Al Mulakhkhas Fiqhiy - Kitab Jual-Beli
كِتَابُ الْبُيُوعِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْبُيُوعِ
وَضَّحَ اللهُ فِي كِتَابِهِ الكَرِيمِ وَبَيَّنَ النَّبِيُّ ﷺ فِي سُنَّتِهِ المُطَهَّرَةِ أَحْكَامَ المُعَامَلَاتِ؛ لِحَاجَةِ النَّاسِ إِلَى ذَلِكَ؛ لِحَاجَتِهِمْ إِلَى الغِذَاءِ الَّذِي تَقْوَى بِهِ أَبْدَانُهُمْ، وَإِلَى المَلَابِسِ وَالمَسَاكِنِ وَالمَرَاكِبِ وَغَيْرِهَا مِنْ ضَرُورِيَّاتِ الحَيَاةِ وَمُكَمِّلَاتِهَا.
Allah telah menjelaskan dalam Kitab-Nya yang mulia dan Nabi ﷺ telah menjelaskan dalam Sunnah-Nya yang suci hukum-hukum muamalat; karena kebutuhan manusia akan hal itu; karena kebutuhan mereka akan makanan yang dengannya tubuh mereka menjadi kuat, dan akan pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan lainnya dari kebutuhan hidup dan pelengkapnya.
وَالبَيْعُ جَائِزٌ بِالكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالإِجْمَاعِ وَالقِيَاسِ:
Jual beli diperbolehkan berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas:
قَالَ تَعَالَى: ﴿وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ﴾ .
Allah Ta'ala berfirman: "Dan Allah telah menghalalkan jual beli."
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ﴾ .
Dan Allah Ta'ala berfirman: "Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu."
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " البَيِّعَانِ بِالخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا؛ بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا؛ مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا ".
Nabi ﷺ bersabda: "Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar (pilihan) selama mereka belum berpisah. Jika mereka jujur dan menjelaskan (cacat barang), maka jual beli mereka diberkahi. Namun jika mereka berbohong dan menyembunyikan (cacat), maka keberkahan jual beli mereka dihapus."
وَقَدْ أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلَى ذَلِكَ فِي الجُمْلَةِ.
Para ulama telah bersepakat (ijma') tentang hal itu secara global.
وَأَمَّا الْقِيَاسُ؛ فَمِنْ نَاحِيَةٍ؛ أَنَّ حَاجَةَ النَّاسِ دَاعِيَةٌ إِلَى وُجُودِ الْبَيْعِ؛ لِأَنَّ حَاجَةَ الْإِنْسَانِ تَتَعَلَّقُ بِمَا يَدُ صَاحِبِهِ مِنْ ثَمَنٍ أَوْ مُثْمَنٍ، وَهُوَ لَا يَبْذُلُهُ إِلَّا بِعِوَضٍ، فَاقْتَضَتْ جَوَازَ الْبَيْعِ لِلْوُصُولِ إِلَى الْغَرَضِ الْمَطْلُوبِ.
Adapun qiyas; dari satu sisi; bahwa kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli; karena kebutuhan manusia terkait dengan apa yang dimiliki oleh pemiliknya berupa harga atau barang, dan dia tidak akan memberikannya kecuali dengan imbalan, maka mengharuskan bolehnya jual beli untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
وَيَنْعَقِدُ الْبَيْعُ بِالصِّيغَةِ الْقَوْلِيَّةِ أَوِ الصِّيغَةِ الْفِعْلِيَّةِ.
Jual beli terjadi dengan shighah (ungkapan) secara lisan atau shighah (ungkapan) secara perbuatan.
وَالصِّيغَةُ الْقَوْلِيَّةُ تَتَكَوَّنُ مِنْ: الْإِيجَابِ، وَهُوَ اللَّفْظُ الصَّادِرُ مِنَ الْبَائِعِ، كَأَنْ يَقُولَ: بِعْتُ. وَالْقَبُولِ، وَهُوَ اللَّفْظُ الصَّادِرُ مِنَ الْمُشْتَرِي، كَأَنْ يَقُولَ: اشْتَرَيْتُ.
Shighah lisan terdiri dari: ijab, yaitu ucapan yang keluar dari penjual, seperti mengatakan: saya jual. Dan qabul, yaitu ucapan yang keluar dari pembeli, seperti mengatakan: saya beli.
وَالصِّيغَةُ الْفِعْلِيَّةُ هِيَ الْمُعَاطَاةُ الَّتِي تَتَكَوَّنُ مِنَ الْأَخْذِ وَالْإِعْطَاءِ، كَأَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهِ السِّلْعَةَ، فَيَدْفَعَ لَهُ ثَمَنَهَا الْمُعْتَادَ.
Shighah perbuatan adalah mu'athah yang terdiri dari mengambil dan memberi, seperti menyerahkan barang kepadanya, lalu dia menyerahkan harganya yang biasa.
وَقَدْ تَكُونُ الصِّيغَةُ مُرَكَّبَةً مِنَ الْقَوْلِيَّةِ وَالْفِعْلِيَّةِ.
Terkadang shighah itu merupakan gabungan dari lisan dan perbuatan.
قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ ﵀: "بَيْعُ الْمُعَاطَاةِ لَهُ صُوَرٌ:
Syaikh Taqiyuddin ﵀ berkata: "Jual beli mu'athah memiliki beberapa bentuk:
إِحْدَاهَا: إِنْ يَصْدُرَ مِنَ الْبَائِعِ إِيجَابٌ لَفْظِيٌّ فَقَطْ، وَمِنَ الْمُشْتَرِي أَخْذٌ؛ كَقَوْلِ: خُذْ هَذَا الثَّوْبَ بِدِينَارٍ. فَيَأْخُذُهُ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ الثَّمَنُ مُعَيَّنًا؛ مِثْلَ أَنْ يَقُولَ: خُذْ هَذَا الثَّوْبَ بِثَوْبِكَ. فَيَأْخُذُهُ.
Pertama: jika dari penjual hanya keluar ijab secara lisan, dan dari pembeli mengambil; seperti perkataan: ambillah baju ini dengan satu dinar. Lalu dia mengambilnya, demikian juga jika harganya ditentukan; seperti mengatakan: ambillah baju ini dengan bajumu. Lalu dia mengambilnya.
الثَّانِيَةُ: أَنْ يَصْدُرَ مِنَ الْمُشْتَرِي لَفْظٌ، وَمِنَ الْبَائِعِ إِعْطَاءٌ، سَوَاءٌ كَانَ الثَّمَنُ مُعَيَّنًا أَوْ مَضْمُونًا فِي الذِّمَّةِ.
Kedua: jika dari pembeli keluar ucapan, dan dari penjual memberikan, baik harganya ditentukan atau dijamin dalam tanggungan.
الثَّالِثَةُ: أَنْ لَا يَلْفِظَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا، بَلْ هُنَاكَ عُرْفٌ بِوَضْعِ الثَّمَنِ وَأَخْذِ الْمُثْمَنِ" انْتَهَى.
Ketiga: jika tidak ada ucapan dari salah satu dari keduanya, tetapi ada kebiasaan ('urf) dengan meletakkan harga dan mengambil barang." Selesai.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْبَيْعِ شُرُوطٌ، مِنْهَا مَا يُشْتَرَطُ فِي الْعَاقِدَيْنِ، وَمِنْهَا مَا يُشْتَرَطُ فِي الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ، إِذَا فُقِدَ مِنْهَا شَرْطٌ؛ لَمْ يَصِحَّ الْبَيْعُ:
Untuk keabsahan jual beli, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, di antaranya ada yang disyaratkan pada kedua pihak yang bertransaksi, dan ada yang disyaratkan pada objek transaksi. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka jual beli tidak sah:
فَيُشْتَرَطُ فِي الْعَاقِدَيْنِ:
Syarat-syarat bagi pihak yang bertransaksi:
أَوَّلًا: التَّرَاضِي مِنْهُمَا؛ فَلَا يَصِحُّ الْبَيْعُ إِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا مُكْرَهًا بِغَيْرِ حَقٍّ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ﴾، وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ"، رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ وَابْنُ مَاجَهْ وَغَيْرُهُمَا، فَإِنْ كَانَ الْإِكْرَاهُ بِحَقٍّ؛ صَحَّ الْبَيْعُ؛ كَمَا لَوْ أَكْرَهَهُ الْحَاكِمُ عَلَى بَيْعِ مَا لَهُ لِوَفَاءِ دَيْنِهِ؛ فَإِنَّ هَذَا إِكْرَاهٌ بِحَقٍّ.
Pertama: Kerelaan dari kedua belah pihak; jual beli tidak sah jika salah satu pihak dipaksa tanpa hak; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu", dan sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya jual beli itu hanya sah dengan saling ridha", diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Majah, dan lainnya. Namun, jika pemaksaan itu dengan hak, maka jual beli tetap sah; seperti jika hakim memaksanya untuk menjual hartanya untuk melunasi utangnya; karena ini adalah pemaksaan dengan hak.
ثَانِيًا: يُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنَ الْعَاقِدَيْنِ أَنْ يَكُونَ جَائِزَ التَّصَرُّفِ؛ بِأَنْ يَكُونَ حُرًّا مُكَلَّفًا رَشِيدًا؛ فَلَا يَصِحُّ الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ مِنْ صَبِيٍّ وَسَفِيهٍ وَمَجْنُونٍ وَمَمْلُوكٍ بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ.
Kedua: Disyaratkan bagi setiap pihak yang bertransaksi untuk memiliki kapasitas hukum; yaitu merdeka, mukallaf (baligh dan berakal), dan rasyid (cakap bertindak); maka tidak sah jual beli dari anak kecil, orang bodoh, orang gila, dan budak tanpa izin tuannya.
ثَالِثًا: يُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنَ الْعَاقِدَيْنِ أَنْ يَكُونَ مَالِكًا لِلْمَعْقُودِ عَلَيْهِ أَوْ قَائِمًا مَقَامَ مَالِكِهِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ لِحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ: "لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ؛ أَيْ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ فِي مِلْكِكَ مِنَ الْأَعْيَانِ.
Ketiga: Disyaratkan bagi setiap pihak yang bertransaksi untuk menjadi pemilik objek transaksi atau bertindak sebagai wakil pemiliknya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Hakim bin Hizam: "Jangan menjual apa yang tidak ada padamu", diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi dan dia menshahihkannya; artinya jangan menjual apa yang bukan milikmu dari benda-benda.
قَالَ الوَزِيرُ: "اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَهُ وَلَا فِي مِلْكِهِ، ثُمَّ يَمْضِي فَيَشْتَرِيهِ لَهُ، وَأَنَّهُ بَاطِلٌ".
Menteri berkata: "Mereka sepakat bahwa tidak boleh menjual apa yang tidak dimiliki dan tidak dalam kepemilikannya, kemudian dia pergi dan membelinya untuknya, dan itu tidak sah".
وَيُشْتَرَطُ فِي المَعْقُودِ عَلَيْهِ فِي البَيْعِ:
Dan disyaratkan pada objek akad dalam jual beli:
أَوَّلًا: أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُبَاحُ الِانْتِفَاعُ بِهِ مُطْلَقًا؛ فَلَا يَصِحُّ بَيْعُ مَا يَحْرُمُ الِانْتِفَاعُ بِهِ؛ كَالْخَمْرِ، وَالْخِنْزِيرِ، وَآلَةِ اللَّهْوِ، وَالْمَيْتَةِ، لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّ اللهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْمَيْتَةِ وَالْخَمْرِ وَالْأَصْنَامِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَلِأَبِي دَاوُدَ: "حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ"، وَلَا يَصِحُّ بَيْعُ الْأَدْهَانِ النَّجِسَةِ وَلَا الْمُتَنَجِّسَةِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا؛ حَرَّمَ ثَمَنَهُ"، وَفِي الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ: أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ؛ فَإِنَّهَا تُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَتُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: "لَا، هُوَ حَرَامٌ".
Pertama: Bahwa itu adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan secara mutlak; maka tidak sah menjual apa yang diharamkan untuk dimanfaatkan; seperti khamr, babi, alat permainan, dan bangkai, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli bangkai, khamr, dan berhala", muttafaq 'alaih, dan menurut Abu Dawud: "Dia mengharamkan khamr dan harganya, mengharamkan bangkai dan harganya, dan mengharamkan babi dan harganya", dan tidak sah menjual minyak najis atau yang terkena najis; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu; Dia mengharamkan harganya", dan dalam hadits muttafaq 'alaih: Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai; karena digunakan untuk melumasi kapal, meminyaki kulit, dan digunakan orang-orang untuk penerangan? Maka beliau bersabda: "Tidak, itu haram".
ثَانِيًا: وَيُشْتَرَطُ فِي الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ فِي الْبَيْعِ مِنْ ثَمَنٍ وَمَثْمَنٍ أَنْ يَكُونَ مَقْدُورًا عَلَى تَسْلِيمِهِ؛ لِأَنَّ مَا لَا يُقْدَرُ عَلَى تَسْلِيمِهِ كَالْمَعْدُومِ، فَلَمْ يَصِحَّ بَيْعُهُ؛ فَلَا يَصِحُّ بَيْعُ عَبْدٍ آبِقٍ، وَلَا بَيْعُ جَمَلٍ شَادِرٍ، وَلَا طَيْرٍ فِي الْهَوَاءِ، وَلَا بَيْعُ مَغْصُوبٍ مِنْ غَيْرِ غَاصِبِهِ أَوْ قَادِرٍ عَلَى أَخْذِهِ مِنَ الْغَاصِبِ.
Kedua: Dan disyaratkan pada objek akad dalam jual beli dari harga dan barang yang dihargai bahwa itu adalah sesuatu yang mampu diserahkan; karena apa yang tidak mampu diserahkan seperti sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah menjualnya; maka tidak sah menjual budak yang melarikan diri, tidak sah menjual unta yang lepas, tidak sah menjual burung di udara, dan tidak sah menjual barang rampasan dari selain perampasnya atau orang yang mampu mengambilnya dari perampas.
ثَالِثًا: يُشْتَرَطُ فِي الثَّمَنِ وَالْمُثْمَنِ أَنْ يَكُونَ كُلٌّ مِنْهُمَا مَعْلُومًا عِنْدَ الْمُتَعَاقِدَيْنِ؛ لِأَنَّ الْجَهَالَةَ غَرَرٌ، وَالْغَرَرُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ؛ فَلَا يَصِحُّ شِرَاءُ مَا لَمْ يَرَهُ، أَوْ رَآهُ وَجَهِلَهُ، وَلَا بَيْعُ حَمْلٍ فِي بَطْنٍ وَلَبَنٍ فِي ضَرْعٍ مُنْفَرِدَيْنِ، وَلَا يَصِحُّ بَيْعُ الْمُلَامَسَةِ؛ كَأَنْ يَقُولَ: أَيُّ ثَوْبٍ لَمَسْتَهُ؛ فَهُوَ عَلَيْكَ بِكَذَا، وَلَا بَيْعُ الْمُنَابَذَةِ كَأَنْ يَقُولَ: أَيُّ ثَوْبٍ نَبَذْتَهُ إِلَيَّ أَيْ طَرَحْتَهُ؛ فَهُوَ بِكَذَا؛ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنِ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Ketiga: Disyaratkan pada harga dan barang yang dijual bahwa masing-masing dari keduanya diketahui oleh kedua pihak yang bertransaksi; karena ketidaktahuan adalah gharar, dan gharar dilarang; maka tidak sah membeli sesuatu yang belum dilihat, atau melihatnya tetapi tidak mengetahuinya, dan tidak sah menjual janin dalam kandungan dan susu dalam tetek secara terpisah, dan tidak sah jual beli mulamasah; seperti mengatakan: kain mana pun yang kamu sentuh; maka itu menjadi milikmu dengan harga sekian, dan tidak sah jual beli munabadzah seperti mengatakan: kain mana pun yang kamu lemparkan kepadaku yaitu kamu buang; maka itu dengan harga sekian; berdasarkan hadits Abu Hurairah ﵁: "Bahwasanya Nabi ﷺ melarang mulamasah dan munabadzah", muttafaqun 'alaih.
وَلَا يَصِحُّ بَيْعُ الْحَصَاةِ؛ كَقَوْلِهِ: ارْمِ هَذِهِ الْحَصَاةَ؛ فَعَلَى أَيِّ ثَوْبٍ وَقَعَتْ؛ فَهُوَ لَكَ بِكَذَا.
Dan tidak sah jual beli dengan kerikil; seperti perkataannya: Lemparlah kerikil ini; maka pada kain mana pun ia jatuh; maka itu menjadi milikmu dengan harga sekian.
بَابٌ فِي بَيَانِ الْبُيُوعِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا
بَابٌ فِي بَيَانِ الْبُيُوعِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا
Bab tentang penjelasan jual beli yang dilarang
اللهُ سُبْحَانَهُ أَبَاحَ لِعِبَادِهِ الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ؛ مَا لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَى ذَلِكَ تَفْوِيتٌ لِمَا هُوَ أَنْفَعُ وَأَهَمُّ؛ كَأَنْ يُزَاحِمَ ذَلِكَ أَدَاءَ عِبَادَةٍ وَاجِبَةٍ، أَوْ يَتَرَتَّبَ عَلَى ذَلِكَ إِضْرَارٌ بِالْآخَرِينَ.
Allah Yang Maha Suci telah membolehkan jual beli bagi hamba-hamba-Nya; selama tidak mengakibatkan hilangnya sesuatu yang lebih bermanfaat dan penting; seperti mengganggu pelaksanaan ibadah wajib, atau mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
فَلَا يَصِحُّ الْبَيْعُ وَلَا الشِّرَاءُ مِمَّنْ تَلْزَمُهُ صَلَاةُ الْجُمُعَةِ بَعْدَ نِدَائِهَا الثَّانِي؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾،
Maka tidak sah jual beli bagi orang yang wajib melaksanakan shalat Jumat setelah adzan kedua; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
فَقَدْ نَهَى اللهُ سُبْحَانَهُ تَعَالَى: عَنِ الْبَيْعِ وَقْتَ النِّدَاءِ لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ؛ لِئَلَّا يُتَّخَذَ ذَرِيعَةً إِلَى التَّشَاغُلِ بِالتِّجَارَةِ عَنْ حُضُورِهَا، وَخَصَّ الْبَيْعَ مِنْ أَهَمِّ مَا يَشْتَغِلُ بِهِ الْمَرْءُ مِنْ أَسْبَابِ الْمَعَاشِ، وَالنَّهْيُ يَقْتَضِي التَّحْرِيمَ وَعَدَمَ صِحَّةِ الْبَيْعِ،
Maka Allah Yang Maha Suci telah melarang jual beli pada waktu adzan untuk shalat Jumat; agar tidak dijadikan alasan untuk menyibukkan diri dengan perdagangan daripada menghadirinya, dan Allah mengkhususkan jual beli dari hal-hal terpenting yang menyibukkan seseorang dari sebab-sebab penghidupan, dan larangan ini menunjukkan keharaman dan tidak sahnya jual beli,
ثُمَّ قَالَ تَعَالَى: ﴿ذَلِكُمْ﴾؛ يَعْنِي: الَّذِي ذَكَرْتُ لَكُمْ مِنْ تَرْكِ الْبَيْعِ وَحُضُورِ الْجُمُعَةِ، ﴿خَيْرٌ لَكُمْ﴾ مِنَ الِاشْتِغَالِ بِالْبَيْعِ، ﴿إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ مَصَالِحَ أَنْفُسِكُمْ،
Kemudian Allah Ta'ala berfirman: "Yang demikian itu"; maksudnya: apa yang telah Aku sebutkan kepada kalian tentang meninggalkan jual beli dan menghadiri shalat Jumat, "lebih baik bagi kalian" daripada sibuk dengan jual beli, "jika kalian mengetahui" kemaslahatan diri kalian sendiri,
كَذَلِكَ التَّشَاغُلُ بِغَيْرِ الْبَيْعِ عَنِ الصَّلَاةِ مُحَرَّمٌ.
Demikian pula menyibukkan diri dengan selain jual beli dari shalat adalah haram.
وَكَذَلِكَ بَقِيَّةُ الصَّلَوَاتِ الْمَفْرُوضَةِ لَا يَجُوزُ التَّشَاغُلُ عَنْهَا بِالْبَيْعِ
Demikian pula shalat-shalat wajib lainnya, tidak boleh menyibukkan diri darinya dengan jual beli
وَالشِّرَاءُ وَغَيْرُهُمَا بَعْدَ يُنَادَى لِحُضُورِهَا فِي الْمَسَاجِدِ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأَبْصَارُ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾ .
Dan pembelian dan lainnya setelah dipanggil untuk menghadirinya di masjid-masjid; Allah Ta'ala berfirman: "Di rumah-rumah yang Allah izinkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, bertasbih kepada-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas."
وَكَذَلِكَ لا يَصِحُّ بَيْعُ الشَّيْءِ عَلَى مَنْ يَسْتَعِينُ بِهِ عَلَى مَعْصِيَةٍ لِلَّهِ وَيَسْتَخْدِمُهُ فِيمَا حَرَّمَ اللَّهُ؛ فَلا يَصِحُّ بَيْعُ الْعَصِيرِ عَلَى مَنْ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ﴾، وَذَلِكَ إِعَانَةٌ عَلَى الْعُدْوَانِ.
Dan demikian pula tidak sah menjual sesuatu kepada orang yang menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah dan menggunakannya dalam apa yang diharamkan Allah; maka tidak sah menjual perasan anggur kepada orang yang menjadikannya khamr; karena firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran", dan itu adalah pertolongan dalam pelanggaran.
وَكَذَا لا يَجُوزُ وَلا يَصِحُّ بَيْعُ سِلاحٍ فِي وَقْتِ الْفِتْنَةِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ؛ لِئَلا يُقْتَلَ بِهِ مُسْلِمًا، وَكَذَا جَمِيعُ آلاتِ الْقِتَالِ لا يَجُوزُ بَيْعُهَا فِي مِثْلِ هَذِهِ الْحَالَةِ؛ لِأَنَّهُ ﷺ نَهَى عَنْ ذَلِكَ، وَلِقَوْلِهِ: ﴿وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ﴾ .
Dan demikian pula tidak boleh dan tidak sah menjual senjata pada saat fitnah di antara kaum muslimin; agar tidak digunakan untuk membunuh seorang muslim, dan demikian pula semua alat perang tidak boleh dijual dalam keadaan seperti ini; karena Nabi ﷺ melarang hal itu, dan karena firman-Nya: "Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: "قَدْ تَظَاهَرَتْ أَدِلَّةُ الشَّرْعِ عَلَى أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْعُقُودِ مُعْتَبَرَةٌ، وَأَنَّهَا تُؤَثِّرُ فِي صِحَّةِ الْعَقْدِ وَفَسَادِهِ، وَفِي حِلِّهِ وَحُرْمَتِهِ؛ فَالسِّلاحُ يَبِيعُهُ الرَّجُلُ لِمَنْ يَعْرِفُ أَنَّهُ يَقْتُلُ بِهِ مُسْلِمًا حَرَامٌ بَاطِلٌ؛ لِمَا فِيهِ مِنَ الْإِعَانَةِ عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ، وَإِذَا بَاعَهُ لِمَنْ يَعْرِفُ أَنَّهُ يُجَاهِدُ بِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؛ فَهُوَ طَاعَةٌ وَقُرْبَةٌ، وَكَذَا لا يَجُوزُ بَيْعُ سِلاحٍ لِمَنْ يُحَارِبُونَ الْمُسْلِمِينَ أَوْ يَقْطَعُونَ بِهِ الطَّرِيقَ؛ لِأَنَّهُ إِعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَةٍ".
