakukannya jika tidak ada orang lain:

فَالْأَوْلَى بِالْإِمَامَةِ الْأَجْوَدُ قِرَاءَةً لِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، وَهُوَ الَّذِي يُجِيدُ قِرَاءَةَ القُرْآنِ؛ بِأَنْ يَعْرِفَ مَخَارِجَ الحُرُوفِ، وَلَا يَلْحَنَ فِيهَا، وَيُطَبِّقَ قَوَاعِدَ القِرَاءَةِ مِنْ غَيْرِ تَكَلُّفٍ وَلَا تَنَطُّعٍ، وَيَكُونَ مَعَ ذَلِكَ يَعْرِفُ فِقْهَ صَلَاتِهِ وَمَا يَلْزَمُ فِيهَا؛ كَشُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا وَوَاجِبَاتِهَا وَمُبْطِلَاتِهَا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "يَؤُمُّ القَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ"، وَمَا وَرَدَ بِمَعْنَاهُ مِنَ الأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يُقَدَّمُ فِي الإِمَامَةِ الأَجْوَدُ قِرَاءَةً لِلْقُرْآنِ الكَرِيمِ، الَّذِي يَعْلَمُ فِقْهَ الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّ الأَقْرَأَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ ﷺ يَكُونُ أَفْقَهَ.

Yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik bacaannya terhadap Kitabullah Ta'ala, yaitu yang mahir membaca Al-Qur'an; dengan mengetahui makharij huruf, tidak melakukan kesalahan, dan menerapkan kaidah-kaidah bacaan tanpa dibuat-buat atau berlebihan, dan juga mengetahui fikih shalatnya dan apa yang wajib di dalamnya; seperti syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan hal-hal yang membatalkannya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Yang mengimami suatu kaum adalah yang paling baik bacaannya terhadap Kitabullah", dan hadits-hadits shahih yang semakna dengannya, yang menunjukkan bahwa yang didahulukan dalam imamah adalah yang paling baik bacaannya terhadap Al-Qur'an Al-Karim, yang mengetahui fikih shalat; karena yang paling baik bacaannya pada zaman Nabi ﷺ adalah yang paling faqih.

فَإِذَا اسْتَوَوْا فِي القِرَاءَةِ؛ قُدِّمَ الأَفْقَهُ "أَيِ: الأَكْثَرُ فِقْهًا "؛ لِجَمْعِهِ بَيْنَ مِيزَتَيْنِ: القِرَاءَةِ وَالفِقْهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "فَإِنْ كَانُوا فِي القِرَاءَةِ سَوَاءً؛ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ"؛ أَيْ: أَفْقَهُهُمْ فِي دِينِ اللهِ، وَلِأَنَّ احْتِيَاجَ المُصَلِّي إِلَى الفِقْهِ أَكْثَرُ مِنِ احْتِيَاجِهِ إِلَى القِرَاءَةِ؛ لِأَنَّ مَا يَجِبُ فِي الصَّلَاةِ مِنَ القِرَاءَةِ مَحْصُورٌ، وَمَا يَقَعُ فِيهَا مِنَ الحَوَادِثِ غَيْرُ مَحْصُورٍ.

Jika mereka sama dalam bacaan, maka yang lebih faqih (yaitu: yang lebih banyak pemahamannya) didahulukan; karena ia menggabungkan dua kelebihan: bacaan dan pemahaman; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Jika mereka sama dalam bacaan, maka yang paling mengetahui Sunnah di antara mereka"; yaitu yang paling faqih dalam agama Allah, dan karena kebutuhan orang yang shalat terhadap fikih lebih banyak daripada kebutuhannya terhadap bacaan; karena apa yang wajib dalam shalat dari bacaan itu terbatas, sedangkan kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya tidak terbatas.

فَإِذَا اسْتَوَوْا فِي الْفِقْهِ وَالْقِرَاءَةِ؛ قُدِّمَ الْأَقْدَمُ هِجْرَةً، وَالْهِجْرَةُ الِانْتِقَالُ مِنْ بَلَدِ الشِّرْكِ إِلَى بَلَدِ الْإِسْلَامِ.

Jika mereka setara dalam fiqih dan bacaan Al-Qur'an, maka yang lebih dahulu berhijrah didahulukan. Hijrah adalah perpindahan dari negeri syirik ke negeri Islam.

فَإِذَا اسْتَوَوْا فِي الْقِرَاءَةِ وَالْفِقْهِ وَالْهِجْرَةِ؛ قُدِّمَ الْأَكْبَرُ سِنًّا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ كِبَرَ السِّنِّ فِي الْإِسْلَامِ فَضِيلَةٌ، وَلِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوعِ وَإِجَابَةِ الدُّعَاءِ.

Jika mereka setara dalam bacaan Al-Qur'an, fiqih, dan hijrah, maka yang lebih tua usianya didahulukan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Hendaklah yang menjadi imam kalian adalah yang paling tua di antara kalian", muttafaq 'alaih. Karena usia tua dalam Islam adalah keutamaan, dan karena ia lebih dekat kepada khusyuk dan terkabulnya doa.

وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ الْحَدِيثُ الَّذِي رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ ﵁ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ؛ قَالَ: "يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً؛ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً؛ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً؛ فَأَقْدَمُهُمْ سِنًّا".

Dalil untuk urutan ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Mas'ud Al-Badri ﵁ dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: "Yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling bagus bacaannya terhadap Kitabullah. Jika mereka sama dalam bacaan, maka yang paling mengetahui Sunnah. Jika mereka sama dalam Sunnah, maka yang paling dahulu hijrahnya. Jika mereka sama dalam hijrah, maka yang paling tua usianya."

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "فَقَدَّمَ النَّبِيُّ ﷺ بِالْفَضِيلَةِ بِالْعِلْمِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَإِنِ اسْتَوَوْا فِي الْعِلْمِ؛ قَدَّمَ بِالسَّبْقِ إِلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ، وَقَدَّمَ السَّابِقَ بِاخْتِيَارِهِ إِلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ "وَهُوَ الْمُهَاجِرُ" عَلَى مَنْ سَبَقَ بِخَلْقِ اللَّهِ وَهُوَ كِبَرُ السِّنِّ" انْتَهَى.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Nabi ﷺ mendahulukan keutamaan dengan ilmu tentang Al-Kitab dan As-Sunnah. Jika mereka setara dalam ilmu, beliau mendahulukan yang lebih dahulu dalam amal shalih. Beliau mendahulukan orang yang lebih dahulu dengan pilihannya sendiri kepada amal shalih -yaitu orang yang berhijrah- atas orang yang lebih dahulu karena ciptaan Allah, yaitu usia tua." Selesai.

وَهُنَاكَ اعْتِبَارَاتٌ يُقَدَّمُ أَصْحَابُهَا فِي الْإِمَامَةِ عَلَى مَنْ حَضَرَ وَلَوْ كَانَ افْضَلَ مِنْهُ، وَهِيَ:

Ada beberapa pertimbangan yang pemiliknya didahulukan dalam imamah atas orang yang hadir meskipun ia lebih utama darinya, yaitu:

أَوَّلًا: إِمَامُ الْمَسْجِدِ الرَّاتِبُ إِذَا كَانَ أَهْلًا لِلْإِمَامَةِ؛ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَقَدَّمَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ، وَلَوْ كَانَ أَفْضَلَ مِنْهُ؛ إِلَّا بِإِذْنِهِ.

Pertama: Imam masjid yang rutin, jika ia layak untuk menjadi imam, maka tidak boleh didahului oleh orang lain, meskipun orang tersebut lebih utama darinya, kecuali dengan izinnya.

ثَانِيًا: صَاحِبُ الْبَيْتِ إِذَا كَانَ يَصْلُحُ لِلْإِمَامَةِ؛ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَتَقَدَّمَ عَلَيْهِ أَحَدٌ فِي الْإِمَامَةِ؛ إِلَّا بِإِذْنِهِ.

Kedua: Pemilik rumah jika dia layak untuk menjadi imam; tidak boleh ada yang mendahuluinya dalam imamah; kecuali dengan izinnya.

ثَالِثًا: السُّلْطَانُ، وَهُوَ الْإِمَامُ الْأَعْظَمُ أَوْ نَائِبُهُ؛ فَلَا يَتَقَدَّمُ عَلَيْهِ أَحَدٌ فِي الْإِمَامَةِ؛ إِلَّا بِإِذْنِهِ، إِذَا كَانَ يَصْلُحُ لِلْإِمَامَةِ.

Ketiga: Penguasa, yaitu imam agung atau wakilnya; maka tidak boleh ada yang mendahuluinya dalam imamah; kecuali dengan izinnya, jika dia layak untuk menjadi imam.

وَالدَّلِيلُ عَلَى تَقْدِيمِ أَصْحَابِ هَذِهِ الِاعْتِبَارَاتِ عَلَى غَيْرِهِمْ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ مِنْ قَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي بَيْتِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ"، وَسُلْطَانُهُ مَحَلُّ وِلَايَتِهِ أَوْ مَا يَمْلِكُهُ.

Dan dalil untuk mendahulukan pemilik pertimbangan ini atas yang lainnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari sabda Nabi ﷺ: "Janganlah seseorang mengimami orang lain di rumahnya atau di wilayah kekuasaannya kecuali dengan izinnya", dan wilayah kekuasaannya adalah tempat kepemimpinannya atau apa yang dia miliki.

قَالَ الْخَطَّابِيُّ: "مَعْنَاهُ: أَنَّ صَاحِبَ الْمَنْزِلِ أَوْلَى فَالْإِمَامَةُ فِي بَيْتِهِ إِذَا كَانَ مِنَ الْقِرَاءَةِ أَوِ الْعِلْمِ بِمَحَلٍّ يُمْكِنُهُ أَنْ يُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَإِذَا كَانَ إِمَامُ الْمَسْجِدِ قَدْ وَلَّاهُ السُّلْطَانُ أَوْ نَائِبُهُ أَوِ اتَّفَقَ عَلَى تَقْدِيمِهِ أَهْلُ الْمَسْجِدِ؛ فَهُوَ أَحَقُّ؛ لِأَنَّهَا وِلَايَةٌ خَاصَّةٌ، وَلِأَنَّ التَّقَدُّمَ عَلَيْهِ يُسِيءُ الظَّنَّ بِهِ، وَيُنَفِّرُ عَنْهُ ".

Al-Khattabi berkata: "Maknanya adalah: bahwa pemilik rumah lebih berhak untuk menjadi imam di rumahnya jika dia memiliki kemampuan membaca atau ilmu yang memungkinkannya untuk mendirikan shalat, dan jika imam masjid telah ditunjuk oleh penguasa atau wakilnya atau disepakati oleh jamaah masjid untuk mengimami mereka; maka dia lebih berhak; karena itu adalah kepemimpinan khusus, dan karena mendahuluinya akan menimbulkan prasangka buruk terhadapnya, dan menjauhkan darinya."

مِمَّا تَقَدَّمَ يَتَبَيَّنُ لَكَ شَرَفُ الْإِمَامَةِ فِي الصَّلَاةِ وَفَضْلُهَا وَمَكَانَتُهَا فِي الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ فِي الصَّلَاةِ قُدْوَةٌ، وَالْإِمَامَةُ مَرْتَبَةٌ شَرِيفَةٌ؛ فَهِيَ سَبْقٌ إِلَى الْخَيْرِ، وَعَوْنٌ عَلَى الطَّاعَةِ وَمُلَازَمَةِ الْجَمَاعَةِ، وَبِهَا تُعْمَرُ الْمَسَاجِدُ بِالطَّاعَةِ، وَهِيَ دَاخِلَةٌ فِي عُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى فِيمَا حَكَاهُ مِنْ دُعَاءِ

Dari apa yang telah disebutkan, jelaslah bagimu kemuliaan imamah dalam shalat, keutamaannya, dan kedudukannya dalam Islam; karena imam dalam shalat adalah teladan, dan imamah adalah kedudukan yang mulia; ia adalah kecepatan menuju kebaikan, pertolongan untuk ketaatan dan komitmen terhadap jamaah, dan dengannya masjid-masjid makmur dengan ketaatan, dan ia termasuk dalam keumuman firman Allah Ta'ala dalam apa yang Dia ceritakan dari doa

عِبَادُ الرَّحْمَنِ: ﴿وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا﴾ .

Hamba-hamba Ar-Rahman: "Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.'"

فَالْإِمَامَةُ فِي الصَّلَاةِ مِنَ الْإِمَامَةِ فِي الدِّينِ، وَلَا سِيَّمَا إِذَا كَانَ الْإِمَامُ يَبْذُلُ النُّصْحَ وَالْوَعْظَ وَالتَّذْكِيرَ لِمَنْ يَحْضُرُهُ فِي الْمَسْجِدِ، فَإِنَّهُ بِذَلِكَ مِنَ الدُّعَاةِ إِلَى اللهِ، الَّذِينَ يَجْمَعُونَ بَيْنَ صَالِحِ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ، ﴿وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ﴾؛

Maka kepemimpinan dalam shalat adalah bagian dari kepemimpinan dalam agama, terlebih lagi jika imam memberikan nasihat, peringatan, dan pengingat kepada mereka yang hadir di masjid, maka dia termasuk di antara para penyeru kepada Allah, yang menggabungkan antara perkataan dan perbuatan yang baik, "Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan, dan berkata, 'Sungguh, aku termasuk orang-orang Muslim (yang berserah diri)?'"

فَلَا يَرْغَبُ عَنِ الْقِيَامِ بِالْإِمَامَةِ إِلَّا مَحْرُومٌ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ.

Maka tidaklah enggan untuk menjadi imam kecuali orang yang terhalang (dari kebaikan), dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

بَابٌ فِي مَنْ لَا تَصِحُّ إِمَامَتُهُ فِي الصَّلَاةِ

بَابٌ فِي مَنْ لَا تَصِحُّ إِمَامَتُهُ فِي الصَّلَاةِ

Bab tentang orang yang tidak sah menjadi imam dalam shalat

إِنَّ الْإِمَامَةَ فِي الصَّلَاةِ مَسْؤُولِيَّةٌ كُبْرَى، وَكَمَا أَنَّهَا تَحْتَاجُ إِلَى مُؤَهِّلَاتٍ يَجِبُ تَوَافُرُهَا فِي الْإِمَامِ أَوْ يُسْتَحَبُّ تَحَلِّيَةً بِهَا؛ كَذَلِكَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ سَلِيمًا مِنْ صِفَاتٍ تَمْتَعُهُ مِنْ تَسَنُّمِ هَذَا الْمَنْصِبِ أَوْ تَنْقُصُ أَهْلِيَّتَهُ لَهُ:

Sesungguhnya imamah dalam shalat adalah tanggung jawab yang besar, dan sebagaimana ia membutuhkan kualifikasi yang harus dimiliki oleh imam atau dianjurkan untuk memilikinya; demikian pula imam harus bebas dari sifat-sifat yang mencegahnya dari menduduki jabatan ini atau mengurangi kelayakannya untuk itu:

فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَلِّيَ الْفَاسِقُ إِمَامَةَ الصَّلَاةِ، وَالْفَاسِقُ هُوَ مَنْ خَرَجَ عِنْدَ حَدِّ الِاسْتِقَامَةِ بِارْتِكَابِ كَبِيرَةٍ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ الَّتِي هِيَ دُونَ الشِّرْكِ.

Maka tidak boleh mengangkat orang fasik menjadi imam shalat, dan orang fasik adalah orang yang keluar dari batas istiqamah dengan melakukan dosa besar dari dosa-dosa besar yang lebih rendah dari syirik.

وَالْفِسْقُ نَوْعَانِ: فِسْقٌ عَمَلِيٌّ، وَفِسْقٌ اعْتِقَادِيٌّ.

Dan kefasikan ada dua jenis: kefasikan perbuatan dan kefasikan keyakinan.

فَالْفِسْقُ الْعَمَلِيُّ: كَارْتِكَابِ فَاحِشَةِ الزِّنَى، وَالسَّرِقَةِ، وَشُرْبِ الْخَمْرِ ... وَنَحْوِ ذَلِكَ.

Kefasikan perbuatan: seperti melakukan perbuatan keji zina, pencurian, meminum khamar ... dan sejenisnya.

وَالْفِسْقُ الِاعْتِقَادِيُّ: كَالرَّفْضِ، وَالِاعْتِزَالِ، وَالتَّجَهُّمِ.

Kefasikan keyakinan: seperti Rafidhah, Mu'tazilah, dan Jahmiyyah.

فَلَا يَجُوزُ تَوْلِيَةُ إِمَامَةِ الصَّلَاةِ الْفَاسِقَ؛ لِأَنَّ الْفَاسِقَ لَا يُقْبَلُ خَبَرُهُ، قَالَ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا﴾؛ فَلَا

Maka tidak boleh mengangkat orang fasik menjadi imam shalat; karena orang fasik tidak diterima kabarnya, Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti"; maka tidak

يُؤْمَنُ عَلَى شَرَائِطِ الصَّلَاةِ وَأَحْكَامِهَا، وَلِأَنَّهُ يَكُونُ قُدْوَةً سَيِّئَةً لِغَيْرِهِ؛ فَفِي تَوْلِيَتِهِ مَفَاسِدُ.

Dia dipercaya untuk memenuhi syarat-syarat shalat dan hukum-hukumnya, dan karena dia akan menjadi teladan yang buruk bagi orang lain; maka dalam pengangkatannya terdapat kerusakan.

وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا، وَلَا أَعْرَابِيًّا مُهَاجِرًا، وَلَا فَاجِرٌ مُؤْمِنًا؛ إِلَّا أَنْ يَقْهَرَهُ بِسُلْطَانٍ يَخَافُ سَوْطَهُ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَالشَّاهِدُ مِنْهُ قَوْلُهُ: "وَلَا فَاجِرٌ مُؤْمِنًا"، وَالْفُجُورُ هُوَ الْعُدُولُ عَنِ الْحَقِّ.

Nabi ﷺ bersabda: "Janganlah seorang wanita mengimami seorang laki-laki, seorang Arab badui mengimami seorang Muhajir, dan seorang yang fasik mengimami seorang mukmin; kecuali jika dia menguasainya dengan kekuasaan yang ditakuti cambuknya", diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan yang menjadi saksi darinya adalah sabdanya: "Dan janganlah seorang yang fasik mengimami seorang mukmin", dan kefasikan adalah berpaling dari kebenaran.

فَالصَّلَاةُ خَلْفَ الْفَاسِقِ مَنْهِيٌّ عَنْهَا، وَلَا يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ؛ فَيَحْرُمُ عَلَى الْمَسْؤُولِينَ تَنْصِيبُ الْفَاسِقِ إِمَامًا لِلصَّلَوَاتِ؛ لِأَنَّهُمْ مَأْمُورُونَ بِمُرَاعَاةِ الْمَصَالِحِ؛ فَلَا يَجُوزُ لَهُمْ أَنْ يُوقِعُوا النَّاسَ فِي صَلَاةٍ مَكْرُوهَةٍ، بَلْ قَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي صِحَّةِ الصَّلَاةِ خَلْفَ الْفَاسِقِ، وَمَا كَانَ كَذَلِكَ؛ وَجَبَ تَجْنِيبُ النَّاسِ مِنَ الْوُقُوعِ فِيهِ.

Shalat di belakang orang fasik dilarang, dan tidak boleh mendahulukannya jika mampu melakukannya; maka haram bagi para penanggung jawab untuk mengangkat orang fasik sebagai imam shalat; karena mereka diperintahkan untuk memperhatikan kemaslahatan; maka tidak boleh bagi mereka menjatuhkan orang-orang ke dalam shalat yang makruh, bahkan para ulama telah berselisih pendapat tentang keabsahan shalat di belakang orang fasik, dan apa yang demikian itu; wajib menjauhkan orang-orang dari terjerumus ke dalamnya.

وَلَا تَصِحُّ إِمَامَةُ الْعَاجِزِ عَنْ رُكُوعٍ أَوْ سُجُودٍ أَوْ قُعُودٍ؛ إِلَّا بِمِثْلِهِ؛ أَيْ: مُسَاوِيَةٍ فِي الْعَجْزِ عَنْ رُكْنٍ أَوْ شَرْطٍ، وَكَذَا لَا تَصِحُّ إِمَامَةُ الْعَاجِزِ عَنِ الْقِيَامِ لِقَادِرٍ عَلَيْهِ؛ إِلَّا إِذَا كَانَ الْعَاجِزُ عَنِ الْقِيَامِ إِمَامًا رَاتِبًا لِمَسْجِدٍ، وَعَرَضَ لَهُ عَجْزٌ عَنِ الْقِيَامِ يُرْجَى زَوَالُهُ؛ فَتَجُوزُ الصَّلَاةُ خَلْفَهُ، وَيُصَلُّونَ خَلْفَهُ فِي تِلْكَ الْحَالِ جُلُوسًا؛ لِقَوْلِ عَائِشَةَ ﵂: صَلَّى النَّبِيُّ ﷺ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاكٍ، فَصَلَّى جَالِسًا، وَصَلَّى وَرَاءَهُ قَوْمٌ قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا، فَلَمَّا انْصَرَفَ؛ قَالَ: "إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ ... " الْحَدِيثَ، وَفِيهِ: "وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا؛

Dan tidak sah imamah orang yang tidak mampu rukuk, sujud, atau duduk; kecuali dengan yang semisalnya; yaitu: yang setara dalam ketidakmampuan terhadap rukun atau syarat, dan demikian pula tidak sah imamah orang yang tidak mampu berdiri bagi orang yang mampu melakukannya; kecuali jika orang yang tidak mampu berdiri adalah imam tetap bagi masjid, dan dia mengalami ketidakmampuan berdiri yang diharapkan hilang; maka boleh shalat di belakangnya, dan mereka shalat di belakangnya dalam keadaan itu dengan duduk; karena perkataan Aisyah ﵂: Nabi ﷺ shalat di rumahnya dalam keadaan sakit, beliau shalat dengan duduk, dan orang-orang shalat di belakangnya dengan berdiri, lalu beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk, ketika selesai; beliau bersabda: "Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti ..." hadits, dan di dalamnya: "Dan jika dia shalat dengan duduk;

فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ"، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْإِمَامَ الرَّاتِبَ يَحْتَاجُ إِلَى تَقْدِيمِهِ.

"Maka mereka semua shalat dengan duduk", karena imam tetap membutuhkan untuk memimpin mereka.

وَلَوْ صَلَّوْا خَلْفَهُ قِيَامًا أَوْ صَلَّى بَعْضُهُمْ قَائِمًا فِي تِلْكَ الْحَالَةِ؛ صَحَّتْ صَلَاتُهُمْ عَلَى الصَّحِيحِ، وَإِنْ اسْتَخْلَفَ الْإِمَامُ فِي تِلْكَ الْحَالِ مَنْ يُصَلِّي بِهِمْ قَائِمًا؛ فَهُوَ أَحْسَنُ؛ خُرُوجًا عَلَى الْخِلَافِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ اسْتَخْلَفَ؛ فَقَدْ فَعَلَ الْأَمْرَيْنِ؛ بَيَانًا لِلْجَوَازِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Jika mereka shalat di belakangnya dengan berdiri atau sebagian dari mereka shalat dengan berdiri dalam keadaan tersebut; maka shalat mereka sah menurut pendapat yang benar. Jika imam menunjuk pengganti dalam keadaan tersebut untuk memimpin shalat mereka dengan berdiri; maka itu lebih baik; untuk keluar dari perbedaan pendapat. Karena Nabi ﷺ pernah menunjuk pengganti; beliau melakukan dua hal tersebut; sebagai penjelasan tentang kebolehannya, dan Allah lebih mengetahui.

وَلَا تَصِحُّ إِمَامَةُ مَنْ حَدَثُهُ دَائِمٌ؛ كَمَنْ بِهِ سَلَسٌ أَوْ خُرُوجُ رِيحٍ أَوْ نَحْوُهُ مُسْتَمِرٌّ؛ إِلَّا بِمَنْ هُوَ مِثْلُهُ فِي هَذِهِ الْآفَةِ، أَمَّا الصَّحِيحُ؛ فَلَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ خَلْفَهُ؛ لِأَنَّ فِي صَلَاتِهِ خَلَلًا غَيْرَ مَجْبُورٍ بِبَدَلٍ؛ لِأَنَّهُ يُصَلِّي مَعَ خُرُوجِ النَّجَاسَةِ الْمُنَافِي لِلطَّهَارَةِ، وَإِنَّمَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ لِلضَّرُورَةِ، وَبِمِثْلِهِ لِتَسَاوِيهِمَا فِي خُرُوجِ الْخَارِجِ الْمُسْتَمِرِّ.

Tidak sah menjadi imam bagi orang yang hadatsnya terus-menerus; seperti orang yang mengalami inkontinensia urin atau kentut atau sejenisnya yang terus-menerus; kecuali bagi orang yang sama dengannya dalam penyakit ini. Adapun orang yang sehat; maka shalatnya tidak sah di belakangnya; karena dalam shalatnya terdapat kekurangan yang tidak bisa ditutupi dengan pengganti; karena dia shalat dengan keluarnya najis yang bertentangan dengan kesucian. Shalatnya sah karena darurat, dan dengan orang yang sama dengannya karena kesamaan mereka dalam keluarnya sesuatu yang terus-menerus.

وَإِنْ صَلَّى خَلْفَ مُحْدِثٍ أَوْ مُتَنَجِّسٍ بِبَدَنِهِ أَوْ ثَوْبِهِ أَوْ بُقْعَتِهِ، وَلَمْ يَكُونَا يَعْلَمَانِ بِتِلْكَ النَّجَاسَةِ أَوِ الْحَدَثِ حَتَّى فَرَغَ مِنَ الصَّلَاةِ؛ صَحَّتْ صَلَاةُ الْمَأْمُومِ دُونَ الْإِمَامِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِذَا صَلَّى الْجُنُبُ بِالْقَوْمِ؛ أَعَادَ صَلَاتَهُ،

Jika seseorang shalat di belakang orang yang berhadas atau bernajis pada badan, pakaian, atau tempatnya, dan keduanya tidak mengetahui najis atau hadas tersebut hingga selesai shalat; maka shalat makmum sah, tidak dengan imam; karena sabda Nabi ﷺ: "Jika orang junub shalat bersama orang-orang; dia mengulangi shalatnya,

وَتَمَّتْ لِلْقَوْمِ صَلَاتُهُمْ".

Dan shalat mereka telah selesai".

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "وَبِذَلِكَ مَضَتْ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ؛ فَإِنَّهُمْ صَلَّوْا بِالنَّاسِ، ثُمَّ رَأَوُا الْجَنَابَةَ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَأَعَادُوا، وَلَمْ يَأْمُرُوا النَّاسَ بِالْإِعَادَةِ، وَإِنْ عَلِمَ الْإِمَامُ أَوِ الْمَأْمُومُ بِالْحَدَثِ أَوِ النَّجَاسَةِ فِي أَثْنَاءِ الصَّلَاةِ؛ بَطَلَتْ صَلَاتُهُمْ"١

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Demikianlah sunnah Khulafaur Rasyidin; mereka shalat bersama orang-orang, kemudian mereka melihat junub setelah shalat, lalu mereka mengulangi, dan tidak memerintahkan orang-orang untuk mengulangi. Jika imam atau makmum mengetahui hadats atau najis di tengah shalat; maka shalat mereka batal."1

وَلَا تَصِحُّ إِمَامَةُ الْأُمِّيِّ، وَالْمُرَادُ بِهِ هُنَا مَنْ لَا يَحْفَظُ سُورَةَ الْفَاتِحَةِ أَوْ يَحْفَظُهَا وَلَكِنْ لَا يُحْسِنُ قِرَاءَتَهَا؛ كَأَنْ يَلْحَنَ فِيهَا لَحْنًا يُحِيلُ الْمَعْنَى؛ كَكَسْرِ كَافِ ﴿وَإِيَّاكَ﴾، وَضَمِّ تَاءِ ﴿أَنْعَمْتَ﴾، وَفَتْحِ هَمْزَةِ ﴿اهْدِنَا﴾، أَوْ يُبْدِلَ حَرْفًا بِغَيْرِهِ، وَهُوَ الْأَلْثَغُ، كَمَنْ يُبْدِلُ الرَّاءَ غَيْنًا أَوْ لَامًا، أَوِالسِّينَ تَاءً ... وَنَحْوَ ذَلِكَ؛ فَلَا تَصِحُّ إِمَامَةُ الْأُمِّيِّ إِلَّا بِأُمِّيٍّ بِمِثْلِهِ؛ لِتَسَاوِيهِمَا، إِذَا كَانُوا عَاجِزِينَ عَنْ إِصْلَاحِهِنَّ فَإِنْ قَدَرَ الْأُمِّيُّ عَلَى الْإِصْلَاحِ لِقِرَاءَتِهِ؛ لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ وَلَا صَلَاةُ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ؛ لِأَنَّهُ تَرَكَ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ.

Tidak sah imamah orang yang buta huruf, yang dimaksud di sini adalah orang yang tidak menghafal surah Al-Fatihah atau menghafalnya tetapi tidak bisa membacanya dengan baik; seperti melakukan kesalahan yang mengubah makna; seperti mengkasrahkan kaf ﴿وَإِيَّاكَ﴾, mendhammahkan ta' ﴿أَنْعَمْتَ﴾, dan memfathahkan hamzah ﴿اهْدِنَا﴾, atau mengganti huruf dengan yang lain, yaitu cadel, seperti orang yang mengganti ra' dengan ghain atau lam, atau sin dengan ta' ... dan sebagainya; maka tidak sah imamah orang yang buta huruf kecuali dengan orang yang buta huruf yang sama; karena keduanya setara, jika mereka tidak mampu memperbaikinya. Jika orang yang buta huruf mampu memperbaiki bacaannya; maka shalatnya tidak sah dan shalat orang yang shalat di belakangnya; karena dia meninggalkannya padahal mampu melakukannya.

وَيُكْرَهُ أَنْ يَؤُمَّ الرَّجُلُ قَوْمًا أَكْثَرُهُمْ يَكْرَهُهُ بِحَقٍّ؛ بِأَنْ تَكُونَ كَرَاهَتُهُمْ لَهَا مُبَرِّرٌ مِنْ نَقْصٍ فِي دِينِهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "ثَلَاثَةٌ لَا تَجَاوَزُ صَلَاتُهُمْ

Makruh bagi seorang laki-laki untuk menjadi imam bagi suatu kaum yang mayoritas membencinya dengan benar; dengan alasan kebencian mereka kepadanya karena kekurangan dalam agamanya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Tiga orang yang shalat mereka tidak melampaui

١ وَبَعْضُ الْعُلَمَاءِ يَرَى أَنَّ صَلَاةَ الْمَأْمُومِينَ لَا تَبْطُلُ، وَأَنَّ الْإِمَامَ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَسْتَخْلِفُ مَنْ يُكْمِلُ الصَّلَاةَ بِهِمْ.

1 Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat para makmum tidak batal, dan bahwa imam dalam keadaan ini menunjuk pengganti yang menyempurnakan shalat bersama mereka.

ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ: الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ، وَأَمْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ"، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ.

Ada tiga orang yang shalatnya tidak melewati telinga mereka: Hamba yang melarikan diri sampai dia kembali, istri yang bermalam sementara suaminya marah kepadanya, dan imam suatu kaum sementara mereka membencinya", diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dia menghasankannya.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَةَ ﵀: "إِذَا كَانُوا يَكْرَهُونَهُ لِأَمْرٍ فِي دِينِهِ؛ مِثْلَ كَذِبَةٍ أَوْ ظُلْمِهِ أَوْ جَهْلِهِ أَوْ بِدْعَتِهِ وَنَحْوَ ذَلِكَ، وَيُحِبُّونَ آخَرَ أَصْلَحَ مِنْهُ فِي دِينِهِ؛ مِثْلَ أَنْ يَكُونَ أَصْدَقَ أَوْ أَعْلَمَ أَوْ أَدْيَنَ؛ فَإِنَّهُ يَجِبُ أَنْ يُوَلَّى عَلَيْهِمْ هَذَا الَّذِي يُحِبُّونَهُ، وَلَيْسَ لِذَلِكَ الرَّجُلِ الَّذِي يَكْرَهُونَهُ أَنْ يُؤَمَّهُمْ؛ كَمَا فِي الْحَدِيثِ عَنْهُ ﷺ؛ أَنَّهُ قَالَ: "ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ ك رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَرَجُلٌ لَا يَأْتِي الصَّلَاةَ إِلَّا دُبَارًا، وَرَجُلٌ اعْتَبَدَ مُحَرَّرًا" "

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Jika mereka membencinya karena suatu perkara dalam agamanya; seperti kedustaan, kezaliman, kebodohan, bid'ah dan semisalnya, dan mereka menyukai orang lain yang lebih baik darinya dalam agamanya; seperti lebih jujur, lebih berilmu, atau lebih taat; maka wajib mengangkat orang yang mereka sukai ini atas mereka, dan tidak boleh bagi orang yang mereka benci itu untuk menjadi imam mereka; sebagaimana dalam hadits dari beliau ﷺ; bahwasanya beliau bersabda: "Tiga orang yang shalatnya tidak melewati telinga mereka seperti seorang laki-laki yang mengimami suatu kaum sementara mereka membencinya, seorang laki-laki yang tidak mendatangi shalat kecuali di akhir waktu, dan seorang laki-laki yang memperbudak orang merdeka" "

وَقَالَ أَيْضًا: "إِذَا كَانَ بَيْنَهُمْ مُعَادَاةٌ مِنْ جِنْسِ مُعَادَاةِ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ وَالْمَذَاهِبِ؛ لَمْ يَنْبَغِ أَنْ يُؤَمَّهُمْ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالصَّلَاةِ جَمَاعَةً أَنْ يَتِمَّ الِائْتِلَافُ، وَقَالَ ﷺ: "لَا تَخْتَلِفُوا؛ فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ" " اهـ.

Beliau juga berkata: "Jika di antara mereka terdapat permusuhan dari jenis permusuhan ahli hawa nafsu dan mazhab-mazhab; maka tidak sepatutnya dia mengimami mereka; karena tujuan shalat berjamaah adalah agar terwujud kerukunan, dan Nabi ﷺ bersabda: "Janganlah kalian berselisih; maka hati-hati kalian akan berselisih" " Selesai.

أَمَّا إِذَا كَانَ الْإِمَامُ ذَا دِينٍ وَسُنَّةٍ، وَكَرِهُوهُ لِذَلِكَ؛ لَمْ تُكْرَهْ الْإِمَامَةُ فِي حَقِّهِ، وَإِنَّمَا الْعَتْبُ عَلَى مَنْ كَرِهَهُ.

Adapun jika imam tersebut memiliki agama dan sunnah, namun mereka membencinya karena hal itu; maka imamah tidak dimakruhkan dalam haknya, dan sesungguhnya celaan itu atas orang yang membencinya.

وَعَلَى كُلٍّ؛ فَيَنْبَغِي الِائْتِلَافُ بَيْنَ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِينَ، وَالتَّعَاوُنُ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى، وَتَرْكُ التَّشَاحُنِ وَالتَّبَاغُضِ تَبَعًا لِلْأَهْوَاءِ وَالْأَغْرَاضِ الشَّيْطَانِيَّةِ؛

Bagaimanapun juga; maka seyogyanya ada kerukunan antara imam dan makmum, saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta meninggalkan permusuhan dan kebencian yang mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan setan;

فَيَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يُرَاعِيَ حَقَّ الْمَأْمُومِينَ، وَلَا يَشُقَّ عَلَيْهِمْ، وَيَحْتَرِمَ شُعُورَهُمْ، وَيَجِبُ عَلَى الْمَأْمُومِينَ أَنْ يُرَاعُوا حَقَّ الْإِمَامِ، وَيَحْتَرِمُوهُ،

Maka seorang imam harus memperhatikan hak-hak makmum, tidak mempersulit mereka, dan menghormati perasaan mereka. Makmum juga harus memperhatikan hak-hak imam dan menghormatinya.

وَبِالْجُمْلَةِ؛ فَيَنْبَغِي لِكُلٍّ مِنْهُمَا أَنْ يَتَحَمَّلَ مَا يُوَاجِهُهُ مِنَ الْآخَرِ مِنْ بَعْضِ الِانْتِقَادَاتِ الَّتِي لَا تُخِلُّ بِالدِّينِ وَالْمُرُوءَةِ وَالْإِنْسَانُ مُعَرَّضٌ لِلنَّقْصِ:

Singkatnya, masing-masing dari mereka harus menanggung kritik dari yang lain yang tidak bertentangan dengan agama dan kehormatan, dan manusia itu rentan terhadap kekurangan.

وَمَنْ ذَا الَّذِي تُرْضَى سَجَايَاهُ كُلُّهَا ... كَفَى الْمَرْءَ نُبْلًا أَنْ تُعَدَّ مَعَايُبُهُ

Siapakah yang semua sifatnya disukai ... Cukuplah kemuliaan seseorang jika aibnya dapat dihitung

هَذَا، وَنَسْأَلُ اللَّهَ لِلْجَمِيعِ الْهِدَايَةَ وَالتَّوْفِيقَ.

Ini, dan kami memohon kepada Allah agar memberi petunjuk dan taufik kepada semua.

بَابٌ فِيمَا يُشْرَعُ لِلْإِمَامِ فِي الصَّلَاةِ

بَابٌ فِيمَا يُشْرَعُ لِلْإِمَامِ فِي الصَّلَاةِ

Bab tentang apa yang disyariatkan bagi imam dalam shalat

الْإِمَامُ عَلَيْهِ مَسْئُولِيَّةٌ عَظِيمَةٌ، وَهُوَ ضَامِنٌ، وَلَهُ الْخَيْرُ الْكَثِيرُ إِنْ أَحْسَنَ وَفَضْلُ الْإِمَامَهِ مَشْهُورٌ، تَوَلَّاهَا النَّبِيُّ ﷺ وَخُلَفَاؤُهُ، وَلَمْ يَخْتَارُوا لَهَا إِلَّا الْأَفْضَلَ وَفِي الْحَدِيثِ: "ثَلَاثَةٌ عَلَى كُثْبَانِ الْمِسْكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ بِهِ رَاضُونَ...." الْحَدِيثَ، وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ أَنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ.

Imam memiliki tanggung jawab yang besar, dan dia adalah penjamin, dan dia memiliki banyak kebaikan jika dia melakukan dengan baik. Keutamaan menjadi imam terkenal, Nabi ﷺ dan para khalifahnya mengembannya, dan mereka tidak memilih untuk itu kecuali yang terbaik. Dalam hadits disebutkan: "Tiga orang berada di atas tumpukan minyak wangi pada hari kiamat: seorang laki-laki yang mengimami suatu kaum dan mereka ridha dengannya...." hadits. Dan dalam hadits lain disebutkan bahwa dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang shalat di belakangnya.

وَمَنْ عَلِمَ مِنْ نَفْسِهِ الْكَفَاءَةَ؛ فَلَا مَانِعَ مِنْ طَلَبِهِ لِلْإِمَامَةِ؛ فَقَدْ قَالَ أَحَدُ الصَّحَابَةِ لِلنَّبِيِّ ﷺ: إِجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي، قَالَ: "أَنْتَ إِمَامُهُمْ، وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ"، وَيَشْهَدُ لِذَلِكَ أَيْضًا قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا﴾ .

Barangsiapa yang mengetahui kemampuan dirinya, maka tidak ada larangan untuk meminta menjadi imam. Salah seorang sahabat pernah berkata kepada Nabi ﷺ: "Jadikanlah aku imam kaumku." Beliau bersabda: "Engkau adalah imam mereka, dan ikutilah yang paling lemah di antara mereka." Hal itu juga diperkuat oleh firman Allah Ta'ala: "Dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa."

وَيَنْبَغِي لِمَنْ تَوَلَّى الْإِمَامَةَ أَنْ يَهْتَمَّ بِشَأْنِهَا، وَأَنْ يُوَفِّيَهَا حَقَّهَا مَا سْتَطَاعَ، وَلَهُ فِي ذَلِكَ أَجْرٌ عَظِيمٌ، وَيُرَاعِي حَالَةَ الْمَأْمُومِينَ، وَيُقَدِّرُ ظُرُوفَهُمْ، وَيَتَجَنَّبُ إِحْرَاجَهُمْ

Orang yang menjadi imam hendaknya memperhatikan urusannya, memenuhi haknya semaksimal mungkin, dan dia mendapatkan pahala yang besar dalam hal itu. Dia juga harus memperhatikan keadaan makmum, mempertimbangkan kondisi mereka, dan menghindari membuat mereka malu.

وَيُرَغِّبُهُمْ وَلَا يُنَفِّرُهُمْ؛ عَمَلًا بِقَوْلِهِ ﷺ: "إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ؛ فَلْيُخَفِّفْ؛ فَإِنَّ فِيهِمُ السَّقِيمَ وَالضَّعِيفَ وَذُو الْحَاجَةِ، وَإِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ؛ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ"، رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁.

Dan dia membuat mereka tertarik dan tidak menjauhkan mereka; mengamalkan sabda Nabi ﷺ: "Jika salah seorang dari kalian shalat bersama orang-orang, maka hendaklah dia meringankan; karena di antara mereka ada yang sakit, lemah, dan memiliki keperluan. Jika dia shalat untuk dirinya sendiri, maka dia boleh memanjangkan sesukanya," diriwayatkan oleh Jamaah dari hadits Abu Hurairah ﵁.

وَفِي "الصَّحِيحِ" مِنْ حَدِيثِ أَبِي مَسْعُودٍ: "أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ؛ فَأَيُّكُمْ أَمَّ النَّاسَ؛ فَلْيُوجِزْ؛ فَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالْكَبِيرَ وَذَا الْحَاجَةِ".

Dalam "Shahih" dari hadits Abu Mas'ud: "Wahai manusia! Sesungguhnya di antara kalian ada yang menjauhkan orang; siapa pun di antara kalian yang mengimami orang-orang, hendaklah dia meringkas; karena di antara mereka ada yang lemah, tua, dan memiliki keperluan."

وَيَقُولُ أَحَدُ الصَّحَابَةِ: "مَا صَلَّيْتُ خَلْفَ إِمَامٍ قَطُّ أَخَفَّ صَلَاةً وَلَا أَتَمَّ مِنَ النَّبِيِّ ﷺ"، وَهُوَ الْقُدْوَةُ فِي ذَلِكَ وَفِي غَيْرِهِ.

Salah seorang sahabat berkata: "Aku tidak pernah shalat di belakang imam yang lebih ringan shalatnya dan lebih sempurna daripada Nabi ﷺ," dan beliau adalah teladan dalam hal itu dan lainnya.

قَالَ الْحَافِظُ: "مَنْ سَلَكَ طَرِيقَ النَّبِيِّ ﷺ فِي الْإِيجَازِ وَالْإِتْمَامِ؛ لَا يُشْتَكَى مِنْهُ تَطْوِيلٌ، وَالتَّخْفِيفُ الْمَطْلُوبُ هُوَ التَّخْفِيفُ الَّذِي يَصْحَبُهُ إِتْمَامُ الصَّلَاةِ بِأَدَاءِ أَرْكَانِهَا وَوَاجِبَاتِهَا وَسُنَنِهَا عَلَى الْوَجْهِ الْمَطْلُوبِ، وَالتَّخْفِيفُ الْمَأْمُورُ بِهِ أَمْرٌ نِسْبِيٌّ يَرْجِعُ إِلَى مَا فَعَلَهُ ﷺ وَوَاظَبَ عَلَيْهِ وَأَمَرَ بِهِ، لَا إِلَى شَهْوَةِ الْمَأْمُومِينَ.

Al-Hafizh berkata: "Barangsiapa yang menempuh jalan Nabi ﷺ dalam meringkas dan menyempurnakan, maka tidak akan ada keluhan tentang pemanjangan darinya. Peringanan yang diminta adalah peringanan yang disertai dengan penyempurnaan shalat dengan melaksanakan rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya, dan sunnah-sunnahnya dengan cara yang dikehendaki. Peringanan yang diperintahkan adalah perintah yang relatif, kembali kepada apa yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, yang beliau lakukan secara konsisten dan perintahkan, bukan berdasarkan keinginan makmum."

قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: وَمَعْنَى التَّخْفِيفِ الْمَطْلُوبِ: هُوَ الِاقْتِصَارُ عَلَى أَدْنَى الْكَمَالِ مِنَ التَّسْبِيحِ وَسَائِرِ أَجْزَاءِ الصَّلَاةِ،

Sebagian ulama berkata: "Makna peringanan yang diminta adalah mencukupkan diri dengan kadar minimal kesempurnaan dari tasbih dan seluruh bagian shalat."

وَأَدْنَى الكَمَالِ فِي التَّسْبِيحِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ هُوَ أَنْ يَأْتِيَ بِثَلَاثِ تَسْبِيحَاتٍ، وَإِذَا آثَرَ الْمَأْمُومُونَ التَّطْوِيلَ، وَعَدَدُهُمْ يَنْحَصِرُ، بِحَيْثُ يَكُونُ رَأْيُهُمْ فِي طَلَبِ التَّطْوِيلِ وَاحِدًا؛ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُطَوِّلَ الْإِمَامُ الصَّلَاةَ؛ لِانْدِفَاعِ الْفَسْدَةِ، وَهِيَ التَّنْفِيرُ.

Dan kesempurnaan minimal dalam bertasbih pada ruku' dan sujud adalah dengan membaca tiga kali tasbih. Jika makmum lebih menyukai dipanjangkan, dan jumlah mereka terbatas, sehingga pendapat mereka dalam meminta dipanjangkan itu satu; maka tidak mengapa bagi imam untuk memanjangkan shalat; untuk menghilangkan kerusakan, yaitu menjauhkan.

قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ: قَوْلُ الْفُقَهَاءِ: "لَا يَزِيدُ الْإِمَامُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ عَلَى ثَلَاثِ تَسْبِيحَاتٍ"؛ لَا يُخَالِفُ مَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ؛ أَنَّهُ كَانَ يَزِيدُ عَلَى ذَلِكَ؛ لِأَنَّ رَغْبَةَ الصَّحَابَةِ فِي الْخَيْرِ تَقْتَضِي أَنْ لَا يَكُونَ ذَلِكَ تَطْوِيلًا " انْتَهَى.

Imam Ibnu Daqiq Al-'Id berkata: Perkataan para fuqaha: "Imam tidak boleh menambah lebih dari tiga tasbih dalam ruku' dan sujud"; tidak bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ; bahwa beliau biasa menambah lebih dari itu; karena keinginan para sahabat dalam kebaikan mengharuskan bahwa hal itu bukanlah pemanjangan." Selesai.

وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "لَيْسَ لَهُ أَنْ يَزِيدَ عَلَى قَدْرِ الْمَشْرُوعِ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَفْعَلَ غَالِبًا مَا كَانَ النَّبِيُّ يَفْعَلُهُ غَالِبًا وَيَزِيدُ وَيَنْقُصُ لِلْمَصْلَحَةِ؛ كَمَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ أَحْيَانًا لِلْمَصْلَحَةِ ".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Tidak boleh baginya untuk menambah melebihi ukuran yang disyariatkan, dan hendaknya ia melakukan apa yang biasa dilakukan Nabi ﷺ secara umum dan menambah serta mengurangi demi kemaslahatan; sebagaimana Nabi ﷺ biasa menambah dan mengurangi terkadang demi kemaslahatan."

