Al Mulakhkhas Fiqhiy - Perceraian
كِتَابُ الطَّلَاقِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْخُلْعِ
الخُلْعُ: فِرَاقُ الزَّوْجِ لِزَوْجَتِهِ بِعِوَضٍ بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوصَةٍ، سُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّ المَرْأَةَ تَخْلَعُ نَفْسَهَا مِنَ الزَّوْجِ كَمَا تَخْلَعُ اللِّبَاسَ؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنَ الزَّوْجَيْنِ لِبَاسٌ لِلْآخَرِ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ﴾ .
Khuluk: perceraian suami terhadap istrinya dengan kompensasi dengan kata-kata tertentu, dinamakan demikian karena wanita melepaskan dirinya dari suami seperti melepas pakaian; karena masing-masing dari suami-istri adalah pakaian bagi yang lain; Allah Ta'ala berfirman: "Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka."
فَمِنَ المَعْلُومِ أَنَّ الزَّوَاجَ تَرَابُطٌ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَتَعَاشُرٌ بِالمَعْرُوفِ، يَنْتُجُ عَنْهُ بِنَاءُ أُسْرَةٍ جِيلٍ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً﴾،
Sudah diketahui bahwa pernikahan adalah ikatan antara suami-istri dan pergaulan yang baik, yang menghasilkan pembangunan keluarga generasi; Allah Ta'ala berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang."
فَإِذَا لَمْ يَتَحَقَّقْ هَذَا المَعْنَى مِنَ الزَّوَاجِ؛ بِحَيْثُ لَمْ تُوجَدِ المَوَدَّةُ مِنَ الطَّرَفَيْنِ، أَوْ لَمْ تُوجَدْ مِنَ الزَّوْجِ وَحْدَهُ؛ سَاءَتِ العِشْرَةُ، وَتَعَسَّرَ العِلَاجُ؛ فَإِنَّ الزَّوْجَ مَأْمُورٌ بِتَسْرِيحِ الزَّوْجَةِ بِإِحْسَانٍ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿إِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ﴾، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا﴾،
Jika makna ini tidak terwujud dari pernikahan; di mana tidak ada kasih sayang dari kedua belah pihak, atau tidak ada dari suami saja; maka pergaulan menjadi buruk, dan pengobatan menjadi sulit; karena suami diperintahkan untuk menceraikan istrinya dengan cara yang baik; Allah Ta'ala berfirman: "Maka rujuklah dengan cara yang makruf, atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik", Allah Ta'ala berfirman: "Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana."
وَأَمَّا إِذَا وُجِدَتِ المَحَبَّةُ مِنْ جَانِبِ الزَّوْجِ، وَلَمْ تُوجَدْ مِنْ جَانِبِ الزَّوْجَةِ؛ بِأَنْ كَرِهَتْ زَوْجَهَا، أَوْ كَرِهَتْ خُلُقَهُ، أَوْ كَرِهَتْ نَقْصَ دِينِهِ، أَوْ خَافَتْ إِثْمَ ابْتِرَكِ حَقِّهِ؛ فَإِنَّهُ فِي هَذِهِ الحَالَةِ يُبَاحُ لَهَا أَنْ تَطْلُبَ فِرَاقَهُ عَلَى
Adapun jika cinta ditemukan dari pihak suami, dan tidak ditemukan dari pihak istri; dengan membenci suaminya, atau membenci akhlaknya, atau membenci kekurangan agamanya, atau takut dosa meninggalkan haknya; maka dalam keadaan ini diperbolehkan baginya untuk meminta perceraian darinya dengan
عِوَضٌ يَبْذُلُهُ لَهُ تَفِيدِي بِهِ نَفْسَهَا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِه﴾؛ أَيْ: إِذَا عَلِمَ الزَّوْجُ أَوِ الزَّوْجَةُ أَنَّهُمَا إِذَا بَقِيَا عَلَى الزَّوْجِيَّةِ لَا يُؤَدِّي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْوَاجِبَ عَلَيْهِ نَحْوَ الْآخَرِ، فَيَحْصُلُ مِنْ جَرَّاءِ ذَلِكَ أَنْ يَعْتَدِيَ الزَّوْجُ عَلَى زَوْجَتِهِ، أَوْ تَخَافَ الْمَرْأَةُ أَنْ تَعْضِيَ زَوْجَهَا؛ فَلَا حَرَجَ عَلَى الزَّوْجَةِ أَنْ تَفْتَدِيَ نَفْسَهَا مِنَ الزَّوْجِ بِعِوَضٍ، وَلَا حَرَجَ عَلَى الزَّوْجِ فِي أَخْذِ ذَلِكَ الْعِوَضِ، وَيُخَلِّي سَبِيلَهَا.
Kompensasi yang dia berikan kepadanya untuk menebus dirinya sendiri; karena firman Allah Ta'ala: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya"; yaitu: jika suami atau istri mengetahui bahwa jika mereka tetap dalam pernikahan, masing-masing dari mereka tidak akan memenuhi kewajiban terhadap yang lain, sehingga akibatnya suami akan melanggar hak istrinya, atau istri khawatir akan membangkang terhadap suaminya; maka tidak ada dosa bagi istri untuk menebus dirinya dari suami dengan kompensasi, dan tidak ada dosa bagi suami untuk mengambil kompensasi itu, dan melepaskan istrinya.
وَحِكْمَةُ ذَلِكَ: أَنَّ الزَّوْجَةَ تَتَلَخَّصُ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى وَجْهٍ لَا رَجْعَةَ فِيهِ؛ فَفِيهِ حَلٌّ عَادِلٌ لِلِاثْنَيْنِ، وَيُسَنُّ لِلزَّوْجِ أَنْ يُجْبِيَهَا حِينَئِذٍ، وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ يُحِبُّهَا؛ اسْتُحِبَّ لَهَا أَنْ تَصْبِرَ وَلَا تَفْتَدِيَ مِنْهُ.
Hikmah dari hal itu adalah: bahwa istri terlepas dari suaminya dengan cara yang tidak ada jalan untuk kembali; maka di dalamnya terdapat solusi yang adil bagi keduanya, dan disunahkan bagi suami untuk mengabulkannya saat itu, dan jika suami mencintainya; maka dianjurkan baginya untuk bersabar dan tidak menebus diri darinya.
وَالْخُلْعُ مُبَاحٌ إِذَا تَوَفَّرَ سَبَبُهُ الَّذِي أَشَارَتْ إِلَيْهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ، وَهُوَ خَوْفُ الزَّوْجَيْنِ إِذَا بَقِيَا عَلَى النِّكَاحِ أَنْ لَا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَاجَةٌ لِلْخُلْعِ؛ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ، وَعِنْدَ بَعْضِ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ"، رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ.
Khuluk diperbolehkan jika terpenuhi sebabnya yang diisyaratkan oleh ayat yang mulia, yaitu kekhawatiran suami istri jika mereka tetap dalam pernikahan bahwa mereka tidak akan menegakkan batasan-batasan Allah, dan jika tidak ada kebutuhan untuk khuluk; maka itu dimakruhkan, dan menurut sebagian ulama bahwa dalam keadaan ini; karena sabdanya ﷺ: "Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan; maka haram baginya bau surga", diriwayatkan oleh lima (imam) kecuali An-Nasa'i.
قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: "الْخُلْعُ الَّذِي جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ مُبْغِضَةً لِلرَّجُلِ، فَتَفْتَدِي نَفْسَهَا مِنْهُ كَالْأَسِيرِ".
Syaikh Taqiyuddin berkata: "Khuluk yang dibawa oleh sunnah adalah bahwa wanita itu membenci laki-laki, maka dia menebus dirinya darinya seperti tawanan".
وَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ لَا يُحِبُّهَا، وَلَكِنَّهُ يُمْسِكُهَا لِغَرَضٍ أَنْ وَتَفْتَدِيَ
Dan jika suami tidak mencintainya, tetapi dia menahannya dengan tujuan agar dia menebus diri
مِنْهُ؛ فَإِنَّهُ يَكُونُ بِذَلِكَ ظَالِمًا لَهَا، وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخْذُ الْعِوَضِ مِنْهَا، وَلَا يَصِحُّ الْخُلْعُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ﴾؛ أَيْ: لَا تُضَارُّوهُنَّ فِي الْعِشْرَةِ لِتَتْرُكَ بَعْضَ مَا أَصْدَقْتَ أَوْ كُلَّهُ أَوْ تَتْرُكَ حَقًّا مِنْ حُقُوقِهَا الَّتِي لَهَا عَلَى زَوْجِهَا؛
darinya; karena dengan demikian dia menjadi zalim kepadanya, dan haram baginya untuk mengambil ganti rugi darinya, dan khuluk tidak sah; karena firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya"; artinya: janganlah kamu menyusahkan mereka dalam pergaulan agar dia meninggalkan sebagian atau seluruh mahar yang telah kamu berikan atau meninggalkan hak dari hak-haknya yang menjadi kewajibanmu;
إِلَّا إِذَا كَانَ عَضْلُهُ لَهَا فِي تِلْكَ الْحَالِ لِكَوْنِهَا غَيْرَ عَفِيفَةٍ مِنَ الزِّنَى، فَفَعَلَ ذَلِكَ لِيَسْتَرْجِعَ مِنْهَا الصَّدَاقَ الَّذِي أَعْطَاهَا؛ جَازَ لَهُ ذَلِكَ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ﴾؛ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي مَعْنَى الْآيَةِ: "هَذَا فِي الرَّجُلِ تَكُونُ لَهُ الْمَرْأَةُ، وَهُوَ كَارِهٌ لِصُحْبَتِهَا، وَلَهَا عَلَيْهِ مَهْرٌ، فَيُضَارُّهَا لِتَفْتَدِيَ بِهِ، فَنَهَى تَعَالَى عَنْ ذَلِكَ، ثُمَّ قَالَ: ﴿إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ﴾؛ يَعْنِي: الزِّنَى؛ فَلَهُ أَنْ يَسْتَرْجِعَ مِنْهَا الصَّدَاقَ الَّذِي أَعْطَاهَا، وَيُضَاجِرَهَا حَتَّى تَتْرُكَهُ لَهُ، وَيُخَالِعَهَا".
kecuali jika kesulitannya terhadapnya pada saat itu karena dia tidak menjaga diri dari zina, maka dia melakukan hal itu untuk mengambil kembali mahar yang telah dia berikan kepadanya; itu diperbolehkan baginya; karena firman Allah Ta'ala: "kecuali mereka melakukan perbuatan keji yang nyata"; Ibnu Abbas berkata tentang makna ayat ini: "Ini tentang seorang laki-laki yang memiliki seorang wanita, dan dia tidak menyukai pergaulannya, dan dia memiliki mahar atasnya, lalu dia menyusahkannya agar dia menebus dirinya dengan mahar itu, maka Allah melarang hal itu, kemudian berfirman: "kecuali mereka melakukan perbuatan keji yang nyata"; artinya: zina; maka dia boleh mengambil kembali mahar yang telah dia berikan kepadanya, dan menyusahkannya hingga dia meninggalkannya untuknya, dan melakukan khuluk dengannya".
وَالدَّلِيلُ عَلَى جَوَازِ الْمُخَالَعَةِ عِنْدَ حُصُولِ السَّبَبِ الْمُسَوِّغِ لَهَا: الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ.
Dan dalil atas bolehnya khuluk ketika adanya sebab yang membolehkannya: Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijmak.
أَمَّا الْكِتَابُ؛ فَالْآيَةُ الَّتِي أَسْلَفْنَا تِلَاوَتَهَا، وَهِيَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ﴾ .
Adapun Al-Kitab; maka ayat yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu firman Allah Ta'ala: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya".
وَأَمَّا السُّنَّةُ؛ فَفِي "الصَّحِيحِ" أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ ﵁ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! مَا أَعِيبُ مِنْ دِينٍ وَلَا خُلُقٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ "أَيْ: كُفْرَانَ الْعَشِيرِ الْمَنْهِيَّ عَنْهُ وَالتَّقْصِيرَ فِيمَا يَجِبُ لَهُ بِسَبَبِ شِدَّةِ الْبُغْضِ لَهُ"، فَقَالَ لَهَا الرَّسُولُ ﷺ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ "
Adapun As-Sunnah; maka dalam "Ash-Shahih" bahwa istri Tsabit bin Qais ﵁ berkata: Wahai Rasulullah! Aku tidak mencela agama dan akhlaknya, tetapi aku membenci kekufuran dalam Islam "yaitu: mengingkari pasangan yang dilarang dan kekurangan dalam apa yang wajib baginya karena kebencian yang sangat kepadanya", maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: "Apakah engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?"
قَالَتْ: نَعَمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَقْبَلِ الحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً" وَأَمَرَهُ بِفِرَاقِهَا. رَوَاهُ البُخَارِيُّ.
Dia berkata: Ya, maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Terimalah kebun itu dan ceraikan dia dengan satu talak" dan memerintahkannya untuk menceraikannya. Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
وَأَمَّا الإِجْمَاعُ؛ فَقَدْ قَالَ ابْنُ عَبْدِ البَرِّ: "لَا نَعْلَمُ أَحَدًا خَالَفَ فِي ذَلِكَ إِلَّا المُزَنِيَّ؛ فَإِنَّهُ زَعَمَ أَنَّ الآيَةَ مَنْسُوخَةٌ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا﴾ ".
Adapun ijma'; Ibnu Abdul Barr berkata: "Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal itu kecuali al-Muzani; dia mengklaim bahwa ayat itu dihapus dengan firman Allah Ta'ala: ﴿Dan jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun﴾ ".
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الخُلْعِ: بَذْلُ عِوَضٍ مِمَّنْ يَصِحُّ تَبَرُّعُهُ، وَأَنْ يَكُونَ صَادِرًا مِنْ زَوْجٍ يَصِحُّ طَلَاقُهُ، وَأَنْ لَا يَعْضُلَهَا بِغَيْرِ حَقٍّ حَتَّى تَبْذُلَهُ، وَأَنْ يَكُونَ بِلَفْظِ الخُلْعِ، أَمَّا كَانَ بِلَفْظِ الطَّلَاقِ، أَوْ بِلَفْظِ كِنَايَةِ الطَّلَاقِ مَعَ نِيَّتِهِ؛ فَهُوَ طَلَاقٌ، وَلَا يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا، لَكِنْ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا بِعَقْدٍ جَدِيدٍ، وَلَوْ لَمْ تَنْكِحْ زَوْجًا غَيْرَهُ، إِذَا لَمْ يَسْبِقْهُ مِنَ الطَّلَاقِ مَا يَصِيرُ بِهِ ثَلَاثًا، أَمَّا إِنْ وَقَعَ بِلَفْظِ الخُلْعِ أَوِ الفَسْخِ أَوِ الفِدَاءِ، وَلَمْ يَنْوِهِ طَلَاقًا؛ كَانَ فَسْخًا، لَا يَنْقُصُ بِهِ عَدَدُ الطَّلَاقِ، وَرَدَّ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ﵄، وَاحْتَجَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ﴾، ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: ﴿فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ﴾، ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ﴾؛ فَذَكَرَ تَطْلِيقَتَيْنِ، ثُمَّ ذَكَرَ الخُلْعَ، ثُمَّ ذَكَرَ تَطْلِيقَةً بَعْدَهُ، فَلَوْ كَانَ الخُلْعُ طَلَاقًا؛ لَكَانَ رَابِعًا، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Disyaratkan untuk sahnya khuluk: memberikan ganti rugi dari orang yang sah tabarru'nya, dan bahwa itu berasal dari suami yang sah talaknya, dan bahwa dia tidak menghalanginya tanpa hak sampai dia memberikannya, dan bahwa itu dengan lafaz khuluk. Adapun jika dengan lafaz talak, atau dengan lafaz kinayah talak disertai niatnya; maka itu adalah talak, dan dia tidak memiliki hak rujuk kepadanya, tetapi dia boleh menikahinya dengan akad baru, meskipun dia belum menikah dengan suami lain, jika belum didahului oleh talak yang menjadikannya tiga. Adapun jika terjadi dengan lafaz khuluk atau fasakh atau fidak, dan dia tidak meniatkannya sebagai talak; maka itu adalah fasakh, tidak mengurangi jumlah talak, dan itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas ﵄, dan dia berdalil dengan firman Allah Ta'ala: ﴿Talak (yang dapat dirujuki) dua kali﴾, kemudian Allah Ta'ala berfirman: ﴿Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya﴾, kemudian Allah Ta'ala berfirman: ﴿Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain﴾; maka Dia menyebutkan dua talak, kemudian menyebutkan khuluk, kemudian menyebutkan satu talak setelahnya, seandainya khuluk itu talak; tentu menjadi yang keempat, dan Allah lebih mengetahui.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الطَّلَاقِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الطَّلَاقِ
Bab tentang hukum-hukum talak
الطَّلَاقُ فِي اللُّغَةِ: التَّخْلِيَةُ، يُقَالُ: طَلَقْتُ النَّاقَةَ: إِذَا سَرَّحْتُ حَيْثُ شَاءَتْ. وَمَعْنَاهُ شَرْعًا: حَلُّ قَيْدِ النِّكَاحِ أَوْ بَعْضِهِ.
Talak secara bahasa berarti melepaskan. Dikatakan, "Aku melepaskan unta," jika aku melepaskannya ke mana pun ia mau. Secara syariat, maknanya adalah melepaskan ikatan pernikahan atau sebagiannya.
وَأَمَّا حُكْمُهُ: فَهُوَ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الظُّرُوفِ وَالْأَحْوَالِ:
Adapun hukumnya, maka ia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan kondisi:
تَارَةً يَكُونُ مُبَاحًا، وَتَارَةً يَكُونُ مَكْرُوهًا، وَتَارَةً يَكُونُ مُسْتَحَبًّا، وَتَارَةً يَكُونُ وَاجِبًا، وَتَارَةً يَكُونُ حَرَامًا، فَتَأْتِي عَلَيْهِ الْأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ.
Terkadang hukumnya mubah, terkadang makruh, terkadang mustahab (dianjurkan), terkadang wajib, dan terkadang haram. Jadi, talak mencakup lima hukum tersebut.
فَيَكُونُ مُبَاحًا إِذَا احْتَاجَ إِلَيْهِ الزَّوْجُ؛ لِسُوءِ خُلُقِ الْمَرْأَةِ، وَالتَّضَرُّرِ بِهَا، مَعَ عَدَمِ حُصُولِ الْغَرَضِ مِنَ الزَّوَاجِ مَعَ الْبَقَاءِ عَلَيْهِ.
Hukumnya mubah jika suami membutuhkannya karena buruknya akhlak istri dan merasa dirugikan olehnya, serta tidak tercapainya tujuan pernikahan jika tetap bersamanya.
وَيُكْرَهُ الطَّلَاقُ إِذَا كَانَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ؛ بِأَنْ كَانَتْ حَالُ الزَّوْجَيْنِ مُسْتَقِيمَةً، وَعِنْدَ بَعْضِ الْأَئِمَّةِ يَحْرُمُ فِي هَذِهِ الْحَالِ؛ لِلْحَدِيثِ: "أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ.
Talak hukumnya makruh jika dilakukan tanpa ada kebutuhan, yaitu jika keadaan suami-istri baik-baik saja. Menurut sebagian imam, talak hukumnya haram dalam kondisi ini, berdasarkan hadits, "Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak," diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan para perawinya tsiqah (terpercaya).
فَسَمَّاهُ النَّبِيُّ ﷺ فِي هَذَا الْحَدِيثِ حَلَالًا، مَعَ كَوْنِهِ مَبْغُوضًا عِنْدَ اللهِ، فَدَلَّ عَلَى كَرَاهَتِهِ فِي تِلْكَ الْحَالِ مَعَ إِبَاحَتِهِ،
Nabi ﷺ menyebutnya halal dalam hadits ini, meskipun ia dibenci di sisi Allah. Ini menunjukkan bahwa talak hukumnya makruh dalam kondisi tersebut meskipun dibolehkan.
وَوَجْهُ كَرَاهَتِهِ: أَنَّ فِيهِ إِزَالَةً لِلنِّكَاحِ الْمُشْتَمِلِ عَلَى الْمَصَالِحِ الْمَطْلُوبَةِ شَرْعًا.
Alasan ketidaksukaannya adalah bahwa di dalamnya terdapat penghapusan pernikahan yang mencakup kemaslahatan yang diinginkan secara syariat.
وَيُسْتَحَبُّ الطَّلَاقُ فِي حَالِ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ بِحَيْثُ يَكُونُ فِي الْبَقَاءِ عَلَى الزَّوْجِيَّةِ ضَرَرٌ عَلَى الزَّوْجَةِ؛ كَمَا فِي حَالِ الشِّقَاقِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الزَّوْجِ، وَفِي حَالِ كَرَاهَتِهَا لَهُ؛ فَإِنَّ فِي بَقَاءِ النِّكَاحِ مَعَ هَذِهِ الْحَالِ ضَرَرًا عَلَى الزَّوْجَةِ، وَالنَّبِيُّ ﷺ يَقُولُ: "لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ".
Talak dianjurkan dalam keadaan membutuhkannya, di mana tetap dalam pernikahan akan merugikan istri; seperti dalam keadaan perselisihan antara dia dan suaminya, dan dalam keadaan dia membencinya; karena mempertahankan pernikahan dalam keadaan ini merugikan istri, dan Nabi ﷺ bersabda: "Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan."
وَيَجِبُ الطَّلَاقُ عَلَى الزَّوْجِ إِذَا كَانَتِ الزَّوْجَةُ غَيْرَ مُسْتَقِيمَةٍ فِي دِينِهَا؛ كَمَا إِذَا كَانَتْ تَتْرُكُ الصَّلَاةَ أَوْ تُؤَخِّرُهَا عَنْ وَقْتِهَا، وَلَمْ يَسْتَطِعْ تَقْوِيمَهَا، أَوْ كَانَتْ غَيْرَ نَزِيهَةٍ فِي عِرْضِهَا؛ فَيَجِبُ عَلَيْهِ طَلَاقُهَا فِي تِلْكَ الْحَالِ عَلَى أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ.
Suami wajib menceraikan istrinya jika istrinya tidak lurus dalam agamanya; seperti jika dia meninggalkan shalat atau menundanya dari waktunya, dan dia tidak dapat meluruskannya, atau jika dia tidak bersih dalam kehormatannya; maka dia wajib menceraikannya dalam keadaan itu menurut pendapat yang paling sahih.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "إِذَا كَانَتْ تَزْنِي؛ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُمْسِكَهَا عَلَى تِلْكَ الْحَالِ، وَإِلَّا؛ كَانَ دَيُّوثًا".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Jika dia berzina; dia tidak boleh menahannya dalam keadaan itu, jika tidak; dia menjadi dayuts."
وَكَذَا إِذَا كَانَ الزَّوْجُ غَيْرَ مُسْتَقِيمٍ فِي دِينِهِ؛ وَجَبَ عَلَى الزَّوْجَةِ طَلَبُ الطَّلَاقِ مِنْهُ، أَوْ مُفَارَقَتُهُ بِخُلْعٍ وَفِدْيَةٍ، وَلَا مَعَهُ وَهُوَ مُضَيِّعٌ لِدِينِهِ.
Demikian pula jika suami tidak lurus dalam agamanya; istri wajib meminta cerai darinya, atau berpisah darinya dengan khulu' dan tebusan, dan tidak bersamanya sementara dia menyia-nyiakan agamanya.
وَكَذَا يَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ الطَّلَاقُ إِذَا آلَى مِنْ زَوْجَتِهِ؛ بِأَنْ حَلَفَ عَلَى تَرْكِ وَطْئِهَا، وَمَضَتْ عَلَيْهِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ، وَأَبَى أَنْ يَطَأَهَا وَيُكَفِّرَ عَنْ يَمِينِهِ، بَلِ اسْتَمَرَّ عَلَى الِامْتِنَاعِ عَنْ وَطْئِهَا؛ فَإِنَّهُ حِينَئِذٍ يَجِبُ عَلَيْهِ طَلَاقُهَا، وَيُجْبَرُ عَلَيْهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾.
Demikian pula, suami wajib menceraikan istrinya jika dia bersumpah untuk meninggalkan jima' dengannya, dan telah berlalu empat bulan, dan dia menolak untuk menjima'nya dan membayar kafarat atas sumpahnya, bahkan terus menahan diri dari menjima'nya; maka pada saat itu dia wajib menceraikannya, dan dipaksa untuk melakukannya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
وَيَحْرُمُ الطَّلَاقُ عَلَى الزَّوْجِ فِي حَالِ حَيْضِ الزَّوْجَةِ وَنِفَاسِهَا وَفِي طُهْرٍ وَطِئَهَا فِيهِ وَلَمْ يَتَبَيَّنْ حَمْلُهَا، وَكَذَا إِذَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، وَيَأْتِي هَذَا إِنْ شَاءَ اللهُ.
Haram bagi suami untuk menceraikan istrinya saat haid, nifas, atau dalam keadaan suci di mana ia telah menyetubuhinya dan belum jelas kehamilannya, begitu pula jika ia menceraikannya tiga kali. Ini akan dijelaskan nanti insya Allah.
وَدَلِيلُ مَشْرُوعِيَّةِ الطَّلَاقِ الكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ:
Dalil disyariatkannya talak adalah Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma':
قَالَ تَعَالَى: ﴿الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ﴾ .
Allah Ta'ala berfirman: "Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali", dan Allah Ta'ala berfirman: "Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)".
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِنَّمَا الطَّلَاقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَلِغَيْرِهِ مِنَ الْأَحَادِيثِ.
Nabi ﷺ bersabda: "Sesungguhnya talak itu bagi orang yang memegang betis (istri)", diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni, dan hadits-hadits lainnya.
وَقَدْ حَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الطَّلَاقِ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ.
Ijma' tentang disyariatkannya talak telah diceritakan oleh banyak ulama.
وَالْحِكْمَةُ فِيهِ ظَاهِرَةٌ، وَهُوَ مِنْ مَحَاسِنِ هَذَا الدِّينِ الْإِسْلَامِيِّ الْعَظِيمِ؛ فَإِنَّ فِيهِ حَلًّا لِلْمُشْكِلَةِ الزَّوْجِيَّةِ عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا﴾ .
Hikmahnya jelas, dan itu termasuk kebaikan agama Islam yang agung ini; karena di dalamnya terdapat solusi untuk masalah pernikahan ketika dibutuhkan; Allah Ta'ala berfirman: "Maka rujuklah dengan cara yang ma'ruf atau lepaskanlah dengan cara yang baik", dan Allah Ta'ala berfirman: "Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari keluasan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana".
فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ مَصْلَحَةٌ فِي الْبَقَاءِ عَلَى الزَّوْجِيَّةِ، أَوْ حَصَلَ الضَّرَرُ عَلَى الزَّوْجَةِ فِي الْبَقَاءِ مَعَ الرَّجُلِ، أَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا فَاسِدَ الْأَخْلَاقِ غَيْرَ مُسْتَقِيمٍ فِي دِينِهِ؛ فَفِي الطَّلَاقِ فَرَجٌ وَمَخْرَجٌ.
Jika tidak ada maslahat dalam mempertahankan pernikahan, atau terjadi mudharat pada istri jika tetap bersama suami, atau salah satu dari keduanya rusak akhlaknya dan tidak lurus agamanya; maka dalam talak terdapat jalan keluar dan solusi.
وَكَمْ تُعَانِي الْمُجْتَمَعَاتُ الَّتِي تَمْنَعُ الطَّلَاقَ مِنَ الْوَيْلَاتِ وَالْمَفَاسِدِ وَالِانْتِحَارَاتِ وَفَسَادِ الْأُسَرِ؛ العَظِيمُ أَبَاحَ الطَّلَاقَ وَوَضَعَ لَهُ ضَوَابِطَ تَحَقَّقَ بِهَا الْمَصْلَحَةُ وَتَنْدَفِعُ بِهَا الْمَفْسَدَةُ شَأْنُهُ فِي كُلِّ تَشْرِيعَاتِهِ الْعَظِيمَةِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى الْمَصَالِحِ الْعَاجِلَةِ وَالْآجِلَةِ، فَالْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ.
Dan betapa menderitanya masyarakat yang melarang perceraian dari bencana, kerusakan, bunuh diri, dan kehancuran keluarga; Yang Maha Agung membolehkan perceraian dan menetapkan aturan-aturan yang dengannya kemaslahatan terwujud dan kerusakan tertolak, sebagaimana dalam semua syariat-Nya yang agung yang mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat, maka segala puji bagi Allah atas karunia dan kebaikan-Nya.
وَأَمَّا مَنْ يَصِحُّ مِنْهُ إِيقَاعُ الطَّلَاقِ؛ فَهُوَ الزَّوْجُ الْمُمَيِّزُ الْمُخْتَارُ الَّذِي يَعْقِلُهُ، أَوْ وَكِيلُهُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّمَا الطَّلَاقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ".
Adapun orang yang sah menjatuhkan talak adalah suami yang telah mumayyiz, memiliki pilihan, dan berakal, atau wakilnya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Hanya talak bagi orang yang memegang betis (istri)."
وَأَمَّا مَنْ زَالَ عَقْلُهُ وَهُوَ مَعْذُورٌ فِي ذَلِكَ؛ كَالْمَجْنُونِ، وَالْمُغْمَى عَلَيْهِ، وَالنَّائِمِ، وَمَنْ أَصَابَهُ مَرَضٌ أَزَالَ شُعُورَهُ؛ كَالْبِرْسَامِ، وَمَنْ أُكْرِهَ عَلَى شُرْبِ مُسْكِرٍ، أَوْ أَخَذَ بَنْجًا وَنَحْوَهُ لِتَدَاوٍ؛ فَكُلُّ هَؤُلَاءِ لَا يَقَعُ طَلَاقُهُمْ إِذَا تَلَفَّظُوا بِهِ فِي حَالِ زَوَالِ الْعَقْلِ بِسَبَبٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ؛ لِقَوْلِ عَلِيٍّ ﵁: "كُلُّ الطَّلَاقِ جَائِزٌ؛ إِلَّا طَلَاقَ الْمَعْتُوهِ"، ذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ فِي "صَحِيحِهِ"، وَلِأَنَّ الْعَقْلَ هُوَ مَنَاطُ الْأَحْكَامِ.
Adapun orang yang akalnya hilang dan dia memiliki udzur dalam hal itu, seperti orang gila, orang yang pingsan, orang yang tidur, orang yang terkena penyakit yang menghilangkan kesadarannya seperti demam otak, orang yang dipaksa minum minuman memabukkan, atau orang yang mengonsumsi bius dan sejenisnya untuk pengobatan; maka talak mereka semua tidak jatuh jika mereka mengucapkannya dalam keadaan hilang akal karena salah satu sebab ini; berdasarkan perkataan Ali ﵁: "Setiap talak dibolehkan kecuali talaknya orang yang kurang akal," disebutkan oleh Al-Bukhari dalam "Shahih"-nya, dan karena akal adalah dasar hukum.
وَأَمَّا إِنْ زَالَ عَقْلُهُ بِتَعَاطِيهِ مُسْكِرًا، وَكَانَ ذَلِكَ بِاخْتِيَارِهِ، ثُمَّ طَلَّقَ فِي هَذِهِ الْحَالِ؛ فَفِي وُقُوعِ طَلَاقِهِ خِلَافٌ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَقَعُ، وَهُوَ قَوْلُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَجَمْعٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ.
Adapun jika akalnya hilang karena mengonsumsi minuman memabukkan, dan itu atas pilihannya sendiri, kemudian dia menjatuhkan talak dalam keadaan ini; maka tentang jatuhnya talaknya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam dua pendapat: salah satunya adalah talaknya jatuh, dan ini pendapat empat imam mazhab serta sekelompok ulama.
وَإِنْ أُكْرِهَ عَلَى الطَّلَاقِ ظُلْمًا، فَطَلَّقَ لِرَفْعِ الْإِكْرَاهِ وَالظُّلْمِ؛ لَمْ يَقَعْ
Jika dia dipaksa untuk menjatuhkan talak secara zalim, lalu dia menjatuhkan talak untuk menghilangkan paksaan dan kezaliman tersebut, maka talaknya tidak jatuh.
طَلَاقُهُ؛ لِحَدِيثِ: "لَا طَلَاقَ وَلَا عِتَاقَ فِي إِغْلَاقٍ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ، وَالْإِغْلَاقُ: الْإِكْرَاهُ، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ﴾، وَالْكُفْرُ أَعْظَمُ مِنَ الطَّلَاقِ، وَقَدْ عُفِيَ عَنِ الْمُكْرَهِ عَلَيْهِ؛ فَالطَّلَاقُ مِنْ بَابِ أَوْلَى، فَإِنَّ الْإِكْرَاهَ عَلَى الطَّلَاقِ بِحَقِّ الْمُؤَلِّي إِذَا أَبَى الْفَيْئَةَ؛ وَقَعَ طَلَاقُهُ.
Talaknya; karena hadits: "Tidak ada talak dan tidak ada pembebasan dalam keadaan terpaksa", diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah, dan al-ighlaq berarti pemaksaan, dan firman Allah Ta'ala: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)", dan kekufuran lebih besar daripada talak, dan telah dimaafkan orang yang dipaksa atasnya; maka talak lebih utama, karena pemaksaan atas talak dengan hak orang yang bersumpah ila' jika dia enggan kembali; maka terjadilah talaknya.
وَيَقَعُ الطَّلَاقُ مِنَ الْغَضْبَانِ الَّذِي يَتَصَوَّرُ مَا يَقُولُ، أَمَّا الْغَضْبَانُ الَّذِي أَخَذَهُ الْغَضَبُ، فَلَمْ يَدْرِ مَا يَقُولُ؛ فَإِنَّهُ لَا يَقَعُ طَلَاقُهُ.
Dan terjadi talak dari orang yang marah yang membayangkan apa yang dia katakan, adapun orang yang marah yang diambil oleh kemarahan, maka dia tidak tahu apa yang dia katakan; maka tidak terjadi talaknya.
وَيَقَعُ الطَّلَاقُ مِنَ الْهَازِلِ؛ لِأَنَّهُ قَصَدَ التَّكَلُّمَ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ إِيقَاعَهُ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
Dan terjadi talak dari orang yang bercanda; karena dia bermaksud mengucapkannya, meskipun dia tidak bermaksud menjatuhkannya. Dan Allah lebih mengetahui.
بَابٌ فِي الطَّلَاقِ السُّنِّيِّ وَالطَّلَاقِ الْبِدْعِيِّ
الطَّلَاقُ السُّنِّيُّ هُوَ: الطَّلَاقُ الَّذِي وَقَعَ عَلَى الوَجْهِ المَشْرُوعِ الَّذِي شَرَعَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، وَذَلِكَ بِأَنْ يُطَلِّقَهَا وَاحِدَةً فِي طُهْرٍ لَمْ يُجَامِعْهَا فِيهِ وَيَتْرُكَهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا؛ فَهَذَا طَلَاقٌ سُنِّيٌّ مِنْ جِهَةِ العَدَدِ؛ بِحَيْثُ إِنَّهُ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً ثُمَّ تَرَكَهَا حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، وَسُنِّيٌّ مِنْ جِهَةِ الوَقْتِ؛ حَيْثُ إِنَّهُ طَلَّقَهَا فِي طَاهِرٍ لَمْ يُصِبْهَا فِيهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ﴾
Talak sunni adalah: Talak yang terjadi sesuai dengan cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu dengan mentalaknya satu kali pada masa suci yang tidak dijimanya, dan membiarkannya hingga selesai masa iddahnya. Ini adalah talak sunni dari segi bilangan; di mana ia mentalaknya satu kali kemudian membiarkannya hingga selesai masa iddahnya, dan sunni dari segi waktu; di mana ia mentalaknya pada masa suci yang tidak dijimanya, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)"
قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ ﵁ فِي مَعْنَى الآيَةِ الكَرِيمَةِ: "يَعْنِي طَاهِرَاتٍ مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ"، وَقَالَ عَلِيٌّ ﵁: "لَوْ أَنَّ النَّاسَ أَخَذُوا بِمَا أَمَرَ اللهُ بِهِ مِنَ الطَّلَاقِ؛ مَا أَتْبَعَ رَجُلٌ نَفْسَهُ امْرَأَةً أَبَدًا؛ يُطَلِّقُهَا تَطْلِيقَةً، ثُمَّ يَدَعُهَا مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ أَنْ تَحِيضَ ثَلَاثًا، فَإِنْ شَاءَ؛ رَاجَعَهَا"؛ يَعْنِي: مَا دَامَتْ فِي العِدَّةِ، وَذَلِكَ أَنَّ اللهَ أَعْطَى المُطَلَّقَ فُرْصَةً يَتَمَكَّنُ فِيهَا مِنْ مُرَاجَعَةِ زَوْجَتِهِ إِذَا نَدِمَ عَلَى طَلَاقِهَا، وَهُوَ لَمْ يَسْتَغْرِقْ مَا لَهُ مِنْ عَدَدٍ
Ibnu Mas'ud ﵁ berkata tentang makna ayat yang mulia ini: "Maksudnya dalam keadaan suci tanpa jimak". Ali ﵁ berkata: "Seandainya orang-orang mengambil apa yang Allah perintahkan tentang talak; seorang laki-laki tidak akan pernah mengikuti dirinya dengan seorang wanita selamanya; ia mentalaknya satu kali, kemudian membiarkannya antara dia dan haidnya tiga kali, jika ia mau, ia dapat merujuknya"; maksudnya: selama ia masih dalam masa iddah. Hal itu karena Allah memberi kesempatan kepada suami yang mentalak untuk dapat merujuk istrinya jika ia menyesal atas talaknya, dan ia belum menggunakan semua jumlah (talak) yang ia miliki.
الطَّلَاقُ، وَهِيَ لَا تَزَالُ فِي الْعِدَّةِ، فَإِذَا اسْتَفَدَ مَا لَهُ مِنْ عَدَدِ الطَّلَاقِ؛ فَقَدْ أَغْلَقَ عَنْ نَفْسِهِ بَابَ الرَّجْعَةِ.
Talak, dan dia masih dalam masa 'iddah, jika dia telah menggunakan semua jumlah talak yang dia miliki; maka dia telah menutup pintu rujuk untuk dirinya sendiri.
وَالطَّلَاقُ الْبِدْعِيُّ هُوَ: الَّذِي يُوقِعُهُ صَاحِبُهُ عَلَى الْوَجْهِ الْمُحَرَّمِ، وَذَلِكَ بِأَنْ يُطَلِّقَهَا ثَلَاثًا بِلَفْظٍ وَاحِدٍ، أَوْ يُطَلِّقَهَا وَهِيَ حَائِضٌ أَوْ نُفَسَاءُ، أَوْ يُطَلِّقَهَا فِي طُهْرٍ وَطِئَهَا فِيهِ وَلَمْ يَتَبَيَّنْ حَمْلُهَا، وَالنَّوْعُ الْأَوَّلُ يُسَمَّى بِدْعِيٍّ فِي الْعَدَدِ، وَالنَّوْعُ الثَّانِي بِدْعِيًّا فِي الْوَقْتِ.