Ibnu Al-Qayyim berkata: "Dalil-dalil syariat telah menunjukkan bahwa tujuan dalam akad-akad itu dipertimbangkan, dan bahwa ia mempengaruhi keabsahan akad dan kerusakannya, serta kehalalannya dan keharamannya; maka senjata yang dijual oleh seseorang kepada orang yang diketahuinya akan membunuh seorang muslim dengannya adalah haram dan batil; karena di dalamnya terdapat pertolongan dalam dosa dan permusuhan, dan jika ia menjualnya kepada orang yang diketahuinya akan berjihad di jalan Allah dengannya; maka itu adalah ketaatan dan pendekatan diri, dan demikian pula tidak boleh menjual senjata kepada orang-orang yang memerangi kaum muslimin atau memotong jalan dengannya; karena itu adalah pertolongan dalam kemaksiatan".
وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ عَبْدٍ مُسْلِمٍ لِكَافِرٍ إِذَا لَمَ عَلَيْهِ؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الصَّغَارِ وَإِذْلَالِ الْمُسْلِمِ لِلْكَافِرِ، وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا﴾، وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ".
Dan tidak diperbolehkan menjual seorang budak Muslim kepada orang kafir jika ia tidak berhutang kepadanya; karena hal itu mengandung penghinaan dan merendahkan Muslim terhadap orang kafir, dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman," dan Nabi ﷺ bersabda: "Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya."
وَيَحْرُمُ بَيْعُهُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ؛ كَأَنْ يَقُولَ لِمَنِ اشْتَرَى سِلْعَةً بِعَشَرَةٍ: أَنَا أُعْطِيكَ مِثْلَهَا بِتِسْعَةٍ، أَوْ أُعْطِيكَ خَيْرًا مِنْهَا بِثَمَنِهَا، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "وَلَا بَيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَقَالَ ﷺ: "لَا بَيْعَ الرَّجُلِ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dan haram menjual di atas penjualan saudaranya sesama Muslim; seperti mengatakan kepada orang yang membeli barang seharga sepuluh: Aku akan memberimu yang serupa dengan harga sembilan, atau aku akan memberimu yang lebih baik dengan harganya, Nabi ﷺ bersabda: "Dan janganlah sebagian kalian menjual di atas penjualan sebagian yang lain," muttafaq 'alaih, dan beliau ﷺ bersabda: "Tidak boleh seseorang menjual di atas penjualan saudaranya," muttafaq 'alaih.
وَكَذَا يَحْرُمُ شِرَاؤُهُ عَلَى شِرَائِهِ؛ كَأَنْ يَقُولَ لِمَنْ بَاعَ سِلْعَتَهُ بِتِسْعَةٍ: أَشْتَرِيهَا مِنْكَ بِعَشَرَةٍ.
Demikian pula haram membelinya di atas pembeliannya; seperti mengatakan kepada orang yang menjual barangnya seharga sembilan: Aku akan membelinya darimu seharga sepuluh.
وَكَمْ يَحْصُلُ الْيَوْمَ فِي أَسْوَاقِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَمْثَالِ هَذِهِ الْمُعَامَلَاتِ الْمُحَرَّمَةِ؛ فَيَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ اجْتِنَابُ ذَلِكَ، وَالنَّهْيُ عَنْهُ، وَإِنْكَارُهُ عَلَى مَنْ فَعَلَهُ.
Dan betapa banyak terjadi hari ini di pasar-pasar kaum Muslimin transaksi-transaksi terlarang semacam ini; maka wajib bagi seorang Muslim untuk menjauhi hal itu, melarangnya, dan mengingkarinya terhadap orang yang melakukannya.
وَمِنَ الْبُيُوعِ الْمُحَرَّمَةِ: بَيْعُ الْحَاضِرِ لِلْبَادِي، وَالْحَاضِرُ: هُوَ
Dan di antara jual beli yang diharamkan: jual beli orang kota untuk orang desa, dan orang kota adalah
الْمُقِيمُ فِي الْمُدُنِ وَالْقُرَى، وَالْبَادِي: الْقَادِمُ مِنَ الْبَادِيَةِ أَوْ غَيْرِهَا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ".
Penduduk kota dan desa, dan al-Badi: yang datang dari gurun atau tempat lain; karena sabda Nabi ﷺ: "Janganlah orang kota menjual untuk orang desa".
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ﵁: "لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا [أَيْ: دَلَّالًا] يَتَوَسَّطُ بَيْنَ الْبَائِعِ وَالْمُشْتَرِي".
Ibnu Abbas ﵁ berkata: "Janganlah ia menjadi perantara [yaitu: makelar] yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli".
وَقَالَ ﷺ: "دَعُوا النَّاسَ يَرْزُقُ اللهُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ".
Dan beliau ﷺ bersabda: "Biarkan manusia, Allah memberi rezeki sebagian mereka dari sebagian yang lain".
وَكَمَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْحَاضِرِ أَنْ يَتَوَلَّى بَيْعَ سِلْعَةِ الْبَادِي، كَذَلِكَ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ لَهُ.
Dan sebagaimana tidak boleh bagi penduduk kota untuk mengurus penjualan barang orang desa, demikian pula tidak sepatutnya ia membeli untuknya.
وَالْمَمْنُوعُ هُوَ أَنْ يَذْهَبَ الْحَاضِرُ إِلَى الْبَادِي وَيَقُولَ لَهُ: أَنَا أَبِيعُ لَكَ أَوْ أَشْتَرِي لَكَ.
Dan yang dilarang adalah penduduk kota pergi kepada orang desa dan berkata kepadanya: Aku akan menjual untukmu atau aku akan membeli untukmu.
أَمَّا إِذَا جَاءَ الْبَادِي لِلْحَاضِرِ، وَطَلَبَ مِنْهُ أَنْ يَبِيعَ لَهُ أَوْ يَشْتَرِيَ لَهُ؛ فَلَا مَانِعَ مِنْ ذَلِكَ.
Adapun jika orang desa datang kepada penduduk kota, dan meminta darinya untuk menjual atau membeli untuknya; maka tidak ada larangan untuk itu.
وَمِنَ الْبُيُوعِ الْمُحَرَّمَةِ: بَيْعُ الْعِينَةِ، وَهُوَ أَنْ يَبِيعَ سِلْعَةً عَلَى شَخْصٍ بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ، ثُمَّ يَشْتَرِيَهَا مِنْهُ بِخَمْسَةَ عَشَرَ أَلْفًا حَالَّةً يُسَلِّمُهَا لَهُ، وَتَبْقَى الْعِشْرُونَ الْأَلْفُ فِي ذِمَّتِهِ إِلَى حُلُولِ الْأَجَلِ؛ فَيَحْرُمُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ حِيلَةٌ يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى الرِّبَا، فَكَأَنَّهُ بَاعَ دَرَاهِمَ مُؤَجَّلَةً بِدَرَاهِمَ حَالَّةٍ مَعَ التَّفَاضُلِ، وَجَعَلَ السِّلْعَةَ حِيلَةً فَقَطْ.
Dan di antara jual beli yang diharamkan: jual beli 'inah, yaitu seseorang menjual barang kepada seseorang dengan harga yang ditangguhkan, kemudian ia membelinya kembali darinya dengan lima belas ribu tunai yang ia serahkan kepadanya, dan dua puluh ribu tetap menjadi tanggungannya hingga jatuh tempo; maka yang demikian itu haram; karena itu adalah tipu daya yang dengannya sampai kepada riba, seakan-akan ia menjual dirham yang ditangguhkan dengan dirham tunai disertai kelebihan, dan ia menjadikan barang hanya sebagai tipu daya saja.
قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ؛ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ مِنْكُمْ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ".
Nabi ﷺ bersabda: "Jika kalian berjual beli dengan cara 'inah, mengikuti ekor sapi, dan meninggalkan jihad; maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian".
وَقَالَ ﷺ: "يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَسْتَحِلُّونَ الرِّبَا بِالْبَيْعِ".
Dan beliau ﷺ bersabda: "Akan datang suatu masa di mana orang-orang menghalalkan riba melalui jual beli".
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الشُّرُوطِ فِي الْبَيْعِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الشُّرُوطِ فِي الْبَيْعِ
Bab tentang hukum-hukum syarat dalam jual beli
الشُّرُوطُ فِي الْبَيْعِ كَثِيرَةُ الْوُقُوعِ، وَقَدْ يَحْتَاجُ الْمُتَبَايِعَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا إِلَى شَرْطٍ أَوْ أَكْثَرَ؛ فَاقْتَضَي ذَلِكَ فِي الشُّرُوطِ، وَبَيَانُ مَا يَصِحُّ وَيَلْزَمُ مِنْهَا وَمَا لَا يَصِحُّ.
Syarat-syarat dalam jual beli sering terjadi, dan kedua pihak yang bertransaksi atau salah satunya mungkin membutuhkan satu atau lebih syarat; maka hal itu mengharuskan adanya syarat-syarat, dan penjelasan tentang apa yang sah dan mengikat darinya dan apa yang tidak sah.
وَالْفُقَهَاءُ ﵏ يُعَرِّفُونَ الشَّرْطَ فِي الْبَيْعِ بِأَنَّهُ إِلْزَامُ أَحَدِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ الْآخَرَ بِسَبَبِ الْعَقْدِ مَا لَهُ فِيهِ مَنْفَعَةٌ، وَلَا يُعْتَبَرُ الشَّرْطُ فِي الْبَيْعِ عِنْدَهُمْ سَارِيَ الْمَفْعُولِ إِلَّا إِذَا اشْتُرِطَ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ؛ فَلَا يَصِحُّ الِاشْتِرَاطُ قَبْلَ الْعَقْدِ وَلَا بَعْدَهُ.
Para fuqaha ﵏ mendefinisikan syarat dalam jual beli sebagai kewajiban salah satu pihak yang berakad kepada pihak lain karena akad yang memiliki manfaat baginya, dan syarat dalam jual beli tidak dianggap berlaku kecuali jika disyaratkan dalam inti akad; maka tidak sah mensyaratkan sebelum akad atau setelahnya.
وَالشُّرُوطُ فِي الْبَيْعِ تَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ: صَحِيحَةٌ وَفَاسِدَةٌ:
Syarat-syarat dalam jual beli terbagi menjadi dua bagian: yang sah dan yang rusak:
أَوَّلًا: الشُّرُوطُ الصَّحِيحَةُ: وَهِيَ الشُّرُوطُ الَّتِي لَا تُخَالِفُ مُتَقْتَضَى الْعَقْدِ، وَهَذَا الْقِسْمُ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِمُقْتَضَاهُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ"، وَلِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الشُّرُوطِ الصِّحَّةُ؛ إِلَّا مَا أَبْطَلَهُ الشَّارِعُ وَنَهَى عَنْهُ.
Pertama: Syarat-syarat yang sah: yaitu syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan konsekuensi akad, dan bagian ini wajib diamalkan sesuai konsekuensinya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka", dan karena hukum asal pada syarat-syarat adalah sah; kecuali apa yang dibatalkan oleh Syari' dan dilarang oleh-Nya.
وَالْقِسْمُ الصَّحِيحُ مِنَ الشُّرُوطِ نَوْعَانِ:
Dan bagian yang benar dari syarat-syarat ada dua jenis:
النَّوْعُ الْأَوَّلُ: شَرْطٌ لِمَصْلَحَةِ الْعَقْدِ؛ بِحَيْثُ يَتَقَوَّى بِهِ الْعَقْدُ، وَتَعُودُ مَصْلَحَتُهُ عَلَى الْمُشْتَرِطِ؛ كَاشْتِرَاطِ التَّوْثِيقِ بِالرَّهْنِ، أَوِ اشْتِرَاطِ الضَّامِنِ، وَهَذَا يُطْمَئِنُ الْبَائِعَ، وَاشْتِرَاطِ تَأْجِيلِ الثَّمَنِ أَوْ تَأْجِيلِ بَعْضِهِ إِلَى مُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ، وَهَذَا يَسْتَفِيدُ مِنْهُ الْمُشْتَرِي، فَإِذَا وَفِيَ بِهَذَا الشَّرْطِ؛ لَزِمَ الْبَيْعُ، وَكَذَلِكَ لَوِ اشْتَرَطَ الْمُشْتَرِي صِفَةً فِي الْبَيْعِ، مِثْلَ كَوْنِهِ مِنَ النَّوْعِ الْجَيِّدِ أَوْ مِنَ الصِّنَاعَةِ الْفُلَانِيَّةِ أَوِ الْإِنْتَاجِ الْفُلَانِيِّ؛ لِأَنَّ الرَّغَبَاتِ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ ذَلِكَ، فَإِنْ أَتَى الْمَبِيعُ عَلَى الْوَصْفِ الْمُشْتَرَطِ، لَزِمَ الْبَيْعُ، وَإِنِ اخْتَلَفَ عَنْهُ؛ فَلِلْمُشْتَرِي الْفَسْخُ أَوِ الْإِمْسَاكُ مَعَ تَعْوِيضِهِ عَنْ فَقْدِ الشَّرْطِ؛ بِحَيْثُ يُقَوَّمُ الْمَبِيعُ مَعَ تَقْدِيرِ وُجُودِ الصِّفَةِ الْمُشْتَرَطَةِ، ثُمَّ يُقَوَّمُ مَعَ فَقْدِهَا، وَيُدْفَعُ لَهُ الْفَرْقُ بَيْنَ الْقِيمَيْنِ إِذَا طَلَبَ.
Jenis pertama: syarat untuk kemaslahatan akad; di mana akad menjadi kuat dengannya, dan maslahatnya kembali kepada yang mensyaratkan; seperti mensyaratkan jaminan dengan gadai, atau mensyaratkan penjamin, dan ini menenangkan penjual, dan mensyaratkan penangguhan harga atau penangguhan sebagiannya hingga waktu yang diketahui, dan ini bermanfaat bagi pembeli, maka jika memenuhi syarat ini; jual beli menjadi lazim, dan demikian pula jika pembeli mensyaratkan sifat pada barang yang dijual, seperti ia dari jenis yang baik atau dari produksi si fulan atau produksi si fulan; karena keinginan berbeda-beda dengan perbedaan itu, maka jika barang yang dijual sesuai dengan sifat yang disyaratkan, jual beli menjadi lazim, dan jika berbeda darinya; maka pembeli berhak membatalkan atau menahan dengan memberi ganti rugi atas hilangnya syarat; di mana barang yang dijual dinilai dengan perkiraan adanya sifat yang disyaratkan, kemudian dinilai dengan ketiadaannya, dan diberikan kepadanya selisih antara dua nilai jika ia meminta.
النَّوْعُ الثَّانِي مِنَ الشُّرُوطِ الصَّحِيحَةِ فِي الْبَيْعِ: أَنْ يَشْتَرِطَ أَحَدُ الْمُتَعَاقِدَيْنِ عَلَى الْآخَرِ بَذْلَ مَنْفَعَةٍ مُبَاحَةٍ فِي الْمَبِيعِ؛ كَأَنْ يَشْتَرِطَ الْبَائِعُ سُكْنَى الدَّارِ الْمَبِيعَةِ مُدَّةً مُعَيَّنَةً، أَوْ أَنْ يَحْمِلَ عَلَى الدَّابَّةِ أَوِ السَّيَّارَةِ الْمَبِيعَةِ إِلَى مَوْضِعٍ مُعَيَّنٍ؛ لِمَا رَوَى جَابِرٌ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَاعَ جَمَلًا وَاشْتَرَطَ ظَهْرَهُ إِلَى الْمَدِينَةِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ؛ فَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ بَيْعِ الدَّابَّةِ مَعَ اسْتِثْنَاءِ رُكُوبِهَا إِلَى مَوْضِعٍ مُعَيَّنٍ، وَيُقَاسُ عَلَيْهَا غَيْرُهَا، وَكَذَا لَوِ اشْتَرَطَ الْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ بَذْلَ عَمَلٍ فِي الْمَبِيعِ؛ كَأَنْ
Jenis kedua dari syarat-syarat yang sah dalam jual beli: bahwa salah satu dari dua pihak yang berakad mensyaratkan kepada yang lain pemberian manfaat yang diperbolehkan pada barang yang dijual; seperti penjual mensyaratkan menempati rumah yang dijual dalam waktu tertentu, atau membawa hewan atau mobil yang dijual ke tempat tertentu; karena Jabir meriwayatkan: "Bahwa Nabi ﷺ menjual seekor unta dan mensyaratkan punggungnya hingga Madinah", muttafaq 'alaih; maka hadits ini menunjukkan bolehnya menjual hewan dengan mengecualikan tunggangannya hingga tempat tertentu, dan yang lainnya dianalogikan kepadanya, dan demikian pula jika pembeli mensyaratkan kepada penjual pemberian pekerjaan pada barang yang dijual; seperti
يَشْتَرِي مِنْهُ حَطَبًا، وَيَشْتَرِطُ عَلَيْهِ حَمْلَهُ إِلَى مَوْضِعٍ مَعْلُومٍ، أَوْ يَشْتَرِي مِنْهُ ثَوْبًا، وَيَشْتَرِطُ عَلَيْهِ خِيَاطَتَهُ.
Dia membeli kayu bakar darinya, dan mensyaratkan agar dia membawanya ke tempat yang diketahui, atau dia membeli pakaian darinya, dan mensyaratkan agar dia menjahitnya.
ثَانِيًا: الشُّرُوطُ الْفَاسِدَةُ: وَهَذَا الْقِسْمُ أَنْوَاعٌ:
Kedua: Syarat-syarat yang rusak: Bagian ini terdiri dari beberapa jenis:
النَّوْعُ الْأَوَّلُ: شَرْطٌ فَاسِدٌ يُبْطِلُ الْعَقْدَ مِنْ أَصْلِهِ، وَمِثَالُهُ: أَنْ يَشْتَرِطَ أَحَدُهُمَا عَلَى الْآخَرِ عَقْدًا آخَرَ، كَأَنْ يَقُولَ: بِعْتُكَ هَذِهِ السِّلْعَةَ بِشَرْطِ أَنْ تُؤَجِّرَنِي دَارَكَ، أَوْ يَقُولَ: بِعْتُكَ هَذِهِ السِّلْعَةَ بِشَرْطِ أَنْ تُشَارِكَنِي مَعَكَ فِي عَمَلِكَ الْفُلَانِيِّ أَوْ فِي بَيْتِكَ، أَوْ يَقُولَ: بِعْتُكَ هَذِهِ السِّلْعَةَ بِكَذَا بِشَرْطِ أَنْ تُقْرِضَنِي مَبْلَغَ كَذَا مِنَ الدَّرَاهِمِ؛ فَهَذَا الشَّرْطُ فَاسِدٌ، وَهُوَ يُبْطِلُ الْعَقْدَ مِنْ أَسَاسِهِ؛ لِنَهْيِ النَّبِيِّ ﷺ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ، وَقَدْ فَسَّرَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ﵀ الْحَدِيثَ بِمَا ذَكَرْنَا.
Jenis pertama: Syarat yang rusak yang membatalkan akad dari asalnya, contohnya: jika salah satu dari mereka mensyaratkan akad lain kepada yang lain, seperti mengatakan: Aku menjual barang ini kepadamu dengan syarat kamu menyewakan rumahmu kepadaku, atau mengatakan: Aku menjual barang ini kepadamu dengan syarat kamu menyertakanku bersamamu dalam pekerjaanmu yang ini atau di rumahmu, atau mengatakan: Aku menjual barang ini kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu meminjamkan kepadaku sejumlah dirham; maka syarat ini rusak, dan ia membatalkan akad dari dasarnya; karena larangan Nabi ﷺ dari dua jual beli dalam satu jual beli, dan Imam Ahmad ﵀ telah menafsirkan hadits dengan apa yang kami sebutkan.
النَّوْعُ الثَّانِي مِنَ الشُّرُوطِ الْفَاسِدَةِ فِي الْبَيْعِ: مَا يَفْسُدُ فِي نَفْسِهِ، وَلَا يُبْطِلُ الْبَيْعَ؛ مِثْلَ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَى الْبَائِعِ أَنَّهُ إِنْ خَسِرَ فِي السِّلْعَةِ؛ رَدَّهَا عَلَيْهِ، أَوْ شَرَطَ الْبَائِعُ عَلَى الْمُشْتَرِي أَنْ لَا يَبِيعَ السِّلْعَةَ، وَنَحْوَ ذَلِكَ؛ فَهَذَا شَرْطٌ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّهُ يُخَالِفُ مُقْتَضَى الْعَقْدِ؛ لِأَنَّ مُقْتَضَى الْبَيْعِ أَنْ يَتَصَرَّفَ الْمُشْتَرِي فِي السِّلْعَةِ تَصَرُّفًا مُطْلَقًا، وَلِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ؛ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِئَةَ شَرْطٍ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ،
Jenis kedua dari syarat-syarat yang rusak dalam jual beli: apa yang rusak pada dirinya sendiri, dan tidak membatalkan jual beli; seperti mensyaratkan kepada penjual bahwa jika dia rugi dalam barang tersebut; dia mengembalikannya kepadanya, atau penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk tidak menjual barang tersebut, dan semisalnya; maka ini adalah syarat yang rusak; karena bertentangan dengan konsekuensi akad; karena konsekuensi jual beli adalah pembeli bertransaksi dengan barang secara mutlak, dan karena sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada dalam Kitabullah; maka syarat itu batil, meskipun seratus syarat", muttafaq 'alaih,
وَالْمُرَادُ بِكِتَابِ اللهِ هُنَا حُكْمُهُ؛ لِيَشْمَلَ ذَلِكَ سُنَّةَ رَسُولِ اللهِ ﷺ.
Yang dimaksud dengan Kitabullah di sini adalah hukum-Nya; agar mencakup Sunnah Rasulullah ﷺ.
وَالْبَيْعُ لَا يَبْطُلُ مَعَ بُطْلَانِ هَذَا الشَّرْطِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ فِي قِصَّةِ بَرِيرَةَ حِينَمَا اشْتَرَطَ بَائِعُهَا وَلَاءَهَا لَهُ إِنْ أُعْتِقَتْ؛ أَبْطَلَ الشَّرْطَ، وَلَمْ يُبْطِلِ الْعَقْدَ، وَقَالَ ﷺ: "إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ".
Jual beli tidak batal dengan batalnya syarat ini; karena Nabi ﷺ dalam kisah Barirah ketika penjualnya mensyaratkan wala'-nya untuknya jika dia dibebaskan; membatalkan syarat tersebut, dan tidak membatalkan akad, dan beliau ﷺ bersabda: "Sesungguhnya wala' itu bagi orang yang membebaskan".
إِنَّهُ يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ الَّذِي يَشْتَغِلُ بِالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ أَنْ يَتَعَلَّمَ أَحْكَامَ الْبَيْعِ وَمَا يَصِحُّ فِيهِ مِنَ الشُّرُوطِ وَمَا لَا يَصِحُّ؛ حَتَّى يَكُونَ عَلَى بَصِيرَةٍ فِي مُعَامَلَتِهِ، وَلِتَنْقَطِعَ الْخُصُومَاتُ وَالْمُنَازَعَاتُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ؛ فَإِنَّ غَالِبَهَا يَنْشَأُ مِنْ جَهْلِ الْمُتَبَايِعِينَ أَوْ أَحَدِهِمَا بِأَحْكَامِ الْبَيْعِ، وَاشْتِرَاطِهِمْ شُرُوطًا فَاسِدَةً.