وَقَالَ النَّوَوِيُّ: "قَالَ الْعُلَمَاءُ: وَاخْتِلَافُ قَدْرِ الْقِرَاءَةِ فِي الْأَحَادِيثِ كَانَ بِحَسَبِ الْأَحْوَالِ، وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَعْلَمُ مِنْ حَالِ الْمُؤْمِنِينَ فِي وَقْتٍ أَنَّهُمْ يُؤْثِرُونَ التَّطْوِيلَ؛ فَيُطَوِّلُ بِهِمْ، وَفِي وَقْتٍ لَا يُؤْثِرُونَهُ لِعُذْرٍ وَنَحْوِهِ؛ فَيُخَفِّفُ، وَفِي وَقْتٍ يُرِيدُ إِطَالَتَهَا، فَيَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَيُخَفِّفُ كَمَا ثَبَتَ ذَلِكَ فِي الصَّحِيحِ" انْتَهَى.

An-Nawawi berkata: "Para ulama berkata: Perbedaan ukuran bacaan dalam hadits-hadits itu tergantung keadaan, dan Nabi ﷺ mengetahui dari keadaan orang-orang beriman pada suatu waktu bahwa mereka lebih menyukai dipanjangkan; maka beliau memanjangkan untuk mereka, dan pada suatu waktu mereka tidak menyukainya karena uzur dan sejenisnya; maka beliau meringankan, dan pada suatu waktu beliau ingin memanjangkannya, lalu beliau mendengar tangisan anak kecil, maka beliau meringankan sebagaimana hal itu ditetapkan dalam hadits shahih." Selesai.

وَيُكْرَهُ أَنْ يُخَفِّفَ الْإِمَامُ فِي الصَّلَاةِ تَخْفِيفًا لَا يَتَمَكَّنُ مَعَهُ الْمَأْمُومُ

Dan dimakruhkan bagi imam untuk meringankan shalat dengan peringanan yang tidak memungkinkan makmum bersamanya

مِنَ الإتْيَانِ المَسْنُونِ؛ كَقِرَاءَةِ السُّورَةِ، وَالإتْيَانِ بِثَلاثِ تَسْبِيحَاتٍ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ.

Termasuk yang disunahkan adalah membaca surah, bertasbih tiga kali dalam ruku' dan sujud.

وَيُسَنُّ أَنْ يُرَتِّلَ القِرَاءَةَ، وَيَتَمَهَّلَ فِي التَّسْبِيحِ وَالتَّشَهُّدِ بِقَدْرِ مَا يَتَمَكَّنُ مِنْ خَلْفِهِ مِنَ الإتْيَانِ بِالمَسْنُونِ مِنَ التَّسْبِيحِ وَنَحْوِهِ، وَأَنْ يَتَمَكَّنَ مِنْ رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ.

Disunnahkan untuk membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa dalam bertasbih dan tasyahud sesuai kemampuan makmum di belakangnya untuk melakukan amalan sunah seperti tasbih dan sebagainya, serta mampu melakukan ruku' dan sujud dengan sempurna.

وَيُسَنُّ لِلإمَامِ أَنْ يُطِيلَ الرَّكْعَةَ الأُولَى؛ لِقَوْلِ أَبِي قَتَادَةَ: "كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُطِيلُ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Disunnahkan bagi imam untuk memanjangkan rakaat pertama, berdasarkan perkataan Abu Qatadah: "Nabi ﷺ memanjangkan rakaat pertama", hadits muttafaq 'alaih.

وَيُسْتَحَبُّ لِلإمَامِ إذَا أَحَسَّ بِدَاخِلٍ وَهُوَ فِي الرُّكُوعِ أَنْ يُطِيلَ الرُّكُوعَ حَتَّى يَلْحَقَهُ الدَّاخِلُ فِيهِ وَيُدْرِكَ الرَّكْعَةَ؛ إعَانَةً لَهُ عَلَى ذَلِكَ؛ لِمَا رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوا دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ أَبِي أَوْفَى فِي صِفَةِ صَلاةِ النَّبِيِّ ﷺ؛ أَنَّهُ كَانَ يَقُومُ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى مِنْ صَلاةِ الظُّهْرِ، حَتَّى لا يُسْمَعُ وَقْعُ قَدَمٍ، مَا لَمْ يَشُقَّ هَذَا الانْتِظَارُ عَلَى مَأْمُومٍ، فَإنْ شَقَّ عَلَيْهِ؛ تَرَكَهُ؛ لأَنَّ حُرْمَةَ الَّذِي مَعَهُ أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الَّذِي لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُ.

Dianjurkan bagi imam jika menyadari ada yang baru masuk saat ia sedang ruku' untuk memanjangkan ruku'nya hingga orang tersebut dapat menyusulnya dalam ruku' dan mendapatkan rakaat itu, sebagai bantuan baginya. Hal ini berdasarkan riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari hadits Ibnu Abi Aufa tentang sifat shalat Nabi ﷺ, bahwa beliau berdiri pada rakaat pertama shalat Zhuhur hingga tidak terdengar suara langkah kaki, selama penantian ini tidak memberatkan makmum. Jika memberatkan, maka ditinggalkan karena kehormatan orang yang bersamanya lebih besar daripada orang yang belum masuk bersamanya.

وَبِالجُمْلَةِ؛ فَيَجِبُ عَلَى الإمَامِ أَنْ يُرَاعِيَ أَحْوَالَ المَأْمُومِينَ، وَيُرَاعِيَ إتْمَامَ الصَّلاةِ وَإتْقَانَهَا، وَيَكُونَ مُقْتَدِيًا بِهَدْيِ النَّبِيِّ ﷺ، عَامِلًا بِوَصَايَاهُ وَأَوَامِرِهِ؛ فَفِيهَا الخَيْرُ لِلْجَمِيعِ.

Secara keseluruhan, imam wajib memperhatikan kondisi para makmum, memperhatikan kesempurnaan dan ketepatan shalat, mengikuti petunjuk Nabi ﷺ, serta mengamalkan wasiat dan perintah-perintah beliau, karena di dalamnya terdapat kebaikan bagi semua.

وَبَعْضُ الأَئِمَّةِ قَدْ يَتَسَاهَلُ فِي شَأْنِ الإمَامَةِ وَمَسْؤلِيَتِهَا، وَيَتَغَيَّبُ كَثِيرًا عَنِ المَسْجِدِ، أَوْ يَتَأَخَّرُ عَنِ الحُضُورِ، مِمَّا يُحْرِجُ المَأْمُومِينَ، وَيُسَبِّبُ

Sebagian imam mungkin lalai dalam urusan imamah dan tanggung jawabnya, sering absen dari masjid, atau terlambat hadir, sehingga menyulitkan para makmum dan menyebabkan

الشِّقَاقُ، وَيُشَوِّشُ عَلَى الْمُصَلِّينَ، وَيَكُونُ هَذَا الْإِمَامُ قُدْوَةً سَيِّئَةً لِلْكَسَالَى وَالْمُتَسَاهِلِينَ بِالْمَسْؤُلِيَّةِ؛ فَمِثْلُ هَذَا يَجِبُ الْأَخْذُ عَلَى يَدِهِ، حَتَّى يُوَاظِبَ عَلَى أَدَاءِ مَهَمَّتِهِ بِحَزْمٍ، وَلَا يُنَفِّرَ الْمُصَلِّينَ، وَيُعَطِّلَ إِمَامَةَ الْمَسْجِدِ، أَوْ يُنَحَّى عَنِ الْإِمَامَةِ إِذَا لَمْ يُرَاجِعْ صَوَابَهُ.

Perpecahan, dan mengganggu orang-orang yang shalat, dan imam ini menjadi teladan yang buruk bagi orang-orang yang malas dan lalai dalam tanggung jawab; maka orang seperti ini harus ditegur, sampai ia tekun dalam menjalankan tugasnya dengan tegas, dan tidak mengusir orang-orang yang shalat, dan menghentikan imamah masjid, atau dipecat dari imamah jika ia tidak merevisi kebenaran.

اللَّهُمَّ وَفِّقْنَا لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ.

Ya Allah, berilah kami taufik untuk melakukan apa yang Engkau cintai dan ridhai.

بَابٌ فِي صَلَاةِ أَهْلِ الْأَعْذَارِ

بَابٌ فِي صَلَاةِ أَهْلِ الْأَعْذَارِ

Bab tentang shalat orang-orang yang memiliki udzur

أَهْلُ الْأَعْذَارِ هُمُ الْمَرْضَى وَالْمُسَافِرُونَ وَالْخَائِفُونَ الَّذِينَ لَا يَتَمَكَّنُونَ مِنْ أَدَاءِ الصَّلَاةِ عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي يُؤَدِّيهَا غَيْرُ الْمَعْذُورِ؛ فَقَدْ خَفَّفَ الشَّارِعُ عَنْهُمْ، وَطَلَبَ مِنْهُمْ أَنْ يُصَلُّوا حَسَبَ اسْتِطَاعَتِهِمْ، وَهَذَا مِنْ يُسْرِ هَذِهِ الشَّرِيعَةِ وَسَمَاحَتِهَا؛ فَقَدْ جَاءَتْ بِرَفْعِ الْحَرَجِ:

Orang-orang yang memiliki udzur adalah orang-orang sakit, musafir, dan orang-orang yang takut yang tidak mampu melaksanakan shalat seperti yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki udzur; maka Syari' telah meringankan bagi mereka, dan meminta mereka untuk shalat sesuai kemampuan mereka, dan ini adalah kemudahan dan keluwesan syariat ini; karena ia datang untuk menghilangkan kesulitan:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ﴾ .

Allah Ta'ala berfirman: "Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama".

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ﴾ .

Dan Allah berfirman: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu".

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾ .

Dan Allah berfirman: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya".

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾ .

Dan Allah berfirman: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu".

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ؛ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ....".

Dan Nabi ﷺ bersabda: "Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah; maka kerjakanlah semampu kalian....".

إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ النُّصُوصِ الَّتِي تُبَيِّنُ فَضْلَ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ وَتَيْسِيرِهِ فِي تَشْرِيعِهِ.

Sampai nash-nash lainnya yang menjelaskan keutamaan Allah atas hamba-hamba-Nya dan kemudahan-Nya dalam syariat-Nya.

وَمِنْ ذَلِكَ مَا نَحْنُ بِصَدَدِ الْحَدِيثِ عَنْهُ، وَهُوَ؛ كَيْفَ يُصَلِّي مَنْ قَامَ بِهِ عُذْرٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ خَوْفٍ؟.

Dan di antara itu adalah apa yang sedang kita bicarakan, yaitu; bagaimana cara shalat bagi orang yang memiliki udzur karena sakit, bepergian, atau ketakutan?

أَوَّلًا: صَلَاةُ الْمَرِيضِ

Pertama: Shalat orang yang sakit

إِنَّ الصَّلَاةَ لَا تُتْرَكُ أَبَدًا؛ فَالْمَرِيضُ يَلْزَمُهُ أَنْ يُؤَدِّيَ الصَّلَاةَ قَائِمًا، وَإِنِ احْتَاجَ إِلَى الِاعْتِمَادِ عَلَى عَصًا وَنَحْوِهِ فِي قِيَامِهِ؛ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ؛ لِأَنَّ مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.

Sesungguhnya shalat tidak boleh ditinggalkan selamanya; orang yang sakit wajib melaksanakan shalat dengan berdiri, dan jika ia perlu bersandar pada tongkat atau sejenisnya dalam berdirinya; maka tidak mengapa; karena apa yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya maka ia wajib.

فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعِ الْمَرِيضُ الْقِيَامَ فِي الصَّلَاةِ؛ بِأَنْ عَجَزَ عَنْهُ أَوْ شَقَّ عَلَيْهِ أَوْ خِيفَ مِنْ قِيَامِهِ زِيَادَةُ مَرَضٍ أَوْ تَأَخُّرُ بُرْءٍ؛ فَإِنَّهُ وَالْحَالَةُ مَاذُكِرَ يُصَلِّي قَاعِدًا.

Jika orang yang sakit tidak mampu berdiri dalam shalat; karena tidak mampu melakukannya atau sulit baginya atau khawatir berdirinya akan menambah penyakit atau menunda kesembuhan; maka dalam keadaan tersebut ia shalat dengan duduk.

وَلَا يُشْتَرَطُ لِإِبَاحَةِ الْقُعُودِ فِي الصَّلَاةِ تَعَذُّرُ الْقِيَامِ، وَلَا يَكْفِي لِذَلِكَ أَدْنَى مَشَقَّةٍ، بَلِ الْمُعْتَبَرُ الْمَشَقَّةُ الظَّاهِرَةُ.

Dan tidak disyaratkan untuk diperbolehkannya duduk dalam shalat karena tidak mampunya berdiri, dan tidak cukup untuk itu kesulitan yang sedikit, tetapi yang dianggap adalah kesulitan yang nyata.

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ مَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي الْفَرِيضَةِ؛ صَلَّاهَا قَاعِدًا، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ، وَلَا يَنْقُصُ ثَوَابُهُ، وَتَكُونُ هَيْئَةُ قُعُودِهِ حَسَبَ مَا يَسْهُلُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الشَّارِعَ لَمْ يَطْلُبْ مِنْهُ قَعْدَهُ خَاصَّةً؛ فَكَيْفَ قَعَدَ؛ جَازَ.

Para ulama telah sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu berdiri dalam shalat wajib; maka ia shalat dengan duduk, dan tidak ada pengulangan atasnya, dan pahalanya tidak berkurang, dan bentuk duduknya sesuai dengan apa yang mudah baginya; karena Syari' (Allah) tidak meminta darinya duduk tertentu; maka bagaimana pun ia duduk; diperbolehkan.

فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعِ الْمَرِيضُ الصَّلَاةَ قَاعِدًا؛ بِأَنْ شَقَّ عَلَيْهِ الْجُلُوسُ مَشَقَّةً ظَاهِرَةً، أَوْ عَجَزَ عَنْهُ؛ فَإِنَّهُ يُصَلِّي عَلَى جَنْبِهِ، وَيَكُونُ وَجْهُهُ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَكُونَ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَنْ يُوَجِّهُهُ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَلَمْ يَسْتَطِعِ التَّوَجُّهَ إِلَيْهَا بِنَفْسِهِ؛ صَلَّى عَلَى حَسَبِ حَالَتِهِ، إِلَى أَيِّ جِهَةٍ تَسْهُلُ عَلَيْهِ.

Jika orang yang sakit tidak mampu shalat dengan duduk; karena duduk menyulitkannya dengan kesulitan yang nyata, atau ia tidak mampu melakukannya; maka ia shalat di atas lambungnya, dan wajahnya menghadap kiblat, dan yang lebih utama adalah ia berada di atas lambung kanannya, dan jika tidak ada orang yang mengarahkannya ke kiblat, dan ia tidak mampu menghadap ke arahnya sendiri; maka ia shalat sesuai keadaannya, ke arah mana pun yang mudah baginya.

فَإِذَا لَمْ يَقْدِرِ الْمَرِيضُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى جَنْبِهِ؛ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى ظَهْرِهِ، وَتَكُونُ رِجْلَاهُ إِلَى الْقِبْلَةِ مَعَ الْإِمْكَانِ.

Jika orang yang sakit tidak mampu shalat di atas lambungnya; maka ia wajib shalat di atas punggungnya, dan kedua kakinya ke arah kiblat jika memungkinkan.

وَإِذَا صَلَّى الْمَرِيضُ قَاعِدًا، وَلَا يَسْتَطِيعُ السُّجُودَ عَلَى الْأَرْضِ، أَوْ صَلَّى عَلَى جَنْبِهِ أَوْ عَلَى ظَهْرِهِ كَمَا سَبَقَ؛ فَإِنَّهُ يُؤْمِئُ بِرَأْسِهِ لِلرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ، وَيَجْعَلُ الْإِيمَاءَ لِلسُّجُودِ أَخْفَضَ مِنَ الْإِيمَاءِ لِلرُّكُوعِ، وَإِذَا صَلَّى الْمَرِيضُ جَالِسًا وَهُوَ يَسْتَطِيعُ السُّجُودَ عَلَى الْأَرْضِ؛ وَجَبَ عَلَيْهِ ذَلِكَ، وَلَا يَكْفِيهِ الْإِيمَاءُ.

Dan jika orang yang sakit shalat dengan duduk, dan tidak mampu sujud di atas tanah, atau shalat dengan berbaring miring atau terlentang seperti yang telah disebutkan sebelumnya; maka ia memberi isyarat dengan kepalanya untuk rukuk dan sujud, dan menjadikan isyarat untuk sujud lebih rendah daripada isyarat untuk rukuk. Dan jika orang yang sakit shalat dengan duduk dan ia mampu sujud di atas tanah; maka hal itu wajib baginya, dan tidak cukup baginya dengan isyarat.

وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ صَلَاةِ الْمَرِيضِ عَلَى هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ الْمُفَصَّلَةِ مَا أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَهْلُ السُّنَنِ مِنْ حَدِيثِ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ ﵁؛ قَالَ: كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ ﷺ؟ فَقَالَ: "صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ؛ فَصَلِّ قَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ، فَعَلَى جَنْبِكَ"، زَادَ النَّسَائِيُّ: "فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ؛ فَمُسْتَلْقِيًا، ﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾ ".

Dan dalil tentang bolehnya shalat orang yang sakit dengan cara yang terperinci ini adalah apa yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Ahli Sunan dari hadits 'Imran bin Hushain ﵁; ia berkata: Aku menderita wasir, lalu aku bertanya kepada Nabi ﷺ? Beliau bersabda: "Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak mampu; maka shalatlah dengan duduk, jika kamu tidak mampu, maka (shalatlah) dengan berbaring miring", an-Nasa'i menambahkan: "Jika kamu tidak mampu; maka (shalatlah) dengan terlentang, ﴿Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya﴾ ".

وَهُنَا يَجِبُ التَّنْبِيهُ عَلَى أَنَّ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْمَرْضَى وَمَنْ تُجْرَى لَهُمْ عَمَلِيَّاتٌ جِرَاحِيَّةٌ، فَيَتْرُكُونَ الصَّلَاةَ بِحُجَّةِ أَنَّهُمْ لَا يَقْدِرُونَ عَلَى أَدَاءِ الصَّلَاةِ بِصِفَةٍ كَامِلَةٍ، أَوْ لَا يَقْدِرُونَ عَلَى الْوُضُوءِ، أَوْ لِأَنَّ مَلَابِسَهُمْ نَجِسَةٌ، أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْذَارِ، وَهَذَا خَطَأٌ كَبِيرٌ؛ لِأَنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَجُوزُ لَهُ تَرْكُ الصَّلَاةِ إِذَا عَجَزَ عَنْ بَعْضِ شُرُوطِهَا أَوْ أَرْكَانِهَا وَاجِبَاتِهَا، بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى حَسَبِ حَالِهِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾ .

Dan di sini wajib untuk memperingatkan bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian orang sakit dan orang yang menjalani operasi bedah, lalu mereka meninggalkan shalat dengan alasan bahwa mereka tidak mampu melaksanakan shalat dengan sempurna, atau tidak mampu berwudhu, atau karena pakaian mereka najis, atau alasan-alasan lainnya, dan ini adalah kesalahan besar; karena seorang Muslim tidak boleh meninggalkan shalat jika ia tidak mampu memenuhi sebagian syarat atau rukun dan kewajibannya, bahkan ia harus melaksanakannya sesuai dengan kemampuannya, Allah Ta'ala berfirman: ﴿Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu﴾ .

وَبَعْضُ الْمَرْضَى يَقُولُ: إِذَا شُفِيتُ قَضَيْتُ الصَّلَوَاتِ الَّتِي تَرَكْتُهَا.

Dan sebagian orang sakit berkata: Jika aku sembuh, aku akan mengqadha shalat yang telah aku tinggalkan.

وَهَذَا جَهْلٌ مِنْهُمْ أَوْ تَسَاهُلٌ؛ فَالصَّلَاةُ تُصَلَّى فِي وَقْتِهَا حَسَبَ الْإِمْكَانِ، وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا عَنْ وَقْتِهَا؛ فَيَنْبَغِي الِانْتِبَاهُ لِهَذَا، وَالتَّنْبِيهُ عَلَيْهِ، وَيَجِبُ أَنْ يَكُونَ فِي الْمُسْتَشْفَيَاتِ تَوْعِيَةٌ دِينِيَّةٌ، وَتَفَقُّدٌ لِأَحْوَالِ الْمَرْضَى مِنْ نَاحِيَةِ الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْوَاجِبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي هُمْ بِحَاجَةٍ إِلَى بَيَانِهَا.

Dan ini adalah ketidaktahuan mereka atau sikap meremehkan; shalat harus dilakukan pada waktunya sesuai kemampuan, dan tidak boleh menundanya dari waktunya; maka perlu diperhatikan hal ini, dan diingatkan tentangnya, dan harus ada di rumah sakit penyuluhan agama, dan pemeriksaan kondisi pasien dari segi shalat dan kewajiban syar'i lainnya yang mereka butuhkan penjelasannya.

وَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ هُوَ فِي حَقِّ مَنِ ابْتَدَأَ الصَّلَاةَ مَعْذُورًا، وَاسْتَمَرَّ بِهِ الْعُذْرُ إِلَى الْفَرَاغِ مِنْهَا، وَأَمَّا مَنِ ابْتَدَأَهَا وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى الْقِيَامِ، ثُمَّ طَرَأَ عَلَيْهِ الْعَجْزُ عَنْهُ، أَوِ ابْتَدَأَهَا وَهُوَ لَا يَسْتَطِيعُ الْقِيَامَ، ثُمَّ قَدَرَ عَلَيْهِ فِي أَثْنَائِهَا، أَوِ ابْتَدَأَهَا قَاعِدًا، ثُمَّ عَجَزَ عَنِ الْقُعُودِ أَثْنَاءَهَا، أَوِ ابْتَدَأَهَا عَلَى جَنْبٍ، ثُمَّ قَدَرَ عَلَى الْقُعُودِ، فَإِنَّهُ فِي تِلْكَ الْأَحْوَالِ يَنْتَقِلُ إِلَى الْحَالَةِ الْمُنَاسِبَةِ لَهُ شَرْعًا، وَيُتِمُّهَا عَلَيْهَا وُجُوبًا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم﴾، فَيَنْتَقِلُ إِلَى الْقِيَامِ مَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ، وَيَنْتَقِلُ إِلَى الْجُلُوسِ مَنْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ فِي أَثْنَاءِ الصَّلَاةِ ... وَهَكَذَا.

Dan apa yang telah dijelaskan sebelumnya adalah untuk orang yang memulai shalat dengan udzur, dan udzurnya berlanjut hingga selesai shalat, adapun orang yang memulai shalat dan dia mampu berdiri, kemudian dia tidak mampu melakukannya, atau dia memulai shalat dan dia tidak mampu berdiri, kemudian dia mampu melakukannya di tengah-tengah shalat, atau dia memulai shalat dengan duduk, kemudian dia tidak mampu duduk di tengah-tengah shalat, atau dia memulai shalat dengan berbaring, kemudian dia mampu duduk, maka dalam keadaan-keadaan tersebut dia berpindah ke keadaan yang sesuai dengannya secara syar'i, dan wajib menyempurnakannya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu", maka orang yang mampu berdiri berpindah ke berdiri, dan orang yang tidak mampu berdiri di tengah-tengah shalat berpindah ke duduk ... dan begitu seterusnya.

وَإِنْ قَدَرَ عَلَى الْقِيَامِ وَالْقُعُودِ، وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ؛ فَإِنَّهُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ بِالرُّكُوعِ قَائِمًا، وَيُومِئُ بِالسُّجُودِ قَاعِدًا؛ لِيَحْصُلَ الْفَرْقُ بَيْنَ الْإِيمَاءَيْنِ حَسَبَ الْإِمْكَانِ.

Dan jika dia mampu berdiri dan duduk, dan tidak mampu ruku' dan sujud; maka dia memberi isyarat dengan kepalanya untuk ruku' sambil berdiri, dan memberi isyarat untuk sujud sambil duduk; agar ada perbedaan antara dua isyarat tersebut sesuai kemampuan.

وَلِلْمَرِيضِ أَنْ يُصَلِّيَ مُسْتَلْقِيًا مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى الْقِيَامِ إِذَا قَالَ لَهُ طَبِيبٌ مُسْلِمٌ ثِقَةٌ: لَا يُمْكِنُ مُدَاوَاتُكَ إِلَّا إِذَا صَلَّيْتَ مُسْتَلْقِيًا؛ لِأَنَّ

Dan orang yang sakit boleh shalat sambil berbaring meskipun mampu berdiri jika dokter Muslim yang terpercaya berkata kepadanya: "Tidak mungkin mengobatimu kecuali jika kamu shalat sambil berbaring; karena

النَّبِيُّ ﷺ صَلَّى جَالِسًا حِينَ جُحِشَ شِقُّهُ، وَأُمُّ سَلَمَةَ تَرَكَتِ السُّجُودَ لِرَمَدٍ بِهَا.

Nabi ﷺ shalat dalam posisi duduk ketika rusuknya terluka, dan Ummu Salamah meninggalkan sujud karena sakit mata yang dideritanya.

وَمَقَامُ الصَّلَاةِ فِي الْإِسْلَامِ عَظِيمٌ؛ فَيُطْلَبُ مِنَ الْمُسْلِمِ، بَلْ يَتَحَتَّمُ عَلَيْهِ أَنْ يُقِيمَهَا فِي حَالِ الصِّحَّةِ وَحَالِ الْمَرَضِ؛ فَلَا تَسْقُطُ عَنِ الْمَرِيضِ، لَكِنَّهُ يُصَلِّيهَا عَلَى حَسَبِ حَالِهِ؛ فَيَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يُحَافِظَ عَلَيْهَا كَمَا أَمَرَهُ اللهُ.

Kedudukan shalat dalam Islam sangatlah agung; sehingga diminta dari seorang Muslim, bahkan wajib baginya untuk mendirikannya dalam keadaan sehat dan sakit; maka shalat tidak gugur dari orang yang sakit, tetapi dia melaksanakannya sesuai dengan kondisinya; maka wajib bagi seorang Muslim untuk menjaganya sebagaimana Allah memerintahkannya.

وَفَّقَ اللهُ الْجَمِيعَ لِمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ.

Semoga Allah memberi taufik kepada semua untuk melakukan apa yang Dia cintai dan ridhai.

ثَانِيًا: صَلَاةُ الرَّاكِبِ

Kedua: Shalat orang yang berkendara

وَمِنْ أَهْلِ الْأَعْذَارِ الرَّاكِبُ إِذَا كَانَ يَتَأَذَّى بِنُزُولِهِ لِلصَّلَاةِ عَلَى الْأَرْضِ بِوَحْلٍ أَوْ مَطَرٍ، أَوْ يَعْجِزُ عَنِ الرُّكُوبِ إِذَا نَزَلَ، أَوْ يَخْشَى فَوَاتَ رِفْقَتِهِ إِذَا نَزَلَ، أَوْ يَخَافُ عَلَى نَفْسِهِ إِذَا نَزَلَ مِنْ عَدُوٍّ أَوْ سَبُعٍ؛ فَفِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ يُصَلِّي عَلَى مَرْكُوبِهِ؛ مِنْ دَابَّةٍ وَغَيْرِهَا، وَلَا يَنْزِلُ إِلَى الْأَرْضِ؛ لِحَدِيثِ يَعْلَى بْنِ مُرَّةَ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ انْتَهَى إِلَى مَضِيقٍ هُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ، فَأَذَّنَ وَأَقَامَ، ثُمَّ تَقَدَّمَ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَلَى رَاحِلَتِهِ،

Di antara orang-orang yang memiliki udzur adalah orang yang berkendara jika dia merasa terganggu turun untuk shalat di tanah karena lumpur atau hujan, atau tidak mampu naik kembali jika turun, atau khawatir tertinggal rombongannya jika turun, atau takut terhadap dirinya jika turun dari musuh atau binatang buas; maka dalam keadaan ini dia shalat di atas kendaraannya; baik hewan tunggangan atau lainnya, dan tidak turun ke tanah; berdasarkan hadits Ya'la bin Murrah: "Bahwasanya Nabi ﷺ sampai ke jalan sempit sementara beliau berada di atas kendaraannya, lalu beliau adzan dan iqamah, kemudian Rasulullah ﷺ maju di atas kendaraannya,

فَصَلَّى بِهِمْ يَوْمَئِذٍ إِيمَاءً؛ السُّجُودُ أَخْفَضُ مِنَ الرُّكُوعِ" رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ.

Maka dia shalat bersama mereka pada hari itu dengan memberi isyarat; sujud lebih rendah daripada ruku" diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi.

وَيَجِبُ عَلَى مَنْ يُصَلِّي الْفَرِيضَةَ عَلَى مَرْكُوبِهِ لِعُذْرٍ مِمَّا سَبَقَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ إِنِ اسْتَطَاعَ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ﴾، وَيَجِبُ عَلَيْهِ فِعْلُ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنْ رُكُوعٍ وَسُجُودٍ وَإِيمَاءٍ بِهِمَا وَطُمَأْنِينَةٍ؛ لِقَوْلِ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم﴾، وَمَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ لَا يُكَلَّفُ بِهِ.

Dan wajib bagi orang yang shalat fardhu di atas kendaraannya karena udzur yang telah disebutkan sebelumnya untuk menghadap kiblat jika mampu; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya", dan wajib baginya melakukan apa yang mampu ia lakukan dari ruku', sujud, memberi isyarat dengan keduanya, dan tuma'ninah; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian", dan apa yang tidak mampu ia lakukan, maka ia tidak dibebani dengannya.

وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ؛ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ؛ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ اسْتِقْبَالُهَا، وَصَلَّى عَلَى حَسَبِ حَالِهِ، وَكَذَلِكَ رَاكِبُ الطَّائِرَةِ يُصَلِّي فِيهَا بِحَسَبِ اسْتِطَاعَتِهِ مِنْ قِيَامٍ أَوْ قُعُودٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ أَوْ إِيمَاءٍ بِهِمَا؛ بِحَسَبِ اسْتِطَاعَتِهِ، مَعَ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ؛ لِأَنَّهُ مُمْكِنٌ.

Dan jika ia tidak mampu menghadap kiblat; maka tidak wajib baginya menghadap kiblat; tidak wajib baginya menghadapnya, dan ia shalat sesuai kondisinya, demikian pula penumpang pesawat, ia shalat di dalamnya sesuai kemampuannya dari berdiri, duduk, ruku', sujud, atau memberi isyarat dengan keduanya; sesuai kemampuannya, dengan menghadap kiblat; karena hal itu memungkinkan.

ثَالِثًا: صَلَاةُ الْمُسَافِرِ

Ketiga: Shalat Musafir

وَمِنْ أَهْلِ الْأَعْذَارِ الْمُسَافِرُ، فَيُشْرَعُ لَهُ قَصْرُ الصَّلَاةِ الرُّبَاعِيَّةِ مِنْ أَرْبَعٍ إِلَى رَكْعَتَيْنِ كَمَا دَلَّ عَلَى ذَلِكَ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ،

Dan di antara orang-orang yang memiliki udzur adalah musafir, maka disyariatkan baginya untuk mengqashar shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma',

قَالَهُ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ﴾، وَالنَّبِيُّ ﷺ لَمْ يُصَلِّ فِي السَّفَرِ إِلَّا قَصْرًا، وَالْقَصْرُ أَفْضَلُ مِنَ الْإِتْمَامِ فِي قَوْلِ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ، وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ": "فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ؛ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ"، وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: "صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ، تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ".

Allah Ta'ala berfirman: "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu)." Dan Nabi ﷺ tidak pernah shalat dalam perjalanan kecuali dengan qashar. Qashar lebih utama daripada menyempurnakan shalat menurut pendapat mayoritas ulama. Dalam "Shahihain" disebutkan: "Shalat difardukan dua rakaat dua rakaat; maka ditetapkanlah shalat safar, dan ditambahkan pada shalat hadhar." Ibnu Umar berkata: "Shalat safar adalah dua rakaat, sempurna tanpa qashar."

وَيَبْدَأُ السَّفَرُ بِخُرُوجِ الْمُسَافِرِ مِنْ عَامِرِ بَلَدِهِ؛ لِأَنَّ اللهَ أَبَاحَ الْقَصْرَ لِمَنْ ضَرَبَ فِي الْأَرْضِ، وَقَبْلَ خُرُوجِهِ مِنْ بَلَدِهِ لَا يَكُونُ ضَارِبًا فِي الْأَرْضِ وَلَا مُسَافِرًا، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ إِنَّمَا كَانَ يَقْصُرُ إِذَا ارْتَحَلَ، وَلِأَنَّ لَفْظَ السَّفَرِ مَعْنَاهُ الْإِسْفَارُ؛ أَيْ: الْخُرُوجُ إِلَى الصَّحْرَاءِ، يُقَالُ: سَفَرَتِ الْمَرْأَةُ عَنْ وَجْهِهَا: إِذَا كَشَفَتْهُ، فَإِذَا لَمْ يَبْرُزْ إِلَى الصَّحْرَاءِ الَّتِي يَنْكَشِفُ فِيهَا مِنْ بَيْنِ الْمَسَاكِنِ؛ لَمْ يَكُنْ مُسَافِرًا.

Perjalanan dimulai dengan keluarnya musafir dari pemukiman kotanya; karena Allah membolehkan qashar bagi orang yang bepergian di muka bumi, dan sebelum keluar dari kotanya, dia tidak dianggap bepergian di muka bumi dan tidak dianggap musafir. Karena Nabi ﷺ hanya mengqashar ketika beliau berangkat. Dan karena makna lafaz safar adalah al-isfaar; yaitu: keluar menuju padang pasir. Dikatakan: Wanita itu telah menyingkap wajahnya: jika dia membukanya. Maka jika dia tidak keluar menuju padang pasir yang tersingkap di antara rumah-rumah; dia tidak dianggap musafir.

وَيَقْصُرُ الْمُسَافِرُ الصَّلَاةَ، وَلَوْ كَانَ يَتَكَرَّرُ سَفَرُهُ؛ كَصَاحِبِ الْبَرِيدِ وَسَيَّارَةِ الْأُجْرَةِ مِمَّنْ يَتَرَدَّدُ أَكْثَرَ وَقْتِهِ فِي الطَّرِيقِ بَيْنَ الْبُلْدَانِ.

Musafir boleh mengqashar shalat, meskipun perjalanannya berulang-ulang; seperti petugas pos dan sopir taksi yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan antar kota.

وَيَجُوزُ لِلْمُسَافِرِ الْجَمْعُ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ؛ فِي وَقْتِ أَحَدِهِمَا؛ فَكُلُّ مُسَافِرٍ يَجُوزُ لَهُ الْقَصْرُ؛ فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهُ الْجَمْعُ، وَهُوَ رُخْصَةٌ عَارِضَةٌ، يَفْعَلُهُ عِنْدَ الْحَاجَةِ، كَمَا إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ؛ لِمَا رَوَى مُعَاذٌ ﵁؛: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ فِي عَزْوَةِ تَبُوكَ: إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ زَيْغِ الشَّمْسِ؛ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ وَيُصَلِّيَهُمَا جَمْعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ؛ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمْعًا ثُمَّ سَارَ، وَكَانَ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ.

Musafir boleh menjamak shalat Zhuhur dengan Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dengan Isya'; pada waktu salah satunya; setiap musafir yang boleh mengqashar shalat; maka ia boleh menjamak, dan itu adalah rukhshah (keringanan) yang bersifat sementara, dilakukan ketika ada kebutuhan, seperti ketika perjalanan menjadi berat; berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Mu'adz ﵁: "Bahwa Nabi ﷺ ketika dalam perang Tabuk: jika berangkat sebelum matahari tergelincir; beliau mengakhirkan shalat Zhuhur hingga menjamaknya dengan shalat Ashar dan melaksanakannya dengan jamak, dan jika berangkat setelah matahari tergelincir; beliau shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak kemudian berangkat, dan beliau melakukan seperti itu pada shalat Maghrib dan Isya'", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi.

وَإِذَا نَزَلَ الْمُسَافِرُ فِي أَثْنَاءِ سَفَرِهِ لِلرَّاحَةِ؛ فَالْأَفْضَلُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ كُلَّ صَلَاةٍ فِي وَقْتِهَا قَصْرًا بِلَا جَمْعٍ.

Jika musafir singgah di tengah perjalanannya untuk beristirahat; maka yang lebih utama baginya adalah melaksanakan setiap shalat pada waktunya dengan qashar tanpa jamak.

وَيُبَاحُ الْجَمْعُ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لِلْمَرِيضِ الَّذِي يَلْحَقُهُ بِتَرْكِ الْجَمْعِ مَشَقَّةٌ.

Dibolehkan menjamak antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya' bagi orang sakit yang akan mendapatkan kesulitan jika meninggalkan jamak.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَإِنَّمَا كَانَ الْجَمْعُ لِرَفْعِ الْحَرَجِ عَنِ الْأُمَّةِ، فَإِذَا احْتَاجُوا الْجَمْعَ؛ جَمَعُوا، وَالْأَحَادِيثُ كُلُّهَا تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَجْمَعُ فِي الْوَقْتِ الْوَاحِدِ لِرَفْعِ الْحَرَجِ عَنْ أُمَّتِهِ، فَيُبَاحُ الْجَمْعُ إِذَا كَانَ فِي

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Sesungguhnya jamak itu untuk menghilangkan kesulitan dari umat, jika mereka membutuhkan jamak; mereka boleh menjamak, dan semua hadits menunjukkan bahwa jamak dilakukan pada satu waktu untuk menghilangkan kesulitan dari umatnya, maka dibolehkan jamak jika dalam

تَرْكُهُ حَرَجٌ قَدْ رَفَعَهُ اللهُ عَنِ الأُمَّةِ، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى الجَمْعِ لِلْمَرَضِ الَّذِي يُحْرِجُ صَاحِبَهُ بِتَفْرِيقِ الصَّلَاةِ بِطَرِيقِ الأَوْلَى وَالأَحْرَى

Meninggalkannya adalah kesulitan yang telah Allah hilangkan dari umat ini, dan itu menunjukkan bolehnya menjamak shalat karena sakit yang menyulitkan pemiliknya untuk memisahkan shalat dengan cara yang lebih utama.

وَقَالَ أَيْضًا "يَجْمَعُ المَرْضَى كَمَا جَاءَتْ بِذَلِكَ السُّنَّةُ فِي جَمْعِ المُسْتَحَاضَةِ؛ فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَهَا بِالجَمْعِ فِي حَدِيثَيْنِ، وَيُبَاحُ الجَمْعُ لِمَنْ يَعْجِزُ عَنِ الطَّهَارَةِ لِكُلِّ صَلَاةٍ؛ كَمَنْ بِهِ سَلَسُ بَوْلٍ، أَوْ جُرْحٌ لَا يَرْقَأُ دَمُهُ، أَوْ رُعَافٌ دَائِمٌ؛ قِيَاسًا عَلَى المُسْتَحَاضَةِ؛ فَقَدْ قَالَ ﷺ لِحَمْنَةَ حِينَ اسْتَفْتَتْهُ فِي الِاسْتِحَاضَةِ: "وَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي الظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي العَصْرَ، فَتَغْتَسِلِينَ، ثُمَّ تُصَلِّينَ الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمْعًا ثُمَّ تُؤَخِّرِي المَغْرِبَ وَتُعَجِّلِي العِشَاءَ، ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ، وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ؛ فَافْعَلِي" رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ

Dia juga berkata, "Orang-orang yang sakit boleh menjamak shalat sebagaimana hal itu datang dalam sunnah tentang jamaknya wanita yang istihadhah; karena Nabi ﷺ memerintahkannya untuk menjamak dalam dua hadits. Dan dibolehkan menjamak bagi orang yang tidak mampu bersuci untuk setiap shalat; seperti orang yang mengalami inkontinensia urin, atau luka yang darahnya tidak berhenti, atau mimisan terus-menerus; diqiyaskan kepada wanita yang istihadhah. Nabi ﷺ bersabda kepada Hamnah ketika dia meminta fatwa tentang istihadhah: 'Jika kamu mampu untuk mengakhirkan Zhuhur dan mempercepat Ashar, lalu mandi, kemudian shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak, kemudian mengakhirkan Maghrib dan mempercepat Isya, lalu mandi, dan menjamak antara dua shalat; maka lakukanlah.' Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi, dan dia menshahihkannya."

وَيُبَاحُ الجَمْعُ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ خَاصَّةً لِحُصُولِ مَطَرٍ يَبُلُّ الثِّيَابَ، وَتُوجَدُ مَعَهُ مَشَقَّةٌ؛ لِأَنَّهُ عَلَيْهِ ﷺ جَمَعَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ، وَفَعَلَهُ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ.

Dan dibolehkan menjamak antara Maghrib dan Isya secara khusus karena turunnya hujan yang membasahi pakaian, dan terdapat kesulitan bersamanya; karena Nabi ﷺ menjamak antara Maghrib dan Isya di malam yang hujan, dan Abu Bakar serta Umar melakukannya.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "يَجُوزُ الْجَمْعُ لِلْوَحْلِ الشَّدِيدِ وَالرِّيحِ الشَّدِيدَةِ الْبَارِدَةِ فِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْمَطَرُ نَازِلًا فِي أَصَحِّ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ، وَذَلِكَ أَوْلَى مِنْ أَنْ يُصَلُّوا فِي بُيُوتِهِمْ، بَلْ تَرْكُ الْجَمَاعَةِ مَعَ الصَّلَاةِ فِي الْبُيُوتِ بِدْعَةٌ مُخَالِفَةٌ لِلسُّنَّةِ؛ إِذِ السُّنَّةُ أَنْ تُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ فِي الْمَسْجِدِ جَمَاعَةً، وَذَلِكَ أَوْلَى مِنَ الصَّلَاةِ فِي الْبُيُوتِ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ، وَالصَّلَاةُ جَمْعًا فِي الْمَسَاجِدِ أَوْلَى مِنَ الصَّلَاةِ فِي الْبُيُوتِ مُفَرَّقَةً بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ الَّذِينَ يُجَوِّزُونَ الْجَمْعَ؛ كَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ" انْتَهَى.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Diperbolehkan menjamak shalat karena lumpur yang parah, angin kencang yang dingin di malam yang gelap, dan sejenisnya, meskipun hujan tidak turun menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama, dan itu lebih utama daripada shalat di rumah mereka. Bahkan meninggalkan shalat berjamaah dan shalat di rumah adalah bid'ah yang bertentangan dengan sunnah. Karena sunnahnya adalah melaksanakan shalat lima waktu di masjid secara berjamaah, dan itu lebih utama daripada shalat di rumah dengan kesepakatan kaum muslimin. Shalat dengan jamak di masjid lebih utama daripada shalat di rumah secara terpisah dengan kesepakatan para imam yang membolehkan jamak; seperti Malik, Asy-Syafi'i, dan Ahmad." Selesai.

وَمَنْ يُبَاحُ لَهُ الْجَمْعُ؛ فَالْأَفْضَلُ لَهُ أَنْ يَفْعَلَ الْأَرْفَقَ بِهِ مِنْ جَمْعِ تَأْخِيرٍ أَوْ جَمْعِ تَقْدِيمٍ، وَالْأَفْضَلُ بِعَرَفَةَ جَمْعُ التَّقْدِيمِ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَبِمُزْدَلِفَةَ الْأَفْضَلُ جَمْعُ التَّأْخِيرِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ؛ لِفِعْلِهِ ﷺ، وَجَمْعُ التَّقْدِيمِ بِعَرَفَةَ لِأَجْلِ اتِّصَالِ الْوُقُوفِ، وَجَمْعُ التَّأْخِيرِ بِمُزْدَلِفَةَ مِنْ أَجْلِ مُوَاصَلَةِ السَّيْرِ إِلَيْهَا.

Bagi yang diperbolehkan menjamak shalat, yang terbaik baginya adalah melakukan yang paling nyaman baginya, baik jamak ta'khir atau jamak taqdim. Yang terbaik di Arafah adalah jamak taqdim antara Zuhur dan Asar, dan di Muzdalifah yang terbaik adalah jamak ta'khir antara Maghrib dan Isya, karena perbuatan Nabi ﷺ. Jamak taqdim di Arafah adalah untuk menyambung wukuf, dan jamak ta'khir di Muzdalifah adalah untuk meneruskan perjalanan ke sana.

وَبِالْجُمْلَةِ؛ فَالْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي عَرَفَةَ وَمُزْدَلِفَةَ سُنَّةٌ، وَفِي غَيْرِهَا مُبَاحٌ يُفْعَلُ عِنْدَ الْحَاجَةِ، وَإِذَا لَمْ تَدْعُ إِلَيْهِ حَاجَةٌ؛ فَالْأَفْضَلُ لِلْمُسَافِرِ أَدَاءُ كُلِّ صَلَاةٍ فِي وَقْتِهَا؛ فَالنَّبِيُّ ﷺ لَمْ يَجْمَعْ فِي أَيَّامِ الْحَجِّ إِلَّا

Secara keseluruhan, menjamak shalat di Arafah dan Muzdalifah adalah sunnah, sedangkan di selain keduanya diperbolehkan dan dilakukan ketika ada kebutuhan. Jika tidak ada kebutuhan yang menuntut untuk menjamak, maka yang terbaik bagi musafir adalah melaksanakan setiap shalat pada waktunya. Nabi ﷺ tidak menjamak shalat pada hari-hari haji kecuali

بِعَرَفَةَ وَمُزْدَلِفَةَ، وَلَمْ يَجْمَعْ بِمِنًى؛ لِأَنَّهُ نَازِلٌ، وَإِنَّمَا كَانَ يَجْمَعُ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ.

Di Arafah dan Muzdalifah, dan dia tidak mengumpulkan (shalat) di Mina; karena dia sedang turun, dan dia hanya mengumpulkan (shalat) ketika perjalanan menjadi berat baginya.

هَذَا وَنَسْأَلُ اللهَ لِلْجَمِيعِ التَّوْفِيقَ لِلْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ.

Ini dan kami memohon kepada Allah bagi semua orang agar diberi taufik untuk ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.

رَابِعًا: صَلَاةُ الْخَوْفِ

Keempat: Shalat Khauf

تُشْرَعُ صَلَاةُ الْخَوْفِ فِي كُلِّ وَقْتٍ مُبَاحٍ؛ كَقِتَالِ الْكُفَّارِ وَالْبُغَاةِ وَالْمُحَارِبِينَ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا﴾، وَقِيسَ عَلَيْهِ الْبَاقِي مِمَّنْ يَجُوزُ قِتَالُهُ، وَلَا تَجُوزُ صَلَاةُ الْخَوْفِ فِي قِتَالٍ مُحَرَّمٍ

Shalat khauf disyariatkan pada setiap waktu yang diperbolehkan; seperti memerangi orang-orang kafir, pemberontak, dan para perampok; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika kamu takut diserang orang-orang kafir", dan diqiyaskan kepadanya yang tersisa dari orang-orang yang boleh diperangi, dan shalat khauf tidak boleh dilakukan dalam peperangan yang diharamkan

وَالدَّلِيلُ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ صَلَاةِ الْخَوْفِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ:

Dan dalil atas disyariatkannya shalat khauf adalah Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma':

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ﴾ .