Talak bid'i adalah: talak yang dijatuhkan oleh suami dengan cara yang diharamkan, yaitu dengan mentalaknya tiga kali dengan satu lafaz, atau mentalaknya saat dia sedang haid atau nifas, atau mentalaknya dalam keadaan suci di mana dia telah menyetubuhinya dan belum jelas kehamilannya, jenis pertama disebut bid'i dalam jumlah, dan jenis kedua disebut bid'i dalam waktu.
وَالْبِدْعِيُّ فِي الْعَدَدِ يُحَرِّمُهَا عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ طَلَّقَهَا﴾، يَعْنِي: الثَّالِثَةَ: ﴿فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ﴾
Talak bid'i dalam jumlah mengharamkan wanita itu baginya sampai dia menikah dengan suami lain; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua)," maksudnya: yang ketiga, "maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain."
وَالْبِدْعِيُّ فِي الْوَقْتِ يُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا مِنْهُ، لِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ ﵄: أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلِّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمُرَاجَعَتِهَا رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ، وَإِذَا رَاجَعَهَا وَجَبَ عَلَيْهِ إِمْسَاكُهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ طَلَّقَهَا
Adapun talak bid'i dalam waktu, dianjurkan baginya untuk merujuknya, berdasarkan hadits Ibnu Umar ﵄: bahwa dia mentalak istrinya saat sedang haid, maka Nabi ﷺ memerintahkannya untuk merujuknya, diriwayatkan oleh Jama'ah, dan jika dia merujuknya, wajib baginya untuk menahannya sampai dia suci kemudian jika dia mau, dia boleh mentalaknya.
وَيَحْرُمُ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يُطَلِّقَ طَلَاقًا ثَلَاثًا، سَوَاءٌ فِي الْعَدَدِ أَوِ الْوَقْتِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ﴾، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ﴾؛ أَيْ: طَاهِرَاتٍ مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ. وَلَمَّا بَلَغَ
Haram bagi suami untuk menjatuhkan talak tiga, baik dalam jumlah maupun waktu; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik," dan firman-Nya: "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)"; yaitu: dalam keadaan suci tanpa jima'. Dan ketika sampai
النَّبِيَّ ﷺ أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا؛ قَالَ: "أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟! "، وَكَانَ عُمَرُ إِذَا أُتِيَ بِرَجُلٍ طَلَّقَ ثَلَاثًا؛ أَوْجَعَهُ ضَرْبًا، وَلَمَّا ذُكِرَ لِلنَّبِيِّ ﷺ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ؛ تَغَيَّظَ، وَأَمَرَهُ بِمُرَاجَعَتِهَا.
Nabi ﷺ bahwa seorang pria menceraikan istrinya tiga kali; beliau bersabda: "Apakah Kitab Allah dipermainkan sementara aku berada di antara kalian?!" Dan Umar, jika didatangi seorang pria yang menceraikan tiga kali, dia akan memukulnya dengan keras. Dan ketika disebutkan kepada Nabi ﷺ bahwa Ibnu Umar menceraikan istrinya saat dia sedang haid, beliau marah dan memerintahkannya untuk merujuknya kembali.
كُلُّ ذَلِكَ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ التَّقَيُّدِ بِأَحْكَامِ الطَّلَاقِ عَدَدًا وَوَقْتًا، وَتَجَنُّبِ الطَّلَاقِ الْمُحَرَّمِ فِي الْعَدَدِ أَوِ الْوَقْتِ، وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنَ الرِّجَالِ لَا يَفْقَهُونَ ذَلِكَ، أَوْ لَا يَهْتَمُّونَ بِهِ، فَيَقَعُونَ فِي الْحَرَجِ وَالنَّدَامَةِ، وَيَلْتَمِسُونَ بَعْدَ ذَلِكَ الْمَخَارِجَ مِمَّا وَقَعُوا فِيهِ، وَيُحْرِجُونَ الْمُفْتِينَ، وَكُلُّ ذَلِكَ مِنْ جَرَّاءِ التَّلَاعُبِ بِكِتَابِ اللهِ.
Semua itu menunjukkan kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum talak dalam jumlah dan waktunya, serta menghindari talak yang diharamkan dalam jumlah atau waktunya. Namun, banyak laki-laki yang tidak memahami hal itu, atau tidak peduli dengannya, sehingga mereka jatuh dalam kesulitan dan penyesalan. Setelah itu, mereka mencari jalan keluar dari apa yang mereka alami, dan mereka mempersulit para mufti. Semua itu akibat mempermainkan Kitab Allah.
وَبَعْضُ الرِّجَالِ يَجْعَلُ الطَّلَاقَ سِلَاحًا يُهَدِّدُ بِهِ زَوْجَتَهُ إِذَا أَرَادَ إِلْزَامَهَا بِشَيْءٍ أَوْ مَنْعَهَا مِنْ شَيْءٍ، وَبَعْضُهُمْ يَجْعَلُهُ مَحَلَّ الْيَمِينِ فِي تَعَامُلِهِ وَمُحَادَثَتِهِ مَعَ النَّاسِ؛ فَلْيَتَّقِ اللهَ هَؤُلَاءِ، وَيُبْعِدُوا عَنْ أَلْسِنَتِهِمُ التَّفَوُّهَ بِالطَّلَاقِ؛ إِلَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ، وَفِي وَقْتِهِ وَعَدَدِهِ الْمُحَدَّدَيْنِ.
Beberapa laki-laki menjadikan talak sebagai senjata untuk mengancam istrinya jika dia ingin memaksanya melakukan sesuatu atau mencegahnya dari sesuatu. Sebagian dari mereka menjadikannya sebagai tempat sumpah dalam interaksi dan percakapannya dengan orang-orang. Maka, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan menjauhkan lisan mereka dari mengucapkan talak, kecuali saat dibutuhkan, dan pada waktu serta jumlah yang telah ditentukan.
وَأَلْفَاظُ الطَّلَاقِ تَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ:
Lafaz-lafaz talak terbagi menjadi dua bagian:
الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: أَلْفَاظٌ صَرِيحَةٌ، وَهِيَ الْأَلْفَاظُ الْمَوْضُوعَةُ لَهُ، الَّتِي لَا تَحْتَمِلُ غَيْرَهُ، وَهِيَ لَفْظُ الطَّلَاقِ وَمَا تَصَرَّفَ مِنْهُ؛ مِنْ فِعْلٍ مَاضٍ
Bagian pertama: lafaz-lafaz yang jelas (sharih), yaitu lafaz-lafaz yang ditetapkan untuknya, yang tidak mengandung kemungkinan selainnya. Yaitu lafaz talak dan derivasinya, dari fi'il madhi.
الطَّلَاقُ لَهُ أَلْفَاظٌ صَرِيحَةٌ، وَأَلْفَاظٌ كِنَائِيَّةٌ، فَالصَّرِيحَةُ: هِيَ الَّتِي لَا تَحْتَمِلُ إِلَّا الطَّلَاقَ، وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَلْفَاظٍ: الطَّلَاقُ، وَالفِرَاقُ، وَالسَّرَاحُ، وَمَا اشْتُقَّ مِنْهَا؛ كَأَنْ يَقُولَ لِزَوْجَتِهِ: "طَلَّقْتُكِ"، وَاسْمُ فَاعِلٍ كَ "أَنْتِ طَالِقٌ"، وَاسْمُ الْمَفْعُولِ؛ كَأَنْ يَقُولَ: "أَنْتِ مُطَلَّقَةٌ"؛ دُونَ الْمُضَارِعِ وَالْأَمْرِ؛ مِثْلُ: "تُطَلِّقِينَ" وَ"اطْلِقِي"، وَاسْمُ الْفَاعِلِ مِنَ الرُّبَاعِيِّ؛ كَ "أَنْتِ مُطَلِّقَةٌ"؛ فَلَا يَقَعُ بِهَذِهِ الْأَلْفَاظِ الثَّلَاثَةِ طَلَاقٌ؛ لِأَنَّهَا لَا تَدُلُّ عَلَى الْإِيقَاعِ.
Talak memiliki lafaz yang sharih (jelas) dan lafaz kinayah (sindiran). Lafaz sharih adalah lafaz yang tidak mengandung makna selain talak, yaitu tiga lafaz: talak, firaq (perpisahan), dan sarah (pelepasan), serta derivasinya; seperti suami berkata kepada istrinya: "Aku mentalakmu", atau isim fa'il seperti "Engkau tertalak", dan isim maf'ul; seperti berkata: "Engkau ditalak"; bukan fi'il mudhari' dan amar; seperti: "Engkau mentalak" dan "Talakkan", serta isim fa'il dari fi'il ruba'i; seperti "Engkau mentalak"; maka tidak jatuh talak dengan ketiga lafaz ini; karena tidak menunjukkan jatuhnya talak.
الْقِسْمُ الثَّانِي: أَلْفَاظٌ كِنَائِيَّةٌ، وَهِيَ الْأَلْفَاظُ الَّتِي تَحْتَمِلُ الطَّلَاقَ وَغَيْرَهُ، كَأَنْ يَقُولَ لَهَا أَنْتِ خَلِيَّةٌ وَبَرِيَّةٌ وَبَائِنٌ، وَأَنْتِ حُرَّةٌ، أَوْ: اخْرُجِي وَالْحَقِي بِأَهْلِكِ ... وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ.
Bagian kedua: lafaz kinayah, yaitu lafaz yang mengandung kemungkinan talak dan selainnya, seperti suami berkata kepada istrinya engkau bebas, terlepas, terpisah, engkau merdeka, atau: keluarlah dan susullah keluargamu ... dan sejenisnya.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْأَلْفَاظِ الصَّرِيحَةِ وَأَلْفَاظِ الْكِنَايَةِ فِي الطَّلَاقِ:
Perbedaan antara lafaz sharih dan lafaz kinayah dalam talak:
أَنَّ الصَّرِيحَةَ يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ، وَلَوْ لَمْ يَنْوِهِ، سَوَاءٌ كَانَ جَادًّا أَوْ هَازِلًا أَوْ مَازِحًا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ، وَالطَّلَاقُ، وَالرَّجْعَةُ"، رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ.
Bahwa lafaz sharih menyebabkan jatuhnya talak, meskipun tidak diniatkan, baik dalam keadaan serius, bercanda, atau bermain-main; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Tiga perkara yang kesungguhannya dianggap serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, talak, dan rujuk", diriwayatkan oleh lima perawi kecuali An-Nasa'i.
وَأَمَّا الْكِنَايَةُ؛ فَلَا يَقَعُ بِهَا طَلَاقٌ؛ إِلَّا إِذَا نَوَاهُ نِيَّةً مُقَارِنَةً لِلَفْظِهِ؛ أَنَّ هَذِهِ الْأَلْفَاظَ تَحْتَمِلُ الطَّلَاقَ وَغَيْرَهُ مِنَ الْمَعَانِي؛ فَلَا تَتَعَيَّنُ لِلطَّلَاقِ إِلَّا بِنِيَّتِهِ، فَإِذَا لَمْ يَنْوِ بِهَا الطَّلَاقَ؛ لَمْ يَقَعْ؛ إِلَّا فِي ثَلَاثِ حَالَاتٍ:
Adapun lafaz kinayah; maka tidak menyebabkan jatuhnya talak; kecuali jika diniatkan bersamaan dengan pengucapannya; karena lafaz-lafaz ini mengandung kemungkinan talak dan makna lainnya; sehingga tidak khusus untuk talak kecuali dengan niatnya, jika tidak diniatkan talak dengannya; maka tidak jatuh talak; kecuali dalam tiga keadaan:
الْأُولَى: إِذَا تَلَفَّظَ بِالْكِنَايَةِ فِي حَالِ خُصُومَةٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَ زَوْجَتِهِ.
Pertama: Jika suami mengucapkan lafaz kinayah dalam keadaan bertengkar dengan istrinya.
الثَّانِيَةُ: إِذَا تَلَفَّظَ بِهَا فِي حَالِ غَضَبٍ.
Kedua: Jika dia mengucapkannya dalam keadaan marah.
الثَّالِثَةُ: إِذَا تَلَفَّظَ بِهَا فِي جَوَابِ سُؤَالِهَا لَهُ الطَّلَاقَ.
Ketiga: Jika dia mengucapkannya sebagai jawaban atas permintaan istrinya untuk ditalak.
فَفِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ يَقَعُ بِالْكِنَايَةِ طَلَاقٌ، وَلَوْ قَالَ: لَمْ أَنْوِ؛ لِأَنَّ الْقَرِينَةَ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ نَوَاهُ؛ فَلَا يُصَدَّقُ بِقَوْلِهِ: لَمْ أَنْوِهِ. وَاللهُ أَعْلَمُ.
Dalam keadaan-keadaan ini, talak jatuh dengan lafaz kinayah, meskipun suami berkata: aku tidak meniatkannya; karena qarinah (indikasi) menunjukkan bahwa dia meniatkannya; sehingga dia tidak dibenarkan dengan perkataannya: aku tidak meniatkannya. Wallahu a'lam.
وَيَجُوزُ لِلزَّوْجِ أَنْ يُوَكِّلَ مَنْ يُطَلِّقَ عَنْهُ، سَوَاءٌ كَانَ الوَكِيلُ أَجْنَبِيًّا أَوْ كَانَتِ الزَّوْجَةَ؛ فَيَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَهَا فِيهِ، وَيَجْعَلَ أَمْرَهَا بِيَدِهَا، فَيَقُومُ الوَكِيلُ مَقَامَهُ فِي الصَّرِيحِ وَالكِنَايَةِ وَالعَدَدِ، مَالَمْ يُحَدِّدْ لَهُ حَدًّا فِيهِ.
Suami boleh mewakilkan orang lain untuk menceraikan istrinya, baik wakil itu orang lain atau istrinya sendiri; maka boleh baginya untuk mewakilkan istrinya dalam hal itu, dan menjadikan urusannya di tangan istrinya, maka wakil itu menempati posisinya dalam hal ṣarīḥ, kināyah, dan bilangan, selama ia tidak membatasi batas tertentu padanya.
وَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ مِنْهُ وَلَا مِنْ وَكِيلِهِ إِلَّا بِالتَّلَفُّظِ بِهِ، فَلَوْ نَوَاهُ بِقَلْبِهِ؛ لَمْ يَقَعْ، حَتَّى يَتَلَفَّظَ وَيُحَرِّكَ لِسَانَهُ بِهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ"؛ فَلَا يَقَعُ الطَّلَاقُ إِلَّا بِالتَّلَفُّظِ بِهِ؛ إِلَّا فِي حَالَتَيْنِ:
Ṭalāq tidak terjadi darinya atau dari wakilnya kecuali dengan mengucapkannya, seandainya ia berniat dalam hatinya; maka tidak terjadi, hingga ia mengucapkan dan menggerakkan lisannya dengannya; karena sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya Allah memaafkan umatku atas apa yang terlintas dalam diri mereka selama mereka tidak mengamalkan atau mengucapkannya"; maka ṭalāq tidak terjadi kecuali dengan mengucapkannya; kecuali dalam dua keadaan:
الحَالَةُ الأُولَى: إِذَا كَتَبَ صَرِيحَ الطَّلَاقِ كِتَابَةً تُقْرَأُ، وَنَوَاهُ؛ وَقَعَ، وَإِنْ لَمْ يَنْوِهِ؛ فَعَلَى قَوْلَيْنِ، وَالَّذِي عَلَيْهِ الأَكْثَرُ أَنَّهُ يَقَعُ.
Keadaan pertama: Jika ia menulis ṣarīḥ ṭalāq secara tertulis yang dapat dibaca, dan ia meniatkannya; maka terjadi, dan jika ia tidak meniatkannya; maka ada dua pendapat, dan yang dipegang oleh mayoritas ulama adalah bahwa ṭalāq terjadi.
الحَالَةُ الثَّانِيَةُ: الَّتِي يَقَعُ فِيهَا الطَّلَاقُ بِدُونِ تَلَفُّظٍ إِشَارَةُ الأَخْرَسِ بِالطَّلَاقِ إِذَا كَانَتْ مَفْهُومَةً.
Keadaan kedua: Yang terjadi padanya ṭalāq tanpa pengucapan adalah isyarat orang bisu dengan ṭalāq jika isyaratnya dapat dipahami.
وَأَمَّا عَدَدُ الطَّلَاقِ؛ فَيُعْتَبَرُ بِالرِّجَالِ حُرِّيَّةً وَرِقًّا لَا بِالنِّسَاءِ؛ لِأَنَّ اللهَ خَاطَبَ بِهِ الرِّجَالَ خَاصَّةً؛ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ﴾، وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِنَّمَا الطَّلَاقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ"؛ فَيَمْلِكُ الحُرُّ
Adapun bilangan ṭalāq; maka dianggap berdasarkan laki-laki yang merdeka dan budak, bukan berdasarkan perempuan; karena Allah mengkhususkan khiṭāb-Nya kepada laki-laki; sebagaimana Allah ﷻ berfirman: "Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)", dan Allah ﷻ berfirman: "Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya", dan Nabi ﷺ bersabda: "Hanya ṭalāq bagi orang yang memegang betis (suami)"; maka laki-laki merdeka memiliki
ثَلَاثُ تَطْلِيقَاتٍ، وَإِنْ كَانَ تَحْتَهُ أَمَةٌ، وَيَمْلِكُ الْعَبْدُ تَطْلِيقَتَيْنِ، وَإِنْ كَانَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ؛ فَفِي حَالِ حُرِّيَّةِ الزَّوْجَيْنِ يَمْلِكُ الزَّوْجُ ثَلَاثَ ابْلَا خِلَافٍ، وَفِي حَالِ رِقِّ الزَّوْجَيْنِ يَمْلِكُ الزَّوْجُ طَلْقَتَيْنِ بِلَا خِلَافٍ، وَإِنَّمَا الْخِلَافُ فِيمَا إِذَا كَانَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ حُرًّا وَالْآخَرُ رَقِيقًا، وَالصَّحِيحُ أَنَّ الِاعْتِبَارَ بِحَالَةِ الزَّوْجِ حُرِّيَّةً وَرِقًّا كَمَا سَبَقَ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ حَقٌّ لِلزَّوْجِ؛ فَاعْتُبِرَ بِهِ.
Tiga talak, meskipun di bawahnya ada budak perempuan, dan seorang budak laki-laki memiliki dua talak, meskipun di bawahnya ada wanita merdeka; Dalam kasus kebebasan pasangan, suami memiliki tiga tanpa perselisihan, dan dalam kasus perbudakan pasangan, suami memiliki dua talak tanpa perselisihan, dan perselisihan hanya jika salah satu pasangan adalah orang bebas dan yang lainnya adalah budak, dan yang benar adalah bahwa pertimbangan adalah dengan kondisi suami dalam hal kebebasan dan perbudakan seperti yang disebutkan sebelumnya; karena perceraian adalah hak suami; maka dipertimbangkan dengannya.
وَيَجُوزُ الِاسْتِثْنَاءُ فِي الطَّلَاقِ، وَيُرَادُ بِهِ إِخْرَاجُ بَعْضِ الْجُمْلَةِ بِلَفْظِ "إِلَّا" أَوْ مَا يَقُومُ مَقَامَهَا.
Pengecualian dalam perceraian diperbolehkan, dan yang dimaksud dengannya adalah mengeluarkan sebagian kalimat dengan kata "kecuali" atau apa yang menggantikannya.
وَالِاسْتِثْنَاءُ هُنَا إِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ عَدَدِ الطَّلْقَاتِ؛ كَأَنْ يَقُولَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا وَاحِدَةً.
Pengecualian di sini bisa dari jumlah talak; seperti mengatakan: Kamu ditalak tiga kecuali satu.
وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ عَدَدِ الْمُطَلَّقَاتِ؛ كَأَنْ يَقُولَ: نِسَائِي طَوَالِقُ إِلَّا فَاطِمَةَ مَثَلًا.
Atau bisa juga dari jumlah wanita yang ditalak; seperti mengatakan: Istri-istriku ditalak kecuali Fatimah misalnya.
وَعَلَى كُلٍّ يُشْتَرَطُ لِصِحَّتِهِ فِي الْحَالَتَيْنِ أَنْ يَكُونَ الْمُسْتَثْنَى مِقْدَارَ نِصْفِ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ فَأَقَلَّ، فَإِنْ كَانَ الْمُسْتَثْنَى أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ، كَمَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا اثْنَتَيْنِ؛ لَمْ يَصِحَّ.
Dalam kedua kasus tersebut, disyaratkan untuk keabsahannya bahwa yang dikecualikan adalah setengah atau kurang dari yang dikecualikan darinya. Jika yang dikecualikan lebih dari setengah yang dikecualikan darinya, seperti jika dia mengatakan: Kamu ditalak tiga kecuali dua; maka tidak sah.
وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا التَّلَفُّظُ بِالِاسْتِثْنَاءِ إِذَا كَانَ مَوْضُوعُهُ الطَّلْقَاتِ، فَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا، وَنَوَى: إِلَّا وَاحِدَةً؛ وَقَعَتِ الثَّلَاثُ؛ لِأَنَّ الْعَدَدَ نَصٌّ فِيمَا يَتَنَاوَلُهُ؛ فَلَا يَرْتَفِعُ بِالنِّيَّةِ؛ لِأَنَّهُ أَقْوَى مِنْهَا، وَيَجُوزُ الِاسْتِثْنَاءُ بِالنِّيَّةِ مِنَ النِّسَاءِ، فَلَوْ قَالَ: نِسَائِي طَوَالِقُ، وَنَوَى: إِلَّا فُلَانَةَ؛ صَحَّ الِاسْتِثْنَاءُ؛ فَلَا تُطَلَّقُ مَنْ نَوَى اسْتِثْنَاءَهَا؛ لِأَنَّ لَفْظَةَ "نِسَائِي" تَصْلُحُ لِلْكُلِّ وَلِلْبَعْضِ؛ فَلَهُ مَا نَوَى.
Juga disyaratkan untuk mengucapkan pengecualian jika subjeknya adalah talak. Jika dia mengatakan: Kamu ditalak tiga, dan berniat: kecuali satu; maka jatuh tiga talak; karena bilangan adalah teks dalam apa yang dicakupnya; maka tidak terangkat dengan niat; karena itu lebih kuat darinya. Pengecualian dengan niat dari para wanita diperbolehkan. Jika dia mengatakan: Istri-istriku ditalak, dan berniat: kecuali si fulanah; maka pengecualian itu sah; sehingga wanita yang diniatkan untuk dikecualikan tidak ditalak; karena kata "istriku" cocok untuk semua dan untuk sebagian; maka dia mendapatkan apa yang dia niatkan.
وَيَجُوزُ تَعْلِيقُ الطَّلَاقِ بِالشُّرُوطِ، وَمَعْنَاهُ: تَرْتِيبُهُ عَلَى شَيْءٍ حَاصِلٍ أَوْ غَيْرِ حَاصِلٍ بِ"إِنْ" أَوْ إِحْدَى أَخَوَاتِهَا؛ كَأَنْ يَقُولَ: إِنْ دَخَلْتِ
Menggantungkan talak dengan syarat-syarat diperbolehkan, dan maknanya adalah: mengurutkannya pada sesuatu yang terjadi atau tidak terjadi dengan "jika" atau salah satu saudarinya; seperti mengatakan: Jika kamu masuk
الدَّارَ؛ فَأَنْتِ طَالِقٌ؛ فَقَدْ رَتَّبَ وُقُوعَ الطَّلَاقِ عَلَى حُصُولِهِ الشَّرْطَ، وَهُوَ دُخُولُ الدَّارِ، وَهَذَا هُوَ التَّعْلِيقُ.
Rumah; maka kamu tertalak; maka dia telah mengatur jatuhnya talak berdasarkan terpenuhinya syarat, yaitu memasuki rumah, dan inilah yang disebut ta'liq (menggantungkan talak pada suatu syarat).
وَلَا يَصِحُّ التَّعْلِيقُ إِلَّا مِنْ زَوْجٍ؛ فَلَوْ قَالَ: إِنْ تَزَوَّجْتُ؛ فَهِيَ طَالِقٌ، ثُمَّ تَزَوَّجَهَا؛ لَمْ يَقَعْ؛ لِأَنَّهُ حِينَ التَّعْلِيقِ لَيْسَ زَوْجًا لَهَا، لِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ مَرْفُوعًا: "لَا نَذْرَ لِابْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ، وَلَا عِتْقَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ، وَلَا طَلَاقَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَاللهُ تَعَالَى يَقُولُ ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ﴾، فَدَلَّتِ الْآيَةُ وَالْحَدِيثُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ عَلَى الْأَجْنَبِيَّةِ، وَهَذَا بِالْإِجْمَاعِ إِذَا كَانَ مُنَجَّزًا، وَعَلَى قَوْلِ الْجُمْهُورِ إِذَا كَانَ مُعَلَّقًا عَلَى تَزَوُّجِهَا وَنَحْوِهِ.
Dan ta'liq tidak sah kecuali dari seorang suami; seandainya dia berkata, "Jika aku menikah, maka dia tertalak," kemudian dia menikahinya, maka talak tidak jatuh; karena ketika ta'liq dia bukanlah suaminya, berdasarkan hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya secara marfu': "Tidak ada nazar bagi anak Adam pada apa yang tidak dimilikinya, tidak ada pembebasan budak pada apa yang tidak dimilikinya, dan tidak ada talak pada apa yang tidak dimilikinya," diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi, dan dia menghasankannya. Allah Ta'ala berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu mentalak mereka." Ayat dan hadits menunjukkan bahwa talak tidak jatuh pada wanita asing (bukan istri), dan ini berdasarkan ijma' jika talak itu munjaz (langsung), dan menurut pendapat jumhur jika talak itu mu'allaq (digantungkan) pada pernikahan dengannya dan sejenisnya.
فَإِذَا عَلَّقَ الطَّلَاقَ عَلَى شَرْطٍ؛ لَمْ تُطَلَّقْ قَبْلَ وُجُودِهِ، وَإِذَا حَصَلَ شَكٌّ فِي الطَّلَاقِ، وَيُرَادُ بِهِ الشَّكُّ فِي وُجُودِ لَفْظِهِ أَوِ الشَّكُّ فِي عَدَدِهِ أَوِ الشَّكُّ فِي حُصُولِ شَرْطِهِ:
Jika seseorang menggantungkan talak pada suatu syarat; maka istrinya tidak tertalak sebelum terpenuhinya syarat tersebut. Jika terjadi keraguan dalam talak, yang dimaksud adalah keraguan tentang adanya lafaz talak, keraguan tentang jumlahnya, atau keraguan tentang terpenuhinya syaratnya:
فَأَمَّا إِنْ شَكَّ فِي وُجُودِ الطَّلَاقِ مِنْهُ؛ فَإِنَّ زَوْجَتَهُ لَا تُطَلَّقُ بِمُجَرَّدِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ مُتَيَقَّنٌ؛ فَلَا يَزُولُ بِالشَّكِّ.
Adapun jika dia ragu tentang adanya talak darinya; maka istrinya tidak tertalak hanya karena itu; karena pernikahan itu pasti; maka tidak hilang karena keraguan.
وَإِنْ شَكَّ فِي حُصُولِ الشَّرْطِ الَّذِي عَلَّقَ عَلَيْهِ الطَّلَاقَ؛ كَأَنْ يَقُولَ: إِذَا دَخَلْتِ الدَّارَ؛ فَأَنْتِ طَالِقٌ. ثُمَّ يَشُكُّ فِي أَنَّهَا دَخَلَتْهَا؛ فَإِنَّهَا لَا تُطَلَّقُ بِمُجَرَّدِ الشَّكِّ لِمَا سَبَقَ.
Jika dia ragu tentang terpenuhinya syarat yang dia gantungkan talak padanya; seperti dia mengatakan, "Jika kamu memasuki rumah itu; maka kamu tertalak." Kemudian dia ragu apakah istrinya telah memasukinya; maka istrinya tidak tertalak hanya karena keraguan tersebut, berdasarkan alasan yang telah disebutkan sebelumnya.
وَإِنْ تَيَقَّنَ وُجُودَ الطَّلَاقِ مِنْهُ، وَشَكَّ فِي عَدَدِهِ؛ لَمْ يَلْزَمْهُ إِلَّا وَاحِدَةٌ؛ لِأَنَّهَا مُتَيَقَّنَةٌ، وَمَا زَادَ عَلَيْهَا مَشْكُوكٌ فِيهِ، وَالْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ، وَهَذَا قَاعِدَةٌ عَامَّةٌ نَافِعَةٌ فِي كُلِّ الْأَحْكَامِ، وَهِيَ مَأْخُوذَةٌ مِنْ قَوْلِهِ ﷺ: "دَعْ مَا يُرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيبُكَ"، وَمِنْ قَوْلِهِ لِمَنْ كَانَ عَلَى طَهَارَةٍ مُتَيَقَّنَةٍ وَأَشْكَلَ عَلَيْهِ حُصُولُ النَّاقِضِ: "لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا"، وَغَيْرِهِمَا مِنَ الْأَحَادِيثِ.
Dan jika dia yakin adanya talak darinya, dan ragu jumlahnya; maka dia tidak wajib kecuali satu; karena itu yang diyakini, dan yang lebih dari itu diragukan, dan keyakinan tidak hilang karena keraguan, dan ini adalah kaidah umum yang bermanfaat dalam semua hukum, dan itu diambil dari sabda Nabi ﷺ: "Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu", dan dari sabdanya kepada orang yang berada dalam keadaan suci yang diyakini dan meragukan terjadinya pembatal: "Jangan pergi sampai dia mendengar suara atau mencium bau", dan hadits-hadits lainnya.
وَهَذَا مِمَّا يَدُلُّ عَلَى سَمَاحَةِ الشَّرِيعَةِ وَكَمَالِهَا؛ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Dan ini menunjukkan toleransi dan kesempurnaan syariat; maka segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
بَابٌ فِي الرَّجْعَةِ
بَابٌ فِي الرَّجْعَةِ
Bab tentang rujuk
الرَّجْعَةُ: إِعَادَةُ مُطَلَّقَةٍ غَيْرِ بَائِنٍ إِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ بِغَيْرِ عَقْدٍ
Rujuk adalah mengembalikan istri yang ditalak, yang belum ba'in, kepada kondisi semula tanpa akad baru
وَدَلِيلُهَا: الْكِتَابُ، وَالسُّنَّةُ، وَإِجْمَاعُ أَهْلِ الْعِلْمِ.
Dalilnya adalah Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma' para ulama.
أَمَّا الْكِتَابُ؛ فَفِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا﴾، وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ﴾ .
Adapun dari Al-Qur'an, dalam firman Allah Ta'ala: "Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan", dan firman-Nya: "Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik", dan Allah berfirman: "Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik".
وَأَمَّا السُّنَّةُ؛ فَفِي قَوْلِهِ ﷺ فِي قِصَّةِ ابْنِ عُمَرَ: "مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا"، وَطَلَّقَ النَّبِيُّ ﷺ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا.
Adapun dari Sunnah, dalam sabda Nabi ﷺ pada kisah Ibnu Umar: "Suruhlah dia untuk merujuknya", dan Nabi ﷺ mentalak Hafshah kemudian merujuknya kembali.
وَأَمَّا الْإِجْمَاعُ؛ فَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: "أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْحُرَّ إِذَا طَلَّقَ دُونَ الثَّلاثِ وَالْعَبْدَ إِنْ طَلَّقَ دُونَ أَثْنَتَيْنِ، أَنَّ لَهُمَا الرَّجْعَةَ فِي الْعِدَّةِ"
Adapun ijma', Ibnu Al-Mundzir berkata: "Para ulama sepakat bahwa jika seorang laki-laki merdeka mentalak kurang dari tiga kali, dan seorang budak mentalak kurang dari dua kali, maka mereka berdua memiliki hak rujuk selama masa iddah"
وَالْحِكْمَةُ فِي ذَلِكَ: إِعْطَاءُ الزَّوْجِ الْفُرْصَةَ لِيَتَرَوَّى وَيَسْتَدْرِكَ إِذَا
Hikmah dari hal itu adalah memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir dan memperbaiki jika
نَدِمَ عَلَى الطَّلَاقِ وَأَرَادَ اسْتِئْنَافَ الْعِشْرَةِ مَعَ زَوْجَتِهِ، فَيَجِدُ الْبَابَ مَفْتُوحًا أَمَامَهُ، وَهَذَا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ بِعِبَادِهِ".
Menyesal atas perceraian dan ingin melanjutkan kehidupan bersama istrinya, maka ia menemukan pintu terbuka di hadapannya, dan ini adalah rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya".
وَأَمَّا شُرُوطُ صِحَّةِ الرَّجْعَةِ؛ فَهِيَ:
Adapun syarat-syarat sahnya rujuk adalah:
أَوَّلًا: أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ دُونَ مَا يَمْلِكُ مِنَ الْعَدَدِ؛ بِأَنْ طَلَّقَ حُرٌّ دُونَ الثَّلَاثِ، وَعَبْدٌ دُونَ اثْنَتَيْنِ، فَإِنِ اسْتَوْفَى مَا يَمْلِكُ مِنَ الطَّلَاقِ؛ لَمْ تَحِلَّ لَهُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ.
Pertama: Talak harus kurang dari jumlah yang dimiliki; yaitu seorang merdeka menceraikan kurang dari tiga kali, dan seorang budak kurang dari dua kali. Jika dia telah menggunakan semua talak yang dia miliki, maka istrinya tidak halal baginya hingga dia menikah dengan suami lain.
ثَانِيًا: أَنْ يَكُونَ الْمُطَلَّقَةُ مَدْخُولًا بِهَا، فَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ؛ فَلَيْسَ لَهُ رَجْعَةٌ؛ لِأَنَّهَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا﴾ .
Kedua: Wanita yang diceraikan harus sudah digauli. Jika dia menceraikannya sebelum digauli, maka dia tidak memiliki hak rujuk, karena wanita itu tidak memiliki masa 'iddah, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya."
ثَالِثًا: أَنْ يَكُونَ الطَّلَاقُ بِلَا عِوَضٍ، فَإِنْ كَانَ عَلَى عِوَضٍ؛ لَمْ تَحِلَّ لَهُ إِلَّا بِعَقْدٍ جَدِيدٍ بِرِضَاهَا؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَبْذُلِ الْعِوَضَ إِلَّا لِتَفْتَدِيَ نَفْسَهَا مِنْهُ، وَلَا يَحْصُلُ مَقْصُودُهَا مَعَ ثُبُوتِ الرَّجْعَةِ.
Ketiga: Talak harus tanpa kompensasi. Jika talak dilakukan dengan kompensasi, maka istrinya tidak halal baginya kecuali dengan akad baru atas persetujuannya, karena dia tidak memberikan kompensasi kecuali untuk menebus dirinya darinya, dan tujuannya tidak tercapai dengan adanya rujuk.
رَابِعًا: أَنْ يَكُونَ النِّكَاحُ صَحِيحًا، أَمَّا إِنْ طَلَّقَ فِي نِكَاحٍ فَاسِدٍ؛ فَلَيْسَ لَهُ رَجْعَةٌ؛ لِأَنَّهَا تَبِينُ بِالطَّلَاقِ.
Keempat: Pernikahan harus sah. Adapun jika dia menceraikan dalam pernikahan yang rusak, maka dia tidak memiliki hak rujuk, karena istrinya menjadi jelas dengan talak.
خَامِسًا: أَنْ تَكُونَ الرَّجْعَةُ فِي الْعِدَّةِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ﴾؛ أَيْ: أَوْلَى بِرَجْعَتِهِنَّ فِي حَالَةِ الْعِدَّةِ.
Kelima: Rujuk harus dilakukan dalam masa 'iddah, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu", yaitu: lebih berhak untuk merujuk mereka dalam keadaan 'iddah.
سَادِسًا: أَنْ تَكُونَ الرَّجْعَةُ مُنْجَزَةً؛ فَلَا تَصِحُّ مُعَلَّقَةً؛ كَمَا لَوْ قَالَ: إِذَا حَصَلَ كَذَا؛ فَقَدْ رَاجَعْتُكِ.
Keenam: Rujuk harus dilakukan secara langsung, tidak sah jika digantungkan, seperti jika dia berkata: "Jika terjadi demikian, maka aku telah merujukmu."
وَهَلْ يُشْتَرَطُ يَقْصِدُ الزَّوْجَانِ بِالرَّجْعَةِ الْإِصْلَاحَ؟:
Apakah disyaratkan suami-istri berniat untuk berbaikan dengan rujuk?
قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: يُشْتَرَطُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ اللهَ يَقُولُ: ﴿إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا﴾ .
Beberapa ulama mengatakan: Itu adalah syarat; karena Allah berfirman: "Jika mereka menghendaki perbaikan".
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "لَا يُمْكِنُ مِنَ الرَّجْعَةِ إِلَّا مَنْ أَرَادَ إِصْلَاحًا وَإِمْسَاكًا بِمَعْرُوفٍ".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Rujuk tidak mungkin dilakukan kecuali oleh orang yang menginginkan perbaikan dan menahan dengan cara yang baik".
وَقَالَ الْبَعْضُ الْآخَرُ: لَا يُشْتَرَطُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْآيَةَ إِنَّمَا تَدُلُّ عَلَى التَّحْضِيضِ عَلَى الْإِصْلَاحِ، وَالْمَنْعِ مِنَ الْإِضْرَارِ، وَلَا عَلَى اشْتِرَاطِ ذَلِكَ، وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ أَظْهَرُ.
Yang lain berkata: Itu bukan syarat; karena ayat itu hanya menunjukkan dorongan untuk berdamai, dan larangan membahayakan, bukan mensyaratkannya, dan pendapat pertama lebih jelas.
وَاللهُ أَعْلَمُ.
Dan Allah lebih mengetahui.
وَتَحْصُلُ الرَّجْعَةُ بِلَفْظِ: "رَاجَعْتُ امْرَأَتِي"، وَنَحْوِ ذَلِكَ؛ مِثْلُ: رَدَدْتُهَا، أَمْسَكْتُهَا، أَعَدْتُهَا ... وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ.
Rujuk terjadi dengan ucapan: "Aku merujuk istriku", dan semisalnya; seperti: aku mengembalikannya, aku menahannya, aku mengembalikannya ... dan yang serupa dengan itu.
وَتَحْصُلُ الرَّجْعَةُ أَيْضًا بِوَطْئِهَا إِذَا نَوَى الرَّجْعَةَ عَلَى الصَّحِيحِ.
Rujuk juga terjadi dengan menyetubuhinya jika dia berniat rujuk menurut pendapat yang sahih.
وَإِذَا رَاجَعَهَا؛ فَإِنَّهُ يُسَنُّ أَنْ يُشْهِدَ عَلَى ذَلِكَ، وَقِيلَ: يَجِبُ الْإِشْهَادُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ﴾، وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ، وَقَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: "لَا تَصِحُّ الرَّجْعَةُ مَعَ الْكِتْمَانِ بِحَالٍ".