Seorang Muslim yang bekerja dalam jual beli hendaknya mempelajari hukum-hukum jual beli dan syarat-syarat yang sah di dalamnya dan yang tidak sah; agar dia memiliki pemahaman dalam muamalahnya, dan agar perselisihan dan persengketaan di antara kaum Muslimin terputus; karena kebanyakannya timbul dari ketidaktahuan kedua pihak yang bertransaksi atau salah satunya terhadap hukum-hukum jual beli, dan persyaratan mereka terhadap syarat-syarat yang rusak.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْخِيَارِ فِي الْبَيْعِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْخِيَارِ فِي الْبَيْعِ
Bab tentang hukum-hukum khiyar dalam jual beli
دِينُ الْإِسْلَامِ دِينٌ سَمْحٌ شَامِلٌ، يُرَاعِي الْمَصَالِحَ وَالظُّرُوفَ، وَيَرْفَعُ الْحَرَجَ وَالْمَشَقَّةَ عَنِ الْأُمَّةِ، وَمِنْ ذَلِكَ مَا شَرَعَةُ فِي الْبَيْعِ مِنْ إِعْطَاءِ الْخِيَارِ لِلْعَاقِدِ؛ لِيَتَرَوَّى فِي أَمْرِهِ وَيَنْظُرَ فِي مَصْلَحَتِهِ مِنْ وَرَاءِ تِلْكَ الصَّفْقَةِ؛ فَيُقْدِمَ عَلَى مَا يُؤْمَلُ مِنْ وَرَائِهِ الْخَيْرَ، وَيَحْجُمَ وَيَتَرَاجَعَ عَمَّا لَا يَرَاهُ فِي مَصْلَحَتِهِ.
Agama Islam adalah agama yang toleran dan komprehensif, yang memperhatikan kemaslahatan dan keadaan, serta menghilangkan kesulitan dan kesusahan dari umat. Di antara hal tersebut adalah apa yang disyariatkan dalam jual beli, yaitu memberikan hak khiyar kepada pihak yang berakad, agar ia dapat mempertimbangkan urusannya dan melihat kemaslahatannya di balik transaksi tersebut. Dengan demikian, ia dapat melanjutkan apa yang diharapkan membawa kebaikan baginya, dan menahan diri serta mundur dari apa yang tidak dilihatnya membawa kemaslahatan.
فَالْخِيَارُ فِي الْبَيْعِ مَعْنَاهُ: طَلَبُ خَيْرِ الْأَمْرَيْنِ الْإِمْضَاءُ أَوِ الْفَسْخُ.
Khiyar dalam jual beli artinya: memilih yang terbaik di antara dua hal, melanjutkan atau membatalkan.
وَهُوَ ثَمَانِيَةُ أَقْسَامٍ:
Khiyar terbagi menjadi delapan jenis:
أَوَّلًا: خِيَارُ الْمَجْلِسِ، أَيِ: الْمَكَانُ الَّذِي جَرَى فِيهِ التَّبَايُعُ؛ فَلِكُلِّ مِنَ الْمُتَبَايِعَيْنِ الْخِيَارُ مَا دَامَا فِي الْمَجْلِسِ، وَدَلِيلُهُ قَوْلُهُ ﷺ: "إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ؛ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا".
Pertama: Khiyar majelis, yaitu tempat terjadinya transaksi jual beli. Masing-masing dari dua pihak yang bertransaksi memiliki hak khiyar selama mereka masih berada di majelis. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ: "Jika dua orang saling berjual beli, maka masing-masing dari mereka memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah dan masih bersama."
قَالَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "فِي إِثْبَاتِ الشَّارِعِ خِيَارَ الْمَجْلِسِ فِي الْبَيْعِ حِكْمَةٌ وَمَصْلَحَةٌ لِلْمُتَعَاقِدَيْنِ، وَلِيَحْصُلَ تَمَامُ الرِّضَى الَّذِي شَرَطَهُ تَعَالَى بِقَوْلِهِ: ﴿عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ﴾؛ فَإِنَّ الْعَقْدَ يَقَعُ بَغْتَةً مِنْ غَيْرِ تَرَوٍّ وَلَا نَظَرٍ فِي الْقِيمَةِ؛ فَاقْتَضَتْ مَحَاسِنُ هَذِهِ الشَّرِيعَةِ الْكَامِلَةِ أَنْ يَجْعَلَ لِلْعَقْدِ حِرْمًا يَتَرَوَّى فِيهِ الْمُتَبَايِعَانِ، وَيُعِيدَانِ النَّظَرَ، وَيَسْتَدْرِكُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا؛
Ibnu Qayyim ﵀ berkata: "Dalam penetapan syariat tentang khiyar majelis dalam jual beli terdapat hikmah dan maslahat bagi kedua pihak yang bertransaksi, dan agar terwujud keridhaan yang sempurna yang Allah syaratkan dalam firman-Nya: ﴿dengan suka sama suka di antara kamu﴾; karena akad terjadi secara tiba-tiba tanpa pertimbangan dan melihat nilai; maka keindahan syariat yang sempurna ini mengharuskan agar akad memiliki batasan waktu di mana kedua pihak yang bertransaksi dapat mempertimbangkan, meninjau kembali, dan masing-masing dapat memperbaiki;
فَلِكُلِّ مِنَ الْمُتَبَايِعَيْنِ الْخِيَارُ هَذَا الْحَدِيثُ الشَّرِيفُ؛ مَا لَمْ بِأَبْدَانِهِمَا مِنْ مَكَانِ التَّبَايُعِ، فَإِنْ أَسْقَطَا الْخِيَارَ؛ بِأَنْ تَبَايَعَا عَلَى أَنْ لَا خِيَارَ لَهُمَا، أَوْ أَسْقَطَهُ أَحَدُهُمَا؛ سَقَطَ، وَلَزِمَ الْبَيْعُ فِي حَقِّهِمَا أَوْ حَقِّ مَنْ أَسْقَطَهُ مِنْهُمَا بِمُجَرَّدِ الْعَقْدِ؛ لِأَنَّ الْخِيَارَ حَقٌّ لِلْعَاقِدِ، فَيَسْقُطُ بِإِسْقَاطِهِ، وَلِقَوْلِهِ ﷺ: "مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، أَوْ يُخَيِّرَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ"، وَيَحْرُمُ عَلَى أَحَدِهِمَا أَنْ يُفَارِقَ أَخَاهُ بِقَصْدِ إِسْقَاطِ الْخِيَارِ؛ لِحَدِيثِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، فِيهِ: "وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقْبِلَهُ".
Maka bagi setiap pihak yang bertransaksi memiliki hak khiyar dalam hadits yang mulia ini; selama mereka belum berpisah badan dari tempat transaksi, jika keduanya menggugurkan khiyar; dengan bertransaksi atas dasar tidak ada khiyar bagi mereka, atau salah satunya menggugurkannya; maka gugurlah khiyar, dan jual beli menjadi lazim bagi mereka atau bagi yang menggugurkannya di antara mereka hanya dengan akad; karena khiyar adalah hak bagi pihak yang berakad, maka gugur dengan penggugurannya, dan berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Selama keduanya belum berpisah, atau salah satunya memberi pilihan kepada yang lain", dan haram bagi salah satunya untuk berpisah dari saudaranya dengan tujuan menggugurkan khiyar; berdasarkan hadits 'Amr bin Syu'aib, di dalamnya: "Dan tidak halal baginya untuk berpisah darinya karena khawatir dia akan memintanya kembali".
ثَانِيًا: خِيَارُ الشَّرْطِ: بِأَنْ يَشْتَرِطَ الْمُتَعَاقِدَانِ الْخِيَارَ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَوْ بَعْدَ الْعَقْدِ فِي مُدَّةِ خِيَارِ الْمَجْلِسِ مُدَّةً مَعْلُومَةً؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ"، وَلِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ﴾،
Kedua: Khiyar syarat: yaitu kedua pihak yang berakad mensyaratkan khiyar dalam inti akad atau setelah akad dalam jangka waktu khiyar majelis dalam jangka waktu yang diketahui; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka", dan berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala: ﴿Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu﴾,
وَيَصِحُّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُتَبَايِعَانِ الْخِيَارَ لِأَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ؛ لِأَنَّ الْحَقَّ لَهُمَا؛ فَكَيْفَمَا تَرَاضَيَا؛ جَازَ.
Dan sah bagi kedua pihak yang bertransaksi untuk mensyaratkan khiyār bagi salah satunya, bukan yang lain; karena hak itu milik mereka berdua; maka bagaimanapun mereka saling ridha, hukumnya boleh.
ثَالِثًا: خِيَارُ الْغَبْنِ، إِذَا غُبِنَ فِي الْبَيْعِ غَبْنًا يَخْرُجُ عَنِ الْعَادَةِ؛ فَيُخَيَّرُ الْمَغْبُونُ مِنْهُمَا بَيْنَ الْإِمْسَاكِ وَالرَّدِّ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا ضَرَارَ"، وَلِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبَةِ نَفْسٍ مِنْهُ"، وَالْمَغْبُونُ لَمْ تَطِبْ نَفْسُهُ بِالْغَبْنِ، فَإِنْ كَانَ الْغَبْنُ يَسِيرًا قَدْ جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ؛ فَلَا خِيَارَ.
Ketiga: Khiyār karena penipuan (ghabn), jika dia ditipu dalam jual beli dengan penipuan yang melampaui batas kebiasaan; maka pihak yang tertipu di antara mereka berdua diberi pilihan antara meneruskan atau membatalkan; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Tidak boleh membahayakan", dan sabdanya ﷺ: "Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya", dan pihak yang tertipu tidak rela dengan penipuan tersebut. Namun jika penipuannya ringan yang sudah menjadi kebiasaan, maka tidak ada khiyār.
وَخِيَارُ الْغَبْنِ فِي ثَلَاثِ صُوَرٍ:
Dan khiyār karena penipuan (ghabn) ada dalam tiga bentuk:
الصُّورَةُ الْأُولَى مِنْ صُوَرِ خِيَارِ الْغَبْنِ: تَلَقِّي الرُّكْبَانِ، وَالْمُرَادُ بِهِمُ الْقَادِمُونَ لِجَلْبِ سِلَعِهِمْ فِي الْبَلَدِ، فَإِذَا تَلَقَّاهُمْ، وَاشْتَرَى مِنْهُمْ، وَتَبَيَّنَ أَنَّهُ قَدْ غَبَنَهُمْ عَبْنًا فَاحِشًا؛ فَلَهُمُ الْخِيَارُ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: "لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ؛ فَهُوَ بِالْخِيَارِ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ؛ فَنَهَى ﷺ عَنْ تَلَقِّي الْجَلَبِ خَارِجَ السُّوقِ الَّذِي تُبَاعُ فِيهِ السِّلَعُ، وَأَمَرَ أَنَّهُ إِذَا أَتَى الْبَائِعُ السُّوقَ الَّذِي تُعْرَفُ فِيهِ قِيَمُ السِّلَعِ، وَعَرَفَ ذَلِكَ؛ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يُمْضِيَ الْبَيْعَ أَوْ يَفْسَخَ.
Bentuk pertama dari khiyār karena penipuan adalah: mencegat para pedagang yang datang, yaitu mereka yang datang membawa barang dagangan mereka ke negeri itu. Jika dia mencegat mereka, membeli dari mereka, dan ternyata dia telah menipu mereka dengan penipuan yang besar; maka mereka memiliki hak khiyār; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Janganlah kalian mencegat barang dagangan, barangsiapa mencegatnya lalu membeli darinya, maka jika pemiliknya datang ke pasar; dia berhak khiyār", diriwayatkan oleh Muslim; maka Nabi ﷺ melarang mencegat barang dagangan di luar pasar tempat barang itu dijual, dan memerintahkan bahwa jika penjual datang ke pasar tempat nilai barang diketahui, dan dia mengetahui hal itu; maka dia berhak khiyār antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "أَثْبَتَ النَّبِيُّ ﷺ لِلرُّكْبَانِ الْخِيَارَ إِذَا تَلَقَّوْا؛ لِأَنَّ فِيهِ نَوْعَ تَدْلِيسٍ وَغَشٍّ".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Nabi ﷺ menetapkan hak khiyar bagi para pedagang yang bepergian jika mereka bertemu (dengan pembeli); karena di dalamnya terdapat unsur penipuan dan kecurangan".
وَقَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: "نَهَى عَنْ ذَلِكَ؛ لِمَا فِيهِ مِنْ تَغْرِيرِ الْبَائِعِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَعْرِفُ السِّعْرَ، فَيَشْتَرِي مِنْهُ الْمُشْتَرِي بِدُونِ الْقِيمَةِ، وَلِذَلِكَ أَثْبَتَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ الْخِيَارَ إِذَا دَخَلَ السُّوقَ، وَلَا نِزَاعَ فِي ثُبُوتِ الْخِيَارِ لَهُ مَعَ الْغَبْنِ؛ فَإِنَّ الْجَالِبَ إِذَا لَمْ يَعْرِفِ السِّعْرَ؛ كَانَ جَاهِلًا بِثَمَنِ الْمِثْلِ، فَيَكُونُ الْمُشْتَرِي غَارًّا لَهُ، وَكَذَا الْبَائِعُ إِذَا بَاعَهُمْ شَيْئًا؛ فَلَهُمُ الْخِيَارُ إِذَا هَبَطُوا السُّوقَ، وَعَلِمُوا أَنَّهُمْ غُبِنُوا غَبْنًا يَخْرُجُ عَنِ الْعَادَةِ" انتهى.
Ibnu Qayyim berkata: "Beliau melarang hal itu; karena di dalamnya terdapat unsur penipuan terhadap penjual; karena ia tidak mengetahui harga, sehingga pembeli membeli darinya dengan harga di bawah nilai sebenarnya. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menetapkan hak khiyar baginya jika ia memasuki pasar. Tidak ada perselisihan tentang ketetapan khiyar baginya ketika terjadi penipuan; karena jika penjual tidak mengetahui harga, maka ia tidak tahu harga yang setara, sehingga pembeli menipunya. Demikian pula jika penjual menjual sesuatu kepada mereka; maka mereka memiliki hak khiyar jika mereka memasuki pasar dan mengetahui bahwa mereka telah ditipu dengan penipuan yang melampaui batas kebiasaan" selesai.
الصُّورَةُ الثَّانِيَةُ مِنْ صُوَرِ خِيَارِ الْغَبْنِ: الْغَبْنُ الَّذِي يَكُونُ سَبَبُهُ زِيَادَةَ النَّاجِشِ فِي ثَمَنِ السِّلْعَةِ، وَالنَّاجِشُ: هُوَ الَّذِي يَزِيدُ فِي السِّلْعَةِ وَهُوَ لَا يُرِيدُ شِرَاءَهَا، وَإِنَّمَا يُرِيدُ رَفْعَ ثَمَنِهَا عَلَى الْمُشْتَرِي، وَهَذَا عَمَلٌ مُحَرَّمٌ، قَدْ نَهَى عَنْهُ النَّبِيُّ ﷺ بِقَوْلِهِ: "وَلَا تَنَاجَشُوا"؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ تَغْرِيرِ الْمُشْتَرِي وَخَدِيعَتِهِ؛ فَهُوَ فِي مَعْنَى الْغَشِّ.
Gambaran kedua dari bentuk-bentuk khiyar karena penipuan: Penipuan yang disebabkan oleh kenaikan harga barang oleh al-najisy (penawar palsu), dan al-najisy adalah orang yang menaikkan harga barang padahal ia tidak ingin membelinya, ia hanya ingin menaikkan harganya atas pembeli. Ini adalah perbuatan yang diharamkan, Nabi ﷺ telah melarangnya dengan sabdanya: "Janganlah kalian melakukan najsy"; karena di dalamnya terdapat unsur penipuan dan kecurangan terhadap pembeli; maka itu termasuk dalam makna kecurangan.
وَمِنْ صُوَرِ النَّجْشِ الْمُحَرَّمِ أَنْ يَقُولَ صَاحِبُ السِّلْعَةِ: أُعْطِيتُ بِهَا كَذَا وَكَذَا وَهُوَ كَاذِبٌ، اشْتَرَيْتُهَا بِكَذَا وَهُوَ كَاذِبٌ.
Di antara bentuk najsy yang diharamkan adalah pemilik barang mengatakan: "Aku diberi harga sekian dan sekian untuk barang ini" padahal ia berdusta, "Aku membelinya dengan harga sekian" padahal ia berdusta.
وَمِنْ صُوَرِ النَّجْشِ الْمُحَرَّمِ أَنْ يَقُولَ صَاحِبُ السِّلْعَةِ: لَا أَبِيعُهَا إِلَّا بِكَذَا أَوْ كَذَا؛ لِأَجْلِ أَنْ يَأْخُذَهَا الْمُشْتَرِي بِقَرِيبٍ مِمَّا قَالَ، كَأَنْ يَقُولَ فِي سِلْعَةٍ ثَمَنُهَا خَمْسَةٌ: أَبِيعُهَا بِعَشَرَةٍ؛ لِيَأْخُذَهَا الْمُشْتَرِي بِقَرِيبٍ مِنَ الْعَشَرَةِ.
Di antara bentuk najsy yang diharamkan adalah pemilik barang mengatakan: "Aku tidak akan menjualnya kecuali dengan harga sekian atau sekian"; agar pembeli mengambilnya dengan harga yang mendekati apa yang ia katakan, seperti ia mengatakan pada barang yang harganya lima: "Aku menjualnya dengan harga sepuluh"; agar pembeli mengambilnya dengan harga yang mendekati sepuluh.
الصُّورَةُ الثَّالِثَةُ مِنْ صُوَرِ الغَبْنِ الَّذِي يَثْبُتُ بِهِ الخِيَارُ: غَبْنُ المُسْتَرْسِلِ.
Gambaran ketiga dari bentuk-bentuk kerugian yang dengannya ditetapkan hak pilih: kerugian orang yang bersikap lunak.
قَالَ الإِمَامُ ابْنُ القَيِّمِ: "وَفِي الحَدِيثِ: "غَبْنُ المُتَسَرْسِلِ رِبًا" وَالمُسْتَرْسِلُ: هُوَ الَّذِي يَجْهَلُ القِيمَةَ وَلَا يُحْسِنُ أَنْ يُنَاقِصَ الثَّمَنَ، بَلْ يَعْتَقِدُ عَلَى صِدْقِ البَائِعِ لِسَلَامَةِ سَرِيرَتِهِ، فَإِذَا غُبِنَ غَبْنًا فَاحِشًا؛ ثَبَتَ لَهُ الخِيَارُ".
Imam Ibnu Qayyim berkata: "Dalam hadits disebutkan: 'Kerugian orang yang bersikap lunak adalah riba'. Al-Mustarsil adalah orang yang tidak mengetahui nilai dan tidak pandai menawar harga, bahkan dia mempercayai kejujuran penjual karena baiknya niat, maka jika dia dirugikan dengan kerugian yang besar, ditetapkan baginya hak pilih".
وَالغَبْنُ مُحَرَّمٌ؛ لِمَا فِيهِ مِنَ التَّغْرِيرِ لِلْمُشْتَرِي.
Kerugian itu diharamkan karena mengandung unsur penipuan terhadap pembeli.
وَمِمَّا يَجْرِي فِي بَعْضِ أَسْوَاقِ المُسْلِمِينَ وَهُوَ مُحَرَّمٌ: أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ حِينَمَا يَجْلِبُ إِلَى السُّوقِ سِلْعَةً، يَتَّفِقُ أَهْلُ السُّوقِ عَلَى تَرْكِ مُسَاوَمَتِهَا، وَيَعْمِدُونَ وَاحِدًا مِنْهُمْ يَسُومُهَا مِنْ صَاحِبِهَا، فَإِذَا لَمْ يَجِدْ مَنْ يَزِيدُ عَلَيْهِ؛ اضْطَرَّ لِبَيْعِهَا عَلَيْهِ بِرُخْصٍ، ثُمَّ اشْتَرَكَ البَقِيَّةُ مَعَ المُشْتَرِي، وَهَذَا غَبْنٌ وَظُلْمٌ مُحَرَّمٌ، وَثَبَتَ لِصَاحِبِ السِّلْعَةِ إِذَا عَلِمَ بِذَلِكَ الخِيَارُ وَسَحْبُ سِلْعَتِهِ مِنْهُمْ؛ فَيَجِبُ عَلَى مَنْ يَفْعَلُ مِثْلَ هَذَا التَّغْرِيرِ أَنْ يَتْرُكَهُ وَيَتُوبَ مِنْهُ، وَيَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ ذَلِكَ أَنْ يُنْكِرَهُ عَلَى مَنْ يَفْعَلُهُ وَيُبَلِّغَ المَسْؤُولِينَ لِرَدْعِهِمْ عَنْ ذَلِكَ.
Di antara yang terjadi di sebagian pasar kaum muslimin dan itu diharamkan adalah: sebagian orang ketika membawa barang ke pasar, orang-orang pasar sepakat untuk tidak menawarnya, dan mereka sengaja menunjuk salah seorang dari mereka untuk menawarnya kepada pemiliknya. Jika dia tidak menemukan orang yang menambah penawarannya, maka dia terpaksa menjualnya kepadanya dengan harga murah, kemudian yang lainnya bersekutu dengan pembeli tersebut. Ini adalah kerugian dan kezaliman yang diharamkan. Pemilik barang berhak memilih dan menarik kembali barangnya dari mereka jika dia mengetahui hal itu. Maka orang yang melakukan penipuan seperti ini wajib meninggalkannya dan bertobat darinya. Orang yang mengetahui hal itu wajib mengingkarinya kepada orang yang melakukannya dan melaporkannya kepada pihak berwenang untuk mencegah mereka dari perbuatan tersebut.
رَابِعًا: خِيَارُ التَّدْلِيسِ، أَيِ: الخِيَارُ الَّذِي يَثْبُنُ بِسَبَبِ التَّدْلِيسِ، وَالتَّدْلِيسُ: هُوَ إِظْهَارُ السِّلْعَةِ المَعِيبَةِ بِمَظْهَرِ السَّلِيمَةِ، مَأْخُوذٌ مِنَ الدُّلْسَةِ، بِمَعْنَى: الظُّلْمَةِ؛ كَأَنَّ
Keempat: Khiyar tadlis, yaitu hak pilih yang ditetapkan karena adanya tadlis (penipuan). Tadlis adalah menampakkan barang yang cacat seolah-olah baik, diambil dari kata ad-dulsah yang berarti kegelapan, seakan-akan
الْبَائِعُ بِتَدْلِيسِهِ صَيَّرَ الْمُشْتَرِيَ فِي ظُلْمَةٍ، فَلَمْ يَتِمَّ إِبْصَارُهُ لِلسِّلْعَةِ، وَهُوَ نَوْعَانِ.
Penjual dengan penipuannya membuat pembeli berada dalam kegelapan, sehingga tidak dapat melihat barang dengan jelas, dan itu ada dua jenis.
النَّوْعُ الْأَوَّلُ: كِتْمَانُ عَيْبِ السِّلْعَةِ.
Jenis pertama: menyembunyikan cacat barang.
وَالنَّوْعُ الثَّانِي: أَنْ يُزَوِّقَهَا وَيُنَمِّقَهَا بِمَا يَزِيدُ بِهِ ثَمَنَهَا.
Dan jenis kedua: memperindah dan menghiasnya dengan sesuatu yang meningkatkan harganya.
وَالتَّدْلِيسُ حَرَامٌ، وَتُسَوِّغُ بِهِ الشَّرِيعَةُ لِلْمُشْتَرِي الرَّدَّ؛ لِأَنَّهُ إِنَّمَا بَذَلَ مَالَهُ فِي الْمَبِيعِ بِنَاءً عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي أَظْهَرَهَا لَهُ الْبَائِعُ، وَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ عَلَى خِلَافِهَا؛ لَمَا بَذَلَ مَالَهُ فِيهَا.
Penipuan itu haram, dan syariat membolehkan pembeli untuk mengembalikannya; karena ia hanya mengeluarkan uangnya untuk barang yang dijual berdasarkan sifat yang ditunjukkan oleh penjual kepadanya, dan seandainya ia tahu bahwa itu berbeda; ia tidak akan mengeluarkan uangnya untuk itu.
وَمِنْ أَمْثِلَةِ التَّدْلِيسِ الْوَارِدَةِ: تَصْرِيَةُ الْغَنَمِ وَالْبَقَرِ وَالْإِبِلِ، وَهِيَ حَبْسُ لَبَنِهَا فِي ضُرُوعِهَا عِنْدَ عَرْضِهَا لِلْبَيْعِ، فَيَظُنُّهَا الْمُشْتَرِي كَثِيرَةَ اللَّبَنِ دَائِمًا، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا؛ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا: إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ، وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ".