Allah Ta'ala berfirman: "Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) bersamamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila mereka (yang salat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang lain yang belum salat, lalu mereka salat bersamamu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ﵀: "صَحَّتْ صَلَاةُ الْخَوْفِ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ مِنْ خَمْسَةِ أَوْجُهٍ أَوْ سِتَّةٍ كُلُّهَا جَائِزَةٌ " اه.

Imam Ahmad ﵀ berkata: "Shalat khauf telah sahih dari Nabi ﷺ dengan lima atau enam cara, semuanya diperbolehkan." Selesai.

فَهِيَ مَشْرُوعَةٌ فِي زَمَنِهِ ﷺ، وَتَسْتَمِرُّ مَشْرُوعِيَّتُهَا إِلَى آخِرِ الدَّهْرِ، وَأَجْمَعَ عَلَى ذَلِكَ الصَّحَابَةُ وَسَائِرُ الْأَئِمَّةِ مَا عَدَا خِلَافًا قَلِيلًا لَا يُعْتَدُّ بِهِ.

Maka shalat khauf disyariatkan pada masa Nabi ﷺ, dan keabsahannya berlanjut hingga akhir zaman, dan para sahabat serta seluruh imam sepakat atas hal itu, kecuali sedikit perbedaan pendapat yang tidak diperhitungkan.

وَتُفْعَلُ صَلَاةُ الْخَوْفِ عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَيْهَا سَفَرًا وَحَضَرًا، إِذَا خِيفَ هُجُومُ الْعَدُوِّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ؛ لِأَنَّ الْمُبِيحَ لَهَا هُوَ الْخَوْفُ لَا السَّفَرُ، لَكِنْ صَلَاةُ الْخَوْفِ فِي الْحَضَرِ لَا يُقْصَرُ فِيهَا عَدَدُ الرَّكَعَاتِ، وَإِنَّمَا تُقْصَرُ فِيهَا صِفَةُ الصَّلَاةِ،

Dan shalat khauf dilakukan ketika dibutuhkan, baik dalam perjalanan maupun mukim, jika dikhawatirkan serangan musuh terhadap kaum muslimin; karena yang membolehkannya adalah rasa takut, bukan perjalanan. Akan tetapi, shalat khauf dalam keadaan mukim tidak diqashar jumlah rakaatnya, melainkan hanya diqashar sifat shalatnya,

وَصَلَاةُ الْخَوْفِ فِي السَّفَرِ يُقْصَرُ فِيهَا عَدَدُ الرَّكَعَاتِ إِذَا كَانَتْ رُبَاعِيَّةً، وَتُقْصَرُ فِيهَا الصِّفَةُ.

Shalat khauf dalam perjalanan, jumlah rakaatnya dipersingkat jika shalat tersebut empat rakaat, dan sifatnya juga dipersingkat.

وَتُشْرَعُ صَلَاةُ الْخَوْفِ بِشَرْطَيْنِ:

Shalat khauf disyariatkan dengan dua syarat:

الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُونَ الْعَدُوُّ يَحِلُّ قِتَالُهُ كَمَا سَبَقَ.

Syarat pertama: Musuh tersebut boleh diperangi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

الشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَخَافَ هُجُومَهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ حَالَ الصَّلَاةِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا﴾، وَقَوْلِهِ ﴿وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً﴾ .

Syarat kedua: Takut akan serangan musuh terhadap kaum muslimin saat shalat; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika kamu takut diserang orang-orang kafir", dan firman-Nya "Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus".

وَمِنْ صِفَاتِ صَلَاةِ الْخَوْفِ: الصِّفَةُ الْوَارِدَةُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي حَدِيثِ سَهْلِ ابْنِ أَبِي هَثْمَهِ الْأَنْصَارِيِّ ﵁.

Di antara sifat shalat khauf: Sifat yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ dalam hadits Sahl bin Abi Hatsmah Al-Anshari ﵁.

وَقَدِ اخْتَارَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ الْعَمَلَ بِهَا؛ لِأَنَّهَا أَشْبَهُ بِالصِّفَةِ الْمَذْكُورَةِ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، وَفِيهَا احْتِيَاطٌ لِلصَّلَاةِ وَاحْتِيَاطٌ لِلْحَرْبِ، وَفِيهَا نَكَايَةٌ بِالْعَدُوِّ، وَقَدْ فَعَلَ ﷺ هَذِهِ الصَّلَاةَ فِي غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ.

Imam Ahmad telah memilih untuk mengamalkannya; karena ia lebih mirip dengan sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an, di dalamnya terdapat kehati-hatian terhadap shalat dan kehati-hatian terhadap perang, serta di dalamnya terdapat pukulan terhadap musuh. Nabi ﷺ telah melakukan shalat ini dalam perang Dzatur Riqa'.

وَصِفَتُهَا كَمَا رَوَاهَا سَهْلٌ هِيَ:

Sifatnya seperti yang diriwayatkan oleh Sahl adalah:

"أَنَّ طَائِفَةً صَفَّتْ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ وَطَائِفَةً وِجَاهَ الْعَدُوِّ، فَصَلَّى بِالَّتِي مَعَهُ رَكْعَةً، ثُمَّ ثَبَتَ قَائِمًا وَأَتَمُّوا لِأَنْفُسِهِمْ، ثُمَّ انْصَرَفُوا وَصَفُّوا وِجَاهَ الْعَدُوِّ، وَجَاءَتِ الطَّائِفَةُ الْأُخْرَى، فَصَلَّى بِهِمُ الرَّكْعَةَ الَّتِي بَقِيَتْ مِنْ صَلَاتِهِ، ثُمَّ ثَبَتَ جَالِسًا وَأَتَمُّوا لِأَنْفُسِهِمْ، ثُمَّ سَلَّمَ بِهِمْ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

"Bahwa satu kelompok berbaris bersama Nabi ﷺ dan kelompok lainnya menghadap musuh. Beliau shalat bersama kelompok yang bersamanya satu rakaat, kemudian beliau berdiri dan mereka menyempurnakan untuk diri mereka sendiri. Kemudian mereka pergi dan berbaris menghadap musuh, lalu datanglah kelompok yang lain. Maka beliau shalat bersama mereka satu rakaat yang tersisa dari shalatnya, kemudian beliau duduk dan mereka menyempurnakan untuk diri mereka sendiri, kemudian beliau salam bersama mereka". Muttafaqun 'alaih.

وَمِنْ صِفَاتِ صَلَاةِ الْخَوْفِ: مَا رَوَى جَابِرٌ؛ قَالَ:

Di antara sifat shalat khauf: Apa yang diriwayatkan oleh Jabir; ia berkata:

"شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ صَلَاةَ الْخَوْفِ، فَصَفَفْنَا صَفَّيْنِ وَالْعَدُوُّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ، فَكَبَّرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَكَبَّرْنَا ثُمَّ رَكَعَ وَرَكَعْنَا جَمِيعًا، ثُمَّ رَفَعَ

"Aku menyaksikan shalat khauf bersama Rasulullah ﷺ, kami berbaris menjadi dua shaf dan musuh berada di antara kami dan kiblat. Rasulullah ﷺ bertakbir lalu kami bertakbir kemudian beliau rukuk dan kami semua rukuk, kemudian beliau bangkit"

رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَرَفَعْنَا جَمِيعًا، ثُمَّ انْحَدَرَ بِالسُّجُودِ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ، وَقَامَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ فِي نَحْرِ الْعَدُوِّ، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ ﷺ السُّجُودَ، وَقَامَ الصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ؛ انْحَدَرَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ بِالسُّجُودِ، وَقَامُوا، ثُمَّ تَقَدَّمَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ وَتَأَخَّرَ الصَّفُّ الْمُقَدَّمُ، ثُمَّ رَكَعَ وَرَكَعْنَا جَمِيعًا، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ وَرَفَعْنَا جَمِيعًا، ثُمَّ انْحَدَرَ بِالسُّجُودِ وَالصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ وَكَانَ مُؤَخَّرًا فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى، وَقَامَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ فِي نَحْرِ الْعَدُوِّ، فَلَمَّا قَضَى ﷺ السُّجُودَ، وَقَامَ الصَّفُّ الَّذِي يَلِيهِ؛ انْحَدَرَ الصَّفُّ الْمُؤَخَّرُ بِالسُّجُودِ، فَسَجَدُوا، ثُمَّ سَلَّمَ ﷺ وَسَلَّمْنَا جَمِيعًا

Dia mengangkat kepalanya dari ruku' dan kami semua mengangkat, kemudian dia turun untuk sujud bersama shaf yang berada di belakangnya, sementara shaf yang paling belakang berdiri menghadap musuh. Ketika Nabi ﷺ selesai sujud dan shaf yang berada di belakangnya berdiri, shaf yang paling belakang turun untuk sujud, lalu mereka berdiri. Kemudian shaf yang paling belakang maju ke depan dan shaf yang paling depan mundur ke belakang. Lalu beliau ruku' dan kami semua ruku', kemudian beliau mengangkat kepalanya dari ruku' dan kami semua mengangkat. Kemudian beliau turun untuk sujud bersama shaf yang berada di belakangnya, yang tadinya berada di belakang pada rakaat pertama, sementara shaf yang paling belakang berdiri menghadap musuh. Ketika Nabi ﷺ selesai sujud dan shaf yang berada di belakangnya berdiri, shaf yang paling belakang turun untuk sujud, lalu mereka sujud. Kemudian Nabi ﷺ salam dan kami semua salam.

رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Diriwayatkan oleh Muslim.

وَمِنْ صِفَاتِ صَلَاةِ الْخَوْفِ: مَا رَوَاهُ ابْنُ عُمَرَ؛ قَالَ:

Dan di antara bentuk shalat khauf adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, ia berkata:

"قَامَ النَّبِيُّ ﷺ صَلَاةَ الْخَوْفِ بِإِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ رَكْعَةً وَسَجْدَتَيْنِ وَالْأُخْرَى مُوَاجِهَةَ الْعَدُوَى، ثُمَّ انْصَرَفُوا وَقَامُوا مَقَامَ أَصْحَابِهِمْ مُقْبِلِينَ عَلَى الْعَدُوِّ، وَجَاءَ أُولَئِكَ فَصَلَّى بِهِمْ رَكْعَةً، ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ قَضَى هَؤُلَاءِ رَكْعَةً، وَهَؤُلَاءِ رَكْعَةً"

"Nabi ﷺ melakukan shalat khauf dengan salah satu dari dua kelompok satu rakaat dan dua sujud, sementara kelompok lainnya menghadap musuh. Kemudian mereka pergi dan berdiri di tempat rekan-rekan mereka menghadap musuh, dan kelompok itu datang, lalu beliau shalat bersama mereka satu rakaat, kemudian salam. Kemudian kelompok ini menyempurnakan satu rakaat, dan kelompok itu juga satu rakaat."

مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Muttafaq 'alaih (disepakati oleh Bukhari dan Muslim).

وَمِنْ صِفَاتِ صَلَاةِ الْخَوْفِ:

Dan di antara bentuk shalat khauf:

أَنْ يُصَلِّيَ بِكُلِّ طَائِفَةٍ صَلَاةً، وَيُسَلِّمَ بِهَا، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوا دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ

Bahwa beliau shalat bersama setiap kelompok satu shalat (penuh), dan mengucapkan salam dengannya. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa'i.

وَمِنْ صِفَاتِ صَلَاةِ الْخَوْفِ: مَا رَوَاهُ جَابِرٌ؛ قَالَ:

Dan di antara sifat-sifat shalat khauf: apa yang diriwayatkan oleh Jabir; ia berkata:

"أَقْبَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِذَاتِ الرِّقَاعِ"؛ قَالَ: "فَنُودِيَ لِلصَّلَاةِ، فَصَلَّى بِطَائِفَةٍ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَأَخَّرُوا، فَصَلَّى بِالطَّائِفَةِ الْأُخْرَى رَكْعَتَيْنِ"، قَالَ: "فَكَانَتْ لِرَسُولِ اللهِ ﷺ أَرْبَعٌ وَلِلْقَوْمِ رَكْعَتَانِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

"Kami datang bersama Rasulullah ﷺ hingga ketika kami berada di Dzatur Riqa'"; ia berkata: "Lalu diserukan untuk shalat, maka beliau shalat bersama satu kelompok dua rakaat kemudian mereka mundur, lalu beliau shalat bersama kelompok yang lain dua rakaat", ia berkata: "Maka Rasulullah ﷺ mendapatkan empat (rakaat) dan orang-orang mendapatkan dua rakaat", muttafaqun 'alaih.

وَهَذِهِ الصِّفَاتُ تُفْعَلُ إِذَا لَمْ يَشْتَدَّ الْخَوْفُ، فَإِذَا اشْتَدَّ الْخَوْفُ؛ بِأَنْ تَوَاصَلَ الطَّعْنُ وَالضَّرْبُ وَالْكَرُّ وَالْفَرُّ، وَلَمْ يُمْكِنْ تَفْرِيقُ الْقَوْمِ وَصَلَاتُهُمْ عَلَى مَا ذُكِرَ، وَحَانَ وَقْتُ الصَّلَاةِ؛ صَلَّوْا عَلَى حَسَبِ حَالِهِمْ، رِجَالًا وَرُكْبَانًا، لِلْقِبْلَةِ وَغَيْرِهَا يُومِئُونَ بِالرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ حَسَبَ طَاقَتِهِمْ، وَلَا يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا﴾؛ أَيْ فَصَلُّوا رِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا، وَالرِّجَالُ جَمْعُ رَاجِلٍ، وَهُوَ الْكَائِنُ عَلَى رِجْلَيْهِ مَاشِيًا أَوْ وَاقِفًا، وَالرُّكْبَانُ جَمْعُ رَاكِبٍ.

Dan sifat-sifat ini dilakukan jika rasa takut tidak memuncak, namun jika rasa takut memuncak; dengan terus-menerusnya tusukan, pukulan, serangan dan mundur, dan tidak memungkinkan untuk memisahkan orang-orang dan shalat mereka sebagaimana yang telah disebutkan, dan waktu shalat telah tiba; maka mereka shalat sesuai keadaan mereka, dengan berjalan kaki atau berkendaraan, menghadap kiblat atau selainnya, mereka memberi isyarat rukuk dan sujud sesuai kemampuan mereka, dan mereka tidak menunda shalat; karena firman Allah Ta'ala: ﴿Jika kamu dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan﴾; yakni shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan, dan ar-rijal adalah bentuk jamak dari rajil, yaitu yang berada di atas kedua kakinya sambil berjalan atau berdiri, dan ar-rukban adalah bentuk jamak dari rakib.

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَحْمِلَ مَعَهُ فِي صَلَاةِ الْخَوْفِ مِنَ السِّلَاحِ مَا يَدْفَعُ بِهِ عَنْ نَفْسِهِ وَلَا يُثْقِلُهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ﴾ .

Dan dianjurkan untuk membawa bersamanya dalam shalat khauf senjata yang dengannya ia dapat mempertahankan dirinya dan tidak memberatkannya; karena firman Allah Ta'ala: ﴿Dan hendaklah mereka membawa senjata-senjata mereka﴾.

وَمِثْلُ شِدَّةِ الْخَوْفِ: حَالَةُ الْهَرَبِ مِنْ عَدُوٍّ أَوْ سَيْلٍ أَوْ سَبُعٍ أَوْ خَوْفُ فَوَاتِ عَدُوٍّ يَطْلُبُهُ؛ فَيُصَلِّي فِي هَذِهِ الْحَالَةِ رَاكِبًا أَوْ مَاشِيًا، مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَغَيْرَ مُسْتَقْبِلِهَا، يُومِئُ بِالرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ.

Dan seperti kerasnya rasa takut: keadaan melarikan diri dari musuh, banjir, binatang buas, atau takut luputnya musuh yang mengejarnya; maka ia shalat dalam keadaan ini sambil berkendaraan atau berjalan, menghadap kiblat atau tidak menghadapnya, memberi isyarat rukuk dan sujud.

وَنَسْتَفِيدُ مِنْ صَلَاةِ الْخَوْفِ عَلَى هَذِهِ الْكَيْفِيَّاتِ الْعَجِيبَةِ وَالتَّنْظِيمِ الدَّقِيقِ:

Dan kita mendapatkan manfaat dari shalat khauf dengan cara yang menakjubkan dan pengaturan yang cermat ini:

أَهَمِّيَّةَ الصَّلَاةِ فِي الْإِسْلَامِ، وَأَهَمِّيَّةَ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ بِالذَّاتِ، فَإِنَّهُمَا لَمْ يَسْقُطَا فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الْحَرِجَةِ؛

Pentingnya shalat dalam Islam, dan pentingnya shalat berjamaah pada khususnya, karena keduanya tidak gugur dalam kondisi sulit ini;

كَمَا نَسْتَفِيدُ كَمَالَ هَذِهِ الشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ، وَأَنَّهَا شَرَعَتْ لِكُلِّ حَالَةٍ مَا يُنَاسِبُهَا،

Sebagaimana kita juga mendapatkan kesempurnaan syariat Islam ini, dan bahwa ia mensyariatkan untuk setiap keadaan apa yang sesuai dengannya,

كَمَا نَسْتَفِيدُ نَفْيَ الْحَرَجِ عَنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَسَمَاحَةَ هَذِهِ الشَّرِيعَةِ، وَصَلَاحِيَّتَهَا لِكُلِّ زَمَانٍ وَمَكَانٍ.

Sebagaimana kita juga mendapatkan penafian kesulitan dari umat ini, toleransi syariat ini, dan kesesuaiannya untuk setiap zaman dan tempat.

نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَرْزُقَنَا التَّمَسُّكَ بِهَا وَالْوَفَاةَ عَلَيْهَا؛ إِنَّهُ سَمِيعٌ مُجِيبٌ.

Kita memohon kepada Allah agar memberi kita rezeki untuk berpegang teguh dengannya dan wafat di atasnya; sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

بَابٌ فِي أَحْكَامِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ

بَابٌ فِي أَحْكَامِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ

Bab tentang hukum-hukum shalat Jumat

سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِجَمْعِهَا الْخَلْقَ الْكَثِيرَ، وَيَوْمُهَا أَفْضَلُ أَيَّامِ الْأُسْبُوعِ.

Dinamakan demikian karena mengumpulkan banyak makhluk, dan harinya adalah hari terbaik dalam seminggu.

فَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" وَغَيْرِهِمَا: "مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ".

Dalam "Shahihain" dan lainnya: "Di antara hari-hari terbaik kalian adalah hari Jumat".

وَقَالَ ﷺ: "نَحْنُ الْآخِرُونَ الْأَوَّلُونَ السَّابِقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا، ثُمَّ هَذَا يَوْمُهُمُ الَّذِي فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ، فَاخْتَلَفُوا فِيهِ، فَهَدَانَا اللَّهُ لَهُ، وَالنَّاسُ لَنَا فِيهِ تَبَعٌ".

Beliau ﷺ bersabda: "Kami adalah yang terakhir namun yang pertama dan terdahulu pada hari Kiamat; hanya saja mereka diberi Kitab sebelum kami, kemudian ini adalah hari mereka yang Allah wajibkan atas mereka, lalu mereka berselisih tentangnya, maka Allah memberi kami petunjuk kepadanya, dan manusia mengikuti kami dalam hal itu".

وَرَوَى مُسْلِمٌ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "أَضَلَّ اللَّهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَهَا، فَكَانَ لِلْيَهُودِ يَوْمُ السَّبْتِ، وَلِلنَّصَارَى يَوْمُ الْأَحَدِ، فَجَاءَ اللَّهُ بِنَا، فَهَدَانَا لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ".

Muslim meriwayatkan darinya ﷺ bahwa beliau bersabda: "Allah menyesatkan dari hari Jumat orang-orang sebelumnya, maka bagi orang Yahudi adalah hari Sabtu, dan bagi orang Nasrani adalah hari Minggu, lalu Allah mendatangkan kita, dan memberi kita petunjuk kepada hari Jumat".

شُرِعَ اجْتِمَاعُ الْمُسْلِمِينَ فِيهِ لِتَنْبِيهِهِمْ عَلَى عِظَمِ نِعَمِ اللهِ عَلَيْهِمْ، وَشُرِعَتْ فِيهِ الْخُطْبَةُ لِتَذْكِيرِهِمْ بِتِلْكَ النِّعْمَةِ، وَحَثِّهِمْ عَلَى شُكْرِهَا، وَشُرِعَتْ فِيهِ صَلَاةُ الْجُمُعَةِ فِي وَسَطِ النَّهَارِ؛ الِاجْتِمَاعُ فِي الْمَسْجِدِ وَاحِدٌ.

Berkumpulnya umat Islam pada hari itu disyariatkan untuk mengingatkan mereka akan besarnya nikmat Allah atas mereka, dan khutbah disyariatkan untuk mengingatkan mereka akan nikmat tersebut, serta mendorong mereka untuk bersyukur atasnya, dan shalat Jumat disyariatkan di tengah siang; berkumpul di masjid adalah satu.

وَأَمَرَ اللهُ الْمُؤْمِنِينَ بِحُضُورِ ذَلِكَ الِاجْتِمَاعِ وَاسْتِمَاعِ الْخُطْبَةِ وَإِقَامَةِ تِلْكَ الصَّلَاةِ، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ .

Dan Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menghadiri pertemuan itu, mendengarkan khutbah dan mendirikan shalat tersebut, dan Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum'at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: "كَانَ مِنْ هَدْيِ النَّبِيِّ ﷺ تَعْظِيمُ هَذَا الْيَوْمِ وَتَشْرِيفُهُ وَتَخْصِيصُهُ بِعِبَادَاتٍ يَخْتَصُّ بِهَا عَنْ غَيْرِهِ، وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ؛ هَلْ هُوَ أَفْضَلُ أَمْ يَوْمُ عَرَفَةَ؟ هُمَا وَجْهَانِ لِأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ، وَكَانَ ﷺ يَقْرَأُ فِي فَجْرِ بِسُورَتَيْ ﴿الم تَنْزِيلُ﴾، وَ﴿هَلْ أَتَى عَلَى الْأِنْسَانِ﴾ ".

Ibnu Qayyim berkata: "Termasuk petunjuk Nabi ﷺ adalah mengagungkan hari ini, memuliakannya, dan mengkhususkannya dengan ibadah-ibadah yang khusus untuknya, dan para ulama berbeda pendapat; apakah ia lebih utama atau hari Arafah? Keduanya adalah dua pendapat bagi pengikut Syafi'i, dan Nabi ﷺ membaca pada waktu Subuh dengan surah ﴿الم تَنْزِيلُ﴾ dan ﴿هَلْ أَتَى عَلَى الْأِنْسَانِ﴾."

إِلَى أَنْ قَالَ: "وَسَمِعْتُ شَيْخَ الْإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ يَقُولُ: إِنَّمَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَقْرَأُ هَاتَيْنِ السُّورَتَيْنِ فِي فَجْرِ الْجُمُعَةِ لِأَنَّهُمَا تَضَمَّنَتَا مَا كَانَ فِي يَوْمِهَا؛ فَإِنَّهُمَا اشْتَمَلَتَا عَلَى خَلْقِ آدَمَ، وَعَلَى ذِكْرِ الْمَعَادِ، وَحَشْرِ الْعِبَادِ، وَذَلِكَ يَكُونُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَكَانَ فِي قِرَاءَتِهِمَا فِي هَذَا الْيَوْمِ

Sampai ia berkata: "Dan aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Sesungguhnya Nabi ﷺ membaca kedua surah ini pada Subuh hari Jumat karena keduanya mencakup apa yang terjadi pada harinya; karena keduanya mencakup penciptaan Adam, penyebutan hari kembali, dan pengumpulan hamba-hamba, dan itu terjadi pada hari Jumat, dan dalam membacanya pada hari ini

تَذْكِيرٌ لِلْأُمَّةِ بِمَا كَانَ فِيهِ وَيَكُونُ، وَالسَّجْدَةُ جَاءَتْ تَبَعًا، لَيْسَتْ مَقْصُودَةَ الْمُصَلِّي قِرَاءَتَهَا حَيْثُ اتَّفَقَتْ "يَعْنِي: مِنْ أَيِّ سُورَةٍ".

Pengingat bagi umat tentang apa yang telah terjadi dan akan terjadi, dan sujud datang mengikuti, bukan tujuan orang yang salat untuk membacanya di mana pun ia berada "yaitu: dari surah mana pun".

وَمِنْ خَصَائِصِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ: اسْتِحْبَابُ كَثْرَةِ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فِيهِ وَفِي لَيْلَتِهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "أَكْثِرُوا مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ"، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ.

Dan di antara kekhususan hari Jumat: dianjurkan untuk memperbanyak shalawat kepada Nabi ﷺ pada hari itu dan malamnya; karena sabdanya ﷺ: "Perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari Jumat dan malam Jumat", diriwayatkan oleh Al-Baihaqi.

وَمِنْ أَعْظَمِ خَصَائِصِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ: صَلَاةُ الَّتِي هِيَ مِنْ آكَدِ فُرُوضِ الْإِسْلَامِ وَمِنْ أَعْظَمِ مَجَامِعِ الْمُسْلِمِينَ، مَنْ تَرَكَهَا تَهَاوُنًا بِهَا؛ طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ.

Dan di antara kekhususan hari Jumat yang paling agung: salat Jumat yang merupakan salah satu kewajiban Islam yang paling penting dan salah satu pertemuan terbesar umat Islam, barangsiapa meninggalkannya karena menganggap remeh; Allah akan menutup hatinya.

وَمِنْ خَصَائِصِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ: الْأَمْرُ بِالِاغْتِسَالِ فِيهِ، وَهُوَ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ، وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يُوجِبُهُ مُطْلَقًا، وَمِنْهُمْ يُوجِبُهُ فِي حَقِّ مَنْ بِهِ رَائِحَةٌ يَحْتَاجُ إِلَى إِزَالَتِهَا.

Dan di antara kekhususan hari Jumat: perintah untuk mandi pada hari itu, dan itu adalah sunnah yang ditekankan, dan di antara para ulama ada yang mewajibkannya secara mutlak, dan di antara mereka ada yang mewajibkannya bagi orang yang memiliki bau yang perlu dihilangkan.

وَمِنْ خَصَائِصِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ: اسْتِحْبَابُ التَّطَيُّبِ فِيهِ، وَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ التَّطَيُّبِ فِي غَيْرِهِ مِنْ أَيَّامِ الْأُسْبُوعِ.

Dan di antara kekhususan hari Jumat: dianjurkan untuk memakai wewangian pada hari itu, dan itu lebih utama daripada memakai wewangian pada hari-hari lain dalam seminggu.

وَمِنْ خَصَائِصِ هَذَا الْيَوْمِ:

Dan di antara kekhususan hari ini:

اسْتِحْبَابُ التَّكْبِيرِ لِلذَّهَابِ إِلَى الْمَسْجِدِ لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَالِاشْتِغَالُ بِالصَّلَاةِ النَّافِلَةِ وَالذِّكْرِ وَالْقِرَاءَةِ حَتَّى يَخْرُجَ الْإِمَامُ لِلْخُطْبَةِ، وَوُجُوبُ الْإِنْصَاتِ لِلْخُطْبَةِ إِذَا سَمِعَهَا فَإِنْ لَمْ يُنْصِتْ لِلْخُطْبَةِ؛ كَانَ لَاغِيًا، وَمَنْ لَغَا؛ فَلَا جُمُعَةَ لَهُ، وَتَحْرِيمُ الْكَلَامِ وَقْتَ الْخُطْبَةِ؛ فَفِي "الْمُسْنَدِ" مَرْفُوعًا: "وَالَّذِي يَقُولُ لِصَاحِبِهِ: أَنْصِتْ؛ فَلَا جُمُعَةَ لَهُ".

Dianjurkan untuk bertakbir saat pergi ke masjid untuk shalat Jumat, dan menyibukkan diri dengan shalat sunnah, dzikir, dan membaca hingga imam keluar untuk khutbah, dan wajib mendengarkan khutbah jika mendengarnya, jika tidak mendengarkan khutbah; maka dia lalai, dan siapa yang lalai; maka tidak ada Jumat baginya, dan diharamkan berbicara saat khutbah; dalam "Al-Musnad" diriwayatkan: "Dan orang yang berkata kepada temannya: Diamlah; maka tidak ada Jumat baginya".

وَمِنْ خَصَائِصِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ: قِرَاءَةُ سُورَةِ الْكَهْفِ فِي يَوْمِهِ؛ فَقَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: "مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ؛ سَطَعَ لَهُ نُورٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءِ، يُضِيءُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَغُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ"، رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ.

Dan di antara kekhususan hari Jumat: membaca surah Al-Kahf pada harinya; telah ditetapkan dari Nabi ﷺ: "Barangsiapa membaca surah Al-Kahf pada hari Jumat; akan memancar cahaya untuknya dari bawah kakinya hingga ke langit, yang akan meneranginya pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua Jumat", diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi.

وَمِنْ خَصَائِصِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ: أَنَّ فِيهِ سَاعَةَ الْإِجَابَةِ؛ فَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ: "إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ

Dan di antara kekhususan hari Jumat: bahwa di dalamnya terdapat waktu mustajab (dikabulkannya doa); dalam "Shahihain" dari hadits Abu Hurairah: "Sesungguhnya pada hari Jumat terdapat suatu waktu yang tidak bertepatan dengannya seorang hamba

مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا؛ إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ " وَقَالَ بِيَدِهِ؛ يُقَلِّلُهَا"".

Seorang Muslim yang sedang berdiri shalat memohon sesuatu kepada Allah; kecuali Dia akan memberikannya kepadanya " dan dia berkata dengan tangannya; dia meminimalkannya"".

وَمِنْ خَصَائِصِ يَوْمِ الجُمُعَةِ: أَنَّ فِيهِ الخُطْبَةَ الَّتِي يُقْصَدُ بِهَا الثَّنَاءُ عَلَى اللهِ وَتَمْجِيدُهُ وَالشَّهَادَةُ بِالوَحْدَانِيَّةِ وَلِرَسُولِهِ ﷺ بِالرِّسَالَةِ وَتَذْكِيرُ العِبَادِ.

Dan di antara kekhususan hari Jumat: bahwa di dalamnya terdapat khutbah yang dimaksudkan untuk memuji Allah, mengagungkan-Nya, bersaksi akan keesaan-Nya, dan kerasulan Rasul-Nya ﷺ, serta mengingatkan para hamba.

وَخَصَائِصُ هَذَا اليَوْمِ كَثِيرَةٌ، ذَكَرَهَا الإِمَامُ ابْنُ القَيِّمِ فِي كِتَابِهِ "زَادُ المَعَادِ"، فَأَوْصَلَهَا إِلَى ثَلَاثٍ وَثَلَاثِينَ وَمِئَةٍ.

Keistimewaan hari ini banyak, disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya "Zaadul Ma'ad", dan dia menyebutkan hingga seratus tiga puluh tiga.

وَمَعَ هَذَا؛ يَتَسَاهَلُ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فِي حَقِّ هَذَا اليَوْمِ، فَلَا يَكُونُ لَهُ مَزِيَّةٌ عِنْدَهُمْ عَلَى غَيْرِهِ مِنَ الأَيَّامِ، وَالبَعْضُ الآخَرُ يَجْعَلُ هَذَا اليَوْمَ وَقْتًا لِلْكَسَلِ وَالنَّوْمِ، وَالبَعْضُ يُضَيِّعُهُ بِاللَّهْوِ وَاللَّعِبِ وَالغَفْلَةِ عَنْ ذِكْرِ اللهِ، حَتَّى إِنَّهُ لَيَنْقُصُ عَدَدُ المُصَلِّينَ فِي المَسَاجِدِ فِي فَجْرِ ذَلِكَ اليَوْمِ نُقْصَانًا مُلْحُوظًا. فَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ.

Meskipun demikian; banyak orang yang meremehkan hak hari ini, sehingga tidak memiliki kelebihan bagi mereka dibandingkan hari-hari lainnya, dan sebagian yang lain menjadikan hari ini sebagai waktu untuk bermalas-malasan dan tidur, dan sebagian lagi menyia-nyiakannya dengan main-main, bermain, dan lalai dari mengingat Allah, sampai-sampai jumlah orang yang shalat di masjid pada fajar hari itu berkurang secara signifikan. Maka tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

وَيُسْتَحَبُّ التَّكْبِيرُ فِي الذَّهَابِ إِلَى المَسْجِدِ يَوْمَ الجُمُعَةِ، فَإِذَا دَخَلَ المَسْجِدَ؛ صَلَّى تَحِيَّةَ المَسْجِدِ رَكْعَتَيْنِ.

Disunnahkan untuk bertakbir saat pergi ke masjid pada hari Jumat, dan ketika memasuki masjid; shalatlah dua rakaat tahiyatul masjid.

وَإِنْ كَانَ مُبَكِّرًا فَأَرَادَ أَنْ يَتَنَفَّلَ بِزِيَادَةِ صَلَوَاتٍ؛ فَلَا مَانِعَ مِنْ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ السَّلَفَ كَانُوا يُبَكِّرُونَ وَيُصَلُّونَ حَتَّى يَخْرُجَ الإِمَامُ.

Jika datang lebih awal dan ingin melakukan shalat sunnah tambahan; maka tidak ada larangan untuk itu; karena para salaf biasa datang lebih awal dan shalat sampai imam keluar.

قَالَ شَيْخُ الإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَالأَوْلَى لِمَنْ جَاءَ إِلَى الجُمُعَةِ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالصَّلَاةِ حَتَّى يَخْرُجَ الإِمَامُ؛ لِمَا فِي "الصَّحِيحِ" مِنْ

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Yang utama bagi orang yang datang ke shalat Jumat adalah menyibukkan diri dengan shalat sampai imam keluar; karena apa yang ada dalam "Shahih" dari

قَوْلُهُ ﷺ: "ثُمَّ يُصَلِّي مَاكُتِبَ لَهُ"، بَلْ أَلْفَاظُهُ ﷺ فِيهَا التَّرْغِيبُ فِي الصَّلَاةِ إِذَا قَدِمَ الرَّجُلُ الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ غَيْرِ تَوْقِيتٍ، وَهُوَ الْمَأْثُورُ عَنِ الصَّحَابَةِ، كَانُوا إِذَا أَتَوُا الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ؛ يُصَلُّونَ مِنْ حِينَ يَدْخُلُونَ مَا تَيَسَّرَ؛ فَمِنْهُمْ مَنْ يُصَلِّي عَشْرَ رَكَعَاتٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُصَلِّي اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً، وَنْهُمْ مَنْ يُصَلِّي ثَمَانِي رَكَعَاتٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُصَلِّي أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ،

Sabda Nabi ﷺ: "Kemudian dia shalat sesuai yang ditetapkan baginya", bahkan ungkapan-ungkapan beliau ﷺ di dalamnya terdapat dorongan untuk shalat ketika seseorang datang ke masjid pada hari Jumat tanpa batasan waktu tertentu, dan ini yang diriwayatkan dari para sahabat. Mereka ketika datang ke masjid pada hari Jumat, mereka shalat sejak masuk sesuai kemampuan mereka; di antara mereka ada yang shalat sepuluh rakaat, ada yang shalat dua belas rakaat, ada yang shalat delapan rakaat, dan ada yang shalat kurang dari itu.

وَلِهَذَا؛ كَانَ جَمَاهِيرُ الْأَئِمَّةِ مُتَّفِقِينَ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ سُنَّةٌ مُؤَقَّتَةٌ بِوَقْتٍ مُقَدَّرَةٌ بِعَدَدٍ، وَالصَّلَاةُ قَبْلَ الْجُمُعَةِ الْأَقْوَالُ، وَحِينَئِذٍ؛ فَقَدْ يَكُونُ التَّرْكُ أَفْضَلَ أَوْ تَرْكَ؛ لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ، وَهَذَا أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ، وَحِينَئِذٍ؛ فَقَدْ يَكُونُ التَّرْكُ أَفْضَلَ، إِذَا اعْتَقَدَ الْجُهَّالُ أَنَّهَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ" اهـ.

Oleh karena itu, mayoritas imam sepakat bahwa tidak ada sunnah yang ditentukan waktunya sebelum shalat Jumat dengan jumlah tertentu, dan shalat sebelum Jumat memiliki beberapa pendapat. Pada saat itu, meninggalkannya mungkin lebih utama atau meninggalkannya tidak diingkari, dan ini adalah pendapat yang paling adil. Pada saat itu, meninggalkannya mungkin lebih utama jika orang-orang bodoh meyakini bahwa itu adalah sunnah yang tetap.

وَهَذَا مَا يَتَعَلَّقُ بِصَلَاةِ النَّافِلَةِ قَبْلَ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ؛ فَلَيْسَ لَهَا رَاتِبَةٌ قَبْلَهَا، وَإِنَّمَا رَاتِبَتُهَا بَعْدَهَا؛ فَفِي "صَحِيحِ مُسْلِمٍ": "إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ؛ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ"، وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ": "أَنَّهُ ﷺ كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ"، وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْحَدِيثَيْنِ أَنَّهُ إِنْ صَلَّى فِي بَيْتِهِ؛ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَإِنْ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ؛ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ،

Ini berkaitan dengan shalat sunnah sebelum shalat Jumat; tidak ada shalat sunnah rawatib sebelumnya, tetapi sunnah rawatibnya adalah setelahnya. Dalam "Shahih Muslim" disebutkan: "Jika salah seorang di antara kalian telah shalat Jumat, hendaklah ia shalat empat rakaat setelahnya." Dalam "Shahihain" disebutkan: "Bahwasanya Nabi ﷺ biasa shalat dua rakaat setelah Jumat." Penggabungan antara dua hadits tersebut adalah jika seseorang shalat di rumahnya, ia shalat dua rakaat, dan jika ia shalat di masjid, ia shalat empat rakaat.

وَإِنْ شَاءَ صَلَّى سِتَّ رَكَعَاتٍ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ: "كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا صَلَّى الْجُمُعَةَ؛ تَقَدَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَقْدُمُ فَصَلَّى أَرْبَعًا".

Dan jika dia mau, dia bisa shalat enam rakaat; berdasarkan perkataan Ibnu Umar: "Nabi ﷺ ketika selesai shalat Jumat, beliau maju dan shalat dua rakaat, kemudian maju lagi dan shalat empat rakaat".

وَالْأَحَقِّيَّةُ فِي الْمَكَانِ فِي الْمَسْجِدِ لِلسَّابِقِ بِالْحُضُورِ بِنَفْسِهِ، وَأَمَّا مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ حَجْزِ مَكَانٍ فِي الْمَسْجِدِ، تُوضَعُ سَجَّادَةٌ أَوْ عَصًا أَوْ نَعْلَانِ، وَيَتَأَخَّرُ هُوَ عَنِ الْحُضُورِ، وَيَحْرِمُ الْمُتَقَدِّمَ مِنْ ذَلِكَ الْمَكَانِ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ عَمَلٌ غَيْرُ سَائِغٍ، بَلْ صَرَّحَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَمْ لِمَنْ أَتَى الْمَسْجِدَ رَفْعَ مَا وُضِعَ ذَلِكَ الْمَكَانَ وَالصَّلَاةَ فِيهِ؛ لِأَنَّ السَّابِقَ يَسْتَحِقُّ الصَّلَاةَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ، وَلِأَنَّ وَضْعَ الْحِمَى لِلْمَكَانِ فِي الْمَسْجِدِ دُونَ حُضُورِ مِنَ الشَّخْصِ اغْتِصَابٌ لِلْمَكَانِ.

Dan hak atas tempat di masjid adalah bagi yang lebih dulu hadir dengan dirinya sendiri. Adapun apa yang dilakukan orang-orang dengan memesan tempat di masjid, dengan meletakkan sajadah, tongkat, atau sandal, sementara dia terlambat hadir, dan menghalangi orang yang datang lebih awal dari tempat itu; maka itu adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan. Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang datang ke masjid boleh mengangkat apa yang diletakkan di tempat itu dan shalat di sana; karena orang yang datang lebih awal berhak shalat di shaf pertama, dan karena meletakkan pembatas untuk tempat di masjid tanpa kehadiran orang tersebut adalah perampasan tempat.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَأَمَّا مَا يَفْعَلُهُ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ مِنْ تَقَدُّمِ مَفَارِشَ وَنَحْوِهَا إِلَى الْمَسْجِدِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ صَلَاتِهِمْ؛ فَهَذَا مَنْهِيٌّ عَنْهُ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ، بَلْ مُحَرَّمٌ،

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Adapun apa yang dilakukan banyak orang dengan mendahulukan karpet dan sejenisnya ke masjid pada hari Jumat sebelum shalat mereka; maka ini dilarang berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan haram,

وَهَلْ تَصِحُّ صَلَاةٌ عَلَى ذَلِكَ الْمَفْرَشِ؟ فِيهِ قَوْلَانِ لِلْعُلَمَاءِ؛ لِأَنَّهُ غَصَبَ بُقْعَةً فِي الْمَسْجِدِ بِفَرْشِ ذَلِكَ الْمَفْرُوشِ فِيهَا، وَمَنَعَ غَيْرَهُ مِنَ الْمُصَلِّينَ الَّذِينَ يَسْبِقُونَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ أَنْ يُصَلِّيَ فِي الْمَكَانِ، وَالْمَأْمُورُ بِهِ أَنْ يَسْبِقَ الرَّجُلُ بِنَفْسِهِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِذَا قَدَّمَ الْمَفْرُوشَ وَنَحْوَهُ وَتَأَخَّرَ هُوَ؛ فَقَدْ خَالَفَ الشَّرِيعَةَ مِنْ جِهَتَيْنِ: مِنْ جِهَةِ تَأَخُّرِهِ وَهُوَ مَأْمُورٌ بِالتَّقَدُّمِ، وَمِنْ جِهَةِ غَصْبِهِ لِطَائِفَةٍ مِنَ الْمَسْجِدِ وَمَنْعِهِ السَّابِقِينَ لَهُ، وَأَنْ يُتِمُّوا الصَّفَّ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، ثُمَّ إِنَّهُ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ إِذَا حَضَرُوا" اهـ.

dan apakah sah shalat di atas karpet itu? Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama; karena dia telah merampas sebidang tempat di masjid dengan menghamparkan karpet itu di sana, dan menghalangi para jemaah lain yang mendahuluinya ke masjid untuk shalat di tempat itu. Yang diperintahkan adalah hendaknya seseorang mendahului dengan dirinya sendiri ke masjid. Jika dia mendahulukan karpet dan sejenisnya sementara dia sendiri terlambat; maka sungguh dia telah menyalahi syariat dari dua sisi: dari sisi keterlambatannya padahal dia diperintahkan untuk maju, dan dari sisi perampasannya terhadap sebagian masjid dan menghalangi orang-orang yang mendahuluinya, serta agar mereka menyempurnakan shaf pertama dan seterusnya. Kemudian dia melangkahi pundak-pundak orang ketika mereka hadir." Selesai.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْجُمُعَةِ: أَنَّ مَنْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ؛ لَمْ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ يُوجِزُ فِيهِمَا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَقَدْ خَرَجَ الْإِمَامُ؛ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، زَادَ مُسْلِمٌ: "وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا"؛ أَيْ: يُسْرِعُ. فَإِنْ جَلَسَ؛ قَامَ فَأَتَى بِهِمَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ الرَّجُلَ الَّذِي جَلَسَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَهُمَا؛ فَقَالَ لَهُ: "قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ".

Dan di antara hukum-hukum Jumat: bahwa siapa yang masuk masjid dan imam sedang berkhutbah; maka janganlah ia duduk sampai ia shalat dua rakaat dengan meringkasnya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Jika salah seorang di antara kalian datang pada hari Jumat dan imam telah keluar; maka hendaklah ia shalat dua rakaat", muttafaq 'alaih, Muslim menambahkan: "dan hendaklah ia meringkasnya"; yaitu: mempercepat. Jika ia duduk; maka hendaklah ia berdiri dan melakukannya; karena Nabi ﷺ memerintahkan seorang laki-laki yang duduk sebelum shalat keduanya; maka beliau bersabda kepadanya: "Berdirilah dan rukuklah dua rakaat".

وَمِنْ أَحْكَامِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْكَلَامُ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ:

Dan di antara hukum-hukum shalat Jumat bahwa tidak boleh berbicara ketika imam sedang berkhutbah:

لِقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴾ .

Berdasarkan firman Allah Ta'ala ﴿Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat﴾.

قَالَ بَعْضُ الْمُفَسِّرِينَ: "إِنَّهَا نَزَلَتْ فِي الْخُطْبَةِ، وَسُمِّيَتْ قُرْآنًا؛ لِاشْتِمَالِهَا عَلَى الْقُرْآنِ"، وَحَتَّى عَلَى الْقَوْلِ الْآخَرِ بِأَنَّ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي الصَّلَاةِ؛ فَإِنَّهَا تَشْمَلُ بِعُمُومِهَا الْخُطْبَةَ.

Sebagian mufassir berkata: "Sesungguhnya ayat itu turun tentang khutbah, dan dinamakan Al-Qur'an; karena mencakup Al-Qur'an", dan bahkan menurut pendapat lain bahwa ayat itu turun tentang shalat; maka sesungguhnya ia mencakup khutbah secara umum.

وَقَالَ ﷺ: "مَنْ قَالَ صَهْ؛ فَقَدْ لَغَا، فَلَا جُمُعَةَ لَهُ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ

Dan Nabi ﷺ bersabda: "Barangsiapa berkata 'ssh'; maka sungguh ia telah berbuat sia-sia, maka tidak ada Jumat baginya", diriwayatkan oleh Ahmad

وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ: "مَنْ تَكَلَّمَ؛ فَهُوَ كَالْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا،

Dan dalam hadits yang lain: "Barangsiapa berbicara; maka ia seperti keledai yang membawa kitab-kitab,

وَالَّذِي يَقُولُ لَهُ: أَنْصِتْ؛ لَيْسَتْ لَهُ جُمُعَةٌ"، وَالْمُرَادُ لَهُ كَامِلَةٌ.

Dan orang yang berkata kepadanya: "Diamlah, maka tidak ada Jumat baginya", yang dimaksud adalah Jumat yang sempurna.

وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ: "إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ؛ فَقَدْ لَغَوْتَ"؛ أَيْ: قُلْتَ اللَّغْوَ، وَاللَّغْوُ الْإِثْمُ، فَإِذَا كَانَ الَّذِي يَقُولُ لِلْمُتَكَلِّمِ: أَنْصِتْ وَهُوَ فِي الْأَصْلِ يَأْمُرُ بِمَعْرُوفٍ، قَدْ لَغَا، وَهُوَ مَنْهِيٌّ عَنْ ذَلِكَ؛ فَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْكَلَامِ مِنْ بَابٍ أَوْلَى.