Jika dia merujuknya; maka dianjurkan untuk mempersaksikan hal itu, dan ada yang mengatakan: persaksian itu wajib; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu", dan itu adalah riwayat dari Imam Ahmad, dan Syaikh Taqiyuddin berkata: "Rujuk tidak sah dengan menyembunyikannya sama sekali".
وَالْمُطَلَّقَةُ الرَّجْعِيَّةُ زَوْجَةٌ مَا دَامَتْ فِي الْعِدَّةِ، لَهَا مَا لِلزَّوْجَاتِ مِنْ نَفَقَةٍ وَكِسْوَةٍ وَمَسْكَنٍ، وَعَلَيْهَا مَا عَلَى الزَّوْجَةِ مِنْ لُزُومِ الْمَسْكَنِ، وَتَتَزَيَّنُ لَهُ لَعَلَّهُ يُرَاجِعُهَا، وَيَرِثُ كُلٌّ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ إِذَا مَاتَ فِي الْعِدَّةِ، وَلَهُ السَّفَرُ وَالْخَلْوَةُ بِهَا، وَلَهُ وَطْؤُهَا.
Wanita yang ditalak raj'i adalah istri selama masih dalam masa iddah, dia berhak atas nafkah, pakaian, dan tempat tinggal seperti istri-istri lainnya, dan dia wajib tetap tinggal di rumah, berhias untuknya agar dia merujuknya, dan masing-masing dari keduanya mewarisi pasangannya jika meninggal dalam masa iddah, dan dia boleh bepergian dan menyendiri dengannya, serta menggaulinya.
وَيَنْتَهِي وَقْتُ الرَّجْعَةِ بِانْتِهَاءِ الْعِدَّةِ، فَإِذَا طَهُرَتِ الرَّجْعِيَّةُ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ؛ لَمْ تَحِلَّ لَهُ؛ إِلَّا بِنِكَاحٍ جَدِيدٍ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ؛ لِمَفْهُومِ
Waktu rujuk berakhir dengan berakhirnya masa iddah, jika wanita yang ditalak raj'i telah suci dari haid yang ketiga; maka dia tidak halal baginya; kecuali dengan pernikahan baru dengan wali dan dua saksi yang adil; berdasarkan pemahaman dari
قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ﴾؛ أَيْ: فِي الْعِدَّةِ؛ فَمَفْهُومُ الْآيَةِ أَنَّهَا إِذَا فَرَغَتْ عِدَّتُهَا؛ لَمْ تُبَحْ؛ إِلَّا بِعَقْدٍ جَدِيدٍ بِشَرْطِهِ، وَإِذَا رَاجَعَهَا فِي الْعِدَّةِ رَجْعَةً صَحِيحَةً مُسْتَوْفِيَةً لِشُرُوطِهَا؛ لَمْ يَمْلِكْ مِنَ الطَّلَاقِ إِلَّا مَا بَقِيَ مِنْ عَدَدِهِ.
Firman Allah Ta'ala: "Dan suami mereka lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu"; yaitu: dalam masa 'iddah; maka makna ayat ini adalah jika masa 'iddahnya telah selesai; maka tidak diperbolehkan; kecuali dengan akad baru dengan syaratnya, dan jika dia merujuknya dalam masa 'iddah dengan rujuk yang sah yang memenuhi syarat-syaratnya; maka dia tidak memiliki hak talak kecuali yang tersisa dari jumlahnya.
وَإِذَا اسْتَوْفَى مَا يَمْلِكُ مِنَ الطَّلَاقِ؛ حَرُمَتْ عَلَيْهِ؛ حَتَّى يَطَأَهَا زَوْجٌ غَيْرُهُ بِنِكَاحٍ صَحِيحٍ؛ فَيُشْتَرَطُ لِحِلِّهَا لِلْأَوَّلِ ثَلَاثَةُ شُرُوطٍ: أَنْ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ، وَأَنْ يَكُونَ النِّكَاحُ صَحِيحًا، وَأَنْ يَطَأَهَا الزَّوْجُ الثَّانِي فِي الْفَرْجِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ﴾ .
Dan jika dia telah menggunakan semua talak yang dia miliki; maka dia menjadi haram baginya; hingga dia disetubuhi oleh suami lain dengan pernikahan yang sah; maka disyaratkan untuk menghalalkannya bagi suami pertama tiga syarat: bahwa dia menikah dengan suami lain, bahwa pernikahannya sah, dan bahwa suami kedua menyetubuhinya pada kemaluannya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah".
قَالَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ: "وَإِبَاحَتُهَا لَهُ بَعْدَ زَوْجٍ مِنْ أَعْظَمِ النِّعَمِ، وَكَانَتْ شَرِيعَةُ التَّوْرَاةِ مَا لَمْ تَتَزَوَّجْ، وَشَرِيعَةُ الْإِنْجِيلِ الْمَنْعُ مِنَ الطَّلَاقِ أَلْبَتَّةَ، وَشَرْعِيَتُنَا أَكْمَلُ وَأَقْوَمُ بِمَصَالِحِ الْعِبَادِ، فَأَبَاحَ لَهُ أَرْبَعًا، وَأَنْ يَتَسَرَّى بِمَا شَاءَ، وَمَلَكَهُ أَنْ يُفَارِقَهَا، فَإِنْ تَاقَتْ نَفْسُهُ إِلَيْهَا؛ وَجَدَ السَّبِيلَ إِلَى رَدِّهَا، فَإِذَا طَلَّقَهَا الثَّالِثَةَ؛ لَمْ يَبْقَ لَهُ عَلَيْهَا سَبِيلٌ بِرَدِّهَا إِلَّا بَعْدَ نِكَاحٍ ثَانٍ رَغْبَةً" انْتَهَى.
Al-'Allamah Ibnu Al-Qayyim berkata: "Dan diperbolehkannya dia baginya setelah suami lain adalah nikmat yang paling besar, dan syariat Taurat adalah selama dia belum menikah lagi, dan syariat Injil melarang talak sama sekali, dan syariat kita lebih sempurna dan lebih menegakkan kemaslahatan hamba, maka Dia memperbolehkan baginya empat (istri), dan dia boleh mengambil selir sebanyak yang dia inginkan, dan Dia memberinya kuasa untuk menceraikannya, jika jiwanya merindukan kepadanya; maka dia mendapatkan jalan untuk mengembalikannya, jika dia mentalaknya untuk ketiga kalinya; maka tidak ada jalan baginya untuk mengembalikannya kecuali setelah pernikahan kedua karena keinginan" selesai.
أَيْ: لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ نِكَاحُ الثَّانِي لَهَا نِكَاحَ رَغْبَةٍ فِيهَا، لَا نِكَاحَ حِلِّيَةٍ يُقْصَدُ بِهِ تَحْلِيلُهَا لِلْأَوَّلِ، وَإِلَّا كَانَ تَيْسًا مُسْتَعَارًا؛ كَمَا سَمَّاهُ النَّبِيُّ ﷺ، وَنِكَاحُهُ بَاطِلٌ، لَا تَحِلُّ بِهِ لِلْأَوَّلِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Artinya: harus pernikahan yang kedua dengannya adalah pernikahan karena keinginan padanya, bukan pernikahan penghalalan yang dimaksudkan untuk menghalalkannya bagi suami pertama, jika tidak maka dia adalah kambing yang dipinjam; seperti yang dinamakan oleh Nabi ﷺ, dan pernikahannya batil, dia tidak halal dengannya bagi suami pertama. Dan Allah lebih mengetahui.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْإِيلَاءِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْإِيلَاءِ
Bab tentang hukum-hukum Īlā'
الْإِيلَاءُ: هُوَ الْحَلِفُ، مَصْدَرُ أَلَى يُؤْلِي إِيلَاءً، وَالْأَلِيَّةُ الْيَمِينُ، يُقَالُ: آلَى مِنْ امْرَأَتِهِ إِيلَاءً: إِذَا حَلَفَ أَنْ لَا يُجَامِعَهَا.
Īlā' adalah sumpah, asal kata dari alā yu'lī īlā'an, dan al-aliyyah adalah sumpah. Dikatakan: Dia bersumpah īlā' dari istrinya, yaitu ketika dia bersumpah untuk tidak menggaulinya.
وَمِنْ ثَمَّ عَرَّفَهُ الْفُقَهَاءُ بِأَنَّهُ: حَلِفُ زَوْجٍ يُمْكِنُهُ الْوَطْءُ بِاللَّهِ أَوْ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ عَلَى تَرْكِ وَطْءِ زَوْجَتِهِ فِي قُبُلِهَا أَبَدًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ.
Oleh karena itu, para fuqaha mendefinisikannya sebagai: Sumpah seorang suami yang mampu melakukan hubungan seksual, dengan nama Allah atau salah satu sifat-Nya, untuk meninggalkan hubungan seksual dengan istrinya pada kemaluannya selamanya atau lebih dari empat bulan.
وَمِنْ هَذَا التَّعْرِيفِ يُمْكِنُنَا أَنْ نَسْتَخْلِصَ أَنَّ الْإِيلَاءَ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِتَوَفُّرِ شُرُوطٍ خَمْسَةٍ.
Dari definisi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa īlā' tidak terjadi kecuali dengan terpenuhinya lima syarat.
الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُونَ مِنْ زَوْجٍ يُمْكِنُهُ الْوَطْءُ.
Pertama: Bahwa itu dari suami yang mampu melakukan hubungan seksual.
الثَّانِي: أَنْ يَحْلِفَ بِاللَّهِ أَوْ بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ لَا بِطَلَاقٍ أَوْ عِتْقٍ أَوْ نَذْرٍ.
Kedua: Bahwa dia bersumpah dengan nama Allah atau salah satu sifat-Nya, bukan dengan talak, pembebasan budak, atau nazar.
الثَّالِثُ: أَنْ يَحْلِفَ عَلَى تَرْكِ الْوَطْءِ فِي الْقُبُلِ.
Ketiga: Bahwa dia bersumpah untuk meninggalkan hubungan seksual pada kemaluan.
الرَّابِعُ: أَنْ يَحْلِفَ عَلَى تَرْكِ الْوَطْءِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ.
Keempat: Bahwa dia bersumpah untuk meninggalkan hubungan seksual lebih dari empat bulan.
الْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ الزَّوْجَةُ مِمَّنْ يُمْكِنُ وَطْؤُهَا.
Kelima: Bahwa istri adalah orang yang mungkin untuk digauli.
فَإِذَا تَوَافَرَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ؛ صَارَ مُؤْلِيًا، يَلْزَمُهُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ، وَإِنْ اخْتَلَّ وَاحِدٌ مِنْهَا؛ لَمْ يَكُنْ مُؤْلِيًا.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka dia menjadi orang yang bersumpah īlā', dan hukum īlā' berlaku padanya. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka dia tidak menjadi orang yang bersumpah īlā'.
وَدَلِيلُ الإِيلَاءِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾؛ أَيْ: لِلْأَزْوَاجِ الَّذِينَ يَحْلِفُونَ عَلَى تَرْكِ وَطْءِ زَوْجَاتِهِمْ مُهْلَةُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، فَإِنْ وَطِئُوا زَوْجَاتِهِمْ وَكَفَّرُوا عَنْ أَيْمَانِهِمْ؛ فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ لَهُمْ مَا حَصَلَ مِنْهُمْ، وَإِنْ مَضَتْ هَذِهِ الْمُدَّةُ وَهُمْ مُصِرُّونَ عَلَى تَرْكِ وَطْءِ زَوْجَاتِهِمْ؛ فَإِنَّهُمْ يُوقَفُونَ وَيُؤْمَرُونَ بِوَطْءِ زَوْجَاتِهِمْ وَالتَّكْفِيرِ عَنْ أَيْمَانِهِمْ، فَإِنْ أَبَوْا؛ أُمِرُوا بِالطَّلَاقِ بَعْدَ مُطَالَبَةِ الْمَرْأَةِ.
Dan dalil Ilaa' adalah firman Allah Ta'ala: "Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"; yaitu: bagi para suami yang bersumpah untuk meninggalkan jima' (bersetubuh) dengan istri-istri mereka diberi waktu empat bulan, jika mereka menjima' istri-istri mereka dan membayar kafarat atas sumpah mereka; maka sesungguhnya Allah mengampuni mereka atas apa yang terjadi dari mereka, dan jika masa ini berlalu sedangkan mereka tetap bersikeras meninggalkan jima' dengan istri-istri mereka; maka mereka dihentikan dan diperintahkan untuk menjima' istri-istri mereka serta membayar kafarat atas sumpah mereka, jika mereka menolak; mereka diperintahkan untuk menceraikan setelah adanya tuntutan dari sang istri.
وَهَذَا إِبْطَالٌ لِمَا كَانُوا عَلَيْهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ إِطَالَةِ مُدَّةِ الْإِيلَاءِ، وَفِي هَذَا التَّشْرِيعِ الْحَكِيمِ الْعَادِلِ إِزَالَةٌ لِلضَّرَرِ عَنِ الْمَرْأَةِ وَإِزَاحَةٌ لِلظُّلْمِ عَنْهَا.
Dan ini adalah pembatalan terhadap apa yang mereka lakukan pada masa Jahiliyah berupa memperpanjang masa Ilaa', dan dalam syariat yang bijaksana dan adil ini terdapat penghilangan mudharat dari wanita dan penghapusan kezaliman darinya.
وَالْإِيلَاءُ مُحَرَّمٌ فِي الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّهُ يَمِينٌ عَلَى تَرْكِ وَاجِبٍ.
Dan Ilaa' diharamkan dalam Islam; karena ia adalah sumpah untuk meninggalkan kewajiban.
وَيَنْعَقِدُ الْإِيلَاءُ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ يَصِحُّ طَلَاقُهُ، سَوَاءٌ كَانَ مُسْلِمًا أَوْ كَافِرًا أَوْ حُرًّا أَوْ عَبْدًا، وَسَوَاءٌ كَانَ بَالِغًا أَوْ مُمَيِّزًا وَيُطَالَبُ بَعْدَ الْبُلُوغِ، وَمِنَ الْغَضْبَانِ وَالْمَرِيضِ الَّذِي يُرْجَى بُرْؤُهُ؛ لِعُمُومِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ، وَحَتَّى مِنَ الزَّوْجَةِ الَّتِي يَدْخُلُ بِهَا؛ لِعُمُومِ الْآيَةِ.
Dan Ilaa' terjadi dari setiap suami yang sah talaknya, baik ia seorang Muslim atau kafir, merdeka atau budak, dan baik ia telah baligh atau mumayyiz dan dituntut setelah baligh, dan dari orang yang marah dan orang sakit yang diharapkan kesembuhannya; karena keumuman ayat yang mulia, dan bahkan dari istri yang telah digauli; karena keumuman ayat.
وَلَا يَنْعَقِدُ الْإِيلَاءُ مِنْ زَوْجٍ مَجْنُونٍ وَمُغْمًى عَلَيْهِ؛ لِعَدَمِ تَصَوُّرِهِمَا لِمَا يَقُولُونَ؛ فَالْقَصْدُ مَعْدُومٌ مِنْهُمَا.
Dan Ilaa' tidak terjadi dari suami yang gila dan pingsan; karena mereka tidak bisa membayangkan apa yang mereka katakan; maka niat tidak ada pada mereka berdua.
وَلَا يَنْعَقِدُ الْإِيلَاءُ مِنْ زَوْجٍ عَاجِزٍ عَنِ الْوَطْءِ عَجْزًا حِسِّيًّا كَالْمَجْبُوبِ وَالْمَشْلُولِ؛ لِأَنَّ الِامْتِنَاعَ عَنِ الْوَطْءِ فِي حَقِّهَا لَيْسَ بِسَبَبِ الْيَمِينِ.
Dan Ilaa' tidak terjadi dari suami yang tidak mampu melakukan jima' karena ketidakmampuan fisik seperti orang yang terpotong kemaluannya dan orang yang lumpuh; karena penolakan untuk melakukan jima' dalam haknya bukanlah disebabkan oleh sumpah.
فَإِذَا قَالَ لِزَوْجَتِهِ: وَاللَّهِ لَا أَطَؤُكِ أَبَدًا، أَوْ عَيَّنَ مُدَّةً تَزِيدُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، أَوْ غَيَّاهُ بِشَيْءٍ لَا يُتَوَقَّعُ حُصُولُهُ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ؛ كَنُزُولِ عِيسَى
Maka jika ia berkata kepada istrinya: "Demi Allah, aku tidak akan menjima'mu selamanya", atau ia menyebutkan masa yang lebih dari empat bulan, atau ia mengaitkannya dengan sesuatu yang tidak diharapkan terjadinya sebelum empat bulan; seperti turunnya Isa
أَبْنُ مَرْيَمَ ﵇ وَخُرُوجُ الدَّجَّالِ؛ فَهُوَ مُولٍ فِي كُلِّ هَذِهِ الصُّوَرِ، وَكَذَا لَوْ غَيَّاهُ بِفِعْلِهَا مُحَرَّمًا أَوْ تَرْكِهَا وَاجِبًا؛ كَقَوْلِهِ: وَاللهِ لَا أَطَؤُكِ حَتَّى تَتْرُكِي الصَّلَاةَ، أَوْ تَشْرَبِي الْخَمْرَ؛ فَهُوَ مُولٍ؛ لِأَنَّهُ عَلَّقَهُ بِمَمْنُوعٍ شَرْعًا أَشْبَهَ الْمَمْنُوعَ حِسًّا.
Putra Maryam ﵇ dan keluarnya Dajjal; maka dia adalah seorang Muli (yang bersumpah) dalam semua gambaran ini, dan demikian pula jika dia mengubahnya dengan melakukan perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban; seperti perkataannya: Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu sampai kamu meninggalkan shalat, atau meminum khamar; maka dia adalah seorang Muli; karena dia menggantungkannya dengan sesuatu yang dilarang secara syar'i menyerupai yang dilarang secara indrawi.
وَفِي كُلِّ هَذِهِ الْأَحْوَالِ تُضْرَبُ مُدَّةُ الْإِيلَاءِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ﴾ .
Dan dalam semua keadaan ini, masa Ila' (sumpah untuk tidak menggauli istri) ditetapkan; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Bagi orang-orang yang meng-Ila' istrinya harus menunggu empat bulan".
وَفِي "الصَّحِيحِ" عَنِ ابْنِ عُمَرَ؛ قَالَ: "إِذَا مَضَى أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ مِمَّنْ حَلَفَ عَلَى مُدَّةٍ تَزِيدُ عَلَيْهَا؛ فَهُوَ مُولٍ، يُوقَفُ حَتَّى يُطَلِّقَ، وَلَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ حَتَّى يُطَلِّقَ"، وَذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ بِضْعَةَ عَشَرَ صَحَابِيًّا.
Dan dalam "Shahih" dari Ibnu Umar; dia berkata: "Jika telah berlalu empat bulan dari orang yang bersumpah untuk masa yang melebihi itu; maka dia adalah seorang Muli, dia ditahan sampai dia menceraikan, dan talak tidak terjadi dengannya sampai dia menceraikan", dan Al-Bukhari menyebutkannya dari belasan sahabat.
وَقَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ: "أَدْرَكْتُ بِضْعَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، كُلُّهُمْ يُوقِفُونَ الْمُولِيَ"، وَهُوَ مَذْهَبُ الْعُلَمَاءِ؛ كَمَا أَنَّهُ ظَاهِرُ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ.
Dan Sulaiman bin Yasar berkata: "Aku mendapati belasan dari para sahabat Rasulullah ﷺ, semuanya menahan Al-Muli", dan itu adalah mazhab para ulama; sebagaimana itu adalah zhahir ayat yang mulia.
فَإِذَا مَضَى أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ مِنْ يَمِينِهِ وَلَا تُحْتَسَبُ مِنْهَا أَيَّامُ عُذْرِهَا، فَإِذَا مَضَتْ:
Maka jika telah berlalu empat bulan dari sumpahnya dan hari-hari uzurnya tidak dihitung darinya, maka jika telah berlalu:
فَإِنْ حَصَلَ مِنْهُ وَطْءٌ لِزَوْجَتِهِ؛ فَقَدْ فَاءَ؛ لِأَنَّ الْفَيْئَةَ هِيَ الْجِمَاعُ،
Maka jika terjadi darinya persetubuhan dengan istrinya; maka sungguh dia telah kembali; karena kembali adalah jima' (bersetubuh),
وَقَدْ أَتَى بِهِ، قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: "أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ أَنَّ الْفَيْءَ الْجِمَاعُ"، وَأَصْلُ الْفَيْءِ الرُّجُوعُ إِلَى فِعْلِ مَا تَرَكَهُ، وَبِذَلِكَ تَحْصُلُ الْمَرْأَةُ عَلَى حَقِّهَا مِنْهُ.
Dan dia telah melakukannya, Ibnu Al-Mundzir berkata: "Semua orang yang kami hafal darinya sepakat bahwa al-fai' adalah jima'", dan asal al-fai' adalah kembali kepada perbuatan yang ditinggalkannya, dan dengan demikian wanita mendapatkan haknya darinya.
وَأَمَّا إِنْ أَبَى أَنْ يَطَأَ مَنْ آلَى مِنْهَا بَعْدَ مُضِيِّ الْمُدَّةِ الْمَذْكُورَةِ فَإِنَّ الْحَاكِمَ يَأْمُرُهُ بِالطَّلَاقِ إِنْ طَلَبَتْ الْمَرْأَةُ ذَلِكَ مِنْهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾؛ أَيْ: إِنْ عَزَمَ وَحَقَّقَ إِيقَاعَ الطَّلَاقِ؛ وَقَعَ، فَإِنْ أَبَى أَنْ يُفِيءَ وَأَبَى أَنْ يُطَلِّقَ؛ فَإِنَّ الْحَاكِمَ يُطَلِّقُ عَلَيْهِ أَوْ يُفْسِحُ؛ لِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَ الْمُؤْلِي عِنْدَ امْتِنَاعٍ، وَالطَّلَاقُ تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ.
Adapun jika dia enggan menyetubuhi istrinya yang dia bersumpah ila' setelah berlalunya masa yang disebutkan, maka hakim memerintahkannya untuk menceraikan jika wanita itu meminta hal itu darinya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui"; yaitu: jika dia berketetapan hati dan merealisasikan jatuhnya talak; maka terjadilah, jika dia enggan kembali (fai') dan enggan menceraikan; maka hakim menceraikan atas namanya atau memberi tempo; karena dia menempati posisi al-muli ketika menolak, dan talak dapat diwakilkan.
وَقَدْ أَلْحَقَ الْفُقَهَاءُ بِالْمُؤْلِي فِي هَذِهِ الْأَحْكَامِ مَنْ تَرَكَ وَطْءَ زَوْجَتِهِ إِضْرَارًا بِهَا بِلَا يَمِينٍ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَهُوَ غَيْرُ مَعْذُورٍ، وَكَذَا أَلْحَقُوا بِالْمُؤْلِي مَنْ ظَاهَرَ مِنْ زَوْجَتِهِ وَلَمْ يُكَفِّرْ وَاسْتَمَرَّ عَلَى ذَلِكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنْ هَذَيْنِ تَارِكٌ لِوَطْءِ زَوْجَتِهِ إِضْرَارًا بِهَا، فَأَشْبَهَا الْمُولِي، وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
Para fuqaha telah mengaitkan dengan al-muli dalam hukum-hukum ini, orang yang meninggalkan menyetubuhi istrinya dengan tujuan membahayakannya tanpa sumpah lebih dari empat bulan dan dia tidak memiliki udzur, dan demikian juga mereka mengaitkan dengan al-muli orang yang menzihar istrinya dan tidak membayar kafarat dan terus menerus melakukan hal itu lebih dari empat bulan; karena masing-masing dari keduanya meninggalkan menyetubuhi istrinya dengan tujuan membahayakannya, maka keduanya menyerupai al-muli, dan Allah Ta'ala lebih mengetahui.
قَالُوا: وَإِنْ انْقَضَتْ مُدَّةُ الْإِيلَاءِ، وَبِأَحَدِ الزَّوْجَيْنِ عُذْرٌ يَمْنَعُ الْجِمَاعَ؛ أُمِرَ الزَّوْجُ أَنْ يُفِيءَ بِلِسَانِهِ، فَيَقُولُ: مَتَى قَدَرْتُ؛ جَامَعْتُكِ؛ لِأَنَّ الْقَصْدَ بِالْفَيْئَةِ تَرْكُ مَا قَصَدَهُ مِنَ الْإِضْرَارِ بِهَا، وَاعْتِذَارُهُ يَدُلُّ عَلَى تَرْكِ الْإِضْرَارِ، ثُمَّ مَتَى قَدَرَ؛ وَطِئَ أَوْ طَلَّقَ؛ لِزَوَالِ عَجْزِهِ الَّذِي أَخَّرَ مِنْ أَجْلِهِ.
Mereka berkata: Jika masa ila' telah berakhir, dan salah satu dari suami istri memiliki udzur yang mencegah jima'; maka suami diperintahkan untuk fai' dengan lisannya, lalu dia berkata: Kapan pun aku mampu; aku akan menyetubuhi kamu; karena tujuan dari fai'ah adalah meninggalkan apa yang dia maksudkan berupa membahayakan istrinya, dan permohonan maafnya menunjukkan atas meninggalkan membahayakan, kemudian kapan pun dia mampu; dia menyetubuhi atau menceraikan; karena hilangnya ketidakmampuannya yang karenanya dia menunda.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الظِّهَارِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الظِّهَارِ
Bab tentang hukum-hukum zhihar
الظِّهَارُ يُرَادُ بِهِ هُنَا: أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِزَوْجَتِهِ إِذَا أَرَادَ الِامْتِنَاعَ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا: أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي، أَوْ أُخْتِي، أَوْ مَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ؛ فَمَتَى شَبَّهَ زَوْجَتَهُ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ أَوْ بِبَعْضِهَا؛ ظَاهَرَ مِنْهَا.
Zhihar yang dimaksud di sini adalah: seorang laki-laki berkata kepada istrinya ketika ia ingin menahan diri dari bersenang-senang dengannya: "Kamu bagiku seperti punggung ibuku, atau saudariku, atau orang yang haram baginya karena nasab, persusuan, atau perbesanan." Maka kapan saja ia menyerupakan istrinya dengan orang yang haram baginya atau sebagiannya, maka ia telah men-zhihar darinya.
وَحُكْمُهُ: أَنَّهُ مُحَرَّمٌ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلاّ اللاّئِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا﴾؛ أَيْ: يَقُولُونَ كَلَامًا فَاحِشًا بَاطِلًا، لَا يُعْرَفُ فِي الشَّرْعِ، بَلْ هُوَ كَذِبٌ بَحْتٌ، وَحَرَامٌ مَحْضٌ، وَقَوْلٌ مُنْكَرٌ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمُظَاهِرَ يُحَرِّمُ عَلَى نَفْسِهِ مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَيَجْعَلُ زَوْجَتَهُ فِي ذَلِكَ أُمَّهُ، وَهِيَ لَيْسَتْ كَذَلِكَ.
Hukumnya adalah: bahwa itu diharamkan; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta"; yaitu: mereka mengatakan perkataan yang keji dan batil, tidak dikenal dalam syariat, bahkan itu adalah dusta murni, dan haram mutlak, serta perkataan yang mungkar. Hal itu karena orang yang menzhihar mengharamkan atas dirinya apa yang tidak diharamkan Allah atasnya, dan menjadikan istrinya dalam hal itu sebagai ibunya, padahal dia bukan demikian.
وَكَانَ الظِّهَارُ طَلَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ الْإِسْلَامُ؛ أَنْكَرَهُ، وَاعْتَبَرَهُ يَمِينًا مُكَفَّرَةً؛ فَيَحْرُمُ عَلَى الْمُظَاهِرِ وَالْمُظَاهَرِ مِنْهَا اسْتِمْتَاعُ كُلٍّ مِنْهُمَا بِالْآخَرِ قَبْلَ أَنْ يُكَفِّرَ الزَّوْجُ عَنْ ظِهَارِهِ بِجِمَاعٍ وَدَوَاعِيهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا﴾ الْآيَاتِ، وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِلْمُظَاهِرِ: "لَا
Zhihar adalah talak pada masa Jahiliyah. Ketika Islam datang, Islam mengingkarinya dan menganggapnya sebagai sumpah yang harus ditebus. Maka haram bagi orang yang menzhihar dan orang yang dizhihar darinya untuk saling menikmati satu sama lain sebelum suami menebus zhiharnya dengan berhubungan badan dan hal-hal yang mendorongnya. Berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur" ayat-ayat. Nabi ﷺ bersabda kepada orang yang menzhihar: "Jangan
"تَقْرَبُهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا أَمَرَكَ اللهُ بِهِ"، صَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ.
"Jangan mendekatinya sampai kamu melakukan apa yang Allah perintahkan kepadamu", hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmidzi.
فَيَلْزَمُ الْمُظَاهِرَ إِذَا عَزَمَ عَلَى وَطْءِ الْمُظَاهَرِ مِنْهَا أَنْ يُخْرِجَ الْكَفَّارَةَ قَبْلَهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾ ﴿فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا﴾، فَدَلَّتِ الْآيَتَانِ الْكَرِيمَتَانِ عَلَى وُجُوبِ كَفَّارَةِ الظِّهَارِ بِوَطْءِ الْمُظَاهَرِ مِنْهَا، وَأَنَّهُ يَلْزَمُ إِخْرَاجُهَا قَبْلَ الْوَطْءِ عِنْدَ الْعَزْمِ عَلَيْهِ، وَأَنَّ تَحْرِيمَ زَوْجَتِهِ عَلَيْهِ بَاقٍ حَتَّى يُكَفِّرَ، وَهَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ.
Maka wajib bagi orang yang menzihar, jika ia bertekad untuk menyetubuhi istri yang dizihar, untuk mengeluarkan kafarat sebelumnya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." "Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur." Kedua ayat yang mulia ini menunjukkan wajibnya kafarat zihar dengan menyetubuhi istri yang dizihar, dan bahwa wajib mengeluarkannya sebelum bersetubuh ketika bertekad melakukannya, serta haramnya istrinya atasnya tetap berlaku sampai ia membayar kafarat, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
وَكَفَّارَةُ الظِّهَارِ تَجِبُ عَلَى التَّرْتِيبِ: عِتْقُ رَقَبَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الرَّقَبَةَ أَوْ لَمْ يَجِدْ ثَمَنَهَا؛ صِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعِ الصِّيَامَ لِمَرَضٍ وَنَحْوِهِ؛ أَطْعَمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴾ ﴿فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا﴾.
Kafarat zihar wajib dilakukan secara berurutan: memerdekakan budak, jika tidak menemukan budak atau tidak memiliki harganya; maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berpuasa karena sakit dan semisalnya; maka memberi makan enam puluh orang miskin; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." "Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin."
وَمَعْنَى: ﴿وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ﴾؛ بِأَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي وَنَحْوَهُ. ﴿ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا﴾؛ أَيْ: يُرِيدُونَ أَنْ يُجَامِعُوا زَوْجَاتِهِمُ اللَّاتِي ظَاهَرُوا مِنْهُنَّ. ﴿فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا﴾؛ أَيْ: يَجِبُ عَلَيْهِمْ أَنْ يُكَفِّرُوا قَبْلَ الْجِمَاعِ بِتَحْرِيرِ رَقَبَةٍ مِنْ
Makna: "Dan orang-orang yang menzihar istri mereka"; yaitu salah seorang dari mereka mengatakan kepada istrinya: Kamu bagiku seperti punggung ibuku dan semisalnya. "Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan"; yaitu: mereka ingin menyetubuhi istri-istri mereka yang telah mereka zihar. "Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur"; yaitu: wajib atas mereka untuk membayar kafarat sebelum bersetubuh dengan memerdekakan seorang budak dari
الرِّقُّ إِذَا كَانَ يَمْلِكُهَا أَوْ يَقْدِرُ عَلَى شِرَائِهَا بِثَمَنٍ فَاضِلٍ عَنْ كِفَايَتِهِ وَكِفَايَةِ مَنْ يَمُونُهُ.
Budak jika dia memilikinya atau mampu membelinya dengan harga yang melebihi kecukupannya dan kecukupan orang yang dia nafkahi.
وَيُشْتَرَطُ فِي الرَّقَبَةِ أَنْ تَكُونَ مُؤْمِنَةً؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى فِي كَفَّارَةِ الْقَتْلِ: ﴿وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ﴾، فَيُقَاسُ عَلَيْهَا كَفَّارَةُ الظِّهَارِ، وَحَمْلًا لِلْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ، وَيُشْتَرَطُ فِي الرَّقَبَةِ أَيْضًا أَنْ تَكُونَ سَلِيمَةً مِنَ الْعُيُوبِ الَّتِي تَضُرُّ بِالْعَمَلِ ضَرَرًا بَيِّنًا؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ بِالْعِتْقِ تَمْلِيكُ الرَّقِيقِ مَنَافِعَهُ، وَتَمْكِينُهُ مِنَ التَّصَرُّفِ لِنَفْسِهِ، وَلَا يَحْصُلُ هَذَا مَعَ مَا يَضُرُّ بِالْعَمَلِ ضَرَرًا بَيِّنًا؛ كَالْعَمَى وَشَلَلِ الْيَدِ أَوِ الرِّجْلِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.
Dan disyaratkan pada budak yang dibebaskan itu harus beriman; berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam kafarat pembunuhan: "Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman", maka diqiyaskan kepadanya kafarat zhihar, dan membawa yang mutlak kepada yang muqayyad. Dan disyaratkan juga pada budak yang dibebaskan itu harus selamat dari cacat yang jelas merusak pekerjaan; karena yang dimaksud dengan memerdekakan adalah menjadikan budak memiliki manfaatnya, dan memungkinkannya untuk bertindak untuk dirinya sendiri, dan ini tidak terjadi dengan apa yang jelas merusak pekerjaan; seperti kebutaan, kelumpuhan tangan atau kaki dan sejenisnya.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ التَّكْفِيرِ بِالصِّيَامِ:
Dan disyaratkan untuk sahnya kafarat dengan puasa:
أَوَّلًا: أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى الْعِتْقِ.
Pertama: Bahwa dia tidak mampu memerdekakan budak.
ثَانِيًا: أَنْ يَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؛ بِأَنْ لَا يَفْصِلَ بَيْنَ أَيَّامِ الصِّيَامِ وَبَيْنَ الشَّهْرَيْنِ إِلَّا بِصَوْمٍ وَاجِبٍ؛ كَصَوْمِ رَمَضَانَ، أَوْ إِفْطَارٍ لِلْعِيدِ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ، أَوِ الْإِفْطَارِ لِعُذْرٍ يُبِيحُهُ؛ كَالسَّفَرِ وَالْمَرَضِ؛ فَالْإِفْطَارُ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ لَا يَقْطَعُ التَّتَابُعَ.
Kedua: Bahwa dia berpuasa dua bulan berturut-turut; dengan tidak memisahkan antara hari-hari puasa dan antara dua bulan kecuali dengan puasa wajib; seperti puasa Ramadhan, atau berbuka untuk hari raya dan hari-hari Tasyriq, atau berbuka karena udzur yang membolehkannya; seperti safar dan sakit; maka berbuka dalam keadaan ini tidak memutus kesinambungan puasa.
ثَالِثًا: أَنْ يَنْوِيَ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ عَنِ الْكَفَّارَةِ.
Ketiga: Bahwa dia berniat puasa dari malam hari untuk kafarat.
وَإِنْ كَفَّرَ بِالْإِطْعَامِ؛ اُشْتُرِطَ لِصِحَّةِ ذَلِكَ:
Dan jika dia membayar kafarat dengan memberi makan; maka disyaratkan untuk sahnya hal itu:
أَوَّلًا: أَنْ لَا يَقْدِرَ عَلَى الصِّيَامِ.
Pertama: Bahwa dia tidak mampu berpuasa.
ثَانِيًا: أَنْ يَكُونَ الْمِسْكِينُ الْمُطْعَمُ مُسْلِمًا حُرًّا يَجُوزُ دَفْعُ الزَّكَاةِ إِلَيْهِ
Kedua: Bahwa orang miskin yang diberi makan itu adalah seorang muslim yang merdeka yang boleh diberikan zakat kepadanya
ثَالِثًا: أَنْ يَكُونَ مِقْدَارُ مَا يُدْفَعُ لِكُلِّ مِسْكِينٍ لَا يَنْقُصُ عَنْ مُدٍّ مِنَ الْبُرِّ وَنِصْفِ صَاعٍ مِنْ غَيْرِهِ.
Ketiga: bahwa jumlah yang dibayarkan kepada setiap orang miskin tidak boleh kurang dari satu mud gandum atau setengah sha' dari selainnya.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ التَّكْفِيرِ عُمُومًا: النِّيَّةُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى".
Dan syarat sahnya kafarat secara umum adalah: niat; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan".
وَالدَّلِيلُ مِنَ السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ مَعَ دَلِيلِ الْقُرْآنِ عَلَى كَفَّارَةِ الظِّهَارِ وَتَرْتِيبِهَا عَلَى هَذَا النَّمَطِ مَا رَوَتْ خَوْلَةُ بِنْتُ مَالِكِ بْنِ ثَعْلَبَةَ ﵂؛ قَالَتْ: ظَاهَرَ مِنِّي أَوْسُ بْنُ الصَّامِتِ، فَجِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَشْكُو إِلَيْهِ، وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُجَادِلُنِي فِيهِ وَيَقُولُ: "اتَّقِي اللَّهَ؛ فَإِنَّهُ ابْنُ عَمِّكِ"، فَمَا بَرِحَ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ: ﴿قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا﴾؛ فَقَالَ: "يُعْتِقُ رَقَبَةً". فَقَالَتْ: لَا يَجِدُ. فَقَالَ: "فَيَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ". قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنَّهُ شَيْخٌ كَبِيرٌ؛ مَا بِهِ مِنْ صِيَامٍ. قَالَ: "فَلْيُطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا". قَالَتْ مَا عِنْدَهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَصَدَّقُ بِهِ. قَالَ: "فَإِنِّي سَأُعِينُهُ بِعَرَقٍ مِنْ تَمْرٍ". قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! فَإِنِّي سَأُعِينُهُ بِعَرَقٍ آخَرَ. قَالَ: "قَدْ أَحْسَنْتِ، اذْهَبِي فَأَطْعِمِي بِهَا عَنْهُ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَارْجِعِي إِلَى ابْنِ عَمِّكِ". وَالْعَرَقُ سِتُّونَ صَاعًا، رَوَاهُ
Dan dalil dari Sunnah yang suci beserta dalil Al-Qur'an tentang kafarat zhihar dan urutan-urutannya dengan pola ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Khaulah binti Malik bin Tsa'labah ﵂; dia berkata: Aus bin Ash-Shamit men-zhihar-ku, lalu aku datang kepada Rasulullah ﷺ mengadukan hal itu kepadanya, dan Rasulullah ﷺ berdebat denganku tentangnya dan bersabda: "Bertakwalah kepada Allah; karena dia adalah anak pamanmu," dan beliau terus menerus sampai turun Al-Qur'an: ﴿Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya﴾; maka beliau bersabda: "Memerdekakan seorang budak". Lalu dia berkata: Dia tidak mendapatkannya. Maka beliau bersabda: "Maka berpuasa dua bulan berturut-turut". Dia berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dia adalah seorang syaikh yang tua; dia tidak mampu berpuasa. Beliau bersabda: "Maka memberi makan enam puluh orang miskin". Dia berkata: Dia tidak memiliki sesuatu untuk bersedekah dengannya. Beliau bersabda: "Maka aku akan membantunya dengan satu 'araq kurma". Dia berkata: Wahai Rasulullah! Maka aku akan membantunya dengan satu 'araq lagi. Beliau bersabda: "Engkau telah berbuat baik, pergilah dan berilah makan dengannya enam puluh orang miskin atas namanya dan kembalilah kepada anak pamanmu". Dan satu 'araq adalah enam puluh sha', diriwayatkan
أَبُو دَوَّادٍ.