Di antara contoh penipuan yang disebutkan: mengikat susu kambing, sapi, dan unta di ambing mereka saat menawarkannya untuk dijual, sehingga pembeli mengira mereka selalu banyak susu, Nabi ﷺ bersabda: "Janganlah kalian mengikat susu unta dan kambing, barangsiapa membelinya; maka dia berhak memilih setelah memerahnya: jika mau, dia dapat menahannya, dan jika mau, dia dapat mengembalikannya disertai satu sha' kurma".
وَمِنْ أَمْثِلَةِ التَّدْلِيسِ: تَزْوِيقُ الْبُيُوتِ الْمُعَيَّبَةِ لِلتَّغْرِيرِ بِالْمُشْتَرِي وَالْمُسْتَأْجِرِ، وَتَزْوِيقُ السَّيَّارَاتِ حَتَّى تَظْهَرَ بِمَظْهَرِ غَيْرِ الْمُسْتَعْمَلَةِ لِلتَّغْرِيرِ بِالْمُشْتَرِي، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ التَّدْلِيسِ.
Di antara contoh penipuan: memperindah rumah-rumah yang cacat untuk menipu pembeli dan penyewa, memperindah mobil-mobil sehingga tampak seperti tidak terpakai untuk menipu pembeli, dan jenis-jenis penipuan lainnya.
يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَصْدُقَ وَيُبَيِّنَ الْحَقِيقَةَ، قَالَ ﷺ: "الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، صَدَقَا وَبَيَّنَا؛ بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا؛ مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا"، فَأَخْبَرَ ﷺ أَنَّ الصِّدْقَ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ مِنْ
Seorang Muslim wajib jujur dan menjelaskan kebenaran, Nabi ﷺ bersabda: "Dua orang yang berjual beli memiliki hak pilih selama belum berpisah, jika keduanya jujur dan menjelaskan; maka jual beli mereka diberkahi, dan jika keduanya berbohong dan menyembunyikan; maka keberkahan jual beli mereka dihapus", maka Nabi ﷺ mengabarkan bahwa kejujuran dalam jual beli dan pembelian adalah dari
الصِّدْقُ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ مِنْ أَسْبَابِ الْبَرَكَةِ، وَأَنَّ الْكَذِبَ مِنْ أَسْبَابِ مَحْقِ الْبَرَكَةِ؛ فَالثَّمَنُ وَإِنْ قَلَّ مَعَ الصِّدْقِ؛ يُبَارِكُ اللهُ فِيهِ، وَإِنْ كَثُرَ الثَّمَنُ مَعَ الْكَذِبِ؛ فَهُوَ مَمْحُوقُ الْبَرَكَةِ لَا خَيْرَ فِيهِ.
Kejujuran dalam jual beli adalah salah satu penyebab keberkahan, dan kebohongan adalah salah satu penyebab terhapusnya keberkahan; meskipun harga itu sedikit dengan kejujuran; Allah akan memberkatinya, dan jika harga itu banyak dengan kebohongan; maka itu adalah terhapusnya keberkahan, tidak ada kebaikan di dalamnya.
خَامِسًا: خِيَارُ الْعَيْبِ، أَيْ: الْخِيَارُ الَّذِي يَثْبُتُ لِلْمُشْتَرِي بِسَبَبِ وُجُودِ عَيْبٍ فِي السِّلْعَةِ لَمْ يُخْبِرْهُ بِهِ الْبَائِعُ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ بِهِ الْبَائِعُ، لَكِنَّهُ تَبَيَّنَ أَنَّهُ مَوْجُودٌ فِي السِّلْعَةِ قَبْلَ الْبَيْعِ، وَضَابِطُ الْعَيْبِ الَّذِي يَثْبُتُ بِهِ الْخِيَارُ هُوَ مَا تَنْقُصُ بِسَبَبِهِ قِيمَةُ الْمَبِيعِ عَادَةً أَوْ تَنْقُصُ بِهِ عَيْنُهُ، وَيَرْجِعُ مَعْرِفَةُ ذَلِكَ إِلَى التُّجَّارِ الْمُعْتَبَرِينَ؛ فَمَا عَدُّوهُ عَيْبًا؛ ثَبَتَ الْخِيَارُ بِهِ، وَمَا لَمْ يَعُدُّوهُ عَيْبًا يَنْقُصُ الْقِيمَةَ أَوْ عَيْنَ الْمَبِيعِ؛ لَمْ يُعْتَبَرْ، فَإِذَا عَلِمَ الْمُشْتَرِي بِالْعَيْبِ بَعْدَ الْعَقْدِ؛ فَلَهُ الْخِيَارُ بَيْنَ أَنْ يُمْضِيَ الْبَيْعَ وَيَأْخُذَ عِوَضَ الْعَيْبِ، وَهُوَ مِقْدَارُ الْفَرْقِ بَيْنَ قِيمَةِ الْمَبِيعِ صَحِيحًا وَقِيمَتِهِ مَعِيبًا، وَلَهُ أَنْ يَفْسَخَ الْبَيْعَ وَيَرُدَّ السِّلْعَةَ وَيَسْتَرْجِعَ الثَّمَنَ الَّذِي دَفَعَهُ لِلْمُشْتَرِي.
Kelima: Khiyar al-'aib, yaitu: hak pilih yang ditetapkan bagi pembeli karena adanya cacat pada barang yang tidak diberitahukan oleh penjual atau penjual tidak mengetahuinya, tetapi ternyata ada pada barang sebelum penjualan, dan kriteria cacat yang dengannya ditetapkan hak pilih adalah apa yang karenanya nilai barang yang dijual biasanya berkurang atau berkurang zatnya, dan pengetahuan tentang hal itu kembali kepada para pedagang yang dianggap; apa yang mereka anggap sebagai cacat; hak pilih ditetapkan dengannya, dan apa yang tidak mereka anggap sebagai cacat yang mengurangi nilai atau zat barang yang dijual; tidak dianggap, jika pembeli mengetahui cacat setelah akad; maka ia memiliki hak pilih antara melanjutkan penjualan dan mengambil kompensasi cacat, yaitu selisih antara nilai barang yang dijual dalam keadaan baik dan nilainya dalam keadaan cacat, dan ia berhak membatalkan penjualan, mengembalikan barang, dan mengambil kembali harga yang ia bayarkan kepada pembeli.
سَادِسًا: مَا يُسَمَّى بِخِيَارِ التَّخْبِيرِ بِالثَّمَنِ، هُوَ مَا إِذَا بَاعَ السِّلْعَةَ بِثَمَنِهَا الَّذِي اشْتَرَاهَا بِهِ، فَأَخْبَرَهُ بِمِقْدَارِهِ، ثُمَّ تَبَيَّنَ أَنَّهُ أَخْبَرَ بِخِلَافِ الْحَقِيقَةِ، كَأَنْ تَبَيَّنَ أَنَّ الثَّمَنَ أَكْثَرُ أَوْ أَقَلُّ مِمَّا أَخْبَرَهُ بِهِ، أَوْ قَالَ: أَشْرَكْتُكَ مَعِي فِي هَذِهِ السِّلْعَةِ بِرَأْسِ مَالِي، أَوْ قَالَ: بِعْتُكَ هَذِهِ السِّلْعَةَ بِرِبْحٍ كَذَا وَكَذَا عَلَى رَأْسِ مَالِي فِيهَا،
Keenam: Apa yang disebut khiyar at-takhbir bi ats-tsaman, yaitu jika ia menjual barang dengan harga yang ia beli dengannya, lalu ia memberitahukan kepadanya ukurannya, kemudian ternyata ia memberitahukan yang berbeda dengan kenyataan, seperti ternyata harganya lebih banyak atau lebih sedikit dari apa yang ia beritahukan kepadanya, atau ia berkata: "Aku menyertakanmu bersamaku dalam barang ini dengan modal pokok", atau ia berkata: "Aku menjual barang ini kepadamu dengan keuntungan sekian dan sekian atas modal pokokku di dalamnya,"
أَوْ قَالَ: بِعْتُكَ هَذِهِ السِّلْعَةَ بِنَقْصٍ كَذَا وَكَذَا عَمَّا اشْتَرَيْتُهَا بِهِ: فَفِي هَذِهِ الصُّوَرِ الْأَرْبَعِ، إِذَا تَبَيَّنَ أَنَّ رَأْسَ الْمَالِ خِلَافَ مَا أَخْبَرَهُ بِهِ؛ فَلَهُ الْخِيَارُ بَيْنَ الْإِمْسَاكِ وَالرَّدِّ، عَلَى قَوْلٍ فِي الْمَذْهَبِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ لَا خِيَارَ لِلْمُشْتَرِي، وَيَجْرِي الْحُكْمُ عَلَى الثَّمَنِ الْحَقِيقِيِّ، وَيَسْقُطُ عَنْهُ الزَّائِدُ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Atau dia berkata: Aku menjual barang ini kepadamu dengan pengurangan sekian dan sekian dari harga yang aku beli: Dalam empat gambaran ini, jika ternyata modal berbeda dengan apa yang dia beritahukan kepadanya; maka dia memiliki pilihan antara menahan atau mengembalikan, menurut satu pendapat dalam mazhab, dan pendapat kedua: bahwa dalam keadaan ini pembeli tidak memiliki hak pilih, dan hukum berlaku pada harga yang sebenarnya, dan kelebihan darinya gugur, dan Allah lebih mengetahui.
سَابِعًا: خِيَارٌ يَثْبُتُ إِذَا اخْتَلَفَ الْمُتَبَايِعَانِ فِي بَعْضِ الْأُمُورِ، كَمَا إِذَا اخْتَلَفَا فِي مِقْدَارِ الثَّمَنِ، أَوِ اخْتَلَفَا فِي عَيْنِ الْمَبِيعِ، أَوْ قَدْرِهِ، أَوِ اخْتَلَفَا فِي عَيْنِ الْمَبِيعِ، أَوْ قَدْرِهِ، أَوِ اخْتَلَفَا فِي صِفَتِهِ، وَلَا بَيِّنَةَ لِأَحَدِهِمَا؛ فَحِينَئِذٍ يَتَخَالَفَانِ، فَيَحْلِفُ كُلُّ مِنْهُمَا عَلَى مَا يَدَّعِيهِ، ثُمَّ بَعْدَ التَّحَالُفِ لِكُلِّ مِنْهُمَا الْفَسْخُ إِذَا لَمْ يَرْضَ بِقَوْلِ الْآخَرِ.
Ketujuh: Khiyar yang ditetapkan jika kedua pihak yang bertransaksi berbeda pendapat dalam beberapa hal, seperti jika mereka berbeda pendapat tentang jumlah harga, atau berbeda pendapat tentang barang yang dijual, atau ukurannya, atau berbeda pendapat tentang barang yang dijual, atau ukurannya, atau berbeda pendapat tentang sifatnya, dan tidak ada bukti bagi salah satu dari mereka; maka pada saat itu mereka saling bersumpah, masing-masing bersumpah atas apa yang dia klaim, kemudian setelah saling bersumpah masing-masing dari mereka berhak membatalkan jika tidak ridha dengan perkataan yang lain.
ثَامِنًا: خِيَارٌ يَثْبُتُ لِلْمُشْتَرِي إِذَا اشْتَرَى بِنَاءً عَلَى رُؤْيَةٍ سَابِقَةٍ، ثُمَّ وَجَدَهُ قَدْ تَغَيَّرَتْ صِفَتُهُ؛ فَلَهُ الْخِيَارُ حِينَئِذٍ بَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ وَفَسْخِهِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Kedelapan: Khiyar yang ditetapkan bagi pembeli jika dia membeli berdasarkan penglihatan sebelumnya, kemudian mendapatinya telah berubah sifatnya; maka dia memiliki hak pilih pada saat itu antara melanjutkan jual beli atau membatalkannya, dan Allah lebih mengetahui.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ التَّصَرُّفِ فِي الْبَيْعِ قَبْلَ قَبْضِهِ وَالْإِقَالَةِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ التَّصَرُّفِ فِي الْبَيْعِ قَبْلَ قَبْضِهِ وَالْإِقَالَةِ
Bab tentang hukum-hukum bertransaksi dalam jual beli sebelum menerimanya dan pembatalan
نَتَنَاوَلُ فِي هَذَا الْبَابِ إِنْ شَاءَ اللهُ أَحْكَامَ التَّصَرُّفِ فِي الْمَبِيعِ قَبْلَ قَبْضِهِ مَا يَصِحُّ وَمَا لَا يَصِحُّ، مَعَ بَيَانِ مَا يَحْصُلُ بِهِ قَبْضُ الْمَبِيعِ وَيُعَدُّ قَبْضًا صَحِيحًا، وَمَا لَا يُعَدُّ قَبْضًا صَحِيحًا.
Dalam bab ini, insya Allah, kita akan membahas hukum-hukum bertransaksi pada barang yang dijual sebelum diterima, apa yang sah dan apa yang tidak sah, dengan penjelasan tentang apa yang dengannya penerimaan barang yang dijual terjadi dan dianggap sebagai penerimaan yang sah, dan apa yang tidak dianggap sebagai penerimaan yang sah.
اِعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ التَّصَرُّفُ فِي الْمَبِيعِ قَبْلَ قَبْضِهِ إِذَا كَانَ مَكِيلًا أَوْ مَوْزُونًا أَوْ مَعْدُودًا أَوْ مَذْرُوعًا بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، وَكَذَا إِذَا كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ عَلَى الصَّحِيحِ الرَّاجِحِ مِنْ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ ﵏؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: "مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا؛ فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَفِي لَفْظٍ: "حَتَّى يَقْبِضَهُ"، وَلِمُسْلِمٍ: "حَتَّى يَكْتَالَهُ".
Ketahuilah bahwa tidak sah bertransaksi pada barang yang dijual sebelum diterima jika ia adalah barang yang ditakar, ditimbang, dihitung, atau diukur, berdasarkan kesepakatan para imam. Demikian pula jika ia bukan dari jenis tersebut, menurut pendapat yang sahih dan rajih dari dua pendapat ulama ﵏, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya secara sempurna", muttafaq 'alaih. Dalam satu lafaz: "hingga ia menerimanya", dan menurut Muslim: "hingga ia menakarnya".
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ﵄ "وَلَا أَحْسَبُ غَيْرَهُ إِلَّا مِثْلَهُ"؛ أَيْ: غَيْرَ الطَّعَامِ، بَلْ وَرَدَ ذَلِكَ صَرِيحًا؛ كَمَا رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ: "إِذَا اشْتَرَيْتَ شَيْئًا؛ فَلَا تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ"، وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ: "نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التَّاجِرُ إِلَى رِحَالِهِمْ".
Ibnu Abbas ﵄ berkata, "Dan saya tidak mengira selain itu kecuali seperti itu"; yaitu: selain makanan, bahkan itu disebutkan secara jelas; sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad: "Jika engkau membeli sesuatu; maka jangan menjualnya sampai engkau menerimanya", dan Abu Dawud meriwayatkan: "Beliau melarang menjual barang-barang di tempat pembelian sampai pedagang memindahkannya ke tempat mereka".
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ وَتِلْمِيذُهُ ابْنُ الْقَيِّمِ رَحِمَهُمَا اللهُ: "عِلَّةُ النَّهْيِ عَنِ الْبَيْعِ قَبْلَ الْقَبْضِ عَجْزُ الْمُشْتَرِي عَنْ تَسَلُّمِهِ؛ لِأَنَّ الْبَائِعَ قَدْ يُسَلِّمُهُ وَقَدْ لَا يُسَلِّمُهُ، لَا سِيَّمَا إِذَا رَأَى الْمُشْتَرِي قَدْ رَبِحَ؛ فَإِنَّهُ يَسْعَى فِي رَدِّ الْبَيْعِ؛ وَإِمَّا بِجَحْدٍ، أَوِ احْتِيَالٍ عَلَى الْفَسْخِ، وَتَأْكِيدِ ذَلِكَ بِالنَّهْيِ عَنْ رِبْحِ مَا لَمْ يُضْمَنْ" انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, semoga Allah merahmati keduanya, berkata: "Alasan larangan menjual sebelum menerima adalah ketidakmampuan pembeli untuk menerimanya; karena penjual mungkin menyerahkannya dan mungkin tidak menyerahkannya, terutama jika dia melihat pembeli telah mendapat keuntungan; maka dia akan berusaha untuk membatalkan penjualan; baik dengan pengingkaran, atau tipu daya untuk pembatalan, dan penegasan hal itu dengan larangan mengambil keuntungan dari apa yang belum dijamin" selesai.
فَيَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَتَقَيَّدُوا بِذَلِكَ، فَإِذَا اشْتَرَى الْمُسْلِمُ سِلْعَةً؛ لَمْ يُقْدِمْ عَلَى التَّصَرُّفِ فِيهَا بِبَيْعٍ أَوْ غَيْرِهِ يَقْبِضُهَا قَبْضًا تَامًّا، وَهَذَا مِمَّا يَتَسَاهَلُ فِيهِ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ أَوْ يَتَجَاهَلُونَهُ، فَيَشْتَرُونَ السِّلَعَ ثُمَّ يَبِيعُونَهَا وَهُمْ لَمْ يَقْبِضُوهَا مِنَ الْبَائِعِ أَصْلًا أَوْ قَبَضُوهَا نَاقِصًا لَا يُعَدُّ قَبْضًا
Maka wajib bagi kaum muslimin untuk mematuhi hal itu, jika seorang muslim membeli suatu barang; dia tidak boleh bertindak padanya dengan menjual atau lainnya sebelum menerimanya dengan penerimaan yang sempurna, dan ini adalah sesuatu yang banyak orang mempermudah atau mengabaikannya, mereka membeli barang-barang kemudian menjualnya sementara mereka belum menerimanya dari penjual sama sekali atau menerimanya dengan tidak sempurna yang tidak dianggap sebagai penerimaan
صَحِيحًا؛ كَأَنْ يَعُدَّ الْأَكْيَاسَ أَوِ الطُّرُودَ أَوِ الصَّنَادِيقَ وَهِيَ فِي مَحَلِّ الْبَائِعِ، ثُمَّ يَذْهَبَ وَيَبِيعَهَا عَلَى آخَرَ، وَهَذَا لَا يُعَدُّ قَبْضًا صَحِيحًا، يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ جَوَازُ تَصَرُّفِ الْمُشْتَرِي فِيهَا.
Benar; seperti menghitung kantong, bungkusan, atau kotak saat masih berada di toko penjual, kemudian pergi dan menjualnya kepada orang lain, dan ini tidak dianggap sebagai serah terima yang sah, yang memungkinkan pembeli untuk menggunakannya.
فَإِنْ قُلْتَ: مَا هُوَ الْقَبْضُ الصَّحِيحُ الَّذِي يُسَوِّغُ لِلْمُشْتَرِي التَّصَرُّفَ فِي السِّلْعَةِ؟ فَالْجَوَابُ أَنَّ قَبْضَ السِّلَعِ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ نَوْعِيَّتِهَا، وَكُلُّ نَوْعٍ لَهُ قَبْضٌ يُنَاسِبُهُ، فَإِذَا كَانَ الْمَبِيعُ مَكِيلًا؛ فَقَبْضُهُ بِالْكَيْلِ، وَإِنْ كَانَ مَوْزُونًا؛ فَقَبْضُهُ بِالْوَزْنِ، وَإِنْ كَانَ مَعْدُودًا؛ فَقَبْضُهُ بِالْعَدِّ، وَإِنْ كَانَ مَذْرُوعًا؛ فَقَبْضُهُ بِالذَّرْعِ، مَعَ حِيَازَةِ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ إِلَى مَكَانِ الْمُشْتَرِي، وَمَا كَانَ كَالثِّيَابِ وَالْحَيَوَانَاتِ وَالسَّيَّارَاتِ؛ فَقَبْضُهُ بِنَقْلِهِ إِلَى مَكَانِ الْمُشْتَرِي، وَإِنْ كَانَ الْمَبِيعُ مِمَّا يُتَنَاوَلُ بِالْيَدِ كَالْجَوَاهِرِ وَالْكُتُبِ وَنَحْوِهَا؛ فَقَبْضُهُ يَحْصُلُ بِتَنَاوُلِ الْمُشْتَرِي لَهُ بِيَدِهِ وَحِيَازَتِهِ، وَإِنْ كَانَ الْمَبِيعُ مِمَّا لَا يُمْكِنُ نَقْلُهُ مِنْ مَكَانِهِ؛ كَالْبُيُوتِ وَالْأَرَاضِي وَالثَّمَرِ عَلَى رُءُوسِ الشَّجَرِ؛ فَقَبْضُهُ يَحْصُلُ بِالتَّخْلِيَةِ؛ بِأَنْ يُمَكِّنَ مِنْهُ الْمُشْتَرِيَ، وَيُخَلِّيَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ تَصَرُّفَ الْمَالِكِ، وَتَسْلِيمُ الدَّارِ وَنَحْوِهَا بِأَنْ يَفْتَحَ لَهُ بَابَهَا أَوْ يُسَلِّمَهُ مِفْتَاحَهَا.
Jika Anda bertanya: Apa itu serah terima yang sah yang memungkinkan pembeli untuk menggunakan barang tersebut? Jawabannya adalah bahwa serah terima barang berbeda-beda sesuai dengan jenisnya, dan setiap jenis memiliki serah terima yang sesuai dengannya. Jika barang yang dijual ditakar, maka serah terimanya dengan takaran; jika ditimbang, maka serah terimanya dengan timbangan; jika dihitung, maka serah terimanya dengan hitungan; jika diukur, maka serah terimanya dengan ukuran, dengan mengambil barang-barang ini ke tempat pembeli. Adapun pakaian, hewan, dan mobil, maka serah terimanya dengan memindahkannya ke tempat pembeli. Jika barang yang dijual adalah sesuatu yang dapat diambil dengan tangan seperti permata, buku, dan sejenisnya, maka serah terimanya terjadi dengan pembeli mengambilnya dengan tangannya dan memilikinya. Jika barang yang dijual adalah sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari tempatnya, seperti rumah, tanah, dan buah-buahan di atas pohon, maka serah terimanya terjadi dengan membiarkannya; dengan memungkinkan pembeli untuk menggunakannya dan membiarkannya untuk menggunakannya sebagaimana pemilik menggunakannya, dan menyerahkan rumah dan sejenisnya dengan membukakan pintunya atau menyerahkan kuncinya.
وَقَدْ مَرَّ مِنَ الْأَحَادِيثِ فِي النَّهْيِ عَنِ التَّصَرُّفِ فِي الْمَبِيعِ قَبْلَ قَبْضِهِ الْمُعْتَبَرِ شَرْعًا؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْمَصْلَحَةِ لِلْمُشْتَرِي وَالْبَائِعِ؛ مِنْ قَطْعِ
Telah disebutkan dalam hadits-hadits tentang larangan menggunakan barang yang dibeli sebelum serah terima yang dianggap sah secara syariat; karena hal itu mengandung kemaslahatan bagi pembeli dan penjual; dari memutuskan
النِّزَاعِ، وَالسَّلَامَةِ مِنَ الْخُصُومَاتِ الَّتِي كَثِيرًا مَا تَنْشَبُ بَيْنَ النَّاسِ بِسَبَبِ تَسَاهُلِهِمْ فِي الْقَبْضِ وَعَدَمِ تَفَقُّدِ الْمُشْتَرِي وَاسْتِيفَائِهَا بِالْوَفَاءِ وَالتَّمَامِ وَانْقِطَاعِ عُهْدَةِ الْبَائِعِ بِهَا، وَهَذَا أَمْرٌ يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ التَّقَيُّدُ بِهِ وَتَطْبِيقُهُ فِي مُعَامَلَتِهِ.