Dalam "Shahihain" dari hadits Abu Hurairah: "Jika engkau berkata kepada temanmu pada hari Jumat 'Diamlah' sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berkata sia-sia"; artinya: engkau telah mengatakan perkataan yang sia-sia, dan perkataan yang sia-sia adalah dosa. Jika orang yang berkata kepada orang yang berbicara: 'Diamlah', padahal pada dasarnya dia memerintahkan kebaikan, telah berkata sia-sia, dan dia dilarang dari hal itu; maka selain itu dari pembicaraan lebih utama lagi.

وَيَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يُكَلِّمَ بَعْضَ الْمَأْمُومِينَ حَالَ الْخُطْبَةِ، وَيَجُوزُ لِغَيْرِهِ أَنْ يُكَلِّمَهُ لِمَصْلَحَةٍ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَلَّمَ سَائِلًا، وَكَلَّمَهُ هُوَ، وَتَكَرَّرَ ذَلِكَ فِي عِدَّةِ وَقَائِعَ كَلَّمَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بَعْضَ الصَّحَابَةِ وَكَلَّمُوهُ حَالَ الْخُطْبَةِ فِيمَا فِيهِ مَصْلَحَةٌ وَتَعَلُّمٌ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ لَا يَشْغَلُ عَنْ سَمَاعِ الْخُطْبَةِ.

Imam boleh berbicara dengan sebagian makmum saat khutbah, dan selain imam boleh berbicara dengannya untuk kemaslahatan; karena Nabi ﷺ pernah berbicara dengan penanya, dan penanya itu berbicara dengan beliau. Hal itu terjadi berulang kali dalam beberapa kejadian di mana Rasulullah ﷺ berbicara dengan sebagian sahabat dan mereka berbicara dengan beliau saat khutbah dalam hal yang mengandung kemaslahatan dan pembelajaran, dan karena hal itu tidak menyibukkan dari mendengarkan khutbah.

وَلَا يَجُوزُ لِمَنْ يَسْتَمِعُ الْخُطْبَةَ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَلَى السَّائِلِ وَقْتَ الْخُطْبَةِ، لِأَنَّ السَّائِلَ فَعَلَ مَا لَا يَجُوزُ لَهُ فِعْلُهُ؛ فَلَا يُعِينُهُ عَلَى مَا لَا يَجُوزُ، وَهُوَ الْكَلَامُ حَالَ الْخُطْبَةِ.

Tidak boleh bagi orang yang mendengarkan khutbah untuk bersedekah kepada pengemis pada saat khutbah, karena pengemis itu melakukan apa yang tidak boleh dia lakukan; maka jangan menolongnya dalam hal yang tidak boleh, yaitu berbicara saat khutbah.

وَتُسَنُّ الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ إِذَا سَمِعَهَا مِنَ الْخَطِيبِ، وَلَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِهَا؛ لِئَلَّا يُشْغِلَ غَيْرَهُ بِهَا.

Disunnahkan bershalawat kepada Nabi ﷺ jika mendengarnya dari khatib, dan tidak mengeraskan suaranya dengannya; agar tidak menyibukkan yang lain dengannya.

وَيُسَنُّ أَنْ يُؤَمِّنَ عَلَى دُعَاءِ الْخَطِيبِ بِلَا رَفْعِ صَوْتٍ.

Disunnahkan untuk mengamini doa khatib tanpa mengeraskan suara.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَرَفْعُ الصَّوْتِ قُدَّامَ الْخَطِيبِ مَكْرُوهٌ أَوْ مُحَرَّمٌ اتِّفَاقًا، وَلَا يَرْفَعُ الْمُؤَذِّنُ وَلَا غَيْرُهُ صَوْتَهُ بِصَلَاةٍ وَلَا غَيْرِهَا" اه.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Mengeraskan suara di depan khatib adalah makruh atau haram berdasarkan kesepakatan ulama, dan muadzin atau yang lainnya tidak boleh mengeraskan suaranya dengan shalat atau lainnya." Selesai.

وَيُلَاحَظُ أَنَّ هَذَا الَّذِي نَبَّهَ عَلَيْهِ الشَّيْخُ لَا يَزَالُ مَوْجُودًا فِي بَعْضِ الْأَمْصَارِ؛ مِنْ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالصَّلَاةِ عَلَى الرَّسُولِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَدْعِيَةِ حَالَ الْخُطْبَةِ أَوْ قَبْلَهَا أَوْ بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ، وَرُبَّمَا أَنَّ بَعْضَ الْخُطَبَاءِ يَأْمُرُ الْحَاضِرِينَ بِذَلِكَ، وَهَذَا جَهْلٌ وَابْتِدَاعٌ لَا يَجُوزُ فِعْلُهُ.

Perlu diperhatikan bahwa apa yang diperingatkan oleh Syaikh masih terjadi di beberapa tempat; yaitu mengeraskan suara dengan bershalawat kepada Rasulullah atau doa-doa lainnya saat khutbah, sebelumnya, atau di antara dua khutbah. Bahkan mungkin sebagian khatib memerintahkan hadirin untuk melakukannya, dan ini adalah kebodohan dan bid'ah yang tidak boleh dilakukan.

وَمَنْ دَخَلَ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَإِنَّهُ لَا يُسَلِّمُ، بَلْ يَنْتَهِي إِلَى الصَّفِّ بِسَكِينَةٍ، وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ كَمَا سَبَقَ، وَيَجْلِسُ لِاسْتِمَاعِ الْخُطْبَةِ، وَلَا يُصَافِحُ مَنْ بِجَانِبِهِ.

Barangsiapa yang masuk saat imam sedang berkhutbah, maka ia tidak mengucapkan salam. Sebaliknya, ia menuju shaf dengan tenang, shalat dua rakaat yang ringan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, duduk untuk mendengarkan khutbah, dan tidak bersalaman dengan orang di sampingnya.

وَلَا يَجُوزُ لَهُ الْعَبَثُ حَالَ الْخُطْبَةِ بِيَدٍ أَوْ رِجْلٍ أَوْ لِحْيَةٍ أَوْ ثَوْبٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ مَسَّ الْحَصَا؛ فَقَدْ لَغَا وَمَنْ لَغَا؛ فَلَا جُمُعَةَ لَهُ"، صَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَلِأَنَّ الْعَبَثَ يَمْنَعُ الْخُشُوعَ.

Tidak boleh baginya untuk bermain-main saat khutbah dengan tangan, kaki, jenggot, pakaian, atau lainnya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa yang menyentuh kerikil, maka ia telah berbuat sia-sia. Barangsiapa yang berbuat sia-sia, maka tidak ada Jumat baginya." Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi. Juga karena bermain-main mencegah kekhusyukan.

وَكَذَلِكَ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَتَلَفَّتَ يَمِينًا وَشِمَالًا، وَيَشْتَغِلَ بِالنَّظَرِ إِلَى النَّاسِ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَشْغَلُهُ عَنِ الِاسْتِمَاعِ لِلْخُطْبَةِ، وَلَكِنْ لِيَتَّجِهَ

Demikian pula, ia tidak seharusnya menoleh ke kanan dan ke kiri, sibuk memandangi orang-orang, atau lainnya; karena hal itu akan menyibukkannya dari mendengarkan khutbah. Akan tetapi, hendaklah ia menghadap

إِلَى الْخَطِيبِ كَمَا كَانَ الصَّحَابَةُ ﵃ يَتَّجِهُونَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ حَالَ الْخُطْبَةِ.

Menghadap ke khatib sebagaimana para sahabat ﵃ menghadap ke Nabi ﷺ saat khutbah.

وَإِذَا عَطَسَ؛ فَإِنَّهُ يَحْمَدُ اللهَ سِرًّا بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ.

Dan jika bersin, maka ia memuji Allah secara diam-diam antara dirinya dan jiwanya.

وَيَجُوزُ الْكَلَامُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ وَبَعْدَهَا وَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ لِمَصْلَحَةٍ، لَكِنْ لَا يَنْبَغِي التَّحَدُّثُ بِأُمُورِ الدُّنْيَا.

Dan diperbolehkan berbicara sebelum khutbah dan setelahnya, dan ketika imam duduk di antara dua khutbah untuk suatu kemaslahatan, tetapi tidak sepatutnya membicarakan urusan dunia.

وَبِالْجُمْلَةِ، فَخُطْبَتَا الْجُمُعَةِ لَهُمَا أَهَمِّيَّةٌ عَظِيمَةٌ فِي الْإِسْلَامِ؛ لِمَا تَشْتَمِلَانِ عَلَيْهِ مِنْ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ وَذِكْرِ أَحَادِيثِ الرَّسُولِ ﷺ، وَتَضَمُّنِهَا التَّوْجِيهَاتِ النَّافِعَةَ وَالْمَوْعِظَةَ الْحَسَنَةَ وَالتَّذْكِيرَ بِأَيَّامِ اللهِ؛ فَيَجِبُ الِاهْتِمَامُ بِهِمَا مِنْ قِبَلِ الْخَطِيبِ وَمِنْ قِبَلِ الْمُسْتَمِعِينَ؛ فَلَيْسَتْ خُطْبَةُ الْجُمُعَةِ مُجَرَّدَ حَدِيثٍ عَادِيٍّ كَالْأَحَادِيثِ الَّتِي تُلْقَى فِي النَّوَادِي وَالِاحْتِفَالَاتِ وَالِاجْتِمَاعَاتِ الْعَادِيَّةِ.

Secara keseluruhan, dua khutbah Jumat memiliki arti penting yang besar dalam Islam; karena mencakup pembacaan Al-Qur'an, penyebutan hadits-hadits Rasulullah ﷺ, serta mengandung arahan yang bermanfaat, nasihat yang baik, dan pengingat akan hari-hari Allah; maka wajib memperhatikan keduanya, baik oleh khatib maupun oleh para pendengar; karena khutbah Jumat bukanlah sekedar ceramah biasa seperti ceramah yang disampaikan di klub, perayaan, dan pertemuan biasa.

وَمِمَّا يَنْبَغِي التَّنْبِيهُ عَلَيْهِ: أَنَّ بَعْضَ الْمُسْتَمِعِينَ لِخُطْبَتَيِ الْجُمُعَةِ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّعَوُّذِ عِنْدَمَا يَسْمَعُ شَيْئًا مِنَ الْوَعِيدِ فِي الْخُطْبَةِ، أَوْ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالسُّؤَالِ وَالدُّعَاءِ عِنْدَمَا يَسْمَعُ شَيْئًا مِنْ ذِكْرِ الثَّوَابِ أَوِ الْجَنَّةِ، وَهَذَا شَيْءٌ لَا يَجُوزُ، وَهُوَ دَاخِلٌ فِي الْكَلَامِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ حَالَ الْخُطْبَةِ.

Dan di antara hal yang perlu diingatkan adalah: bahwa sebagian pendengar khutbah Jumat mengeraskan suaranya dengan memohon perlindungan ketika mendengar sesuatu dari ancaman dalam khutbah, atau mengeraskan suaranya dengan pertanyaan dan doa ketika mendengar sesuatu tentang pahala atau surga, dan ini adalah sesuatu yang tidak boleh, dan termasuk dalam pembicaraan yang dilarang saat khutbah.

وَقَدْ دَلَّتِ النُّصُوصُ عَلَى أَنَّ الْكَلَامَ حَالَ الْخُطْبَةِ يُفْسِدُ الْأَجْرَ، وَأَنَّ الْمُتَكَلِّمَ لَا جُمُعَةَ لَهُ، وَأَنَّهُ كَالْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا؛ فَيَجِبُ الْحَذَرُ مِنْ ذَلِكَ وَالتَّحْذِيرُ مِنْهُ.

Dan nash-nash telah menunjukkan bahwa berbicara saat khutbah merusak pahala, dan bahwa orang yang berbicara tidak mendapatkan (pahala) Jumat, dan bahwa ia seperti keledai yang membawa kitab-kitab; maka wajib berhati-hati dari hal itu dan memperingatkan darinya.

وَقَدْ ذَكَرَ الْعُلَمَاءُ ﵏ أَنَّ صَلَاةَ الْجُمُعَةِ فَرْضٌ مُسْتَقِلٌّ، لَيْسَتْ بَدَلًا مِنَ الظُّهْرِ.

Para ulama ﵏ telah menyebutkan bahwa shalat Jumat adalah kewajiban yang berdiri sendiri, bukan pengganti shalat Zuhur.

قَالَ عُمَرُ ﵁: "صَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ، تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ، عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ ﷺ".

Umar ﵁ berkata: "Shalat Jumat itu dua rakaat, sempurna tidak diqashar, menurut lisan Nabi kalian ﷺ".

وَذَلِكَ لِأَنَّهَا تُخَالِفُ صَلَاةَ الظُّهْرِ فِي أَحْكَامٍ كَثِيرَةٍ، وَهِيَ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ، وَآكَدُ مِنْهَا؛ لِأَنَّهُ وَرَدَ عَلَى تَرْكِهَا زِيَادَةُ تَهْدِيدٍ، وَلِأَنَّ لَهَا شُرُوطًا وَخَصَائِصَ لَيْسَتْ لِصَلَاةِ الظُّهْرِ، وَلَا تُجْزِئُ عَنْهَا صَلَاةُ الظُّهْرِ مِمَّنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَخْرُجْ وَقْتُهَا؛ فَصَلَاةُ الظُّهْرِ حِينَئِذٍ تَكُونُ بَدَلًا عَنْهَا.

Hal itu karena shalat Jumat berbeda dengan shalat Zuhur dalam banyak hukum, dan shalat Jumat lebih utama daripada shalat Zuhur, serta lebih ditekankan darinya; karena ancaman yang lebih besar datang pada orang yang meninggalkannya, dan karena shalat Jumat memiliki syarat-syarat dan kekhususan yang tidak ada pada shalat Zuhur, dan shalat Zuhur tidak mencukupi sebagai pengganti shalat Jumat bagi orang yang wajib melakukannya selama waktunya belum habis; maka shalat Zuhur pada saat itu menjadi pengganti shalat Jumat.

وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ذَكَرٍ حُرٍّ مُكَلَّفٍ مُسْتَوْطِنٍ:

Shalat Jumat adalah fardhu 'ain atas setiap muslim laki-laki yang merdeka, mukallaf, dan menetap:

رَوَى أَبُو دَاوُدَ بِسَنَدِهِ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ مَرْفُوعًا: "الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ؛ إِلَّا أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوكٌ، أَوْ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيضٌ"، إِسْنَادُهُ ثِقَاتٌ، وَصَحَّحَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ.

Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Thariq bin Syihab secara marfu': "Jumat adalah hak yang wajib atas setiap muslim secara berjamaah; kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak kecil, atau orang sakit", sanadnya tsiqat (terpercaya), dan dishahihkan oleh lebih dari satu orang.

وَرَوَى الدَّارَقُطْنِيُّ بِسَنَدِهِ عَنْ جَابِرٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ؛ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ؛ إِلَّا مَرِيضًا، أَوْ مُسَافِرًا، أَوْ صَبِيًّا، أَوْ مَمْلُوكًا".

Ad-Daruquthni meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir; bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir; maka wajib atasnya shalat Jumat pada hari Jumat; kecuali orang sakit, musafir, anak kecil, atau hamba sahaya".

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "كُلُّ قَوْمٍ مُسْتَوْطِنِينَ بِبِنَاءٍ مُتَقَارِبٍ، لَا يَظْعَنُونَ عَنْهُ شِتَاءً وَلَا صَيْفًا، تُقَامُ فِيهِ الْجُمُعَةُ إِذَا كَانَ مَبْنِيًّا بِمَا جَرَتْ بِهِ عَادَتُهُمْ مِنْ مَدَرٍ أَوْ خَشَبٍ أَوْ قَصَبٍ أَوْ جَرِيدٍ أَوْ سَعَفٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ؛ فَإِنَّ أَجْزَاءَ الْبِنَاءِ وَمَادَّتَهُ لَا تَأْثِيرَ لَهَا فِي ذَلِكَ، وَإِنَّمَا الْأَصْلُ أَنْ يَكُونُوا مُسْتَوْطِنِينَ، لَيْسُوا كَأَهْلِ الْخِيَامِ وَالْحِلَلِ، الَّذِينَ يَنْتَجِعُونَ فِي الْغَالِبِ مَوَاقِعَ الْقَطْرِ، وَيَنْتَقِلُونَ فِي الْبِقَاعِ، وَيَنْقُلُونَ بُيُوتَهُمْ مَعَهُمْ إِذَا انْتَقَلُوا" انْتَهَى.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Setiap kaum yang menetap di bangunan yang berdekatan, tidak berpindah darinya pada musim dingin maupun musim panas, maka shalat Jumat dapat didirikan di sana jika dibangun sesuai kebiasaan mereka dari tanah liat, kayu, bambu, pelepah kurma, daun kurma, atau selainnya; karena bagian-bagian bangunan dan materialnya tidak berpengaruh dalam hal itu. Yang menjadi pokok adalah mereka menetap, tidak seperti penghuni tenda dan kemah, yang pada umumnya mencari tempat hujan, berpindah-pindah di berbagai tempat, dan memindahkan rumah-rumah mereka bersama mereka ketika berpindah." Selesai.

وَلَا تَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلَى مُسَافِرٍ سَفَرَ قَصْرٍ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ وَأَصْحَابَهُ كَانُوا يُسَافِرُونَ فِي الْحَجِّ وَغَيْرِهِ، فَلَمْ يُصَلِّ أَحَدٌ مِنْهُمُ الْجُمُعَةَ فِي السَّفَرِ.

Shalat Jumat tidak wajib bagi musafir yang melakukan perjalanan Qasar, karena Nabi ﷺ dan para sahabatnya biasa bepergian dalam haji dan lainnya, namun tidak ada seorang pun dari mereka yang melakukan shalat Jumat dalam perjalanan.

وَمَنْ خَرَجَ إِلَى الْبَرِّ فِي نُزْهَةٍ أَوْ غَيْرِهَا، وَلَمْ يَكُنْ حَوْلَهُ مَسْجِدٌ تُقَامُ فِيهِ الْجُمُعَةُ؛ فَلَا جُمُعَةَ عَلَيْهِ، وَيُصَلِّي ظُهْرًا.

Barangsiapa yang pergi ke padang pasir untuk berjalan-jalan atau lainnya, dan tidak ada masjid di sekitarnya yang menyelenggarakan shalat Jumat, maka tidak ada kewajiban Jumat baginya, dan dia shalat Zuhur.

وَلَا تَجِبُ عَلَى امْرَأَةٍ.

Shalat Jumat juga tidak wajib bagi wanita.

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ: "أَجْمَعُوا أَنْ لَا جُمُعَةَ عَلَى النِّسَاءِ، وَأَجْمَعُوا أَنَّهُنَّ إِذَا حَضَرْنَ فَصَلَّيْنَ الْجُمُعَةَ؛ أَنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُنَّ، وَكَذَلِكَ إِذَا حَضَرَهَا الْمُسَافِرُ؛ أَجْزَأَتْهُ، وَكَذَلِكَ الْمَرِيضُ؛ لِأَنَّ إِسْقَاطَهَا عَنْ هَؤُلَاءِ لِلتَّخْفِيفِ عَنْهُمْ، وَلَا يَجُوزُ لِمَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ فِي يَوْمِهَا بَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ حَتَّى يُصَلِّيَهَا، وَقَبْلَ الزَّوَالِ يُكْرَهُ السَّفَرُ إِنْ لَمْ يَكُنْ سَيُصَلِّيهَا فِي طَرِيقِهِ".

Ibnu Al-Mundzir dan lainnya berkata: "Mereka sepakat bahwa tidak ada kewajiban shalat Jumat bagi wanita, dan mereka sepakat bahwa jika mereka hadir dan melaksanakan shalat Jumat, maka itu mencukupi bagi mereka. Demikian pula jika seorang musafir menghadirinya, itu mencukupinya. Begitu pula orang yang sakit, karena gugurnya kewajiban itu dari mereka adalah untuk keringanan bagi mereka. Tidak boleh bagi orang yang wajib melaksanakan shalat Jumat pada harinya setelah tergelincirnya matahari hingga dia melaksanakannya. Sebelum tergelincir matahari, dimakruhkan bepergian jika dia tidak akan melaksanakan shalat Jumat di perjalanannya."

وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْجُمُعَةِ:

Dan disyaratkan untuk sahnya Jumat:

١ دُخُولُ الْوَقْتِ؛ لِأَنَّهَا صَلَاةٌ مَفْرُوضَةٌ؛ فَاشْتُرِطَ لَهَا دُخُولُ الْوَقْتِ كَبَقِيَّةِ الصَّلَوَاتِ؛ فَلَا تَصِحُّ قَبْلَ وَقْتِهَا وَلَا بَعْدَهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا﴾، وَأَدَاؤُهَا بَعْدَ الزَّوَالِ أَفْضَلُ وَأَحْوَطُ؛ لِأَنَّهُ الْوَقْتُ الَّذِي كَانَ يُصَلِّيهَا فِيهِ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي أَكْثَرِ أَوْقَاتِهِ، وَأَدَاؤُهَا قَبْلَ الزَّوَالِ مَحَلُّ خِلَافٍ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ، وَآخِرُ وَقْتِهَا آخِرُ وَقْتِ صَلَاةِ الظُّهْرِ؛ فَلَا خِلَافَ.

1 Masuknya waktu; karena ia adalah shalat yang diwajibkan; maka disyaratkan baginya masuknya waktu seperti shalat-shalat lainnya; maka tidak sah sebelum waktunya dan tidak pula setelahnya; karena firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman", dan melaksanakannya setelah zawal lebih utama dan lebih hati-hati; karena itu adalah waktu di mana Rasulullah ﷺ melaksanakannya pada kebanyakan waktunya, dan melaksanakannya sebelum zawal adalah tempat perbedaan pendapat di antara para ulama, dan akhir waktunya adalah akhir waktu shalat Zuhur; maka tidak ada perbedaan pendapat.

٢ أَنْ يَكُونَ الْمُصَلُّونَ مُسْتَوْطِنِينَ بِمَسَاكِنَ مَبْنِيَّةٍ بِمَا جَرَتْ الْعَادَةُ بِالْبِنَاءِ بِهِ؛ فَلَا تَصِحُّ مِنْ أَهْلِ الْخِيَامِ وَبُيُوتِ الشَّعْرِ الَّذِي يَنْتَجِعُونَ فِي الْغَالِبِ مَوَاطِنَ الْقَطْرِ وَيَنْقُلُونَ بُيُوتَهُمْ؛ فَقَدْ كَانَتْ الْعَرَبُ حَوْلَ الْمَدِينَةِ، وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ النَّبِيُّ ﷺ بِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ.

2 Bahwa orang-orang yang shalat harus menetap di tempat tinggal yang dibangun dengan apa yang biasa dibangun; maka tidak sah dari penghuni tenda dan rumah-rumah bulu domba yang pada umumnya mereka mencari tempat-tempat hujan dan memindahkan rumah-rumah mereka; karena orang-orang Arab dahulu berada di sekitar Madinah, dan Nabi ﷺ tidak memerintahkan mereka untuk melaksanakan shalat Jumat.

وَمَنْ أَدْرَكَ مَعَ الْإِمَامِ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً؛ أَتَمَّهَا جُمُعَةً؛ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: "وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْجُمُعَةِ؛ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ"، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ، وَأَصْلُهُ فِي "الصَّحِيحَيْنِ".

Dan barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam dari shalat Jumat; maka ia menyempurnakannya sebagai Jumat; karena hadits Abu Hurairah yang dimarfu'kan: "Dan barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari Jumat; maka sungguh ia telah mendapatkan shalat", diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dan asalnya ada dalam "Ash-Shahihain".

وَإِنْ أَدْرَكَ أَقَلَّ مِنْ رَكْعَةٍ؛ بِأَنْ رَفَعَ الْإِمَامُ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ قَبْلَ دُخُولِهِ مَعَهُ؛ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْجُمُعَةِ، فَيَدْخُلُ مَعَهُ بِنِيَّةِ الظُّهْرِ، فَإِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ؛ أَتَمَّهَا ظُهْرًا.

Dan jika ia mendapatkan kurang dari satu rakaat; dengan imam mengangkat kepalanya dari rakaat kedua sebelum ia masuk bersamanya; maka ia telah ketinggalan shalat Jumat, maka ia masuk bersamanya dengan niat Zuhur, kemudian jika imam telah salam; ia menyempurnakannya sebagai Zuhur.

وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ تَقَدُّمُ خُطْبَتَيْنِ؛ لِمُوَاظَبَةِ النَّبِيِّ ﷺ عَلَيْهِمَا، وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: "كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ، يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dan disyaratkan untuk sahnya shalat Jumat didahului dua khutbah; karena Nabi ﷺ senantiasa melakukannya, dan Ibnu Umar berkata: "Nabi ﷺ berkhutbah dua khutbah dalam keadaan berdiri, beliau memisahkan keduanya dengan duduk", muttafaq 'alaih.

وَمِنْ شُرُوطِ صِحَّتِهِمَا: حَمْدُ اللهِ، وَالشَّهَادَتَانِ وَالصَّلَاةُ عَلَى رَسُولِهِ، وَالْوَصِيَّةُ بِتَقْوَى اللهِ، وَالْمَوْعِظَةُ وَقِرَاءَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ، وَلَوْ آيَةً، بِخِلَافِ مَا عَلَيْهِ خُطَبُ الْمُعَاصِرِينَ الْيَوْمَ، مِنْ خُلُوِّهَا مِنْ هَذِهِ الشُّرُوطِ أَوْ غَالِبِهَا.

Dan di antara syarat sahnya keduanya: memuji Allah, dua kalimat syahadat, bershalawat kepada Rasul-Nya, berwasiat untuk bertakwa kepada Allah, memberi nasihat dan membaca sesuatu dari Al-Qur'an, meskipun satu ayat, berbeda dengan khutbah-khutbah orang-orang saat ini, yang kosong dari syarat-syarat ini atau kebanyakannya.

قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ: "وَمَنْ تَأَمَّلَ خُطَبَ النَّبِيِّ ﷺ وَخُطَبَ أَصْحَابِهِ؛ وَجَدَهَا كَافِيَةً بِبَيَانِ الْهُدَى وَالتَّوْحِيدِ، وَذِكْرِ صِفَاتِ الرَّبِّ ﷻ وَأُصُولِ الْإِيمَانِ الْكُلِّيَّةِ، وَالدَّعْوَةِ إِلَى اللهِ، وَذِكْرِ آلَائِهِ تَعَالَى الَّتِي تُحَبِّبُهُ إِلَى خَلْقِهِ، وَأَيَّامِهِ الَّتِي تُخَوِّفُهُمْ مِنْ بَأْسِهِ، وَالْأَمْرِ بِذِكْرِهِ وَشُكْرِهِ الَّذِي يُحَبِّبُهُمْ إِلَيْهِ؛ فَيَذْكُرُونَ مِنْ عَظَمَةِ اللهِ وَصِفَاتِهِ وَأَسْمَائِهِ مَا يُحَبِّبُهُ إِلَى خَلْقِهِ، وَيَأْمُرُونَ مِنْ طَاعَتِهِ وَشُكْرِهِ وَذِكْرِهِ مَا يُحَبِّبُهُمْ إِلَيْهِ، فَيَنْصَرِفُ السَّامِعُونَ وَقَدْ أَحَبُّوهُ وَأَحَبَّهُمْ.

Imam Ibnul Qayyim berkata: "Barangsiapa yang merenungkan khutbah-khutbah Nabi ﷺ dan khutbah-khutbah para sahabatnya; niscaya ia mendapatinya cukup dalam menjelaskan petunjuk dan tauhid, menyebutkan sifat-sifat Rabb ﷻ dan pokok-pokok keimanan secara menyeluruh, menyeru kepada Allah, menyebutkan nikmat-nikmat-Nya yang membuat-Nya dicintai oleh makhluk-Nya, dan hari-hari-Nya yang membuat mereka takut akan siksa-Nya, memerintahkan untuk berzikir dan bersyukur kepada-Nya yang membuat mereka dicintai oleh-Nya; maka mereka menyebutkan keagungan Allah, sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya yang membuat-Nya dicintai oleh makhluk-Nya, dan mereka memerintahkan ketaatan, syukur dan zikir kepada-Nya yang membuat mereka dicintai oleh-Nya, sehingga para pendengar pulang dalam keadaan mencintai-Nya dan dicintai oleh-Nya.

ثُمَّ طَالَ الْعَهْدُ، وَخَفِيَ نُورُ النُّبُوَّةِ وَصَارَتِ الشَّرَائِعُ وَالْأَوَامِرُ رُسُومًا تُقَامُ مِنْ غَيْرِ مُرَاعَاةِ حَقَائِقِهَا وَمَقَاصِدِهَا، فَجَعَلُوا الرُّسُومَ وَالْأَوْضَاعَ سُنَنًا لَا يَنْبَغِي الْإِخْلَالُ بِهَا، وَأَخَلُّوا بِالْمَقَاصِدِ الَّتِي لَا يَنْبَغِي الْإِخْلَالُ بِهَا، فَرَصَّعُوا

Kemudian masa berlalu lama, cahaya kenabian meredup dan syariat serta perintah-perintah menjadi simbol-simbol yang didirikan tanpa memperhatikan hakikat dan tujuannya, maka mereka menjadikan simbol-simbol dan kebiasaan-kebiasaan sebagai sunnah yang tidak sepatutnya dilalaikan, dan mereka melalaikan tujuan-tujuan yang tidak sepatutnya dilalaikan, maka mereka menghiasi

الخُطَبُ بِالتَّسْجِيعِ وَالفَقْرِ وَعِلْمِ البَدِيعِ، فَنَقَصَ بَلْ عَدَمَ حَظِّ القُلُوبِ مِنْهَا، وَفَاتَ المَقْصُودُ بِهَا".

Khutbah dengan sajak, kemiskinan, dan ilmu Badi', sehingga berkurang bahkan hilang bagian hati darinya, dan terlewatkan tujuan darinya".

هَذَا مَا قَالَهُ الإِمَامُ ابْنُ القَيِّمِ فِي طَابِعِ الخُطَبِ فِي عَصْرِهِ، وَقَدْ زَادَ الأَمْرُ عَلَى مَا وَصَفَ حَتَّى صَارَ الغَالِبُ عَلَى الخُطَبِ اليَوْمَ أَنَّهَا حَشْوٌ مِنَ الكَلَامِ قَلِيلُ الفَائِدَةِ.

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Al-Qayyim tentang ciri khas khutbah pada masanya, dan masalahnya telah meningkat dari apa yang dia gambarkan sampai menjadi dominan pada khutbah hari ini bahwa itu adalah isian dari perkataan yang sedikit manfaatnya.

فَبَعْضُ الخُطَبَاءِ أَوْ كَثِيرٌ مِنْهُمْ يَجْعَلُ الخُطْبَةَ كَأَنَّهَا مَوْضُوعُ إِنْشَاءٍ مَدْرَسِيٍّ، يَرْتَجِلُ فِيهِ مَا حَضَرَهُ مِنَ الكَلَامِ بِمُنَاسَبَةٍ وَبِدُونِ مُنَاسَبَةٍ، وَيُطِيلُ الخُطْبَةَ تَطْوِيلًا مُمِلًّا حَتَّى إِنَّ بَعْضَهُمْ يُهْمِلُ شُرُوطَ الخُطْبَةِ أَوْ بَعْضَهَا، وَلَا يَتَقَيَّدُ بِمُوَاصَفَاتِهَا الشَّرْعِيَّةِ، فَهَبَطُوا بِالخُطَبِ إِلَى هَذَا المُسْتَوَى الَّذِي لَمْ تَعُدْ مَعَهُ مُؤَدِّيَةً لِلْغَرَضِ المَطْلُوبِ مِنَ التَّأْثِيرِ وَالتَّأَثُّرِ وَالإِفَادَةِ.

Beberapa khatib atau banyak dari mereka menjadikan khutbah seolah-olah topik karangan sekolah, berimprovisasi di dalamnya apa yang hadir dari perkataan dengan kesempatan atau tanpa kesempatan, dan memanjangkan khutbah dengan perpanjangan yang membosankan sampai sebagian mereka mengabaikan syarat-syarat khutbah atau sebagiannya, dan tidak terikat dengan spesifikasi syar'inya, sehingga mereka menurunkan khutbah ke level ini yang tidak lagi bersamanya menyampaikan tujuan yang diminta dari pengaruh, terpengaruh, dan manfaat.

وَبَعْضُ الخُطَبَاءِ يُقْحِمُ فِي الخُطْبَةِ مَوَاضِيعَ لَا تَتَنَاسَبُ مَعَ مَوْضُوعِهَا، وَلَيْسَ مِنَ الحِكْمَةِ ذِكْرُهَا فِي هَذَا المَقَامِ، وَقَدْ لَا يَفْهَمُهَا غَالِبُ الحُضُورِ؛ لِأَنَّهَا أَرْفَعُ مِنْ مُسْتَوَاهُمْ، فَيُدْخِلُونَ فِيهَا المَوَاضِيعَ الصَّحَفِيَّةَ وَالأَوْضَاعَ السِّيَاسِيَّةَ وَسَرْدَ المُجْرَيَاتِ الَّتِي لَا يَسْتَفِيدُ مِنْهَا الحَاضِرُونَ.

Beberapa khatib memasukkan dalam khutbah topik-topik yang tidak sesuai dengan tema khutbah, dan tidak bijaksana untuk menyebutkannya dalam kesempatan ini, dan mungkin mayoritas hadirin tidak memahaminya; karena itu lebih tinggi dari level mereka, sehingga mereka memasukkan di dalamnya topik-topik jurnalistik, situasi politik, dan pemaparan peristiwa yang tidak bermanfaat bagi para hadirin.

فَيَا أَيُّهَا الخُطَبَاءُ! عُودُوا بِالخُطْبَةِ إِلَى الهَدْيِ النَّبَوِيِّ، ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ﴾، رَكِّزُوا مَوَاضِيعَهَا عَلَى نُصُوصٍ مِنَ القُرْآنِ وَالسُّنَّةِ الَّتِي تَتَنَاسَبُ مَعَ المَقَامِ، ضَمِّنُوهَا الوَصِيَّةَ بِتَقْوَى اللهِ وَالمَوْعِظَةَ الحَسَنَةَ، عَالِجُوا بِهَا أَمْرَاضَ مُجْتَمَعَاتِكُمْ بِأُسْلُوبٍ وَاضِحٍ مُخْتَصَرٍ، أَكْثِرُوا فِيهَا مِنْ قِرَاءَةِ القُرْآنِ العَظِيمِ الَّذِي بِهِ حَيَاةُ القُلُوبِ وَنُورُ البَصَائِرِ.

Wahai para khatib! Kembalilah dengan khutbah kepada petunjuk Nabi, "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu", fokuskan tema-temanya pada teks-teks dari Al-Qur'an dan Sunnah yang sesuai dengan kesempatan, sertakan di dalamnya wasiat untuk bertakwa kepada Allah dan nasihat yang baik, obatilah dengannya penyakit-penyakit masyarakat kalian dengan gaya yang jelas dan ringkas, perbanyaklah di dalamnya membaca Al-Qur'an yang agung yang dengannya terdapat kehidupan hati dan cahaya pandangan.

إِنَّهُ لَيْسَ الْمَقْصُودُ وُجُودَ خُطْبَتَيْنِ فَقَطْ، بَلِ الْمَقْصُودُ أَثَرُهُمَا فِي الْمُجْتَمَعِ، كَمَا قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "لَا يَكْفِي فِي الْخُطْبَةِ ذَمُّ الدُّنْيَا وَذِكْرُ الْمَوْتِ؛ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ مِنِ اسْمِ الْخُطْبَةِ عُرْفًا بِمَا يُحَرِّكُ الْقُلُوبَ وَيَبْعَثُ بِهَا إِلَى الْخَيْرِ، وَذَمُّ الدُّنْيَا وَالتَّحْذِيرُ مِنْهَا مِمَّا تَوَاصَى بِهِ مُنْكِرُو الشَّرَائِعِ، بَلْ لَا بُدَّ مِنَ الْحَثِّ عَلَى الطَّاعَةِ، وَالزَّجْرِ عَنِ الْمَعْصِيَةِ، وَالدَّعْوَةِ إِلَى اللهِ، وَالتَّذْكِيرِ بِآلَائِهِ"

Tidak dimaksudkan hanya ada dua khotbah saja, tetapi yang dimaksudkan adalah pengaruh keduanya di masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀: "Tidak cukup dalam khotbah mencela dunia dan mengingat kematian; karena harus ada nama khotbah secara 'urf dengan apa yang menggerakkan hati dan membangkitkannya kepada kebaikan, dan mencela dunia serta memperingatkan darinya termasuk apa yang diwasiatkan oleh para pengingkar syariat, bahkan harus ada dorongan untuk taat, pencegahan dari maksiat, dakwah kepada Allah, dan pengingat akan nikmat-nikmat-Nya"

وَقَالَ: "وَلَا تَحْصُلُ الْخُطْبَةُ بِاخْتِصَارٍ يَفُوتُ بِهِ الْمَقْصُودُ، وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ" اهـ.

Dan beliau berkata: "Dan khotbah tidak akan terwujud dengan peringkasan yang menghilangkan tujuan, dan Nabi ﷺ ketika berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak, seakan-akan beliau memperingatkan pasukan, beliau mengatakan: 'Selamat pagi dan selamat sore bagi kalian'" Selesai.

وَقَدْ ذَكَرَ الْفُقَهَاءُ ﵏ أَنَّهُ يُسَنُّ فِي خُطْبَتَيِ الْجُمُعَةِ أَنْ يَخْطُبَ عَلَى مِنْبَرٍ؛ لِفِعْلِهِ ﷺ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَبْلَغُ فِي الْوَعْظِ حِينَمَا يُشَاهِدُ الْحُضُورُ الْخَطِيبَ أَمَامَهُمْ.

Para fuqaha ﵏ telah menyebutkan bahwa disunnahkan dalam dua khotbah Jumat untuk berkhotbah di atas mimbar; karena perbuatan beliau ﷺ, dan karena hal itu lebih efektif dalam memberi nasihat ketika hadirin melihat khatib di hadapan mereka.

قَالَ النَّوَوِيُّ ﵀: "وَاتِّخَاذُهُ سُنَّةٌ مُجْمَعٌ عَلَيْهَا".

An-Nawawi ﵀ berkata: "Dan mengambilnya (mimbar) adalah sunnah yang disepakati."

وَيُسَنُّ أَنْ يُسَلِّمَ الْخَطِيبُ عَلَى الْمَأْمُومِينَ إِذَا أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ؛ لِقَوْلِ جَابِرٍ: "وَكَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ؛ سَلَّمَ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَلَهُ شَوَاهِدُ.

Disunnahkan bagi khatib untuk mengucapkan salam kepada makmum ketika menghadap mereka; karena perkataan Jabir: "Rasulullah ﷺ ketika naik mimbar; beliau mengucapkan salam", diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan memiliki syawahid (riwayat penguat).

وَيُسَنُّ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى الْمِنْبَرِ إِلَى فَرَاغِ الْمُؤَذِّنِ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ: "كَانَ رَسُولُهُ اللهِ ﷺ يَجْلِسُ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ حَتَّى يَفْرُغَ الْمُؤَذِّنُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ" رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ.

Dan disunahkan untuk duduk di atas mimbar sampai muadzin selesai; berdasarkan perkataan Ibnu Umar: "Rasulullah ﷺ duduk ketika naik ke mimbar sampai muadzin selesai, kemudian beliau berdiri dan berkhutbah" diriwayatkan oleh Abu Daud.

وَمِنْ سُنَنِ خُطْبَتَيِ الْجُمُعَةِ: أَنْ يَجْلِسَ بَيْنَهُمَا؛ لِحَدِيثِ أَبْنِ عُمَرَ: "كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ، يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dan di antara sunnah-sunnah dua khutbah Jumat: hendaknya duduk di antara keduanya; berdasarkan hadits Ibnu Umar: "Nabi ﷺ berkhutbah dua khutbah dalam keadaan berdiri, beliau memisahkan di antara keduanya dengan duduk", muttafaq 'alaih.

وَمِنْ سُنَنِهِمَا: أَنْ يَخْطُبَ قَائِمًا؛ لِفِعْلِ الرَّسُولِ ﷺ، وَلِقَوْلِهِ: ﴿وَتَرَكُوكَ قَائِمًا﴾، وَعَمَلِ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِ.

Dan di antara sunnah-sunnah keduanya: hendaknya berkhutbah sambil berdiri; karena perbuatan Rasulullah ﷺ, dan firman-Nya: "Dan mereka meninggalkanmu (Muhammad) dalam keadaan berdiri", serta amalan kaum muslimin atasnya.

وَيُسَنُّ أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى عَصًا وَنَحْوِهِ.

Dan disunahkan untuk bersandar pada tongkat atau sejenisnya.

وَيُسَنُّ أَنْ يَقْصِدَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ؛ لِفِعْلِهِ ﷺ، وَلِأَنَّ التِفَاتَهُ إِلَى أَحَدِ جَانِبَيْهِ إِعْرَاضٌ عَنِ الْآخَرِ وَمُخَالَفَةٌ لِلسُّنَّةِ؛ لِأَنَّهُ ﷺ كَانَ يَقْصِدُ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فِي الْخُطْبَةِ، وَيَسْتَقْبِلُهُ الْحَاضِرُونَ بِوُجُوهِهِمْ؛ لِقَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ ﵁: "كَانَ إِذَا اسْتَوَى عَلَى الْمِنْبَرِ؛ اسْتَقْبَلْنَاهُ بِوُجُوهِنَا"، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ.

Dan disunahkan untuk menghadap ke arah wajahnya; karena perbuatan beliau ﷺ, dan karena berpaling ke salah satu sisinya adalah berpaling dari yang lain dan menyalahi sunnah; karena beliau ﷺ menghadap ke arah wajahnya saat khutbah, dan orang-orang yang hadir menghadap beliau dengan wajah mereka; berdasarkan perkataan Ibnu Mas'ud ﵁: "Ketika beliau berdiri di atas mimbar; kami menghadapnya dengan wajah kami", diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.

وَيُسَنُّ أَنْ يُقَصِّرَ الْخُطْبَةَ تَقْصِيرًا مُعْتَدِلًا؛ بِحَيْثُ لَا يَمَلُّوا وَتَنْفُرُ نُفُوسُهُمْ، وَلَا يُقَصِّرُهَا تَقْصِيرًا مُخِلًّا؛ فَلَا يَسْتَفِيدُونَ مِنْهَا؛ فَقَدْ رَوَى الْإِمَامُ مُسْلِمٌ عَنْ عَمَّارٍ مَرْفُوعًا: "إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ؛ فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ"، وَمَعْنَى قَوْلِهِ: "مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِ"؛ أَيْ: عَلَامَةٌ عَلَى فِقْهِهِ

Dan disunahkan untuk memendekkan khutbah dengan pemendekan yang seimbang; sehingga mereka tidak bosan dan jiwa mereka tidak menjauh, dan tidak memendekkannya dengan pemendekan yang merusak; sehingga mereka tidak mendapatkan manfaat darinya; Imam Muslim telah meriwayatkan dari 'Ammar secara marfu': "Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbahnya adalah tanda pemahamannya; maka panjangkanlah shalat, dan pendekkan khutbah", dan makna perkataannya: "tanda pemahamannya"; yaitu: tanda atas pemahamannya

وَيُسَنُّ أَنْ يَرْفَعَ صَوْتَهُ بِهَا؛ لِأَنَّهُ ﷺ كَانَ إِذَا خَطَبَ؛ عَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، لِأَنَّ ذَلِكَ أَوْقَعُ فِي النُّفُوسِ، وَأَبْلَغُ فِي الْوَعْظِ، وَأَنْ يُلْقِيَهَا بِعِبَارَاتٍ وَاضِحَةٍ قَوِيَّةٍ مُؤَثِّرَةٍ وَبِعِبَارَاتٍ جَزْلَةٍ.

Dan disunahkan untuk mengeraskan suaranya saat khutbah; karena Nabi ﷺ ketika berkhutbah, beliau mengeraskan suaranya dan sangat marah, karena hal itu lebih berkesan di dalam jiwa dan lebih efektif dalam memberikan nasihat, serta menyampaikannya dengan ungkapan yang jelas, kuat, berpengaruh, dan dengan ungkapan yang fasih.

وَيُسَنُّ أَنْ يَدْعُوَ لِلْمُسْلِمِينَ بِمَا فِيهِ صَلَاحُ دِينِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ، وَيَدْعُوَ لِإِمَامِ الْمُسْلِمِينَ وَوُلَاةِ أُمُورِهِمْ بِالصَّلَاحِ وَالتَّوْفِيقِ، وَكَانَ الدُّعَاءُ لِوُلَاةِ الْأُمُورِ فِي الْخُطْبَةِ مَعْرُوفًا عِنْدَ الْمُسْلِمِينَ، وَعَلَيْهِ عَمَلُهُمْ؛ لِأَنَّ الدُّعَاءَ لِوُلَاةِ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ بِالتَّوْفِيقِ وَالصَّلَاحِ مِنْ مَنْهَجِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَتَرْكَهُ مِنْ مَنْهَجِ الْمُبْتَدِعَةِ، قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: "لَوْ كَانَ لَنَا دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ؛ لَدَعَوْنَا بِهَا لِلسُّلْطَانِ"، وَلِأَنَّ فِي صَلَاحِهِ صَلَاحَ الْمُسْلِمِينَ.

Dan disunahkan untuk mendoakan kaum muslimin dengan apa yang membawa kebaikan bagi agama dan dunia mereka, serta mendoakan pemimpin kaum muslimin dan para penguasa mereka dengan kebaikan dan taufik. Doa untuk para penguasa dalam khutbah telah dikenal di kalangan kaum muslimin dan menjadi amalan mereka; karena doa untuk para pemimpin kaum muslimin agar diberi taufik dan kebaikan adalah bagian dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah, sedangkan meninggalkannya adalah bagian dari manhaj ahli bid'ah. Imam Ahmad berkata, "Seandainya kita memiliki doa yang mustajab, niscaya kita akan mendoakan sultan dengannya," dan karena dalam kebaikannya terdapat kebaikan bagi kaum muslimin.

وَقَدْ تُرِكَتْ هَذِهِ السُّنَّةُ حَتَّى صَارَ النَّاسُ يَسْتَغْرِبُونَ الدُّعَاءَ لِوُلَاةِ الْأُمُورِ وَيُسِيئُونَ الظَّنَّ بِمَنْ يَفْعَلُهُ.

Sunah ini telah ditinggalkan hingga orang-orang menganggap aneh doa untuk para penguasa dan berprasangka buruk terhadap orang yang melakukannya.

وَيُسَنُّ إِذَا فَرَغَ مِنَ الْخُطْبَتَيْنِ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ مُبَاشَرَةً، وَأَنْ يَشْرَعَ فِي الصَّلَاةِ مِنْ غَيْرِ فَصْلٍ طَوِيلٍ.

Dan disunahkan apabila selesai dari dua khutbah, agar shalat langsung dilaksanakan dan memulai shalat tanpa jeda yang panjang.

وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ بِالْإِجْمَاعِ يَجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ، وَيُسَنُّ أَنْ يَقْرَأَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مِنْهُمَا بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ، وَيَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ بِسُورَةِ الْمُنَافِقِينَ؛ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ بِهِمَا؛ كَمَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَوْ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِ ﴿سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى﴾، وَفِي الثَّانِيَةِ بِ ﴿هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ

Shalat Jumat terdiri dari dua rakaat menurut ijmak, di mana bacaan di dalamnya dikeraskan. Disunahkan untuk membaca surah al-Jumu'ah setelah al-Fatihah pada rakaat pertama, dan membaca surah al-Munafiqun setelah al-Fatihah pada rakaat kedua; karena Nabi ﷺ membaca keduanya, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas. Atau membaca ﴿سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى﴾ pada rakaat pertama, dan ﴿هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ pada rakaat kedua.

الْغَاشِيَةِ﴾؛ فَقَدْ صَحَّ أَنَّهُ ﷺ كَانَ يَقْرَأُ أَحْيَانًا بِالْجُمُعَةِ وَالْمُنَافِقِينَ، وَأَحْيَانًا بِ ﴿سَبِّحِ﴾ وَ﴿الْغَاشِيَةِ﴾، وَلَا يَقْسِمُ سُورَةً وَاحِدَةً مِنْ هَذِهِ السُّوَرِ بَيْنَ الرَّكْعَتَيْنِ؛ أَنَّ ذَلِكَ خِلَافُ السُّنَّةِ.

Al-Ghaasyiyah"; telah terbukti bahwa Nabi ﷺ terkadang membaca surat Al-Jumu'ah dan Al-Munafiqun, dan terkadang membaca "Sabbih" dan "Al-Ghaasyiyah", dan beliau tidak membagi satu surat pun dari surat-surat ini di antara dua rakaat; karena hal itu bertentangan dengan sunnah.

وَالْحِكْمَةُ فِي الْجَهْرِ بِالْقِرَاءَةِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ كَوْنُ ذَلِكَ أَبْلَغُ فِي تَحْصِيلِ الْمَقْصُودِ.

Hikmah mengeraskan bacaan dalam shalat Jumat adalah hal itu lebih efektif dalam mencapai tujuan yang dimaksud.

بَابٌ فِي أَحْكَامِ صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ

بَابٌ فِي أَحْكَامِ صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ

Bab tentang hukum-hukum shalat dua hari raya

صَلَاةُ الْعِيدَيْنِ عِيدُ الْفِطْرِ وَعِيدُ الْأَضْحَى مَشْرُوعَةٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ، وَقَدْ كَانَ الْمُشْرِكُونَ يَتَّخِذُونَ أَعْيَادًا زَمَانِيَّةً وَمَكَانِيَّةً، فَأَبْطَلَهَا الْإِسْلَامُ، وَعَوَّضَ عَنْهَا عِيدَ الْفِطْرِ وَعِيدَ الْأَضْحَى، شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى عَلَى أَدَاءِ هَاتَيْنِ الْعِبَادَتَيْنِ الْعَظِيمَتَيْنِ: صَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ بَيْتِ اللَّهِ الْحَرَامِ.

Shalat dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul Adha disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma' kaum muslimin. Orang-orang musyrik dahulu mengadakan perayaan-perayaan pada waktu dan tempat tertentu, lalu Islam membatalkannya dan menggantinya dengan Idul Fitri dan Idul Adha, sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta'ala atas pelaksanaan dua ibadah yang agung ini: puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah.

وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ؛ أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ، وَكَانَ لِأَهْلِهَا يَوْمَانِ يَلْبُونَ فِيهِمَا؛ قَالَ ﷺ: "قَدْ أَبْدَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا؛ يَوْمُ النَّحْرِ، وَيَوْمُ الْفِطْرِ".

Telah shahih dari Nabi ﷺ bahwa ketika beliau tiba di Madinah, penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bersenang-senang. Beliau ﷺ bersabda, "Sungguh Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian; yaitu hari Nahr (Idul Adha) dan hari Fitri (Idul Fitri)."

فَلَا تَجُوزُ الزِّيَادَةُ عَلَى هَذَيْنِ الْعِيدَيْنِ بِإِحْدَاثِ أَعْيَادٍ أُخْرَى كَأَعْيَادِ الْمَوَالِدِ وَغَيْرِهَا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ زِيَادَةٌ عَلَى مَا شَرَعَةُ اللَّهُ، وَاتِّبَاعٌ فِي الدِّينِ، وَمُخَالَفَةٌ لِسُنَّةِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ، وَتَشَبُّهٌ بِالْكَافِرِينَ، سَوَاءٌ سُمِّيَتْ أَعْيَادًا

Maka tidak boleh menambahkan selain dua hari raya ini dengan mengadakan hari raya lainnya seperti hari raya kelahiran dan lainnya. Karena hal itu merupakan penambahan atas apa yang Allah syariatkan, mengikuti agama lain, menyelisihi sunnah pemimpin para rasul, dan menyerupai orang-orang kafir, baik disebut sebagai hari raya atau lainnya.

أَوْ ذِكْرَيَاتٍ أَوْ أَيَّامًا أَوْ أَسَابِيعَ أَوْ أَعْوَامًا، كُلُّ ذَلِكَ لَيْسَ مِنَ الْإِسْلَامِ، بَلْ هُوَ مِنْ فِعْلِ الْجَاهِلِيَّةِ، وَتَقْلِيدٌ لِلْأُمَمِ الْكَافِرَةِ مِنَ الدُّوَلِ الْغَرْبِيَّةِ وَغَيْرِهَا، وَقَدْ قَالَ ﷺ: "مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ؛ فَهُوَ مِنْهُمْ"، وَقَالَ ﷺ: "إِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ".

Atau kenangan, hari-hari, minggu-minggu, atau tahun-tahun, semua itu bukanlah bagian dari Islam, melainkan perbuatan jahiliyah, dan meniru bangsa-bangsa kafir dari negara-negara Barat dan lainnya. Nabi ﷺ bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka", dan beliau ﷺ bersabda: "Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat".

نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يُرِيَنَا الْحَقَّ حَقًّا وَيَرْزُقَنَا إِتْبَاعَهُ، أَنْ يُرِيَنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَيَرْزُقَنَا اجْتِنَابَهُ.

Kami memohon kepada Allah agar Dia memperlihatkan kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan menganugerahkan kepada kami untuk mengikutinya, dan memperlihatkan kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan menganugerahkan kepada kami untuk menjauhinya.

وَسُمِّيَ الْعِيدُ عِيدًا لِأَنَّهُ يَعُودُ وَيَتَكَرَّرُ كُلَّ عَامٍ، وَلِأَنَّهُ يَعُودُ بِالْفَرَحِ وَالسُّرُورِ، وَيَعُودُ اللهُ فِيهِ بِالْإِحْسَانِ عَلَى عِبَادِهِ عَلَى إِثْرِ أَدَائِهِمْ لِطَاعَتِهِ بِالصِّيَامِ وَالْحَجِّ.

Hari raya dinamakan 'Idul (hari raya) karena ia kembali dan berulang setiap tahun, dan karena ia kembali dengan kegembiraan dan kesenangan, dan Allah kembali memberikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya setelah mereka menunaikan ketaatan kepada-Nya dengan berpuasa dan berhaji.

وَالدَّلِيلُ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ صَلَاةِ الْعِيدِ: قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ﴾، وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى﴾، وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ وَالْخُلَفَاءُ مِنْ بَعْدِهِ يُدَاوِمُونَ عَلَيْهَا.

Dalil disyariatkannya shalat Ied adalah firman Allah Ta'ala: "Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah", dan firman-Nya Ta'ala: "Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri dan mengingat nama Tuhannya lalu dia shalat", dan Nabi ﷺ serta para khalifah setelahnya senantiasa melaksanakannya.

وَقَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ ﷺ بِهَا حَتَّى النِّسَاءَ، فَيُسَنُّ لِلْمَرْأَةِ حُضُورُهَا غَيْرَ مُتَطَيِّبَةٍ وَلَا لَابِسَةٍ لِثِيَابِ زِينَةٍ أَوْ شُهْرَةٍ؛ لِقَوْلِهِ ﵊:

Nabi ﷺ telah memerintahkannya bahkan kepada para wanita, maka disunnahkan bagi wanita untuk menghadirinya tanpa memakai wewangian dan tidak mengenakan pakaian perhiasan atau yang mencolok; berdasarkan sabda beliau ﵊:

"وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلَاتٍ، وَيَعْتَزِلْنَ الرِّجَالَ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى"، قَالَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ ﵂: "كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ، حَتَّى تَخْرُجَ الْبِكْرُ مِنْ خِدْرِهَا، وَحَتَّى تَخْرُجَ الْحُيَّضُ، فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ، فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ، وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ؛ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ".

"Dan hendaklah mereka keluar dengan sederhana, menjauhi laki-laki, dan wanita haid menjauhi tempat shalat", Ummu 'Athiyyah ﵂ berkata: "Kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, hingga gadis pingitan keluar dari kamarnya, dan hingga wanita haid keluar, lalu mereka berada di belakang orang-orang, bertakbir dengan takbir mereka, dan berdoa dengan doa mereka; mengharapkan berkah dan kesucian hari itu".

وَالْخُرُوجُ لِصَلَاةِ الْعِيدِ وَأَدَاءُ صَلَاةِ الْعِيدِ عَلَى هَذَا النَّمَطِ الْمَشْهُودِ مِنَ الْجَمِيعِ فِيهِ إِظْهَارٌ لِشِعَارِ الْإِسْلَامِ؛ فَهِيَ مِنْ أَعْلَامِ الدِّينِ الظَّاهِرَةِ، وَأَوَّلُ صَلَاةٍ صَلَّاهَا النَّبِيُّ ﷺ لِلْعِيدِ يَوْمَ الْفِطْرِ مِنَ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ. وَلَمْ يَزَلْ ﷺ يُوَاظِبُ عَلَيْهَا حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ، وَاسْتَمَرَّ عَلَيْهَا الْمُسْلِمُونَ خَلْفَ مَنْ سَلَفَ، فَلَوْ تَرَكَهَا أَهْلُ بَلَدٍ مِنِ اسْتِكْمَالِ شُرُوطِهَا فِيهِمْ؛ قَاتَلَهُمُ الْإِمَامُ؛ لِأَنَّهَا مِنْ أَعْلَامِ الدِّينِ الظَّاهِرِ؛ كَالْأَذَانِ.

Keluar untuk shalat Ied dan melaksanakan shalat Ied dengan cara yang disaksikan oleh semua orang ini merupakan perwujudan dari syiar Islam; karena ia termasuk tanda-tanda agama yang nyata. Shalat pertama yang dilakukan Nabi ﷺ untuk Ied adalah pada hari Idul Fitri pada tahun kedua Hijriah. Beliau ﷺ senantiasa melakukannya hingga meninggalkan dunia, semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepada beliau. Kaum muslimin pun terus melakukannya mengikuti orang-orang sebelum mereka. Seandainya penduduk suatu negeri meninggalkannya padahal mereka telah memenuhi syarat-syaratnya, maka imam (pemimpin) akan memerangi mereka; karena ia termasuk tanda-tanda agama yang nyata, seperti adzan.

وَيَنْبَغِي أَنْ يُؤَدَّى صَلَاةَ الْعِيدِ فِي صَحْرَاءَ قَرِيبَةٍ مِنَ الْبَلَدِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُصَلِّي الْعِيدَيْنِ فِي الْمُصَلَّى الَّذِي عَلَى بَابِ الْمَدِينَةِ؛ فَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ: "كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَخْرُجُ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ،

Sebaiknya shalat Ied dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan kota; karena Nabi ﷺ biasa melaksanakan shalat dua Ied di tanah lapang yang berada di pintu kota Madinah. Dari Abu Sa'id: "Nabi ﷺ biasa keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha ke tanah lapang", muttafaq 'alaih.

وَلَمْ يُنْقَلْ أَنَّهُ صَلَّاهَا فِي الْمَسْجِدِ لِغَيْرِ عُذْرٍ، وَلِأَنَّ الْخُرُوجَ إِلَى الصَّحْرَاءِ أَوْقَعُ لِهَيْبَةِ الْمُسْلِمِينَ وَالْإِسْلَامِ، وَأَظْهَرُ لِشَعَائِرِ الدِّينِ، وَلَا مَشَقَّةَ فِي ذَلِكَ؛ لِعَدَمِ تَكَرُّرِهِ؛ بِخِلَافِ الْجُمُعَةِ؛ إِلَّا فِي مَكَّةَ الْمُشَرَّفَةِ؛ فَإِنَّهَا تُصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ.

Dan tidak diriwayatkan bahwa beliau ﷺ melaksanakannya di masjid tanpa udzur, dan karena keluar ke padang pasir lebih menimbulkan kewibawaan bagi kaum muslimin dan Islam, serta lebih menampakkan syiar-syiar agama, dan tidak ada kesulitan dalam hal itu karena tidak berulang-ulang, berbeda dengan shalat Jum'at, kecuali di Makkah yang mulia, maka shalat 'Id dilaksanakan di Masjidil Haram.

وَيَبْدَأُ وَقْتُ صَلَاةِ الْعِيدِ إِذَا ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ بَعْدَ طُلُوعِهَا قَدْرَ رُمْحٍ؛ لِأَنَّهُ الْوَقْتُ الَّذِي كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّيهَا فِيهِ، وَيَمْتَدُّ وَقْتُهَا إِلَى زَوَالِ الشَّمْسِ.

Dan waktu shalat 'Id dimulai ketika matahari telah naik setelah terbitnya setinggi tombak, karena itulah waktu di mana Nabi ﷺ melaksanakannya, dan waktunya berlanjut hingga tergelincirnya matahari.

فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ بِالْعِيدِ إِلَّا بَعْدَ الزَّوَالِ؛ صَلَّوْا مِنَ الْغَدِ قَضَاءً؛ لِمَا رَوَى أَبُو عُمَيْرِ بْنُ أَنَسٍ عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنَ الْأَنْصَارِ؛ قَالُوا: "غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ، فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا، فَجَاءَ رَكْبٌ فِي آخِرِ النَّهَارِ، فَشَهِدُوا أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ، وَأَنْ يَخْرُجُوا غَدًا لِعِيدِهِمْ" رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَصَحَّحَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الْحُفَّاظِ، فَلَوْ كَانَتْ تُؤَدَّى بَعْدَ الزَّوَالِ؛ لَمَا أَخَّرَهَا النَّبِيُّ ﷺ إِلَى الْغَدِ، وَلِأَنَّ صَلَاةَ الْعِيدِ شُرِعَ لَهَا الِاجْتِمَاعُ الْعَامُّ؛ فَلَا بُدَّ أَنْ يَسْبِقَهَا وَقْتٌ يَتَمَكَّنُ النَّاسُ مِنَ التَّهَيُّؤِ لَهَا.

Jika tidak diketahui 'Id kecuali setelah tergelincir matahari, maka mereka shalat keesokan harinya secara qadha'. Berdasarkan riwayat Abu 'Umair bin Anas dari paman-pamannya dari kalangan Anshar, mereka berkata, "Hilal Syawal tertutup awan bagi kami, maka kami memasuki pagi dalam keadaan berpuasa. Lalu datanglah sekelompok penunggang di akhir siang dan mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi ﷺ memerintahkan agar mereka berbuka pada hari itu dan keluar esok hari untuk melaksanakan shalat 'Id." Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Ad-Daruquthni, dan beliau menghasankannya. Sekelompok huffazh menilainya shahih. Seandainya shalat 'Id dilaksanakan setelah tergelincirnya matahari, tentu Nabi ﷺ tidak akan mengakhirkannya hingga esok hari. Dan karena shalat 'Id disyariatkan untuk berkumpul secara umum, maka harus ada waktu sebelumnya di mana orang-orang dapat mempersiapkan diri untuknya.

وَيُسَنُّ تَقْدِيمُ صَلَاةِ الْأَضْحَى وَتَأْخِيرُ صَلَاةِ الْفِطْرِ؛ لِمَا رَوَى الشَّافِعِيُّ مُرْسَلًا؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَتَبَ إِلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ عَجِّلِ الْأَضْحَى، وَأَخِّرِ الْفِطْرَ، وَذَكِّرِ النَّاسَ. وَلِيَتَّسِعَ وَقْتُ التَّضْحِيَةِ بِتَقْدِيمِ

Disunnahkan untuk menyegerakan shalat 'Idul Adha dan mengakhirkan shalat 'Idul Fitri. Berdasarkan riwayat Asy-Syafi'i secara mursal bahwa Nabi ﷺ menulis surat kepada 'Amr bin Hazm, "Segerakanlah (shalat) 'Idul Adha dan akhirkanlah (shalat) 'Idul Fitri, serta ingatkanlah orang-orang." Dan agar waktu penyembelihan kurban menjadi lapang dengan menyegerakan

الصَّلَاةُ فِي الْأَضْحَى، وَلْيَتَّسِعِ الْوَقْتُ لِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفِطْرِ.

Shalat pada hari Idul Adha, dan hendaknya waktu diperluas untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat Idul Fitri.

وَيُسَنُّ أَنْ يَأْكُلَ قَبْلَ الْخُرُوجِ لِصَلَاةِ الْفِطْرِ تَمَرَاتٍ، وَأَنْ لَا يَطْعَمَ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يُصَلِّيَ؛ لِقَوْلِ بُرَيْدَةَ: "كَانَ النَّبِيُّ ﷺ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يُفْطِرَ، وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ النَّحْرِ حَتَّى يُصَلِّيَ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.

Disunnahkan untuk makan beberapa kurma sebelum berangkat untuk shalat Idul Fitri, dan tidak makan pada hari Idul Adha sampai selesai shalat; berdasarkan perkataan Buraidah: "Nabi ﷺ tidak keluar pada hari Idul Fitri sampai berbuka, dan tidak makan pada hari Idul Adha sampai selesai shalat", diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.

قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: "لَمَّا قَدَّمَ اللهُ الصَّلَاةَ عَلَى النَّحْرِ فِي قَوْلِهِ: ﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ﴾، وَقَدَّمَ التَّزَكِّيَ عَلَى الصَّلَاةِ فِي قَوْلِهِ: ﴿قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى﴾؛ كَانَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الصَّدَقَةَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فِي عِيدِ الْفِطْرِ، وَأَنَّ الذَّبْحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فِي عِيدِ النَّحْرِ.

Syaikh Taqiyuddin berkata: "Ketika Allah mendahulukan shalat atas penyembelihan dalam firman-Nya: ﴿Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah﴾, dan mendahulukan penyucian atas shalat dalam firman-Nya: ﴿Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat﴾; maka sunnah adalah bersedekah sebelum shalat pada Idul Fitri, dan menyembelih setelah shalat pada Idul Adha.

وَيُسَنُّ التَّبْكِيرُ فِي الْخُرُوجِ لِصَلَاةِ الْعِيدِ؛ لِيَتَمَكَّنَ مِنَ الدُّنُوِّ مِنَ الْإِمَامِ، وَتَحْصُلَ لَهُ فَضِيلَةُ انْتِظَارِ الصَّلَاةِ، فَيَكْثُرَ ثَوَابُهُ.

Disunnahkan untuk berangkat lebih awal ke shalat Ied; agar dapat mendekat kepada imam, dan mendapatkan keutamaan menunggu shalat, sehingga pahalanya menjadi banyak.

وَيُسَنُّ أَنْ يَتَجَمَّلَ الْمُسْلِمُ لِصَلَاةِ الْعِيدِ بِلُبْسِ أَحْسَنِ الثِّيَابِ؛ لِحَدِيثِ جَابِرٍ: "كَانَتْ لِلنَّبِيِّ ﷺ حُلَّةٌ يَلْبَسُهَا فِي الْعِيدَيْنِ وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ"، رَوَاهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ فِي "صَحِيحِهِ"، وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَلْبَسُ فِي الْعِيدَيْنِ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ.

Disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berhias pada shalat Ied dengan memakai pakaian terbaiknya; berdasarkan hadits Jabir: "Nabi ﷺ memiliki pakaian bagus yang beliau pakai pada dua hari raya dan hari Jumat", diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam "Shahih"-nya, dan dari Ibnu Umar bahwa ia memakai pakaian terbaiknya pada dua hari raya, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang baik.

وَيُشْتَرَطُ لِصَلَاةِ الْعِيدِ الِاسْتِيطَانُ؛ بِأَنْ يَكُونَ الَّذِينَ يُقِيمُونَهَا مُسْتَوْطِنِينَ فِي مَسَاكِنَ مَبْنِيَّةٍ بِمَا جَرَتِ الْعَادَةُ بِالْبِنَاءِ بِهِ؛ كَمَا فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ؛ فَلَا تُقَامُ صَلَاةُ الْعِيدِ إِلَّا حَيْثُ يَسُوغُ إِقَامَةُ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ وَافَقَ الْعِيدَ فِي حَجَّتِهِ، وَلَمْ يُصَلِّهَا، وَكَذَلِكَ خُلَفَاؤُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

Untuk shalat Idul Fitri disyaratkan menetap; yaitu orang-orang yang melaksanakannya harus menetap di rumah-rumah yang dibangun sebagaimana kebiasaan membangun; seperti dalam shalat Jumat; maka shalat Idul Fitri tidak dilaksanakan kecuali di tempat yang boleh melaksanakan shalat Jumat; karena Nabi ﷺ bertepatan dengan Idul Fitri dalam hajinya, dan beliau tidak melaksanakannya, demikian pula para khalifah setelahnya.

وَصَلَاةُ الْعِيدِ رَكْعَتَانِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ: "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَقَدِ اسْتَفَاضَتِ السُّنَّةُ بِذَلِكَ وَعَلَيْهِ عَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ، قَالَ التِّرْمِذِيُّ: "وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ وَغَيْرِهِمْ؛ أَنَّ صَلَاةَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ".

Shalat Idul Fitri adalah dua rakaat sebelum khutbah; berdasarkan perkataan Ibnu Umar: "Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Utsman melaksanakan shalat dua hari raya sebelum khutbah", disepakati olehnya, dan sunah telah menyebar luas tentang hal itu dan atasnya mayoritas ahli ilmu, At-Tirmidzi berkata: "Dan amalan atasnya menurut ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan selain mereka; bahwa shalat dua hari raya sebelum khutbah".

وَحِكْمَةُ تَأْخِيرِ الْخُطْبَةِ عَنْ صَلَاةِ الْعِيدِ وَتَقْدِيمِهَا عَلَى صَلَاةِ الْجُمُعَةِ: أَنَّ خُطْبَةَ الْجُمُعَةِ شَرْطٌ لِلصَّلَاةِ، وَالشَّرْطُ مُقَدَّمٌ عَلَى الْمَشْرُوطِ؛ بِخِلَافِ خُطْبَةِ الْعِيدِ؛ فَإِنَّهَا سُنَّةٌ.

Hikmah mengakhirkan khutbah dari shalat Idul Fitri dan mendahulukannya atas shalat Jumat: bahwa khutbah Jumat adalah syarat untuk shalat, dan syarat didahulukan atas yang disyaratkan; berbeda dengan khutbah Idul Fitri; maka sesungguhnya ia adalah sunnah.

وَصَلَاةُ الْعِيدَيْنِ رَكْعَتَانِ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ، وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" وَغَيْرِهِمَا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلَا بَعْدَهُمَا، وَقَالَ عُمَرُ: "صَلَاةُ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى رَكْعَتَانِ، تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ، عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ ﷺ، وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.

Shalat dua hari raya adalah dua rakaat dengan ijmak kaum muslimin, dan dalam "Ash-Shahihain" dan selainnya dari Ibnu Abbas; bahwa Nabi ﷺ keluar pada hari Idul Fitri, lalu beliau shalat dua rakaat tidak shalat sebelumnya dan tidak pula setelahnya, dan Umar berkata: "Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua rakaat, sempurna tidak diqashar, atas lisan Nabi kalian ﷺ, dan sungguh telah merugi orang yang mengada-ada", diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya.

وَلَا يُشْرَعُ لِصَلَاةِ الْعِيدِ أَذَانٌ وَلَا إِقَامَةٌ؛ لِمَا رَوَى مُسْلِمٌ عَنْ جَابِرٍ: "صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ الْعِيدَ مَرَّةً وَلَا مَرَّتَيْنِ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ؛ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ".

Tidak disyariatkan adzan dan iqamah untuk shalat Ied; karena Muslim meriwayatkan dari Jabir: "Aku shalat Ied bersama Nabi ﷺ satu atau dua kali, beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah; tanpa adzan dan iqamah".

وَيُكَبِّرُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى بَعْدَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ وَالِاسْتِفْتَاحِ وَقَبْلَ التَّعَوُّذِ وَالْقِرَاءَةِ سِتَّ تَكْبِيرَاتٍ؛ فَتَكْبِيرَةُ الْإِحْرَامِ رُكْنٌ، لَابُدَّ مِنْهَا، لَا تَنْعَقِدُ الصَّلَاةُ بِدُونِهَا، وَغَيْرُهَا مِنَ التَّكْبِيرَاتِ سُنَّةٌ، ثُمَّ يَسْتَفْتِحُ بَعْدَهَا؛ لِأَنَّ الِاسْتِفْتَاحَ فِي أَوَّلِ الصَّلَاةِ، ثُمَّ يَأْتِي بِالتَّكْبِيرَاتِ الزَّوَائِدِ السِّتِّ، ثُمَّ يَتَعَوَّذُ عَقِبَ التَّكْبِيرَةِ السَّادِسَةِ؛ لِأَنَّ التَّعَوُّذَ لِلْقِرَاءَةِ، فَيَكُونُ عِنْدَهَا، ثُمَّ يَقْرَأُ.

Dia bertakbir pada rakaat pertama setelah takbiratul ihram dan istiftah, dan sebelum ta'awudz dan membaca, enam kali takbir; takbiratul ihram adalah rukun, harus dilakukan, shalat tidak sah tanpanya, sedangkan takbir lainnya adalah sunnah, kemudian dia beristiftah setelahnya; karena istiftah di awal shalat, kemudian dia melakukan enam takbir tambahan, lalu ta'awudz setelah takbir keenam; karena ta'awudz untuk membaca, maka dilakukan pada saat itu, kemudian dia membaca.

وَيُكَبِّرُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ خَمْسَ تَكْبِيرَاتٍ غَيْرَ تَكْبِيرَةِ الِانْتِقَالِ؛ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ عَمْرٍو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ؛: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَبَّرَ فِي عِيدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً؛ سَبْعًا فِي الْأُولَى، وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ"، وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ.

Dia bertakbir pada rakaat kedua sebelum membaca, lima kali takbir selain takbir perpindahan; karena Ahmad meriwayatkan dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya; "Bahwa Nabi ﷺ bertakbir pada shalat Ied dua belas kali takbir; tujuh pada rakaat pertama, dan lima pada rakaat terakhir", dan sanadnya hasan.

وَرَوَى غَيْرَ ذَلِكَ فِي عَدَدِ التَّكْبِيرَاتِ: قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ﵀: "اخْتَلَفَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ ﷺ فِي التَّكْبِيرِ، وَكُلُّهُ جَائِزٌ".

Dia meriwayatkan selain itu dalam jumlah takbir: Imam Ahmad ﵀ berkata: "Para sahabat Nabi ﷺ berbeda pendapat dalam takbir, dan semuanya boleh".

وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيرَةٍ؛ لِأَنَّهُ ﷺ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ التَّكْبِيرِ.

Dia mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir; karena beliau ﷺ mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir.

وَيُسَنُّ أَنْ يَقُولَ بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ: اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا، وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَآلِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا، لِقَوْلِ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ: سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ عَمَّا يَقُولُهُ بَعْدَ تَكْبِيرَاتِ الْعِيدِ؟ قَالَ: "يَحْمَدُ اللهَ، وَيُثْنِي عَلَيْهِ، وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ﷺ".

Disunnahkan untuk mengucapkan di antara setiap dua takbir: Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah pada pagi dan petang hari, dan semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam yang banyak kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, berdasarkan perkataan 'Uqbah bin 'Amir: Aku bertanya kepada Ibnu Mas'ud tentang apa yang diucapkan setelah takbir 'Id? Beliau menjawab: "Dia memuji Allah, menyanjung-Nya, dan bershalawat kepada Nabi ﷺ".

وَرَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادِهِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَوْلًا وَفِعْلًا.

Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanadnya dari Ibnu Mas'ud secara perkataan dan perbuatan.

وَقَالَ حُذَيْفَةُ: "صَدَقَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ".

Hudzaifah berkata: "Abu Abdirrahman (Ibnu Mas'ud) benar".

وَإِنْ أَتَى بِذِكْرٍ غَيْرِ هَذَا فَلَا بَأْسَ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ ذِكْرٌ مُعَيَّنٌ.

Jika seseorang membaca dzikir selain ini, maka tidak mengapa; karena tidak ada dzikir tertentu dalam hal ini.

قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: "كَانَ يَسْكُتُ بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ سَكْتَةً يَسِيرَةً، وَلَمْ يُحْفَظْ عَنْهُ ذِكْرٌ مُعَيَّنٌ بَيْنَ التَّكْبِيرَاتِ" اهـ.

Ibnu Al-Qayyim berkata: "Beliau (Nabi ﷺ) diam sejenak di antara setiap dua takbir, dan tidak ada dzikir tertentu yang dihafal dari beliau di antara takbir-takbir tersebut".

وَإِنْ شَكَّ فِي عَدَدِ التَّكْبِيرَاتِ؛ بَنَى عَلَى الْيَقِينِ، وَهُوَ الْأَقَلُّ.

Jika seseorang ragu tentang jumlah takbir; maka ia membangun (shalatnya) di atas keyakinan, yaitu jumlah yang paling sedikit.

وَإِنْ نَسِيَ التَّكْبِيرَ الزَّائِدَ حَتَّى شَرَعَ فِي الْقِرَاءَةِ؛ سَقَطَ؛ لِأَنَّهُ سُنَّةٌ فَاتَ مَحَلُّهَا.

Jika seseorang lupa takbir tambahan hingga ia memulai bacaan; maka takbir tersebut gugur; karena ia adalah sunnah yang telah terlewatkan tempatnya.

وَكَذَا إِذَا أَدْرَكَ الْمَأْمُومُ الْإِمَامَ بَعْدَمَا شَرَعَ فِي الْقِرَاءَةِ؛ لَمْ يَأْتِ بِالتَّكْبِيرَاتِ الزَّوَائِدِ، أَوْ أَدْرَكَهُ رَاكِعًا، فَإِنَّهُ يُكَبِّرُ تَكْبِيرَةَ الْإِحْرَامِ، ثُمَّ يَرْكَعُ، وَلَا يَشْتَغِلُ بِقَضَاءِ التَّكْبِيرِ.

Demikian pula jika makmum mendapati imam setelah memulai bacaan; ia tidak melakukan takbir-takbir tambahan, atau jika ia mendapati imam sedang ruku', maka ia bertakbir takbiratul ihram, kemudian ruku', dan tidak menyibukkan diri dengan mengqadha' takbir.

وَصَلَاةُ الْعِيدِ رَكْعَتَانِ، يَجْهَرُ الْإِمَامُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ؛ لِقَوْلِ ابْنِ عُمَرَ: "كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَجْهَرُ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْعِيدَيْنِ وَالِاسْتِسْقَاءِ"، رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ،

Shalat 'Id terdiri dari dua rakaat, imam mengeraskan bacaan pada keduanya; berdasarkan perkataan Ibnu Umar: "Nabi ﷺ mengeraskan bacaan pada dua shalat 'Id dan shalat istisqa'", diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni,

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى ذَلِكَ، وَنَقَلَهُ الْخَلَفُ عَنِ السَّلَفِ، وَاسْتَمَرَّ عَمَلُ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِ.

Para ulama telah bersepakat atas hal itu, dan generasi penerus telah meriwayatkannya dari generasi pendahulu, dan kaum muslimin terus mengamalkannya.

وَيَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى بَعْدَ الْفَاتِحَةِ بِ ﴿سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى﴾، وَيَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِالْغَاشِيَةِ؛ لِقَوْلِ سَمُرَةَ: "إِنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ بِ ﴿سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى﴾ وَ﴿هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ﴾ "، رَوَاهُ أَحْمَدُ.

Dan dia membaca pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah dengan ﴿سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى﴾ (Sabbihisma Rabbikal A'la), dan dia membaca pada rakaat kedua dengan Al-Ghasyiyah; berdasarkan perkataan Samurah: "Sesungguhnya Nabi ﷺ membaca pada dua hari raya dengan ﴿سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى﴾ (Sabbihisma Rabbikal A'la) dan ﴿هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ﴾ (Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah)", diriwayatkan oleh Ahmad.

أَوْ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى بِ ﴿ق﴾ وَ﴿اقْتَرَبَتِ﴾

Atau dia membaca pada rakaat pertama dengan ﴿ق﴾ (Qaf) dan ﴿اقْتَرَبَتِ﴾ (Iqtarabat)

أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ مِمَّا جَاءَ فِي الْأَثَرِ؛ كَانَ حَسَنًا، وَكَانَ قِرَاءَتُهُ فِي الْمَجَامِعِ الْكِبَارِ بِالسُّوَرِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى التَّوْحِيدِ وَالْأَمْرِ وَالنَّهْيِ وَالْمَبْدَأِ وَالْمَعَادِ وَقِصَصِ الْأَنْبِيَاءِ مَعَ أُمَمِهِمْ وَمَا عَامَلَ اللهُ بِهِ مِنْ كَذَّبَهُمْ وَكَفَرَ بِهِمْ وَمَا حَلَّ بِهِمْ مِنَ الْهَلَاكِ وَالشَّقَاءِ وَمَنْ آمَنَ بِهِمْ وَصَدَّقَهُمْ مَا لَهُمْ مِنَ النَّجَاةِ وَالْعَافِيَةِ" انْتَهَى.

Atau seperti itu dari apa yang datang dalam atsar; itu baik, dan membacanya di majelis-majelis besar dengan surah-surah yang mencakup tauhid, perintah, larangan, permulaan, hari kiamat, dan kisah para nabi bersama umat mereka dan bagaimana Allah memperlakukan orang-orang yang mendustakan mereka dan kufur kepada mereka, apa yang menimpa mereka berupa kebinasaan dan kesengsaraan, dan orang-orang yang beriman kepada mereka dan membenarkan mereka, apa yang mereka dapatkan berupa keselamatan dan kesejahteraan." Selesai.

فَإِذَا سَلَّمَ مِنَ الصَّلَاةِ؛ خَطَبَ خُطْبَتَيْنِ، يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا؛ لِمَا رَوَى عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ؛ قَالَ: "السُّنَّةُ أَنْ يَخْطُبَ الْإِمَامُ فِي الْعِيدَيْنِ خُطْبَتَيْنِ، يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ"، رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ، وَلِابْنِ مَاجَهْ عَنْ جَابِرٍ: "خَطَبَ قَائِمًا، ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً، ثُمَّ قَامَ"،

Ketika selesai salam dari shalat; beliau berkhutbah dua khutbah, duduk di antara keduanya; berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ubaidullah bin Ubaidillah bin Utbah; ia berkata: "Sunnah adalah imam berkhutbah pada dua hari raya dengan dua khutbah, ia memisahkan di antara keduanya dengan duduk", diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Jabir: "Beliau berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk sebentar, lalu berdiri",

وَفِي الصَّحِيحِ وَغَيْرِهِ: "بَدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ، فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ، وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ" الْحَدِيثَ، وَلِمُسْلِمٍ: " ثُمَّ يَنْصَرِفُ، فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ".

Dalam Shahih dan selainnya: "Beliau memulai dengan shalat kemudian berdiri sambil bersandar pada Bilal, lalu memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah, dan mendorong untuk taat kepada-Nya" hadits. Muslim meriwayatkan: "Kemudian beliau pergi, lalu berdiri menghadap orang-orang, sementara orang-orang duduk di shaf-shaf mereka".

وَيَحُثُّهُمْ فِي خُطْبَةِ عِيدِ الْفِطْرِ عَلَى إِخْرَاجِ صَدَقَةِ الْفِطْرِ، وَيُبَيِّنُ لَهُمْ أَحْكَامَهَا؛ مِنْ حَيْثُ مِقْدَارُهَا، وَوَقْتُ إِخْرَاجِهَا، وَنَوْعُ الْمُخْرَجِ فِيهَا.

Dan dia mendorong mereka dalam khutbah Idul Fitri untuk mengeluarkan zakat fitrah, dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya; dari segi jumlahnya, waktu mengeluarkannya, dan jenis yang dikeluarkan di dalamnya.

وَيُرَغِّبُهُمْ فِي خُطْبَةِ عِيدِ الْأَضْحَى فِي ذَبْحِ الْأُضْحِيَةِ، وَيُبَيِّنُ لَهُمْ أَحْكَامَهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ ذَكَرَ فِي خُطْبَةِ الْأَضْحَى كَثِيرًا مِنْ أَحْكَامِهَا.

Dan dia mendorong mereka dalam khutbah Idul Adha untuk menyembelih hewan kurban, dan menjelaskan kepada mereka hukum-hukumnya; karena Nabi ﷺ menyebutkan dalam khutbah Idul Adha banyak dari hukum-hukumnya.

وَهَكَذَا يَنْبَغِي لِلْخُطَبَاءِ أَنْ يُرَكِّزُوا فِي خُطَبِهِمْ عَلَى الْمُنَاسَبَاتِ؛ فَيُبَيِّنُوا لِلنَّاسِ مَا يَحْتَاجُوهُ إِلَى بَيَانِهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِحَسَبِهِ بَعْدَ الْوَصِيَّةِ بِتَقْوَى اللهِ وَالْوَعْظِ وَالتَّذْكِيرِ، لَا سِيَّمَا فِي الْمَجَامِعِ الْعَظِيمَةِ وَالْمُنَاسَبَاتِ الْكَرِيمَةِ؛ فَإِنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ تَضُمَّنَ الْخُطْبَةُ مَا يُفِيدُ الْمُسْتَمِعَ وَيُذَكِّرُ الْغَافِلَ وَيُعَلِّمُ الْجَاهِلَ.

Demikianlah seharusnya para khatib fokus dalam khutbah mereka pada peristiwa-peristiwa; maka mereka menjelaskan kepada orang-orang apa yang mereka butuhkan penjelasannya pada setiap waktu sesuai dengannya setelah berwasiat untuk bertakwa kepada Allah, memberi nasihat dan peringatan, terutama dalam pertemuan-pertemuan besar dan peristiwa-peristiwa mulia; karena seharusnya khutbah itu mencakup apa yang bermanfaat bagi pendengar, mengingatkan orang yang lalai, dan mengajarkan orang yang bodoh.

وَيَنْبَغِي حُضُورُ النِّسَاءِ لِصَلَاةِ الْعِيدِ؛ كَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ، وَيَنْبَغِي أَنْ تُوَجَّهَ إِلَيْهِنَّ مَوْعِظَةٌ خَاصَّةٌ ضِمْنَ خُطْبَةِ الْعِيدِ؛ لِأَنَّهُ ﷺ لَمَّا رَأَى أَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ النِّسَاءَ؛ أَتَاهُنَّ، فَوَعَظَهُنَّ، وَحَثَّهُنَّ عَلَى الصَّدَقَةِ، وَهَكَذَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ لِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِنْ مَوْضُوعِ خُطْبَةِ الْعِيدِ؛ لِحَاجَتِهِنَّ إِلَى ذَلِكَ وَإِقْتِدَاءً بِالنَّبِيِّ ﷺ.

Dan seharusnya para wanita menghadiri shalat Id; sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan seharusnya diarahkan kepada mereka nasihat khusus dalam khutbah Id; karena beliau ﷺ ketika melihat bahwa beliau tidak mendengar para wanita; beliau mendatangi mereka, lalu menasihati mereka, dan mendorong mereka untuk bersedekah, dan demikianlah seharusnya para wanita memiliki bagian dari topik khutbah Id; karena kebutuhan mereka akan hal itu dan mengikuti Nabi ﷺ.

وَمِنْ أَحْكَامِ صَلَاةِ الْعِيدِ: أَنَّهُ يُكْرَهُ التَّنَفُّلُ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا فِي

Dan di antara hukum-hukum shalat Id: bahwa dimakruhkan melakukan shalat sunnah sebelum dan sesudahnya di

مَوْضِعَهَا، حَتَّى يُفَارِقَ الْمُصَلِّي؛ لِقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ ﵄: "خَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ يَوْمَ عِيدٍ؛ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلَا بَعْدَهُمَا"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَلِئَلَّا يَتَوَهَّمَ أَنَّ لَهَا رَاتِبَةً قَبْلَهَا أَوْ بَعْدَهَا.

Tempatnya, sampai orang yang shalat meninggalkan; karena perkataan Ibnu Abbas ﵄: "Nabi ﷺ keluar pada hari raya; lalu beliau shalat dua rakaat, tidak shalat sebelum keduanya dan tidak pula setelah keduanya", muttafaq alaih, dan agar tidak disangka bahwa shalat Id memiliki shalat rawatib sebelum atau setelahnya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: "أَهْلُ الْمَدِينَةِ لَا يَتَطَوَّعُونَ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا".

Imam Ahmad berkata: "Penduduk Madinah tidak melakukan shalat sunnah sebelum atau setelahnya".

وَقَالَ الزُّهْرَانِيُّ: "لَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْ عُلَمَائِنَا يَذْكُرُ أَنَّ أَحَدًا مِنْ سَلَفِ هَذِهِ الْأُمَّةِ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ تِلْكَ الصَّلَاةِ وَلَا بَعْدَهَا، وَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَحُذَيْفَةُ يَنْهَيَانِ النَّاسَ عَنِ الصَّلَاةِ قَبْلَهَا".

Az-Zuhrani berkata: "Aku tidak mendengar seorang pun dari ulama kami menyebutkan bahwa seseorang dari salaf umat ini shalat sebelum shalat itu atau setelahnya, dan Ibnu Mas'ud serta Hudzaifah melarang orang-orang dari shalat sebelumnya".

فَإِذَا رَجَعَ إِلَى مَنْزِلِهِ؛ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ؛ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا رَجَعَ إِلَى مَنْزِلِهِ؛ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ".

Jika dia kembali ke rumahnya; maka tidak mengapa dia shalat di dalamnya; karena apa yang diriwayatkan Ahmad dan lainnya: "Bahwa Nabi ﷺ jika kembali ke rumahnya; beliau shalat dua rakaat".

وَيُسَنُّ لِمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعِيدِ أَوْ فَاتَهُ بَعْضُهَا قَضَاؤُهَا عَلَى صِفَتِهَا؛ بِأَنْ يُصَلِّيَهَا رَكْعَتَيْنِ؛ بِتَكْبِيرَاتِهَا الزَّوَائِدِ؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ يَحْكِي الْأَدَاءَ، وَلِعُمُومِ قَوْلِهِ ﷺ: "فَمَا أَدْرَكْتُمْ؛ فَصَلُّوا؛ وَمَا فَاتَكُمْ؛ فَأَتِمُّوا"، فَإِذَا فَاتَتْهُ رَكْعَةٌ مَعَ الْإِمَامِ؛ أَضَافَ إِلَيْهَا أُخْرَى، وَإِنْ جَاءَ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ؛ جَلَسَ لِاسْتِمَاعِ الْخُطْبَةِ، فَإِذَا انْتَهَتْ؛ صَلَّاهَا قَضَاءً، وَلَا بَأْسَ بِقَضَائِهَا مُتَفَرِّدًا أَوْ مَعَ جَمَاعَةٍ.

Disunnahkan bagi orang yang tertinggal shalat Id atau tertinggal sebagiannya untuk mengqadhanya sesuai sifatnya; dengan cara dia shalat dua rakaat; dengan takbir-takbir tambahan; karena qadha mencontoh ada', dan karena keumuman sabda Nabi ﷺ: "Apa yang kalian dapati; maka shalatlah; dan apa yang luput dari kalian; maka sempurnakanlah", jika dia tertinggal satu rakaat bersama imam; maka dia menambahkan satu rakaat lagi, jika dia datang sementara imam sedang berkhutbah; maka dia duduk untuk mendengarkan khutbah, jika khutbah selesai; maka dia shalat qadha, dan tidak mengapa mengqadhanya sendirian atau bersama jamaah.

وَيُسَنُّ فِي الْعِيدَيْنِ التَّكْبِيرُ الْمُطْلَقُ، وَهُوَ الَّذِي لَا يَتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ يَرْفَعُ بِهِ صَوْتَهُ؛ إِلَّا الْأُنْثَى؛ فَلَا تَجْهَرُ بِهِ، فَيُكَبِّرُ فِي لَيْلَتَيِ الْعِيدَيْنِ، وَفِي كُلِّ

Disunnahkan pada dua hari raya takbir mutlak, yaitu yang tidak terikat dengan waktu, dia mengeraskan suaranya dengannya; kecuali wanita; maka dia tidak mengeraskan suaranya dengannya, maka bertakbirlah pada dua malam hari raya, dan pada setiap

عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ﴾، وَيُجْهَرُ بِهِ فِي الْبُيُوتِ وَالْأَسْوَاقِ وَالْمَسَاجِدِ وَفِي كُلِّ مَوْضِعٍ يَجُوزُ فِيهِ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى، وَيُجْهَرُ بِهِ فِي الْخُرُوجِ إِلَى الْمُصَلَّى؛ لِمَا أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: "أَنَّهُ إِذَا غَدَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى يَجْهَرُ بِالتَّكْبِيرِ، حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى، ثُمَّ يُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْإِمَامُ"، وَفِي "الصَّحِيحِ": "كُنَّا يُؤْمَرُ بِإِخْرَاجِ الْحَيْضِ، فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ"، وَلِمُسْلِمٍ: "يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ"؛ فَهُوَ مُسْتَحَبٌّ لِمَا فِيهِ مِنْ إِظْهَارِ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ.

Sepuluh hari Dzulhijjah berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu". Dan disunahkan mengeraskan suara takbir di rumah-rumah, pasar-pasar, masjid-masjid, dan di setiap tempat yang diperbolehkan untuk berdzikir kepada Allah Ta'ala. Dan disunahkan mengeraskan suara takbir ketika keluar menuju tempat shalat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan lainnya dari Ibnu Umar: "Bahwasanya ia apabila pergi pada hari Idul Fitri dan hari Idul Adha, ia mengeraskan suara takbir hingga sampai ke tempat shalat, kemudian ia bertakbir hingga imam datang". Dan dalam hadits shahih: "Kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita haid, lalu mereka bertakbir dengan takbir mereka". Dan dalam riwayat Muslim: "Mereka bertakbir bersama orang-orang". Maka hal itu disunahkan karena di dalamnya terdapat penegakan syiar-syiar Islam.

وَالتَّكْبِيرُ فِي عِيدِ الْفِطْرِ آكَدُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ﴾؛ فَهُوَ فِي هَذَا الْعِيدِ آكَدُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ أَمَرَ بِهِ.

Dan takbir pada hari raya Idul Fitri lebih ditekankan, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu". Maka takbir pada hari raya ini lebih ditekankan, karena Allah memerintahkannya.