Abu Dawwad.
هَذَا دِينُنَا العَظِيمُ، فِيهِ حَلٌّ لِكُلِّ مُشْكِلَةٍ، وَمِنْ ذَلِكَ المَشَاكِلُ الزَّوْجِيَّةُ؛ فَهَا هُوَ يَحُلُّ مُشْكِلَةَ الظِّهَارِ، وَهِيَ مُشْكِلَةٌ كَانَتْ مُسْتَعْصِيَةً فِي أَيَّامِ الجَاهِلِيَّةِ، بِحَيْثُ لَمْ يَجِدُوا لَهَا حَلًّا إِلَّا الفُرْقَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ وَتَشْتِيتَ الأُسْرَةِ؛ فَمَا أَعْظَمَهُ مِنْ دِينٍ.
Ini adalah agama kita yang agung, di dalamnya terdapat solusi untuk setiap masalah, termasuk masalah perkawinan; maka inilah yang menyelesaikan masalah zhihar, yaitu masalah yang sulit di zaman Jahiliyah, di mana mereka tidak menemukan solusi kecuali perpisahan antara suami istri dan perpecahan keluarga; betapa agungnya agama ini.
ثُمَّ نَجِدُهُ فِي إِيجَابِ الكَفَّارَةِ رَاعَى ظُرُوفَ الزَّوْجِ، وَشَرَعَ لِكُلِّ حَالَةٍ مَا يُنَاسِبُهَا مِمَّا يَسْتَطِيعُ الزَّوْجُ فِعْلَهُ؛ مِنْ عِتْقٍ، إِلَى صِيَامٍ، إِلَى إِطْعَامٍ؛ فَلِلَّهِ الحَمْدُ.
Kemudian kita mendapati dalam kewajiban kafarat, ia memperhatikan keadaan suami, dan mensyariatkan untuk setiap keadaan apa yang sesuai dengannya dari apa yang mampu dilakukan suami; dari memerdekakan budak, hingga puasa, hingga memberi makan; maka segala puji bagi Allah.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ اللِّعَانِ
إِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ حَرَّمَ الْقَذْفَ "وَهُوَ رَمْيُ الْبَرِيءِ بِفِعْلِ الْفَاحِشَةِ"، وَتَوَعَّدَ عَلَيْهِ بِأَشَدِّ الْوَعِيدِ، فَقَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ﴾ .
Sesungguhnya Allah Subhanahu telah mengharamkan qadzaf "yaitu menuduh orang yang tidak bersalah melakukan perbuatan keji", dan mengancamnya dengan ancaman yang sangat keras, Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)".
وَأَوْجَبَ جَلْدَ الْقَاذِفِ إِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ إِقَامَةَ الْبَيِّنَةِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ يَشْهَدُونَ بِصِحَّةِ مَا قَالَ ثَمَانِينَ جَلْدَةً، وَأَنْ يُعْتَبَرَ فَاسِقًا لا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ؛ إِلاّ إِنْ تَابَ وَأَصْلَحَ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ إِلاّ الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ .
Dan Allah mewajibkan untuk mencambuk penuduh jika dia tidak mampu mendatangkan bukti dengan empat orang saksi yang bersaksi atas kebenaran apa yang dia katakan sebanyak delapan puluh cambukan, dan dia dianggap sebagai orang fasik yang kesaksiannya tidak diterima; kecuali jika dia bertaubat dan memperbaiki diri; Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
هَذَا إِذَا قَذَفَ غَيْرَ زَوْجَتِهِ؛ فَإِنَّهُ تُتَّخَذُ مَعَهُ هَذِهِ الإِجْرَاءَاتُ الصَّارِمَةُ، أَمَّا إِذَا قَذَفَ زَوْجَتَهُ بِالزِّنَى؛ فَلَهُ حَلٌّ آخَرُ، وَذَلِكَ بِأَنْ يُعْتَاضَ عَنْ هَذِهِ الإِجْرَاءَاتِ بِمَا يُسَمَّى بِاللِّعَانِ، وَهُوَ شَهَادَاتٌ مُؤَكَّدَاتٌ بِأَيْمَانٍ مِنَ الْجَانِبَيْنِ، مَقْرُونَةٌ بِلَعْنَةٍ وَغَضَبٍ؛ كَمَا يَأْتِي بَيَانُهُ.
Ini jika dia menuduh selain istrinya; maka tindakan tegas ini diambil terhadapnya. Namun, jika dia menuduh istrinya berzina; maka dia memiliki solusi lain, yaitu dengan mengganti prosedur ini dengan apa yang disebut Li'an, yaitu kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah dari kedua belah pihak, disertai dengan laknat dan murka; seperti yang akan dijelaskan nanti.
فَإِذَا قَذَفَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ بِالزِّنَى، وَلَمْ يَسْتَطِعْ إِقَامَةَ الْبَيِّنَةِ؛ فَلَهُ إِسْقَاطُ حَدِّ الْقَذْفِ عَنْهُ بِالْمُلَاعَنَةِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ﴾
Jika seorang pria menuduh istrinya berzina, dan dia tidak dapat menghadirkan bukti; maka dia dapat menggugurkan hukuman qadzaf (tuduhan zina) atas dirinya dengan melakukan li'an; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta."
فَيَقُولُ الزَّوْجُ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ: أَشْهَدُ بِاللهِ لَقَدْ زَنَتْ زَوْجَتِي هَذِهِ، وَيُشِيرُ إِلَيْهَا إِنْ كَانَتْ حَاضِرَةً، وَيُسَمِّيهَا إِنْ كَانَتْ غَائِبَةً بِمَا تَتَمَيَّزُ بِهِ، وَيَزِيدُ فِي الشَّهَادَةِ الْخَامِسَةِ أَنَّ لَعْنَةَ اللهِ عَلَيْهِ إِنْ مِنَ الْكَاذِبِينَ. ثُمَّ تَقُولُ هِيَ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ: أَشْهَدُ بِاللهِ لَقَدْ كَذَبَ فِيمَا رَمَانِي بِهِ الزِّنَى، ثُمَّ تَقُولُ فِي الْخَامِسَةِ: وَأَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ. وَخُصَّتْ بِالْغَصَبِ لِأَنَّ الْمَغْضُوبَ عَلَيْهِ هُوَ الَّذِي يَعْرِفُ الْحَقَّ وَيَجْحَدُهُ.
Suami mengucapkan empat kali: Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa istriku ini telah berzina, dan menunjuk kepadanya jika dia hadir, dan menyebutkan namanya jika dia tidak hadir dengan ciri-ciri yang membedakannya, dan menambahkan pada kesaksian kelima bahwa laknat Allah atas dirinya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Kemudian istri mengucapkan empat kali: Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa dia telah berdusta tentang apa yang dituduhkannya kepadaku tentang zina, kemudian dia mengucapkan pada yang kelima: dan bahwa kemurkaan Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang benar. Dan dia dikhususkan dengan kemurkaan karena orang yang dimurkai adalah orang yang mengetahui kebenaran tetapi mengingkarinya.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ اللِّعَانِ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ زَوْجَيْنِ مُكَلَّفَيْنِ، وَأَنْ يَقْذِفَهَا بِزِنَى، وَأَنْ تُكَذِّبَهُ فِي ذَلِكَ وَيَسْتَمِرَّ تَكْذِيبُهَا لَهُ إِلَى انْقِضَاءِ اللِّعَانِ، وَأَنْ يَتِمَّ بِحُكْمِ حَاكِمٍ.
Dan disyaratkan untuk sahnya li'an bahwa ia terjadi antara dua suami istri yang mukallaf, dan bahwa suami menuduhnya berzina, dan bahwa istri mendustakannya dalam hal itu dan terus mendustakannya sampai selesainya li'an, dan bahwa li'an itu dilakukan dengan keputusan hakim.
فَإِذَا تَمَّ اللِّعَانُ عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي ذَكَرْنَا مُسْتَوْفِي الشُّرُوطَ صِحَّتِهِ؛ فَإِنَّهُ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ:
Jika li'an telah sempurna sesuai dengan sifat yang telah kami sebutkan dengan memenuhi syarat-syarat keabsahannya; maka konsekuensinya adalah:
أَوَّلًا: سُقُوطُ حَدِّ الْقَذْفِ عَنِ الزَّوْجِ.
Pertama: Gugurnya hadd (hukuman) qadzaf dari suami.
ثَانِيًا: ثُبُوتُ الْفُرْقَةِ بَيْنَهُمَا وَتَحْرِيمُهَا عَلَيْهِ تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا.
Kedua: Terjadi perpisahan di antara keduanya dan pengharaman istri atas suami secara permanen.
ثَالِثًا: يَنْتَفِي عَنْهُ نَسَبُ وَلَدِهَا إِنْ نَفَاهُ فِي اللِّعَانِ؛ بِأَنْ قَالَ: لَيْسَ هَذَا الْوَلَدُ مِنِّي.
Ketiga: Nasab anaknya terputus darinya jika dia menafikannya dalam li'an; dengan mengatakan: Anak ini bukan dariku.
وَيَحْتَاجُ الزَّوْجُ إِلَى اللِّعَانِ إِذَا رَأَى امْرَأَتَهُ تَزْنِي وَلَمْ يُمْكِنْهُ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ، أَوْ قَامَتْ عِنْدَهُ قَرَائِنُ قَوِيَّةٌ عَلَى مُمَارَسَتِهَا الزِّنَى، كَمَا لَوْ رَأَي رَجُلًا يُعْرَفُ بِالْفُجُورِ يَدْخُلُ عَلَيْهَا.
Suami membutuhkan li'an jika dia melihat istrinya berzina dan tidak dapat mendatangkan bukti, atau ada indikasi kuat baginya bahwa istrinya melakukan zina, seperti jika dia melihat seorang pria yang dikenal sebagai pezina masuk ke tempat istrinya.
وَالْحِكْمَةُ فِي مَشْرُوعِيَّةِ اللِّعَانِ لِلزَّوْجِ؛ لِأَنَّ الْعَارَ يَلْحَقُهُ بِزِنَاهَا، وَيُفْسِدُ فِرَاشَهُ، وَلِئَلَّا يَلْحَقَهُ وَلَدٌ غَيْرُهُ، وَهُوَ لَا يُمْكِنُهُ إِقَامَةُ الْبَيِّنَةِ عَلَيْهَا فِي الْغَالِبِ، وَهِيَ لَا تُقِرُّ بِجَرِيمَتِهَا، وَقَوْلُهُ غَيْرُ مَقْبُولٍ عَلَيْهَا، فَلَمْ يَبْقَ سِوَى تَحَالُفِهِمَا بِأَغْلَظِ الْأَيْمَانِ؛ فَكَانَ فِي تَشْرِيعِ اللِّعَانِ حَلًّا لِمُشْكِلَتِهِ، وَإِزَالَةً لِلْحَرَجِ عَنْهُ.
Hikmah disyariatkannya li'an bagi suami adalah karena aib menimpanya akibat perzinaan istrinya, merusak ranjangnya, dan agar tidak dinisbatkan kepadanya anak orang lain. Dia tidak mungkin dapat mendatangkan bukti atas istrinya dalam kebanyakan kasus, sementara istrinya tidak mengakui kejahatannya, dan perkataannya tidak diterima atas istrinya. Maka tidak ada jalan lain kecuali saling bersumpah dengan sumpah yang paling kuat. Maka dalam pensyariatan li'an terdapat solusi bagi masalahnya dan penghilangan kesulitan darinya.
وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لَهُ شَاهِدٌ إِلَّا نَفْسَهُ؛ مَكَّنَتِ الْمَرْأَةُ أَنْ تُعَارِضَ أَيْمَانَهُ بِأَيْمَانٍ مُكَرَّرَةٍ مِثْلَهُ تَدْرَأُ بِهَا الْحَدَّ عَنْهَا، وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْأَيْمَانِ؛ وَجَبَ عَلَيْهِ حَدُّ الْقَذْفِ، وَإِنْ نَكَلَتْ هِيَ بَعْدَ حَلِفِهِ؛ صَارَتْ أَيْمَانُهُ مَعَ نُكُولِهَا بَيِّنَةً قَوِيَّةً لَا مُعَارِضَ لَهَا.
Karena dia tidak memiliki saksi selain dirinya sendiri, maka wanita itu diberi kesempatan untuk menentang sumpahnya dengan sumpah berulang seperti sumpahnya untuk menolak hukuman darinya. Jika dia menolak bersumpah, maka dia harus dihukum dengan hukuman qadzaf. Jika wanita itu menolak bersumpah setelah suaminya bersumpah, maka sumpah suaminya bersama dengan penolakan wanita itu menjadi bukti kuat yang tidak dapat dibantah.
قَالَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ: "وَهُوَ الَّذِي يَقُومُ عَلَيْهِ الدَّلِيلُ، وَمَذْهَبُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِمْ الْحُكْمُ بِحَدِّهَا إِذَا نَكَلَتْ، وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَيَدُلُّ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ، وَجَزَمَ بِهِ الشَّيْخُ وَغَيْرُهُ" انْتَهَى.
Al-Allamah Ibnu Al-Qayyim berkata: "Inilah yang didukung oleh dalil, dan merupakan mazhab Malik, Asy-Syafi'i, Ahmad, dan lainnya, yaitu menjatuhkan hukuman kepadanya jika dia menolak bersumpah, dan ini adalah pendapat yang benar. Hal ini ditunjukkan oleh Al-Qur'an, dan Syaikh serta lainnya menegaskannya." Selesai.
وَالدَّلِيلُ مِنَ السُّنَّةِ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ اللِّعَانِ عِنْدَ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ: مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ؛ أَنَّهُ لَمَّا سُئِلَ عَنِ الْمُتَلَاعِنَيْنِ: أَيُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا؟،
Dalil dari Sunnah tentang disyariatkannya li'an ketika dibutuhkan adalah apa yang disepakati oleh Asy-Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim) dari Ibnu Umar; bahwa ketika dia ditanya tentang dua orang yang saling melakukan li'an: Apakah keduanya dipisahkan?
قَالَ: "سُبْحَانَ اللهِ! نَعَمْ، إِنَّ أَوَّلَ مَنْ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ؛ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ! أَرَأَيْتَ لَوْ وَجَدَ أَحَدُنَا امْرَأَتَهُ عَلَى فَاحِشَةٍ؛ كَيْفَ يَصْنَعُ؟، إِنْ تَكَلَّمَ؛ تَكَلَّمَ بِأَمْرٍ عَظِيمٍ، وَإِنْ سَكَتَ؛ سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ.
Dia berkata: "Subhanallah! Ya, orang pertama yang bertanya tentang hal itu adalah si fulan bin fulan; dia berkata: Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika salah seorang dari kami mendapati istrinya melakukan perbuatan keji; apa yang harus dia lakukan? Jika dia berbicara, dia akan membicarakan perkara yang besar, dan jika dia diam, dia diam atas hal yang serupa."
قَالَ: فَسَكَتَ النَّبِيُّ ﷺ فَلَمْ يُجِبْهُ، وَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ؛ أَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّ الَّذِي سَأَلْتُكَ عَنْهُ ابْتُلِيتُ بِهِ، فَأَنْزَلَ اللهُ ﷿ هَذِهِ الْآيَاتِ فِي سُورَةِ النُّورِ: ﴿وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ﴾، فَتَلَاهُنَّ عَلَيْهِ، وَوَعَظَهُ، وَذَكَّرَهُ وَأَخْبَرَهُ أَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ،
Dia berkata: Maka Nabi ﷺ diam dan tidak menjawabnya. Ketika setelah itu, orang tersebut datang kepadanya dan berkata: Sesungguhnya apa yang aku tanyakan kepadamu, aku telah diuji dengannya. Maka Allah ﷿ menurunkan ayat-ayat ini dalam surah An-Nur: ﴿Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)﴾. Beliau membacakannya kepadanya, menasihatinya, mengingatkannya, dan memberitahunya bahwa azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat.
فَقَالَ: لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ نَبِيًّا؛ مَا كَذَبْتُ عَلَيْهَا. ثُمَّ دَعَاهَا، وَأَخْبَرَهَا أَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ؛ قَالَتْ: لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ نَبِيًّا؛ إِنَّهُ لَكَاذِبٌ.
Maka dia berkata: Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran sebagai nabi, aku tidak berdusta atasnya. Kemudian beliau memanggilnya (istrinya) dan memberitahunya bahwa azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat. Dia (istrinya) berkata: Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran sebagai nabi, sesungguhnya dia telah berdusta.
فَبَدَأَ بِالرَّجُلِ، فَشَهِدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ لَعْنَةَ اللهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ، ثُمَّ ثَنَّى بِالْمَرْأَةِ فَشَهِدَتْ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ الصَّادِقِينَ، ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا".
Maka beliau memulai dengan laki-laki itu, dia bersaksi empat kali dengan (nama) Allah bahwa dia termasuk orang-orang yang benar, dan yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Kemudian dilanjutkan dengan perempuan itu, dia bersaksi empat kali dengan (nama) Allah bahwa suaminya termasuk orang-orang yang berdusta, dan yang kelima bahwa kemurkaan Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Kemudian beliau memisahkan antara keduanya."
بَابٌ فِي أَحْكَامِ لُحُوقِ النَّسَبِ وَعَدَمِ لُحُوقِهِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ لُحُوقِ النَّسَبِ وَعَدَمِ لُحُوقِهِ
Bab tentang hukum-hukum ketetapan nasab dan ketidaktetapannya
إِذَا وَلَدَتْ زَوْجَةُ إِنْسَانٍ أَوْ أَمَتُهُ مَوْلُودًا يُمْكِنُ كَوْنُهُ مِنْهُ؛ فَإِنَّهُ يَلْحَقُهُ نَسَبُهُ، وَيَكُونُ وَلَدًا لَهُ، وَذَلِكَ كَأَنْ تَلِدَهُ عَلَى فِرَاشِهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ".
Jika istri seseorang atau budak perempuannya melahirkan seorang anak yang mungkin darinya, maka nasabnya mengikutinya dan menjadi anaknya, seperti jika dia melahirkannya di atas tempat tidurnya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Anak adalah milik tempat tidur."
وَإِمْكَانُ كَوْنِهِ مِنْهُ فِي حَالَاتٍ:
Kemungkinan anak itu darinya dalam beberapa keadaan:
الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ تَكُونَ فِي عِصْمَةِ زَوْجِهَا، وَتَلِدَهُ بَعْدَ نِصْفِ سَنَةٍ مُنْذُ أَمْكَنَ وَطْؤُهُ إِيَّاهَا وَاجْتِمَاعُهُ بِهَا، سَوَاءٌ كَانَ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا، وَذَلِكَ لِتَحَقُّقِ إِمْكَانِ كَوْنِهِ مِنْهُ، وَلَمْ يُوجَدْ مَا يُنَافِي ذَلِكَ.
Keadaan pertama: Bahwa dia berada dalam ikatan pernikahan dengan suaminya, dan melahirkan setelah setengah tahun sejak memungkinkan baginya untuk menyetubuhinya dan berkumpul dengannya, baik dia hadir atau tidak hadir, karena kepastian kemungkinan anak itu darinya, dan tidak ada yang bertentangan dengan itu.
الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ لَا تَكُونَ فِي عِصْمَةِ زَوْجِهَا، وَتَلِدَهُ لِدُونِ أَرْبَعِ سِنِينَ مُنْذُ إِبَانِهَا، فَيَلْحَقُهُ نَسَبُ الْمَوْلُودِ؛ لِأَنَّ أَكْثَرَ مُدَّةِ الْحَمْلِ أَرْبَعُ سِنِينَ، فَإِذَا وَلَدَتْهُ لِدُونِ هَذَا الْحَدِّ؛ أَمْكَنَ كَوْنُهُ مِمَّنْ طَلَّقَهَا، فَيَلْحَقُ بِهِ.
Keadaan kedua: Bahwa dia tidak berada dalam ikatan pernikahan dengan suaminya, dan melahirkan kurang dari empat tahun sejak perceraiannya, maka nasab anak yang dilahirkan mengikutinya; karena batas maksimal masa kehamilan adalah empat tahun, jika dia melahirkan kurang dari batas ini, maka memungkinkan anak itu dari orang yang mentalaknya, sehingga dinasabkan kepadanya.
وَيُشْتَرَطُ لِإِلْحَاقِ الْوَلَدِ بِالزَّوْجِ أَوِ الْمُطَلِّقِ فِي هَاتَيْنِ الْحَالَتَيْنِ: أَنْ يَكُونَ كُلٌّ مِنْهُمَا مِمَّنْ يُولَدُ لِمِثْلِهِ؛ بِأَنْ يَكُونَ قَدْ بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَأَكْثَرَ؛
Disyaratkan untuk menisbatkan anak kepada suami atau orang yang mentalak dalam dua keadaan ini: bahwa masing-masing dari keduanya adalah orang yang bisa memiliki anak sepertinya, yaitu telah mencapai usia sepuluh tahun atau lebih;
لِقَوْلِهِ ﷺ: "مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ لِسَبْعٍ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ"؛ فَأَمْرُهُ ﷺ بِالتَّفْرِيقِ بَيْنَ الْأَوْلَادِ فِي هَذَا السِّنِّ دَلِيلٌ عَلَى إِمْكَانِ الْوَطْءِ، وَهُوَ سَبَبُ الْوِلَادَةِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ ابْنَ عَشْرِ سِنِينَ يُمْكِنُ إِلْحَاقُ النَّسَبِ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يُحْكَمْ بِبُلُوغِهِ فِي هَذَا السِّنِّ؛ لِأَنَّ الْحُكْمَ بِالْبُلُوغِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِتَحَقُّقِ عَلَامَاتِهِ، وَإِنَّمَا اكْتَفَيْنَا بِإِمْكَانِ الْوَطْءِ مِنْهُ لِإِلْحَاقِ النَّسَبِ بِهِ؛ حِفَاظًا عَلَى النَّسَبِ الْمَوْلُودِ وَاحْتِيَاطًا لَهُ.
Karena sabda Nabi ﷺ: "Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkannya) pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka"; maka perintah Nabi ﷺ untuk memisahkan anak-anak pada usia ini menunjukkan kemungkinan terjadinya hubungan intim, yang merupakan sebab kelahiran, sehingga menunjukkan bahwa anak berusia sepuluh tahun dapat dinasabkan kepadanya, meskipun ia belum dihukumi baligh pada usia ini; karena hukum baligh tidak terjadi kecuali dengan terpenuhinya tanda-tandanya, dan kami hanya mencukupkan dengan kemungkinan terjadinya hubungan intim darinya untuk menasabkan kepadanya; demi menjaga nasab yang terlahir dan berhati-hati untuknya.
الْحَالَةُ الثَّالِثَةُ: إِذَا طَلَّقَ زَوْجَتَهُ طَلَاقًا رَجْعِيًّا، فَتَلِدُ بَعْدَ مَضِيِّ أَرْبَعِ سِنِينَ مُنْذُ طَلَّقَهَا، وَقَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا؛ فَإِنَّهُ يَلْحَقُهُ نَسَبُ الْوَلَدِ، وَكَذَا لَوْ وَلَدَتْ مُطَلَّقَتُهُ الرَّجْعِيَّةُ قَبْلَ مَضِيِّ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا؛ فَإِنَّهُ يَلْحَقُهُ نَسَبُ مَوْلُودِهَا؛ لِأَنَّ الرَّجْعِيَّةَ فِي حُكْمِ الزَّوْجَاتِ؛ فَأَشْبَهَ مَا بَعْدَ الطَّلَاقِ مَا قَبْلَهُ.
Kasus ketiga: Jika seorang suami mentalak istrinya dengan talak raj'i, lalu istrinya melahirkan setelah berlalu empat tahun sejak ia mentalaknya, dan sebelum selesai masa iddahnya; maka nasab anak tersebut dinisbatkan kepadanya. Demikian pula jika istri yang ditalak raj'i melahirkan sebelum berlalu empat tahun dari selesainya masa iddahnya; maka nasab anaknya dinisbatkan kepadanya; karena wanita yang ditalak raj'i statusnya sama dengan istri; sehingga kondisi setelah talak menyerupai kondisi sebelumnya.
وَمِنَ الْأُمُورِ الَّتِي يَلْحَقُ السَّيِّدُ بِهَا مَوْلُودَ أَمَتِهِ: أَنْ يَعْتَرِفَ شَخْصٌ بِأَنَّهُ قَدْ وَطِئَ أَمَتَهُ، أَوْ تَقُومَ الْبَيِّنَةُ عَلَيْهِ بِذَلِكَ، ثُمَّ تَلِدُ هَذِهِ الْأَمَةُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ مِنْ هَذَا الْوَطْءِ الَّذِي ثَبَتَ بِاعْتِرَافِهِ أَوْ بِالْبَيِّنَةِ؛ فَإِنَّهُ يَلْحَقُهُ نَسَبُ هَذَا الْمَوْلُودِ؛ لِأَنَّهَا بِذَلِكَ صَارَتْ فِرَاشًا لَهُ، فَتَدْخُلُ فِي عُمُومِ قَوْلِهِ ﷺ: "الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ".
Di antara hal-hal yang menyebabkan seorang tuan dinasabkan dengan anak dari budak perempuannya adalah: jika seseorang mengakui bahwa ia telah menyetubuhi budak perempuannya, atau ada bukti yang menunjukkan hal tersebut, kemudian budak perempuan ini melahirkan setelah enam bulan atau lebih dari persetubuhan yang ditetapkan berdasarkan pengakuannya atau bukti; maka nasab anak yang dilahirkan dinisbatkan kepadanya; karena dengan demikian, budak perempuan tersebut telah menjadi firasy (alas tidur) baginya, sehingga masuk dalam keumuman sabda Nabi ﷺ: "Anak adalah milik pemilik firasy (alas tidur)".
وَمِنْ ذَلِكَ: أَنْ يَعْتَرِفَ السَّيِّدُ بِوَطْءِ أَمَتِهِ، ثُمَّ يَبِيعَهَا أَوْ يُعْتِقَهَا بَعْدَ اعْتِرَافِهِ بِذَلِكَ، وَتَلِدُ لِدُونِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنَ الْبَيْعِ أَوِ الْعِتْقِ لَهَا، وَيَعِيشُ
Termasuk dalam hal itu: jika seorang tuan mengakui telah menyetubuhi budak perempuannya, kemudian ia menjualnya atau memerdekakannya setelah pengakuannya tersebut, lalu budak perempuan itu melahirkan kurang dari enam bulan sejak dijual atau dimerdekakan, dan anak yang dilahirkan hidup
الْمَوْلُودُ؛ فَإِنَّهُ يَلْحَقُهُ نَسَبَةٌ؛ لِأَنَّ أَقَلَّ مُدَّةِ الْحَمْلِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ، فَإِذَا وَلَدَتْ دُونَهَا، وَعَاشَ مَوْلُودُهَا؛ فَإِنَّهُ بِذَلِكَ يُعْلَمُ أَنَّهَا حَمَلَتْ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَبِيعَهَا، وَهِيَ حِينَذَاكَ فِرَاشٌ لَهُ، وَقَدْ قَالَ ﷺ: "الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ".
Bayi yang baru lahir; maka ia akan dinasabkan kepadanya; karena masa kehamilan minimal adalah enam bulan, jika ia melahirkan kurang dari itu, dan bayinya hidup; maka dengan itu diketahui bahwa ia hamil sebelum ia menjualnya, dan ia saat itu adalah firasy (tempat tidur) baginya, dan Nabi ﷺ telah bersabda: "Anak itu untuk pemilik firasy."
وَيَنْتَفِي كَوْنُ الْوَلَدِ مِنَ الزَّوْجِ فِي حَالَتَيْنِ:
Dan status anak dari suami tidak berlaku dalam dua keadaan:
الْحَالَةُ الْأُولَى: إِذَا وَلَدَتْهُ لِدُونِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مُنْذُ زَوَاجِهَا وَعَاشَ؛ لِأَنَّ هَذِهِ الْمُدَّةَ لَا يُمْكِنُ أَنْ تَحْمِلَ وَتَلِدَ فِيهَا، فَتَكُونُ حِينَئِذٍ حَامِلًا بِهِ قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا.
Keadaan pertama: Jika ia melahirkannya kurang dari enam bulan sejak pernikahannya dan hidup; karena dalam jangka waktu ini tidak mungkin ia hamil dan melahirkan, maka ia saat itu sedang hamil dengannya sebelum ia menikahinya.
الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: إِذَا طَلَّقَهَا بَائِنًا، ثُمَّ تَلِدُ بَعْدَ مُضِيِّ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ طَلَاقِهِ لَهَا؛ فَإِنَّهُ لَا يَلْحَقُهُ نَسَبُ ذَلِكَ الْمَوْلُودِ؛ لِأَنَّنَا نَعْلَمُ أَنَّهَا حَمَلَتْ بَعْدَ ذَلِكَ النِّكَاحِ.
Keadaan kedua: Jika ia mentalaknya dengan talak ba'in, kemudian ia melahirkan setelah lebih dari empat tahun dari talaknya kepadanya; maka nasab bayi itu tidak dinisbatkan kepadanya; karena kita tahu bahwa ia hamil setelah pernikahan itu.
وَلَا يَلْحَقُ السَّيِّدُ نَسَبَ وَلَدِ أَمَتِهِ إِذَا ادَّعَى أَنَّهُ قَدِ اسْتَبْرَأَهَا بَعْدَ وَطْئِهِ لَهَا؛ لِأَنَّهُ بِاسْتِبْرَائِهِ لَهَا تَيَقَّنَ بَرَاءَةَ رَحِمِهَا مِنْهُ، فَيَكُونُ هَذَا الْمَوْلُودُ مِنْ غَيْرِهِ، وَالْقَوْلُ قَوْلُهُ فِي حُصُولِ الِاسْتِبْرَاءِ؛ لِأَنَّهُ أَمْرٌ خَفِيٌّ لَا يُمْكِنُ الِاطِّلَاعُ عَلَيْهِ إِلَّا بِعُسْرٍ وَمَشَقَّةٍ، لَكِنْ لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ؛ إِلَّا خَلَفَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ بِذَلِكَ يُنْكِرُ حَقَّ الْوَلَدِ فِي النَّسَبِ؛ فَلَا بُدَّ مِنْ يَمِينِهِ فِي ادِّعَاءِ الِاسْتِبْرَاءِ.
Dan tuan tidak dinasabkan dengan anak budaknya jika ia mengklaim bahwa ia telah membebaskannya setelah menyetubuhinya; karena dengan membebaskannya, ia yakin bahwa rahimnya bersih darinya, maka bayi ini dari orang lain, dan perkataannya diterima dalam hal terjadinya pembebasan; karena itu adalah perkara tersembunyi yang tidak mungkin diketahui kecuali dengan kesulitan dan kesusahan, tetapi perkataannya dalam hal itu tidak diterima; kecuali ia bersumpah atasnya; karena dengan itu ia mengingkari hak anak dalam nasab; maka harus ada sumpahnya dalam mengklaim pembebasan.
وَإِذَا حَصَلَ إِشْكَالٌ فِي مَوْلُودٍ؛ فَإِنَّهُ يُقَدَّمُ الْفِرَاشُ عَلَى الشَّبَهِ؛ كَأَنْ يَدَّعِيَ سَيِّدٌ وَلَدَ أَمَتِهِ، وَيَدَّعِيهِ وَاطِئٌ بِشُبْهَةٍ؛ فَهُوَ لِلسَّيِّدِ؛ عَمَلًا بِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ".
Dan jika terjadi keraguan pada seorang bayi; maka didahulukan firasy daripada kemiripan; seperti jika seorang tuan mengklaim anak budaknya, dan orang yang menyetubuhinya karena syubhat juga mengklaimnya; maka ia milik tuan; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Anak itu untuk pemilik firasy."
وَيَتْبَعُ الْوَلَدُ فِي النَّسَبِ أَبَاهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ﴾.
Dan anak mengikuti ayahnya dalam nasab; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka."
وَيَتْبَعُ فِي الدِّينِ خَيْرَ أَبَوَيْهِ دِينًا، فَلَوْ تَزَوَّجَ نَصْرَانِيٌّ وَثَنِيَّةً، أَوْ بِالْعَكْسِ؛ فَيَكُونُ الْوَلَدُ تَابِعًا لِلنَّصْرَانِيِّ مِنْهُمَا.
Dan dia mengikuti agama yang terbaik dari kedua orang tuanya, jika seorang Nasrani menikahi seorang penyembah berhala, atau sebaliknya; maka anak itu akan mengikuti yang Nasrani di antara keduanya.
وَيَتْبَعُ الْوَلُودُ فِي الْحُرِّيَّةِ وَالرِّقِّ أُمَّهُ؛ إِلَّا مَعَ شَرْطٍ أَوْ غَرَرٍ.
Dan anak mengikuti ibunya dalam hal kebebasan dan perbudakan; kecuali dengan syarat atau ketidakjelasan.
مِنْ هَذَا الْعَرْضِ السَّرِيعِ لِأَحْكَامِ لُحُوقِ النَّسَبِ؛ تُدْرِكُ حِرْصَ الْإِسْلَامِ عَلَى حِفْظِ الْأَنْسَابِ؛ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْمَصَالِحِ؛ لِصِلَةِ الْأَرْحَامِ وَالتَّوَارُثِ وَالْوَلَايَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ؛
Dari paparan singkat tentang hukum-hukum keturunan ini; Anda memahami keengganan Islam untuk menjaga nasab; karena manfaat yang menyertainya; untuk menyambung silaturahmi, warisan, perwalian, dan lain-lain;
قَالَ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾؛
Allah Ta'ala berfirman: "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.";
فَلَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنْ مَعْرِفَةِ الْأَنْسَابِ هُوَ التَّفَاخُرُ وَالْحَمِيَّةُ الْجَاهِلِيَّةُ، وَإِنَّمَا الْمَقْصُودُ بِهِ التَّعَاوُنُ وَالتَّوَاصُلُ وَالتَّرَاحُمُ.
Tujuan dari mengetahui nasab bukanlah untuk berbangga diri dan fanatisme jahiliyah, tetapi tujuannya adalah untuk saling membantu, berkomunikasi, dan berbelas kasih.
وَفَّقَ اللهُ الْجَمِيعَ لِمَا يُحِبُّهُ وَيَرْضَاهُ.
Semoga Allah memberi taufik kepada semua orang untuk melakukan apa yang Dia cintai dan ridhai.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْعِدَّةِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْعِدَّةِ
Bab tentang hukum-hukum 'iddah
مِنْ آثَارِ الطَّلَاقِ: الْعِدَّةُ، وَيُرَادُ بِهَا التَّرَبُّصُ الْمَحْدُودُ شَرْعًا.
Di antara dampak talak adalah 'iddah, yang dimaksud dengannya adalah masa menunggu yang ditentukan secara syar'i.
وَدَلِيلُهَا: الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ:
Dalilnya adalah Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma':
فَأَمَّا الْكِتَابُ؛ فَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ﴾، وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ﴾، هَذَا بِالنِّسْبَةِ لِلْمُفَارَقَةِ فِي الْحَيَاةِ.
Adapun Al-Qur'an, maka firman Allah Ta'ala: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'", dan firman-Nya: "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya", ini berkaitan dengan perpisahan dalam keadaan hidup.
وَأَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِلْوَفَاةِ؛ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيهَا: ﴿وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا﴾ .
Adapun berkaitan dengan kematian, maka Allah Ta'ala berfirman tentangnya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari".
وَالدَّلِيلُ مِنَ السُّنَّةِ حَدِيثُ عَائِشَةَ ﵂؛ قَالَتْ: "أُمِرَتْ بَرِيرَةُ أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثِ حِيَضٍ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَلِغَيْرِهِ مِنَ الْأَحَادِيثِ.
Dalil dari Sunnah adalah hadits 'Aisyah ﵂; ia berkata: "Barirah diperintahkan untuk menjalani 'iddah selama tiga kali haid", diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan hadits-hadits lainnya.
وَأَمَّا الْحِكْمَةُ فِي مَشْرُوعِيَّةِ الْعِدَّةِ؛ فَهِيَ: اسْتِبْرَاءُ رَحِمِ الْمَرْأَةِ مِنْ لِحَمْلٍ؛ لِئَلَّا يَحْصُلَ اخْتِلَاطُ الْأَنْسَابِ، وَكَذَلِكَ إِتَاحَةُ الْفُرْصَةِ لِلزَّوْجِ الْمُطَلِّقِ لِيُرَاجِعَ إِذَا نَدِمَ وَكَانَ الطَّلَاقُ رَجْعِيًّا.
Adapun hikmah disyariatkannya 'iddah adalah: untuk memastikan kosongnya rahim wanita dari kehamilan agar tidak terjadi percampuran nasab, dan juga memberikan kesempatan kepada suami yang mentalak untuk rujuk jika ia menyesal dan talaknya adalah talak raj'i.
وَمِنَ الْحِكْمَةِ أَيْضًا: تَعْظِيمُ عَقْدِ النِّكَاحِ، وَأَنَّ لَهُ حُرْمَةً، وَتَعْظِيمُ حَقِّ الزَّوْجِ الْمُطَلِّقِ.
Dari hikmah juga: mengagungkan akad nikah, bahwa ia memiliki kehormatan, dan mengagungkan hak suami yang menceraikan.
وَفِيهَا أَيْضًا: صِيَانَةُ حَقِّ الْحَمْلِ فِيمَا لَوْ كَانَتِ الْمُفَارَقَةُ حَامِلًا.
Dan di dalamnya juga: menjaga hak janin jika yang berpisah sedang hamil.
وَبِالْجُمْلَةِ؛ فَالْعِدَّةُ حَرِيمٌ لِلنِّكَاحِ السَّابِقِ.
Singkatnya; 'iddah adalah penjagaan untuk pernikahan sebelumnya.