Perselisihan, dan keselamatan dari perselisihan yang sering terjadi di antara manusia karena sikap longgar mereka dalam menerima dan tidak memeriksa pembeli dan memenuhinya dengan pemenuhan dan kesempurnaan serta putusnya tanggung jawab penjual dengannya, dan ini adalah perkara yang seharusnya seorang Muslim mematuhinya dan menerapkannya dalam muamalahnya.
وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الْيَوْمَ يَتَسَاهَلُونَ فِي قَبْضِ السِّلَعِ، وَيَتَصَرَّفُونَ فِيهَا قَبْلَ الْقَبْضِ الشَّرْعِيِّ، فَيَرْتَكِبُونَ مَا نَهَى عَنْهُ الرَّسُولُ ﷺ، فَيَقَعُونَ فِي الْخُصُومَاتِ وَالْمُنَازَعَاتِ، أَوْ يُصَابُونَ بِالنَّدَامَةِ عِنْدَمَا تَنْكَشِفُ لَهُمُ السِّلْعَةُ عَلَى حَقِيقَتِهَا وَقَدْ تَوَرَّطُوا فِيهَا؛ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ الْخَلَاصَ مِنْهَا إِلَّا بِمُرَافَعَاتٍ وَمُدَافَعَاتٍ، وَهَكَذَا كُلُّ مَنْ خَالَفَ أَمْرَ الرَّسُولِ ﷺ، فَلَا بُدَّ أَنْ يَنْدَمَ وَيَقَعَ فِي الْحَرَجِ.
Dan banyak orang saat ini bersikap longgar dalam menerima barang, dan mereka bertransaksi dengannya sebelum menerimanya secara syar'i, sehingga mereka melakukan apa yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ, lalu mereka jatuh dalam perselisihan dan persengketaan, atau mereka menyesal ketika barang tersebut terungkap pada hakikatnya dan mereka telah terlibat di dalamnya; maka mereka tidak dapat melepaskan diri darinya kecuali dengan pembelaan dan pertahanan, dan demikianlah setiap orang yang menyelisihi perintah Rasulullah ﷺ, maka pasti ia akan menyesal dan jatuh dalam kesulitan.
وَمِمَّا حَثَّ عَلَيْهِ الرَّسُولُ ﷺ وَرَغَّبَ فِيهِ: إِقَالَةُ أَحَدِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ لِلْآخَرِ بِفَسْخِ الْبَيْعِ عِنْدَمَا يَنْدَمُ عَلَى الْعَقْدِ أَوْ تَزُولُ حَاجَتُهُ بِالسِّلْعَةِ أَوْ يَعْسُرُ بِالثَّمَنِ، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا؛ أَقَالَ اللهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"، الْإِقَالَةُ مَعْنَاهَا: رَفْعُ الْعَقْدِ، وَرُجُوعُ كُلٍّ مِنَ الْمُتَعَاقِدَيْنِ بِمَا كَانَ لَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ، وَهِيَ مِنْ حَقِّ الْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ الْمُسْلِمِ عِنْدَمَا يَحْتَاجُ إِلَيْهَا، وَهِيَ مِنْ حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ وَمِنْ مُقْتَضَى الْأُخُوَّةِ الْإِيمَانِيَّةِ.
Dan di antara hal yang didorong oleh Rasulullah ﷺ dan dianjurkan olehnya: pembatalan salah satu dari dua pihak yang berakad terhadap yang lain dengan membatalkan jual beli ketika ia menyesal atas akad tersebut atau hilang kebutuhannya terhadap barang tersebut atau kesulitan dengan harganya, Nabi ﷺ bersabda: "Barangsiapa membatalkan (jual beli) seorang Muslim; maka Allah akan menghapus kekeliruannya pada hari kiamat", pembatalan artinya: mengangkat akad, dan kembalinya masing-masing dari dua pihak yang berakad dengan apa yang menjadi miliknya tanpa tambahan atau pengurangan, dan itu adalah hak seorang Muslim atas saudaranya sesama Muslim ketika ia membutuhkannya, dan itu termasuk kebaikan dalam bermuamalah dan termasuk konsekuensi persaudaraan keimanan.
بَابٌ فِي بَيَانِ الرِّبَا وَحُكْمِهِ
بَابٌ فِي بَيَانِ الرِّبَا وَحُكْمِهِ
Bab tentang penjelasan riba dan hukumnya
هَذَا الْمَوْضُوعُ مِنْ أَخْطَرِ الْمَوَاضِيعِ، وَهُوَ مَوْضُوعُ الرِّبَا الَّذِي أَجْمَعَتِ الشَّرَائِعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ، وَتَوَعَّدَ اللهُ الْمُتَعَامِلَ بِهِ بِأَشَدِّ الْوَعِيدِ:
Topik ini adalah salah satu topik yang paling berbahaya, yaitu topik riba yang diharamkan oleh semua syariat, dan Allah mengancam orang yang bertransaksi dengannya dengan ancaman yang paling keras:
قَالَ تَعَالَى: ﴿الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ﴾؛ فَأَخْبَرَ سُبْحَانَهُ أَنَّ الَّذِينَ يَتَعَامَلُونَ بِالرِّبَا ﴿لَا يَقُومُونَ﴾؛ أَيْ: مِنْ قُبُورِهِمْ عِنْدَ الْبَعْثِ؛ ﴿إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ﴾؛ أَيْ: كَمَا يَقُومُ الْمَصْرُوعُ حَالَ صَرْعِهِ، وَذَلِكَ لِتَضَخُّمِ بُطُونِهِمْ؛ بِسَبَبِ أَكْلِهِمُ الرِّبَا مِنَ الدُّنْيَا.
Allah Ta'ala berfirman: "Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila". Maha Suci Allah memberitahukan bahwa orang-orang yang bertransaksi dengan riba "tidak dapat berdiri"; yaitu: dari kubur mereka pada saat kebangkitan; "melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila"; yaitu: seperti berdirinya orang yang kesurupan saat kesurupannya, dan itu karena perut mereka membesar; disebabkan mereka memakan riba di dunia.
كَمَا تَوَعَّدَ سُبْحَانَهُ الَّذِي يَعُودُ إِلَى أَكْلِ الرِّبَا بَعْدَ مَعْرِفَةِ تَحْرِيمِهِ بِأَنَّهُ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ الْخَالِدِينَ فِيهَا، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ﴾ .
Sebagaimana Dia Maha Suci mengancam orang yang kembali memakan riba setelah mengetahui keharamannya bahwa dia termasuk penghuni neraka yang kekal di dalamnya, Allah Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya".
كَمَا أَخْبَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ أَنَّهُ يَمْحَقُ بَرَكَةَ الرِّبَا، قَالَ تَعَالَى: ﴿يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا﴾؛ أَيْ: يَمْحَقُ بَرَكَةَ الْمَالِ الَّذِي خَالَطَهُ الرِّبَا، فَمَهْمَا كَثُرَتْ أَمْوَالُ الْمُرَابِي وَتَضَخَّمَتْ؛ فَهِيَ مَمْحُوقَةُ الْبَرَكَةِ، لَا خَيْرَ فِيهَا، وَإِنَّمَا هِيَ وَبَالٌ عَلَى صَاحِبِهَا، تَعَبٌ فِي الدُّنْيَا، وَعَذَابٌ فِي الْآخِرَةِ، وَلَا يَسْتَفِيدُ مِنْهَا.
Sebagaimana Allah Subhanahu memberitahukan bahwa Dia menghapus berkah riba, Allah Ta'ala berfirman: "Allah memusnahkan riba"; yaitu: menghapus berkah harta yang bercampur dengan riba, maka sebanyak apapun harta pemakan riba dan sebesar apapun; maka itu adalah harta yang dihapus berkahnya, tidak ada kebaikan di dalamnya, bahkan itu adalah bencana bagi pemiliknya, kelelahan di dunia, dan azab di akhirat, dan dia tidak mendapatkan manfaat darinya.
وَقَدْ وَصَفَ اللهُ الْمُرَابِيَ بِأَنَّهُ كَفَّارٌ أَثِيمٌ، قَالَ تَعَالَى: ﴿يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ﴾ .
Dan Allah telah menggambarkan pemberi riba sebagai orang kafir yang berdosa, Allah Ta'ala berfirman: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa".
فَأَخْبَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ أَنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُرَابِيَ، وَحِرْمَانُهُ مِنْ مَحَبَّةِ اللهِ يَسْتَلْزِمُ أَنَّ اللهَ يَبْغَضُهُ وَيَمْقُتُهُ، وَتَسْمِيَتُهُ كَفَّارًا أَيْ: مُبَالِغًا فِي كُفْرِ النِّعْمَةِ، وَهُوَ الْكُفْرُ الَّذِي لَا يُخْرِجُ مِنَ الْمِلَّةِ؛ فَهُوَ كَفَّارٌ لِنِعْمَةِ اللهِ لِأَنَّهُ لَا يَرْحَمُ الْعَاجِزَ، وَلَا يُسَاعِدُ الْفَقِيرَ، وَلَا يَنْظُرُ الْمُعْسِرَ، أَوِ الْمُرَادُ أَنَّهُ كَفَّارٌ الْكُفْرَ الْمُخْرِجَ مِنَ الْمِلَّةِ إِذَا كَانَ يَسْتَحِلُّ الرِّبَا، وَقَدْ وَصَفَهُ اللهُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ بِأَنَّهُ أَثِيمٌ؛ أَيْ: مُبَالِغٌ فِي الْإِثْمِ، مُنْغَمِسٌ فِي الْأَضْرَارِ الْمَادِّيَّةِ وَالْخُلُقِيَّةِ.
Allah Subhanahu memberitahukan bahwa Dia tidak menyukai pemberi riba, dan kehilangan cinta Allah mengharuskan bahwa Allah membencinya dan murka kepadanya. Menyebutnya sebagai orang kafir berarti: berlebihan dalam mengingkari nikmat, dan itu adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama; karena dia mengingkari nikmat Allah karena dia tidak mengasihani yang lemah, tidak membantu yang miskin, dan tidak memandang yang kesulitan. Atau yang dimaksud adalah bahwa dia adalah orang kafir yang keluar dari agama jika dia menghalalkan riba. Allah telah menggambarkannya dalam ayat ini sebagai orang yang berdosa; yaitu: berlebihan dalam dosa, tenggelam dalam kerugian materi dan moral.
وَقَدْ أَعْلَنَ اللهُ الْحَرْبَ مِنْهُ وَمِنْ رَسُولِهِ عَلَى الْمُرَابِي لِأَنَّهُ عَدُوٌّ لَهُمَا إِنْ لَمْ يَتْرُكِ الرِّبَا، وَوَصَفَهُ بِأَنَّهُ ظَالِمٌ، قَالَ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ﴾ .
Allah telah menyatakan perang dari-Nya dan Rasul-Nya terhadap pemberi riba karena dia adalah musuh bagi keduanya jika dia tidak meninggalkan riba, dan Allah menggambarkannya sebagai orang yang zalim. Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya".
وَإِلَى جَانِبِ هَذِهِ الزَّوَاجِرِ الْقُرْآنِيَّةِ عَنِ التَّعَامُلِ بِالرِّبَا جَاءَتْ زَوَاجِرُ فِي سُنَّةِ الرَّسُولِ ﷺ؛ فَقَدْ عَدَّةَ النَّبِيُّ ﷺ مِنَ الْكَبَائِرِ الْمُوبِقَةِ؛ أَيِ: الْمُهْلِكَةِ، وَلَعَنَ ﷺ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ، كَمَا
Di samping peringatan-peringatan Al-Qur'an ini tentang bermuamalah dengan riba, terdapat juga peringatan-peringatan dalam Sunnah Rasulullah ﷺ; Nabi ﷺ telah menganggapnya termasuk dosa besar yang membinasakan; yaitu: yang menghancurkan, dan beliau ﷺ melaknat pemakan riba, yang mewakilkannya, dua saksinya, dan penulisnya, sebagaimana
أَخْبَرَ ﷺ أَنَّ دِرْهَمًا وَاحِدًا مِنَ الرِّبَا أَشَدُّ مِنْ ثَلَاثٍ وَثَلَاثِينَ زِنْيَةً فِي الْإِسْلَامِ، أَوْ سِتٍّ وَثَلَاثِينَ زِنْيَةً، وَأَخْبَرَ أَنَّ الرِّبَا اثْنَانِ وَسَبْعُونَ بَابًا، أَدْنَاهَا مِثْلُ إِتْيَانِ الرَّجُلِ أُمَّهُ.
Nabi ﷺ mengabarkan bahwa satu dirham riba lebih buruk daripada tiga puluh tiga atau tiga puluh enam kali berzina dalam Islam, dan beliau mengabarkan bahwa riba memiliki tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan seperti seorang laki-laki mendatangi ibunya.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَتَحْرِيمُ الرِّبَا أَشَدُّ مِنْ تَحْرِيمِ الْمَيْسِرِ، وَهُوَ الْقِمَارُ؛ لِأَنَّ الْمُرَابِيَ قَدْ أَخَذَ فَضْلًا مُحَقَّقًا مِنْ مُحْتَاجٍ، وَالْمُقَامِرُ قَدْ يَحْصُلُ لَهُ فَضْلٌ وَقَدْ لَا يَحْصُلُ لَهُ فَضْلٌ؛ فَالرِّبَا ظُلْمٌ مُحَقَّقٌ؛ لِأَنَّ فِيهِ تَسْلِيطَ الْغَنِيِّ عَلَى الْفَقِيرِ؛ بِخِلَافِ الْقِمَارِ؛ فَإِنَّهُ قَدْ يَأْخُذُ فِيهِ الْفَقِيرُ مِنَ الْغَنِيِّ، وَقَدْ يَكُونُ الْمُتَقَامِرَانِ مُتَسَاوِيَيْنِ فِي الْغِنَى وَالْفَقْرِ؛ فَهُوَ وَإِنْ كَانَ أَكْلًا لِلْمَالِ بِالْبَاطِلِ، وَهُوَ مُحَرَّمٌ؛ فَلَيْسَ فِيهِ ظُلْمُ الْمُحْتَاجِ وَضَرَرُهُ مَا فِي الرِّبَا، وَمَعْلُومٌ أَنَّ ظُلْمَ الْمُحْتَاجِ أَعْظَمُ مِنْ ظُلْمِ غَيْرِ الْمُحْتَاجِ" انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Pengharaman riba lebih keras daripada pengharaman judi, yaitu perjudian; karena pemakan riba telah mengambil kelebihan yang pasti dari orang yang membutuhkan, sedangkan penjudi mungkin mendapatkan kelebihan dan mungkin tidak mendapatkan kelebihan; maka riba adalah kezaliman yang pasti; karena di dalamnya terdapat penguasaan orang kaya atas orang miskin; berbeda dengan perjudian; karena di dalamnya orang miskin mungkin mengambil dari orang kaya, dan dua orang yang berjudi mungkin setara dalam kekayaan dan kemiskinan; meskipun itu adalah memakan harta dengan cara yang batil, dan itu diharamkan; namun di dalamnya tidak terdapat kezaliman terhadap orang yang membutuhkan dan mudharatnya seperti yang ada dalam riba, dan telah diketahui bahwa kezaliman terhadap orang yang membutuhkan lebih besar daripada kezaliman terhadap orang yang tidak membutuhkan" selesai.
وَأَكْلُ الرِّبَا مِنْ صِفَاتِ الْيَهُودِ الَّتِي اسْتَحَقُّوا عَلَيْهَا اللَّعْنَةَ الْخَالِدَةَ وَالْمُتَوَاصِلَةَ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ
Dan memakan riba termasuk sifat-sifat orang Yahudi yang menyebabkan mereka berhak mendapatkan laknat yang abadi dan terus-menerus, Allah Ta'ala berfirman: "Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا﴾ .
Bagi mereka dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
وَالْحِكْمَةُ فِي تَحْرِيمِ الرِّبَا: أَنَّ فِيهِ أَكْلًا لِأَمْوَالِ النَّاسِ بِغَيْرِ حَقٍّ؛ لِأَنَّ الْمُرَابِيَ يَأْخُذُ مِنْهُمُ الرِّبَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْتَفِيدُوا شَيْئًا فِي مُقَابَلَةٍ، وَأَنَّ فِيهِ إِضْرَارًا بِالْفُقَرَاءِ وَالْمُحْتَاجِينَ بِمُضَاعَفَةِ الدُّيُونِ عَلَيْهِمْ عِنْدَ عَجْزِهِمْ عَنْ تَسْدِيدِهَا، وَأَنَّ فِيهِ قَطْعًا لِلْمَعْرُوفِ بَيْنَ النَّاسِ، وَسَدًّا لِبَابِ الْقَرْضِ الْحَسَنِ، وَفَتْحًا لِبَابِ الْقَرْضِ بِالْفَائِدَةِ الَّتِي تُثْقِلُ كَاهِلَ الْفَقِيرِ، وَفِيهِ تَعْطِيلٌ لِلْمَكَاسِبِ وَالتِّجَارَاتِ وَالْحِرَفِ وَالصِّنَاعَاتِ الَّتِي لَا تَنْتَظِمُ مَصَالِحُ الْعَالَمِ إِلَّا بِهَا؛ لِأَنَّ الْمُرَابِيَ إِذَا تَحَصَّلَ عَلَى زِيَادَةِ مَالِهِ بِوَاسِطَةِ الرِّبَا بِدُونِ تَعَبٍ؛ فَلَنْ يَلْتَمِسَ طُرُقًا أُخْرَى لِلْكَسْبِ الشَّاقِّ، وَاللهُ تَعَالَى جَعَلَ طَرِيقَ تَعَامُلِ النَّاسِ فِي مَعَايِشِهِمْ قَائِمًا عَلَى أَنْ تَكُونَ اسْتِفَادَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْآخَرِ فِي مُقَابِلِ عَمَلٍ يَقُومُ بِهِ نَحْوَهُ أَوْ عَيْنٍ يَدْفَعُهَا إِلَيْهِ، وَالرِّبَا خَالٍ عَنْ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ عِبَارَةٌ عَنْ إِعْطَاءِ الْمَالِ مُضَاعَفًا مِنْ طَرَفٍ لِآخَرَ بِدُونِ مُقَابَلَةٍ مِنْ عَيْنٍ وَلَا عَمَلٍ.
Hikmah diharamkannya riba adalah karena di dalamnya terdapat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Karena orang yang melakukan riba mengambil riba dari mereka tanpa memberikan manfaat apapun sebagai imbalannya. Dan di dalamnya terdapat mudharat bagi orang-orang fakir dan yang membutuhkan dengan melipatgandakan hutang atas mereka ketika mereka tidak mampu melunasinya. Dan di dalamnya terdapat pemutusan kebaikan di antara manusia, menutup pintu pinjaman yang baik, dan membuka pintu pinjaman berbunga yang memberatkan pundak orang fakir. Dan di dalamnya terdapat penghentian usaha, perdagangan, kerajinan dan industri yang kemaslahatan dunia tidak akan teratur kecuali dengannya. Karena orang yang melakukan riba jika mendapatkan tambahan hartanya melalui riba tanpa susah payah, maka dia tidak akan mencari cara lain untuk mendapatkan penghasilan yang berat. Allah Ta'ala menjadikan cara manusia bermuamalah dalam penghidupan mereka berdiri di atas prinsip bahwa manfaat yang diperoleh setiap orang dari yang lain adalah sebagai imbalan dari pekerjaan yang dia lakukan untuknya atau barang yang dia berikan kepadanya. Sedangkan riba tidak demikian, karena riba adalah memberikan harta yang berlipat ganda dari satu pihak kepada pihak lain tanpa ada imbalan barang atau pekerjaan.
وَالرِّبَا فِي اللُّغَةِ مَعْنَاهُ الزِّيَادَةُ، وَهُوَ فِي الشَّرْعِ زِيَادَةٌ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ، وَيَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ: رِبَا النَّسِيئَةِ، وَرِبَا الْفَضْلِ.
Riba secara bahasa artinya tambahan. Sedangkan menurut syariat, riba adalah tambahan pada hal-hal tertentu. Riba terbagi menjadi dua macam: riba nasi'ah dan riba fadhl.
بَيَانُ رِبَا النَّسِيئَةِ:
Penjelasan tentang riba nasi'ah:
وَرِبَا النَّسِيئَةِ مَأْخُوذٌ مِنَ النَّسْءِ، وَهُوَ التَّأْخِيرُ. وَهُوَ نَوْعَانِ:
Riba nasi'ah diambil dari kata al-nasa' yang artinya penundaan. Riba nasi'ah ada dua jenis:
أَحَدُهُمَا: قَلْبُ الدَّيْنِ عَلَى الْعُسْرِ، وَهَذَا هُوَ أَصْلُ الرِّبَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنَّ الرَّجُلَ يَكُونُ لَهُ عَلَى الرَّجُلِ الْمَالُ الْمُؤَجَّلُ، فَإِذَا حَلَّ الْأَجَلُ؛ قَالَ لَهُ: أَتَقْضِي أَمْ تُرْبِي؟ فَإِنْ وَفَاةَ، وَإِلَّا؛ زَادَ هَذَا فِي الْأَجَلِ وَزَادَ هَذَا فِي الْمَالِ، فَيَتَضَاعَفُ الْمَالُ فِي ذِمَّةِ الْمَدِينِ، فَحَرَّمَ اللهُ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: ﴿وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ﴾، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ وَكَانَ الْغَرِيمُ مُعْسِرًا؛ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقْلَبَ الدَّيْنُ عَلَيْهِ، بَلْ يَجِبُ إِنْظَارُهُ، وَإِنْ كَانَ مُوسِرًا؛ كَانَ عَلَيْهِ الْوَفَاءُ؛ فَلَا حَاجَةَ إِلَى زِيَادَةِ الدَّيْنِ مَعَ يُسْرِ الْمَدِينِ وَلَا مَعَ عُسْرِهِ.
Salah satunya adalah mengubah utang menjadi kesulitan, dan ini adalah asal mula riba pada masa jahiliyah, yaitu ketika seseorang memiliki harta yang ditangguhkan pada orang lain. Ketika jatuh tempo, ia berkata kepadanya, "Apakah kamu akan membayar atau menambah riba?" Jika ia melunasinya, maka selesai. Jika tidak, maka yang satu menambah jangka waktu dan yang lain menambah harta, sehingga harta itu berlipat ganda dalam tanggungan orang yang berutang. Maka Allah mengharamkan hal itu dengan firman-Nya, "Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan." Jika utang telah jatuh tempo dan orang yang berutang dalam kesulitan, maka tidak boleh mengubah utang itu atasnya, bahkan wajib memberinya tenggang waktu. Jika ia mampu, maka ia wajib melunasinya. Tidak perlu menambah utang, baik orang yang berutang itu dalam kemudahan maupun kesulitan.
النَّوْعُ الثَّانِي مِنْ رِبَا النَّسِيئَةِ: مَا كَانَ فِي بَيْعِ كُلِّ جِنْسَيْنِ اتَّفَقَا فِي عِلَّةِ رِبَا الْفَضْلِ مَعَ تَأْخِيرِ قَبْضِهِمَا أَوْ قَبْضِ أَحَدِهِمَا؛ كَبَيْعِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرِ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحِ بِالْمِلْحِ، وَكَذَا بَيْعُ جِنْسٍ بِجِنْسٍ مِنْ هَذِهِ الْمَذْكُورَاتِ مُؤَجَّلًا، وَمَا شَارَكَ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ فِي الْعِلَّةِ يَجْرِي مَجْرَاهَا وَسَيَأْتِي بَيَانُ ذَلِكَ.
Jenis kedua dari riba nasi'ah adalah apa yang terjadi dalam jual beli setiap dua jenis yang sama dalam alasan riba fadhl dengan penundaan penerimaan keduanya atau penerimaan salah satunya, seperti menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, demikian pula menjual satu jenis dengan jenis lainnya dari yang disebutkan ini secara tertunda. Apa yang serupa dengan hal-hal ini dalam alasannya, maka berlaku sama dengannya, dan penjelasan tentang hal itu akan datang.