وَيَزِيدُ عِيدُ الْأَضْحَى بِمَشْرُوعِيَّةِ التَّكْبِيرِ الْمُقَيَّدِ فِيهِ، وَهُوَ التَّكْبِيرُ الَّذِي شُرِعَ عَقِبَ كُلِّ صَلَاةٍ فَرِيضَةٍ فِي جَمَاعَةٍ، فَيَلْتَفِتُ الْإِمَامُ إِلَى الْمَأْمُومِينَ، ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيُكَبِّرُونَ، لِمَا رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَغَيْرُهُمَا مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ: "أَنَّهُ كَانَ ﷺ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ؛ يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ ... " الْحَدِيثَ.

Dan Idul Adha memiliki kelebihan dengan disyariatkannya takbir muqayyad (terikat) di dalamnya, yaitu takbir yang disyariatkan setelah setiap shalat fardhu berjamaah. Imam menghadap kepada makmum, kemudian bertakbir dan mereka pun bertakbir, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya dari hadits Jabir: "Bahwasanya Nabi ﷺ apabila selesai shalat Subuh pada pagi hari Arafah, beliau mengucapkan: Allahu akbar..." hadits.

وَيَبْتَدِأُ التَّكْبِيرُ الْمُقَيَّدُ بِأَدْبَارِ الصَّلَوَاتِ فِي حَقِّ غَيْرِ الْمُحْرِمِ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى عَصْرِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، وَأَمَّا الْمُحْرِمُ؛ فَيَبْتَدِئُ التَّكْبِيرَ الْمُقَيَّدَ فِي حَقِّهِ مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ يَوْمَ النَّحْرِ إِلَى عَصْرِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ؛ لِأَنَّهُ قَبْلَ ذَلِكَ مَشْغُولٌ بِالتَّلْبِيَةِ.

Takbir terikat setelah shalat dimulai bagi yang tidak berihram dari shalat Subuh pada hari Arafah hingga Ashar di akhir hari Tasyriq. Adapun bagi yang berihram, takbir terikat dimulai dari shalat Zuhur pada hari Nahr hingga Ashar di akhir hari Tasyriq, karena sebelum itu ia sibuk dengan talbiyah.

رَوَى الدَّارَقُطْنِي عَنْ جَابِرٍ: "كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُكَبِّرُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ حِينَ يُسَلِّمُ مِنَ الْمَكْتُوبَاتِ"، وَفِي لَفْظٍ: "وَكَانَ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ؛ أَقْبَلَ عَلَى أَصْحَابِهِ فَيَقُولُ: مَكَانَكُمْ، وَيَقُولُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ".

Ad-Daraquthni meriwayatkan dari Jabir: "Nabi ﷺ bertakbir dalam shalat Subuh pada hari Arafah hingga shalat Ashar di akhir hari Tasyriq ketika salam dari shalat wajib", dan dalam lafaz lain: "Ketika beliau shalat Subuh pada pagi hari Arafah, beliau menghadap kepada para sahabatnya dan berkata: Tetaplah di tempat kalian, dan beliau mengucapkan: Allahu akbar Allahu akbar laa ilaaha illallah, wallahu akbar Allahu akbar wa lillahil hamd".

وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَات﴾، وَهِيَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ.

Allah Ta'ala berfirman: "Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang terbilang", yaitu hari-hari Tasyriq.

وَقَالَ الْإِمَامُ النَّوَوِيُّ: "هُوَ الرَّاجِحُ وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ فِي الْأَمْصَارِ".

Imam Nawawi berkata: "Ini adalah pendapat yang rajih dan menjadi amalan di berbagai negeri".

وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "أَصَحُّ الْأَقْوَالِ فِي التَّكْبِيرِ الَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُورُ مِنَ السَّلَفِ وَالْفُقَهَاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالْأَئِمَّةِ: أَنْ يُكَبِّرَ مِنْ فَجْرِ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ عَقِبَ كُلِّ صَلَاةٍ؛ لِمَا فِي "السُّنَنِ": "يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ مِنًى عِيدُنَا أَهْلُ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ"،

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Pendapat yang paling shahih tentang takbir yang menjadi pendapat mayoritas ulama salaf dan fuqaha dari kalangan sahabat dan imam adalah bertakbir dari Subuh hari Arafah hingga akhir hari Tasyriq setelah setiap shalat, berdasarkan hadits dalam "As-Sunan": "Hari Arafah, hari Nahr, dan hari-hari Mina adalah hari raya kami umat Islam, yaitu hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah".

وَكَوْنُ الْمُحْرِمِ يَبْتَدِئُ التَّكْبِيرَ الْمُقَيَّدَ مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ يَوْمَ النَّحْرِ؛ لِأَنَّ التَّلْبِيَةَ تُقْطَعُ بِرَمْيِ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ، وَوَقْتُ رَمْيِ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ الْمَسْنُونُ ضُحًى يَوْمَ النَّحْرِ، فَكَانَ الْمُحْرِمُ فِيهِ كَالْمُحِلِّ، فَلَوْ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ قَبْلَ الْفَجْرِ؛ فَلَا يَبْتَدِئُ التَّكْبِيرَ إِلَّا بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ أَيْضًا؛ عَمَلًا عَلَى الْغَالِبِ" انْتَهَى.

Dan keadaan orang yang berihram memulai takbir yang terikat dari shalat Zhuhur pada hari Nahr; karena talbiyah terputus dengan melempar jumrah 'Aqabah, dan waktu melempar jumrah 'Aqabah yang disunnahkan adalah pada waktu Dhuha di hari Nahr, maka orang yang berihram pada saat itu seperti orang yang halal, seandainya ia melempar jumrah 'Aqabah sebelum fajar; maka ia tidak memulai takbir kecuali setelah shalat Zhuhur juga; mengamalkan yang umumnya terjadi" selesai.

وَصِفَةُ التَّكْبِيرِ أَنْ يَقُولَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.

Dan sifat takbir adalah dengan mengatakan: Allāhu akbar Allāhu akbar lā ilāha illallāh, wallāhu akbar Allāhu akbar wa lillāhil-ḥamd.

وَلَا بَأْسَ بِتَهْنِئَةِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا؛ بِأَنْ يَقُولَ لِغَيْرِهِ: تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ.

Dan tidak mengapa saling memberi ucapan selamat di antara manusia; dengan mengatakan kepada yang lain: Taqabbalallāhu minnā wa minka.

فَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "قَدْ رُوِيَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ، وَرَخَّصَ فِيهِ الْأَئِمَّةُ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ" اهـ.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka melakukannya, dan para imam seperti Ahmad dan lainnya memberikan keringanan dalam hal itu" selesai.

وَالْمَقْصُودُ مِنَ التَّهْنِئَةِ التَّوَدُّدُ وَإِظْهَارُ السُّرُورِ.

Dan tujuan dari ucapan selamat adalah untuk menunjukkan kasih sayang dan kegembiraan.

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: "لَا أَبْتَدِئُ بِهِ، فَإِنْ ابْتَدَأَنِي أَحَدٌ؛ أَجَبْتُهُ".

Imam Ahmad berkata: "Aku tidak memulainya, jika seseorang memulai denganku; aku menjawabnya".

وَذَلِكَ لِأَنَّ وُجُوبَ التَّحِيَّةِ وَاجِبٌ، وَأَمَّا الِابْتِدَاءُ بِالتَّهْنِئَةِ؛ فَلَيْسَ سُنَّةً مَأْمُورًا بِهَا، وَلَا هُوَ أَيْضًا مِمَّا نُهِيَ عَنْهُ، وَلَا بَأْسَ بِالْمُصَافَحَةِ فِي التَّهْنِئَةِ.

Hal itu karena kewajiban memberi penghormatan adalah wajib, adapun memulai ucapan selamat; maka bukan sunnah yang diperintahkan, dan juga bukan termasuk yang dilarang, dan tidak mengapa berjabat tangan dalam memberi ucapan selamat.

بَابٌ فِي أَحْكَامِ صَلَاةِ الْكُسُوفِ

بَابٌ فِي أَحْكَامِ صَلَاةِ الْكُسُوفِ

Bab tentang hukum-hukum shalat gerhana

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلاّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآياتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ﴾ .

Allah Ta'ala berfirman: "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui."

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ﴾ .

Dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya."

صَلَاةُ الْكُسُوفِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، وَدَلِيلُهَا السُّنَّةُ الثَّابِتَةُ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ.

Shalat gerhana adalah sunnah muakkadah berdasarkan kesepakatan para ulama, dan dalilnya adalah sunnah yang tetap dari Rasulullah ﷺ.

وَالْكُسُوفُ آيَةٌ مِنْ آيَاتِ اللهِ يُخَوِّفُ اللهُ بِهَا عِبَادَهُ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا نُرْسِلُ بِالْآياتِ إِلَّا تَخْوِيفًا﴾ .

Gerhana adalah salah satu tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah yang dengannya Allah menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Allah Ta'ala berfirman: "Dan tidaklah Kami mengutus dengan tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti."

وَلَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ؛ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ مُسْرِعًا فَزِعًا، يَجُرُّ رِدَاءَهُ فَصَلَّى بِالنَّاسِ، وَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ الْكُسُوفَ آيَةٌ مِنْ آيَاتِ اللهِ، يُخَوِّفُ اللهُ بِهِ عِبَادَهُ، وَأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ سَبَبَ نُزُولِ عَذَابٍ بِالنَّاسِ، وَأَمَرَ بِمَا يُزِيلُهُ، فَأَمَرَ بِالصَّلَاةِ عِنْدَ حُصُولِهِ وَالدُّعَاءِ وَالِاسْتِغْفَارِ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ، حَتَّى يَنْكَشِفَ مَا بِالنَّاسِ؛

Ketika matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah ﷺ, beliau keluar menuju masjid dengan tergesa-gesa dalam keadaan takut sambil menyeret selendangnya. Beliau lalu shalat bersama orang-orang dan memberitahu mereka bahwa gerhana adalah salah satu tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah yang dengannya Allah menakut-nakuti hamba-hamba-Nya, dan bahwa gerhana itu bisa menjadi sebab turunnya azab kepada manusia. Beliau memerintahkan apa yang dapat menghilangkannya, yaitu dengan melakukan shalat ketika terjadi gerhana, berdoa, beristighfar, bersedekah, memerdekakan budak, dan amalan-amalan shalih lainnya, hingga tersingkap apa yang menimpa manusia.

فَفِي الْكُسُوفِ تَنْبِيهٌ لِلنَّاسِ وَتَخْوِيفٌ لَهُمْ لِيَرْجِعُوا إِلَى اللهِ وَيُرَاقِبُوهُ.

Dalam gerhana matahari terdapat peringatan bagi manusia dan menakut-nakuti mereka agar mereka kembali kepada Allah dan mengawasinya.

وَكَانُوا فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَعْتَقِدُونَ أَنَّ الْكُسُوفَ إِنَّمَا يَحْصُلُ عِنْدَ وِلَادَةِ عَظِيمٍ أَوْ مَوْتِ عَظِيمٍ، فَأَبْطَلَ رَسُولُ اللهِ ﷺ ذَلِكَ الِاعْتِقَادَ، وَبَيَّنَ الْحِكْمَةَ الْإِلَهِيَّةَ فِي حُصُولِ الْكُسُوفِ:

Pada masa Jahiliyah, mereka percaya bahwa gerhana hanya terjadi pada saat kelahiran atau kematian orang besar. Rasulullah ﷺ membatalkan keyakinan itu dan menjelaskan hikmah ilahi dalam terjadinya gerhana:

فَقَدْ رَوَى الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِ؛ قَالَ: انْكَسَفَتِ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ النَّاسُ: انْكَسَفَ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: "إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ، لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ؛ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَإِلَى الصَّلَاةِ".

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Ibnu Mas'ud Al-Anshari; dia berkata: Matahari mengalami gerhana pada hari kematian Ibrahim putra Nabi ﷺ, maka orang-orang berkata: Matahari mengalami gerhana karena kematian Ibrahim. Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang atau kehidupannya. Jika kalian melihat hal itu, maka bersegeralah untuk berzikir kepada Allah dan shalat."

وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ فِي "الصَّحِيحَيْنِ": "فَادْعُوا اللهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ".

Dalam hadits lain di "Shahihain": "Berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga menjadi terang."

وَفِي "صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ" عَنْ أَبِي مُوسَى؛ قَالَ: "هَذِهِ الْآيَاتُ الَّتِي يُرْسِلُ اللهُ لَا تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، وَلَكِنَّ اللهَ يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ؛ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ".

Dalam "Shahih Al-Bukhari" dari Abu Musa; dia berkata: "Tanda-tanda ini yang Allah kirimkan tidak terjadi karena kematian atau kehidupan seseorang, tetapi Allah menakut-nakuti hamba-hamba-Nya dengannya. Jika kalian melihat sesuatu dari itu, maka bersegeralah untuk berzikir kepada Allah, berdoa kepada-Nya, dan memohon ampunan kepada-Nya."

فَاللهُ تَعَالَى يُجْرِي عَلَى هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ الْعَظِيمَتَيْنِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ وَالْكُسُوفِ وَالْخُسُوفِ لِيَعْتَبِرَ الْعِبَادُ وَيَعْلَمُوا أَنَّهُمَا مَخْلُوقَانِ يَطْرَأُ عَلَيْهِمَا النَّقْصُ وَالتَّغْيِيرُ كَغَيْرِهِمَا مِنَ الْمَخْلُوقَاتِ؛ لِيَدُلَّ عِبَادَهُ بِذَلِكَ عَلَى قُدْرَتِهِ

Allah Yang Mahatinggi menjadikan pada kedua tanda yang agung ini, matahari dan bulan, gerhana matahari dan gerhana bulan, agar para hamba dapat mengambil pelajaran dan mengetahui bahwa keduanya adalah makhluk yang mengalami kekurangan dan perubahan seperti makhluk lainnya; agar Dia menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya dengan itu atas kekuasaan-Nya.

التَّامَّةِ وَاسْتِحْقَاقِهِ وَحْدَهُ لِلْعِبَادَةِ؛ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ﴾ .

Kesempurnaan-Nya dan hanya Dia yang berhak disembah; sebagaimana Allah Ta'ala berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari maupun bulan, tapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah."

وَوَقْتُ صَلَاةِ الْكُسُوفِ: مِنِ ابْتِدَاءِ الْكُسُوفِ إِلَى التَّجَلِّي؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ؛ فَصَلُّوا" مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ: "وَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Waktu shalat gerhana: dari awal gerhana hingga tersingkapnya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Jika kalian melihat hal itu, maka shalatlah" (Muttafaq 'alaih). Dalam hadits lain: "Jika kalian melihat sesuatu dari itu, maka shalatlah hingga tersingkap" (HR. Muslim).

وَلَا تُقْضَى صَلَاةُ الْكُسُوفِ بَعْدَ التَّجَلِّي؛ لِفَوَاتِ مَحَلِّهَا، فَإِنْ تَجَلَّى الْكُسُوفُ قَبْلَ أَنْ يَعْلَمُوا بِهِ؛ لَمْ يُصَلُّوا لَهُ.

Shalat gerhana tidak diqadha setelah tersingkap; karena telah lewat waktunya. Jika gerhana tersingkap sebelum mereka mengetahuinya, maka mereka tidak perlu shalat untuknya.

وَصِفَةُ صَلَاةِ الْكُسُوفِ: أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ يَجْهَرُ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ، وَيَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى الْفَاتِحَةَ وَسُورَةً طَوِيلَةً كَسُورَةِ الْبَقَرَةِ أَوْ قَدْرِهَا، ثُمَّ يَرْكَعُ رُكُوعًا طَوِيلًا، ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَقُولُ: "سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ"؛ بَعْدَ اعْتِدَالِهِ كَغَيْرِهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ، ثُمَّ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَسُورَةً طَوِيلَةً دُونَ الْأُولَى بِقَدْرِ سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ، ثُمَّ يَرْكَعُ فَيُطِيلُ الرُّكُوعَ، وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَقُولُ: "سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، مِلْءَ السَّمَاءِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدَهُ"، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ، وَلَا يُطِيلُ الْجُلُوسَ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي

Tata cara shalat gerhana: hendaklah shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaan menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama. Pada rakaat pertama membaca Al-Fatihah dan surah yang panjang seperti surah Al-Baqarah atau yang semisal. Kemudian ruku' yang panjang, lalu mengangkat kepala dan mengucapkan: "Sami'allahu liman hamidah, Rabbana lakal hamd" setelah berdiri tegak seperti shalat lainnya. Kemudian membaca Al-Fatihah dan surah yang panjang namun lebih pendek dari yang pertama, seperti surah Ali 'Imran. Lalu ruku' dan memanjangkan ruku', namun lebih pendek dari ruku' pertama. Kemudian mengangkat kepala dan mengucapkan: "Sami'allahu liman hamidah, Rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi mil'as-sama'i wa mil'al-ardhi wa mil'a ma syi'ta min syai'in ba'dahu". Lalu sujud dua kali dengan memanjangkan sujud, dan tidak memanjangkan duduk di antara dua sujud. Kemudian shalat...

الرَّكْعَةُ الثَّانِيَةُ كَالْأُولَى بِرُكُوعَيْنِ طَوِيلَيْنِ وَسُجُودَيْنِ طَوِيلَيْنِ مِثْلَمَا فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى، ثُمَّ يَتَشَهَّدُ وَيُسَلِّمُ

Rakaat kedua sama seperti yang pertama dengan dua rukuk yang panjang dan dua sujud yang panjang seperti yang dilakukan pada rakaat pertama, kemudian bertasyahud dan salam.

هَذِهِ صِفَةُ صَلَاةِ الْكُسُوفِ؛ كَمَا فَعَلَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ، وَكَمَا رَوَى ذَلِكَ عَنْهُ مِنْ طُرُقٍ، بَعْضُهَا فِي "الصَّحِيحَيْنِ"؛ مِنْهَا مَارَوَتْ عَائِشَةُ ﵂: "أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ، فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ، فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللهِ ﷺ قِرَاءَةً طَوِيلَةً، فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، ثُمَّ قَامَ فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنَ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا هُوَ أَدْنَى مِنَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ، وَانْجَلَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Inilah sifat shalat kusuf; sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, dan sebagaimana yang diriwayatkan darinya melalui berbagai jalan, sebagiannya terdapat dalam "Shahihain"; di antaranya apa yang diriwayatkan oleh Aisyah ﵂: "Bahwa matahari mengalami kusuf pada masa Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ keluar, lalu berdiri dan bertakbir, orang-orang berbaris di belakangnya, kemudian Rasulullah ﷺ membaca bacaan yang panjang, lalu rukuk dengan rukuk yang panjang, kemudian mengangkat kepalanya, lalu mengucapkan: Sami'allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamd, kemudian berdiri dan membaca bacaan yang panjang yang lebih pendek dari bacaan pertama, kemudian bertakbir lalu rukuk dengan rukuk yang panjang yang lebih pendek dari rukuk pertama, kemudian mengucapkan: Sami'allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamd, kemudian sujud, kemudian melakukan pada rakaat kedua seperti itu hingga menyempurnakan empat rakaat dan empat sujud, dan matahari telah terang sebelum beliau pergi", muttafaqun 'alaih.

وَيُسَنُّ أَنْ تُصَلَّى فِي جَمَاعَةٍ؛ لِفِعْلِ النَّبِيِّ ﷺ، وَيَجُوزُ أَنْ تُصَلَّى فُرَادَى كَسَائِرِ النَّوَافِلِ، لَكِنْ فِعْلَهَا جَمَاعَةً أَفْضَلُ.

Dan disunnahkan untuk dilakukan secara berjamaah; karena perbuatan Nabi ﷺ, dan boleh dilakukan secara sendirian seperti shalat-shalat sunnah lainnya, tetapi melakukannya secara berjamaah lebih utama.

وَيُسَنُّ أَنْ يَعِظَ الْإِمَامُ النَّاسَ بَعْدَ صَلَاةِ الْكُسُوفِ، وَيُحَذِّرَهُمْ مِنَ الْغَفْلَةِ وَالِاغْتِرَارِ، وَيَأْمُرَهُمْ بِالْإِكْثَارِ مِنَ الدُّعَاءِ وَالِاسْتِغْفَارِ؛ فَفِي "الصَّحِيحِ" عَنْ عَائِشَةَ ﵂: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ انْصَرَفَ، فَخَطَبَ النَّاسَ، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَقَالَ: "إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ، لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا

Dan disunnahkan bagi imam untuk menasihati orang-orang setelah shalat gerhana, memperingatkan mereka dari kelalaian dan tertipu, dan memerintahkan mereka untuk memperbanyak doa dan istighfar; dalam "Shahih" dari Aisyah ﵂: Bahwa Nabi ﷺ selesai, lalu berkhutbah kepada orang-orang, memuji Allah dan menyanjung-Nya, dan bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang atau kehidupannya, maka apabila

رَأَيْتُمْ ذَلِكَ؛ فَادْعُوا اللهَ، وَصَلُّوا، وَتَصَدَّقُوا ... " الحَدِيثُ.

Jika kalian melihat itu, maka berdoalah kepada Allah, shalatlah, dan bersedekahlah ... " hadits.

فَإِنِ انْتَهَتِ الصَّلَاةُ قَبْلَ أَنْ يَنْجَلِيَ الكُسُوفُ؛ ذَكَرَ اللهَ وَدَعَاهُ حَتَّى يَنْجَلِيَ، وَلَا يُعِيدُ الصَّلَاةَ، وَإِنِ انْجَلَى الكُسُوفُ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ؛ أَتَمَّهَا خَفِيفَةً، وَلَا يَقْطَعُهَا؛ لِقَوْلِهِ ﴿وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ﴾؛ فَالصَّلَاةُ تَكُونُ وَقْتَ الكُسُوفِ؛ لِقَوْلِهِ: "حَتَّى يَنْجَلِيَ"، وَقَوْلِهِ: "حَتَّى يَنْكَشِفَ مَا بِكُمْ".

Jika shalat telah selesai sebelum gerhana berakhir, maka hendaklah ia berdzikir kepada Allah dan berdoa kepada-Nya hingga gerhana berakhir, dan tidak mengulangi shalatnya. Jika gerhana berakhir saat ia sedang shalat, maka hendaklah ia menyempurnakannya dengan ringan dan tidak memutusnya, berdasarkan firman-Nya "Dan janganlah kamu membatalkan amal-amal kamu". Shalat dilakukan pada waktu gerhana, berdasarkan sabdanya: "Hingga gerhana berakhir", dan sabdanya: "Hingga tersingkap apa yang menimpa kalian".

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "وَالْكُسُوفُ يَطُولُ زَمَانُهُ تَارَةً وَيَقْصُرُ أُخْرَى؛ بِحَسَبِ مَا يُكْسَفُ مِنْهُ؛ فَقَدْ تُكْسَفُ كُلُّهَا، وَقَدْ يُكْسَفُ نِصْفُهَا أَوْ ثُلْثُهَا، فَإِذَا عَظُمَ الْكُسُوفُ؛ طَوَّلَ الصَّلَاةَ حَتَّى يَقْرَأَ بِالْبَقَرَةِ وَنَحْوِهَا فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ، وَبَعْدَ الرُّكُوعِ الثَّانِي يَقْرَأُ بِدُونِ ذَلِكَ، وَقَدْ جَاءَتِ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ بِمَا ذَكَرْنَا، وَشَرَعَ تَخْفِيفَهَا لِزَوَالِ السَّبَبِ، وَكَذَا إِذَا عَلِمَ أَنَّهُ لَا يَطُولُ، وَإِنْ خَفَّ قَبْلَ الصَّلَاةِ؛ ضَرَعَ فِيهَا وَأَوْجَزَ، وَعَلَيْهِ جَمَاهِيرُ أَهْلِ الْعِلْمِ؛ لِأَنَّهَا شُرِعَتْ لِعِلَّةٍ، وَقَدْ زَالَتْ، وَإِنْ تَجَلَّى قَبْلَهَا؛ لَمْ يُصَلِّ ... " انْتَهَى.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Gerhana terkadang berlangsung lama dan terkadang singkat, tergantung pada bagian yang tertutupi. Terkadang seluruhnya tertutupi, terkadang setengahnya atau sepertiganya. Jika gerhana besar, maka ia memperpanjang shalat hingga membaca Al-Baqarah dan sejenisnya pada rakaat pertama, dan setelah ruku' kedua ia membaca kurang dari itu. Hadits-hadits shahih dari Nabi ﷺ telah menyebutkan apa yang kami sebutkan. Beliau mensyariatkan untuk meringankannya karena hilangnya sebab, demikian pula jika diketahui bahwa gerhana tidak akan lama. Jika gerhana ringan sebelum shalat, maka ia memohon dengan rendah hati dan meringkasnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, karena shalat disyariatkan karena suatu alasan, dan alasan itu telah hilang. Jika gerhana berakhir sebelum shalat, maka ia tidak shalat ..." Selesai.

بَابٌ فِي أَحْكَامِ صَلَاةِ الِاسْتِسْقَاءِ

الِاسْتِسْقَاءُ هُنَا هُوَ طَلَبُ السَّقْيِ مِنَ اللهِ تَعَالَى؛ فَالنُّفُوسُ مَجْبُولَةٌ عَلَى الطَّلَبِ مِمَّنْ يُغِيثُهَا، وَهُوَ اللهُ وَحْدَهُ، وَكَانَ ذَلِكَ مَعْرُوفًا فِي الْأُمَمِ الْمَاضِيَةِ، وَهُوَ مِنْ سُنَنِ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ﴾، وَاسْتَسْقَى خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ ﷺ لِأُمَّتِهِ مَرَّاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ وَعَلَى كَيْفِيَّاتٍ مُتَنَوِّعَةٍ، وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهِ.

Istisqa' di sini berarti meminta hujan dari Allah Ta'ala; karena jiwa-jiwa itu terdorong untuk meminta kepada Dzat yang menolongnya, yaitu Allah semata. Hal itu telah dikenal di kalangan umat-umat terdahulu, dan merupakan sunnah para nabi 'alaihimush shalatu was salam. Allah Ta'ala berfirman: "Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya". Nabi penutup para nabi, Nabi kita Muhammad ﷺ juga pernah beristisqa' untuk umatnya beberapa kali dengan berbagai cara. Kaum muslimin telah bersepakat atas pensyariatannya.

وَيُشْرَعُ الِاسْتِسْقَاءُ إِذَا أَجْدَبَتِ الْأَرْضُ أَيْ: أَمْحَلَتْ وَانْحَبَسَ الْمَطَرُ وَأَضَرَّ ذَلِكَ بِهِمْ؛ فَلَا مَنَاصَ لَهُمْ أَنْ يَتَضَرَّعُوا إِلَى رَبِّهِمْ وَيَسْتَسْقُوهُ وَيَسْتَغِيثُوهُ بِأَنْوَاعٍ مِنَ التَّضَرُّعِ: تَارَةً بِالصَّلَاةِ جَمَاعَةً أَوْ فُرَادَى؛ وَتَارَةً بِالدُّعَاءِ فِي خُطْبَةِ الْجُمُعَةِ؛ يَدْعُو الْخَطِيبُ وَالْمُسْلِمُونَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى دُعَائِهِ، وَتَارَةً بِالدُّعَاءِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ وَفِي الْخَلَوَاتِ بِلَا صَلَاةٍ وَلَا خُطْبَةٍ؛ فَكُلُّ ذَلِكَ وَارِدٌ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ.

Istisqa' disyariatkan apabila bumi mengalami kekeringan, yaitu: tidak turun hujan dan hal itu membahayakan mereka; maka tidak ada pilihan bagi mereka kecuali berdoa dengan merendahkan diri kepada Rabb mereka, meminta hujan kepada-Nya, dan memohon pertolongan kepada-Nya dengan berbagai macam bentuk permohonan: terkadang dengan shalat berjamaah atau sendirian; terkadang dengan berdoa dalam khutbah Jum'at; khatib berdoa dan kaum muslimin mengamininya, dan terkadang dengan berdoa setelah shalat dan dalam kesendirian tanpa shalat dan khutbah; semua itu diriwayatkan dari Nabi ﷺ.

وَحُكْمُ صَلَاةِ الِاسْتِسْقَاءِ أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ؛ لِقَوْلِ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ: "خَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ يَسْتَسْقِي، فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ، ثُمَّ صَلَّى

Hukum shalat istisqa' adalah sunnah mu'akkadah; berdasarkan perkataan Abdullah bin Zaid: "Nabi ﷺ keluar untuk beristisqa', beliau menghadap kiblat berdoa dan membalikkan selendangnya, kemudian beliau shalat

رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَلِغَيْرِهِ مِنَ الْأَحَادِيثِ.

Dua rakaat yang di dalamnya dibacakan dengan suara keras", disepakati oleh para ulama, dan juga hadits-hadits lainnya.

وَصِفَةُ صَلَاةِ الِاسْتِسْقَاءِ فِي مَوْضِعِهَا وَأَحْكَامُهَا كَصَلَاةِ الْعِيدِ؛ فَيُسْتَحَبُّ فِعْلُهَا فِي الْمُصَلَّى كَصَلَاةِ الْعِيدِ، وَأَحْكَامُهَا كَأَحْكَامِ صَلَاةِ الْعِيدِ فِي عَدَدِ الرَّكَعَاتِ وَالْجَهْرِ بِالْقِرَاءَةِ، وَفِي كَوْنِهَا تُصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ، وَفِي التَّكْبِيرَاتِ الزَّوَائِدِ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ؛ كَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ فِي صَلَاةِ الْعِيدِ.

Tata cara shalat Istisqa di tempatnya dan hukum-hukumnya seperti shalat Ied; dianjurkan melakukannya di tempat shalat seperti shalat Ied, dan hukum-hukumnya seperti hukum shalat Ied dalam jumlah rakaat dan mengeraskan bacaan, dilakukan sebelum khutbah, dan takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua sebelum membaca; seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada shalat Ied.

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ﵄: "صَلَّى النَّبِيُّ ﷺ رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّي الْعِيدَ". قَالَ التِّرْمِذِيُّ: "حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ"، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَغَيْرُهُ.

Ibnu Abbas ﵄ berkata: "Nabi ﷺ shalat dua rakaat seperti shalat Ied". Tirmidzi berkata: "Hadits hasan shahih", dan dinyatakan shahih oleh Al-Hakim dan lainnya.

وَيَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى بِسُورَةِ ﴿سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى﴾، وَفِي الثَّانِيَةِ بِسُورَةِ الْغَاشِيَةِ.

Pada rakaat pertama membaca surah ﴿سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى﴾ (Al-A'la), dan pada rakaat kedua membaca surah Al-Ghasyiyah.

وَيُصَلِّيهَا أَهْلُ الْبَلَدِ فِي الصَّحْرَاءِ؛ لِأَنَّهُ ﷺ لَمْ يُصَلِّهَا إِلَّا فِي الصَّحْرَاءِ، وَلِأَنَّ ذَلِكَ أَبْلَغُ فِي إِظْهَارِ الِافْتِقَارِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى.

Penduduk kota melaksanakannya di padang pasir; karena Nabi ﷺ tidak pernah melakukannya kecuali di padang pasir, dan karena hal itu lebih efektif dalam menunjukkan kebutuhan kepada Allah Ta'ala.

وَإِذَا أَرَادَ الْإِمَامُ الْخُرُوجَ لِصَلَاةِ الِاسْتِسْقَاءِ؛ فَإِنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَتَقَدَّمَ ذَلِكَ تَذْكِيرُ النَّاسِ بِمَا يُلِينُ قُلُوبَهُمْ مِنْ ذِكْرِ ثَوَابِ اللَّهِ وَعِقَابِهِ، وَيَأْمُرُهُمْ بِالتَّوْبَةِ مِنَ الْمَعَاصِي، وَالْخُرُوجِ مِنَ الْمَظَالِمِ؛ بِرَدِّهَا إِلَى مُسْتَحِقِّيهَا؛ لِأَنَّ

Jika imam ingin keluar untuk shalat Istisqa; maka sebelum itu hendaknya mengingatkan orang-orang dengan apa yang melembutkan hati mereka dari mengingat pahala Allah dan hukuman-Nya, dan memerintahkan mereka untuk bertaubat dari kemaksiatan, dan keluar dari kezaliman; dengan mengembalikannya kepada yang berhak; karena

الْمَعَاصِي سَبَبٌ لِمَنْعِ الْقَطْرِ وَانْقِطَاعِ الْبَرَكَاتِ، وَالتَّوْبَةُ وَالِاسْتِغْفَارُ سَبَبٌ لِإِجَابَةِ الدُّعَاءِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾،

Perbuatan dosa adalah penyebab dicegahnya hujan dan terputusnya berkah, sedangkan taubat dan istighfar adalah penyebab dikabulkannya doa, Allah Ta'ala berfirman: "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."

وَيَأْمُرُهُمْ بِالصَّدَقَةِ عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، لِأَنَّ ذَلِكَ سَبَبٌ لِلرَّحْمَةِ، ثُمَّ يُعَيِّنُ لَهُمْ يَوْمًا يَخْرُجُونَ فِيهِ لِيَتَهَيَّؤُوا وَيَسْتَعِدُّوا لِهَذِهِ الْمُنَاسَبَةِ الْكَرِيمَةِ بِمَا يَلِيقُ بِهَا مِنَ الصِّفَةِ الْمَسْنُونَةِ،

Dan memerintahkan mereka untuk bersedekah kepada orang-orang fakir dan miskin, karena hal itu adalah penyebab turunnya rahmat. Kemudian menentukan hari bagi mereka untuk keluar agar mereka bersiap-siap dan mempersiapkan diri untuk acara mulia ini dengan sifat yang disunahkan.

ثُمَّ يَخْرُجُونَ فِي الْمَوْعِدِ إِلَى الْمُصَلَّى بِتَوَاضُعٍ وَتَذَلُّلٍ وَإِظْهَارٍ لِلِافْتِقَارِ إِلَى اللهِ تَعَالَى، وَلِقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ ﵄: "خَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ لِلِاسْتِسْقَاءِ مُتَذَلِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَخَشِّعًا مُتَضَرِّعًا"، قَالَ التِّرْمِذِيُّ: "حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ".

Kemudian mereka keluar pada waktu yang ditentukan menuju tempat shalat dengan rendah hati, merendahkan diri, dan menampakkan kebutuhan kepada Allah Ta'ala, dan berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ﵄: "Nabi ﷺ keluar untuk shalat istisqa' dengan merendahkan diri, rendah hati, khusyuk, dan berdoa dengan sungguh-sungguh", At-Tirmidzi berkata: "Hadits hasan shahih".

وَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَتَأَخَّرَ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَسْتَطِيعُ الْخُرُوجَ، حَتَّى الصِّبْيَانِ وَالنِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُخْشَى الْفِتْنَةُ بِخُرُوجِهِنَّ، فَيُصَلِّي بِهِمُ الْإِمَامُ رَكْعَتَيْنِ كَمَا سَبَقَ، ثُمَّ يَخْطُبُ خُطْبَةً وَاحِدَةً، وَبَعْضُ الْعُلَمَاءِ يَرَى أَنَّهُ يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ، وَالْأَمْرُ وَاسِعٌ،

Dan hendaknya tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang mampu keluar tetapi terlambat, bahkan anak-anak dan wanita yang tidak dikhawatirkan fitnah dengan keluarnya mereka. Maka imam shalat mengimami mereka dua rakaat seperti yang telah lalu, kemudian berkhutbah satu kali. Sebagian ulama berpendapat bahwa ia berkhutbah dua kali, dan perkara ini luas.

وَلَكِنَّ الِاقْتِصَارَ عَلَى خُطْبَةٍ وَاحِدَةٍ أَرْجَحُ مِنْ حَيْثُ الدَّلِيلُ، وَكَذَلِكَ كَوْنُ الْخُطْبَةِ بَعْدَ صَلَاةِ الِاسْتِسْقَاءِ هُوَ أَكْثَرُ أَحْوَالِهِ ﷺ، وَاسْتَمَرَّ عَمَلُ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِنَّ وَوَرَدَ أَنَّهُ ﷺ خَطَبَ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَقَالَ بِهِ

Akan tetapi, membatasi pada satu khutbah lebih kuat dari segi dalil. Demikian pula, khutbah setelah shalat istisqa' adalah keadaan beliau ﷺ yang paling banyak, dan amalan kaum muslimin terus berlanjut atasnya. Diriwayatkan bahwa beliau ﷺ berkhutbah sebelum shalat dan berpendapat dengannya.

بَعْضُ الْعُلَمَاءِ، وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Beberapa ulama, dan yang pertama lebih kuat, dan Allah yang lebih mengetahui.

وَيَنْبَغِي أَنْ يُكْثِرَ فِي خُطْبَةِ الِاسْتِسْقَاءِ مِنَ الِاسْتِغْفَارِ وَقِرَاءَةِ الْآيَاتِ الَّتِي فِيهَا الْأَمْرُ بِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ سَبَبٌ لِنُزُولِ الْغَيْثِ، وَيُكْثِرُ مِنَ الدُّعَاءِ بِطَلَبِ الْغَيْثِ مِنَ اللهِ تَعَالَى، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي دُعَائِهِ بِالِاسْتِسْقَاءِ، حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ، وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ﷺ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ أَسْبَابِ الْإِجَابَةِ، وَيَدْعُوا بِالدُّعَاءِ الْوَارِدِ عَنِ النَّبِيصلى الله عليه وسلم فِي هَذَا الْمَوْطِنِ؛ إِقْتِدَاءً بِهِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ﴾ .

Dan hendaknya memperbanyak istighfar dan membaca ayat-ayat yang di dalamnya terdapat perintah untuk itu dalam khutbah istisqa'; karena hal itu merupakan sebab turunnya hujan, dan memperbanyak doa memohon hujan kepada Allah Ta'ala, dan mengangkat kedua tangannya; karena Nabi ﷺ mengangkat kedua tangannya dalam doanya ketika istisqa', hingga terlihat putih ketiaknya, dan bershalawat kepada Nabi ﷺ; karena hal itu termasuk sebab-sebab dikabulkannya doa, dan berdoa dengan doa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ dalam situasi ini; mengikuti beliau, Allah Ta'ala berfirman: "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat."

وَيُسَنُّ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ فِي آخِرِ الدُّعَاءِ، وَيُحَوِّلَ رِدَاءَهُ؛ فَيَجْعَلَ الْيَمِينَ عَلَى الشِّمَالِ وَالشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ، وَكَذَلِكَ مَا شَابَهَ الرِّدَاءَ مِنَ اللِّبَاسِ كَالْعَبَاءَةِ وَنَحْوِهَا؛ لِمَا فِي "الصَّحِيحَيْنِ"؛ "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ حَوَّلَ النَّاسَ إِلَى ظَهْرِهِ، وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو، ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ... ".

Dan disunnahkan untuk menghadap kiblat di akhir doa, dan membalikkan selendangnya; menjadikan yang kanan di atas yang kiri dan yang kiri di atas yang kanan, dan begitu pula pakaian yang menyerupai selendang seperti jubah dan sejenisnya; berdasarkan apa yang terdapat dalam "Ash-Shahihain"; "Bahwa Nabi ﷺ membalikkan orang-orang ke belakangnya, dan menghadap kiblat berdoa, kemudian membalikkan selendangnya...".

وَالْحِكْمَةُ مِنْ ذَلِكَ وَاللهُ أَعْلَمُ: التَّفَاؤُلُ بِتَحْوِيلِ الْحَالِ عَمَّا هِيَ

Dan hikmah dari itu, dan Allah yang lebih mengetahui: Optimisme dengan perubahan keadaan dari apa adanya

عَلَيْهِ مِنَ الشِّدَّةِ إِلَى الرَّخَاءِ وَنُزُولِ الْغَيْثِ، وَيُحَوِّلُ النَّاسُ أَرْدِيَتَهُمْ لِمَا رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ: "وَحَوَّلَ النَّاسُ مَعَهُ أَرْدِيَتَهُمْ"، وَلِأَنَّ مَا ثَبَتَ فِي حَقِّ النَّبِيِّ ﷺ ثَبَتَ فِي حَقِّ أُمَّتِهِ، مَا لَمْ يَدُلَّ دَلِيلٌ عَلَى اخْتِصَاصِهِ بِهِ، ثُمَّ إِنْ سَقَى اللهُ الْمُسْلِمِينَ، وَإِلَّا؛ أَعَادُوا الِاسْتِسْقَاءَ ثَانِيًا وَثَالِثًا؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ دَاعِيَةٌ إِلَى ذَلِكَ.

Atasnya dari kesulitan menuju kemudahan dan turunnya hujan, dan orang-orang membalikkan selimut mereka karena Imam Ahmad meriwayatkan: "Dan orang-orang membalikkan selimut mereka bersamanya", dan karena apa yang tetap pada hak Nabi ﷺ tetap pada hak umatnya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususannya dengannya, kemudian jika Allah memberi minum kaum muslimin, jika tidak; mereka mengulangi istisqa' untuk kedua dan ketiga kalinya; karena kebutuhan mengajak kepada hal itu.

وَإِذَا نَزَلَ الْمَطَرُ يُسَنُّ أَنْ يَقِفَ فِي أَوَّلِهِ لِيُصِيبَهُ مِنْهُ، وَيَقُولُ: "اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا، وَيَقُولُ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ".

Dan apabila turun hujan, disunnahkan untuk berdiri di awalnya agar terkena hujan, dan mengucapkan: "Ya Allah, hujan yang bermanfaat, dan mengucapkan: Kami dihujani dengan karunia Allah dan rahmat-Nya".

وَإِذَا زَادَتِ الْمِيَاهُ وَخِيفَ مِنْهَا الضَّرَرُ؛ سُنَّ أَنْ يَقُولَ: "اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا، اللَّهُ عَلَى الظِّرَابِ وَالْآكَامِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ"؛ لِأَنَّهُ ﷺ كَانَ يَقُولُ ذَلِكَ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Dan apabila air bertambah banyak dan dikhawatirkan darinya kerusakan; disunnahkan untuk mengucapkan: "Ya Allah, di sekeliling kami dan tidak di atas kami, Ya Allah di atas bukit-bukit, gundukan-gundukan, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan"; karena beliau ﷺ mengucapkan hal itu, disepakati atasnya, dan Allah lebih mengetahui.

بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْجَنَائِزِ

إِنَّ شَرِيعَتَنَا وَلِلَّهِ الْحَمْدُ كَامِلَةٌ شَامِلَةٌ لِمَصَالِحِ الْإِنْسَانِ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ، وَمِنْ ذَلِكَ مَا شَرَعَهُ اللَّهُ مِنْ أَحْكَامِ الْجَنَائِزِ؛ مِنْ حِينِ الْمَرَضِ وَالِاحْتِضَارِ إِلَى دَفْنِ الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ؛ مِنْ عِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَتَلْقِينِهِ، وَتَغْسِيلِهِ، وَتَكْفِينِهِ، وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ، وَدَفْنِهِ، وَمَا يَتْبَعُ ذَلِكَ مِنْ قَضَاءِ دُيُونِهِ، وَتَنْفِذَ وَصَايَاهُ، وَتَوْزِيعِ تَرِكَتِهِ، وَالْوِلَايَةِ عَلَى أَوْلَادِهِ الصِّغَارِ.

Sesungguhnya syariat kita, segala puji bagi Allah, sempurna dan mencakup kemaslahatan manusia dalam kehidupan dan setelah kematiannya. Di antaranya adalah apa yang Allah syariatkan dari hukum-hukum jenazah; mulai dari sakit dan sakaratul maut hingga penguburan jenazah di kuburnya; dari menjenguk orang sakit, mentalqinnya, memandikannya, mengkafaninya, menshalatinya, menguburkannya, dan apa yang mengikuti itu dari melunasi hutang-hutangnya, melaksanakan wasiat-wasiatnya, membagikan warisannya, dan perwalian atas anak-anaknya yang masih kecil.

قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "وَكَانَ هَدْيُهُ ﷺ فِي الْجَنَائِزِ أَكْمَلَ الْهَدْيِ، مُخَالِفًا لِهَدْيِ سَائِرِ الْأُمَمِ، مُشْتَمِلًا عَلَى إِقَامَةِ الْعُبُودِيَّةِ لِلَّهِ تَعَالَى عَلَى أَكْمَلِ الْأَحْوَالِ، وَعَلَى الْإِحْسَانِ لِلْمَيِّتِ وَمُعَامَلَتِهِ بِمَا يَنْفَعُهُ فِي قَبْرِهِ وَيَوْمَ مَعَادِهِ؛ مِنْ عِيَادَةٍ، وَتَلْقِينٍ، وَتَطْهِيرٍ، وَتَجْهِيزٍ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى عَلَى أَحْسَنِ الْأَحْوَالِ وَأَفْضَلِهَا، فَيَقِفُونَ صُفُوفًا عَلَى جَنَازَتِهِ، يَحْمَدُونَ لِلَّهِ، وَيُثْنُونَ عَلَيْهِنَ، وَيُصَلُّونَ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ﷺ، وَيَسْأَلُونَ لِلْمَيِّتِ الْمَغْفِرَةَ وَالرَّحْمَةَ وَالتَّجَاوُزَ، ثُمَّ يَقِفُونَ عَلَى قَبْرِهِ؛ يَسْأَلُونَ لَهُ التَّثْبِيتَ، ثُمَّ زِيَارَةَ قَبْرِهِ،

Imam Ibnu Qayyim ﵀ berkata: "Petunjuknya ﷺ dalam masalah jenazah adalah petunjuk yang paling sempurna, berbeda dengan petunjuk seluruh umat lainnya, mencakup penegakan penghambaan kepada Allah Ta'ala dalam keadaan paling sempurna, dan berbuat baik kepada mayit serta memperlakukannya dengan apa yang bermanfaat baginya di kuburnya dan pada hari kembalinya; dari menjenguk, mentalqin, menyucikan, mempersiapkan untuk Allah Ta'ala dalam keadaan terbaik dan paling utama. Mereka berdiri dalam shaf-shaf pada jenazahnya, memuji Allah, menyanjung-Nya, bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad ﷺ, memohonkan ampunan, rahmat, dan maaf untuk mayit. Kemudian mereka berdiri di atas kuburnya; memohonkan keteguhan untuknya, lalu menziarahi kuburnya,

وَالدُّعَاءُ لَهُ؛ كَمَا يَتَعَاهَدُ الْحَيُّ صَاحِبَهُ فِي الدُّنْيَا، ثُمَّ الْإِحْسَانُ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَأَقَارِبِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

Dan mendoakannya; sebagaimana orang yang hidup menjaga sahabatnya di dunia, kemudian berbuat baik kepada keluarga dan kerabat orang yang meninggal dan lain sebagainya.

وَيُسَنُّ الْإِكْثَارُ مِنْ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَالِاسْتِعْدَادُ لَهُ بِالتَّوْبَةِ مِنَ الْمَعَاصِي، وَرَدُّ الْمَظَالِمِ إِلَى أَصْحَابِهَا، وَالْمُبَادَرَةُ بِالْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ قَبْلَ هُجُومِ الْمَوْتِ عَلَى غِرَّةٍ.