وَأَمَّا مَنْ تَلْزَمُهَا الْعِدَّةُ: فَالْعِدَّةُ تَلْزَمُ كُلَّ امْرَأَةٍ فَارَقَتْ زَوْجَهَا بِطَلَاقٍ وَخُلْعٍ أَوْ فَسْخٍ أَوْ مَاتَ عَنْهَا؛ بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ الْمُفَارِقُ لَهَا قَدْ خَلَا بِهَا وَهِيَ مُطَاوِعَةٌ مَعَ عِلْمِهِ بِهَا وَقُدْرَتِهِ عَلَى وَطْئِهَا، سَوَاءٌ كَانَتِ الزَّوْجَةُ حُرَّةً أَوْ أَمَةً، وَسَوَاءٌ كَانَتْ بَالِغَةً أَوْ صَغِيرَةً يُوطَأُ مِثْلُهَا.
Adapun siapa yang wajib ber'iddah: 'iddah wajib bagi setiap wanita yang berpisah dengan suaminya karena talak, khulu', fasakh, atau suaminya meninggal; dengan syarat suami yang menceraikannya telah menyepi dengannya sementara ia dalam keadaan taat disertai pengetahuannya tentangnya dan kemampuannya untuk menyetubuhinya, baik istri itu merdeka atau budak, baik ia telah baligh atau masih kecil yang biasa disetubuhi.
وَأَمَّا مَنْ فَارَقَهَا زَوْجُهَا حَيًّا بِطَلَاقٍ أَوْ غَيْرِهِ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا؛ فَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا﴾، أَيْ: تَحْصُونَهَا بِالْأَقْرَاءِ أَوِ الْأَشْهُرِ، وَمَعْنَى: ﴿تَمَسُّوهُنَّ﴾؛ أَيْ: تُجَامِعُوهُنَّ؛ فَدَلَّتِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ عَلَى أَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَى مَنْ طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا، وَلَا خِلَافَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَذِكْرُ الْمُؤْمِنَاتِ هُنَا مِنْ بَابِ التَّغْلِيبِ؛ لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الزَّوْجَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْكِتَابِيَّاتِ فِي هَذَا الْحُكْمِ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْعِلْمِ.
Adapun wanita yang diceraikan suaminya dalam keadaan hidup dengan talak atau lainnya sebelum berhubungan dengannya; maka tidak ada 'iddah baginya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya", yakni: menghitungnya dengan quru' atau bulan, dan makna: "mencampurinya"; yaitu: menyetubuhinya; maka ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa tidak ada 'iddah bagi wanita yang diceraikan sebelum berhubungan dengannya, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal itu di antara para ulama, dan penyebutan wanita-wanita beriman di sini dari bab pengalihan; karena tidak ada perbedaan antara istri-istri yang beriman dan Ahli Kitab dalam hukum ini dengan kesepakatan para ulama.
وَأَمَّا الْمُفَارَقَةُ بِالْوَفَاةِ؛ فَتَعْتَدُّ مُطْلَقًا، سَوَاءٌ كَانَتِ الْوَفَاةُ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ؛ لِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا﴾، وَلَمْ يَرِدْ مَا يُخَصِّصُهَا.
Adapun wanita yang ditinggal mati suaminya; maka ia ber'iddah secara mutlak, baik kematian itu sebelum berhubungan atau setelahnya; karena keumuman firman Allah Ta'ala: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari", dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
وَأَمَّا أَنْوَاعُ الْمُعْتَدَّاتِ: فَهُنَّ عَلَى سَبِيلِ الْإِجْمَالِ سِتٌّ:
Adapun jenis-jenis wanita yang ber'iddah: mereka secara global ada enam:
الْحَامِلُ. وَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا مِنْ غَيْرِ حَمْلٍ مِنْهُ. وَالْحَائِلُ الَّتِي تَحِيضُ وَقَدْ فُورِقَتْ فِي الْحَيَاةِ. وَالْحَائِلُ الَّتِي لَا تَحِيضُ لِصِغَرٍ أَوْ إِيَاسٍ وَهِيَ مُفَارَقَةٌ فِي
Wanita hamil. Wanita yang ditinggal mati suaminya tanpa hamil darinya. Wanita yang tidak hamil yang haid dan telah diceraikan semasa hidup. Wanita yang tidak hamil yang tidak haid karena masih kecil atau menopause dan ia diceraikan dalam keadaan
الحَامِلُ تَعْتَدُّ بِوَضْعِ الحَمْلِ؛ سَوَاءٌ كَانَتْ مُفَارَقَةً فِي الحَيَاةِ أَوْ بِالمَوْتِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ﴾؛ فَدَلَّتِ الْآيَةُ الكَرِيمَةُ عَلَى أَنَّ عِدَّةَ الحَامِلِ تَنْتَهِي بِوَضْعِ حَمْلِهَا، سَوَاءٌ كَانَتْ مُتَوَفَّى عَنْهَا أَوْ مُفَارَقَةً فِي الحَيَاةِ، وَذَهَبَ بَعْضُ السَّلَفِ إِلَى أَنَّ الحَامِلَ المُتَوَفَّى عَنْهَا تَعْتَدُّ بِأَبْعَدِ الْأَجَلَيْنِ، لَكِنْ حَصَلَ الِاتِّفَاقُ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا بِوَضْعِ الحَمْلِ.
Wanita hamil menjalani masa 'iddah dengan melahirkan kandungannya; baik dia berpisah dalam keadaan hidup atau karena kematian; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu 'iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya"; maka ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa 'iddah wanita hamil berakhir dengan melahirkan kandungannya, baik dia ditinggal mati suaminya atau berpisah dalam keadaan hidup, dan sebagian ulama salaf berpendapat bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya menjalani 'iddah dengan waktu yang paling lama di antara dua waktu, tetapi setelah itu terjadi kesepakatan bahwa 'iddahnya berakhir dengan melahirkan kandungan.
لَكِنْ لَيْسَ كُلُّ حَمْلٍ تَنْقَضِي بِوَضْعِهِ العِدَّةُ، وَإِنَّمَا المُرَادُ الحَمْلُ الَّذِي قَدْ تَبَيَّنَ فِيهِ خَلْقُ إِنْسَانٍ، فَأَمَّا لَوْ أَلْقَتْ مُضْغَةً لَمْ تَتَبَيَّنْ فِيهَا الخِلْقَةُ؛ فَإِنَّهَا لَا تَنْقَضِي بِهَا العِدَّةُ.
Namun, tidak setiap kehamilan berakhir dengan melahirkan 'iddah, yang dimaksud adalah kehamilan yang telah jelas penciptaan manusia di dalamnya, adapun jika dia mengeluarkan segumpal daging yang tidak jelas ciptaannya; maka 'iddahnya tidak berakhir dengannya.
وَكَذَلِكَ يُشْتَرَطُ لِانْقِضَاءِ العِدَّةِ بِوَضْعِ الحَمْلِ أَنْ يَلْحَقَ هَذَا الحَمْلُ بِالزَّوْجِ المُفَارِقِ، فَإِنْ لَمْ يَلْحَقْ هَذَا الحَمْلُ بِالزَّوْجِ المُفَارِقِ؛ لِكَوْنِ هَذَا الزَّوْجِ لَا يُولَدُ لِمِثْلِهِ لِصِغَرِهِ أَوْ لِمَانِعٍ خِلْقِيٍّ، أَوْ تَكُونُ قَدْ وَلَدَتْهُ لِدُونِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مُنْذُ عَقَدَ عَلَيْهَا وَأَمْكَنَ اجْتِمَاعُهُ بِهَا وَعَاشَ هَذَا المَوْلُودُ؛ فَإِنَّهَا لَا تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِهِ مِنْهُ؛ لِعَدَمِ لُحُوقِهِ بِهِ.
Demikian pula, disyaratkan untuk berakhirnya 'iddah dengan melahirkan kandungan bahwa kehamilan ini dinisbatkan kepada suami yang menceraikan, jika kehamilan ini tidak dinisbatkan kepada suami yang menceraikan; karena suami ini tidak bisa memiliki anak karena usianya yang masih kecil atau karena cacat bawaan, atau jika dia melahirkan kurang dari enam bulan sejak dia menikahinya dan memungkinkan untuk berkumpul dengannya dan bayi ini hidup; maka 'iddahnya tidak berakhir dengannya darinya; karena tidak dinisbatkan kepadanya.
وَأَقَلُّ مُدَّةِ الحَمْلِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا﴾، مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ﴾، فَإِذَا أَسْقَطْنَا مُدَّةَ الرَّضَاعِ وَهِيَ: حَوْلَانِ، أَيْ: أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ شَهْرًا مِنْ ثَلَاثِينَ شَهْرًا؛ يَبْقَى سِتَّةُ أَشْهُرٍ، وَهِيَ أَقَلُّ مُدَّةِ الحَمْلِ، وَمَا دُونَهَا لَمْ يُوجَدْ مَنْ يَعِيشُ لِدُونِهَا.
Dan masa kehamilan paling singkat adalah enam bulan; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan", beserta firman Allah Ta'ala: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh", jika kita mengurangi masa menyusui yaitu: dua tahun, yaitu: dua puluh empat bulan dari tiga puluh bulan; maka tersisa enam bulan, dan itulah masa kehamilan paling singkat, dan tidak ada yang bisa hidup kurang dari itu.
وَأَمَّا أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ؛ فَمَوْضِعُ خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَالرَّاجِحُ أَنَّهُ يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى الْوُجُودِ؛ قَالَ الْمُوَفَّقُ ابْنُ قُدَامَةَ: "مَا لَا نَصَّ فِيهِ، يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى الْوُجُودِ، وَقَدْ وُجِدَ لِخَمْسِ سِنِينَ وَأَكْثَرَ".
Adapun durasi maksimum kehamilan; itu adalah tempat perselisihan di antara para ulama, dan yang rajih adalah bahwa itu merujuk pada keberadaan; Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah berkata: "Apa yang tidak ada teks di dalamnya, itu merujuk pada keberadaan, dan telah ditemukan selama lima tahun atau lebih".
وَغَالِبُ مُدَّةِ الْحَمْلِ تِسْعَةُ أَشْهُرٍ؛ لِأَنَّ غَالِبَ النِّسَاءِ يَلِدْنَ فِيهَا؛ فَاعْتُبِرَ ذَلِكَ.
Dan umumnya masa kehamilan adalah sembilan bulan; karena kebanyakan wanita melahirkan pada saat itu; maka itu dianggap.
هَذَا وَلِلْحَمْلِ حُرْمَةٌ فِي الشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ؛ فَلَا يَجُوزُ الِاعْتِدَاءُ عَلَيْهِ وَالْإِضْرَارُ بِهِ وَإِذَا سَقَطَ مَيِّتًا بَعْدَمَا نُفِخَتْ فِيهِ الرُّوحُ بِسَبَبِ الْجِنَايَةِ عَلَيْهِ؛ وَجَبَتْ فِيهِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ وَإِذَا وَجَبَ عَلَى الْحَامِلِ حَدٌّ شَرْعِيٌّ مِنْ جَلْدٍ أَوْ رَجْمٍ؛ أُخِّرَ تَنْفِيذُ الْحَدِّ عَلَى أُمِّهِ حَتَّى تَلِدَ، وَلَا يَجُوزُ لِأُمِّهِ أَنْ تُسْقِطَهُ بِشُرْبِ دَوَاءٍ وَنَحْوِهِ.
Ini dan kehamilan memiliki kehormatan dalam syariat Islam; maka tidak boleh menyerangnya dan membahayakannya, dan jika ia gugur dalam keadaan mati setelah ruh ditiupkan ke dalamnya karena kejahatan terhadapnya; maka wajib membayar diyat dan kafarat, dan jika seorang wanita hamil harus menjalani hukuman syar'i seperti cambuk atau rajam; maka pelaksanaan hukuman atas ibunya ditunda hingga ia melahirkan, dan ibunya tidak boleh menggugurkannya dengan meminum obat dan sejenisnya.
كُلُّ ذَلِكَ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى شُمُولِ هَذِهِ الشَّرِيعَةِ، وَأَنَّهَا تُرَاعِي حَتَّى الْأَجِنَّةَ فِي الْبُطُونِ، وَتَجْعَلُ لَهُمْ حُرْمَةً؛ فَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ عَلَى هَذِهِ الشَّرِيعَةِ الْكَامِلَةِ الْعَادِلَةِ، وَنَسْأَلُهُ أَنْ يَرْزُقَنَا التَّمَسُّكَ بِهَا وَالْعَمَلَ بِأَحْكَامِهَا؛ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَا كَرِهَ الْكَافِرُونَ.
Semua itu menunjukkan kesempurnaan syariat ini, dan bahwa ia memperhatikan bahkan janin dalam rahim, dan menjadikan mereka memiliki kehormatan; maka segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, atas syariat yang sempurna dan adil ini, dan kami memohon kepada-Nya agar memberi kami kemampuan untuk berpegang teguh dengannya dan mengamalkan hukum-hukumnya; dengan ikhlas kepada-Nya dalam beragama meskipun orang-orang kafir membencinya.
وَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا إِذَا كَانَتْ غَيْرَ حَامِلٍ؛ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرَةَ أَيَّامٍ، سَوَاءٌ كَانَتْ وَفَاتُهُ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا أَوْ بَعْدَهُ، وَسَوَاءٌ كَانَتِ الزَّوْجَةُ مِمَّنْ يُوطَأُ مِثْلُهَا أَمْ لَا؟، وَذَلِكَ لِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا﴾ .
Dan wanita yang ditinggal mati suaminya jika tidak hamil; maka ia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, baik kematiannya sebelum dukhul dengannya atau setelahnya, dan baik istri tersebut termasuk yang bisa disetubuhi atau tidak?, dan itu karena keumuman firman Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari".
قَالَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ: "عِدَّةُ الْوَفَاةِ وَاجِبَةٌ بِالْمَوْتِ، دَخَلَ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا؛ لِعُمُومِ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَاتِّفَاقِ النَّاسِ، وَلَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنْ عِدَّةِ الْوَفَاةِ
Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata: "Iddah kematian wajib karena kematian, baik sudah dukhul dengannya atau belum; karena keumuman Al-Qur'an, Sunnah, dan kesepakatan manusia, dan tujuan dari iddah kematian bukanlah
اسْتِبْرَاءُ الرَّحِمِ، وَلَا هِيَ تَعَبُّدٌ مَحْضٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الشَّرِيعَةِ حُكْمٌ وَاحِدٌ؛ إِلَّا وَلَهُ مَعْنًى وَحِكْمَةٌ يَعْقِلُهُ مَنْ عَقَلَهُ وَيَخْفَى عَلَى مَنْ خَفِيَ عَلَيْهِ" نَهَى.
Pembersihan rahim, dan itu bukan semata-mata ibadah; karena tidak ada satu pun hukum dalam syariat; kecuali memiliki makna dan hikmah yang dapat dipahami oleh orang yang memahaminya dan tersembunyi bagi orang yang tidak memahaminya" selesai.
وَقَالَ الْوَزِيرُ وَغَيْرُهُ: "اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ عِدَّةَ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا مَا لَمْ تَكُنْ حَامِلًا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا" انْتَهَى.
Menteri dan yang lainnya berkata: "Mereka sepakat bahwa 'iddah wanita yang ditinggal mati suaminya jika dia tidak hamil adalah empat bulan sepuluh hari" selesai.
وَالْأَمَةُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا تَعْتَدُّ نِصْفَ هَذِهِ الْمُدَّةِ الْمَذْكُورَةِ؛ فَعِدَّتُهَا شَهْرَانِ وَخَمْسَةُ أَيَّامٍ بِلَيَالِيهَا؛ لِأَنَّ الصَّحَابَةَ ﵃ أَجْمَعُوا عَلَى تَنْصِيفِ عِدَّةِ الْأَمَةِ فِي الطَّلَاقِ؛ فَكَذَا عِدَّةُ الْمَوْتِ.
Budak perempuan yang ditinggal mati menjalani setengah dari masa tersebut; maka 'iddahnya adalah dua bulan lima hari dengan malamnya; karena para sahabat ﵃ sepakat untuk mengurangi separuh 'iddah budak perempuan dalam talak; demikian pula 'iddah kematian.
قَالَ الْمُوَفَّقُ ابْنُ قُدَامَةَ: "فِي قَوْلِ عَامَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ؛ مِنْهُمْ: مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ"، وَقَالَ فِي "الْمُبْدِعِ": "أَجْمَعَ الصَّحَابَةُ عَلَى أَنَّ عِدَّةَ الْأَمَةِ عَلَى النِّصْفِ مِنْ عِدَّةِ الْحُرَّةِ"، وَإِلَّا فَظَاهِرُ الْآيَةِ الْعُمُومُ.
Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah berkata: "Menurut pendapat mayoritas ahli ilmu; di antaranya: Malik, Asy-Syafi'i, dan Ashab ar-Ra'yi", dan dia berkata dalam "Al-Mubdi'": "Para sahabat sepakat bahwa 'iddah budak perempuan adalah setengah dari 'iddah wanita merdeka", jika tidak, maka zahir ayat adalah umum.
هَذَا؛ وَلِعِدَّةِ الْوَفَاةِ أَحْكَامٌ تَخْتَصُّ بِهَا:
Ini; dan 'iddah kematian memiliki hukum-hukum khusus:
فَمِنْ أَحْكَامِهَا: أَنَّهُ يَجِبُ أَنْ تَعْتَدَّ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا فِي الْمَنْزِلِ الَّذِي مَاتَ زَوْجُهَا وَهِيَ فِيهِ؛ فَلَا يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَتَحَوَّلَ عَنْهُ؛ إِلَّا لِعُذْرٍ لِقَوْلِهِ ﷺ: "امْكُثِي فِي بَيْتِكِ"، وَفِي لَفْظٍ: "اعْتَدِّي فِي الْبَيْتِ الَّذِي أَتَاكِ فِيهِ نَعْيُ
Di antara hukum-hukumnya: bahwa wanita yang ditinggal mati harus menjalani 'iddah di rumah tempat suaminya meninggal dan dia berada di dalamnya; maka tidak boleh baginya pindah darinya; kecuali karena uzur, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Tetaplah di rumahmu", dan dalam satu lafaz: "Jalani 'iddah di rumah tempat engkau mendapat kabar kematian
زَوْجُكِ"، وَفِي لَفْظٍ: "حَيْثُ أَتَاكِ الْخَبَرُ"، رَوَاهُ أَهْلُ السُّنَنِ.
"Suamimu", dan dalam lafal lain: "Di mana berita itu sampai kepadamu", diriwayatkan oleh Ahlu Sunan.
فَإِنِ اضْطُرَّتْ إِلَى التَّحَوُّلِ إِلَى بَيْتِ غَيْرِهِ: فَإِنْ خَافَتْ عَلَى نَفْسِهَا مِنَ الْبَقَاءِ فِيهِ أَوْ حُوِّلَتْ عَنْهُ قَهْرًا أَوْ كَانَ الْبَيْتُ مُسْتَأْجَرًا وَحَوَّلَهَا مَالِكُهُ أَوْ طَلَبَ أَكْثَرَ مِنْ أُجْرَتِهِ؛ فَإِنَّهَا فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ تَنْتَقِلُ حَيْثُ شَاءَتْ دَفْعَ الضَّرَرِ.
Jika dia terpaksa pindah ke rumah orang lain: jika dia takut untuk tinggal di dalamnya atau dipindahkan darinya dengan paksa atau rumah itu disewa dan pemiliknya memindahkannya atau meminta lebih dari sewanya; maka dalam keadaan ini dia pindah ke mana saja yang dia inginkan untuk menghilangkan bahaya.
وَيَجُوزُ لِلْمُعْتَدَّةِ مِنْ وَفَاةِ زَوْجِهَا: الْخُرُوجُ مِنَ الْبَيْتِ لِحَاجَتِهَا فِي النَّهَارِ، لَا فِي اللَّيْلِ؛ مَظِنَّةَ الْفَسَادِ، وَلِقَوْلِهِ ﷺ لِلْمُعْتَدَّاتِ مِنَ الْوَفَاةِ: "تَحَدَّثْنَ عِنْدَ إِحْدَاكُنَّ، حَتَّى إِذَا أَرَدْتُنَّ النَّوْمَ؛ فَلْتَأْتِ كُلُّ وَاحِدَةٍ إِلَى بَيْتِهَا".
Diperbolehkan bagi wanita yang ber'iddah karena kematian suaminya: keluar rumah untuk keperluannya di siang hari, bukan di malam hari; karena malam hari adalah waktu kerusakan, dan karena sabda Nabi ﷺ kepada para wanita yang ber'iddah karena kematian: "Berbicaralah di rumah salah seorang dari kalian, sampai jika kalian ingin tidur; maka hendaklah masing-masing dari kalian kembali ke rumahnya".
وَمِنْ أَحْكَامِ عِدَّةِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا: وُجُوبُ الْإِحْدَادِ عَلَى الْمُعْتَدَّةِ مُدَّةَ الْعِدَّةِ، وَالْإِحْدَادُ: اجْتِنَابُهَا مَا يَدْعُو إِلَى وَيَرْغَبُ فِي النَّظَرِ إِلَيْهَا.
Di antara hukum-hukum 'iddah wanita yang ditinggal mati suaminya: wajibnya ihdad bagi wanita yang ber'iddah selama masa 'iddah, dan ihdad adalah: menghindari apa yang mengundang dan membuat orang tertarik untuk melihatnya.
قَالَ الْإِمَامُ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "هَذَا مِنْ تَمَامِ مَحَاسِنِ هَذِهِ الشَّرِيعَةِ وَحِكْمَتِهَا وَرِعَايَتِهَا عَلَى أَكْمَلِ الْوُجُوهِ؛ فَإِنَّ الْإِحْدَادَ عَلَى الْمَيِّتِ مِنْ تَعْظِيمِ مُصِيبَةِ الْمَوْتِ الَّتِي كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يُبَالِغُونَ فِيهَا أَعْظَمَ مُبَالَغَةٍ، وَتَمْكُثُ الْمَرْأَةُ فِي أَضْيَقِ بَيْتٍ وَأَوْحَشِهِ، لَا تَمَسُّ طِيبًا، وَلَا تَدَّهِنُ، وَلَا تَغْتَسِلُ ... إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ تَسَخُّطٌ عَلَى
Imam Al-'Allamah Ibnu Al-Qayyim ﵀ berkata: "Ini termasuk kesempurnaan keindahan syariat ini, hikmahnya, dan perhatiannya dengan cara yang paling sempurna; karena ihdad atas orang yang meninggal adalah bagian dari pengagungan musibah kematian yang orang-orang jahiliyah sangat melebih-lebihkan di dalamnya, dan seorang wanita tinggal di rumah yang paling sempit dan paling menakutkan, tidak menyentuh wewangian, tidak meminyaki rambutnya, tidak mandi ... dan lain sebagainya yang merupakan bentuk kemarahan terhadap
الرَّبُّ وَأَقْدَارُهُ، فَأَبْطَلَ اللهُ بِحُكْمِهِ سُنَّةَ الجَاهِلِيَّةِ، وَأَبْدَلَنَا بِهِ الصَّبْرَ وَالحَمْدَ.
Tuhan dan takdir-Nya, maka Allah membatalkan dengan hukum-Nya sunnah jahiliyah, dan menggantikannya bagi kita dengan kesabaran dan pujian.
وَلَمَّا كَانَتْ مُصِيبَةُ المَوْتِ لَا بُدَّ أَنْ تُحْدِثَ لِلْمُصَابِ مِنَ الجَزَعِ وَالأَلَمِ وَالحُزْنِ مَا تَقَاضَاهُ الطِّبَاعُ؛ سَمَحَ لَهَا الحَكِيمُ الخَبِيرُ فِي اليَسِيرِ مِنْ ذَلِكَ [يَعْنِي: لِغَيْرِ الزَّوْجَةِ، وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ]؛ تَجِدُ بِهَا نَوْعَ رَاحَةٍ، وَتَقْضِي بِهَا وَطَرًا مِنَ الحُزْنِ، وَمَا زَادَ؛ فَمَفْسَدَتُهُ رَاجِحَةٌ، فَمَنَعَ مِنْهُ.
Dan ketika musibah kematian pasti menimbulkan pada orang yang tertimpa musibah berupa kegelisahan, rasa sakit, dan kesedihan yang dituntut oleh tabiat; Yang Mahabijaksana lagi Mahamengetahui mengizinkan baginya dalam hal yang sedikit dari itu [yaitu: bagi selain istri, dan itu adalah tiga hari]; ia mendapatkan dengannya semacam ketenangan, dan menunaikan dengannya suatu kebutuhan dari kesedihan, dan apa yang lebih dari itu; maka kerusakannya lebih besar, maka Dia melarangnya.
وَالمَقْصُودُ أَنَّهُ أَبَاحَ لَهُنَّ الإِحْدَادَ عَلَى مَوْتَاهُنَّ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَأَمَّا الإِحْدَادُ عَلَى الزَّوْجِ؛ فَإِنَّهُ تَابِعٌ لِلْعِدَّةِ بِالشُّهُورِ، الحَامِلُ؛ فَإِذَا انْقَضَى حَمْلُهَا؛ سَقَطَ وُجُوبُ الإِحْدَادِ، وَذَكَرَ أَنَّهُ يَسْتَمِرُّ إِلَى حِينِ الوَضْعِ؛ فَإِنَّهُ مِنْ تَوَابِعِ العِدَّةِ، وَلِهَذَا قَيَّدَ بِمُدَّتِهَا، وَهُوَ حُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ العِدَّةِ، وَوَاجِبٌ مِنْ وَجِبَاتِهَا، فَكَانَ مَعَهَا وُجُودًا وَعَدَمًا ... ".
Dan tujuannya adalah bahwa Dia membolehkan bagi mereka (para wanita) untuk berkabung atas kematian mereka selama tiga hari, adapun berkabung atas suami; maka sesungguhnya itu mengikuti "`iddah" dengan bulan-bulan, wanita hamil; maka apabila telah selesai kehamilannya; gugurlah kewajiban berkabung, dan Dia menyebutkan bahwa itu berlanjut hingga saat melahirkan; karena sesungguhnya itu termasuk konsekuensi dari "`iddah", dan karena ini Dia membatasinya dengan waktunya, dan itu adalah hukum dari hukum-hukum "`iddah", dan kewajiban dari kewajiban-kewajibannya, maka itu ada bersamanya dalam keberadaan dan ketiadaan ... ".
إِلَى أَنْ قَالَ: "وَهُوَ مِنْ مُقْتَضَيَاتِهَا وَمُكَمِّلَاتِهَا، وَهِيَ إِنَّمَا تَحْتَاجُ إِلَى التَّزَيُّنِ لِتَتَحَبَّبَ إِلَى زَوْجِهَا، فَإِذَا مَاتَ وَهِيَ لَمْ تَصِلْ إِلَى آخِرَ؛ اقْتَضَى تَمَامَ حَقِّ الأَوَّلِ وَتَأْكِيدَ المَنْعِ مِنَ الثَّانِي قَبْلَ بُلُوغِ الكِتَابِ أَجَلَهُ: أَنْ تُمْنَعَ مِمَّا تَصْنَعُهُ النِّسَاءُ لِأَزْوَاجِهِنَّ، مَعَ مَا فِي ذَلِكَ مِنْ سَدِّ الذَّرِيعَةِ إِلَى طَمَعِهَا فِي الرِّجَالِ وَطَمَعِهِمْ فِيهَا بِالزِّينَةِ" انْتَهَى كَلَامُهُ ﷲ.
Hingga ia berkata: "Dan itu termasuk konsekuensi-konsekuensinya dan penyempurna-penyempurnanya, dan sesungguhnya ia hanya membutuhkan berhias untuk menjadi dicintai oleh suaminya, maka apabila ia meninggal dan ia belum sampai pada yang lain; mengharuskan kesempurnaan hak yang pertama dan penegasan larangan dari yang kedua sebelum sampainya kitab pada ajalnya: bahwa ia dilarang dari apa yang dilakukan oleh para wanita untuk suami-suami mereka, disertai apa yang ada pada itu berupa penutupan jalan menuju ketamakannya terhadap para lelaki dan ketamakan mereka terhadapnya dengan perhiasan" selesai perkataannya ﷲ.
فَيَجِبُ عَلَى المُعْتَدَّةِ مِنَ الوَفَاءِ فِي هَذَا الإِحْدَادِ أَنْ تَجْتَنِبَ عَمَلَ الزِّينَةِ فِي بَدَنِهَا بِالتَّحْسِينِ بِالأَصْبَاغِ وَالخِضَابِ وَنَحْوِهِ، وَتَتَجَنَّبَ لُبْسَ
Maka wajib atas wanita yang menjalani "`iddah" dari pemenuhan dalam berkabung ini untuk menjauhi melakukan perhiasan pada badannya dengan memperindah dengan pewarna-pewarna dan "`khidhab" dan sejenisnya, dan menjauhi memakai
الحُلِيَّ بِأَنْوَاعِهِ، وَتَتَجَنَّبُ الطِّيبَ بِسَائِرِ أَنْوَاعِهِ، وَهُوَ كُلُّ مَا يُسَمَّى طِيبًا، وَتَجْتَنِبُ الزِّينَةَ فِي الثِّيَابِ؛ فَلَا تَلْبَسُ الثِّيَابَ الَّتِي فِيهَا زِينَةٌ، وَتَقْتَصِرُ عَلَى الثِّيَابِ الَّتِي لَا زِينَةَ فِيهَا؛ فَتَجْتَنِبُ كُلَّ ذَلِكَ مُدَّةَ العِدَّةِ.
Perhiasan dengan segala jenisnya, dan menghindari wewangian dengan segala jenisnya, yaitu segala sesuatu yang disebut wewangian, dan menghindari perhiasan pada pakaian; maka janganlah memakai pakaian yang ada perhiasannya, dan membatasi diri pada pakaian yang tidak ada perhiasannya; maka menghindari semua itu selama masa 'iddah.
وَلَيْسَ لِلْإِحْدَادِ لِبَاسٌ خَاصٌّ، فَتَلْبَسُ المُحِدَّةُ مَا جَرَتْ عَادَتُهَا بِلُبْسِهِ، مَا لَمْ فِيهِ زِينَةٌ.
Dan tidak ada pakaian khusus untuk ihdad, maka perempuan yang berihdad memakai apa yang menjadi kebiasaannya untuk dipakai, selama tidak ada perhiasan di dalamnya.
وَإِذَا خَرَجَتْ مِنَ العِدَّةِ؛ لَمْ يَلْزَمْهَا أَنْ تَفْعَلَ شَيْئًا؛ كَمَا يَظُنُّهُ بَعْضُ العَوَامِّ.
Dan apabila dia keluar dari 'iddah; tidak wajib baginya untuk melakukan sesuatu; sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam.
وَعِدَّةُ الآيِسَةِ: ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ﴾.
Dan 'iddah wanita yang putus haid: tiga bulan; karena firman Allah Ta'ala: "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan."
وَالمُطَلَّقَةُ إِذَا كَانَتْ تَحِيضُ، وَلَمْ يَكُنْ حَمْلٌ: تَعْتَدُّ بِثَلَاثِ حِيَضٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ﴾؛ أَيْ: وَالمُطَلَّقَاتُ يَنْتَظِرْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ وَتَمْكُثُ إِحْدَاهُنَّ بَعْدَ طَلَاقِ زَوْجِهَا ﴿ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ﴾؛ أَيْ: ثَلَاثَ حِيَضٍ، ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَتَزَوَّجُ إِنْ شَاءَتْ.
Dan wanita yang ditalak jika dia haid, dan tidak hamil: dia ber'iddah dengan tiga kali haid; karena firman Allah Ta'ala: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya"; yaitu: dan wanita-wanita yang ditalak menunggu dengan diri mereka dan menetap salah seorang dari mereka setelah talak suaminya "tiga kali quru'"; yaitu: tiga kali haid, kemudian setelah itu dia boleh menikah jika dia mau.
وَتَفْسِيرُ الإِقْرَاءِ بِالحَيْضِ مَرْوِيٌّ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ ﵃، وَلِأَنَّهُ وَرَدَ الأَقْرَاءُ فِي لِسَانِ الشَّرْعِ؛ فَفِي الحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ لِلْمُسْتَحَاضَةِ: "فَإِذَا أَتَى قَرْؤُكِ؛ فَلَا تُصَلِّي".
Dan penafsiran quru' dengan haid diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Abbas ﵃, dan karena quru' disebutkan dalam bahasa syariat; maka dalam hadits bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada wanita yang istihadhah: "Maka apabila datang quru'mu; maka janganlah engkau shalat".
وَلَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ الحَيْضَةُ كَامِلَةً؛ فَلَا تَعْتَدُّ بِحَيْضَةٍ طُلِّقَتْ فِيهَا؛
Dan haidnya harus sempurna; maka dia tidak ber'iddah dengan haid yang dia ditalak di dalamnya;
فَالطَّلَاقُ فِي الْحَيْضِ يَقَعُ مَعَ التَّحْرِيمِ، لَكِنْ لَا تَعْتَدُّ بِتِلْكَ الْحَيْضَةِ الَّتِي طُلِّقَتْ فِيهَا.
Talak yang dijatuhkan pada saat haid tetap sah meskipun hukumnya haram, tetapi masa haid tersebut tidak dihitung sebagai masa 'iddah.
وَإِنْ كَانَتِ الْمُطَلَّقَةُ أَمَةً؛ اعْتَدَّتْ بِحَيْضَتَيْنِ؛ لِمَا رُوِيَ: "قُرْءُ الْأَمَةِ حَيْضَتَانِ"، وَلِأَنَّ هَذَا قَوْلُ عُمَرَ وَابْنِهِ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، وَلَمْ يُعْرَفْ لَهُمْ مُخَالِفٌ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَيَكُونُ ذَلِكَ مُخَصِّصًا لِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ﴾، وَكَانَ الْقِيَاسُ أَنْ تَكُونَ عِدَّتُهَا حَيْضَةً وَنِصْفَ حَيْضَةٍ، لَكِنَّ الْحَيْضَ لَا يَتَبَعَّضُ، فَصَارَتْ حَيْضَتَيْنِ.
Jika wanita yang ditalak adalah seorang budak, maka masa 'iddahnya adalah dua kali haid, berdasarkan riwayat: "Quru' (masa haid) budak perempuan adalah dua kali haid", dan karena ini adalah pendapat Umar, putranya, dan Ali bin Abi Thalib, serta tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka. Hal ini menjadi pengkhususan bagi keumuman firman Allah Ta'ala: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'". Seharusnya masa 'iddahnya adalah satu setengah kali haid menurut qiyas, tetapi haid tidak bisa dibagi-bagi, sehingga menjadi dua kali haid.
وَأَمَّا الْمُطَلَّقَةُ الْآيِسَةُ مِنَ الْحَيْضِ لِكِبَرِهَا وَالصَّغِيرَةُ الَّتِي لَمْ تَحِضْ بَعْدُ؛ فَإِنَّهَا تَعْتَدُّ بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ﴾؛ أَيْ: وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ.
Adapun wanita yang ditalak yang telah putus haid karena usia lanjut dan anak perempuan yang belum haid, maka masa 'iddahnya adalah tiga bulan, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)", yaitu: perempuan-perempuan dari kalangan kalian yang tidak haid, maka 'iddah mereka adalah tiga bulan.
قَالَ الْإِمَامُ مُوَفَّقُ الدِّينِ قُدَامَةَ وَغَيْرُهُ: "أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ عِدَّةَ الْحُرَّةِ الْآيِسَةِ وَالصَّغِيرَةِ الَّتِي لَمْ تَحِضْ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ".
Imam Muwaffaquddin Qudamah dan lainnya berkata: "Para ulama sepakat bahwa 'iddah wanita merdeka yang telah menopause dan anak perempuan yang belum haid adalah tiga bulan".
وَمَنْ بَلَغَتْ وَلَمْ تَحِضْ؛ اعْتَدَّتْ عِدَّةَ الْآيِسَةِ، ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ، لِدُخُولِهَا فِي عُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ﴾ .
Wanita yang telah mencapai usia baligh tetapi belum haid, maka ia menjalani 'iddah seperti wanita menopause, yaitu tiga bulan, karena ia termasuk dalam keumuman firman Allah Ta'ala: "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)".
وَإِنْ كَانَتِ الْمُطَلَّقَةُ الْآيِسَةُ أَوِ الصَّغِيرَةُ أُمَّ وَلَدٍ؛ فَعِدَّتُهَا شَهْرَانِ؛ لِقَوْلِ عُمَرَ ﵁: "عِدَّةُ أُمِّ الْوَلَدِ حَيْضَتَانِ، فَإِنْ لَمْ تَحِضْ؛ شَهْرَانِ"،
Jika wanita yang ditalak adalah seorang ummu walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya) yang telah menopause atau masih kecil, maka masa 'iddahnya adalah dua bulan, berdasarkan perkataan Umar ﵁: "'Iddah ummu walad adalah dua kali haid, jika ia tidak haid maka dua bulan",
وَذَلِكَ لِأَنَّ الْأَشْهُرَ بَدَلٌ مِنَ الْقُرُوءِ، وَذَهَبَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّ عِدَّتَهَا شَهْرٌ وَنِصْفٌ؛ لِأَنَّ عِدَّةَ الْأَمَةِ نِصْفُ عِدَّةِ الْحُرَّةِ، وَعِدَّةُ الْحُرَّةِ الَّتِي لَا تَحِيضُ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ، فَتَكُونُ عِدَّةُ الْأَمَةِ الْآيِسَةِ شَهْرًا وَنِصْفَ شَهْرٍ.
Hal itu karena bulan adalah pengganti dari quru', dan sebagian ulama berpendapat bahwa 'iddah-nya adalah satu setengah bulan; karena 'iddah budak perempuan adalah setengah dari 'iddah wanita merdeka, dan 'iddah wanita merdeka yang tidak haid adalah tiga bulan, maka 'iddah budak perempuan yang telah putus haid adalah satu setengah bulan.
وَأَمَّا الْمُطَلَّقَةُ الَّتِي كَانَتْ تَحِيضُ، ثُمَّ ارْتَفَعَ حَيْضُهَا، وَانْقَطَعَ انْقِطَاعًا طَارِئًا لَا لِكِبَرٍ؛ فَهَذِهِ لَهَا حَالَتَانِ:
Adapun wanita yang ditalak yang dahulu haid, kemudian haidnya berhenti, dan terputus secara tiba-tiba bukan karena usia lanjut; maka ia memiliki dua keadaan:
الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ لَا تَعْلَمَ السَّبَبَ الَّذِي مَنَعَ حَيْضَهَا؛ فَهَذِهِ عِدَّتُهَا سَنَةٌ: تِسْعَةُ أَشْهُرٍ لِلْحَمْلِ، وَثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ لِلْعِدَّةِ "أَيْ: عِدَّةُ الْآيِسَةِ".
Keadaan pertama: Ia tidak mengetahui sebab yang mencegah haidnya; maka 'iddah-nya adalah satu tahun: sembilan bulan untuk kehamilan, dan tiga bulan untuk 'iddah "yaitu: 'iddah wanita yang telah putus haid".
قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ ﵀: "هَذَا قَضَاءُ عُمَرَ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، لَا يُنْكِرُهُ مِنْهُمْ عَلِمْنَاهُ"، وَلِأَنَّ الْغَرَضَ مِنَ الْعِدَّةِ هُوَ الْعِلْمُ بِبَرَاءَةِ رَحِمِهَا مِنَ الْحَمْلِ، فَإِذَا مَضَتْ تِسْعَةُ الْأَشْهُرِ؛ دَلَّتْ عَلَى بَرَاءَةِ رَحِمِهَا مِنْهُ، فَتَعْتَدُّ حِينَئِذٍ عِدَّةَ الْآيِسَةِ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ، فَيَكُونُ الْمَجْمُوعُ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا، وَبِهَا يَحْصُلُ الْعِلْمُ بِبَرَاءَةِ رَحِمِهَا مِنَ الْحَمْلِ وَالْحَيْضِ".
Imam Syafi'i ﵀ berkata: "Ini adalah keputusan Umar di antara kaum Muhajirin dan Anshar, tidak ada yang mengingkarinya dari mereka yang kami ketahui", dan karena tujuan dari 'iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim dari kehamilan, maka jika telah berlalu sembilan bulan; itu menunjukkan kosongnya rahimnya darinya, maka ia ber'iddah saat itu dengan 'iddah wanita yang telah putus haid selama tiga bulan, sehingga jumlah keseluruhannya menjadi dua belas bulan, dan dengannya diperoleh pengetahuan tentang kosongnya rahim dari kehamilan dan haid".
الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَعْلَمَ السَّبَبَ الَّذِي ارْتَفَعَ حَيْضُهَا؛ كَالْمَرَضِ وَالرَّضَاعِ وَتَنَاوُلِ الدَّوَاءِ الَّذِي يَرْفَعُ الْحَيْضَ؛ فَهَذِهِ تَنْتَظِرُ زَوَالَ ذَلِكَ الْمَانِعِ، فَإِنْ عَادَ الْحَيْضُ بَعْدَ زَوَالِهِ؛ اعْتَدَّتْ بِهِ، وَإِنْ زَالَ الْمَانِعُ وَلَمْ يَعُدِ الْحَيْضُ؛ فَالصَّحِيحُ أَنَّهَا تَعْتَدُّ سَنَةً كَالَّتِي ارْتَفَعَ حَيْضُهَا وَلَمْ تَدْرِ سَبَبَ رَفْعِهِ، وَاخْتَارَهُ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ، وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ.
Keadaan kedua: Ia mengetahui sebab yang mengangkat haidnya; seperti penyakit, menyusui, dan mengonsumsi obat yang menghentikan haid; maka ia menunggu hilangnya penghalang tersebut, jika haid kembali setelah hilangnya penghalang; ia ber'iddah dengannya, dan jika penghalang telah hilang namun haid tidak kembali; maka yang benar adalah ia ber'iddah selama satu tahun seperti wanita yang haidnya berhenti dan ia tidak mengetahui sebab berhentinya, dan ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan ini adalah riwayat dari Imam Ahmad.
وَأَمَّا الْمُسْتَحَاضَةُ؛ فَلَهَا حَالَاتٌ:
Adapun wanita yang istihadhah; ia memiliki beberapa keadaan:
الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ تَكُونَ تَعْرِفُ قَدْرَ أَيَّامِ عَادَتِهَا قَبْلَ الِاسْتِحَاضَةِ، وَتَعْرِفُ وَقْتَهَا فَهَذِهِ تَنْقَضِي عِدَّتُهَا بِمُضِيِّ الْمُدَّةِ الَّتِي يَحْصُلُ لَهَا بِهَا مِقْدَارُ ثَلَاثِ حِيَضٍ حَسَبَ أَيَّامِ عَادَتِهَا.
Keadaan pertama: Ia mengetahui ukuran hari-hari kebiasaannya sebelum istihadhah, dan mengetahui waktunya, maka 'iddah-nya selesai dengan berlalunya masa yang dengannya ia mendapatkan ukuran tiga kali haid sesuai hari-hari kebiasaannya.
الحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ تَنْسَى أَيَّامَ عَادَتِهَا، وَلَكِنْ يَكُونُ دَمُهَا مُتَمَيِّزًا؛ فَهَذِهِ تَعْتَبِرُ الدَّمَ المُتَمَيِّزَ حَيْضًا تَعْتَدُّ بِهِ إِنْ صَلُحَ أَنْ يَكُونَ حَيْضًا.
Kasus kedua: Jika seorang wanita lupa hari-hari kebiasaannya, tetapi darahnya dapat dibedakan; maka dia menganggap darah yang dapat dibedakan itu sebagai haid yang dapat dihitung jika memang layak untuk menjadi haid.
الحَالَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ تَنْسَيَ عَادَتَهَا وَلَيْسَ لَهَا تَمْيِيزٌ يُعْتَبَرُ؛ فَهَذِهِ تَعْتَدُّ عِدَّةَ الآيِسَةِ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ.
Kasus ketiga: Jika seorang wanita lupa kebiasaannya dan tidak memiliki pembeda yang dapat dianggap; maka dia menghitung masa 'iddah seperti wanita menopause, yaitu tiga bulan.
وَمِنَ الأَحْكَامِ المُتَعَلِّقَةِ بِالعِدَّةِ: مَسْأَلَةُ خِطْبَةِ المُعْتَدَّةِ؛ فَالمُعْتَدَّةُ مِنْ وَفَاةٍ وَالمُعْتَدَّةُ البَائِنُ بِطَلَاقٍ يَحْرُمُ التَّصْرِيحُ بِخِطْبَتِهِمَا؛ كَقَوْلِهِ: أُرِيدُ أَنْ أَتَزَوَّجَكِ وَنَحْوَهُ؛ دُونَ التَّعْرِيضِ؛ كَأَنْ يَقُولَ لَهَا: إِنِّي فِي مِثْلِكِ لَرَاغِبٌ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ﴾.
Di antara hukum-hukum yang berkaitan dengan 'iddah: masalah meminang wanita yang sedang menjalani 'iddah; wanita yang menjalani 'iddah karena kematian suami dan wanita yang dicerai secara ba'in (talak tiga), haram untuk secara terang-terangan meminangnya; seperti mengatakan: "Aku ingin menikahimu" dan sejenisnya; tanpa sindiran; seperti mengatakan kepadanya: "Sesungguhnya aku tertarik dengan wanita sepertimu"; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran."
وَيُبَاحُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَخْطُبَ مَنْ أَبَانَهَا دُونَ الثَّلَاثِ وَمَنْ طَلَّقَهَا طَلَاقًا رَجْعِيًّا تَصْرِيحًا أَوْ تَعْرِيضًا؛ لِأَنَّهُ يُبَاحُ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ مَنْ أَبَانَهَا دُونَ الثَّلَاثِ، وَأَنْ يُرَاجِعَ مُطَلَّقَتَهُ الرَّجْعِيَّةَ مَا دَامَتْ فِي عِدَّتِهَا.
Seorang pria diperbolehkan untuk meminang wanita yang diceraikannya kurang dari tiga kali dan wanita yang diceraikannya dengan talak raj'i, baik secara terang-terangan maupun sindiran; karena dia diperbolehkan untuk menikahi wanita yang diceraikannya kurang dari tiga kali, dan untuk merujuk istrinya yang dicerai dengan talak raj'i selama masih dalam masa 'iddahnya.
وَأَمَّا زَوْجَةُ المَفْقُودِ وَهُوَ مَنْ انْقَطَعَ خَبَرُهُ، فَلَمْ تُعْلَمْ حَيَاتُهُ وَلَا مَوْتُهُ؛ فَتَنْتَظِرُ زَوْجَتُهُ قُدُومَهُ أَوْ تَبَيُّنَ خَبَرٍ فِي مُدَّةٍ يَضْرِبُهَا القَاضِي تَكُونُ كَافِيَةً لِلِاحْتِيَاطِ فِي شَأْنِهِ، وَتَبْقَى فِي عِصْمَتِهِ فِي تِلْكَ المُدَّةِ؛ لِأَنَّ الأَصْلَ حَيَاتُهُ، فَإِذَا تَمَّتْ مُدَّةُ الِانْتِظَارِ المَضْرُوبَةُ؛ حُكِمَ بِوَفَاتِهِ، وَاعْتَدَّتْ زَوْجَتُهُ عِدَّةَ الوَفَاةِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرَةَ أَيَّامٍ، وَقَدْ حَكَمَ الصَّحَابَةُ ﵃ بِذَلِكَ.
Adapun istri orang yang hilang, yaitu orang yang terputus kabarnya, tidak diketahui hidup atau matinya; maka istrinya menunggu kedatangannya atau menunggu kejelasan kabar dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh hakim yang cukup untuk berhati-hati dalam urusannya, dan dia tetap dalam ikatannya selama masa itu; karena pada dasarnya dia masih hidup. Jika masa penantian yang ditetapkan telah selesai; maka dihukumi kematiannya, dan istrinya menjalani 'iddah kematian selama empat bulan sepuluh hari, dan para sahabat ﵃ telah memutuskan hal itu.
قَالَ الإِمَامُ ابْنُ القَيِّمِ: "حَكَمَ الخُلَفَاءُ فِي امْرَأَةِ المَفْقُودِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ عُمَرَ، وَقَالَ أَحْمَدُ: مَا فِي نَفْسِي شَيْءٌ مِنْهُ، خَمْسَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ أَمَرُوهَا أَنْ تَتَرَبَّصَ".
Imam Ibnu Al-Qayyim berkata: "Para khalifah telah memutuskan tentang istri orang yang hilang sebagaimana ditetapkan dari Umar, dan Ahmad berkata: Aku tidak ragu sedikitpun tentang hal itu, lima orang sahabat memerintahkannya untuk menunggu."
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: "قَوْلُ عُمَرَ هُوَ أَصَحُّ الْأَقْوَالِ وَأَحْرَاهَا بِالْقِيَاسِ. وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: هُوَ الصَّوَابُ" انْتَهَى.
Ibnu Qayyim berkata: "Perkataan Umar adalah pendapat yang paling sahih dan paling sesuai dengan qiyas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Itu adalah yang benar" Selesai.
فَإِذَا انْتَهَتْ عِدَّتُهَا؛ حَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ، وَلَا تَفْتَقِرُ إِلَى طَلَاقٍ وَلِيِّ زَوْجِهَا بَعْدَ اعْتِدَادِهَا لِلْوَفَاةِ، فَإِنْ تَزَوَّجَتْ، وَقَدِمَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ؛ فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يُخَيَّرُ بَيْنَ اسْتِرْجَاعِهَا وَبَيْنَ إِمْضَاءِ تَزَوُّجِهَا مِنَ الثَّانِي، وَيَأْخُذُ صَدَاقَهُ، سَوَاءٌ كَانَ قُدُومُهُ بَعْدَ دُخُولِ الزَّوْجِ الثَّانِي أَوْ قَبْلَهُ.
Jika masa iddahnya telah selesai; maka dia halal bagi para suami, dan tidak membutuhkan talak dari wali suaminya setelah menjalani iddah wafat. Jika dia menikah, dan suami pertamanya datang; maka yang benar adalah dia diberi pilihan antara mengambilnya kembali atau membiarkan pernikahannya dengan suami kedua, dan dia mengambil maharnya, baik kedatangannya setelah suami kedua menggaulinya atau sebelumnya.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "الصَّوَابُ فِي امْرَأَةِ الْمَفْقُودِ مَذْهَبُ عُمَرَ وَغَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَهُوَ أَنَّهَا تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ، ثُمَّ تَعْتَدُّ لِلْوَفَاةِ، وَيَجُوزُ لَهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ بَعْدَ ذَلِكَ، وَهِيَ زَوْجَةُ الثَّانِي ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، ثُمَّ إِذَا قَدِمَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ بَعْدَ تَزَوُّجِهَا؛ خُيِّرَ بَيْنَ امْرَأَتِهِ وَبَيْنَ مَهْرِهَا، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ مَا قَبْلَ الدُّخُولِ وَبَعْدَهُ، وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ أَحْمَدَ"، ثُمَّ قَالَ: "وَالتَّخْيِيرُ فِيهِ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَالْمَهْرِ هُوَ أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ" انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ﵀ berkata: "Yang benar tentang istri orang yang hilang adalah pendapat Umar dan para sahabat lainnya, yaitu bahwa dia menunggu empat tahun, kemudian menjalani iddah wafat, dan boleh baginya menikah setelah itu, dan dia adalah istri suami kedua secara lahir dan batin. Kemudian jika suami pertamanya datang setelah dia menikah; dia diberi pilihan antara istrinya atau maharnya, dan tidak ada perbedaan antara sebelum atau sesudah dukhul, dan ini adalah pendapat mazhab Ahmad yang jelas", kemudian beliau berkata: "Memberi pilihan antara wanita dan mahar adalah pendapat yang paling adil" Selesai.
بَابٌ فِي الِاسْتِبْرَاءِ
بَابٌ فِي الِاسْتِبْرَاءِ
Bab tentang Istibra'
الِاسْتِبْرَاءُ هُوَ: تَرَبُّصٌ؛ يُقْصَدُ مِنْهُ الْعِلْمُ بِبَرَاءَةِ رَحِمِ مِلْكِ يَمِينٍ، مَأْخُوذٌ مِنَ الْبَرَاءَةِ، وَهِيَ التَّمْيِيزُ وَالْقَطْعُ.
Istibra' adalah: menunggu; yang dimaksudkan untuk mengetahui kosongnya rahim budak perempuan, diambil dari kata bara'ah, yaitu pembedaan dan pemutusan.
فَمَنْ مَلَكَ أَمَةً يُوطَأُ مِثْلُهَا بِبَيْعٍ أَوْ هِبَةٍ أَوْ سَبْيٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ؛ حَرُمَ عَلَيْهِ وَطْؤُهَا وَمُقَدِّمَاتُهُ قَبْلَ اسْتِبْرَائِهَا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ؛ فَلَا يَسْقِي مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَأَبُو دَاوُدَ، وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ: "لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ".
Barangsiapa memiliki budak perempuan yang dapat disetubuhi melalui jual beli, hibah, tawanan, atau lainnya; maka haram baginya menyetubuhinya dan pendahuluannya sebelum istibra'; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir; maka janganlah ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain", diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud, dan dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Dawud: "Janganlah disetubuhi perempuan hamil hingga melahirkan".
وَاسْتِبْرَاءُ الْأَمَةِ الْحَامِلِ يَنْتَهِي بِوَضْعِ الْحَمْلِ؛ لِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ﴾ .
Istibra' budak perempuan yang hamil berakhir dengan melahirkan kandungan; karena keumuman firman Allah Ta'ala: "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya".
وَغَيْرُ الْحَامِلِ إِنْ كَانَتْ تَحِيضُ؛ فَاسْتِبْرَاؤُهَا بِحَيْضَةٍ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ فِي سَبْيِ أَوْطَاسٍ: "لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ، وَلَا غَيْرُ حَامِلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ؛ فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى وُجُوبِ اسْتِبْرَاءِ
Adapun yang tidak hamil jika ia haid; maka istibra'nya dengan satu kali haid; berdasarkan sabda Nabi ﷺ tentang tawanan Authas: "Janganlah disetubuhi perempuan hamil hingga melahirkan, dan yang tidak hamil hingga haid satu kali", diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud; maka hadits ini menunjukkan wajibnya istibra'
الأَمَةُ المَسْبِيَّةُ وَغَيْرُهَا قَبْلَ وَطْئِهَا، وَدَلَّ عَلَى بَيَانِ مَا تُسْتَبْرَأُ بِهِ الحَامِلُ وَالحَائِضُ مِنَ المَسْبِيَّاتِ.
Budak perempuan yang ditawan dan lainnya sebelum disetubuhi, dan menunjukkan penjelasan tentang apa yang digunakan untuk mengistibra' (memastikan kosongnya rahim) budak perempuan yang hamil dan haid dari tawanan perang.
وَأَمَّا الأَمَةُ الآيِسَةُ مِنَ الحَيْضِ وَالأَمَةُ الصَّغِيرَةُ؛ فَتُسْتَبْرَءَآنِ بِمُضِيِّ شَهْرٍ؛ لِقِيَامِ الشَّهْرِ مَقَامَ الحَيْضَةِ فِي العِدَّةِ.
Adapun budak perempuan yang telah putus haid dan budak perempuan yang masih kecil; maka keduanya diistibra' dengan berlalunya satu bulan; karena kedudukan satu bulan menempati kedudukan satu kali haid dalam masa 'iddah.
وَالحِكْمَةُ فِي اسْتِبْرَاءِ الأَمَةِ قَبْلَ وَطْئِهَا يُبَيِّنُهَا قَوْلُهُ ﷺ: "مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ؛ فَلَا يَسْقِي مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ"؛ فَبَيَّنَ أَنَّ الغَرَضَ مِنَ الاسْتِبْرَاءِ تَجَنُّبُ اخْتِلَاطِ المِيَاهِ وَاشْتِبَاهُ الأَنْسَابِ
Hikmah dalam mengistibra' budak perempuan sebelum menyetubuhinya dijelaskan oleh sabdanya ﷺ: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir; maka janganlah ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain"; maka beliau menjelaskan bahwa tujuan dari istibra' adalah menghindari percampuran air (mani) dan kekacauan nasab.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الرَّضَاعِ
أَبْوَابٌ
Bab-bab
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الرَّضَاعِ
Bab tentang hukum-hukum penyusuan
قَالَ تَعَالَى فِي سِيَاقِ بَيَانِ الْمُحَرَّمَاتِ مِنَ النِّسَاءِ: ﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ﴾ .
Allah Ta'ala berfirman dalam konteks menjelaskan wanita-wanita yang diharamkan: "Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuanmu sepersusuan".
وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: "يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ".
Dalam "Shahihain" dari Nabi ﷺ: "Diharamkan karena persusuan apa yang diharamkan karena nasab".
وَقَوْلُهُ ﷺ: "يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلَادَةِ"، رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ.
Dan sabdanya ﷺ: "Diharamkan karena persusuan apa yang diharamkan karena kelahiran", diriwayatkan oleh Jama'ah.
وَالرَّضَاعُ لُغَةً: مَصُّ اللَّبَنِ مِنَ الثَّدْيِ أَوْ شُرْبُهُ، وَشَرْعًا: هُوَ مَصُّ مَنْ دُونَ الْحَوْلَيْنِ لَبَنَ اثَابَ عَنْ حَمْلٍ أَوْ شُرْبُهُ أَوْ نَحْوُهُ.
Ar-Radha' secara bahasa: menghisap susu dari payudara atau meminumnya, dan secara syariat: yaitu hisapan anak yang belum genap dua tahun terhadap air susu yang keluar karena kehamilan atau meminumnya atau sejenisnya.
وَالرَّضَاعُ حُكْمُهُ حُكْمُ النَّسَبِ فِي النِّكَاحِ وَالْخَلْوَةِ وَالْمَحْرَمِيَّةِ وَجَوَازِ النَّظَرِ عَلَى مَا يَأْتِي تَفْصِيلُهُ.
Hukum persusuan sama dengan hukum nasab dalam pernikahan, khalwat, mahram, dan bolehnya melihat sebagaimana yang akan dijelaskan rincinya.
وَلَكِنْ لَا تَثْبُتُ لَهُ هَذِهِ الْأَحْكَامُ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ:
Tetapi hukum-hukum ini tidak berlaku kecuali dengan dua syarat:
الشَّرْطُ الأَوَّلُ: أَنْ يَكُونَ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَأَكْثَرَ؛ لِحَدِيثِ عَائِشَةَ ﵂ قَالَتْ: "أُنْزِلَ فِي الْقُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، فَنُسِخَ مِنْ ذَلِكَ خَمْسُ رَضَعَاتٍ، وَصَارَ إِلَى خَمْسِ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَهَذَا مِنْ نَسْخِ التِّلَاوَةِ دُونَ الْحُكْمِ، وَهُوَ مُبَيِّنٌ لِمَا أُجْمِلَ فِي الْآيَةِ وَالْأَحَادِيثِ فِي مَوْضُوعِ الرَّضَاعِ.
Syarat pertama: bahwa harus ada lima kali penyusuan atau lebih; berdasarkan hadits 'Aisyah ﵂ yang mengatakan: "Diturunkan dalam Al-Qur'an: sepuluh kali penyusuan yang diketahui mengharamkan, kemudian dihapus dari itu menjadi lima kali penyusuan, dan menjadi lima kali penyusuan yang diketahui mengharamkan, lalu Rasulullah ﷺ wafat dan perkara itu tetap seperti itu", diriwayatkan oleh Muslim, dan ini termasuk penghapusan tilawah tanpa hukum, dan ini menjelaskan apa yang diringkas dalam ayat dan hadits-hadits tentang topik penyusuan.
الشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ خَمْسُ الرَّضَعَاتِ فِي الْحَوْلَيْنِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ﴾؛ فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ عَلَى أَنَّ الرَّضَاعَ الْمُعْتَبَرَ مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ، وَلِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ"، قَالَ التِّرْمِذِيُّ: "حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ"، وَمَعْنَاهُ: أَنَّهُ لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلَّا مَا وَصَلَ إِلَى الْأَمْعَاءِ وَوَسَّعَهَا؛ فَلَا يُحَرِّمُ الْقَلِيلُ الَّذِي لَمْ يَصِلْ إِلَيْهَا وَيُوَسِّعُهَا، وَلَا يُحَرِّمُ إِلَّا مَا كَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ؛ أَيْ: مَا كَانَ فِي زَمَنِ الصِّغَرِ، وَقَامَ مَقَامَ الْغِذَاءِ؛ فَالَّذِي يُثْبِتُ الْحُرْمَةَ حَيْثُ يَكُونُ الرَّضِيعُ طِفْلًا يَسُدُّ اللَّبَنُ جُوعَهُ وَيُنْبِتُ لَحْمَهُ، فَيَكُونُ ذَلِكَ جُزْءًا مِنْهُ.
Syarat kedua: bahwa lima kali penyusuan itu harus dalam dua tahun; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan"; maka ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa penyusuan yang diperhitungkan adalah yang terjadi dalam dua tahun, dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Tidaklah mengharamkan dari penyusuan kecuali apa yang membuka usus dan terjadi sebelum penyapihan", At-Tirmidzi berkata: "Hadits hasan shahih", dan maknanya: bahwa tidaklah mengharamkan dari penyusuan kecuali apa yang sampai ke usus dan meluaskannya; maka tidak mengharamkan yang sedikit yang tidak sampai kepadanya dan meluaskannya, dan tidak mengharamkan kecuali apa yang terjadi sebelum penyapihan; yaitu: apa yang terjadi pada masa kecil, dan menempati kedudukan makanan; maka yang menetapkan keharaman adalah ketika bayi menyusu hingga susu itu menutup rasa laparnya dan menumbuhkan dagingnya, maka itu menjadi bagian darinya.
وَحَدُّ الرَّضْعَةِ: أَنْ يَمْتَصَّ الثَّدْيَ ثُمَّ يَقْطَعَ امْتِصَاصَهُ لِتَنَفُّسٍ أَوِ انْتِقَالٍ مِنْ ثَدْيٍ لِآخَرَ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ؛ فَيُحْتَسَبُ لَهُ بِذَلِكَ رَضْعَةٌ، فَإِنْ عَادَ؛ فَرَضْعَتَانِ ... وَهَكَذَا، وَلَوْ فِي مَجْلِسٍ وَاحِدٍ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الشَّارِعَ اعْتَبَرَ عَدَدَ الرَّضَعَاتِ وَلَمْ يُحَدِّدِ الرَّضْعَةَ، فَيُرْجَعُ فِي تَحْدِيدِهَا إِلَى الْعُرْفِ.
Dan batasan satu kali penyusuan: bahwa bayi menghisap puting kemudian memutus hisapannya untuk bernapas atau berpindah dari satu puting ke puting lainnya atau selain itu; maka dihitung baginya dengan itu satu kali penyusuan, jika dia kembali; maka dua kali penyusuan ... dan begitu seterusnya, meskipun dalam satu majelis, dan itu karena Pembuat syariat mempertimbangkan jumlah penyusuan dan tidak membatasi satu kali penyusuan, maka dalam pembatasannya dikembalikan kepada 'urf (kebiasaan).
وَلَوْ وَصَلَ اللَّبَنُ إِلَى جَوْفِ الطِّفْلِ بِغَيْرِ الرَّضَاعِ؛ لَهُ حُكْمُ الرَّضَاعِ؛ كَمَا لَوْ قُطِرَ فِي فَمِهِ أَوْ أَنْفِهِ، أَوْ شَرِبَهُ مِنْ إِنَاءٍ وَنَحْوِهِ؛ أَخَذَ ذَلِكَ حُكْمَ الرَّضَاعِ؛ لِأَنَّهُ يَحْصُلُ بِهِ مَا يَحْصُلُ مِنَ التَّغْذِيَةِ؛ بِشَرْطِ أَنْ يَحْصُلَ مِنْ ذَلِكَ خَمْسُ مَرَّاتٍ.
Dan jika susu mencapai perut bayi tanpa menyusui; itu memiliki hukum menyusui; seperti jika diteteskan ke dalam mulut atau hidungnya, atau diminumnya dari wadah dan sejenisnya; itu mengambil hukum menyusui; karena dengannya terjadi apa yang terjadi dari pemberian nutrisi; dengan syarat bahwa itu terjadi lima kali.
وَأَمَّا مَا يَنْشُرُهُ الرَّضَاعُ مِنَ الْحُرْمَةِ: فَمَتَى أَرْضَعَتْ امْرَأَةٌ طِفْلًا دُونَ الْحَوْلَيْنِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَأَكْثَرَ؛ صَارَ الْمُرْتَضَعُ وَلَدَهَا فِي تَحْرِيمِ نِكَاحِهَا عَلَيْهِ وَفِي إِبَاحَةِ نَظَرِهِ إِلَيْهَا وَخَلْوَتِهِ بِهَا، وَيَكُونُ مَحْرَمًا لَهَا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ﴾، وَلَا يَكُونُ وَلَدًا لَهَا فِي بَقِيَّةِ الْأَحْكَامِ؛ فَلَا تَجِبُ نَفَقَتُهَا عَلَيْهِ، وَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا، وَلَا يَعْقِلُ عَنْهَا، وَلَا يَكُونُ وَلِيًّا لَهَا؛ لِأَنَّ النَّسَبَ أَقْوَى مِنَ الرَّضَاعِ؛ فَلَا يُسَاوِيهِ إِلَّا فِيمَا وَرَدَ فِيهِ النَّصُّ، وَهُوَ التَّحْرِيمُ، وَمَا يَتَفَرَّغُ عَلَيْهِ مِنَ الْمَحْرَمِيَّةِ وَالْخَلْوَةِ.
Adapun apa yang disebarkan oleh penyusuan dari keharaman: kapan pun seorang wanita menyusui seorang anak di bawah dua tahun sebanyak lima kali susuan atau lebih; anak yang disusui menjadi anaknya dalam pengharaman pernikahannya dengannya dan dalam kebolehan memandangnya dan menyendiri dengannya, dan dia menjadi mahram baginya; karena firman Allah Ta'ala: "Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu", dan dia tidak menjadi anaknya dalam hukum-hukum lainnya; maka nafkahnya tidak wajib atasnya, tidak ada saling mewarisi di antara keduanya, dia tidak menanggung diyat untuknya, dan dia tidak menjadi wali baginya; karena nasab lebih kuat daripada penyusuan; maka tidak setara dengannya kecuali dalam apa yang terdapat nash padanya, yaitu pengharaman, dan apa yang bercabang darinya berupa status mahram dan menyendiri.
وَيَصِيرُ الْمُرْتَضَعُ وَلَدًا لِمَنْ يُنْسَبُ لَبَنُهَا إِلَيْهِ بِسَبَبِ حَمْلِهَا مِنْهُ، أَوْ بِسَبَبِ وَطْئِهِ لَهَا بِنِكَاحٍ أَوْ شُبْهَةٍ؛ لِلُحُوقِ نَسَبِ الْحَمْلِ بِهِ فِي تِلْكَ الْأَحْوَالِ وَالرَّضَاعُ فَرْعٌ عَنْهُ، فَيَكُونُ الْمُرْتَضَعُ وَلَدًا لَهُ فِي الْأَحْكَامِ الْمَذْكُورَةِ فِي حَقِّ الْمُرْضِعَةِ فَقَطْ، وَهِيَ تَحْرِيمُ النِّكَاحِ وَجَوَازُ النَّظَرِ وَالْخَلْوَةِ وَالْمَحْرَمِيَّةِ دُونَ بَقِيَّةِ الْأَحْكَامِ.
Anak yang disusui menjadi anak bagi orang yang air susunya dinisbatkan kepadanya karena mengandungnya, atau karena menyetubuhinya dengan pernikahan atau syubhat; karena nasab janin mengikutinya dalam keadaan-keadaan tersebut dan penyusuan adalah cabang darinya, maka anak yang disusui menjadi anaknya dalam hukum-hukum yang disebutkan dalam hak ibu susuan saja, yaitu pengharaman pernikahan, bolehnya memandang, menyendiri, dan status mahram tanpa hukum-hukum lainnya.
وَتَكُونُ مَحَارِمُ مَنْ نُسِبَ إِلَيْهِ اللَّبَنُ كَآبَائِهِ وَأَوْلَادِهِ وَأُمَّهَاتِهِ وَأَجْدَادِهِ وَجَدَّاتِهِ وَإِخْوَتِهِ وَأَخَوَاتِهِ وَأَوْلَادِهِمْ وَأَعْمَامِهِ وَعَمَّاتِهِ وَأَخْوَالِهِ وَخَالَاتِهِ يَكُونُونَ مَحَارِمَ لِلْمُرْتَضَعِ، وَتَكُونُ مَحَارِمُ الْمُرْضِعَةِ كَآبَائِهَا وَأَوْلَادِهَا وَأُمَّهَاتِهَا وَأَخَوَاتِهَا وَأَعْمَامِهَا وَنَحْوِهِمْ مَحَارِمَ لِلْمُرْتَضَعِ.
Mahram-mahram orang yang dinisbatkan susu kepadanya seperti bapak-bapaknya, anak-anaknya, ibu-ibunya, kakek-kakeknya, nenek-neneknya, saudara-saudara lelakinya, saudara-saudara perempuannya, anak-anak mereka, paman-pamannya, bibi-bibinya dari pihak ayah, paman-pamannya dan bibi-bibinya dari pihak ibu menjadi mahram bagi anak yang disusui, dan mahram-mahram ibu susuan seperti bapak-bapaknya, anak-anaknya, ibu-ibunya, saudara-saudara perempuannya, paman-pamannya dan sejenisnya menjadi mahram bagi anak yang disusui.
وَكَمَا تَثْبُتُ الْحُرْمَةُ عَلَى الْمُرْتَضَعِ تَنْتَشِرُ كَذَلِكَ عَلَى فُرُوعَةِ مِنْ
Dan sebagaimana keharaman ditetapkan atas anak yang disusui, ia juga menyebar kepada keturunannya dari
أَوْلَادُهُ وَأَوْلَادُ أَوْلَادِهِ دُونَ أُصُولِهِ وَحَوَاشِيهِ؛ فَلَا تَنْتَشِرُ الْحُرْمَةُ عَلَى مَنْ هُوَ أَعْلَى مِنْهُ مِنْ آبَائِهِ وَأُمَّهَاتِهِ وَأَعْمَامِهِ وَعَمَّاتِهِ وَأَخْوَالِهِ وَخَالَاتِهِ، كَمَا لَا تَنْتَشِرُ إِلَى مَنْ هُوَ فِي دَرَجَتِهِ مِنْ حَوَاشِيهِ وَهُمْ إِخْوَانُهُ وَأَخَوَاتُهُ.
Anak-anaknya dan anak-anak dari anak-anaknya, bukan asal-usulnya dan kerabatnya; maka keharaman tidak menyebar kepada orang yang lebih tinggi darinya, yaitu ayah-ayahnya, ibu-ibunya, paman-pamannya dari pihak ayah, bibi-bibinya dari pihak ayah, paman-pamannya dari pihak ibu, dan bibi-bibinya dari pihak ibu, sebagaimana juga tidak menyebar kepada orang yang sederajat dengannya dari kerabatnya, yaitu saudara-saudara laki-lakinya dan saudara-saudara perempuannya.
وَمَنْ رَضَعَ مِنْ لَبَنِ امْرَأَةٍ مَوْطُوءَةٍ بِعَقْدٍ بَاطِلٍ أَوْ بِزِنًى؛ صَارَ وَلَدًا لِلْمُرْضِعَةِ فَقَطْ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ تَثْبُتِ الْأُبُوَّةُ مِنَ النَّسَبِ؛ لَمْ يَثْبُتْ مِنَ الرَّضَاعِ وَهُوَ فَرْعُهَا.
Dan barangsiapa yang menyusu dari air susu seorang wanita yang disetubuhi dengan akad yang batil atau dengan zina; maka ia menjadi anak bagi wanita yang menyusuinya saja; karena ketika tidak tetap hubungan bapak dari nasab; maka tidak tetap pula dari persusuan dan ia adalah cabangnya.
وَلَبَنُ الْبَهِيمَةِ لَا يُحَرِّمُ، فَلَوِ ارْتَضَعَ طِفْلَانِ مِنْ بَهِيمَةٍ؛ لَمْ يَنْشُرِ الْحُرْمَةَ بَيْنَهُمَا.
Dan air susu binatang tidak mengharamkan, seandainya dua anak kecil menyusu dari seekor binatang; maka tidak menyebarkan keharaman di antara keduanya.
وَاخْتُلِفَ فِي لَبَنِ الْمَرْأَةِ إِذَا دَرَّ لَهَا لَبَنٌ بِدُونِ حَمْلٍ وَبِدُونِ وَطْءٍ تَقَدَّمَ، وَرَضَعَ مِنْهُ طِفْلٌ، فَقِيلَ: لَا يَنْشُرُ الْحُرْمَةَ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِلَبَنٍ حَقِيقَةً، بَلْ رُطُوبَةٌ مُتَوَلِّدَةٌ، لِأَنَّ اللَّبَنَ مَا أَنْشَزَ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ، وَهَذَا لَيْسَ كَذَلِكَ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ يَنْشُرُ الْحُرْمَةَ الْمُوَفَّقُ وَغَيْرُهُ.
Dan terdapat perbedaan pendapat mengenai air susu seorang wanita jika ia memiliki air susu tanpa kehamilan dan tanpa persetubuhan sebelumnya, lalu seorang anak kecil menyusu darinya, maka dikatakan: Tidak menyebarkan keharaman; karena itu bukanlah air susu yang sebenarnya, melainkan kelembapan yang terbentuk, karena air susu adalah sesuatu yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging, sedangkan ini tidaklah demikian, dan pendapat kedua: Bahwa itu menyebarkan keharaman, ini pendapat Al-Muwaffaq dan lainnya.
وَيَثْبُتُ الرَّضَاعُ بِشَهَادَةِ امْرَأَةٍ مَرْضِيَّةٍ فِي دِينِهَا.
Dan persusuan ditetapkan dengan kesaksian seorang wanita yang diridhai dalam agamanya.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ: "إِذَا كَانَتْ مَعْرُوفَهٌ بِالصِّدْقِ، وَذَكَرَتْ أَنَّهَا أَرْضَعَتْ طِفْلًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ؛ قُبِلَ عَلَى الصَّحِيحِ، وَيَثْبُتُ حُكْمُ الرَّضَاعِ" انْتَهَى.
Syaikhul Islam berkata: "Jika ia dikenal jujur, dan ia menyebutkan bahwa ia menyusui seorang anak kecil sebanyak lima kali susuan; maka diterima menurut pendapat yang sahih, dan tetaplah hukum persusuan" Selesai.
وَإِنْ شَكَّ فِي وُجُودِ الرَّضَاعِ، أَوْ شَكَّ فِي كَمَالِهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ، وَلَيْسَ هُنَاكَ بَيِّنَةٌ؛ فَلَا تَحْرِيمَ؛ الْأَصْلُ عَدَمُ الرَّضَاعِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Dan jika ragu tentang adanya persusuan, atau ragu tentang kesempurnaannya lima kali susuan, dan tidak ada keterangan yang jelas; maka tidak ada pengharaman; karena pada dasarnya tidak ada persusuan, dan Allah lebih mengetahui.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْحَضَانَةِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْحَضَانَةِ
Bab tentang hukum-hukum pengasuhan anak
الْحَضَانَةُ: مُشْتَقَّةٌ مِنَ الْحَضْنِ، وَهُوَ الْجَنْبُ؛ لِأَنَّ الْمُرَبِّيَ يَضُمُّ الطِّفْلَ إِلَى حَضْنِهِ، وَالْحَاضِنَةُ هِيَ الْمُرَبِّيَةُ. هَذَا مَعْنَاهَا لُغَةً. وَأَمَّا مَعْنَاهَا شَرْعًا؛ فَهِيَ: حِفْظُ صَغِيرٍ وَنَحْوِهِ عَمَّا يَضُرُّهُ وَتَرْبِيَتُهُ بِعَمَلِ مَصَالِحِهِ الْبَدَنِيَّةِ وَالْمَعْنَوِيَّةِ.
Al-Hadhanah: berasal dari kata al-hadhn, yang berarti sisi; karena pengasuh memeluk anak ke sisinya, dan al-hadhinah adalah pengasuh. Ini adalah makna secara bahasa. Adapun maknanya secara syariat; yaitu: menjaga anak kecil dan sejenisnya dari apa yang membahayakannya dan mendidiknya dengan melakukan kemaslahatan-kemaslahatannya yang bersifat fisik dan maknawi.
وَالْحِكْمَةُ فِيهَا ظَاهِرَةٌ، ذَلِكَ أَنَّ الصَّغِيرَ وَمَنْ فِي حُكْمِهِ مِمَّنْ لَا يَعْرِفُ مَصَالِحَهُ كَالْمَجْنُونِ وَالْمَعْتُوهِ يَحْتَاجُ إِلَى مَنْ يَتَوَلَّاهُ وَيُحَافِظُ عَلَيْهِ بِجَلْبِ مَنَافِعِهِ وَدَفْعِ الْمَضَارِّ عَنْهُ وَتَرْبِيَتِهِ السَّلِيمَةِ.
Hikmah di dalamnya jelas, yaitu bahwa anak kecil dan orang yang seperti hukumnya, yaitu orang yang tidak mengetahui kemaslahatan dirinya seperti orang gila dan idiot, membutuhkan orang yang mengurus dan menjaganya dengan mendatangkan manfaat baginya, menolak bahaya darinya, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik.