بَيَانُ رِبَا الْفَضْلِ:
Penjelasan tentang riba fadhl:
وَرِبَا الْفَضْلِ مَأْخُوذٌ مِنَ الْفَضْلِ، وَهُوَ عِبَارَةٌ عَنِ الزِّيَادَةِ فِي أَحَدِ الْعِوَضَيْنِ.
Riba fadhl diambil dari kata "fadhl" yang berarti kelebihan pada salah satu dari dua pengganti.
وَقَدْ نَصَّ الشَّارِعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ فِي سِتَّةِ أَشْيَاءَ هِيَ: الذَّهَبُ، وَالْفِضَّةُ، وَالْبُرُّ، وَالشَّعِيرُ، وَالتَّمْرُ، وَالْمِلْحُ. فَإِذَا بِيعَ أَحَدُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ بِجِنْسِهِ؛ حَرُمَ التَّفَاضُلُ بَيْنَهُمَا قَوْلًا وَاحِدًا؛ لِحَدِيثِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ ﵁ مَرْفُوعًا: "الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ
Pembuat syariat telah menetapkan keharamannya pada enam hal, yaitu: emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan garam. Jika salah satu dari hal-hal ini dijual dengan jenisnya, maka haram adanya kelebihan di antara keduanya menurut satu pendapat, berdasarkan hadits 'Ubadah bin Ash-Shamit ﵁ secara marfu': "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai...
بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ؛ مِثْلًا بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ"، رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ، فَدَلَّ الْحَدِيثُ عَلَى تَحْرِيمِ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ؛ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، وَعَنْ بَيْعِ الْبُرِّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرِ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ بِالتَّمْرِ؛ بِجَمِيعِ أَنْوَاعِهَا، وَالْمِلْحِ بِالْمِلْحِ؛ إِلَّا مُتَسَاوِيَةً، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ.
dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam; sama dengan sama, dari tangan ke tangan", diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim, maka hadits ini menunjukkan keharaman menjual emas dengan emas; kecuali sama dengan sama, dari tangan ke tangan, setara dengan setara, dan tentang menjual gandum dengan gandum, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma; dengan semua jenisnya, dan garam dengan garam; kecuali setara, sama dengan sama, setara dengan setara, dari tangan ke tangan.
وَيُقَاسُ عَلَى هَذِهِ الْأَشْيَاءِ السِّتَّةِ مَا شَارَكَهَا فِي الْعِلَّةِ فَيُحْرَمُ فِيهِ التَّفَاضُلُ عِنْدَ جُمْهُورِ أَهْلِ الْعِلْمِ؛ إِلَّا أَنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي تَحْدِيدِ الْعِلَّةِ:
Dan diukur pada enam hal ini apa yang menyertainya dalam 'illah maka diharamkan padanya kelebihan menurut mayoritas ahli ilmu; hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan 'illah:
وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْعِلَّةَ فِي النَّقْدَيْنِ الثَّمِينَةُ، فَقِيَاسٌ عَلَيْهِمَا كُلُّ مَا جُعِلَ أَثْمَانًا؛ كَالْأَوْرَاقِ النَّقْدِيَّةِ الْمُسْتَعْمَلَةِ فِي هَذِهِ الْأَزْمِنَةِ، فَيُحْرَمُ فِيهَا التَّفَاضُلُ إِذَا بِيعَ بَعْضُهَا بِبَعْضٍ مَعَ اتِّحَادِ الْجِنْسِ؛ بِأَنْ تَكُونَ صَادِرَةً مِنْ دَوْلَةٍ وَاحِدَةٍ.
Dan yang benar bahwa 'illah pada dua mata uang adalah berharga, maka diukur pada keduanya segala sesuatu yang dijadikan harga; seperti uang kertas yang digunakan pada zaman ini, maka diharamkan padanya kelebihan jika dijual sebagiannya dengan sebagian yang lain dengan bersatunya jenis; dengan menjadi terbitan dari satu negara.
وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْعِلَّةَ فِي بَقِيَّةِ الْأَصْنَافِ السِّتَّةِ: الْبُرُّ، وَالشَّعِيرُ، وَالتَّمْرُ، وَالْمِلْحُ: هِيَ الْكَيْلُ أَوِ الْوَزْنُ، مَعَ كَوْنِهَا مَطْعُومَةً، فَيَتَعَدَّى الْحُكْمُ إِلَى مَا شَارَكَهَا فِي تِلْكَ الْعِلَّةِ مِمَّا يُكَالُ أَوْ يُوزَنُ وَهُوَ مِمَّا يُطْعَمُ، فَيُحْرَمُ فِيهِ رِبَا التَّفَاضُلِ.
Dan yang benar bahwa 'illah pada sisa enam jenis: gandum, gandum, kurma, dan garam: adalah takaran atau timbangan, dengan keadaannya sebagai makanan, maka hukum menjalar kepada apa yang menyertainya dalam 'illah tersebut dari apa yang ditakar atau ditimbang dan ia termasuk apa yang dimakan, maka diharamkan padanya riba kelebihan.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَالْعِلَّةُ فِي تَحْرِيمِ رِبَا الْفَضْلِ الْكَيْلُ أَوِ الْوَزْنُ مَعَ الطَّعْمِ، وَهُوَ رِوَايَةُ أَحْمَدَ" انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Dan 'illah dalam pengharaman riba kelebihan adalah takaran atau timbangan bersama makanan, dan ia adalah riwayat Ahmad" selesai.
فَعَلَى هَذَا؛ كُلُّ مَا شَرَكَ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ السِّتَّةَ الْمَنْصُوصَ عَلَيْهَا فِي تَحَقُّقِ هَذِهِ الْعِلَّةِ فِيهِ؛ بِأَنْ يَكُونَ مَكِيلًا مَطْعُومًا أَوْ مَوْزُونًا مَطْعُومًا أَوْ تَحَقَّقَتْ فِيهِ عِلَّةُ الثَّمِينَةِ إِنْ كَانَ مِنَ النُّقُودِ؛ فَإِنَّهُ يَدْخُلُهُ الرِّبَا: فَإِنِ انْضَافَ إِلَى الْعِلَّةِ اتِّحَادُ الْجِنْسِ؛ كَبَيْعِ بُرٍّ بِبُرٍّ مَثَلًا؛ حَرُمَ فِيهِ التَّفَاضُلُ وَالتَّأْجِيلُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ؛ مِثْلًا بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ". رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَأَبُو دَوَادَ.
Oleh karena itu; segala sesuatu yang menyerupai enam hal yang disebutkan dalam terwujudnya 'illah ini; dengan menjadi makanan yang ditakar atau makanan yang ditimbang atau terwujud padanya 'illah berharga jika ia termasuk uang; maka riba masuk ke dalamnya: jika ditambahkan pada 'illah kesatuan jenis; seperti menjual gandum dengan gandum misalnya; maka haram padanya kelebihan dan penundaan; karena sabdanya ﷺ: "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam; sama dengan sama, dari tangan ke tangan". Diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud.
وَمَعْنَى قَوْلِهِ: "يَدًا بِيَدٍ" أَيْ: حَالًا مَقْبُوضٌ فِي الْمَجْلِسِ قَبْلَ افْتِرَاقِ أَحَدِهِمَا عَنِ الْآخَرِ. وَإِنِ اخْتَلَفَ الْعِلَّةُ وَالْجِنْسُ؛ جَازَ الْأَمْرَانِ: التَّفَاضُلُ، وَالتَّأْجِيلُ؛ كَالذَّهَبِ بِالْبُرِّ، وَالْفِضَّةِ بِالشَّعِيرِ.
Makna perkataannya: "dari tangan ke tangan" yaitu: kontan diterima di majelis sebelum berpisah salah satu dari yang lain. Jika 'illah dan jenis berbeda; maka dua hal boleh: kelebihan, dan penundaan; seperti emas dengan gandum, dan perak dengan jelai.
ثُمَّ لِنَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ مَكِيلٍ بِجِنْسِهِ إِلَّا كَيْلًا وَلَا مَوْزُونٍ بِجِنْسِهِ إِلَّا وَزْنًا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ كَيْلًا بِكَيْلٍ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ كَيْلًا بِكَيْلٍ"، وَلِأَنَّ مَا خُولِفَ فِيهِ مَعْيَارُهُ الشَّرْعِيُّ لَا يَتَحَقَّقُ فِيهِ التَّسَاوِي؛ فَلَا يَجُوزُ بَيْعُ مَكِيلٍ
Kemudian ketahuilah bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang ditakar dengan jenisnya kecuali dengan takaran dan tidak pula yang ditimbang dengan jenisnya kecuali dengan timbangan; karena sabdanya ﷺ: "Emas dengan emas dengan timbangan, perak dengan perak dengan timbangan, gandum dengan gandum dengan takaran, jelai dengan jelai dengan takaran", dan karena apa yang diselisihi padanya standar syar'inya maka tidak terwujud padanya kesamaan; maka tidak boleh menjual sesuatu yang ditakar
بِجِنْسِهِ جُزَافًا، وَلَا بَيْعُ مَوْزُونٍ بِجِنْسِهِ جُزَافًا؛ لِعَدَمِ الْعِلْمِ بِالتَّسَاوِي، وَالْجَهْلُ بِالتَّسَاوِي كَالْعِلْمِ بِالتَّفَاضُلِ.
Tidak boleh menjual barang yang ditakar dengan jenisnya secara borongan, dan tidak boleh menjual barang yang ditimbang dengan jenisnya secara borongan; karena tidak diketahui kesamaannya, dan ketidaktahuan akan kesamaan seperti mengetahui adanya perbedaan.
ثُمَّ إِنَّ الصَّرْفَ هُوَ بَيْعُ نَقْدٍ بِنَقْدٍ سَوَاءٌ اتَّحَدَ الْجِنْسُ أَوِ اخْتَلَفَ، وَسَوَاءٌ كَانَ النَّقْدُ مِنَ الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ أَوْ مِنَ الْأَوْرَاقِ النَّقْدِيَّةِ الْمُتَعَامَلِ بِهَا فِي هَذَا الزَّمَانِ فَإِنَّهَا تَأْخُذُ حُكْمَ الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ؛ لِاشْتِرَاكِهَا مَعَهَا فِي عِلَّةِ الرِّبَا، وَهِيَ الثَّمَنِيَّةُ.
Kemudian sesungguhnya pertukaran mata uang adalah menjual uang dengan uang, baik jenisnya sama atau berbeda, dan baik uang itu berupa emas, perak, atau uang kertas yang digunakan pada zaman ini, maka uang kertas itu mengambil hukum emas atau perak; karena kesamaannya dengan keduanya dalam illat riba, yaitu sebagai alat tukar.
فَإِذَا بِيعَ نَقْدٌ بِجِنْسِهِ؛ كَذَهَبٍ بِذَهَبٍ، أَوْ فِضَّةٍ بِفِضَّةٍ، أَوْ وَرَقٍ نَقْدِيٍّ بِجِنْسِهِ؛ كَدُولَارٍ بِمِثْلِهِ، أَوْ دَرَاهِمَ وَرَقِيَّةٍ سُعُودِيَّةٍ بِمِثْلِهَا؛ وَجَبَ حِينَئِذٍ التَّسَاوِي فِي الْمِقْدَارِ وَالتَّقَايُضُ فِي الْمَجْلِسِ.
Jika uang dijual dengan jenisnya; seperti emas dengan emas, perak dengan perak, atau uang kertas dengan jenisnya; seperti dolar dengan yang semisalnya, atau uang kertas Saudi dengan yang semisalnya; maka wajib pada saat itu adanya kesamaan dalam jumlah dan serah terima di majelis.
وَإِنْ بِيعَ نَقْدٌ بِنَقْدٍ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ؛ كَدَرَاهِمَ سُعُودِيَّةٍ وَرَقِيَّةٍ بِدُولَارَاتٍ أَمْرِيكِيَّةٍ مَثَلًا، وَكَذَهَبٍ بِفِضَّةٍ؛ وَجَبَ حِينَئِذٍ شَيْءٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ الْحُلُولُ وَالتَّقَابُضُ فِي الْمَجْلِسِ، وَجَازَ التَّفَاضُلُ فِي الْمِقْدَارِ، وَكَذَا إِذَا بِيعَ حُلِيٌّ مِنَ الذَّهَبِ بِدَرَاهِمَ فِضَّةٍ أَوْ بِوَرَقٍ نَقْدِيٍّ؛ وَجَبَ الْحُلُولُ وَالتَّقَابُضُ فِي الْمَجْلِسِ، وَكَذَا إِذَا بِيعَ حُلِيٌّ مِنَ الْفِضَّةِ بِذَهَبٍ مَثَلًا.
Jika uang dijual dengan uang dari jenis yang berbeda; seperti uang kertas Saudi dengan dolar Amerika misalnya, dan seperti emas dengan perak; maka wajib pada saat itu satu hal, yaitu tunai dan serah terima di majelis, dan boleh adanya perbedaan dalam jumlah, demikian juga jika perhiasan emas dijual dengan dirham perak atau dengan uang kertas; wajib tunai dan serah terima di majelis, demikian juga jika perhiasan perak dijual dengan emas misalnya.
أَمَّا إِذَا بِيعَ الْحُلِيُّ مِنَ الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ بِحُلِيٍّ أَوْ نَقْدٍ مِنْ جِنْسِهِ؛ كَأَنْ يُبَاعَ الْحُلِيُّ مِنَ الذَّهَبِ بِذَهَبٍ، وَالْحُلِيُّ مِنَ الْفِضَّةِ بِفِضَّةٍ؛ وَجَبَ الْأَمْرَانِ:
Adapun jika perhiasan emas atau perak dijual dengan perhiasan atau uang dari jenisnya; seperti perhiasan emas dijual dengan emas, dan perhiasan perak dijual dengan perak; maka wajib dua hal:
التَّسَاوِي فِي الْوَزْنِ، وَالْحُلُولُ وَالتَّقَابُضُ فِي الْمَجْلِسِ.
Kesamaan dalam timbangan, dan tunai serta serah terima di majelis.
وَخَطَرُ الرِّبَا عَظِيمٌ، وَلَا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ مِنْهُ إِلَّا بِمَعْرِفَةِ أَحْكَامِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مَعْرِفَتَهَا بِنَفْسِهِ؛ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْأَلَ أَهْلَ الْعِلْمِ عَنْهَا، وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُقْدِمَ عَلَى مُعَامَلَةٍ إِلَّا بَعْدَ تَأَكُّدِهِ مِنْ خُلُوِّهَا مِنَ الرِّبَا؛ لِيَسْلَمَ بِذَلِكَ
Bahaya riba itu besar, dan tidak mungkin menjaga diri darinya kecuali dengan mengetahui hukum-hukumnya, dan barangsiapa tidak mampu mengetahuinya sendiri; maka ia harus bertanya kepada ahli ilmu tentangnya, dan tidak boleh baginya untuk melakukan transaksi kecuali setelah memastikan bahwa transaksi itu terbebas dari riba; agar ia selamat dengan itu.
دِينِهِ، وَيَنْجُو مِنْ عَذَابِ اللهِ الَّذِي تَوَعَّدَ بِهِ الْمُرَابِينَ، وَلَا يَجُوزُ تَقْلِيدُ النَّاسِ فِيمَا هُمْ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ بَصِيرَةٍ، خُصُوصًا فِي وَقْتِنَا هَذَا الَّذِي كَثُرَ فِيهِ عَدَمُ الْمُبَالَاةِ بِنَوْعِيَّةِ الْمَكَاسِبِ، وَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ ﷺ أَنَّهُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ يَكْثُرُ اسْتِعْمَالُ الرِّبَا، وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ؛ نَالَهُ مِنْ غُبَارِهِ.
agamanya, dan selamat dari azab Allah yang diancamkan kepada para pemakan riba, dan tidak boleh mengikuti orang-orang dalam apa yang mereka lakukan tanpa pengetahuan, terutama di zaman kita ini di mana ketidakpedulian terhadap jenis penghasilan telah meningkat, dan Nabi ﷺ telah memberitahu bahwa di akhir zaman penggunaan riba akan meningkat, dan siapa yang tidak memakannya; dia akan terkena debunya.
وَمِنَ الْمُعَامَلَاتِ الرِّبَوِيَّةِ الْمُعَاصِرَةِ قَلْبُ الدَّيْنِ عَلَى الْمُعْسِرِ: إِذَا حَلَّ وَلَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ سَدَادٌ؛ زِيدَ عَلَيْهِ الدَّيْنُ بِكَمِيَّاتٍ وَنِسْبَةٍ مُعَيَّنَةٍ حَسَبَ التَّأْخِيرِ، وَهَذَا هُوَ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ، وَهُوَ حَرَامٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ، وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ﴾ .
Dan di antara transaksi riba kontemporer adalah membalikkan utang pada orang yang kesulitan: jika jatuh tempo dan dia tidak memiliki pelunasan; utangnya ditambah dengan jumlah dan persentase tertentu sesuai dengan penundaan, dan ini adalah riba Jahiliyah, dan itu haram dengan konsensus umat Islam, dan Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
فَفِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ جُمْلَةُ تَهْدِيدَاتٍ عَنْ تَعَاطِي هَذَا النَّوْعِ مِنَ الرِّبَا:
Dalam ayat yang mulia ini terdapat serangkaian ancaman tentang keterlibatan dalam jenis riba ini:
أَوَّلًا: أَنَّهُ سُبْحَانَهُ نَادَي عِبَادَهُ بِاسْمِ الْإِيمَانِ، ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا﴾، وَقَالَ: ﴿إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ﴾؛ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ تَعَاطِي الرِّبَا لَا يَلِيقُ بِالْمُؤْمِنِ.
Pertama: bahwa Dia Mahasuci memanggil hamba-hamba-Nya dengan nama iman, "Wahai orang-orang yang beriman", dan berfirman: "jika kamu orang-orang yang beriman"; ini menunjukkan bahwa terlibat dalam riba tidak pantas bagi orang yang beriman.
ثَانِيًا: قَالَ تَعَالَى: ﴿اتَّقُوا اللَّهَ﴾؛ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الَّذِي يَتَعَاطَى الرِّبَا لَا يَتَّقِي اللهَ وَلَا يَخَافُهُ.
Kedua: Allah Ta'ala berfirman: "Bertakwalah kepada Allah"; ini menunjukkan bahwa orang yang terlibat dalam riba tidak bertakwa kepada Allah dan tidak takut kepada-Nya.
ثَالِثًا: قَالَ تَعَالَى: ﴿وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا﴾، أَيْ: اتْرُكُوا، وَهَذَا أَمْرٌ بِتَرْكِ الرِّبَا، وَالْأَمْرُ يُفِيدُ الْوُجُوبَ؛ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَنْ يَتَعَاطَى الرِّبَا قَدْ عَصَى أَمْرَ اللهِ.
Ketiga: Allah Ta'ala berfirman: "Dan tinggalkanlah sisa riba", artinya: tinggalkanlah, dan ini adalah perintah untuk meninggalkan riba, dan perintah menunjukkan kewajiban; maka ini menunjukkan bahwa siapa yang melakukan riba telah mendurhakai perintah Allah.
رَابِعًا: أَنَّهُ سُبْحَانَهُ أَعْلَنَ الْحَرْبَ عَلَى مَنْ لَمْ يَتْرُكْ التَّعَامُلَ بِالرِّبَا؛ فَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا﴾؛ أَيْ: لَمْ تَتْرُكُوا الرِّبَا؛ ﴿فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ﴾؛ أَيْ: اعْلَمُوا أَنَّكُمْ تُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ.
Keempat: Bahwa Allah Subhanahu telah mengumumkan perang terhadap orang yang tidak meninggalkan transaksi riba; maka Allah Ta'ala berfirman: "Jika kamu tidak mengerjakan", yaitu: tidak meninggalkan riba; "Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu", yaitu: ketahuilah bahwa kalian memerangi Allah dan Rasul-Nya.
خَامِسًا: تَسْمِيَةُ الْمُرَابِي ظَالِمًا، وَذَلِكَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ﴾ .
Kelima: Menyebut pelaku riba sebagai orang yang zalim, dan itu dalam firman Allah Ta'ala: "Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya".
وَمِنَ الْمُعَامَلَاتِ الرِّبَوِيَّةِ: الْقَرْضُ بِالْفَائِدَةِ؛ بِأَنْ يُقْرِضَهُ شَيْئًا؛ بِشَرْطِ أَنْ يُوفِيَهُ أَكْثَرَ مِنْهُ، أَوْ يَدْفَعَ إِلَيْهِ مَبْلَغًا مِنَ الْمَالِ عَلَى أَنْ يُوفِيَهُ أَكْثَرَ مِنْهُ بِنِسْبَةٍ مُعَيَّنَةٍ؛ كَمَا هُوَ الْمَعْمُولُ بِهِ فِي الْبُنُوكِ وَهُوَ رِبًا صَرِيحٌ؛ فَالْبُنُوكُ تَقُومُ بِعَقْدِ صَفَقَاتِ الْقُرُوضِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ ذَوِي الْحَاجَاتِ وَأَرْبَابِ التِّجَارَاتِ وَأَصْحَابِ الْمَصَانِعِ وَالْحِرَفِ الْمُخْتَلِفَةِ، فَتَدْفَعُ لِهَؤُلَاءِ مَبَالِغَ مِنَ الْمَالِ نَظِيرَ فَائِدَةٍ مُحَدَّدَةٍ بِنِسْبَةٍ مِئَوِيَّةٍ، وَتَزْدَادُ هَذِهِ النِّسْبَةُ فِي حَالَةِ التَّأَخُّرِ عَنِ السَّدَادِ فِي الْمَوْعِدِ الْمُحَدَّدِ، فَيَجْتَمِعُ فِي ذَلِكَ الرِّبَا بِنَوْعَيْهِ؛ رِبَا الْفَضْلِ، وَرِبَا النَّسِيئَةِ.
Dan di antara transaksi riba adalah: pinjaman berbunga; dengan meminjamkan sesuatu kepadanya; dengan syarat dia membayar lebih banyak darinya, atau memberikan sejumlah uang kepadanya dengan syarat dia membayar lebih banyak darinya dengan persentase tertentu; sebagaimana yang dipraktikkan di bank-bank dan itu adalah riba yang jelas; bank-bank melakukan akad pinjaman antara mereka dan orang-orang yang membutuhkan, pemilik perdagangan, pemilik pabrik, dan berbagai profesi, lalu memberikan kepada mereka sejumlah uang dengan imbalan bunga yang ditentukan dengan persentase, dan persentase ini meningkat jika terlambat membayar pada waktu yang ditentukan, maka terkumpul dalam hal itu riba dengan dua jenisnya; riba al-fadhl dan riba an-nasi'ah.
وَمِنَ الْمُعَامَلَاتِ الرِّبَوِيَّةِ: مَا يَجْرِي فِي الْبُنُوكِ مِنَ الْإِيدَاعِ بِالْفَائِدَةِ، وَهِيَ الْوَدَائِعُ الثَّابِتَةُ إِلَى أَجَلٍ، يَتَصَرَّفُ فِيهَا الْبَنْكُ إِلَى تَمَامِ الْأَجَلِ، وَيَدْفَعُ لِصَاحِبِهَا فَائِدَةً ثَابِتَةً بِنِسْبَةٍ مَعْنِيَّةٍ فِي الْمِئَةِ؛ كَعَشَرَةٍ أَوْ خَمْسَةٍ فِي الْمِئَةِ.
Dan di antara transaksi riba adalah: apa yang terjadi di bank berupa deposito berbunga, yaitu deposito tetap hingga jangka waktu tertentu, bank mengelolanya hingga akhir jangka waktu, dan membayar kepada pemiliknya bunga tetap dengan persentase tertentu; seperti sepuluh atau lima persen.