Dan disunahkan memperbanyak mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuknya dengan bertaubat dari kemaksiatan, mengembalikan kezaliman kepada pemiliknya, dan bersegera melakukan amal saleh sebelum kematian datang secara tiba-tiba.

قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "أَكْثِرُوا مِنْ ذِكْرِ هَادِمِ اللَّذَّاتِ"، رَوَاهُ الْخَمْسَةُ بِأَسَانِيدَ صَحِيحَةٍ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَغَيْرُهُمَا، وَهَادِمُ اللَّذَّاتِ، بِالذَّالِ: هُوَ الْمَوْتُ.

Nabi ﷺ bersabda, "Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan." Diriwayatkan oleh lima perawi dengan sanad yang sahih, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan lainnya. Pemutus kenikmatan, dengan huruf dzal, adalah kematian.

وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ مَرْفُوعًا: "اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ". قَالُوا: إِنَّا نَسْتَحِي يَانَبِيَّ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ. قَالَ: "لَيْسَ كَذَلِكَ، وَلَكِنْ مَنِ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ؛ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ؛ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا، وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ؛ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ".

At-Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud secara marfu': "Malulah kepada Allah dengan sebenar-benar malu." Mereka berkata, "Wahai Nabi Allah, kami malu dan segala puji bagi Allah." Beliau bersabda, "Bukan begitu, tetapi barangsiapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu, hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, menjaga perut dan apa yang dikandungnya, mengingat kematian dan kerusakan, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat, ia meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu."

أَوَّلًا: أَحْكَامُ الْمَرِيضِ وَالْمُحْتَضَرِ.

Pertama: Hukum-hukum orang sakit dan orang yang sedang sekarat.

وَإِذَا أُصِيبَ الْإِنْسَانُ بِمَرَضٍ؛ فَعَلَيْهِ أَنْ يَصْبِرَ وَيَحْتَسِبَ وَلَا يَجْزَعَ

Dan jika seseorang ditimpa penyakit, maka ia harus bersabar, mengharap pahala, dan tidak berkeluh kesah.

وَيَسْخَطُ لِقَضَاءِ اللهِ وَقَدَرِهِ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يُخْبِرَ النَّاسَ بِعِلَّتِهِ وَنَوْعِ مَرَضِهِ، مَعَ الرِّضَى بِقَضَاءِ اللهِ، وَالشَّكْوَى إِلَى اللهِ تَعَالَى، وَطَلَبُ الشِّفَاءِ مِنْهُ لَا يُنَافِي الصَّبْرَ، بَلْ ذَلِكَ مَطْلُوبٌ شَرْعًا وَمُسْتَحَبٌّ؛ فَأَيُّوبُ ﵇ نَادَى رَبَّهُ وَقَالَ: ﴿أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ﴾ .

Dan dia marah terhadap ketentuan Allah dan takdir-Nya, dan tidak apa-apa untuk memberitahu orang-orang tentang penyakitnya dan jenis penyakitnya, dengan ridha terhadap ketentuan Allah, dan mengadu kepada Allah Ta'ala, dan meminta kesembuhan dari-Nya tidak bertentangan dengan kesabaran, bahkan itu diminta secara syar'i dan dianjurkan; karena Ayyub ﵇ memanggil Tuhannya dan berkata: "Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang".

وَكَذَلِكَ لَا بَأْسَ بِالتَّدَاوِي بِالْأَدْوِيَةِ الْمُبَاحَةِ، بَلْ ذَهَبَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ إِلَى تَأَكُّدِ ذَلِكَ، حَتَّى قَارَبَ بِهِ الْوُجُوبَ؛ فَقَدْ جَاءَتِ الْأَحَادِيثُ بِإِثْبَاتِ الْأَسْبَابِ وَالْمُسَبَّبَاتِ، وَالْأَمْرُ بِالتَّدَاوِي، وَأَنَّهُ لَا يُنَافِي التَّوَكُّلَ، كَمَا لَا يُنَافِيهِ دَفْعُ الْجُوعِ وَالْعَطَشِ بِالطَّعَامِ وَالشَّرَابِ.

Demikian pula, tidak apa-apa untuk berobat dengan obat-obatan yang diperbolehkan, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu diperkuat, hingga mendekati wajib; karena hadits-hadits telah datang dengan menetapkan sebab-sebab dan akibat-akibat, dan perintah untuk berobat, dan bahwa itu tidak bertentangan dengan tawakkal, sebagaimana tidak bertentangan dengannya menolak rasa lapar dan haus dengan makanan dan minuman.

وَلَا يَجُوزُ التَّدَاوِي بِمُحَرَّمٍ؛ لِمَا فِي "الصَّحِيحِ" عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ﵁؛ أَنَّهُ قَالَ: "أَنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ"، وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: "إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّوَاءَ، وَأَنْزَلَ الدَّاءَ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً، وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ"، وَفِي "صَحِيحِ مُسْلِمٍ"؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ فِي الْخَمْرِ: "إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ".

Dan tidak boleh berobat dengan yang haram; karena dalam "Shahih" dari Ibnu Mas'ud ﵁; bahwa dia berkata: "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa yang Dia haramkan atas kalian", dan Abu Dawud dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu': "Sesungguhnya Allah menurunkan obat, dan menurunkan penyakit, dan menjadikan bagi setiap penyakit obatnya, dan janganlah kalian berobat dengan yang haram", dan dalam "Shahih Muslim"; bahwa Nabi ﷺ bersabda tentang khamr: "Sesungguhnya ia bukanlah obat, tetapi ia adalah penyakit".

وَكَذَلِكَ يَحْرُمُ التَّدَاوِي بِمَا يَمَسُّ الْعَقِيدَةَ؛ مِنْ تَعْلِيقِ التَّمَائِمِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى أَلْفَاظٍ شِرْكِيَّةٍ أَوْ أَسْمَاءٍ مَجْهُولَةٍ أَوْ طَلَاسِمَ أَوْ خَرَزٍ أَوْ خُيُوطٍ أَوْ قَلَائِدَ أَوْ حِلَقٍ تُلْبَسُ عَلَى الْعَضُدِ أَوِ الذِّرَاعِ أَوْ غَيْرِهِ، يُعْتَقَدُ فِيهَا الشِّفَاءُ وَدَفْعُ الْعَيْنِ وَالْبَلَاءِ؛ لِمَا فِيهَا مِنْ تَعَلُّقِ الْقَلْبِ عَلَى غَيْرِ اللهِ فِي جَلْبِ نَفْعٍ أَوْ دَفْعِ ضُرٍّ، وَذَلِكَ كُلُّهُ مِنَ الشِّرْكِ أَوْ مِنْ وَسَائِلِهِ الْمُوصِلَةِ إِلَيْهِ.

Demikian pula, haram berobat dengan sesuatu yang menyentuh akidah; seperti menggantungkan jimat yang mengandung kata-kata syirik atau nama-nama yang tidak dikenal atau طلاسم atau manik-manik atau benang atau kalung atau cincin yang dipakai di lengan atas atau lengan bawah atau lainnya, yang diyakini dapat menyembuhkan dan menolak mata jahat dan bencana; karena di dalamnya terdapat keterikatan hati kepada selain Allah dalam mendatangkan manfaat atau menolak bahaya, dan semua itu termasuk syirik atau sarana yang mengarah kepadanya.

وَمِنْ ذَلِكَ أَيْضًا التَّدَاوِي عِنْدَ الْمُشَعْوِذِينَ مِنَ الْكُهَّانِ وَالْمُنَجِّمِينَ وَالسَّحَرَةِ وَالْمُسْتَخْدِمِينَ لِلْجِنِّ، فَعَقِيدَةُ الْمُسْلِمِ أَهَمُّ عِنْدَهُ مِنْ صِحَّتِهِ، وَقَدْ جَعَلَ اللهُ الشِّفَاءَ فِي الْمُبَاحَاتِ لِلْبَدَنِ وَالْعَقْلِ وَالدِّينِ، وَعَلَى رَأْسِ ذَلِكَ الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ وَالرُّقْيَةُ بِهِ وَبِالْأَدْعِيَةِ الْمَشْرُوعَةِ.

Termasuk juga berobat kepada para penyihir dari kalangan dukun, peramal, tukang sihir, dan mereka yang menggunakan jin, karena akidah seorang Muslim lebih penting baginya daripada kesehatannya. Allah telah menjadikan kesembuhan pada hal-hal yang diperbolehkan bagi tubuh, akal, dan agama, dan yang terpenting dari itu adalah Al-Qur'an yang mulia dan ruqyah dengannya serta doa-doa yang disyariatkan.

قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: "وَمِنْ أَعْظَمِ الْعِلَاجِ فِعْلُ الْخَيْرِ وَالْإِحْسَانِ وَالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ إِلَى اللهِ وَالتَّوْبَةِ، وَتَأْثِيرُهُ أَعْظَمُ مِنَ الْأَدْوِيَةِ، لَكِنْ بِحَسَبِ اسْتِعْدَادِ النَّفْسِ وَقَبُولِهَا" انْتَهَى.

Ibnu Al-Qayyim berkata, "Di antara pengobatan terbesar adalah melakukan kebaikan, berbuat baik, berzikir, berdoa, merendahkan diri kepada Allah, dan bertobat. Pengaruhnya lebih besar daripada obat-obatan, tetapi tergantung pada kesiapan dan penerimaan jiwa." Selesai.

وَلَا بَأْسَ بِالتَّدَاوِي بِالْأَدْوِيَةِ الْمُبَاحَةِ عَلَى أَيْدِي الْأَطِبَّاءِ الْعَارِفِينَ بِتَشْخِيصِ الْأَمْرَاضِ وَعِلَاجِهَا فِي الْمُسْتَشْفَيَاتِ وَغَيْرِهَا

Tidak mengapa berobat dengan obat-obatan yang diperbolehkan di tangan dokter yang mengetahui diagnosis penyakit dan pengobatannya di rumah sakit dan lainnya.

وَتُسَنُّ عِيَادَةُ الْمَرِيضِ؛ لِمَا فِي "الصَّحِيحَيْنِ" وَغَيْرِهِمَا: "خَمْسٌ تَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ"، وَذَكَرَ مِنْهَا عِيَادَةَ الْمَرِيضِ، فَإِذَا زَارَهُ؛ سَأَلَ عَنْ حَالِهِ؛ فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَدْنُو مِنَ الْمَرِيضِ، وَيَسْأَلُهُ عَنْ حَالِهِ،

Disunnahkan menjenguk orang sakit; berdasarkan hadits dalam "Ash-Shahihain" dan lainnya: "Lima hal yang wajib bagi seorang Muslim terhadap saudaranya", dan disebutkan di antaranya menjenguk orang sakit. Jika ia mengunjunginya, ia bertanya tentang keadaannya; karena Nabi ﷺ biasa mendekati orang sakit dan menanyakan keadaannya.

وَتَكُونُ الزِّيَارَةُ يَوْمًا بَعْدَ يَوْمٍ، أَوْ بَعْدَ يَوْمَيْنِ، مَا لَمْ يَكُنِ الْمَرِيضُ يَرْغَبُ الزِّيَارَةَ كُلَّ يَوْمٍ، وَلَا يُطِيلُ الْجُلُوسَ عِنْدَهُ؛ إِلَّا إِذَا كَانَ الْمَرِيضُ يَرْغَبُ ذَلِكَ، وَيَقُولُ لِلْمَرِيضِ: "لَا بَأْسَ عَلَيْكَ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللهُ"، وَيُدْخِلُ عَلَيْهِ السُّرُورَ، وَيَدْعُو لَهُ بِالشِّفَاءِ، وَيَرْقِيهِ بِالْقُرْآنِ، لَا سِيَّمَا سُورَةَ الْفَاتِحَةِ وَالْإِخْلَاصِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ.

Dan kunjungan itu dilakukan sehari setelah sehari, atau setelah dua hari, kecuali jika pasien menginginkan kunjungan setiap hari, dan tidak memanjangkan duduk di sisinya; kecuali jika pasien menginginkan hal itu, dan berkata kepada pasien: "Tidak mengapa atasmu, penyucian insya Allah", dan memasukkan kepadanya kegembiraan, dan mendoakan untuknya kesembuhan, dan meruqyahnya dengan Al-Qur'an, terutama surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, dan Al-Mu'awwidzatain.

وَيُسَنُّ لِلْمَرِيضِ أَنْ يُوصِيَ بِشَيْءٍ مِنْ مَالِهِ فِي أَعْمَالِ الْخَيْرِ، وَيَجِبُ أَنْ يُوصِيَ بِمَالِهِ وَمَا عَلَيْهِ مِنَ الدُّيُونِ وَمَا عِنْدَهُ مِنَ الْوَدَائِعِ وَالْأَمَانَاتِ، وَهَذَا مَطْلُوبٌ، حَتَّى مِنَ الْإِنْسَانِ الصَّحِيحِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي بِهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَذِكْرُ اللَّيْلَتَيْنِ تَأْكِيدٌ لَا تَحْدِيدٌ؛ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَمْضِيَ عَلَيْهِ زَمَانٌ، وَإِنْ كَانَ قَلِيلًا، إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَدْرِي مَتَى يُدْرِكُهُ الْمَوْتُ.

Dan disunahkan bagi orang yang sakit untuk berwasiat dengan sebagian hartanya dalam amalan-amalan kebaikan, dan wajib baginya untuk berwasiat dengan hartanya dan utang-utang yang ada padanya serta titipan dan amanat yang ada padanya, dan ini diminta, bahkan dari orang yang sehat; karena sabdanya ﷺ: "Tidaklah hak seorang muslim yang memiliki sesuatu yang dia wasiatkan bermalam dua malam kecuali wasiatnya tertulis di sisinya", muttafaq 'alaih, dan penyebutan dua malam adalah penekanan bukan pembatasan; maka tidak sepatutnya berlalu atasnya waktu, meskipun sedikit, kecuali wasiatnya tertulis di sisinya; karena dia tidak tahu kapan kematian akan menjemputnya.

وَيُحْسِنُ الْمَرِيضُ ظَنَّهُ بِاللهِ؛ فَإِنَّ اللهَ ﷿ يَقُولُ: "أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي"، وَيَتَأَكَّدُ ذَلِكَ عِنْدَ إِحْسَاسِهِ بِلِقَاءِ اللهِ.

Dan orang yang sakit memperbaiki prasangkanya kepada Allah; karena Allah ﷿ berfirman: "Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku", dan hal itu ditekankan ketika dia merasakan perjumpaan dengan Allah.

وَيُسَنُّ لِمَنْ يَحْضُرُهُ تَطْمِيعُهُ فِي رَحْمَةِ اللهِ، وَيَغْلِبُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ جَانِبُ الرَّجَاءِ عَلَى جَانِبِ الْخَوْفِ، وَأَمَّا فِي حَالَةِ الصِّحَّةِ؛ فَيَكُونُ خَوْفُهُ وَرَجَاؤُهُ مُتَسَاوِيَيْنِ؛ أَنَّ مَنْ غَلَبَ عَلَيْهِ الْخَوْفُ؛ أَوْقَعَهُ فِي نَوْعٍ مِنَ الْيَأْسِ، وَمَنْ غَلَبَ عَلَيْهِ الرَّجَاءُ؛ أَوْقَعَهُ فِي نَوْعٍ مِنَ الْأَمْنِ مِنْ مَكْرِ اللهِ.

Dan disunahkan bagi yang menyaksikannya untuk memberinya harapan akan rahmat Allah, dan dalam keadaan ini sisi harapan lebih dominan daripada sisi ketakutan. Adapun dalam keadaan sehat, maka rasa takut dan harapannya seimbang. Karena barangsiapa yang didominasi rasa takut, maka akan membuatnya jatuh pada sejenis putus asa. Dan barangsiapa yang didominasi harapan, maka akan membuatnya jatuh pada sejenis rasa aman dari tipu daya Allah.

فَإِذَا احْتُضِرَ الْمَرِيضُ؛ فَإِنَّهُ يُسَنُّ لِمَنْ حَضَرَهُ أَنْ يُلَقِّنَهُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَذَلِكَ لِأَجْلِ أَنْ يَمُوتَ عَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ، فَتَكُونُ خِتَامَ كَلَامِهِ؛ فَعَنْ مُعَاذٍ مَرْفُوعًا: "مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ؛ دَخَلَ الْجَنَّةَ"، وَيَكُونُ تَلْقِينُهُ إِيَّاهَا بِرِفْقٍ، وَلَا يُكْثِرُ عَلَيْهِ؛ لِئَلَّا يُضْجِرَهُ وَهُوَ فِي هَذِهِ الْحَالِ.

Apabila seorang yang sakit sedang menghadapi sakaratul maut, maka disunahkan bagi yang menyaksikannya untuk mentalqinkan kepadanya: Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah). Berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Talqinkanlah kepada orang-orang yang akan mati di antara kalian dengan Laa ilaaha illallah", diriwayatkan oleh Muslim. Hal itu agar ia meninggal di atas kalimat ikhlas, sehingga menjadi penutup perkataannya. Dari Mu'adz secara marfu': "Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa ilaaha illallah, maka ia masuk surga". Dan hendaknya mentalqinkannya dengan lemah lembut, dan tidak memperbanyak (mengulanginya) agar tidak membuatnya bosan dalam keadaan ini.

وَيُسَنُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ.

Dan disunahkan untuk menghadapkannya ke arah kiblat.

وَيُقْرَأُ عِنْدَهُ سُورَةُ ﴿يَاسِينَ﴾، لِقَوْلِهِ ﷺ: "اقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ سُورَةَ يَاسِينَ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ، وَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: "مَوْتَاكُمْ": مَنْ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ. أَمَّا مَنْ مَاتَ فَأَنَّهُ لَا يُقْرَأُ عَلَيْهِ، فَالْقِرَاءَةُ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ بِدْعَةٌ، بِخِلَافِ الْقِرَاءَةِ عَلَى الَّذِي يَحْتَضِرُ؛ فَإِنَّهَا سُنَّةٌ،

Dan dibacakan di sisinya surah Yasin, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Bacakanlah kepada orang-orang yang akan mati di antara kalian surah Yasin", diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Yang dimaksud dengan sabdanya: "orang-orang yang akan mati di antara kalian" adalah orang yang menghadapi kematian. Adapun orang yang telah meninggal, maka tidak dibacakan (surah Yasin) untuknya. Membaca (Al-Qur'an) untuk mayit setelah kematiannya adalah bid'ah, berbeda dengan membaca (Al-Qur'an) untuk orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, maka itu adalah sunnah.

فَالْقِرَاءَةُ عَلَى الْمَيِّتِ عِنْدَ الْجِنَازَةِ أَوْ عَلَى الْقَبْرِ أَوْ لِرُوحِ الْمَيِّتِ، كُلُّ هَذَا مِنَ الْبِدَعِ الَّتِي مَا أَنْزَلَ اللهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ، وَالْوَاجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ الْعَمَلُ بِالسُّنَّةِ وَتَرْكُ الْبِدْعَةِ.

Membaca (Al-Qur'an) untuk orang yang meninggal saat pemakaman atau di atas kuburan atau untuk ruh orang yang meninggal, semua ini termasuk bid'ah yang Allah tidak menurunkan kekuasaan untuk itu, dan wajib bagi seorang Muslim untuk mengamalkan sunnah dan meninggalkan bid'ah.

ثَانِيًا: أَحْكَامُ الْوَفَاةِ.

Kedua: Hukum-hukum kematian.

وَيُسْتَحَبُّ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ تَغْمِيضُ عَيْنَيْهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَغْمَضَ أَبَا سَلَمَةَ ﵁ لَمَّا مَاتَ، وَقَالَ: "إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ؛ تَبِعَهُ الْبَصَرُ؛ فَلَا تَقُولُوا إِلَّا خَيْرًا؛ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Disunnahkan ketika seseorang meninggal untuk menutup kedua matanya; karena Nabi ﷺ menutup mata Abu Salamah ﵁ ketika dia meninggal, dan bersabda: "Sesungguhnya ketika ruh dicabut, pandangan mengikutinya; maka janganlah kalian mengatakan kecuali kebaikan; karena para malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan", diriwayatkan oleh Muslim.

وَيُسَنُّ سَتْرُ الْمَيِّتِ بَعْدَ وَفَاتِهِ بِثَوْبٍ؛ لِمَا رَوَتْ عَائِشَةُ ﵂: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ حِينَ تُوُفِّيَ؛ سُجِّيَ بِبُرْدَةٍ حِبَرَةٍ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Disunnahkan menutup jenazah setelah kematiannya dengan kain; berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Aisyah ﵂: "Bahwa Nabi ﷺ ketika wafat; ditutup dengan kain bergaris", muttafaq 'alaih.

وَيَنْبَغِي الْإِسْرَاعُ فِي تَجْهِيزِهِ إِذَا تَحَقَّقَ مَوْتُهُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ حِفْظًا لِلْمَيِّتِ مِنَ التَّغَيُّرِ، قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ﵀: "كَرَامَةُ الْمَيِّتِ تَعْجِيلُهُ"، وَلَا بَأْسَ أَنْ يُنْتَظَرَ بِهِ مَنْ يَحْضُرُ مِنْ وَلِيِّهِ أَوْ غَيْرِهِ إِنْ كَانَ قَرِيبًا وَلَمْ يُخْشَ عَلَى الْمَيِّتِ مِنَ التَّغَيُّرِ.

Sebaiknya menyegerakan persiapannya jika kematiannya telah dipastikan; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Tidak pantas jasad seorang Muslim ditahan di antara keluarganya", diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan karena hal itu menjaga jenazah dari perubahan, Imam Ahmad ﵀ berkata: "Kemuliaan jenazah adalah menyegerakannya", dan tidak mengapa menunggu kehadiran walinya atau yang lainnya jika dekat dan tidak dikhawatirkan jenazah akan berubah.

وَيُبَاحُ الإِعْلَامُ بِمَوْتِ الْمُسْلِمِ؛ لِلْمُبَادَرَةِ لِتَهْيِئَتِهِ، وَحُضُورِ جَنَازَتِهِ، وَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ، وَالدُّعَاءِ لَهُ، وَأَمَّا الإِعْلَامُ بِمَوْتِ الْمَيِّتِ عَلَى صِفَةِ الْجَزَعِ وَتَعْدَادِ مَفَاخِرِهِ؛ فَذَلِكَ مِنْ فِعْلِ الْجَاهِلِيَّةِ، وَمِنْهُ حَفَلَاتُ التَّأْبِينِ وَإِقَامَةُ الْمَآتِمِ.

Diperbolehkan untuk mengumumkan kematian seorang Muslim; untuk bergegas mempersiapkannya, menghadiri pemakamannya, menshalatinya, dan mendoakannya. Adapun mengumumkan kematian mayit dengan cara meratap dan menyebutkan kebanggaannya; maka itu termasuk perbuatan jahiliyah, termasuk di dalamnya acara peringatan kematian dan mengadakan upacara berkabung.

وَيُسْتَحَبُّ الإِسْرَاعُ بِتَنْفِيذِ وَصِيَّتِهِ؛ لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْجِيلِ الأَجْرِ، وَقَدْ قَدَّمَهَا اللهُ تَعَالَى فِي الذِّكْرِ عَلَى الدَّيْنِ؛ اهْتِمَامًا بِشَأْنِهَا، وَحَثًّا عَلَى إِخْرَاجِهَا.

Disunnahkan untuk menyegerakan pelaksanaan wasiatnya; karena di dalamnya terdapat percepatan pahala, dan Allah Ta'ala telah mendahulukannya dalam penyebutan daripada utang; sebagai perhatian terhadap urusannya, dan dorongan untuk menunaikannya.

وَيَجِبُ الإِسْرَاعُ بِقَضَاءِ دُيُونِهِ، سَوَاءٌ كَانَتْ لِلَّهِ تَعَالَى مِنْ زَكَاةٍ وَحَجٍّ أَوْ نَذْرِ طَاعَةٍ أَوْ كَفَّارَةٍ، أَوْ كَانَتِ الدُّيُونُ لِآدَمِيٍّ كَرَدِّ الأَمَانَاتِ وَالْغُصُوبِ وَالْعَارِيَةِ، سَوَاءٌ أَوْصَى بِذَلِكَ أَمْ لَمْ يُوصِ بِهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ؛ أَيْ: مُطَالَبَةٌ بِمَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ مَحْبُوسَةٌ، فَفِي هَذَا الْحَثُّ عَلَى الإِسْرَاعِ فِي قَضَاءِ الدَّيْنِ عَلَى الْمَيِّتِ، وَهَذَا فِيمَنْ لَهُ مَالٌ يُقْضَى مِنْهُ دَيْنُهُ، وَمَنْ لَا مَالَ لَهُ وَمَاتَ عَازِمًا عَلَى الْقَضَاءِ؛ فَقَدْ وَرَدَ فِي الأَحَادِيثِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللهَ يَقْضِي عَنْهُ.

Wajib menyegerakan pelunasan utang-utangnya, baik itu kepada Allah Ta'ala seperti zakat, haji, nazar ketaatan, atau kafarat, atau utang kepada manusia seperti mengembalikan amanat, barang rampasan, dan pinjaman, baik dia berwasiat untuk itu atau tidak berwasiat; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Jiwa seorang mukmin tergantung dengan utangnya hingga dilunasi darinya", diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dan dia menghasankannya; artinya: dituntut dengan utang yang menjadi tanggungannya dan tertahan, maka dalam hal ini terdapat dorongan untuk menyegerakan pelunasan utang atas mayit, dan ini bagi orang yang memiliki harta yang dapat digunakan untuk melunasi utangnya, adapun orang yang tidak memiliki harta dan meninggal dalam keadaan bertekad untuk melunasinya; maka telah disebutkan dalam hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Allah akan melunasinya darinya.

ثَالِثًا: تَغْسِيلُ الْمَيِّتِ.

Ketiga: Memandikan mayat.

وَمِنْ أَحْكَامِ الْجَنَازَةِ وُجُوبُ تَغْسِيلِ الْمَيِّتِ عَلَى مَنْ عَلِمَ بِهِ وَأَمْكَنَهُ تَغْسِيلُهُ، قَالَ ﷺ فِي الَّذِي وَقَصَتْهُ رَاحِلَتُهُ: "اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ ... " الْحَدِيثُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَقَدْ تَوَاتَرَ تَغْسِيلُ الْمَيِّتِ فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا وَعَمَلًا، وَغُسِلَ النَّبِيُّ ﷺ وَهُوَ الطَّاهِرُ الْمُطَهِّرُ؛ فَكَيْفَ بِمَنْ سِوَاهُ؟ فَتَغْسِيلُ الْمَيِّتِ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى مَنْ عَلِمَ بِحَالِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ.

Di antara hukum-hukum jenazah adalah wajibnya memandikan mayat bagi yang mengetahuinya dan mampu memandikannya. Nabi ﷺ bersabda tentang orang yang jatuh dari kendaraannya: "Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara..." Hadits ini disepakati. Memandikan mayat telah mutawatir dalam Islam, baik secara perkataan maupun perbuatan. Nabi ﷺ dimandikan dan beliau adalah yang suci lagi mensucikan, lantas bagaimana dengan selain beliau? Memandikan mayat adalah fardhu kifayah bagi kaum muslimin yang mengetahui keadaannya.

وَالرَّجُلُ يُغَسِّلُهُ الرَّجُلُ، وَالْأَوْلَى وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُخْتَارَ لِتَغْسِيلِ الْمَيِّتِ ثِقَةٌ عَارِفٌ بِأَحْكَامِ التَّغْسِيلِ؛ لِأَنَّهُ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ لَهُ صِفَةٌ مَخْصُوصَةٌ، لَا يَتَمَكَّنُ مِنْ تَطْبِيقِهَا إِلَّا عَالِمٌ بِهَا عَلَى الْوَجْهِ الشَّرْعِيِّ، وَيُقَدَّمُ فِي تَوَلِّي تَغْسِيلِ الْمَيِّتِ وَصِيُّهُ، فَإِذَا كَانَ الْمَيِّتُ قَدْ أَوْصَى أَنْ يُغَسِّلَهُ شَخْصٌ مُعَيَّنٌ، وَهَذَا الْمُعَيَّنُ عَدْلٌ ثِقَةٌ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّمُ فِي تَوَلِّي تَغْسِيلِهِ وَصِيَّةً بِذَلِكَ؛ لِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ ﵁ أَوْصَى أَنْ تُغَسِّلَهُ امْرَأَتُهُ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ؛ فَالْمَرْأَةُ يَجُوزُ أَنْ تُغَسِّلَ زَوْجَهَا؛ كَمَا أَنَّ الرَّجُلَ يَجُوزُ أَنْ

Laki-laki dimandikan oleh laki-laki. Yang utama dan lebih baik adalah memilih orang yang terpercaya dan mengetahui hukum-hukum memandikan mayat untuk memandikan mayat, karena itu adalah hukum syar'i yang memiliki sifat khusus, tidak mampu menerapkannya kecuali orang yang mengetahuinya secara syar'i. Didahulukan dalam mengurus pemandian mayat adalah orang yang diwasiatkan olehnya. Jika mayat telah berwasiat agar dimandikan oleh orang tertentu, dan orang tertentu ini adil lagi terpercaya, maka ia didahulukan dalam mengurus pemandiannya berdasarkan wasiat tersebut. Karena Abu Bakar ﵁ berwasiat agar dimandikan oleh istrinya Asma' binti 'Umais. Wanita boleh memandikan suaminya, sebagaimana laki-laki boleh

يَغْسِلُ زَوْجَتَهُ، وَأَوْصَى أَنَسٌ ﵁ أَنْ يُغَسِّلَهُ مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ، ثُمَّ يَلِي الْوَصِيُّ فِي تَغْسِيلِ الْمَيِّتِ أَبُو الْمَيِّتِ؛ فَهُوَ أَوْلَى بِتَغْسِيلِ ابْنِهِ؛ لِاخْتِصَاصِهِ بِالْحَنُوِّ وَالشَّفَقَةِ عَلَى ابْنِهِ، ثُمَّ جَدُّهُ؛ لِمُشَارَكَتِهِ لِلْأَبِ فِي الْمَعْنَى الْمَذْكُورِ، ثُمَّ الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ مِنْ عَصَبَتِهِ، ثُمَّ الْأَجْنَبِيُّ مِنْهُ، وَهَذَا التَّرْتِيبُ فِي الْأَوْلَوِيَّةِ إِذَا كَانُوا كُلُّهُمْ يُحْسِنُونَ التَّغْسِيلَ وَطَالَبُوا بِهِ، وَإِلَّا؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّمُ الْعَالِمُ بِأَحْكَامِ التَّغْسِيلِ عَلَى مَنْ لَا عِلْمَ لَهُ.

Dia memandikan istrinya, dan Anas ﵁ berwasiat agar Muhammad bin Sirin memandikannya, kemudian yang mengurus pemandian jenazah setelah orang yang diwasiatkan adalah ayah si mayit; karena dia lebih berhak memandikan anaknya; karena kekhususannya dalam kelembutan dan kasih sayang terhadap anaknya, kemudian kakeknya; karena keikutsertaannya bersama ayah dalam makna yang disebutkan, kemudian yang paling dekat kemudian yang paling dekat dari 'ashabah-nya, kemudian orang asing darinya, dan urutan ini dalam hal prioritas jika mereka semua menguasai pemandian dan menuntutnya, jika tidak; maka didahulukan orang yang mengetahui hukum-hukum pemandian jenazah atas orang yang tidak memiliki ilmu tentangnya.

وَالْمَرْأَةُ تُغَسِّلُهَا النِّسَاءُ، وَالْأَوْلَى بِتَغْسِيلِ الْمَرْأَةِ الْمَيِّتَةِ وَصِيَّتُهَا، فَإِنْ كَانَتْ أَوْصَتْ أَنْ تُغَسِّلَهَا امْرَأَةٌ مُعَيَّنَةٌ؛ قُدِّمَتْ عَلَى غَيْرِهَا إِذَا كَانَ فِيهَا صَلَاحِيَّةٌ لِذَلِكَ، ثُمَّ بَعْدَهَا تَتَوَلَّى تَغْسِيلَهَا الْقُرْبَى فَالْقُرْبَى مِنْ نِسَائِهَا.

Dan wanita, para wanita memandikannya, dan yang paling berhak memandikan wanita yang meninggal adalah wanita yang dia wasiatkan, jika dia berwasiat agar wanita tertentu memandikannya; maka dia didahulukan atas yang lainnya jika dia memiliki kelayakan untuk itu, kemudian setelahnya, pemandiannya dilakukan oleh kerabat terdekat kemudian yang terdekat dari para wanitanya.

فَالْمَرْأَةُ تَتَوَلَّى تَغْسِيلَهَا عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ، وَالرَّجُلُ يَتَوَلَّى تَغْسِيلَهُ الرِّجَالُ عَلَى مَا سَبَقَ، وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الزَّوْجَيْنِ غُسْلُ صَاحِبِهِ؛ فَالرَّجُلُ لَهُ أَنْ يُغَسِّلَ زَوْجَتَهُ وَالْمَرْأَةُ لَهَا أَنْ تُغَسِّلَ زَوْجَهَا؛ لِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ ﵁ أَوْصَى أَنْ تُغَسِّلَهُ زَوْجَتُهُ، وَلِأَنَّ عَلِيًّا ﵁ غَسَّلَ فَاطِمَةَ، وَوَرَدَ مِثْلُ ذَلِكَ عَنْ غَيْرِهِمَا مِنَ الصَّحَابَةِ.

Maka wanita mengurus pemandiannya dengan urutan ini, dan laki-laki, para lelaki mengurus pemandiannya sebagaimana yang telah lalu, dan masing-masing dari sepasang suami-istri boleh memandikan pasangannya; maka laki-laki boleh memandikan istrinya dan wanita boleh memandikan suaminya; karena Abu Bakr ﵁ berwasiat agar istrinya memandikannya, dan karena Ali ﵁ memandikan Fatimah, dan diriwayatkan seperti itu dari selain mereka berdua dari kalangan sahabat.

وَلِكُلٍّ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ غُسْلُ مَنْ لَهُ دُونَ سَبْعِ سِنِينَ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: "أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ أَنَّ الْمَرْأَةَ تَغْسِلُ الصَّبِيَّ الصَّغِيرَ" اه، وَلِأَنَّهُ لَا عَوْرَةَ لَهُ فِي الْحَيَاةِ؛ فَكَذَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَلِأَنَّ إِبْرَاهِيمَ ابْنَ النَّبِيِّ ﷺ غَسَّلَهُ النِّسَاءُ

Bagi pria dan wanita, diperbolehkan memandikan anak di bawah usia tujuh tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Ibnu al-Mundzir berkata: "Semua orang yang kami hafal darinya sepakat bahwa wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki." Karena anak kecil tidak memiliki aurat saat hidup, maka demikian pula setelah kematian. Dan karena Ibrahim, putra Nabi ﷺ, dimandikan oleh para wanita.

وَلَيْسَ لِامْرَأَةٍ غُسْلُ ابْنِ سَبْعِ سِنِينَ فَأَكْثَرَ، وَلَا لِرَجُلٍ غُسْلُ ابْنَةِ سَبْعِ سِنِينَ فَأَكْثَرَ.

Seorang wanita tidak boleh memandikan anak laki-laki berusia tujuh tahun ke atas, dan seorang pria tidak boleh memandikan anak perempuan berusia tujuh tahun ke atas.

وَلَا يَجُوزُ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُغَسِّلَ كَافِرًا أَوْ يَحْمِلَ جَنَازَتَهُ أَوْ يُكَفِّنَهُ أَوْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ أَوْ يَتْبَعَ جَنَازَتَهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ﴾؛ فَالْآيَةُ الْكَرِيمَةُ تَدُلُّ بِعُمُومِهَا عَلَى تَحْرِيمِ تَغْسِيلِهِ وَحَمْلِهِ وَاتِّبَاعِ جَنَازَتِهِ، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ﴾، وَلَا يَدْفِنُهُ، لَكِنْ إِذَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَدْفِنُهُ مِنَ الْكُفَّارِ؛ فَإِنَّ الْمُسْلِمَ يُوَارِيهِ، بِأَنْ يُلْقِيَهُ فِي حُفْرَةٍ؛ مَنْعًا لِلتَّضَرُّرِ بِجُثَّتِهِ، وَلِإِلْقَاءِ قَتْلَى بَدْرٍ فِي الْقَلِيبِ، وَكَذَا حُكْمُ الْمُرْتَدِّ كَتَارِكِ الصَّلَاةِ عَمْدًا وَصَاحِبِ الْبِدْعَةِ الْمُكَفِّرَةِ،

Tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk memandikan orang kafir, membawa jenazahnya, mengkafaninya, menshalati, atau mengikuti jenazahnya. Berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang dimurkai Allah sebagai pemimpin." Ayat yang mulia ini secara umum menunjukkan keharaman memandikan, membawa, dan mengikuti jenazah orang kafir. Allah Ta'ala juga berfirman: "Dan janganlah kamu sekali-kali menyalati jenazah seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah." Allah Ta'ala juga berfirman: "Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik." Juga tidak boleh menguburkannya. Namun, jika tidak ada orang kafir yang menguburkannya, maka seorang Muslim boleh menutupnya dengan melemparkannya ke dalam lubang untuk mencegah bahaya dari mayatnya, seperti melemparkan orang-orang yang terbunuh dalam Perang Badar ke dalam sumur. Demikian pula hukum orang murtad seperti orang yang sengaja meninggalkan shalat dan pelaku bid'ah yang mengkafirkan.

وَهَكَذَا يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مَوْقِفُ الْمُسْلِمِ مِنَ الْكَافِرِ حَيًّا وَمَيِّتًا مَوْقِفَ التَّبَرِّي وَالْبَغْضَاءِ، قَالَ تَعَالَى حِكَايَةً عَنْ خَلِيلِهِ إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ: ﴿إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ﴾ .

Demikianlah seharusnya sikap seorang Muslim terhadap orang kafir, baik yang hidup maupun yang mati, yaitu sikap berlepas diri dan kebencian. Allah Ta'ala berfirman menceritakan tentang kekasih-Nya Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya: "(Ingatlah) ketika mereka berkata kepada kaumnya, 'Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.'"

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ﴾ .

Dan Allah Ta'ala berfirman: "Engkau (Muhammad) tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya."

وَذَلِكَ لِمَا بَيْنَ الْكُفْرِ وَالْإِيمَانِ مِنَ الْعَدَاءِ، وَلِمُعَادَاةِ الْكُفَّارِ لِلَّهِ وَلِرُسُلِهِ وَلِدِينِهِ؛ فَلَا تَجُوزُ مُوَالَاتُهُمْ أَحْيَاءً وَلَا أَمْوَاتًا.

Hal itu karena permusuhan antara kekufuran dan keimanan, dan karena permusuhan orang-orang kafir terhadap Allah, rasul-rasul-Nya, dan agama-Nya. Maka tidak boleh loyalitas kepada mereka, baik yang hidup maupun yang mati.

نَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يُثَبِّتَ قُلُوبَنَا عَلَى الْحَقِّ، وَأَنْ يَهْدِيَنَا صِرَاطَهُ الْمُسْتَقِيمَ.

Kami memohon kepada Allah agar meneguhkan hati kami di atas kebenaran dan memberi kami petunjuk ke jalan-Nya yang lurus.

وَيُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ الْمَاءُ الَّذِي يُغَسَّلُ بِهِ طَهُورًا مُبَاحًا، وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَكُونَ بَارِدًا؛ إِلَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ إِزَالَةَ وَسَخٍ عَلَى الْمَيِّتِ أَوْ فِي شِدَّةِ بَرْدٍ؛ فَلَا بَأْسَ بِتَسْخِينِهِ.

Dan disyaratkan bahwa air yang digunakan untuk memandikan mayit haruslah suci lagi mubah (diperbolehkan), dan yang terbaik adalah air yang dingin, kecuali jika diperlukan untuk menghilangkan kotoran pada mayit atau ketika cuaca sangat dingin, maka tidak mengapa memanaskannya.

وَيَكُونُ التَّغْسِيلُ فِي مَكَانٍ مَسْتُورٍ عَنِ الْأَنْظَارِ وَمَسْقُوفٍ مِنْ بَيْتٍ أَوْ خَيْمَةٍ وَنَحْوِهَا إِنْ أَمْكَنَ.

Dan pemandian jenazah dilakukan di tempat yang tertutup dari pandangan dan beratap seperti rumah, tenda, atau sejenisnya jika memungkinkan.

وَيُسْتَرُ مَابَيْنَ سُرَّةِ الْمَيِّتِ وَرُكْبَتِهِ وُجُوبًا قَبْلَ التَّغْسِيلِ، ثُمَّ يُجَرَّدُ مِنْ ثِيَابِهِ، وَيُوضَعُ عَلَى سَرِيرِ الْغُسْلِ مُنْحَدِرًا نَحْوَ رِجْلَيْهِ؛ لِيَنْصَبَّ عَنْهُ الْمَاءُ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهُ.

Dan wajib menutup bagian antara pusar dan lutut mayit sebelum dimandikan, kemudian melepaskan pakaiannya, dan meletakkannya di atas dipan pemandian dengan posisi miring ke arah kakinya agar air dan apa yang keluar darinya mengalir.

وَيَحْضُرُ التَّغْسِيلَ الغَاسِلُ وَمَنْ يُعِينُهُ عَلَى الغُسْلِ، وَيُكْرَهُ لِغَيْرِهِمْ حُضُورُهُ.

Yang hadir dalam memandikan jenazah adalah orang yang memandikan dan orang yang membantunya dalam memandikan, dan dimakruhkan bagi selain mereka untuk hadir.

وَيَكُونُ التَّغْسِيلُ بِأَنْ يَرْفَعَ الغَاسِلُ رَأْسَ المَيِّتِ إِلَى قُرْبِ جُلُوسِهِنَّ ثُمَّ يُمَرُّ يَدَهُ عَلَى بَطْنِهِ وَيَعْصُرُهُ بِرِفْقٍ؛ لِيَخْرُجَ مِنْهُ مَا هُوَ مُسْتَعِدٌّ لِلْخُرُوجِ، وَكَثُرَ صَبُّ المَاءِ حِينَئِذٍ؛ لِيَذْهَبَ بِالْخَارِجِ، ثُمَّ يَلِفُّ الغَاسِلُ عَلَى يَدِهِ خِرْقَةً خَشِنَةً؛ فَيُنَجِّي المَيِّتَ، وَيُنَقِّي المَخْرَجَ بِالْمَاءِ، ثُمَّ يَنْوِي التَّغْسِيلَ، وَيُسَمِّي، وَيُوَضِّئُهُ كَوُضُوءِ الصَّلَاةِ إِلَّا المَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ؛ فَيَكْفِي عَنْهُمَا مَسْحُ الغَاسِلِ أَسْنَانَ المَيِّتِ وَمَنْخِرَيْهِ بِإِصْبَعَيْهِ مَبْلُولَتَيْنِ أَوْ عَلَيْهِمَا خِرْقَةٌ مَبْلُولَةٌ بِالْمَاءِ، وَلَا يُدْخِلُ المَاءَ فَمَهُ وَلَا أَنْفَهُ، ثُمَّ يَغْسِلُ رَأْسَهُ وَلِحْيَتَهُ بِرَغْوَةِ سِدْرٍ أَوْ صَابُونٍ، ثُمَّ يَغْسِلُ مَيَامِنَ جَسَدِهِ وَهِيَ صَفْحَةُ عُنُقِهِ اليُمْنَى، ثُمَّ يَدُهُ اليُمْنَى وَكَتِفُهُ، ثُمَّ شِقُّ صَدْرِهِ الأَيْمَنُ وَجَنْبُهُ الأَيْمَنُ وَفَخِذُهُ الأَيْمَنُ وَسَاقُهُ وَقَدَمُهُ المَيَامِنُ، ثُمَّ يُقَلِّبُهُ عَلَى جَنْبِهِ الأَيْسَرِ، فَيَغْسِلُ شِقَّ ظَهْرِهِ الأَيْمَنَ، ثُمَّ يَغْسِلُ جَانِبَهُ الأَيْسَرَ كَذَلِكَ، ثُمَّ يُقَلِّبُهُ عَلَى جَنْبِهِ الأَيْمَنِ، فَيَغْسِلُ شِقَّ ظَهْرِهِ الأَيْسَرَ، وَيَسْتَعْمِلُ السِّدْرَ مَعَ الغُسْلِ أَوِ الصَّابُونَ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَلِفَّ عَلَى يَدِهِ خِرْقَةً حَالَ التَّغْسِيلِ.

Cara memandikan jenazah adalah dengan mengangkat kepala mayit ke dekat posisi duduk, kemudian memijat perutnya dengan lembut agar keluar darinya apa yang siap untuk keluar, dan memperbanyak siraman air saat itu agar kotoran yang keluar bisa hilang. Kemudian orang yang memandikan melilitkan kain kasar di tangannya untuk membersihkan mayit dan membersihkan duburnya dengan air. Lalu ia berniat memandikan, membaca basmalah, dan mewudhukan mayit seperti wudhu untuk shalat kecuali berkumur dan memasukkan air ke hidung. Cukup baginya mengusap gigi mayit dan lubang hidungnya dengan jari yang dibasahi atau dengan kain yang dibasahi air, dan tidak memasukkan air ke mulut dan hidungnya. Kemudian ia membasuh kepala dan jenggotnya dengan busa daun bidara atau sabun, lalu membasuh bagian kanan tubuhnya yaitu sisi kanan lehernya, kemudian tangan kanannya dan bahunya, kemudian sisi kanan dadanya, lambungnya, pahanya, betisnya, dan kaki kanannya. Kemudian membalikkannya ke sisi kiri dan membasuh sisi kanan punggungnya, lalu membasuh sisi kirinya seperti itu juga. Kemudian membalikkannya ke sisi kanan dan membasuh sisi kiri punggungnya. Ia menggunakan daun bidara atau sabun saat membasuh, dan dianjurkan untuk melilitkan kain di tangannya saat memandikan.

وَالْوَاجِبُ غُسْلَةٌ وَاحِدَةٌ إِنْ حَصَلَ الإِنْقَاءُ، وَالْمُسْتَحَبُّ ثَلَاثُ غَسَلَاتٍ، وَإِنْ لَمْ يَحْصُلِ الإِنْقَاءُ؛ زَادَ فِي الغَسَلَاتِ حَتَّى يَنْقَى إِلَى سَبْعٍ

Yang wajib adalah satu kali basuhan jika sudah bersih, dan yang dianjurkan adalah tiga kali basuhan. Jika belum bersih, maka ditambah basuhannya hingga bersih sampai tujuh kali.

غُسْلَاتٍ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْعَلَ فِي الْغُسْلَةِ الْأَخِيرَةِ كَافُورًا؛ لِأَنَّهُ يُصَلِّبُ بَدَنَ الْمَيِّتِ، وَيُطَيِّبُهُ، وَيُبَرِّدُهُ، فَلِأَجْلِ ذَلِكَ؛ يُجْعَلُ فِي الْغُسْلَةِ الْأَخِيرَةِ؛ لِيَبْقَى أَثَرُهُ.