وَقَدْ جَاءَتْ شَرِيعَتُنَا بِتَشْرِيعِ الْحَضَانَةِ لِهَؤُلَاءِ؛ رَحْمَةً بِهِمْ، وَرِعَايَةً لِشُؤُونِهِمْ، وَإِحْسَانًا إِلَيْهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ لَوْ تُرِكُوا؛ لَضَاعُوا وَتَضَرَّرُوا، وَدِينُنَا دِينُ الرَّحْمَةِ وَالتَّكَافُلِ وَالْمُوَاسَاةِ، يَنْهَى عَنْ إِضَاعَتِهِمْ، وَيُوجِبُ كَفَالَتَهُمْ، وَهِيَ حَقٌّ لِلْمَحْضُونِ عَلَى قَرَابَتِهِ، وَحَقٌّ لِلْحَاضِنِ بِتَوَلِّي شُؤُونِ قَرِيبِهِ كَسَائِرِ الْوَلَايَاتِ.
Syariat kita telah datang dengan mensyariatkan pengasuhan bagi mereka; sebagai rahmat bagi mereka, perhatian terhadap urusan mereka, dan berbuat baik kepada mereka; karena jika mereka dibiarkan, mereka akan terlantar dan celaka, dan agama kita adalah agama kasih sayang, saling menanggung, dan saling mengasihi, melarang menelantarkan mereka, dan mewajibkan menjamin mereka, dan itu adalah hak bagi anak yang diasuh atas kerabatnya, dan hak bagi pengasuh dengan mengurus urusan kerabatnya seperti perwalian lainnya.
وَهِيَ تَجِبُ لِلْحَاضِنِينَ عَلَى التَّرْتِيبِ:
Dan pengasuhan itu wajib bagi para pengasuh sesuai urutan:
فَأَحَقُّ النَّاسِ بِالْحَضَانَةِ الْأُمُّ: قَالَ الْإِمَامُ مُوَفَّقُ الدِّينِ بْنُ قُدَامَةَ
Orang yang paling berhak mengasuh adalah ibu: Imam Muwaffaquddin bin Qudamah berkata
إِذَا افْتَرَقَ الزَّوْجَانِ وَلَهُمَا وَلَدٌ طِفْلٌ أَوْ مَعْتُوهٌ؛ فَأُمُّهُ أَوْلَى النَّاسِ بِكَفَالَتِهِ إِذَا كَمُلَتِ الشَّرَائِطُ فِيهَا، ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ، وَلَا نَعْلَمُ أَحَدًا خَالَفَهُمْ" انْتَهَى.
Jika pasangan bercerai dan mereka memiliki anak kecil atau anak yang lemah akal, maka ibunya adalah orang yang paling berhak untuk mengasuhnya jika syarat-syaratnya terpenuhi, baik anak itu laki-laki atau perempuan. Ini adalah pendapat Malik dan para ulama ahli ra'yi, dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihi mereka." Selesai.
فَإِذَا تَزَوَّجَتِ الْأُمُّ؛ انْتَقَلَتِ الْحَضَانَةُ إِلَى غَيْرِهَا، وَسَقَطَ حَقُّهَا فِيهَا؛ لِقَوْلِهِ رَسُولُ اللهِ ﷺ لَمَّا جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ! إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْزِعَهُ مِنِّي؟ فَقَالَ: "لَأَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ؛ فَدَلَّ الْحَدِيثُ عَلَى أَنَّ الْأُمَّ أَحَقُّ بِحَضَانَةِ وَلَدِهَا إِذَا طَلَّقَهَا أَبُوهُ وَأَرَادَ انْزَاعَهُ مِنْهُ، وَأَنَّهَا إِذَا تَزَوَّجَتْ؛ سَقَطَ حَقُّهَا مِنَ الْحَضَانَةِ.
Jika ibu menikah lagi, maka hak asuh berpindah kepada orang lain dan haknya gugur, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ ketika seorang wanita datang kepadanya dan berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, susuku adalah minumannya, dan pangkuanku adalah rumahnya. Ayahnya telah menceraikanku dan ingin merebutnya dariku." Beliau bersabda, "Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah lagi." Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim, dan ia menshahihkannya. Hadits ini menunjukkan bahwa ibu lebih berhak atas hak asuh anaknya jika ayahnya menceraikannya dan ingin merebutnya darinya, dan jika ia menikah lagi, maka haknya atas hak asuh gugur.
وَتَقْدِيمُ الْأُمِّ فِي حَضَانَةِ وَلَدِهَا لِأَنَّهَا أَشْفَقُ عَلَيْهِ وَأَقْرَبُ إِلَيْهِ، وَلَا يُشَارِكُهَا فِي الْقُرْبِ إِلَّا أَبُوهُ، وَلَيْسَ لَهُ مِثْلُ شَفَقَتِهَا، وَلَا يَتَوَلَّى الْحَضَانَةَ بِنَفْسِهِ، وَإِنَّمَا يَدْفَعُهُ إِلَى امْرَأَتِهِ، وَأُمُّهُ أَوْلَى بِهِ مِنْ امْرَأَةِ أَبِيهِ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِرَجُلٍ: "رِيحُهَا وَفِرَاشُهَا وَحِجْرُهَا خَيْرٌ لَهُ مِنْكَ حَتَّى يَشِبَّ وَيَخْتَارَ لِنَفْسِهِ".
Mendahulukan ibu dalam pengasuhan anaknya karena ia lebih sayang kepadanya dan lebih dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai kedekatannya kecuali ayahnya, namun ayahnya tidak memiliki kasih sayang seperti ibunya. Ayahnya juga tidak mengasuh sendiri, melainkan menyerahkannya kepada istrinya, sedangkan ibu lebih berhak atas anak daripada istri ayahnya. Ibnu Abbas berkata kepada seorang laki-laki, "Bau ibunya, tempat tidurnya, dan pangkuannya lebih baik baginya daripadamu hingga ia dewasa dan memilih untuk dirinya sendiri."
وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "الْأُمُّ أَصْلَحُ مِنَ الْأَبِ؛ لِأَنَّهَا أَوْثَقُ بِالصَّغِيرِ، وَأَخْبَرُ بِتَغْذِيَتِهِ وَحَمْلِهِ وَتَنْوِيمِهِ وَتَنْوِيلِهِ، وَأَخْبَرُ وَأَرْحَمُ بِهِ؛ فَهِيَ أَقْدَرُ وَأَخْبَرُ وَأَصْبَرُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ؛ فَتَعَيَّنَتْ فِي حَقِّ الطِّفْلِ غَيْرِ
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata, "Ibu lebih baik daripada ayah karena ia lebih dipercaya dengan anak kecil, lebih mengetahui cara memberinya makan, menggendongnya, menidurkannya, dan memberinya hadiah. Ia juga lebih berpengalaman dan lebih penyayang kepadanya. Oleh karena itu, ia lebih mampu, lebih berpengalaman, dan lebih sabar dalam hal ini. Maka ia ditentukan untuk hak anak kecil, bukan
ثُمَّ بَعْدَ سُقُوطِ حَقِّ الأُمِّ لِلْحَضَانَةِ تَنْتَقِلُ إِلَى أُمَّهَاتِهَا جَدَّاتِ الطِّفْلِ الْقُرْبَى فَالْقُرْبَى؛ لِأَنَّهُنَّ فِي مَعْنَى الأُمِّ؛ لِتَحَقُّقِ وِلَادَتِهِنَّ وَشَفَقَتِهِنَّ عَلَى الْمَحْضُونِ أَكْمَلُ مِنْ غَيْرِهِنَّ.
Kemudian setelah gugurnya hak ibu untuk hak asuh, hak asuh berpindah kepada ibu-ibu dari ibu si anak, yaitu nenek-nenek si anak dari pihak ibu, yang terdekat kemudian yang terdekat; karena mereka dalam kedudukan ibu; karena terbukti kelahiran dan kasih sayang mereka terhadap anak yang diasuh lebih sempurna daripada yang lain.
ثُمَّ بَعْدَ الْجَدَّاتِ اللَّاتِي مِنْ قِبَلِ الأُمِّ تَنْتَقِلُ الْحَضَانَةُ إِلَى أَبِي الطِّفْلِ؛ لِأَنَّهُ أَصْلُ النَّسَبِ، وَأَقْرَبُ مِنْ غَيْرِهِ، وَأَكْمَلُ شَفَقَةً؛ فَقُدِّمَ عَلَى غَيْرِهِ.
Kemudian setelah nenek-nenek dari pihak ibu, hak asuh berpindah kepada ayah si anak; karena dia adalah asal nasab, dan lebih dekat daripada yang lain, dan lebih sempurna kasih sayangnya; maka dia didahulukan atas yang lain.
ثُمَّ بَعْدَ سُقُوطِ حَقِّ الأَبِ مِنَ الْحَضَانَةِ تَنْتَقِلُ إِلَى أُمَّهَاتِ الأَبِ أَيْ: الْجَدَّاتِ مِنْ قِبَلِ الأَبِ الْقُرْبَى فَالْقُرْبَى؛ لِأَنَّهُنَّ يُدْلِينَ بِعَصَبَةٍ قَرِيبَةٍ، وَقُدِّمْنَ عَلَى الْجَدِّ؛ لِأَنَّ الأُنُوثَةَ مَعَ التَّسَاوِي تُوجِبُ الرُّجْحَانَ؛ كَمَا قُدِّمَتِ الأُمُّ عَلَى الأَبِ.
Kemudian setelah gugurnya hak ayah dari hak asuh, hak asuh berpindah kepada ibu-ibu dari ayah yaitu: nenek-nenek dari pihak ayah, yang terdekat kemudian yang terdekat; karena mereka dihubungkan dengan kerabat dekat, dan mereka didahulukan atas kakek; karena kewanitaan dengan kesetaraan mewajibkan pengutamaan; sebagaimana ibu didahulukan atas ayah.
ثُمَّ بَعْدَ سُقُوطِ حَقِّ الْجَدَّاتِ مِنْ قِبَلِ الأَبِ فِي الْحَضَانَةِ تَنْتَقِلُ إِلَى الْجَدِّ مِنْ قِبَلِ الأَبِ، الأَقْرَبِ فَالأَقْرَبِ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى أَبِي الْمَحْضُونِ، فَيَنْزِلُ مَنْزِلَتَهُ.
Kemudian setelah gugurnya hak nenek-nenek dari pihak ayah dalam hak asuh, hak asuh berpindah kepada kakek dari pihak ayah, yang terdekat kemudian yang terdekat; karena dia dalam kedudukan ayah dari anak yang diasuh, maka dia menempati kedudukannya.
ثُمَّ بَعْدَ الْجَدِّ تَنْتَقِلُ الْحَضَانَةُ إِلَى أُمَّهَاتِ الْجَدِّ الْقُرْبَى فَالْقُرْبَى؛ لِأَنَّهُنَّ يُدْلِينَ بِالْجَدِّ، وَلِمَا فِيهِنَّ مِنْ وَصْفِ الْوِلَادَةِ؛ فَالْمَحْضُونُ بَعْضٌ مِنْهُنَّ.
Kemudian setelah kakek, hak asuh berpindah kepada ibu-ibu kakek, yang terdekat kemudian yang terdekat; karena mereka dihubungkan dengan kakek, dan karena pada mereka terdapat sifat kelahiran; maka anak yang diasuh adalah sebagian dari mereka.
ثُمَّ بَعْدَ أُمَّهَاتِ الْجَدِّ تَنْتَقِلُ الْحَضَانَةُ إِلَى أَخَوَاتِ الْمَحْضُونِ؛ لِأَنَّهُنَّ يُدْلِينَ بِأَبَوَيْهِ أَوْ بِأَحَدِهِمَا، فَتُقَدَّمُ الأُخْتُ لِأَبَوَيْنِ لِقُوَّةِ قَرَابَتِهَا
Kemudian setelah ibu-ibu kakek, hak asuh berpindah kepada saudara-saudara perempuan anak yang diasuh; karena mereka dihubungkan dengan kedua orang tuanya atau dengan salah satunya, maka saudara perempuan sekandung didahulukan karena kuatnya kekerabatannya
وَلِتَقَدُّمِهَا فِي الْمِيرَاثِ، ثُمَّ الْأُخْتُ لِأُمٍّ؛ لِأَنَّهَا تَدْلِي بِالْأُمُومَةِ، وَالْأُمُّ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْأَبِ، ثُمَّ الْأُخْتُ لِأَبٍ، وَقِيلَ: الْأَوْلَى تَقْدِيمُ الْأُخْتِ لِأَبٍ عَلَى الْأُخْتِ لِأُمٍّ؛ لِأَنَّ الْوَلَايَةَ لِلْأَبِ، وَهِيَ أَقْوَى فِي الْمِيرَاثِ؛ لِأَنَّهَا أُقِيمَتْ فِيهِ مَقَامَ الْأُخْتِ لِأَبَوَيْنِ عِنْدَ عَدَمِهَا، وَهَذَا وَجِيهٌ.
Dan karena ia (saudara perempuan seibu) didahulukan dalam warisan, kemudian saudara perempuan seibu; karena ia terhubung dengan keibuan, dan ibu didahulukan atas ayah, kemudian saudara perempuan seayah, dan dikatakan: yang utama adalah mendahulukan saudara perempuan seayah atas saudara perempuan seibu; karena perwalian adalah milik ayah, dan ia lebih kuat dalam warisan; karena ia menempati kedudukan saudara perempuan kandung ketika ketiadaannya, dan ini benar.
ثُمَّ بَعْدَ الْأَخَوَاتِ تَنْتَقِلُ الْحَضَانَةُ إِلَى الْخَالَاتِ؛ لِأَنَّ الْخَالَاتِ يُدْلِينَ بِالْأُمِّ، وَلِمَا فِي "الصَّحِيحَيْنِ"؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ"، وَتُقَدَّمُ خَالَةٌ لِأَبَوَيْنِ، ثُمَّ خَالَةٌ لِأُمٍّ، ثُمَّ خَالَةٌ لِأَبٍ؛ كَالْأَخَوَاتِ.
Kemudian setelah saudara perempuan, hak asuh berpindah kepada bibi dari pihak ibu; karena bibi dari pihak ibu terhubung melalui ibu, dan berdasarkan apa yang terdapat dalam "Ash-Shahihain"; bahwa Nabi ﷺ bersabda: "Bibi dari pihak ibu kedudukannya seperti ibu", dan didahulukan bibi kandung, kemudian bibi seibu, kemudian bibi seayah; seperti urutan saudara perempuan.
ثُمَّ بَعْدَ الْخَالَاتِ تَنْتَقِلُ إِلَى الْعَمَّاتِ؛ لِأَنَّهُنَّ يُدْلِينَ بِالْأَبِ، وَهُوَ مُؤَخَّرٌ عَنِ الْأُمِّ.
Kemudian setelah bibi dari pihak ibu, hak asuh berpindah kepada bibi dari pihak ayah; karena mereka terhubung melalui ayah, dan ayah diakhirkan setelah ibu.
وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "الْعَمَّةُ أَحَقُّ مِنَ الْخَالَةِ، وَكَذَا نِسَاءُ الْأَبِ أَحَقُّ، فَيُقَدَّمْنَ عَلَى نِسَاءِ الْأُمِّ؛ لِأَنَّ الْوَلَايَةَ لِلْأَبِ، وَكَذَا أَقَارِبُهُ، وَإِنَّمَا قُدِّمَتِ الْأُمُّ عَلَى الْأَبِ لِأَنَّهُ لَا يَقُومُ مَقَامَهَا هُنَا أَحَدٌ فِي مَصْلَحَةِ الطِّفْلِ، وَإِنَّمَا قَدَّمَ الشَّارِعُ خَالَةَ بِنْتِ حَمْزَةَ عَلَى عَمَّتِهَا صَفِيَّةَ؛ لِأَنَّ صَفِيَّةَ لَمْ تَطْلُبْ، وَجَعْفَرٌ طَلَبَ نَائِبًا عَنْ خَالَتِهَا، فَقَضَى لَهَا بِهَا فِي غَيْبَتِهَا".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Bibi dari pihak ayah lebih berhak daripada bibi dari pihak ibu, demikian pula wanita dari pihak ayah lebih berhak, maka mereka didahulukan atas wanita dari pihak ibu; karena perwalian adalah milik ayah, demikian pula kerabatnya, dan ibu didahulukan atas ayah karena tidak ada yang dapat menggantikan posisinya di sini dalam kemaslahatan anak, dan Syari' (pembuat syariat) hanya mendahulukan bibi dari pihak ibu putri Hamzah atas bibinya Shafiyyah; karena Shafiyyah tidak meminta, dan Ja'far meminta sebagai wakil dari bibinya, maka ia memutuskan untuknya dalam ketidakhadirannya".
وَقَالَ ﵀: "مَجْمُوعُ أُصُولِ الشَّرِيعَةِ تَقْدِيمُ أَقَارِبِ الْأَبِ عَلَى أَقَارِبِ الْأُمِّ، فَمَنْ فِي الْحَضَانَةِ؛ فَقَدْ خَالَفَ الْأُصُولَ وَالشَّرِيعَةَ" انْتَهَى.
Beliau ﵀ berkata: "Kumpulan prinsip-prinsip syariat mendahulukan kerabat ayah atas kerabat ibu, maka siapa yang mendahulukan dalam pengasuhan; maka ia telah menyelisihi prinsip-prinsip dan syariat" selesai.
ثُمَّ بَعْدَ الْعَمَّاتِ تَنْتَقِلُ الْحَضَانَةُ إِلَى بَنَاتِ الْإِخْوَةِ.
Kemudian setelah bibi dari pihak ayah, hak asuh pindah ke anak perempuan dari saudara laki-laki.
ثُمَّ بَعْدَهُنَّ إِلَى بَنَاتِ الْأَخَوَاتِ.
Kemudian setelah mereka, kepada anak perempuan dari saudara perempuan.
ثُمَّ بَعْدَ بَنَاتِ الْإِخْوَةِ وَبَنَاتِ الْأَخَوَاتِ تَنْتَقِلُ الْحَضَانَةُ إِلَى بَنَاتِ الْأَعْمَامِ.
Kemudian setelah anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan, hak asuh pindah ke anak perempuan dari paman.
ثُمَّ إِلَى بَنَاتِ الْعَمَّاتِ.
Kemudian kepada anak perempuan dari bibi dari pihak ayah.
ثُمَّ بَعْدَهُنَّ تَنْتَقِلُ الْحَضَانَةُ لِبَاقِي الْعَصَبَةِ الْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ؛ الْإِخْوَةُ ثُمَّ بَنُوهُمْ، ثُمَّ الْأَعْمَامُ، ثُمَّ بَنُوهُمْ.
Kemudian setelah mereka, hak asuh pindah ke sisa kerabat terdekat lainnya; saudara laki-laki kemudian anak laki-laki mereka, kemudian paman, kemudian anak laki-laki mereka.
فَإِنْ كَانَتِ الْمَحْضُونَةُ أُنْثَى؛ اشْتُرِطَ كَوْنُ الْحَاضِنِ مِنْ مَحَارِمِهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَحْرَمًا لَهَا؛ سَلَّمَهَا إِلَى ثِقَةٍ يَخْتَارُهَا.
Jika anak yang diasuh adalah perempuan; disyaratkan pengasuh harus dari mahramnya, jika bukan mahramnya; maka serahkan kepada orang yang dipercaya untuk memilihnya.
بَابٌ فِي مَوَانِعِ الْحَضَانَةِ
مِنْ مَوَانِعِ الْحَضَانَةِ: الرِّقُّ؛ فَلَا حَضَانَةَ لِمَنْ فِيهِ رِقٌّ، وَلَوْ قَلَّ لِأَنَّ الْحَضَانَةَ وِلَايَةٌ، وَالرَّقِيقُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْوِلَايَةِ، وَلِأَنَّهُ مَشْغُولٌ بِخِدْمَةِ سَيِّدِهِ، وَمَنَافِعُهُ مَمْلُوكَةٌ لِسَيِّدِهِ.
Di antara penghalang hak asuh adalah: perbudakan; maka tidak ada hak asuh bagi orang yang memiliki perbudakan, meskipun sedikit karena hak asuh adalah kekuasaan, dan budak bukan termasuk orang yang memiliki kekuasaan, dan karena dia sibuk melayani tuannya, dan manfaatnya dimiliki oleh tuannya.
وَلَا حَضَانَةَ لِفَاسِقٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يُوثَقُ بِهِ فِيهَا، وَفِي بَقَاءِ الْمَحْضُونِ عِنْدَهُ ضَرَرٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يُسِيءُ تَرْبِيَتَهُ، وَيُنْشِئُهُ عَلَى طَرِيقَتِهِ.
Dan tidak ada hak asuh bagi orang fasik; karena dia tidak dapat dipercaya dalam hal itu, dan dalam keberadaan anak asuh di sisinya terdapat bahaya baginya; karena dia akan memperburuk pendidikannya, dan membesarkannya dengan caranya.
وَلَا حَضَانَةَ لِكَافِرٍ عَلَى مُسْلِمٍ؛ لِأَنَّهُ أَوْلَى بِعَدَمِ الِاسْتِحْقَاقِ مِنَ الْفَاسِقِ؛ لِأَنَّ ضَرَرَهُ أَكْثَرُ؛ فَإِنَّهُ يَفْتِنُ الْمَحْضُونَ فِي دِينِهِ وَيُخْرِجُهُ عَنِ الْإِسْلَامِ بِتَعْلِيمِهِ الْكُفْرَ وَتَرْبِيهِ عَلَيْهِ.
Dan tidak ada hak asuh bagi orang kafir atas seorang Muslim; karena dia lebih berhak untuk tidak mendapatkan hak daripada orang fasik; karena bahayanya lebih besar; karena dia akan menggoda anak asuh dalam agamanya dan mengeluarkannya dari Islam dengan mengajarinya kekufuran dan membesarkannya di atasnya.
وَلَا حَضَانَةَ لِمُزَوَّجَةٍ بِأَجْنَبِيٍّ مِنْ مَحْضُونٍ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ لِوَالِدَةِ الطِّفْلِ: "أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي"، وَلِأَنَّ الزَّوْجَ يَمْلِكُ مَنَافِعَهَا، وَيَسْتَحِقُّ مَنْعَهَا مِنَ الْحَضَانَةِ، وَالْمُرَادُ بِالْأَجْنَبِيِّ هُنَا مَنْ لَيْسَ مِنْ عَصَبَاتِ الْمَحْضُونِ، فَلَوْ تَزَوَّجَتْ بِقَرِيبِ مَحْضُونِهَا؛ لَمْ تَسْقُطْ حَضَانَتُهَا.
Dan tidak ada hak asuh bagi wanita yang menikah dengan orang asing dari anak asuhnya; karena sabda Nabi ﷺ kepada ibu si anak: "Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah", dan karena suami memiliki manfaatnya, dan berhak melarangnya dari hak asuh, dan yang dimaksud dengan orang asing di sini adalah orang yang bukan dari kerabat anak asuh, jika dia menikah dengan kerabat anak asuhnya; maka hak asuhnya tidak gugur.
فَإِنْ زَالَ أَحَدُ هَذِهِ الْمَوَانِعِ؛ بِأَنْ عُتِقَ الرَّقِيقُ، وَتَابَ الْفَاسِقُ،
Jika salah satu dari penghalang ini hilang; seperti budak dimerdekakan, orang fasik bertaubat,
وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَطُلِّقَتِ الْمُزَوَّجَةُ؛ رَجَعَ مَنْ زَالَ عَنْهُ الْمَانِعُ مِنْ هَؤُلَاءِ إِلَى حَقِّهِ فِي الْحَضَانَةِ؛ لِوُجُودِ سَبَبِهَا، مَعَ انْتِفَاءِ الْمَانِعِ مِنْهَا.
Dan orang kafir masuk Islam, dan wanita yang menikah diceraikan; maka siapa pun dari mereka yang telah hilang penghalangnya, ia kembali kepada haknya dalam pengasuhan; karena adanya sebabnya, dengan tidak adanya penghalang darinya.
وَإِذَا أَرَادَ أَحَدُ أَبَوَيِ الْمَحْضُونِ سَفَرًا طَوِيلًا، وَلَمْ يَقْصِدْ بِهِ الْمُضَارَّةَ، إِلَى بَلَدٍ بَعِيدٍ لِيَسْكُنَهُ، وَهُوَ وَطَرِيقُهُ آمِنَانِ؛ فَالْحَضَانَةُ تَكُونُ لِلْأَبِ، سَوَاءٌ كَانَ هُوَ الْمُسَافِرَ أَوِ الْمُقِيمَ؛ لِأَنَّهُ هُوَ الَّذِي يَقُومُ بِتَأْدِيبِ وَلَدِهِ وَالْمُحَافَظَةِ عَلَيْهِ، فَإِذَا كَانَ بَعِيدًا عَنْهُ؛ لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ ذَلِكَ، وَضَاعَ الْوَلَدُ.
Dan jika salah satu dari kedua orang tua anak yang diasuh ingin melakukan perjalanan jauh, dan tidak bermaksud untuk membahayakan, ke negeri yang jauh untuk menetap di sana, dan ia serta jalannya aman; maka hak asuh menjadi milik ayah, baik dia yang bepergian atau yang menetap; karena dialah yang melakukan pendisiplinan anaknya dan menjaganya, jika ia jauh darinya; ia tidak dapat melakukan hal itu, dan anak itu akan tersia-siakan.
وَإِنْ كَانَ السَّفَرُ إِلَى بَلَدٍ قَرِيبٍ دُونَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ لِغَرَضِ السُّكْنَى فِيهِ؛ فَالْحَضَانَةُ لِلْأُمِّ، سَوَاءٌ كَانَتْ هِيَ الْمُسَافِرَةَ أَوِ الْمُقِيمَةَ؛ لِأَنَّهَا أَتَمُّ شَفَقَةً عَلَى الْمَحْضُونِ، وَلِأَنَّهُ يُمْكِنُ لِأَبِيهِ الْإِشْرَافُ عَلَيْهِ فِي تِلْكَ الْحَالَةِ.
Jika perjalanan itu ke negeri yang dekat yang jaraknya kurang dari jarak qasar dengan tujuan menetap di sana; maka hak asuh menjadi milik ibu, baik dia yang bepergian atau yang menetap; karena ia lebih penuh kasih sayang terhadap anak yang diasuh, dan karena ayahnya dapat mengawasi anaknya dalam keadaan itu.
أَمَّا إِذَا كَانَ السَّفَرُ لِحَاجَةٍ، ثُمَّ يَرْجِعُ، أَوْ كَانَ الطَّرِيقُ أَوِ الْبَلَدُ الْمُسَافَرُ إِلَيْهِ مَخُوفَيْنِ؛ فَإِنَّ الْحَضَانَةَ تَكُونُ لِلْمُقِيمِ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّ فِي السَّفَرِ بِالْمَحْضُونِ إِضْرَارًا فِي هَاتَيْنِ الْحَالَتَيْنِ.
Adapun jika perjalanan itu untuk suatu keperluan, kemudian kembali, atau jalan atau negeri yang dituju itu menakutkan; maka hak asuh menjadi milik yang menetap di antara keduanya; karena bepergian dengan anak yang diasuh dalam dua keadaan ini berbahaya.
قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "لَوْ أَرَادَ الْإِضْرَارَ وَالِاحْتِيَالَ عَلَى إِسْقَاطِ حَضَانَةِ الْأُمِّ، فَسَافَرَ لِيَتْبَعَهُ الْوَلَدُ؛ فَهَذِهِ حِيلَةٌ مُنَاقِضَةٌ الشَّارِعِ؛ فَإِنَّهُ جَعَلَ الْأُمَّ أَحَقَّ بِالْوَلَدِ مِنَ الْأَبِ مَعَ قُرْبِ الدَّارِ وَإِمْكَانِ اللِّقَاءِ كُلَّ وَقْتٍ ... ".
Imam Ibnu Al-Qayyim ﵀ berkata: "Seandainya ia ingin membahayakan dan menipu untuk menggugurkan hak asuh ibu, lalu ia bepergian agar anaknya mengikutinya; maka ini adalah tipu daya yang bertentangan dengan syariat; karena ia menjadikan ibu lebih berhak atas anak daripada ayah ketika rumah dekat dan memungkinkan untuk bertemu setiap saat...".
إِلَى أَنْ قَالَ: "وَأَخْبَرَ "يَعْنِي: النَّبِيَّ ﷺ" أَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا؛ فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنَعَ أَنْ تُبَاعَ الْأُمُّ دُونَ وَلَدِهَا وَالْوَلَدُ دُونَهَا، وَإِنْ كَانَا فِي بَلَدٍ وَاحِدٍ؛ فَكَيْفَ يَجُوزُ مَعَ هَذَا التَّحَيُّلُ عَلَى التَّفْرِيقِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلَدِهَا تَفْرِيقَ اتَعَزَّ مَعَهُ رُؤْيَتُهُ وَلِقَاؤُهُ، وَيَعِزُّ عَلَيْهَا
Sampai ia berkata: "Dan ia mengabarkan "yaitu: Nabi ﷺ" bahwa barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya; maka Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat, dan ia melarang menjual ibu tanpa anaknya dan anak tanpa ibunya, meskipun keduanya berada di satu negeri; maka bagaimana boleh dengan ini menipu untuk memisahkan antara ibu dan anaknya dengan perpisahan yang membuatnya sulit untuk melihatnya dan menemuinya, dan itu berat baginya
الصَّبْرُ عَنْهُ وَفَقْدُهُ، هَذَا مِنْ أَمْحَلِ الْمُحَالِ، بَلْ قَضَاءُ اللهِ وَرَسُولِهِ أَحَقُّ؛ أَنَّ الْوَلَدَ لِلْأُمِّ، سَافَرَ الْأَبُ أَوْ أَقَامَ، وَالنَّبِيُّ ﷺ قَالَ: "أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي"؛ فَكَيْفَ يُقَالُ كَأَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ يُسَافِرِ الْأَبُ؟ وَأَيْنَ هَذَا فِي كِتَابِ اللهِ أَوْ سُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ أَوْ فَتَاوَى أَصْحَابِهِ أَوِ الْقِيَاسِ الصَّحِيحِ؟ فَلَا نَصٌّ وَلَا قِيَاسٌ وَلَا مَصْلَحَةٌ" انْتَهَى.
Bersabar tanpanya dan kehilangannya, ini adalah hal yang paling mustahil, bahkan keputusan Allah dan Rasul-Nya lebih benar; bahwa anak itu milik ibu, apakah ayah bepergian atau menetap, dan Nabi ﷺ bersabda: "Engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah lagi"; lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa engkau lebih berhak atasnya selama ayah tidak bepergian? Dan di manakah ini dalam Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya ﷺ atau fatwa para sahabatnya atau qiyas yang benar? Maka tidak ada nash, tidak ada qiyas, dan tidak ada maslahat" selesai.
وَأَمَّا تَخْيِيرُ الْغُلَامِ بَيْنَ أَبَوَيْهِ؛ فَيَحْصُلُ عِنْدَ بُلُوغِهِ السَّابِعَةَ مِنْ عُمْرِهِ، فَإِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ وَهُوَ عَاقِلٌ؛ فَإِنَّهُ يُخَيَّرُ بَيْنَ أَبَوَيْهِ، فَيَكُونُ عِنْدَ مَنِ اخْتَارَ مِنْهُمَا، قَضَى بِذَلِكَ عُمَرُ وَعَلِيٌّ ﵄.
Adapun memberikan pilihan kepada anak laki-laki antara kedua orang tuanya; maka itu terjadi ketika ia mencapai usia tujuh tahun, jika ia telah mencapai usia tujuh tahun dan ia berakal; maka ia diberi pilihan antara kedua orang tuanya, lalu ia tinggal bersama siapa yang ia pilih di antara keduanya, Umar dan Ali ﵄ memutuskan demikian.
وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَتْ: إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي. فَقَالَ: "يَا غُلَامُ! هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ؛ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ. فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ، فَانْطَلَقَتْ بِهِ"؛ فَدَلَّ الْحَدِيثُ عَلَى أَنَّ الْغُلَامَ إِذَا اسْتَغْنَى بِنَفْسِهِ؛ يُخَيَّرُ بَيْنَ أَبَوَيْهِ؛ فَإِنَّهُ إِذَا بَلَغَ حَدًّا يَسْتَطِيعُ مَعَهُ أَنْ يُعَبِّرَ عَنْ نَفْسِهِ، فَمَالَ إِلَى أَحَدِ الْأَبَوَيْنِ؛ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَرْفَقُ بِهِ وَأَشْفَقُ عَلَيْهِ، فَقُدِّمَ لِذَلِكَ.
At-Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah ﵁, ia berkata: Seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata: Sesungguhnya suamiku ingin pergi dengan anakku. Maka beliau bersabda: "Wahai anak laki-laki! Ini ayahmu dan ini ibumu; peganglah tangan siapa saja dari keduanya yang engkau kehendaki. Lalu ia memegang tangan ibunya, maka ibunya pergi bersamanya"; hadits ini menunjukkan bahwa jika anak laki-laki itu telah mandiri; ia diberi pilihan antara kedua orang tuanya; karena jika ia telah mencapai batas di mana ia mampu mengungkapkan dirinya, lalu ia condong kepada salah satu dari kedua orang tuanya; itu menunjukkan bahwa orang tua tersebut lebih lembut dan lebih sayang kepadanya, maka ia didahulukan karena itu.
وَلَا يُخَيَّرُ إِلَّا بِشَرْطَيْنِ:
Dan ia tidak diberi pilihan kecuali dengan dua syarat:
أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ الْأَبَوَانِ مِنْ أَهْلِ الْحَضَانَةِ.
Salah satunya: Kedua orang tua termasuk orang yang berhak mengasuh.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ الْغُلَامُ عَاقِلًا، فَإِنْ كَانَ مَعْتُوهًا؛ بَقِيَ عِنْدَ الْأُمِّ؛ لِأَنَّهَا أَشْفَقُ عَلَيْهِ وَأَقْوَمُ بِمَصَالِحِهِ.
Kedua: Anak laki-laki itu berakal, jika ia idiot; ia tetap bersama ibu; karena ibu lebih sayang kepadanya dan lebih menjaga kepentingannya.
وَإِذَا اخْتَارَ الْغُلَامُ الْعَاقِلُ أَبَاهُ؛ صَارَ عِنْدَهُ لَيْلًا وَنَهَارًا؛ لِيَحْفَظَهُ وَيُعَلِّمَهُ وَيُؤَدِّبَهُ، لَكِنْ لَا يَمْنَعُهُ مِنْ زِيَارَةِ أُمِّهِ؛ لِأَنَّ مَنْعَهُ مِنْ ذَلِكَ تَنْشِئَةٌ لَهُ عَلَى الْعُقُوقِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ،
Dan jika anak laki-laki yang berakal memilih ayahnya; maka ia akan tinggal bersamanya siang dan malam; agar ayahnya dapat menjaganya, mengajarinya, dan mendidiknya, tetapi tidak melarangnya untuk mengunjungi ibunya; karena melarangnya dari hal itu akan membesarkannya dalam kedurhakaan dan memutus hubungan kekerabatan,
وَإِنِ اخْتَارَ أُمَّهُ؛ صَارَ عِنْدَهَا لَيْلًا وَعِنْدَ أَبِيهِ نَهَارًا؛ لِيُعَلِّمَهُ وَيُؤَدِّبَهُ، وَإِنْ لَمْ يُخْبِرْ وَاحِدًا مِنْهُمَا؛ أُقْرِعَ بَيْنَهُمَا؛ لِأَنَّهُ لَا مَزِيَّةَ لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ إِلَّا بِالْقُرْعَةِ.
dan jika ia memilih ibunya; maka ia akan tinggal bersamanya di malam hari dan bersama ayahnya di siang hari; agar ayahnya dapat mengajarinya dan mendidiknya, dan jika ia tidak memberitahu salah satu dari keduanya; maka dilakukan undian di antara keduanya; karena tidak ada kelebihan bagi salah satu dari keduanya atas yang lain kecuali dengan undian.
وَالْأُنْثَى إِذَا بَلَغَتْ سَبْعَ سِنِينَ؛ فَإِنَّهَا تَكُونُ عِنْدَ أَبِيهَا إِلَى أَنْ يَتَسَلَّمَهَا زَوْجُهَا؛ لِأَنَّهُ أَحْفَظُ لَهَا وَأَحَقُّ بِوَلَايَتِهَا مِنْ غَيْرِهِ، وَلَا تُمْنَعُ الْأُمُّ مِنْ زِيَارَتِهَا مَعَ عَدَمِ الْمَحْذُورِ،
Dan anak perempuan jika telah mencapai usia tujuh tahun; maka ia akan tinggal bersama ayahnya hingga suaminya menerimanya; karena ayahnya lebih mampu menjaganya dan lebih berhak atas perwaliannya daripada yang lain, dan ibu tidak dilarang untuk mengunjunginya jika tidak ada hal yang dikhawatirkan,
فَإِنْ كَانَ الْأَبُ عَاجِزًا عَنْ حِفْظِ الْبِنْتِ أَوْ لَا يُبَالِي بِهَا لِشُغْلِهِ أَوْ لِقِلَّةِ دِينِهِ، وَالْأُمُّ تَصْلُحُ لِحِفْظِهَا؛ فَإِنَّهَا تَكُونُ عِنْدَ أُمِّهَا.
Jika ayah tidak mampu menjaga putrinya atau tidak peduli dengannya karena kesibukannya atau karena sedikitnya agamanya, dan ibu mampu menjaganya; maka ia akan tinggal bersama ibunya.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَأَحْمَدُ وَأَصْحَابُهُ إِنَّمَا يُقَدِّمُونَ الْأَبَ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا فِي ذَلِكَ ضَرَرٌ، فَلَوْ قُدِّرَ أَنَّهُ عَاجِزٌ عَنْ حِفْظِهَا وَصِيَانَتِهَا، وَيُهْمِلُهَا لِاشْتِغَالِهِ عَنْهَا، وَالْأُمُّ قَائِمَةٌ بِحِفْظِهَا وَصِيَانَتِهَا؛ فَإِنَّهَا تُقَدَّمُ فِي هَذِهِ الْحَالِ، فَمَعَ وُجُودِ فَسَادِ أَمْرِهَا مَعَ أَحَدِهِمَا؛ فَالْآخَرُ أَوْلَى بِهَا بِلَا رَيْبٍ".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Ahmad dan para sahabatnya hanya mendahulukan ayah jika tidak ada bahaya baginya dalam hal itu, jika diperkirakan bahwa ia tidak mampu menjaga dan memeliharanya, dan mengabaikannya karena kesibukannya darinya, sedangkan ibu mampu menjaga dan memeliharanya; maka ia didahulukan dalam keadaan ini, jika terdapat kerusakan pada urusannya bersama salah satu dari keduanya; maka yang lain lebih berhak atasnya tanpa keraguan".