وَمِنَ الْمُعَامَلَاتِ الرِّبَوِيَّةِ: بَيْعُ الْعِينَةِ، وَهُوَ أَنْ يَبِيعَ سِلْعَةً بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ عَلَى شَخْصٍ، ثُمَّ يَعُودُ وَيَشْتَرِيهَا مِنْهُ بِثَمَنٍ حَالٍّ أَقَلَّ مِنَ الثَّمَنِ الْمُؤَجَّلِ، وَسُمِّيَتْ هَذِهِ الْمُعَامَلَةُ بَيْعَ الْعِينَةِ؛ لِأَنَّ مُشْتَرِيَ السِّلْعَةِ إِلَى أَجَلٍ يَأْخُذُ بَدَلَهَا عَيْنًا؛ أَيْ: نَقْدًا حَاضِرًا، وَالْبَيْعُ بِهَذِهِ الصُّورَةِ إِنَّمَا هُوَ حِيلَةٌ لِلتَّوَصُّلِ إِلَى الرِّبَا، وَقَدْ جَاءَ النَّهْيُ عَنْ هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ فِي أَحَادِيثَ وَآثَارٍ كَثِيرَةٍ؛ مِنْهَا قَوْلُهُ ﷺ: "إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ؛ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَقَالَ ﷺ: "يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَسْتَحِلُّونَ الرِّبَا بِالْبَيْعِ".
Dan di antara transaksi riba adalah: jual beli 'inah, yaitu seseorang menjual barang dengan harga yang ditangguhkan kepada seseorang, kemudian ia kembali dan membelinya darinya dengan harga tunai yang lebih rendah dari harga yang ditangguhkan. Transaksi ini disebut jual beli 'inah karena pembeli barang dengan pembayaran tertunda mengambil gantinya secara tunai, yaitu uang tunai. Jual beli dengan cara ini hanyalah tipu daya untuk sampai kepada riba. Larangan terhadap transaksi ini telah disebutkan dalam banyak hadits dan atsar, di antaranya sabda Nabi ﷺ: "Jika kalian berjual beli dengan cara 'inah, mengambil ekor sapi, rela dengan bercocok tanam, dan meninggalkan jihad; maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan Dia cabut sampai kalian kembali kepada agama kalian", diriwayatkan oleh Abu Dawud. Nabi ﷺ juga bersabda: "Akan datang suatu masa di mana orang-orang menghalalkan riba dengan jual beli".
فَاحْذَرُوا مِنْ دُخُولِ الرِّبَا فِي مُعَامَلَاتِكُمْ، وَاخْتِلَاطِهِ بِأَمْوَالِكُمْ؛ فَإِنَّ أَكْلَ الرِّبَا وَتَعَاطِيهِ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ، وَمَا ظَهَرَ الرِّبَا وَالزِّنَى فِي قَوْمٍ إِلَّا ظَهَرَ فِيهِمُ الْفَقْرُ وَالْأَمْرَاضُ الْمُسْتَعْصِيَةُ وَظُلْمُ السُّلْطَانِ، وَالرِّبَا يُهْلِكُ الْأَمْوَالَ وَيَمْحَقُ الْبَرَكَاتِ.
Maka berhati-hatilah dari masuknya riba dalam transaksi kalian dan bercampurnya dengan harta kalian, karena memakan riba dan melakukannya termasuk dosa besar. Tidaklah riba dan zina muncul pada suatu kaum kecuali muncul pula pada mereka kemiskinan, penyakit yang sulit disembuhkan, dan kezaliman penguasa. Riba menghancurkan harta dan menghapus keberkahan.
لَقَدْ شَدَّدَ اللهُ الْوَعِيدَ عَلَى أَكْلِ الرِّبَا، وَجَعَلَ أَكْلَهُ مِنْ أَفْحَشِ الْخَبَائِثِ وَأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ، وَبَيَّنَ عُقُوبَةَ الْمُرَابِي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ مُحَارِبٌ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ؛ فَعُقُوبَتُهُ فِي الدُّنْيَا أَنَّهُ يَمْحَقُ بَرَكَةَ الْمَالِ وَيُعَرِّضُهُ لِلتَّلَفِ وَالزَّوَالِ؛ فَكَمْ تَسْمَعُونَ مِنْ تَلَفِ الْأَمْوَالِ الْعَظِيمَةِ بِالْحَرِيقِ وَالْغَرَقِ وَالْفَيَضَانِ، فَيُصْبِحُ أَهْلُهَا فُقَرَاءَ بَيْنَ النَّاسِ،
Sungguh Allah telah mempertegas ancaman terhadap pemakan riba, dan menjadikan memakannya termasuk perbuatan keji yang paling buruk dan dosa besar yang paling besar. Allah menjelaskan hukuman bagi pemakan riba di dunia dan akhirat, dan mengabarkan bahwa ia adalah orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Hukumannya di dunia adalah Allah akan menghapus keberkahan hartanya dan membuatnya rentan rusak dan hilang. Betapa banyak kalian mendengar tentang musnahnya harta yang banyak karena kebakaran, tenggelam, dan banjir, sehingga pemiliknya menjadi orang-orang miskin di antara manusia.
وَإِنْ بَقِيَتْ هَذِهِ الْأَمْوَالُ الرِّبَوِيَّةُ بِأَيْدِي أَصْحَابِهَا؛ فَهِيَ مَمْحُوقَةُ الْبَرَكَةِ، لَا يَنْتَفِعُونَ مِنْهَا بِشَيْءٍ، إِنَّمَا يُقَاسُونَ أَتْعَابَهَا، وَيَتَحَمَّلُونَ حِسَابَهَا، وَيَصْلَوْنَ عَذَابَهَا،
Dan jika uang riba ini tetap berada di tangan pemiliknya; maka itu adalah uang yang terhapus keberkahannya, mereka tidak mendapatkan manfaat darinya sedikitpun, mereka hanya merasakan kelelahannya, menanggung perhitungannya, dan merasakan siksaannya,
وَالْمُرَابِي مَبْغُوضٌ عِنْدَ اللهِ وَعِنْدَ خَلْقِهِ؛ لِأَنَّهُ يَأْخُذُ وَلَا يُعْطِي، يَجْمَعُ وَيَمْنَعُ، لَا يُنْفِقُ وَلَا يَتَصَدَّقُ، شَحِيحٌ جَشِعٌ، جَمُوعٌ مَنُوعٌ، تَنْفِرُ مِنْهُ الْقُلُوبُ، وَيَنْبُذُهُ الْمُجْتَمَعُ،
dan pemberi riba dibenci oleh Allah dan makhluk-Nya; karena dia mengambil dan tidak memberi, mengumpulkan dan menahan, tidak menafkahkan dan tidak bersedekah, pelit dan tamak, rakus dan kikir, hati menjauh darinya, dan masyarakat mencampakkannya,
وَهَذِهِ عُقُوبَةٌ عَاجِلَةٌ، وَعُقُوبَتُهُ الْآجِلَةُ أَشَدُّ وَأَبْقَى؛ كَمَا بَيَّنَهَا اللهُ فِي كِتَابِهِ،
dan ini adalah hukuman yang segera, dan hukuman akhiratnya lebih berat dan abadi; sebagaimana Allah jelaskan dalam kitab-Nya,
وَمَا ذَاكَ إِلَّا لِأَنَّ الرِّبَا مَكْسَبٌ خَبِيثٌ، وَسُحْتٌ ضَارٍ، وَكَابُوسٌ ثَقِيلٌ عَلَى الْمُجْتَمَعَاتِ الْبَشَرِيَّةِ.
dan itu tidak lain karena riba adalah penghasilan yang kotor, keuntungan yang merusak, dan mimpi buruk yang berat bagi masyarakat manusia.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ بَيْعِ الْأُصُولِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ بَيْعِ الْأُصُولِ
Bab tentang hukum-hukum jual beli aset
الْأُصُولُ هِيَ الدُّورُ وَالْأَرَاضِي وَالْأَشْجَارُ، وَمَا يَتْبَعُ تِلْكَ الْأُصُولَ إِذَا بِيعَتْ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِهَا؛ فَيَكُونُ لِلْمُشْتَرِي، وَمَا لَا يَتْبَعُهَا؛ فَيَبْقَى عَلَى مِلْكِ الْبَائِعِ، وَمَعْرِفَةُ ذَلِكَ يَنْحَسِمُ بِهَا النِّزَاعُ بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ، وَيَعْرِفُ كُلٌّ مَالَهُ وَمَا عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ دِينَنَا لَمْ يَتْرُكْ شَيْئًا لَنَا فِيهِ مَصْلَحَةٌ أَوْ عَلَيْنَا فِيهِ مَضَرَّةٌ إِلَّا بَيَّنَهُ، فَإِذَا طُبِّقَ هَذَا الدِّينُ وَنُفِّذَتْ أَحْكَامُهُ؛ لَمْ يَبْقَ مَجَالٌ لِلنِّزَاعِ وَالْخُصُومَاتِ، وَمِنْ ذَلِكَ مَا نَحْنُ بِصَدَدِ الْحَدِيثِ عَنْهُ؛ فَقَدْ يَبِيعُ الْإِنْسَانُ شَيْئًا مِنْ مَالِهِ، وَهَذَا الشَّيْءُ يَتَعَلَّقُ بِهِ تَوَابِعُ وَمُكَمِّلَاتٌ وَمَرَافِقُ، أَوْ يَكُونُ لَهُ نَمَاءٌ مُتَّصِلٌ أَوْ مُنْفَصِلٌ، فَيَقَعُ اخْتِلَافٌ بَيْنَ الْمُتَابِعِينَ: أَيُّهُمَا يَسْتَحِقُّ هَذِهِ التَّوَابِعَ؟، وَلِأَجْلِ الْحُكْمِ بَيْنَهُمَا فِي هَذَا الِاخْتِلَافِ؛ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ ﵏ بَابًا فِي الْفِقْهِ الْإِسْلَامِيِّ سَمَّوْهُ: "بَابُ بَيْعِ الْأُصُولِ الثِّمَارِ"، بَيَّنُوا فِيهِ ذَلِكَ.
Aset adalah rumah, tanah, dan pohon, serta apa yang mengikuti aset-aset tersebut jika dijual yang terkait dengannya; maka itu menjadi milik pembeli, dan apa yang tidak mengikutinya; maka tetap menjadi milik penjual. Mengetahui hal itu dapat menyelesaikan perselisihan antara kedua pihak, dan masing-masing mengetahui apa yang menjadi haknya dan kewajibannya; karena agama kita tidak meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi kita atau membahayakan kita kecuali telah menjelaskannya. Jika agama ini diterapkan dan hukum-hukumnya dilaksanakan; maka tidak ada lagi ruang untuk perselisihan dan persengketaan. Termasuk yang sedang kita bicarakan; seseorang mungkin menjual sesuatu dari hartanya, dan sesuatu ini terkait dengan pengikut, pelengkap, dan fasilitas, atau memiliki pertumbuhan yang terhubung atau terpisah, lalu terjadi perbedaan di antara para pengikut: siapa yang berhak atas pengikut ini? Untuk memutuskan di antara mereka dalam perbedaan ini; para fuqaha ﵏ memiliki bab dalam fikih Islam yang mereka namakan: "Bab Jual Beli Aset dan Buah", mereka menjelaskan hal itu di dalamnya.
فَإِذَا بَاعَ دَارًا؛ شَمِلَ الْبَيْعُ بِنَاءَهَا وَسَقْفَهَا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ دَاخِلٌ فِي مُسَمَّى الدَّارِ، وَشَمِلَ أَيْضًا مَا يَتَّصِلُ بِهَا مِمَّا هُوَ مِنْ مَصْلَحَتِهَا؛ كَالْأَبْوَابِ الْمَنْصُوبَةِ، وَالسَّلَالِمِ، وَالرُّفُوفِ الْمُسَمَّرَةِ بِهَا، وَالْآلِيَاتِ الْمُرَكَّبَةِ فِيهَا، كَالرَّافِعَاتِ، وَالْأَدَوَاتِ الْكَهْرَبَائِيَّةِ، وَالْقَنَادِيلِ الْمُعَلَّقَةِ لِلْإِضَاءَةِ، وَخَزَانَاتِ
Jika seseorang menjual rumah; maka penjualan mencakup bangunan dan atapnya; karena semua itu termasuk dalam nama rumah, dan juga mencakup apa yang terhubung dengannya yang merupakan bagian dari kepentingannya; seperti pintu yang terpasang, tangga, rak yang dipaku padanya, mesin yang dipasang di dalamnya, seperti lift, peralatan listrik, lampu gantung untuk penerangan, dan lemari
الْمِيَاهُ الْمَدْفُونَةُ فِي الْأَرْضِ، أَوِ الْمُثَبَّتَةُ فَوْقَ السُّطُوحِ، وَالْأَنَابِيبُ الْمَمْدُودَةُ لِتَوْزِيعِ الْمَاءِ، وَأَدَوَاتُ التَّكْيِيفِ الْمُثَبَّتَةُ فِي أَمَاكِنِهَا لِتَكْيِيفِ الْهَوَاءِ أَوْ لِتَسْخِينِ الْمَاءِ، وَيَشْمَلُ الْبَيْعُ أَيْضًا مَا فِي الدَّارِ مِنْ أَشْجَارٍ وَزِرَاعَةٍ، وَمَا أُقِيمَ فِيهَا مِنْ مَظَلَّاتٍ، وَيَشْمَلُ الْبَيْعُ أَيْضًا مَا فِي بَاطِنِ أَرْضِ الدَّارِ مِنْ مَعْدِنٍ جَامِدٍ.
Air yang terkubur di dalam tanah, atau yang terpasang di atas permukaan, pipa-pipa yang terbentang untuk mendistribusikan air, dan peralatan pendingin yang terpasang di tempatnya untuk mendinginkan udara atau memanaskan air, dan penjualan juga mencakup apa yang ada di rumah dari pohon-pohon dan tanaman, dan apa yang didirikan di dalamnya dari naungan, dan penjualan juga mencakup apa yang ada di dalam tanah rumah dari mineral padat.
أَمَّا مَا كَانَ مُودَعًا فِي الدَّارِ وَمَا هُوَ مُنْفَصِلٌ عَنْهَا؛ فَلَا يَشْمَلُهُ الْبَيْعُ؛ كَالْأَخْشَابِ، وَالْحِبَالِ، وَالْأَوَانِي، وَالْفُرُشِ الْمُنْفَصِلَةِ، وَمَا دُفِنَ فِي أَرْضِهَا لِلْحِفْظِ؛ كَالْحِجَارَةِ، وَالْكُنُوزِ، وَغَيْرِهَا؛ فَكُلُّ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ لَا يَشْمَلُهَا الْبَيْعُ؛ لِأَنَّهَا مُنْفَصِلَةٌ عَنِ الدَّارِ، فَلَا تَدْخُلُ فِي مُسَمَّاهَا؛ إِلَّا مَا كَانَ يَتَعَلَّقُ بِمَصْلَحَتِهَا؛ كَالْمَفَاتِيحِ؛ فَإِنَّهُ يَتْبَعُهَا، وَلَوْ كَانَ مُنْفَصِلًا عَنْهَا.
Adapun apa yang disimpan di dalam rumah dan apa yang terpisah darinya; maka tidak termasuk dalam penjualan; seperti kayu, tali, wadah, dan perabotan yang terpisah, dan apa yang dikubur di tanahnya untuk penyimpanan; seperti batu, harta karun, dan lainnya; maka semua hal ini tidak termasuk dalam penjualan; karena ia terpisah dari rumah, maka tidak masuk dalam penamaannya; kecuali apa yang terkait dengan kemaslahatannya; seperti kunci-kunci; maka ia mengikutinya, meskipun ia terpisah darinya.
وَإِذَا بَاعَ أَرْضًا؛ شَمَلَ الْبَيْعُ كُلَّ مَا هُوَ مُتَّصِلٌ بِهَا مِمَّا يَسْتَمِرُّ بَقَاؤُهُ فِيهَا؛ كَالْغِرَاسِ، وَالْبِنَاءِ.
Dan jika ia menjual tanah; maka penjualan mencakup semua yang terhubung dengannya dari apa yang keberadaannya berlanjut di dalamnya; seperti tanaman dan bangunan.
وَكَذَا لَوْ بَاعَ بُسْتَانًا؛ شَمَلَ الْبَيْعُ أَرْضَهُ، وَشَجَرَهُ وَحِيطَانَهُ، وَمَا فِيهِ مِنْ مَنَازِلَ، وَبَاعَ أَرْضًا فِيهَا زَرْعٌ لَا يُحْصَدُ إِلَّا مَرَّةً؛ كَالْبُرِّ وَالشَّعِيرِ؛ فَهُوَ لِلْبَائِعِ، وَلَا يَشْمَلُهُ الْعَقْدُ، وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ الْمَبِيعَةِ زَرْعٌ يُجَزُّ مِرَارًا؛ كَالْقَثِّ، أَوْ يُلْقَطُ مِرَارًا؛ كَالْقِثَّاءِ، وَالْبَاذِنْجَانِ؛ فَإِنَّ أُصُولَهُ تَكُونُ لِمُشْتَرِي الْأَرْضِ؛ تَبَعًا لِلْأَرْضِ، وَأَمَّا الْجَزَّةُ وَاللَّقْطَةُ الظَّاهِرَتَانِ عِنْدَ الْبَيْعِ؛ فَإِنَّهُمَا تَكُونَانِ لِلْبَائِعِ.
Dan begitu pula jika ia menjual kebun; maka penjualan mencakup tanahnya, pohonnya, dindingnya, dan apa yang ada di dalamnya dari rumah-rumah, dan ia menjual tanah yang di dalamnya terdapat tanaman yang tidak dipanen kecuali sekali; seperti gandum dan jelai; maka ia untuk penjual, dan tidak termasuk dalam akad, dan jika di tanah yang dijual terdapat tanaman yang dipotong berulang kali; seperti rumput, atau dipetik berulang kali; seperti mentimun dan terong; maka akarnya menjadi milik pembeli tanah; mengikuti tanah, adapun potongan dan petikan yang tampak pada saat penjualan; maka keduanya menjadi milik penjual.
وَكُلُّ مَا ذُكِرَ مِنْ هَذَا التَّفْصِيلِ فِيمَا يَتْبَعُ لِلْبَائِعِ وَمَا يَتْبَعُ لِلْمُشْتَرِي عِنْدَ بَيْعِ الْأُصُولِ إِذَا لَمْ يُوجَدْ شَرْطٌ بَيْنَهُمَا،
Dan semua yang disebutkan dari perincian ini tentang apa yang mengikuti penjual dan apa yang mengikuti pembeli ketika menjual aset jika tidak ada syarat di antara mereka,
أَمَّا إِذَا وُجِدَ شَرْطٌ يُلْحِقُ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ بِأَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ وَجَبَ الْعَمَلُ بِهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ".
Namun, jika ada syarat yang menyertakan hal-hal ini kepada salah satu dari keduanya tanpa yang lain, maka wajib mengamalkannya; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka".
وَمَنْ بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَ طَلْعُهُ؛ فَثَمَرُهُ لِلْبَائِعِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: "مَنِ ابْتَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ؛ فَثَمَرَتُهَا لِلَّذِي بَاعَهَا؛ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْمُبْتَاعُ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَالتَّأْبِيرُ هُوَ التَّلْقِيحُ، وَمِثْلُ النَّخْلِ فِي هَذَا الْحُكْمِ شَجَرُ الْعِنَبِ وَالتُّوتِ وَالرُّمَّانِ، إِذَا بِيعَ بَعْدَ ظُهُورِ ثَمَرِهِ؛ كَانَ ثَمَرُهُ لِلْبَائِعِ، وَمَا قَبْلَ التَّأْبِيرِ فِي النَّخْلِ وَالظُّهُورِ فِي الْعِنَبِ وَنَحْوِهِ يَكُونُ لِلْمُشْتَرِي؛ لِمَفْهُومِ الْحَدِيثِ الشَّرِيفِ فِي النَّخْلِ، وَقِيَاسِ غَيْرِهِ عَلَيْهِ.
Barangsiapa menjual pohon kurma yang telah diserbuki mayangnya, maka buahnya milik penjual; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa membeli pohon kurma setelah diserbuki, maka buahnya milik penjual; kecuali jika pembeli mensyaratkannya", muttafaq 'alaih. At-Ta'bir adalah penyerbukan. Seperti pohon kurma dalam hukum ini adalah pohon anggur, murbei, dan delima, jika dijual setelah buahnya tampak; maka buahnya milik penjual. Adapun sebelum penyerbukan pada kurma dan sebelum tampak pada anggur dan sejenisnya, maka milik pembeli; berdasarkan pemahaman hadits yang mulia tentang kurma, dan mengqiyaskan yang lainnya kepadanya.
وَمِنْ هَذَا تَفْهَمُ كَمَالَ هَذِهِ الشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ، وَحَلَّهَا لِمَشَاكِلِ النَّاسِ، وَأَنَّهَا تُعْطِي كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ؛ مِنْ غَيْرِ ظُلْمٍ وَلَا إِضْرَارٍ بِالْآخَرِينَ؛ فَمَا مِنْ مُشْكِلَةٍ لَا وَضَعَتْ لَهَا حَلًّا كَافِيًا، مُشْتَمِلًا عَلَى الْمَصْلَحَةِ وَالْحِكْمَةِ، تَشْرِيعٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ، يَعْلَمُ مَا يُصْلِحُ عِبَادَهُ وَمَا يَضُرُّهُمْ فِي كُلِّ زَمَانٍ وَمَكَانٍ.
Dari sini, Anda memahami kesempurnaan syariat Islam ini, dan penyelesaiannya terhadap masalah-masalah manusia, dan bahwa ia memberikan setiap pemilik hak akan haknya; tanpa kezaliman dan tanpa merugikan orang lain; maka tidak ada masalah kecuali ia meletakkan solusi yang memadai untuknya, yang mencakup kemaslahatan dan hikmah, syariat dari Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji, yang mengetahui apa yang memperbaiki hamba-hamba-Nya dan apa yang membahayakan mereka di setiap zaman dan tempat.
وَصَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ حَيْثُ يَقُولُ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا﴾؛ فَلَا يَحْسِمُ النِّزَاعَ بَيْنَ النَّاسِ وَيُحَقِّقُ الْمَصَالِحَ وَيُقْنِعُ النُّفُوسَ الْمُؤْمِنَةَ؛ إِلَّا حُكْمُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ،
Dan Mahabenar Allah Yang Mahaagung di mana Dia berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya"; maka tidak ada yang dapat menyelesaikan perselisihan di antara manusia, mewujudkan kemaslahatan, dan meyakinkan jiwa-jiwa yang beriman; kecuali hukum Allah dan Rasul-Nya.
أَمَّا أَنْظِمَةُ الشَّرِّ؛ فَهِيَ قَاصِرَةٌ قُصُورَ الْبَشَرِ، وَتَدْخُلُهَا الأَهْوَاءُ وَالنَّزَعَاتُ؛ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ﴾؛
Adapun sistem-sistem kejahatan; itu terbatas seperti keterbatasan manusia, dan dimasuki oleh hawa nafsu dan kecenderungan; sebagaimana Allah Ta'ala berfirman: "Dan sekiranya kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya."
فَتُبًّا وَبُعْدًا وَسُحْقًا لِعُقُولٍ تَسْتَبْدِلُ حُكْمَ اللهِ وَرَسُولِهِ بِقَوَانِينِ الْبَشَرِ، ﴿أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ﴾ .
Maka celakalah dan jauh serta binasakanlah akal-akal yang mengganti hukum Allah dan Rasul-Nya dengan hukum-hukum manusia, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَنْصُرَ دِينَهُ، وَيُعْلِيَ كَلِمَتَهُ، وَيَحْمِيَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ كَيْدِ أَعْدَائِهِمْ؛ إِنَّهُ سَمِيعٌ مُجِيبٌ
Kami memohon kepada Allah agar menolongkan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan melindungi kaum muslimin dari tipu daya musuh-musuh mereka; sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ بَيْعِ الثِّمَارِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ بَيْعِ الثِّمَارِ
Bab tentang hukum-hukum jual beli buah-buahan
الْمُرَادُ بِالثِّمَارِ مَا عَلَى النَّخِيلِ وَغَيْرِهَا مِنَ الثِّمَارِ الْمَقْصُودَةِ لِلْأَكْلِ.