Pencucian, dan dianjurkan untuk memasukkan kapur barus pada pencucian terakhir; karena itu akan mengeraskan tubuh mayat, mengharumkannya, dan mendinginkannya, maka karena itu; dimasukkan pada pencucian terakhir; agar bekasnya tetap ada.

ثُمَّ يُنَشَّفُ الْمَيِّتُ بِثَوْبٍ وَنَحْوِهِ، وَيُقَصُّ شَارِبُهُ، وَتُقَلَّمُ أَظَافِرُهُ إِنْ طَالَتْ، وَيُؤْخَذُ شَعْرُ إِبْطَيْهِ، وَيُجْعَلُ الْمَأْخُوذُ مَعَهُ فِي الْكَفَنِ، وَيُضَفَّرُ شَعْرُ رَأْسِ الْمَرْأَةِ ثَلَاثَةَ قُرُونٍ وَيُسْدَلُ مِنْ وَرَائِهَا.

Kemudian mayat dikeringkan dengan kain atau sejenisnya, kumisnya dipotong, kukunya dipotong jika panjang, bulu ketiaknya dicukur, dan yang diambil dimasukkan bersamanya dalam kafan, dan rambut kepala wanita dikepang menjadi tiga kepang dan diurai ke belakang.

وَأَمَّا إِذَا تَعَذَّرَ غُسْلُ الْمَيِّتِ لِعَدَمِ الْمَاءِ أَوْ خِيفَ تَقَطُّعَهُ بِالْغُسْلِ؛ كَالْمَجْذُومِ وَالْمُحْتَرِقِ، أَوْ كَانَ الْمَيِّتُ امْرَأَةً مَعَ رِجَالٍ لَيْسَ فِيهِمْ زَوْجُهَا، أَوْ رَجُلًا مَعَ نِسَاءٍ لَيْسَ فِيهِمْ زَوْجَتُهُ؛ فَإِنَّ الْمَيِّتَ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ يُيَمَّمُ بِالتُّرَابِ؛ بِمَسْحِ وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ مِنْ رَوَاءِ حَائِلٍ عَلَى يَدِ الْمَاسِحِ، وَإِنْ تَعَذَّرَ غُسْلُ بَعْضِ الْمَيِّتِ؛ غُسِلَ مَا أَمْكَنَ غُسْلُهُ مِنْهُ، وَيُمَمَ عَنِ الْبَاقِي.

Adapun jika tidak memungkinkan untuk memandikan mayat karena tidak adanya air atau khawatir akan terpotong-potong saat dimandikan; seperti penderita kusta dan yang terbakar, atau mayat adalah seorang wanita bersama laki-laki yang bukan suaminya, atau seorang laki-laki bersama wanita yang bukan istrinya; maka mayat dalam keadaan ini ditayamumkan dengan debu; dengan mengusap wajah dan kedua telapak tangannya dari balik penghalang di tangan yang mengusap, dan jika tidak memungkinkan untuk memandikan sebagian mayat; maka dimandikan bagian yang bisa dimandikan darinya, dan ditayamumkan untuk sisanya.

وَيُسْتَحَبُّ لِمَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا أَنْ يَغْتَسِلَ بَعْدَ تَغْسِيلِهِ، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِوَاجِبٍ.

Dan dianjurkan bagi orang yang memandikan mayat untuk mandi setelah memandikannya, dan itu tidak wajib.

رَابِعًا: أَحْكَامُ التَّكْفِينِ.

Keempat: Hukum-hukum mengkafani.

وَبَعْدَ تَمَامِ الْغُسْلِ وَالتَّجْفِيفِ يُشْرَعُ تَكْفِينُ الْمَيِّتِ.

Dan setelah selesai memandikan dan mengeringkan, disyariatkan untuk mengkafani mayat.

وَيُشْتَرَطُ فِي الْكَفَنِ أَنْ يَكُونَ سَاتِرًا، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ أَبْيَضَ نَظِيفًا، سَوَاءٌ كَانَ جَدِيدًا وَهُوَ الْأَفْضَلُ أَوْ غَسِيلًا.

Dan disyaratkan pada kain kafan agar menutupi, dan dianjurkan agar berwarna putih dan bersih, baik baru yang mana itu lebih utama atau bekas.

وَمِقْدَارُ الْكَفَنِ الْوَاجِبِ ثَوْبٌ يَسْتُرُ جَمِيعَ الْمَيِّتِ، وَالْمُسْتَحَبُّ تَكْفِينُ الرَّجُلِ فِي ثَلَاثِ لَفَائِفَ، وَتَكْفِينُ الْمَرْأَةِ فِي خَمْسَةِ أَثْوَابٍ؛ إِزَارٌ وَخِمَارٌ وَقَمِيصٌ وَلِفَافَتَيْنِ، وَيُكَفَّنُ الصَّغِيرُ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَيُبَاحُ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ، وَتُكَفَّنُ الصَّغِيرَةُ فِي قَمِيصٍ وَلِفَافَتَيْنِ، وَيُسْتَحَبُّ تَجْمِيرُ الْأَكْفَانِ بِالْبَخُورِ بَعْدَ رَشِّهَا بِمَاءِ الْوَرْدِ وَنَحْوِهِ؛ لِتَعْلُقَ بِهَا رَائِحَةُ الْبَخُورِ.

Dan ukuran kafan yang wajib adalah sehelai kain yang menutupi seluruh tubuh mayat, dan yang disunahkan adalah mengkafani laki-laki dengan tiga lapis kain, dan mengkafani perempuan dengan lima helai kain; sarung, kerudung, baju, dan dua lapis kain, dan anak kecil dikafani dengan satu helai kain, dan diperbolehkan dengan tiga helai kain, dan anak perempuan kecil dikafani dengan baju dan dua lapis kain, dan disunahkan mengasapi kafan dengan dupa setelah memercikinya dengan air mawar dan sejenisnya; agar bau dupa melekat padanya.

وَيَتِمُّ تَكْفِينُ الرَّجُلِ بِأَنْ تُبْسَطَ اللَّفَائِفُ الثَّلَاثُ عَلَى بَعْضِهَا فَوْقَ بَعْضٍ، ثُمَّ يُؤْتَى بِالْمَيِّتِ مَسْتُورًا وُجُوبًا بِثَوْبٍ وَنَحْوِهِ وَيُوضَعُ فَوْقَ اللَّفَائِفِ مُسْتَلْقِيًا ثُمَّ يُؤْتَى بِالْحَنُوطِ وَهُوَ الطِّيبُ وَيُجْعَلُ مِنْهُ فِي قُطْنٍ بَيْنَ أَلْيَتَيِ الْمَيِّتِ، وَيُشَدُّ فَوْقَهُ خِرْقَةٌ، ثُمَّ يُجْعَلُ بَاقِي الْقُطْنِ الْمُطَيَّبِ عَلَى عَيْنَيْهِ وَمَنْخِرَيْهِ وَفَمِهِ وَأُذُنَيْهِ وَعَلَى مَوَاضِعِ سُجُودِهِ: جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ، وَرُكْبَتَيْهِ، وَأَطْرَافِ قَدَمَيْهِ، وَمَغَابِنِ الْبَدَنِ: الْإِبْطَيْنِ وَطَيِّ الرُّكْبَتَيْنِ وَسُرَّتِهِ، وَيُجْعَلُ مِنَ الطِّيبِ بَيْنَ الْأَكْفَانِ وَفِي رَأْسِ الْمَيِّتِ، ثُمَّ يُرَدُّ طَرَفُ اللِّفَافَةِ الْعُلْيَا مِنَ الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ، ثُمَّ طَرَفُهَا الْأَيْمَنُ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ، ثُمَّ الثَّانِيَةُ كَذَلِكَ ثُمَّ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ، وَيَكُونُ الْفَاضِلُ مِنْ طُولِ اللَّفَائِفِ عِنْدَ رَأْسِهِ أَكْثَرَ مِمَّا عِنْدَ رِجْلَيْهِ، ثُمَّ يُجْمَعُ الْفَاضِلُ عِنْدَ رَأْسِهِ وَيُرَدُّ عَلَى وَجْهِهِ، وَيُجْمَعُ الْفَاضِلُ عِنْدَ رِجْلَيْهِ فَيُرَدُّ عَلَى رِجْلَيْهِ، ثُمَّ يُعْقَدُ عَلَى اللَّفَائِفِ أَحْزِمَةٌ؛ لِئَلَّا تَنْتَشِرَ وَتَحِلَّ الْعُقَدُ فِي الْقَبْرِ.

Dan pengkafanan laki-laki dilakukan dengan membentangkan tiga lapis kain satu di atas yang lain, kemudian jenazah dibawa dalam keadaan tertutup dengan kain atau sejenisnya dan diletakkan di atas lapisan kain dalam posisi terlentang, kemudian diberi ḥanūṭ yaitu wewangian yang diletakkan pada kapas di antara kedua pantat mayat, dan diikat di atasnya dengan kain, kemudian sisa kapas yang wangi diletakkan pada kedua matanya, lubang hidungnya, mulutnya, telinganya, dan pada tempat-tempat sujudnya: dahinya, hidungnya, lututnya, dan ujung-ujung kakinya, serta lipatan-lipatan tubuh: kedua ketiak, lipatan lutut, dan pusarnya, dan wewangian diletakkan di antara kain kafan dan di kepala mayat, kemudian ujung lapisan teratas dikembalikan dari sisi kiri ke sisi kanannya, kemudian ujung kanannya ke sisi kirinya, kemudian lapisan kedua seperti itu, kemudian lapisan ketiga seperti itu, dan kelebihan panjang lapisan pada kepalanya lebih banyak daripada pada kakinya, kemudian kelebihan pada kepalanya dikumpulkan dan dikembalikan ke wajahnya, dan kelebihan pada kakinya dikumpulkan dan dikembalikan ke kakinya, kemudian diikat pada lapisan-lapisan itu dengan tali; agar tidak menyebar dan simpul-simpulnya tidak terlepas di dalam kubur.

وَأَمَّا الْمَرْأَةُ؛ فَتُكَفَّنُ فِي خَمْسَةِ أَثْوَابٍ: إِزَارٌ تُؤْزَرُ بِهِ، ثُمَّ تَلْبَسُ قَمِيصًا، ثُمَّ تُخَمَّرُ بِخِمَارٍ عَلَى رَأْسِهَا، ثُمَّ تُلَفُّ بِلِفَافَتَيْنِ.

Adapun wanita; maka ia dikafani dengan lima lembar kain: kain sarung untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, kemudian memakai baju, kemudian menutup kepalanya dengan kerudung, kemudian dibungkus dengan dua lembar kain pembungkus.

خَامِسًا: أَحْكَامُ الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ.

Kelima: Hukum-hukum shalat jenazah.

ثُمَّ يُشْرَعُ بَعْدَ ذَلِكَ الصَّلَاةُ عَلَى الْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ:

Kemudian disyariatkan setelah itu shalat atas jenazah muslim:

فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁؛ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهَا؛ فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ؛ فَلَهُ قِيرَاطَانِ"، قِيلَ: وَمَا الْقِرَاطَانِ؟ قَالَ: "مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Abu Hurairah ﵁; ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ia menshalatinya; maka baginya satu qīrāṭ, dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga jenazah itu dikuburkan; maka baginya dua qīrāṭ", ditanyakan: Apa itu dua qīrāṭ? Beliau bersabda: "Seperti dua gunung yang besar", muttafaq 'alaih.

الصَّلَاةُ عَلَى الْمَيِّتِ فَرْضُ كِفَايَةٍ، إِذَا فَعَلَهَا الْبَعْضُ؛ سَقَطَ الْإِثْمُ عَنِ الْبَاقِينَ، وَتَبْقَى فِي حَقِّ الْبَاقِينَ سُنَّةً، وَإِنْ تَرَكَهَا الْكُلُّ؛ أَثِمُوا.

Shalat jenazah adalah fardhu kifayah, jika sebagian orang melakukannya; maka gugurlah dosa dari yang lainnya, dan tetap menjadi sunnah bagi yang lainnya, dan jika semuanya meninggalkannya; maka mereka berdosa.

وَيُشْتَرَطُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ: النِّيَّةُ، وَاسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ، وَسَتْرُ الْعَوْرَةِ وَطَهَارَةُ الْمُصَلِّي عَلَيْهِ، وَاجْتِنَابُ النَّجَاسَةِ، وَإِسْلَامُ الْمُصَلِّي مُكَلَّفًا.

Dan disyaratkan dalam shalat jenazah: niat, menghadap kiblat, menutup aurat dan kesucian orang yang menshalatinya, menghindari najis, dan Islam-nya orang yang shalat sebagai mukallaf.

وَأَمَّا أَرْكَانُهَا فَهِيَ: الْقِيَامُ فِيهَا، وَالتَّكْبِيرَاتُ الْأَرْبَعُ، وَقِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ، وَالصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ، وَالدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ، وَالتَّرْتِيبُ، وَالتَّسْلِيمُ.

Adapun rukun-rukunnya adalah: berdiri di dalamnya, empat kali takbir, membaca Al-Fatihah, bershalawat atas Nabi ﷺ, berdoa untuk mayit, tertib, dan salam.

وَأَمَّا سُنَنُهَا فَهِيَ: رَفْعُ الْيَدَيْنِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيرَةٍ، وَالِاسْتِعَاذَةُ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ، وَأَنْ يَدْعُوَ لِنَفْسِهِ وَلِلْمُسْلِمِينَ، وَالْإِسْرَاءُ بِالْقِرَاءَةِ، وَأَنْ يَقِفَ بَعْدَ

Adapun sunah-sunahnya adalah: mengangkat kedua tangan pada setiap takbir, isti'āżah sebelum membaca, berdoa untuk dirinya dan kaum muslimin, membaca dengan pelan, dan berdiri setelah

التَّكْبِيرَةُ الرَّابِعَةُ وَقَبْلَ التَّسْلِيمِ قَلِيلًا، وَأَنْ يَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ، وَالالْتِفَاتُ عَلَى يَمِينِهِ فِي التَّسْلِيمِ.

Takbir keempat dan sedikit sebelum salam, dan meletakkan tangan kirinya di dada, dan menoleh ke kanan saat salam.

تَكُونُ الصَّلَاةُ عَلَى المَيِّتِ بِأَنْ يَقُومَ الإِمَامُ وَالمُنْفَرِدُ عِنْدَ صَدْرِ الرَّجُلِ وَوَسَطِ المَرْأَةِ، وَيَقِفُ المَأْمُومُونَ خَلْفَ الإِمَامِ، وَسُنَّ جَعْلُهُمْ ثَلَاثَةَ صُفُوفٍ، ثُمَّ يُكَبِّرُ لِلْإِحْرَامِ، وَيَتَعَوَّذُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ مُبَاشَرَةً فَلَا يَسْتَفْتِحُ، وَيُسَمِّي، وَيَقْرَأُ الفَاتِحَةَ، ثُمَّ يُكَبِّرُ، وَيُصَلِّي بَعْدَهَا عَلَى النَّبِيِّ ﷺ مِثْلَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ فِي تَشَهُّدِ الصَّلَاةِ، ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَدْعُو لِلْمَيِّتِ بِمَا وَرَدَ، وَمِنْهُ:

Shalat jenazah dilakukan dengan imam dan orang yang shalat sendirian berdiri di depan dada mayit laki-laki dan di tengah mayit perempuan, dan makmum berdiri di belakang imam, dan disunnahkan menjadikan mereka tiga shaf, kemudian bertakbir untuk ihram, dan membaca ta'awudz langsung setelah takbir tanpa membaca doa iftitah, dan membaca basmalah, dan membaca Al-Fatihah, kemudian bertakbir, dan setelahnya bershalawat kepada Nabi ﷺ seperti shalawat dalam tasyahud shalat, kemudian bertakbir dan berdoa untuk mayit dengan doa yang diriwayatkan, di antaranya:

"اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، إِنَّكَ تَعْلَمُ مُنْقَلَبَنَا وَمَثْوَانَا، وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا؛ فَأَحْيِهِ عَلَى الإِسْلَامِ وَالسُّنَّةِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا، فَتَوَفَّهُ عَلَيْهِمَا، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ، وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوبِ وَالخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ، وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ".

"Ya Allah, ampunilah yang hidup di antara kami dan yang mati, yang hadir di antara kami dan yang tidak hadir, yang kecil di antara kami dan yang besar, laki-laki di antara kami dan perempuan. Sesungguhnya Engkau mengetahui tempat kembali kami dan tempat tinggal kami, dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, siapa yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah ia di atas Islam dan sunnah, dan siapa yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di atas keduanya. Ya Allah, ampunilah ia, rahmatilah ia, maafkanlah ia, ampunilah ia, muliakanlah tempat tinggalnya, lapangkanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, salju dan embun, bersihkanlah ia dari dosa-dosa dan kesalahan seperti dibersihkannya kain putih dari kotoran, gantilah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya, dan masukkanlah ia ke surga, dan lindungilah ia dari siksa kubur dan siksa neraka, lapangkanlah kuburnya, dan terangilah ia di dalamnya."

وَإِنْ كَانَ الْمُصَلَّى عَلَيْهِ أُنْثَى؛ قَالَ: "اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا"؛ بِتَأْنِيثِ الضَّمِيرِ فِي الدُّعَاءِ كُلِّهِ، وَإِنْ كَانَ الْمُصَلَّى عَلَيْهِ صَغِيرًا؛ قَالَ: "اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ ذُخْرًا لِوَالِدَيْهِ، وَفَرَطًا، بِصَالِحِ سَلَفِ الْمُؤْمِنِينَ، وَاجْعَلْهُ فِي كَفَالَةِ إِبْرَاهِيمَ، وَقِهِ بِرَحْمَتِكَ عَذَابَ الْجَحِيمِ"، ثُمَّ يُكَبِّرُ، رَيَقِفُ بَعْدَهَا قَلِيلًا، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً عَنْ يَمِينِهِ

Jika yang dishalatkan adalah perempuan, maka ia berkata: "Ya Allah, ampunilah dia" dengan menggunakan kata ganti perempuan dalam seluruh doa. Jika yang dishalatkan adalah anak kecil, maka ia berkata: "Ya Allah, jadikanlah ia sebagai simpanan bagi kedua orang tuanya, sebagai pendahulu, dengan kebaikan generasi terdahulu dari orang-orang beriman, dan jadikanlah ia dalam pemeliharaan Ibrahim, dan lindungilah ia dengan rahmat-Mu dari azab neraka Jahim", kemudian ia bertakbir, berdiri sebentar setelahnya, lalu salam sekali ke arah kanannya.

وَمَنْ فَاتَهُ بَعْضُ الصَّلَاةِ عَلَى الْجَنَازَةِ؛ دَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ فِيمَا بَقِيَ، ثُمَّ إِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ؛ قَضَى فَاتَهُ عَلَى صِفَتِهِ، وَإِنْ خَشِيَ أَنْ تُرْفَعَ الْجَنَازَةُ؛ تَابَعَ التَّكْبِيرَاتِ "أَيْ: بِدُونِ فَصْلٍ بَيْنَهَا"، ثُمَّ سَلَّمَ

Barangsiapa yang ketinggalan sebagian shalat jenazah, maka ia masuk bersama imam pada bagian yang tersisa, kemudian jika imam telah salam, ia mengganti bagian yang terlewat sesuai dengan sifatnya. Jika ia khawatir jenazah akan diangkat, maka ia melanjutkan takbir "yaitu: tanpa jeda di antaranya", kemudian salam.

وَمَنْ فَاتَتْهُ الصَّلَاةُ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْلَ دَفْنِهِ؛ صَلَّى عَلَى قَبْرِهِ.

Barangsiapa yang ketinggalan shalat atas mayit sebelum penguburannya, maka ia shalat di atas kuburnya.

وَمَنْ كَانَ غَائِبًا عَنِ الْبَلَدِ الَّذِي فِيهِ الْمَيِّتُ، وَعَلِمَ بِوَفَاتِهِ؛ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ صَلَاةَ الْغَائِبِ بِالنِّيَّةِ.

Barangsiapa yang tidak hadir di negeri tempat mayit berada, dan mengetahui kematiannya, maka ia boleh menshalati mayit tersebut dengan shalat gaib dengan niat.

وَحَمْلُ الْمَرْأَةِ إِذَا سَقَطَ مَيِّتًا وَقَدْ تَمَّ لَهُ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرُ، صُلِيَ عَلَيْهِ صَلَاةَ الْجَنَازَةِ، وَإِنْ كَانَ دُونَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ؛ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ.

Kandungan wanita jika gugur dalam keadaan meninggal dan telah genap empat bulan atau lebih, maka dishalatkan dengan shalat jenazah. Jika usianya kurang dari empat bulan, maka tidak dishalatkan.

سَادِسًا: حَمْلُ الْمَيِّتِ وَدَفْنُهُ.

Keenam: Membawa mayit dan menguburkannya.

حَمْلُ الْمَيِّتِ وَدَفْنُهُ مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَةِ عَلَى مَنْ عَلِمَ بِحَالِهِ مِنْ

Membawa mayit dan menguburkannya termasuk fardhu kifayah bagi orang yang mengetahui keadaannya dari

الْمُسْلِمِينَ، وَدَفْنُهُ مَشْرُوعٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا﴾، قَالَ تَعَالَى: ﴿ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ﴾؛ أَيْ: جَعَلَهُ مَقْبُورًا، وَالْأَحَادِيثُ فِي دَفْنِ الْمَيِّتِ مُسْتَفِيضَةٌ، وَهُوَ بِرٌّ وَطَاعَةٌ وَإِكْرَامٌ لِلْمَيِّتِ وَاعْتِنَاءٌ بِهِ.

Bagi umat Islam, menguburkan jenazah disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Allah Ta'ala berfirman: "Bukankah Kami telah menjadikan bumi (tempat) berkumpul orang-orang hidup dan orang-orang mati?" Allah Ta'ala juga berfirman: "Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur", yakni menjadikannya terkubur. Hadits-hadits tentang penguburan jenazah sangat banyak. Menguburkan jenazah merupakan kebaikan, ketaatan, penghormatan, dan perhatian terhadap jenazah.

وَسُنَّ إِتْبَاعُ الْجَنَازَةِ وَتَشْيِيعُهَا إِلَى قَبْرِهَا؛ فَفِي "الصَّحِيحَيْنِ": "مَنْ شَهِدَ جَنَازَةً حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا؛ فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ؛ فَلَهُ قِيرَاطَانِ". قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟ قَالَ: "مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ". وَلِلْبُخَارِيِّ بِلَفْظِ: "مَنْ شَيَّعَ"، وَلِمُسْلِمٍ بِلَفْظِ: "مَنْ خَرَجَ مَعَهَا، ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ"، فَفِي الْحَدِيثِ بِرِوَايَاتِهِ الْحَثُّ عَلَى تَشْيِيعِ الْجَنَازَةِ إِلَى قَبْرِهَا.

Disunnahkan untuk mengikuti jenazah dan mengantarkannya hingga ke kuburnya. Dalam Shahihain disebutkan: "Barangsiapa menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka baginya satu qirath. Dan barangsiapa menyaksikannya hingga dikuburkan, maka baginya dua qirath." Ditanyakan, "Apa itu dua qirath?" Beliau menjawab, "Seperti dua gunung yang besar." Dalam riwayat Bukhari disebutkan dengan lafazh: "Barangsiapa mengiringi", dan dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh: "Barangsiapa keluar bersamanya, kemudian mengikutinya hingga dikuburkan." Dalam hadits dengan berbagai riwayatnya terdapat dorongan untuk mengiringi jenazah hingga ke kuburnya.

وَيُسَنُّ لِمَنْ تَبِعَهَا الْمُشَارَكَةُ فِي حَمْلِهَا إِنْ أَمْكَنَ، وَلَا بَأْسَ بِحَمْلِهَا فِي سَيَّارَةٍ أَوْ عَلَى دَابَّةٍ، لَا سِيَّمَا إِذَا كَانَتِ الْمَقْبَرَةُ بَعِيدَةً.

Disunnahkan bagi yang mengikuti jenazah untuk ikut serta membawanya jika memungkinkan. Tidak mengapa membawanya dengan mobil atau kendaraan, terutama jika pekuburan jauh.

وَيُسَنُّ الْإِسْرَاعُ بِالْجَنَازَةِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً؛ فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ تَكُ سِوَى ذَلِكَ؛ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، لَكِنْ لَا يَكُونُ الْإِسْرَاعُ شَدِيدًا، وَيَكُونُ عَلَى حَامِلِيهَا وَمُشَيِّعِيهَا السَّكِينَةُ، وَلَا يَرْفَعُونَ أَصْوَاتَهُمْ؛ لَا بِقِرَاءَةٍ وَلَا غَيْرِهَا مِنْ

Disunnahkan untuk mempercepat penguburan jenazah, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Percepatlah penguburan jenazah. Jika ia orang shalih, maka kebaikan yang kalian dahulukan untuknya. Jika ia selain itu, maka keburukan yang kalian letakkan dari pundak kalian." (Muttafaq 'alaih). Namun, mempercepat tidak boleh terlalu keras. Para pembawa dan pengantar jenazah hendaknya bersikap tenang, tidak mengeraskan suara, baik dengan bacaan atau lainnya.

تَهْلِيلٌ وَذِكْرٌ أَوْ قَوْلُهُمْ: اسْتَغْفِرُوا لَهُ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ هَذَا بِدْعَةٌ.

Tahlil, zikir, atau perkataan mereka: "Mohonkanlah ampunan untuknya", dan yang serupa dengan itu; karena ini adalah bid'ah.

وَيَحْرُمُ خُرُوجُ النِّسَاءِ مَعَ الْجَنَائِزِ؛ لِحَدِيثِ أُمِّ عَطِيَّةَ: "نُهِينَا عَنْ إِتْبَاعِ الْجَنَائِزِ"، وَلَمْ تَكُنِ النِّسَاءُ يَخْرُجْنَ مَعَ الْجَنَائِزِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ؛ فَتَشْيِيعُ الْجَنَائِزِ خَاصٌّ بِالرِّجَالِ.

Dan haram bagi wanita untuk keluar bersama jenazah; karena hadits Ummu 'Athiyyah: "Kami dilarang mengikuti jenazah", dan para wanita tidak pernah keluar bersama jenazah pada masa Nabi ﷺ; maka mengiringi jenazah adalah khusus bagi laki-laki.

وَيُسَنُّ أَنْ يُعَمَّقَ الْقَبْرُ وَيُوَسَّعَ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "احْفِرُوا وَأَوْسِعُوا وَعَمِّقُوا"، قَالَ التِّرْمِذِيُّ: "حَسَنٌ صَحِيحٌ".

Dan disunnahkan untuk memperdalam dan memperluas kuburan; karena sabda Nabi ﷺ: "Galilah, perluaslah, dan perdalamlah", Tirmidzi berkata: "Hadits hasan shahih".

وَيُسَنُّ سَتْرُ قَبْرِ الْمَرْأَةِ عِنْدَ إِنْزَالِهَا فِيهِ لِأَنَّهَا عَوْرَةٌ.

Dan disunnahkan untuk menutupi kuburan wanita ketika memasukkannya ke dalamnya karena dia adalah aurat.

وَيُسَنُّ أَنْ يَقُولَ مَنْ يُنْزِلُ الْمَيِّتَ فِي الْقَبْرِ: "بِسْمِ اللَّهِ، وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ"؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي الْقُبُورِ؛ فَقُولُوا: بِسْمِ اللَّهِ، وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ"، رَوَاهُ الْخَمْسَةُ؛ وَحَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ.

Dan disunnahkan bagi orang yang menurunkan mayit ke dalam kubur untuk mengucapkan: "Dengan nama Allah, dan atas agama Rasulullah"; karena sabda Nabi ﷺ: "Jika kalian meletakkan orang yang meninggal di antara kalian dalam kubur; maka ucapkanlah: 'Dengan nama Allah, dan atas agama Rasulullah'", diriwayatkan oleh al-Khamsah; dan Tirmidzi menghasankannya.

وَيُوضَعُ الْمَيِّتُ فِي لَحْدِهِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ فِي الْكَعْبَةِ: "قِبْلَتُكُمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ.

Dan mayit diletakkan dalam lahadnya pada sisi kanannya menghadap kiblat; karena sabda Nabi ﷺ tentang Ka'bah: "Kiblat kalian dalam keadaan hidup dan mati", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.

وَيَجْعَلُ تَحْتَ رَأْسِهِ لَبِنَةً أَوْ حَجَرًا أَوْ تُرَابًا، وَيَدْنَى مِنْ حَائِطِ الْقَبْرِ الْأَمَامِيِّ، وَيَجْعَلُ خَلْفَ ظَهْرِهِ مَا يَسْنُدُهُ مِنْ تُرَابٍ، حَتَّى لَا يَنْكَبَّ عَلَى وَجْهِهِ، أَوْ يَنْقَلِبَ عَلَى ظَهْرِهِ.

Dan meletakkan di bawah kepalanya batu bata, batu, atau tanah, dan mendekat ke dinding depan kubur, dan meletakkan di belakang punggungnya tanah yang menopangnya, agar tidak tertelungkup di atas wajahnya, atau terbalik ke atas punggungnya.

ثُمَّ تُسَدُّ عَلَيْهِ فُتْحَةُ اللَّحْدِ بِالْبِنِ وَالطِّينِ حَتَّى يَلْتَحِمَ، ثُمَّ يُهَالُ عَلَيْهِ التُّرَابُ، وَلَا يُزَادُ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ تُرَابِهِ.

Kemudian lubang laḥd ditutup dengan batu bata dan tanah liat sampai menyatu, lalu ditimbun dengan tanah, dan tidak ditambahkan padanya selain tanahnya.

وَيُرْفَعُ الْقَبْرُ عَنِ الْأَرْضِ قَدْرَ شِبْرٍ، وَيَكُونُ مُسَنَّمًا أَيْ: مُحَدَّبًا كَهَيْئَةِ السَّنَامِ لِتَنْزِلَ عَنْهُ مِيَاهُ السُّيُولِ، وَيُوضَعُ عَلَيْهِ حَصْبَاءُ، وَيُرَشُّ بِالْمَاءِ لِيَتَمَاسَكَ تُرَابُهُ وَلَا يَتَطَايَرُ، وَالْحِكْمَةُ فِي رَفْعِهِ بِهَذَا الْمِقْدَارِ؛ لِيُعْلَمَ أَنَّهُ قَبْرٌ فَلَا يُدَاسَ، وَلَا بَأْسَ بِوَضْعِ النَّصَائِبِ عَلَى طَرَفَيْهِ لِبَيَاتِ حُدُودِهِ، وَلِيُعْرَفَ بِهَا، مِنْ غَيْرِ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا.

Dan kuburan diangkat dari tanah seukuran jengkal, dan menjadi meninggi yaitu: cembung seperti punuk unta agar air banjir mengalir darinya, dan diletakkan di atasnya kerikil, dan diperciki dengan air agar tanahnya melekat dan tidak berterbangan, dan hikmah mengangkatnya dengan ukuran ini; agar diketahui bahwa itu adalah kuburan sehingga tidak diinjak, dan tidak mengapa meletakkan batu nisan di kedua ujungnya untuk menjelaskan batasnya, dan agar dikenali dengannya, tanpa menulis di atasnya.

وَيُسْتَحَبُّ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِهِ أَنْ يَقِفَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى قَبْرِهِ وَيَدْعُوا لَهُ: "اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ، وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِتَ؛ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَأَمَّا قِرَاءَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ عِنْدَ الْقَبْرِ؛ فَإِنَّ هَذَا بِدْعَةٌ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَلَا صَحَابَتُهُ الْكِرَامُ، وَكُلُّ بِدْعَهٍ ضَلَالَةٌ.

Dan dianjurkan apabila telah selesai menguburkannya agar kaum muslimin berdiri di atas kuburnya dan berdoa untuknya: "Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu, dan mintalah keteguhan untuknya; karena sekarang dia sedang ditanya", diriwayatkan oleh Abu Dawud, adapun membaca sesuatu dari Al-Qur'an di sisi kubur; maka ini adalah bid'ah; karena Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya yang mulia tidak melakukannya, dan setiap bid'ah adalah kesesatan.

وَيُحَرَّمُ الْبِنَاءُ عَلَى الْقُبُورِ وَتَجْصِيصُهَا وَالْكِتَابَةُ عَلَيْهَا؛ لِقَوْلِ جَابِرٍ: "نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى

Dan diharamkan membangun di atas kuburan, mengecat dengan kapur, dan menulis di atasnya; karena perkataan Jabir: "Rasulullah ﷺ melarang mengecat kubur dengan kapur, duduk di atasnya, dan membangun

عَلَيْهِ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ مَرْفُوعًا: "نَهَى أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا وَأَنْ تُوطَأَ"، وَلِأَنَّ هَذَا مِنْ وَسَائِلِ الشِّرْكِ وَالتَّعَلُّقِ بِالْأَضْرِحَةِ؛ لِأَنَّ الْجُهَّالَ إِذَا رَأَوُا الْبِنَاءَ وَالزُّخْرُفَةَ عَلَى الْقَبْرِ؛ تَعَلَّقُوا بِهِ.

Diriwayatkan oleh Muslim, dan Tirmidzi meriwayatkan dan menshahihkan dari hadits Jabir secara marfu': "Beliau melarang melapisi kubur dengan gipsum, menulis di atasnya, dan menginjaknya", karena ini termasuk sarana syirik dan keterikatan dengan kuburan; karena orang-orang bodoh jika melihat bangunan dan hiasan di atas kuburan, mereka akan terikat dengannya.

وَيَحْرُمُ إِسْرَاجُ الْقُبُورِ، أَيْ: إِضَاءَتُهَا بِالْأَنْوَارِ الْكَهْرُبَائِيَّةِ وَغَيْرِهَا، وَيَحْرُمُ اتِّخَاذُ الْمَسَاجِدِ عَلَيْهَا، أَيْ: بِبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ عَلَيْهَا، وَالصَّلَاةُ عِنْدَهَا أَوْ إِلَيْهَا، وَتَحْرُمُ زِيَارَةُ النِّسَاءِ لِلْقُبُورِ؛ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَعَنَ اللهُ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ"، رَوَاهُ أَهْلُ السُّنَنِ، وَفِي "الصَّحِيحِ": "لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ"، وَلِأَنَّ تَعْظِيمَ الْقُبُورِ بِالْبِنَاءِ عَلَيْهَا وَنَحْوِهِ هُوَ أَصْلُ شِرْكِ الْعَالَمِ.

Dan haram menyalakan lampu di atas kubur, yaitu: meneranginya dengan lampu listrik dan lainnya, dan haram menjadikan masjid di atasnya, yaitu: dengan membangun masjid di atasnya, dan shalat di dekatnya atau menghadap ke arahnya, dan haram bagi wanita mengunjungi kubur; karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Allah melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kubur dan orang-orang yang menjadikan masjid dan lampu di atasnya", diriwayatkan oleh Ahlu Sunan, dan dalam "Shahih": "Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani; mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid", dan karena mengagungkan kuburan dengan membangun di atasnya dan sejenisnya adalah asal mula kesyirikan di dunia.

وَتَحْرُمُ إِهَانَةُ الْقُبُورِ بِالْمَشْيِ عَلَيْهَا وَوَطْئِهَا بِالنِّعَالِ وَالْجُلُوسِ عَلَيْهَا وَجَعْلِهَا مُجْتَمَعًا لِلْقُمَامَاتِ أَوْ أَسَالَ الْمِيَاهِ عَلَيْهَا؛ لِمَا رَوَى مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: "لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ، فَتَخْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ: خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ".

Dan haram menghina kuburan dengan berjalan di atasnya, menginjaknya dengan sandal, duduk di atasnya, menjadikannya tempat sampah atau mengalirkan air di atasnya; karena Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu': "Sungguh, jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api, lalu membakar pakaiannya, dan menembus kulitnya: itu lebih baik daripada duduk di atas kuburan".

قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "مَنْ تَدَبَّرَ نَهْيَهُ عَنِ الْجُلُوسِ عَلَى الْقَبْرِ وَالِاتِّكَاءِ عَلَيْهِ وَالْوَطْءِ عَلَيْهِ؛ عَلِمَ أَنَّ النَّهْيَ إِنَّمَا احْتِرَامًا لِسُكَّانِهَا أَنْ يُوطَأَ بِالنِّعَالِ عَلَى رُؤُوسِهِمْ".

Imam Ibnu Al-Qayyim ﵀ berkata: "Barangsiapa merenungkan larangannya tentang duduk di atas kuburan, bersandar padanya, dan menginjaknya; maka ia tahu bahwa larangan itu hanyalah untuk menghormati penghuninya agar tidak diinjak dengan sandal di atas kepala mereka".

سَابِعًا أَحْكَامُ التَّعْزِيَةِ وَزِيَارَةِ الْقُبُورِ:

Ketujuh, hukum-hukum ta'ziyah dan ziarah kubur:

وَتُسَنُّ تَعْزِيَةُ الْمُصَابِ بِالْمَيِّتِ، وَحَثُّهُ عَلَى الصَّبْرِ وَالدُّعَاءِ لِلْمَيِّتِ، لِمَا رَوَى ابْنُ مَاجَهْ وَإِسْنَادُهُ ثِقَاتٌ، عَنْ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ مَرْفُوعًا: "مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ؛ إِلَّا كَسَاهُ اللَّهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"، وَوَرَدَتْ بِمَعْنَاهُ أَحَادِيثُ.

Dan disunnahkan mengucapkan belasungkawa kepada orang yang tertimpa musibah kematian, mendorongnya untuk bersabar dan mendoakan orang yang meninggal, karena Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad yang terpercaya, dari Amr bin Hazm secara marfu': "Tidaklah seorang mukmin mengucapkan belasungkawa kepada saudaranya atas suatu musibah; kecuali Allah akan menyelimutinya dengan pakaian kemuliaan pada hari kiamat", dan hadits-hadits dengan maknanya telah diriwayatkan.

وَلَفْظُ التَّعْزِيَةِ أَنْ يَقُولَ: "أَعْظَمَ اللَّهُ أَجْرَكَ، وَأَحْسَنَ عَزَاءَكَ، وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ".

Dan lafaz ta'ziyah adalah dengan mengatakan: "Semoga Allah membesarkan pahalamu, memperindah kesabaranmu, dan mengampuni orang yang meninggal darimu".

وَلَا يَنْبَغِي الْجُلُوسُ لِلْعَزَاءِ وَالْإِعْلَانُ عَنْ ذَلِكَ كَمَا يَفْعَلُ بَعْضُ النَّاسِ الْيَوْمَ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُعَدَّ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا يَبْعَثُهُ إِلَيْهِمْ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ:

Dan tidak sepatutnya duduk untuk menerima ucapan duka cita dan mengumumkan hal itu seperti yang dilakukan sebagian orang saat ini, dan dianjurkan untuk menyiapkan makanan bagi keluarga orang yang meninggal dan mengirimkannya kepada mereka; karena sabdanya ﷺ:

"اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا؛ جَاءَهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ.

"Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far; telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan mereka", diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi dan ia menghasankannya.

أَمَّا مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ الْيَوْمَ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ يُهَيِّئُونَ مَكَانًا لِاجْتِمَاعِ النَّاسِ عِنْدَهُمْ، وَيَصْنَعُونَ الطَّعَامَ، وَيَسْتَأْجِرُونَ الْمُقْرِئِينَ لِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ، وَيَتَحَمَّلُونَ فِي ذَلِكَ تَكَالِيفَ مَالِيَّةً؛ فَهَذَا مِنَ الْمَآتِمِ الْمُحَرَّمَةِ الْمُبْتَدَعَةِ؛ لِمَا رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ؛ قَالَ: "كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ"، وَإِسْنَادُهُ ثِقَابٌ.

Adapun apa yang dilakukan sebagian orang saat ini dari keluarga yang mempersiapkan tempat untuk berkumpulnya orang-orang di rumah mereka, membuat makanan, menyewa para qari untuk membaca Al-Qur'an, dan menanggung biaya keuangan dalam hal itu; maka ini termasuk maatim (jamuan kematian) yang diharamkan dan diada-adakan; berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdullah; ia berkata: "Kami menganggap berkumpul ke keluarga mayit dan membuat makanan setelah pemakamannya termasuk niyahah (meratap)", dan sanadnya tsiqab (terpercaya).

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "جَمْعُ أَهْلِ الْمُصِيبَةِ النَّاسَ عَلَى طَعَامِهِمْ لِيَقْرَؤُوا وَيَهْدُوا لَهُ؛ لَيْسَ مَعْرُوفًا عِنْدَ السَّلَفِ، وَقَدْ كَرِهَهُ طَوَائِفُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ" انْتَهَى.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Berkumpulnya keluarga yang tertimpa musibah dengan orang-orang atas makanan mereka agar mereka membaca (Al-Qur'an) dan menghadiahkannya untuknya; tidak dikenal di kalangan Salaf, dan telah dibenci oleh berbagai kelompok ahli ilmu dari berbagai sisi" selesai.

وَقَالَ الطُّرْطُوشِيُّ: "فَأَمَّا الْمَآتِمُ؛ فَمَمْنُوعَةٌ إِجْمَاعَ الْعُلَمَاءِ، وَالْمَأْتَمُ هُوَ الِاجْتِمَاعُ عَلَى الْمُصِيبَةِ، وَهُوَ بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ، لَمْ يُنْقَلْ شَيْءٌ، وَكَذَا مَا بَعْدَهُ مِنَ الِاجْتِمَاعِ فِي الثَّانِي وَالثَّالِثِ وَالرَّابِعِ وَالشَّهْرِ وَالسَّنَةِ؛ فَهُوَ طَامَّةٌ، وَإِنْ كَانَ مِنَ التَّرِكَةِ وَفِي الْوَرَثَةِ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ أَوْ مَنْ لَمْ يَأْذَنْ؛

Ath-Thurtusyi berkata: "Adapun maatim; maka dilarang berdasarkan ijma' para ulama, dan maatam adalah berkumpul atas musibah, dan itu adalah bid'ah yang mungkar, tidak ada yang dinukil, demikian pula setelahnya yaitu berkumpul pada hari kedua, ketiga, keempat, bulan, dan tahun; maka itu adalah bencana besar, meskipun berasal dari harta peninggalan dan di antara ahli waris ada yang dilarang atau tidak mengizinkan;

حَرُمَ فِعْلُهُ، وَحَرُمَ الأَكْلُ مِنْهُ" انْتَهَى

Perbuatannya diharamkan, dan memakannya diharamkan" selesai

وَتُسْتَحَبُّ زِيَارَةُ الْقُبُورِ لِلرِّجَالِ خَاصَّةً؛ لِأَجْلِ الِاعْتِبَارِ وَالِاتِّعَاظِ، وَلِأَجْلِ الدُّعَاءِ لِلْأَمْوَاتِ وَالِاسْتِغْفَارِ لَهُمْ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَزُورُوهَا"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِيُّ، وَزَادَ: " فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ"، وَيَكُونُ ذَلِكَ بِدُونِ سَفَرٍ

Mengunjungi kuburan dianjurkan khusus bagi laki-laki; untuk mengambil pelajaran dan peringatan, dan untuk berdoa bagi orang yang telah meninggal serta memohonkan ampunan bagi mereka; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Aku pernah melarang kalian mengunjungi kuburan, maka kunjungilah", diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi, dan ia menambahkan: "karena ia mengingatkan akhirat", dan hal itu dilakukan tanpa bepergian

فَزِيَارَةُ الْقُبُورِ تُسْتَحَبُّ بِثَلَاثِ شُرُوطٍ:

Maka mengunjungi kuburan dianjurkan dengan tiga syarat:

١ أَنْ يَكُونَ الزَّائِرُ مِنَ الرِّجَالِ لَا النِّسَاءِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَعَنَ اللهُ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ".

1. Hendaknya pengunjung adalah laki-laki bukan perempuan; karena Nabi ﷺ bersabda: "Allah melaknat wanita-wanita yang sering mengunjungi kuburan".

٢ أَنْ تَكُونَ بِدُونِ سَفَرٍ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ".

2. Hendaknya tanpa bepergian; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Janganlah kalian bepergian kecuali ke tiga masjid".

٣ أَنْ يَكُونَ الْقَصْدُ مِنْهَا الِاعْتِبَارَ وَالِاتِّعَاظَ وَالدُّعَاءَ لِلْأَمْوَاتِ، فَإِنْ كَانَ الْقَصْدُ مِنْهَا التَّبَرُّكَ بِالْقُبُورِ وَالْأَضْرِحَةِ وَطَلَبَ قَضَاءِ الْحَاجَاتِ وَتَفْرِيجَ الْكُرُبَاتِ مِنَ الْمَوْتَى؛ فَهَذِهِ زِيَارَةٌ بِدْعِيَّةٌ شِرْكِيَّةٌ.

3. Hendaknya tujuannya adalah untuk mengambil pelajaran, peringatan, dan berdoa bagi orang yang telah meninggal. Jika tujuannya adalah untuk mencari berkah dari kuburan dan makam, serta meminta pemenuhan kebutuhan dan kelapangan dari kesusahan kepada orang yang telah meninggal; maka ini adalah kunjungan bid'ah yang syirik.

قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "زِيَارَةُ الْقُبُورِ عَلَى نَوْعَيْنِ: شَرْعِيَّةٌ وَبِدْعِيَّةٌ،

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Mengunjungi kuburan ada dua jenis: yang sesuai syariat dan yang bid'ah,

فَالشَّرْعِيَّةُ: الْمَقْصُودُ بِهَا السَّلَامُ عَلَى الْمَيِّتِ وَالدُّعَاءُ لَهُ كَمَا يُقْصَدُ بِالصَّلَاةِ عَلَى جَنَازَتِهِ مِنْ غَيْرِ شَدِّ رَحْلٍ،

Yang syar'i: yang dimaksud dengannya adalah mengucapkan salam kepada mayit dan mendoakannya sebagaimana yang dimaksudkan dengan shalat jenazah tanpa bepergian jauh,

وَالْبِدْعَةُ: أَنْ تَكُونَ قَصْدُ الزَّائِرِ أَنْ يَطْلُبَ حَوَائِجَهُ مِنْ ذَلِكَ الْمَيِّتِ، وَهَذَا شِرْكٌ أَكْبَرُ،

dan bid'ah: yaitu jika tujuan peziarah adalah meminta kebutuhannya dari mayit tersebut, dan ini adalah syirik besar,

أَوْ يَقْصِدَ الدُّعَاءَ عِنْدَ قَبْرِهِ، أَوِ الدُّعَاءَ بِهِ، وَهَذَا بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ، وَوَسِيلَةٌ إِلَى الشِّرْكِ،

atau bertujuan berdoa di kuburnya, atau berdoa dengannya, dan ini adalah bid'ah yang mungkar, dan sarana menuju syirik,

وَلَيْسَ مِنْ سُنَّةِ النَّبِيِّ ﷺ، وَلَا اسْتَحَبَّهُ أَحَدٌ مِنْ سَلَفِ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتِهَا" انتهى

dan bukan termasuk sunnah Nabi ﷺ, dan tidak pula disukai oleh seorang pun dari salaf umat ini dan para imamnya" selesai.

وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

Dan Allah Ta'ala lebih mengetahui.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ.

Dan semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.