وَقَالَ ﵀: "وَإِذَا قُدِّرَ أَنَّ الْأَبَ تَزَوَّجَ بِضَرَّةٍ، وَهُوَ يَتْرُكُهَا عِنْدَ ضَرَّةِ أُمِّهَا، لَا تَعْمَلُ مَصْلَحَتَهَا، بَلْ تُؤْذِيهَا وَتُقَصِّرُ فِي مَصْلَحَتِهَا، وَأُمُّهَا تَعْمَلُ مَصْلَحَتَهَا وَلَا تُؤْذِيهَا؛ فَالْحَضَانَةُ هُنَا لِلْأُمِّ قَطْعًا" انْتَهَى، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Dan beliau ﵀ berkata: "Dan jika diperkirakan bahwa ayah menikah dengan madunya, dan ia meninggalkannya bersama madu ibunya, yang tidak mengerjakan kemaslahatannya, bahkan menyakitinya dan lalai dalam kemaslahatannya, sedangkan ibunya mengerjakan kemaslahatannya dan tidak menyakitinya; maka hak asuh di sini adalah untuk ibu secara pasti" selesai, dan Allah lebih mengetahui.
بَابٌ فِي نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ
بَابٌ فِي نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ
Bab tentang nafkah istri
النَّفَقَاتُ جَمْعُ نَفَقَةٍ، وَهِيَ لُغَةً: الدَّرَاهِمُ وَنَحْوُهَا مِنَ الْأَمْوَالِ، وَشَرْعًا: كِفَايَةُ مَنْ يُمَوِّنُهُ بِالْمَعْرُوفِ قُوتًا وَمَسْكَنًا وَتَوَابِعَهَا.
Nafkah adalah bentuk jamak dari nafaqah, yang secara bahasa berarti: dirham dan sejenisnya dari harta, dan secara syariat: kecukupan orang yang dinafkahi dengan cara yang baik berupa makanan, tempat tinggal, dan kebutuhannya.
وَأَوَّلُ مَا يَجِبُ عَلَى الْإِنْسَانِ: النَّفَقَةُ عَلَى زَوْجَتِهِ، فَيَلْزَمُ الزَّوْجَ نَفَقَةُ زَوْجَتِهِ قُوتًا وَكِسْوَةً وَسُكْنَى بِمَا يَصْلُحُ لِمِثْلِهَا.
Dan yang pertama kali wajib atas seseorang adalah: memberi nafkah kepada istrinya, maka suami wajib memberi nafkah kepada istrinya berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak untuknya.
قَالَ تَعَالَى: ﴿لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ﴾، وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ" رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُدَ.
Allah Ta'ala berfirman: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya", dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf", dan Nabi ﷺ bersabda: "Dan hak mereka atas kalian adalah memberi mereka rezeki dan pakaian dengan cara yang ma'ruf" diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud.
وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَيَدْخُلُ فِي ﴿وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ﴾: جَمِيعُ الْحُقُوقِ الَّتِي لِلْمَرْأَةِ وَعَلَيْهَا، وَأَنَّ مَرَدَّ ذَلِكَ إِلَى مَا يَتَعَارَفُهُ النَّاسُ بَيْنَهُمْ، وَيَجْعَلُونَهُ مَعْدُودًا، وَيَتَكَرَّرُ" انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Termasuk dalam firman Allah ﴿Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf﴾ adalah: semua hak yang dimiliki wanita dan yang menjadi kewajibannya, dan bahwa rujukan hal tersebut adalah apa yang dikenal oleh manusia di antara mereka, dan mereka menjadikannya sebagai sesuatu yang terhitung dan berulang" selesai.
وَيَعْتَبِرُ الْحَاكِمُ تَقْدِيرَ نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ بِحَالِ الزَّوْجَيْنِ يَسَارًا وَإِعْسَارًا أَوْ يَسَارِ أَحَدِهِمَا وَإِعْسَارِ الْآخَرِ عِنْدَ التَّنَازُعِ بَيْنَهُمَا:
Hakim mempertimbangkan perkiraan nafkah istri berdasarkan keadaan kedua pasangan, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, atau kelapangan salah satunya dan kesempitan yang lain ketika terjadi perselisihan di antara keduanya:
فَيُفْرَضُ لِلْمُوسِرَةِ تَحْتَ الْمُوسِرِ مِنَ النَّفَقَةِ قَدْرُ كِفَايَتِهَا مِمَّا تَأْكُلُ الْمُوسِرَةُ تَحْتَ الْمُوسِرِ فِي مَحَلِّهِمَا، وَيُفْرَضُ لَهَا مِنَ الْكِسْوَةِ مَا يَلْبَسُ مِثْلُهَا مِنَ الْمُوسِرَاتِ بِذَلِكَ الْبَلَدِ، وَمِنَ الْفُرُشِ وَالْأَثَاثِ كَذَلِكَ مَا يَلِيقُ فِي ذَلِكَ الْبَلَدِ.
Bagi istri yang kaya di bawah suami yang kaya, ditetapkan nafkah sesuai dengan kebutuhannya, dari apa yang dimakan oleh istri kaya di bawah suami kaya di tempat mereka. Dan ditetapkan baginya pakaian yang dikenakan oleh sesamanya dari kalangan wanita kaya di negeri itu, serta tempat tidur dan perabotan yang sesuai di negeri itu.
وَيُفْرَضُ لِلْفَقِيرَةِ تَحْتَ الْفَقِيرِ مِنَ الْقُوتِ وَالْكِسْوَةِ وَالْفُرُشِ وَالْأَثَاثِ مَا يَلِيقُ بِمِثْلِهَا فِي الْبَلَدِ.
Dan bagi istri yang miskin di bawah suami yang miskin, ditetapkan makanan, pakaian, tempat tidur, dan perabotan yang sesuai dengan sesamanya di negeri itu.
وَيُفْرَضُ لِلْمُتَوَسِّطَةِ مَعَ الْمُتَوَسِّطِ وَالْغَنِيَّةِ تَحْتَ الْفَقِيرِ وَالْفَقِيرَةِ تَحْتَ الْغَنِيِّ مَا بَيْنَ الْحَدِّ الْأَعْلَى وَهُوَ نَفَقَةُ الْمُوسِرِينَ وَالْحَدِّ الْأَدْنَى وَهُوَ نَفَقَةُ الْفُقَرَاءِ بِحَسَبِ الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ هُوَ اللَّائِقُ بِحَالِهِمَا.
Dan bagi istri yang sederhana dengan suami yang sederhana, istri yang kaya dengan suami yang miskin, dan istri yang miskin dengan suami yang kaya, ditetapkan nafkah di antara batas tertinggi yaitu nafkah orang-orang kaya dan batas terendah yaitu nafkah orang-orang miskin, sesuai dengan kebiasaan dan adat istiadat; karena itulah yang sesuai dengan keadaan mereka berdua.
وَعَلَى الزَّوْجِ مُؤْنَةُ نَظَافَةِ زَوْجَتِهِ مِنْ دُهْنٍ وَسِدْرٍ وَصَابُونٍ وَمِنْ مَاءٍ لِلشُّرْبِ وَالطَّهَارَةِ وَالنَّظَافَةِ.
Dan suami berkewajiban menanggung biaya kebersihan istrinya, seperti minyak, daun bidara, sabun, dan air untuk minum, bersuci, dan membersihkan diri.
وَمَا ذُكِرَ هُوَ مَا إِذَا كَانَتِ الزَّوْجَةُ فِي عِصْمَتِهِ، أَمَّا إِذَا طَلَّقَهَا وَصَارَتْ فِي الْعِدَّةِ: فَإِنْ كَانَ طَلَاقُهَا رَجْعِيًّا؛ فَإِنَّهَا تَجِبُ نَفَقَتُهَا عَلَيْهِ مَا دَامَتْ فِي الْعِدَّةِ؛ كَالزَّوْجَةِ لِأَنَّهَا زَوْجَةٌ؛ بِدَلِيلِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِك﴾.
Dan apa yang disebutkan itu adalah jika istri berada dalam ikatan pernikahannya. Adapun jika dia menceraikannya dan istri memasuki masa iddah: jika itu adalah talak raj'i, maka nafkahnya wajib atas suami selama istri dalam masa iddah, seperti istri yang masih dalam pernikahan, karena dia masih berstatus istri, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan para suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa itu."
وَأَمَّا الْمُطَلَّقَةُ الْبَائِنُ بَيْنُونَةً كُبْرَى أَوْ بَيْنُونَةً صُغْرَى؛ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا سُكْنَى؛ لِمَا فِي "الصَّحِيحَيْنِ" مِنْ حَدِيثِ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ: طَلَّقَهَا زَوْجُهَا أَلْبَتَّةَ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ﷺ: "وَلَا نَفَقَةَ لَكِ وَلَا سُكْنَى".
Adapun wanita yang ditalak ba'in dengan talak besar atau kecil, maka tidak ada nafkah dan tempat tinggal baginya, berdasarkan hadits Fathimah binti Qais dalam Shahihain: Suaminya mentalaknya dengan talak terakhir (talak tiga), maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: "Kamu tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal."
قَالَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "الْمُطَلَّقَةُ الْبَائِنُ لَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا سُكْنَى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ الصَّحِيحَةِ، بَلِ الْمُوَافِقَةُ لِكِتَابِ اللهِ، وَهِيَ مُقْتَضَى الْقِيَاسِ، وَمَذْهَبُ فُقَهَاءِ الْحَدِيثِ" انْتَهَى.
Imam Ibnu Qayyim ﵀ berkata: "Wanita yang ditalak ba'in tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal berdasarkan sunnah Rasulullah ﷺ yang sahih, bahkan sesuai dengan Kitabullah, dan ini adalah konsekuensi qiyas, serta mazhab para ahli fikih hadis" selesai.
إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمُطَلَّقَةُ الْبَائِنُ حَامِلًا؛ فَلَهَا النَّفَقَةُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ﴾، وَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ﴾، وَلِقَوْلِهِ ﷺ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ: "لَا نَفَقَةَ لَكِ؛ إِلَّا أَنْ تَكُونِي حَامِلًا"، وَلِأَنَّ الْحَمْلَ وَلَدٌ لِلْمُطَلِّقِ، فَلَزِمَهُ الْإِنْفَاقُ عَلَيْهِ، وَلَا يُمْكِنُهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْإِنْفَاقِ عَلَى أُمِّهِ.
Kecuali jika wanita yang ditalak ba'in itu sedang hamil; maka dia berhak mendapatkan nafkah; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya", dan firman-Nya: "Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu", dan sabda Nabi ﷺ kepada Fatimah binti Qais: "Kamu tidak berhak mendapatkan nafkah; kecuali jika kamu sedang hamil", dan karena janin itu adalah anak dari suami yang mentalak, maka dia wajib menafkahinya, dan itu tidak mungkin kecuali dengan memberi nafkah kepada ibunya.
قَالَ الْمُوَفَّقُ وَغَيْرُهُ: "وَهَذَا بِإِجْمَاعِ أَهْلِ الْعِلْمِ، لَكِنِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ هَلِ النَّفَقَةُ لِلْحَمْلِ أَوْ لِلْحَامِلِ مِنْ أَجْلِ الْحَمْلِ".
Al-Muwaffaq dan lainnya berkata: "Ini adalah kesepakatan para ulama, tetapi para ulama berbeda pendapat apakah nafkah itu untuk janin atau untuk wanita hamil karena kehamilannya".
وَيَتَفَرَّعُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ أَحْكَامٌ كَثِيرَةٌ مَوْضِعُهَا كُتُبُ الْفِقْهِ وَالْقَوَاعِدُ الْفِقْهِيَّةُ.
Dari dua pendapat ini, bercabang banyak hukum yang tempatnya ada dalam kitab-kitab fikih dan kaidah-kaidah fikih.
وَتَسْقُطُ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ عَنْ زَوْجِهَا بِأَسْبَابٍ مُتَعَدِّدَةٍ:
Nafkah istri gugur dari suaminya karena beberapa sebab:
مِنْهَا: إِذَا حُبِسَتْ عَنْهُ؛ سَقَطَتْ نَفَقَتُهَا؛ لِفَوَاتِ تَمَكُّنِهِ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا، وَالنَّفَقُ إِنَّمَا تَجِبُ فِي مُقَابِلِ الِاسْتِمْتَاعِ.
Di antaranya: jika dia ditahan darinya; maka nafkahnya gugur; karena hilangnya kemampuan suami untuk menikmatinya, dan nafkah itu hanya wajib sebagai imbalan dari penikmatan (istimta').
وَمِنْهَا: إِذَا نَشَزَتْ عَنْهُ؛ فَإِنَّهَا تَسْقُطُ نَفَقَتُهَا، وَالنُّشُوزُ هُوَ:
Dan di antaranya: jika dia nusyuz terhadapnya; maka nafkahnya gugur, dan nusyuz adalah:
مَعْصِيَتُهَا إِيَّاهُ فِيمَا يَجِبُ عَلَيْهَا لَهُ، كَمَا لَوْ امْتَنَعَتْ مِنْ فِرَاشِهِ، أَوْ امْتَنَعَتْ مِنَ الِانْتِقَالِ مَعَهُ إِلَى مَسْكَنٍ يَلِيقُ بِهَا، أَوْ خَرَجَتْ مِنْ مَنْزِلِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ؛ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ؛ لِأَنَّهَا تُعْتَبَرُ نَاشِزًا، لَا يَتَمَكَّنُ مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ بِهَا وَالنَّفَقَةُ فِي نَظِيرِ تَمْكِينِهَا مِنَ الِاسْتِمْتَاعِ.
Ketidaktaatannya kepadanya dalam hal yang wajib baginya, seperti jika dia menolak untuk tidur dengannya, atau menolak untuk pindah bersamanya ke tempat tinggal yang layak baginya, atau keluar dari rumahnya tanpa izinnya; maka dia tidak berhak atas nafkah dalam keadaan ini; karena dia dianggap nusyuz, dia tidak dapat menikmatinya dan nafkah sebagai imbalan atas kemampuannya untuk menikmati.
وَمِنْهَا: لَوْ سَافَرَتْ لِحَاجَتِهَا؛ فَإِنَّهَا تُسْقِطُ نَفَقَتَهَا؛ لِأَنَّهَا بِذَلِكَ مَنَعَتْ نَفْسَهَا مِنْهُ بِسَبَبٍ لَا مِنْ جِهَتِهِ، فَسَقَطَتْ نَفَقَتُهَا.
Dan di antaranya: jika dia bepergian untuk kebutuhannya sendiri; maka dia kehilangan haknya atas nafkah; karena dengan demikian dia telah mencegah dirinya darinya karena alasan yang bukan dari pihaknya, sehingga nafkahnya gugur.
وَالْمَرْأَةُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا لَا نَفَقَةَ لَهَا مِنْ تَرِكَةِ الزَّوْجِ؛ لِأَنَّ الْمَالَ انْتَقَلَ مِنَ الزَّوْجِ إِلَى الْوَرَثَةِ، وَلَا سَبَبَ لِوُجُوبِ النَّفَقَةِ عَلَيْهَا، فَتَكُونُ نَفَقَتُهَا عَلَى نَفْسِهَا، أَوْ عَلَى مَنْ يَمُونُهَا إِذَا كَانَتْ فَقِيرَةً.
Dan wanita yang ditinggal mati suaminya tidak berhak atas nafkah dari harta peninggalan suami; karena harta telah berpindah dari suami kepada ahli waris, dan tidak ada alasan untuk mewajibkan nafkah atasnya, maka nafkahnya menjadi tanggungan dirinya sendiri, atau tanggungan orang yang menafkahinya jika dia miskin.
وَإِنْ كَانَتِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا حَامِلًا؛ وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا فِي حِصَّةِ الْحَمْلِ مِنَ التَّرِكَةِ إِنْ كَانَ لِلْمُتَوَفَّى تَرِكَةٌ، وَإِلَّا وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا عَلَى وَارِثِ الْحَمْلِ الْمُوسِرِ.
Dan jika wanita yang ditinggal mati itu sedang hamil; maka nafkahnya wajib dari bagian janin dalam harta peninggalan jika almarhum memiliki harta peninggalan, jika tidak maka nafkahnya wajib atas ahli waris janin yang mampu.
وَإِذَا اتَّفَقَ الزَّوْجَانِ عَلَى دَفْعِ قِيمَةِ النَّفَقَةِ أَوِ اتَّفَقَا عَلَى تَعْجِيلِهَا أَوْ عَلَى تَأْخِيرِهَا مُدَّةً طَوِيلَةً أَوْ قَلِيلَةً، جَازَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْحَقَّ لَهُمَا، وَإِنِ اخْتَلَفَا؛ وَجَبَ دَفْعُ نَفَقَةِ كُلِّ يَوْمٍ مِنْ أَوَّلِهِ جَاهِزَةً، وَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى دَفْعِهَا حَبًّا؛ جَازَ ذَلِكَ؛ لِاحْتِيَاجِهِ إِلَى كُلْفَةٍ وَمَؤُونَةٍ، فَلَا يَلْزَمُهَا قَبُولُهُ إِلَّا بِرِضَاهَا.
Dan jika suami istri sepakat untuk membayar nilai nafkah atau sepakat untuk mempercepatnya atau menundanya dalam waktu yang lama atau sebentar, maka itu diperbolehkan; karena hak itu milik mereka berdua, dan jika mereka berselisih; maka wajib membayar nafkah setiap hari dari awalnya secara tunai, dan jika mereka sepakat untuk membayarnya dalam bentuk biji-bijian; maka itu diperbolehkan; karena membutuhkan biaya dan beban, maka dia tidak wajib menerimanya kecuali dengan persetujuannya.
وَتَجِبُ لَهَا الْكِسْوَةُ كُلَّ عَامٍ مِنْ أَوَّلِهِ، فَيُعْطِيهَا كِسْوَةَ السَّنَةِ، وَمَنْ غَابَ عَنْ زَوْجَتِهِ وَلَمْ يَتْرُكْ لَهَا نَفَقَةً، أَوْ كَانَ حَاضِرًا وَلَمْ يُنْفِقْ عَلَيْهَا؛ لَزِمَتْهُ نَفَقَةُ مَا مَضَى؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ يَجِبُ مَعَ الْيَسَارِ وَالْإِعْسَارِ، فَلَمْ يَسْقُطْ بِمُضِيِّ الزَّمَانِ.
Dan dia berhak atas pakaian setiap tahun dari awalnya, maka dia memberinya pakaian untuk setahun, dan siapa yang pergi meninggalkan istrinya dan tidak meninggalkan nafkah untuknya, atau hadir tetapi tidak menafkahinya; maka dia berkewajiban membayar nafkah yang telah berlalu; karena itu adalah hak yang wajib baik dalam keadaan lapang maupun sempit, maka tidak gugur dengan berlalunya waktu.
وَيَبْدَأُ وَقْتُ وُجُوبِ نَفَقَةِ الزَّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا مِنْ حِينِ تَسْلِيمِ نَفْسِهَا لَهُ، فَإِنْ أَعْسَرَ بِالنَّفَقَةِ؛ فَلَهَا فَسْخُ نِكَاحِهَا مِنْهُ؛ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا: فِي الرَّجُلِ لَا يَجِدُ مَا يُنْفِقُ عَلَى امْرَأَتِهِ؛ قَالَ: "يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا"، رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ﴾، وَلَيْسَ الْإِمْسَاكُ مَعَ تَرْكِ النَّفَقَةِ إِمْسَاكًا بِمَعْرُوفٍ.
Dan waktu wajibnya nafkah istri atas suaminya dimulai sejak ia menyerahkan dirinya kepada suaminya. Jika suami tidak mampu memberikan nafkah, maka istri berhak membatalkan pernikahannya darinya, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan secara marfu': "Tentang seorang laki-laki yang tidak mendapatkan apa yang dia nafkahkan kepada istrinya, beliau bersabda: 'Pisahkanlah di antara keduanya'", diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, dan berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Maka rujuklah dengan cara yang ma'ruf atau lepaskanlah dengan cara yang baik", dan menahan (istri) dengan meninggalkan nafkah bukanlah menahan dengan cara yang ma'ruf.
وَإِنْ غَابَ زَوْجٌ مُوسِرٌ، وَلَمْ يَدَعْ لِامْرَأَتِهِ نَفَقَةً، وَتَعَذَّرَ أَخْذُهَا مِنْ مَالِهِ أَوْ اسْتِدَانَتُهَا عَلَيْهِ؛ فَلَهَا الْفَسْخُ بِإِذْنِ الْحَاكِمِ، فَإِنْ قَدَرَتْ عَلَى مَالِهِ؛ أَخَذَتْ قَدْرَ كِفَايَتِهَا، لِمَا فِي "الصَّحِيحَيْنِ"؛ أَنَّهُ ﷺ قَالَ لِهِنْدٍ: "خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ"، لَمَّا ذَكَرَتْ لَهُ أَنَّ زَوْجَهَا لَا يُعْطِيهَا مَا يَكْفِيهَا وَوَلَدَهَا.
Jika seorang suami yang mampu pergi dan tidak meninggalkan nafkah untuk istrinya, dan tidak mungkin untuk mengambilnya dari hartanya atau meminjam atas namanya, maka istri berhak membatalkan (pernikahan) dengan izin hakim. Jika istri mampu mengambil dari harta suaminya, maka dia mengambil seukuran kebutuhannya, berdasarkan apa yang ada dalam "Ash-Shahihain" bahwa beliau ﷺ berkata kepada Hindun: "Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma'ruf", ketika dia menyebutkan kepadanya bahwa suaminya tidak memberinya apa yang mencukupinya dan anaknya.
وَمِنْ هَذَا وَغَيْرِهِ نُدْرِكُ كَمَالَ هَذِهِ الشَّرِيعَةِ، وَإِعْطَاءَهَا كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، شَأْنُهَا فِي كُلِّ تَشْرِيعَاتِهَا الْحَكِيمَةِ؛ فَقَبَّحَ اللَّهُ قَوْمًا يَعْدِلُونَ عَنْهَا إِلَى غَيْرِهَا مِنَ الْقَوَانِينِ الْكُفْرِيَّةِ، ﴿أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ﴾.
Dari ini dan lainnya, kita menyadari kesempurnaan syariat ini, dan pemberiannya kepada setiap pemilik hak akan haknya. Ini adalah keadaannya dalam semua peraturan-peraturannya yang bijaksana. Maka Allah memburukkan suatu kaum yang berpaling darinya kepada selainnya dari hukum-hukum kufur, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
بَابٌ فِي نَفَقَةِ الْأَقَارِبِ وَالْمَمَالِيكِ
بَابٌ فِي نَفَقَةِ الْأَقَارِبِ وَالْمَمَالِيكِ
Bab tentang nafkah kerabat dan budak
الْمُرَادُ هُنَا: بِأَقَارِبِ الْإِنْسَانِ كُلُّ مَنْ بِفَرْضٍ أَوْ تَعْصِيبٍ.
Yang dimaksud di sini: dengan kerabat seseorang adalah setiap orang yang memiliki kewajiban atau 'ashabah.
وَالْمُرَادُ بِالْمَمَالِيكِ: مَا تَحْتَ مِلْكِ الْإِنْسَانِ مِنَ الْأَرْقَاءِ وَالْبَهَائِمِ.
Dan yang dimaksud dengan budak: apa yang berada di bawah kepemilikan manusia dari para budak dan hewan.
وَيُشْتَرَطُ لِوُجُوبِ الْإِنْفَاقِ عَلَى الْقَرِيبِ إِذَا كَانَ مِنْ عَمُودِي النَّسَبِ، وَهُمْ وَالِدَا الْمُنْفِقِ وَأَجْدَادُهُ وَإِنْ عَلَوْا وَأَوْلَادُهُ وَإِنْ نَزَلُوا:
Dan disyaratkan untuk kewajiban memberi nafkah kepada kerabat jika ia berasal dari garis keturunan, yaitu orang tua pemberi nafkah dan kakek-neneknya meskipun ke atas dan anak-anaknya meskipun ke bawah:
أَنْ يَكُونَ الْمُنْفَقُ عَلَيْهِ مِنْهُمْ فَقِيرًا رَ يَمْلِكُ شَيْئًا، أَوْ لَا يَمْلِكُ مَا يَكْفِيهِ، وَلَا يَقْدِرُ عَلَى التَّكَسُّبِ.
Bahwa orang yang diberi nafkah dari mereka adalah orang miskin yang tidak memiliki apa pun, atau tidak memiliki apa yang cukup baginya, dan tidak mampu untuk bekerja.
وَأَنْ يَكُونَ الْمُنْفِقُ غَنِيًّا، عِنْدَهُ مَا يَفْضُلُ عَنْ قُوتِهِ وَقُتِ زَوْجَتِهِ وَمَمْلُوكِهِ.
Dan bahwa pemberi nafkah adalah orang kaya, yang memiliki kelebihan dari makanannya, makanan istrinya, dan budaknya.
وَأَنْ يَكُونَ الْمُنْفِقُ وَالْمُنْفَقُ عَلَيْهِ عَلَى دِينٍ وَاحِدٍ.
Dan bahwa pemberi nafkah dan penerima nafkah berada dalam satu agama.
وَإِنْ كَانَ الْمُنْفَقُ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ أَوْلَادِ الْمُنْفِقِ وَآبَائِهِ؛ اشْتُرِطَ زِيَادَةً عَلَى ذَلِكَ كَوْنُ الْمُنْفِقِ وَارِثًا لِلْمُنْفَقِ عَلَيْهِ.
Dan jika penerima nafkah bukan dari anak-anak pemberi nafkah dan bapak-bapaknya; maka disyaratkan tambahan atas hal itu, yaitu pemberi nafkah adalah ahli waris dari penerima nafkah.
وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ نَفَقَةِ الْوَالِدَيْنِ عَلَى وَلَدِهِمَا: قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا﴾، وَمِنَ الْإِحْسَانِ الْإِنْفَاقُ عَلَيْهِمَا، بَلْ ذَلِكَ مِنْ أَعْظَمِ الْإِحْسَانِ إِلَى الْوَالِدَيْنِ.
Dan dalil atas kewajiban nafkah orang tua atas anak mereka adalah firman Allah Ta'ala: "Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua", dan termasuk berbuat baik adalah memberi nafkah kepada keduanya, bahkan itu termasuk kebaikan terbesar kepada kedua orang tua.
وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ نَفَقَةِ الْأَوْلَادِ عَلَى أَبِيهِمْ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ﴾؛ أَيْ: وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ، وَهُوَ الْأَبُ. ﴿رِزْقُهُنَّ﴾ أَيْ: طَعَامُ الْوَالِدَاتِ، ﴿وَكِسْوَتُهُنَّ﴾ أَيْ: لِبَاسُهُنَّ، ﴿بِالْمَعْرُوفِ﴾؛ أَيْ: بِمَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ أَمْثَالِهِنَّ فِي بَلَدِهِنَّ عَلَى قَدْرِ الْمَيْسُرَةِ مِنْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا إِقْتَارٍ، وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ".
Dan dalil atas wajibnya nafkah anak-anak atas ayah mereka adalah firman Allah Ta'ala: "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf"; yaitu: dan kewajiban ayah, dan dia adalah ayah. "Memberi makan mereka" yaitu: makanan para ibu, "dan pakaian mereka" yaitu: pakaian mereka, "dengan cara yang ma'ruf"; yaitu: dengan apa yang menjadi kebiasaan seperti mereka di negeri mereka sesuai kemampuan tanpa berlebihan dan tidak kikir, dan Nabi ﷺ bersabda: "Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma'ruf".
وَالدَّلِيلُ عَلَى وُجُوبِ نَفَقَةِ الْقَرِيبِ الَّذِي يَرِثُهُ الْمُنْفِقُ بِفَرْضٍ أَوْ تَعْصِيبٍ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ﴾، وَلِأَنَّ بَيْنَ الْمُتَوَارِثِينَ قَرَابَةً تَقْتَضِي كَوْنَ الْوَارِثِ أَحَقَّ بِمَالِ الْمُورِثِ مِنْ سَائِرِ النَّاسِ؛ فَيَنْبَغِي أَنْ يَخْتَصَّ بِوُجُوبِ صِلَتِهِ بِالنَّفَقَةِ دُونَ غَيْرِهِ مِمَّنْ لَا يَرِثُ.
Dan dalil atas wajibnya nafkah kerabat yang mewarisinya oleh pemberi nafkah dengan farḍ atau ta'ṣīb adalah firman Allah Ta'ala: "Dan warispun berkewajiban demikian", dan karena di antara ahli waris terdapat kekerabatan yang menuntut ahli waris lebih berhak atas harta pewaris daripada orang lain; maka sepatutnya dia mengkhususkan dengan wajibnya menyambung silaturahmi dengannya melalui nafkah, bukan yang lain yang tidak mewarisi.
وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ، وَهِيَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ﴾ أَيْ: عَلَى وَارِثِ الْوَلَدِ غَيْرِ وَالِدِهِ وَالَّذِي يَكُونُ بِحَيْثُ لَوْ مَاتَ هَذَا الْوَلَدُ وَلَهُ مَالٌ وَرِثَهُ مِنَ الْإِنْفَاقِ عَلَى الطِّفْلِ مِثْلُ مَا عَلَى وَالِدِهِ مِنْ ذَلِكَ.
Dan dalam ayat ini, yaitu firman Allah Ta'ala: "Dan warispun berkewajiban demikian" yaitu: atas ahli waris anak selain orang tuanya dan yang mana seandainya anak ini meninggal dan memiliki harta, dia mewarisinya untuk memberi nafkah kepada anak kecil seperti apa yang diwajibkan atas orang tuanya dari hal tersebut.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ﴾ .
Dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya".
وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى وُجُوبِ نَفَقَةِ الْأَقَارِبِ الْمُحْتَاجِينَ عَلَى قَرِيبِهِمُ الْغَنِيِّ.
Dan selain itu dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya nafkah kerabat yang membutuhkan atas kerabat mereka yang kaya.
وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ؛ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ: مَنْ أَبَرُّ؟، قَالَ: "أُمَّكَ
Dan Abu Dawud meriwayatkan; bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ: "Siapa yang paling berhak aku berbakti kepadanya?", beliau bersabda: "Ibumu
وَأَبَاكَ وَأُخْتَكَ وَأَخَاكَ"، وَلِلنَّسَائِيِّ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ مِنْ حَدِيثِ طَارِقٍ الْمُحَارِبِيِّ: "وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ: أُمَّكَ وَأَبَاكَ، وَأُخْتَكَ وَأَخَاكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ"، وَهَذَا الْحَدِيثُ يُفَسِّرُ قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ﴾ .
"Dan ayahmu, saudara perempuanmu, dan saudara lelakimu", dan menurut riwayat An-Nasa'i yang dibenarkan oleh Al-Hakim dari hadits Thariq Al-Muharibi: "Dan mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu: ibumu dan ayahmu, saudara perempuanmu dan saudara lelakimu, kemudian yang terdekat dan yang terdekat", dan hadits ini menjelaskan firman Allah Ta'ala: "Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya".
وَالْوَالِدُ تَجِبُ عَلَيْهِ نَفَقَةُ وَلَدِهِ كَامِلَةً، يَنْفَرِدُ بِهَا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ لِهِنْدٍ: "خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ"؛ فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ الشَّرِيفُ عَلَى انْفِرَادِ الْأَبِ بِنَفَقَةِ ابْنِهِ، مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ﴾، وَقَوْلِهِ: ﴿فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ﴾؛ فَأَوْجَبَ عَلَى الْأَبِ نَفَقَةَ الرَّضَاعِ دُونَ أُمِّهِ.
Dan ayah wajib menanggung nafkah anaknya secara penuh, ia menanggungnya sendiri; berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Hindun: "Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu secara ma'ruf"; maka hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa ayah sendiri yang menanggung nafkah anaknya, bersamaan dengan firman Allah Ta'ala: "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf", dan firman-Nya: "Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya"; maka Allah mewajibkan kepada ayah nafkah penyusuan, bukan kepada ibunya.
وَأَمَّا الْفَقِيرُ الَّذِي لَهُ أَقَارِبُ أَغْنِيَاءُ، وَلَيْسَ مِنْهُمُ الْأَبُ؛ فَإِنَّهُمْ يَشْتَرِكُونَ فِي الْإِنْفَاقِ عَلَيْهِ كُلٌّ بِقَدْرِ إِرْثِهِ مِنْهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى رَتَّبَ النَّفَقَةَ عَلَى الْإِرْثِ؛ بِقَوْلِهِ: ﴿وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ﴾، فَوَجَبَ أَنْ يَتَرَتَّبَ مِقْدَارُ النَّفَقَةِ عَلَى مِقْدَارِ الْإِرْثِ، فَمَنْ لَهُ جَدَّةٌ أَوْ أَخٌ شَقِيقٌ مَثَلًا؛ وَجَبَ عَلَى الْجَدَّةِ سُدُسُ نَفَقَتِهِ، وَالْبَاقِي عَلَى الشَّقِيقِ؛ لِأَنَّهُمَا يَرِثَانِهِ كَذَلِكَ، وَعَلَى هَذَا فَقِسْ.
Adapun orang fakir yang memiliki kerabat kaya, dan di antara mereka tidak ada ayah; maka mereka bersekutu dalam memberi nafkah kepadanya, masing-masing sesuai dengan kadar warisannya darinya; karena Allah Ta'ala mendasarkan nafkah atas warisan; dengan firman-Nya: "Dan kewajiban ahli waris pun seperti itu", maka wajib mendasarkan kadar nafkah atas kadar warisan, maka barangsiapa memiliki nenek atau saudara kandung misalnya; maka wajib atas nenek seperenam nafkahnya, dan sisanya atas saudara kandung; karena mereka mewarisinya seperti itu, dan atas dasar ini maka perhatikanlah.
وَأَمَّا نَفَقَةُ الْمَمَالِيكِ مِنَ الْأَرِقَّاءِ وَالْبَهَائِمِ: فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَى السَّيِّدِ نَفَقَةُ رَقِيقِهِ مِنْ قُوتٍ وَكِسْوَةٍ وَسُكْنَى بِالْمَعْرُوفِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "وَلِلْمَمْلُوكِ
Adapun nafkah para budak dari para hamba sahaya dan hewan: maka wajib atas tuan memberi nafkah budaknya berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal secara ma'ruf; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Dan bagi budak
طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ، لَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَا لَا يُطِيقُ"، رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ فِي "مُسْنَدِهِ".
Makanan dan pakaiannya dengan cara yang baik, tidak dibebani pekerjaan yang tidak mampu ia lakukan", diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i dalam "Musnad"-nya.
وَرَوَى مُسْلِمٌ فِي "الصَّحِيحَيْنِ" مِنْ حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ ﵁ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: "إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ، جَعَلَهُمُ اللهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ؛ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ".
Muslim meriwayatkan dalam "Ash-Shahihain" dari hadits Abu Dzar ﵁ dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: "Saudara-saudara kalian adalah pelayan kalian, Allah menjadikan mereka di bawah tangan kalian, maka siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya; hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan, memberinya pakaian dari apa yang ia pakai, dan janganlah kalian membebani mereka dengan apa yang memberatkan mereka".
مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ﴾؛ فَفِي هَذِهِ النُّصُوصِ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ نَفَقَةِ الرَّقِيقِ عَلَى مَالِكِهِ.
Bersama firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki"; maka dalam nash-nash ini terdapat dalil atas wajibnya nafkah budak atas pemiliknya.
وَإِنْ طَلَبَ الرَّقِيقُ نِكَاحًا؛ زَوَّجَهُ سَيِّدُهُ أَوْ بَاعَهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُم﴾، وَالْأَمْرُ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ عِنْدَ الطَّلَبِ.
Jika budak meminta untuk menikah; maka tuannya menikahkannya atau menjualnya; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan", dan perintah menuntut kewajiban ketika diminta.
وَإِنْ طَلَبَتْهُ أَمَةٌ؛ خُيِّرَ سَيِّدُهَا بَيْنَ وَطْئِهَا أَوْ تَزْوِيجِهَا أَوْ بَيْعِهَا؛ إِزَالَةً لِلضَّرَرِ عَنْهَا.
Jika budak perempuan memintanya; maka tuannya diberi pilihan antara menyetubuhinya, menikahkannya, atau menjualnya; untuk menghilangkan mudarat darinya.
وَيَجِبُ عَلَى مَنْ يَمْلِكُ بَهِيمَةً عَلَفُهَا وَسَقْيُهَا وَمَا يُصْلِحُهَا؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: "عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا، حَتَّى مَاتَتْ جُوعًا؛ فَلَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا، وَلَا هِيَ أَرْسَلَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Wajib bagi orang yang memiliki binatang untuk memberinya makan, minum, dan apa yang memperbaikinya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dia kurung, hingga mati kelaparan; dia tidak memberinya makan, dan tidak pula melepaskannya untuk memakan serangga di bumi", muttafaq 'alaih.
فَدَلَّ هَذَا الحَدِيثُ عَلَى وُجُوبِ النَّفَقَةِ عَلَى الحَيَوَانِ المَمْلُوكِ؛ لِأَنَّ السَّبَبَ فِي دُخُولِ تِلْكَ المَرْأَةِ النَّارَ تَرْكُ الهِرَّةِ بِدُونِ إِنْفَاقٍ، وَإِذَا كَانَ هَذَا فِي الهِرَّةِ؛ فَغَيْرُهَا مِنَ الحَيَوَنَاتِ الَّتِي تَحْتَ مِلْكِهِ مِنْ بَابٍ أَوْلَى.
Hadits ini menunjukkan kewajiban memberi nafkah kepada hewan yang dimiliki; karena penyebab masuknya wanita itu ke neraka adalah meninggalkan kucing tanpa memberi nafkah, dan jika ini berlaku pada kucing; maka hewan lain yang berada di bawah kepemilikannya lebih utama.
وَلَا يَجُوزُ لِمَالِكِ البَهِيمَةِ أَنْ يَحْمِلَهَا مَا تَعْجِزُ عَنْهُ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ تَعْذِيبٌ لَهَا.
Pemilik binatang tidak boleh membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dipikulnya; karena itu adalah penyiksaan baginya.
وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَحْلِبَ مِنْ اِبْنِهَا مَا يَضُرُّ وَلَدَهَا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ".
Dia juga tidak boleh memerah dari induknya sesuatu yang membahayakan anaknya; karena sabda Nabi ﷺ: "Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh saling membahayakan".
وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ لَعْنُ البَهِيمَةِ وَضَرْبُهَا فِي وَجْهِهَا وَوَسْمُهَا فِيهِ، فَإِنْ عَجَزَ مَالِكُ البَهِيمَةِ عَنِ الإِنْفَاقِ عَلَيْهَا؛ أُجْبِرَ عَلَى بَيْعِهَا أَوْ تَأْجِيرِهَا أَوْ ذَبْحِهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تُؤْكَلُ؛ لِأَنَّ بَقَاءَهَا فِي مِلْكِهِ مَعَ عَدَمِ الإِنْفَاقِ عَلَيْهَا ظُلْمٌ، وَالظُّلْمُ تَجِبُ إِزَالَتُهُ.
Haram baginya melaknat binatang, memukulnya di wajah, dan menandainya di wajah. Jika pemilik binatang tidak mampu memberi nafkah kepadanya; dia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya, atau menyembelihnya jika binatang itu termasuk yang dapat dimakan; karena membiarkannya tetap dalam kepemilikannya tanpa memberi nafkah kepadanya adalah kezaliman, dan kezaliman wajib dihilangkan.