Yang dimaksud dengan buah-buahan adalah apa yang ada pada pohon kurma dan pohon lainnya dari buah-buahan yang dimaksudkan untuk dimakan.
إِذَا بِيعَتْ هَذِهِ الثِّمَارُ دُونَ أُصُولِهَا؛ فَإِنَّهُ لَا يَصِحُّ ذَلِكَ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ "نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا؛ نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ"؛ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ؛ فَنَهَى ﷺ الْبَائِعَ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا؛ لِئَلَّا يَأْكُلَ الْمَالَ بِالْبَاطِلِ، وَنَهَى الْمُشْتَرِيَ؛ لِأَنَّهُ يُعِينُ عَلَى أَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ.
Jika buah-buahan ini dijual tanpa pohonnya; maka tidak sah sebelum tampak kematangannya; karena Nabi ﷺ "melarang menjual buah-buahan sebelum tampak kematangannya; beliau melarang penjual dan pembeli"; muttafaq 'alaih; maka Nabi ﷺ melarang penjual menjual buah sebelum tampak kematangannya; agar tidak memakan harta dengan cara yang batil, dan melarang pembeli; karena ia membantu memakan harta dengan cara yang batil.
وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ": أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تَزْهُوَ قِيلَ: وَمَا زُهُوُّهَا؟ قَالَ: "تَحْمَارُّ أَوْ تَصْفَارُّ".
Dalam "Shahihain": bahwa Nabi ﷺ melarang menjual buah-buahan hingga bersinar. Ditanyakan: "Apa itu bersinar?" Beliau bersabda: "Memerah atau menguning".
وَالنَّهْيُ فِي الْحَدِيثَيْنِ يَقْتَضِي فَسَادَ الْمَبِيعِ وَعَدَمَ صِحَّتِهِ.
Larangan dalam dua hadits ini menunjukkan rusaknya barang yang dijual dan tidak sahnya.
وَكَذَا لَا يَجُوزُ بَيْعُ الزَّرْعِ قَبْلَ اشْتِدَادِ حَبِّهِ؛ لِمَا رَوَى مُسْلِمٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ: "أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ نَهَى عَنْ بَيْعِ النَّخِيلِ حَتَّى يَزْهُوَ، وَعَنْ بَيْعِ السُّنْبُلِ
Demikian pula tidak boleh menjual tanaman sebelum bijinya mengeras; karena Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar: "Bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang menjual kurma hingga bersinar, dan melarang menjual gandum
حَتَّى يَبِيضَ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ؛ نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ"؛ فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى مَنْعِ بَيْعِ الزَّرْعِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ، وَبُدُوُّ صَلَاحِهِ أَنْ يَبِيضَ وَيَشْتَدَّ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ.
Sampai memutih dan aman dari cacat; melarang penjual dan pembeli"; maka hadits ini menunjukkan larangan menjual tanaman sampai tampak kebaikannya, dan tampaknya kebaikannya adalah memutih, mengeras, dan aman dari cacat.
وَالْحِكْمَةُ فِي النَّهْيِ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهِ، وَعَنْ بَيْعِ الزَّرْعِ قَبْلَ اشْتِدَادِ حَبِّهِ؛ لِأَنَّهُ فِي تِلْكَ الْفَتْرَةِ مُعَرَّضٌ لِلْآفَاتِ غَالِبًا، مُعَرَّضٌ لِلتَّلَفِ؛ كَمَا بَيَّنَ ذَلِكَ النَّبِيُّ ﷺ بِقَوْلِهِ: "أَرَأَيْتَ إِنْ مَنَعَ اللهُ الثَّمَرَةَ؛ بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ؟ "، وَقَالَ فِي السُّنْبُلِ: "حَتَّى يَبِيضَ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ"، وَالْعَاهَةُ هِيَ الْآفَةُ الَّتِي تُصِيبُهُ فَيَفْسُدُ، وَفِي ذَلِكَ رَحْمَةٌ بِالنَّاسِ، وَحِفْظٌ لِأَمْوَالِهِمْ، وَقَطْعٌ لِلنِّزَاعِ الَّذِي قَدْ يُفْضِي إِلَى الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ.
Hikmah dalam larangan menjual buah sebelum tampak kebaikannya, dan menjual tanaman sebelum bijinya mengeras; karena pada masa itu rentan terhadap hama, rentan rusak; sebagaimana dijelaskan oleh Nabi ﷺ dengan sabdanya: "Bagaimana pendapatmu jika Allah menahan buahnya; dengan apa salah seorang dari kalian mengambil harta saudaranya?" Dan beliau bersabda tentang bulir: "Sampai memutih dan aman dari cacat", dan cacat adalah hama yang menimpanya sehingga rusak, dan dalam hal itu terdapat rahmat bagi manusia, menjaga harta mereka, dan memutus perselisihan yang dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian.
وَمِنْ هُنَا نُدْرِكُ حُرْمَةَ مَالِ الْمُسْلِمِ؛ فَقَدْ قَالَ ﷺ: "أَرَأَيْتَ إِنْ مَنَعَ اللهُ الثَّمَرَةَ؛ بِمَ يَسْتَحِلُّ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ؟ "؛ فَفِي هَذَا تَنْبِيهٌ وَزَجْرٌ لِلَّذِينَ يَحْتَالُونَ عَلَى النَّاسِ لِاقْتِنَاصِ أَمْوَالِهِمْ بِشَتَّى الْحِيَلِ؛ كَمَا أَنَّ فِي الْحَدِيثِ حَثًّا لِلْمُسْلِمِ عَلَى حِفْظِ مَالِهِ وَعَدَمِ إِضَاعَتِهِ؛ حَيْثُ نَهَى النَّبِيُّ ﷺ الْمُشْتَرِيَ أَنْ يَشْتَرِيَ الثَّمَرَةَ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا وَغَلَبَةِ السَّلَامَةِ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهَا لَوْ تَلِفَتْ وَقَدْ بَذَلَ فِيهَا مَالَهُ؛ لَضَاعَ، وَصَعُبَ اسْتِرْجَاعُهُ مِنَ الْبَائِعِ أَوْ تَعَذَّرَ.
Dari sini kita memahami keharaman harta seorang Muslim; Nabi ﷺ bersabda: "Bagaimana pendapatmu jika Allah menahan buahnya; dengan apa salah seorang dari kalian menghalalkan harta saudaranya?" Dalam hal ini terdapat peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang menipu manusia untuk mengambil harta mereka dengan berbagai tipu daya; sebagaimana dalam hadits terdapat dorongan bagi seorang Muslim untuk menjaga hartanya dan tidak menyia-nyiakannya; di mana Nabi ﷺ melarang pembeli untuk membeli buah sebelum tampak kebaikannya dan keselamatan yang dominan padanya; karena jika buah itu rusak dan dia telah mengeluarkan hartanya untuk itu; maka akan sia-sia, dan sulit untuk mendapatkannya kembali dari penjual atau tidak mungkin.
كَمَا نَفْهَمُ مِنَ الْحَدِيثِ الشَّرِيفِ تَعْلِيقَ الْحُكْمِ بِالْغَالِبِ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الثَّمَرَةِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا التَّلَفُ؛ فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا، وَالْغَالِبُ عَلَيْهَا بَعْدَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا السَّلَامَةُ؛ فَيَجُوزُ بَيْعُهَا.
Sebagaimana kita memahami dari hadits yang mulia ini, menggantungkan hukum pada apa yang dominan; karena yang dominan pada buah sebelum tampak kebaikannya adalah kerusakan; maka tidak boleh menjualnya, dan yang dominan padanya setelah tampak kebaikannya adalah keselamatan; maka boleh menjualnya.
وَنَأْخُذُ مِنَ الحَدِيثِ أَيْضًا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يُخَاطِرَ بِمَالِهِ وَيُعَرِّضَهُ لِلضَّيَاعِ، وَلَوْ عَنْ طَرِيقِ الْمُعَاوَضَةِ غَيْرِ الْمَأْمُونَةِ الْعَاقِبَةِ.
Kita juga mengambil dari hadits bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mempertaruhkan hartanya dan menghadapkannya pada kehilangan, meskipun melalui pertukaran yang tidak terjamin akibatnya.
وَحَيْثُ عَلِمْنَا مِمَّا سَبَقَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ الثَّمَرَةِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا؛ فَإِنَّمَا يَعْنِي ذَلِكَ إِذَا بِيعَتْ مُنْفَرِدَةً عَنْ أُصُولِهَا بِشَرْطِ الْبَقَاءِ.
Dan ketika kita mengetahui dari apa yang telah lalu bahwa tidak boleh menjual buah sebelum tampak kematangannya; maka yang dimaksud dengan itu adalah jika dijual terpisah dari pohonnya dengan syarat tetap.
أَمَّا إِذَا كَانَتْ تَابِعَةً لِأُصُولِهَا أَوْ بِغَيْرِ شَرْطِ الْبَقَاءِ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ يَجُوزُ؛ وَذَلِكَ عَلَى ثَلَاثِ صُوَرٍ ذَكَرَهَا الْفُقَهَاءُ ﵏:
Adapun jika mengikuti pohonnya atau tanpa syarat tetap; maka hal itu diperbolehkan; dan itu dalam tiga bentuk yang disebutkan oleh para fuqaha ﵏:
الصُّورَةُ الْأُولَى: إِذَا بِيعَ الثَّمَرُ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهِ بِأُصُولِهِ؛ بِأَنْ يَبِيعَ الثَّمَرَ مَعَ الشَّجَرِ، فَيَصِحُّ ذَلِكَ، وَيَدْخُلُ الثَّمَرُ تَبَعًا وَكَذَا إِذَا بَاعَ الزَّرْعَ الْأَخْضَرَ مَعَ أَرْضِهِ؛ جَازَ ذَلِكَ، وَدَخَلَ الزَّرْعُ الْأَخْضَرُ تَبَعًا.
Bentuk pertama: Jika buah dijual sebelum tampak kematangannya dengan pohonnya; dengan menjual buah bersama pohon, maka itu sah, dan buah masuk sebagai pengikut. Demikian pula jika menjual tanaman hijau bersama tanahnya; maka itu diperbolehkan, dan tanaman hijau masuk sebagai pengikut.
الصُّورَةُ الثَّانِيَةُ: إِذَا بِيعَ الثَّمَرُ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهِ أَوِ الزَّرْعُ الْأَخْضَرُ لِمَالِكِ الْأَصْلِ؛ أَيْ: مَالِكِ الشَّجَرِ أَوْ مَالِكِ الْأَرْضِ؛ جَازَ ذَلِكَ أَيْضًا؛ لِأَنَّهُ إِذَا بَاعَهَا لِمَالِكِ الْأَصْلِ؛ فَقَدْ حَصَلَ التَّسْلِيمُ لِلْمُشْتَرِي عَلَى الْكَمَالِ لِمِلْكِهِ الْأَصْلَ وَالْقَرَارَ، فَصَحَّ الْبَيْعُ؛ عَلَى خِلَافٍ فِي هَذِهِ الصُّورَةِ؛ لِأَنَّ بَعْضَ الْعُلَمَاءِ يَرَى أَنَّ هَذِهِ الصُّورَةَ تَدْخُلُ فِي عُمُومِ النَّهْيِ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهِ.
Bentuk kedua: Jika buah dijual sebelum tampak kematangannya atau tanaman hijau kepada pemilik pohon; yaitu: pemilik pohon atau pemilik tanah; maka itu juga diperbolehkan; karena jika dia menjualnya kepada pemilik pohon; maka penyerahan telah terjadi kepada pembeli dengan sempurna karena kepemilikannya atas pohon dan ketetapan, maka jual beli sah; dengan perbedaan pendapat dalam bentuk ini; karena sebagian ulama berpendapat bahwa bentuk ini termasuk dalam keumuman larangan menjual buah sebelum tampak kematangannya.
الصُّورَةُ الثَّالِثَةُ: بَيْعُ الثَّمَرِ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهِ وَالزَّرْعِ قَبْلَ اشْتِدَادِ حَبِّهِ بِشَرْطِ الْقَطْعِ فِي الْحَالِ، وَكَانَ يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِمَا إِذَا قُطِعَا؛ لِأَنَّ الْمَنْعَ مِنَ الْبَيْعِ لِخَوْفِ التَّلَفِ وَحُدُوثِ الْعَاهَةِ، وَهَذَا مَأْمُونٌ فِيمَا يُقْطَعُ فِي الْحَالِ، أَمَّا إِذَا لَمْ يُنْتَفَعْ بِهِمَا إِذَا قُطِعَا؛ فَإِنَّهُ لَا يَصِحُّ بَيْعُهُمَا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ إِفْسَادٌ
Bentuk ketiga: Menjual buah sebelum tampak kematangannya dan tanaman sebelum bijinya mengeras dengan syarat dipotong seketika, dan keduanya bisa dimanfaatkan jika dipotong; karena larangan menjual karena khawatir rusak dan terjadi cacat, dan ini aman pada apa yang dipotong seketika. Adapun jika keduanya tidak bisa dimanfaatkan jika dipotong; maka tidak sah menjual keduanya; karena itu merusak.
وَإِضَاعَةٌ لِلْمَالِ، وَقَدْ نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنْ إِضَاعَةِ الْمَالِ.
Dan pemborosan harta, dan Nabi ﷺ telah melarang memboroskan harta.
وَيَجُوزُ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ بَيْعُ مَا يَتَكَرَّرُ أَخْذُهُ كَالْقَتِّ وَالْبَقْلِ وَالْقِثَّاءِ وَالْبَاذِنْجَانِ؛ فَيَجُوزُ بَيْعُ لُقْطَتِهِ وَجَزْتِهِ الْحَاضِرَةِ وَالْمُسْتَقْبَلَةِ.
Dan diperbolehkan menurut pendapat yang benar dari dua pendapat ulama untuk menjual apa yang diambil berulang kali seperti القت, البقل, القثاء, dan الباذنجان; maka diperbolehkan menjual لقطة dan جزة yang ada sekarang dan yang akan datang.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "الصَّحِيحُ أَنَّ هَذِهِ لَمْ تَدْخُلْ فِي نَهْيِ النَّبِيِّ ﷺ، بَلْ يَصِحُّ الْعَقْدُ عَلَى اللُّقْطَةِ الْمَوْجُودَةِ وَاللُّقْطَةِ الْمَعْدُومَةِ إِلَى أَنْ تَيْبَسَ الْمَقْثَاةُ؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ دَاعِيَةٌ إِلَى ذَلِكَ، فَيَجُوزُ بَيْعُ الْمَقَاثِي دُونَ أُصُولِهَا".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Yang benar adalah bahwa ini tidak termasuk dalam larangan Nabi ﷺ, bahkan sah akad atas لقطة yang ada dan لقطة yang tidak ada sampai المقثاة mengering; karena kebutuhan menuntut demikian, maka boleh menjual المقاثي tanpa أصول-nya."
وَقَالَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "وَإِنَّمَا نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ الَّتِي يُمْكِنُ تَأْخِيرُ بَيْعِهَا حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا، فَلَمْ تَدْخُلِ الْمَقَاثِي فِي نَهْيِهِ" انْتَهَى.
Al-Allamah Ibnul Qayyim ﵀ berkata: "Sesungguhnya beliau hanya melarang menjual buah-buahan yang mungkin ditunda penjualannya hingga tampak matangnya, maka المقاثي tidak termasuk dalam larangannya." Selesai.
بَابٌ فِي وَضْعِ الْجَوَائِحِ
بَابٌ فِي وَضْعِ الْجَوَائِحِ
Bab tentang pengguguran bencana
الْجَوَائِحُ جَمْعُ جَائِحَةٍ، وَهِيَ الْآفَةُ الَّتِي تُصِيبُ الثِّمَارَ فَتُهْلِكُهَا، مَأْخُوذَةٌ مِنَ الْجَوْحِ وَهُوَ الِاسْتِئْصَالُ.
Al-Jawā'iḥ adalah bentuk jamak dari jā'iḥah, yaitu bencana yang menimpa buah-buahan sehingga merusaknya, diambil dari kata al-jawḥ yang berarti pemusnahan.
فَإِذَا بِيعَتِ الثَّمَرَةُ بَعْدَ بَدْوِ صَلَاحِهَا، حَيْثُ يَجُوزُ بَيْعُهَا عِنْدَ ذَلِكَ، فَأُصِيبَتْ بِآفَةٍ سَمَاوِيَّةٍ أَتْلَفَتْهَا، وَالْآفَةُ السَّمَاوِيَّةُ هِيَ مَا لَا صُنْعَ لِلْآدَمِيِّ فِيهَا؛ كَالرِّيحِ وَالْحَرِّ وَالْعَطَشِ، وَالْمَطَرِ، وَالْبَرْدِ، وَالْجَرَادِ ... وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الْآفَاتِ الْقَاهِرَةِ الَّتِي تَأْتِي عَلَى الثِّمَارِ فَتُتْلِفُهَا، فَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ الثَّمَرَةُ التَّالِفَةُ قَدْ بِيعَتْ وَلَمْ يَتَمَكَّنِ الْمُشْتَرِي مِنْ أَخْذِهَا حَتَّى أُصِيبَتْ وَتَلِفَتْ؛ فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ يَرْجِعُ عَلَى الْبَائِعِ، وَيَسْتَرِدُّ الثَّمَنَ الَّذِي دَفَعَهُ لَهُ؛ لِحَدِيثِ جَابِرٍ ﵁: " أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ بِوَضْعِ الْجَوَائِحِ "، رَوَاهُ مُسْلِمٌ،
Jika buah dijual setelah tampak matang, di mana saat itu diperbolehkan untuk menjualnya, lalu terkena bencana dari langit yang merusaknya, dan bencana dari langit adalah sesuatu yang tidak ada campur tangan manusia di dalamnya; seperti angin, panas, kekeringan, hujan, dingin, belalang ... dan semacamnya dari bencana-bencana yang datang menimpa buah-buahan lalu merusaknya, jika buah yang rusak ini telah dijual dan pembeli belum dapat mengambilnya hingga terkena bencana dan rusak; maka pembeli kembali kepada penjual, dan meminta kembali harga yang telah dibayarkannya kepadanya; berdasarkan hadits Jabir ﵁: "Bahwasanya Nabi ﷺ memerintahkan untuk menggugurkan bencana", diriwayatkan oleh Muslim,
فَدَلَّ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى أَنَّ الثَّمَرَةَ التَّالِفَةَ تَكُونُ مِنْ مِلْكِ الْبَائِعِ، وَأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ عَلَى الْمُشْتَرِي مِنْ ثَمَنِهَا شَيْئًا، فَإِنْ تَلِفَتْ كُلُّهَا؛ رَجَعَ الْمُشْتَرِي بِالثَّمَنِ كُلِّهِ، وَإِنْ تَلِفَ بَعْضُهَا؛ رَجَعَ الْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ فِيمَا يُقَابِلُهُ مِنَ الثَّمَنِ؛ لِعُمُومِ الْحَدِيثِ،
Maka hadits ini menunjukkan bahwa buah yang rusak menjadi milik penjual, dan bahwa ia tidak berhak atas harganya sedikitpun dari pembeli, jika semuanya rusak; maka pembeli kembali dengan seluruh harganya, dan jika sebagiannya rusak; maka pembeli kembali kepada penjual pada apa yang sesuai dengannya dari harga; karena keumuman hadits,
وَسَوَاءٌ كَانَ الْبَيْعُ قَبْلَ بَدْوِ الصَّلَاحِ أَوْ بَعْدَهُ، لِعُمُومِ الْحَدِيثِ، وَلِقَوْلِهِ ﷺ: "بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ؟ "، وَإِذَا كَانَ التَّالِفُ يَسِيرًا لَا يَنْضَبِطُ؛ فَإِنَّهُ يَفُوتُ عَلَى الْمُشْتَرِي، وَلَا يَكُونُ مِنْ مَسْؤُولِيَّةِ الْبَائِعِ، لِأَنَّ هَذَا مِمَّا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ، وَلَا يُسَمَّى جَائِحَةً، وَلَا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ مِنْهُ؛ كَمَا لَوْ أَكَلَ مِنْهُ الطَّيْرُ أَوْ تَسَاقَطَ فِي الْأَرْضِ وَنَحْوُ ذَلِكَ، وَحَدَّدَهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ بِمَا دُونَ الثُّلُثِ، وَالْأَقْرَبُ أَنَّهُ لَا يَتَحَدَّدُ بِذَلِكَ، بَلْ يُرْجَعُ فِيهِ إِلَى الْعُرْفِ؛ لِأَنَّ التَّحْدِيدَ يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ.
Dan sama saja apakah penjualan itu sebelum tampaknya kebaikan atau sesudahnya, karena keumuman hadits, dan karena sabda Nabi ﷺ: "Dengan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?" Dan jika yang rusak itu sedikit dan tidak terukur, maka itu menjadi tanggungan pembeli, dan tidak menjadi tanggung jawab penjual, karena ini adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, dan tidak disebut bencana, dan tidak mungkin dijaga darinya; seperti jika dimakan oleh burung atau berjatuhan di tanah dan semisalnya. Sebagian ulama membatasinya dengan sepertiga, dan yang lebih dekat adalah bahwa itu tidak terbatas dengannya, tetapi dikembalikan kepada 'urf; karena pembatasan membutuhkan dalil.
وَقَدْ عَلَّلَ الْعُلَمَاءُ ﵏ تَضْمِينَ الْبَائِعِ جَاحَةَ الثَّمَرَةِ؛ بِأَنَّ قَبْضَ الثَّمَرَةِ عَلَى رُؤُوسِ الشَّجَرِ بِالتَّخْلِيَةِ قَبْضٌ غَيْرُ تَامٍّ؛ فَهُوَ كَمَا لَوْ لَمْ يَقْبِضْهَا.
Para ulama ﵏ menjelaskan bahwa penjual bertanggung jawab atas kerusakan buah karena menerima buah di atas pohon dengan meninggalkannya adalah penerimaan yang tidak sempurna; maka itu seperti jika dia belum menerimanya.
هَذَا مَا يَتَعَلَّقُ بِتَلَفِ الثَّمَرَةِ بِجَاحَةٍ سَمَاوِيَّةٍ، أَمَّا إِذَا تَلِفَتْ بِفِعْلِ آدَمِيٍّ بِنَحْوِ حَرِيقٍ؛ فَإِنَّهُ حِينَئِذٍ يُخَيَّرُ الْمُشْتَرِي بَيْنَ فَسْخِ الْبَيْعِ وَمُطَالَبَةِ الْبَائِعِ بِمَا دَفَعَ مِنَ الثَّمَنِ وَيَرْجِعُ الْبَائِعُ عَلَى الْمُتْلِفِ فَيُطَالِبُهُ بِضَمَانِ مَا أَتْلَفَ، وَبَيْنَ إِمْضَاءِ الْبَيْعِ وَمُطَالَبَةِ الْمُتْلِفِ بِبَدَلِ مَا أَتْلَفَ.
Ini berkaitan dengan kerusakan buah karena bencana dari langit. Adapun jika rusak karena perbuatan manusia seperti kebakaran, maka pembeli diberi pilihan antara membatalkan jual beli dan menuntut penjual atas apa yang telah dia bayarkan dari harga, dan penjual kembali kepada perusak dan menuntutnya untuk menjamin apa yang dia rusak, atau melanjutkan jual beli dan menuntut perusak untuk mengganti apa yang dia rusak.
وَعَلَامَةُ بُدُوِّ الصَّلَاحِ فِي غَيْرِ النَّخْلِ أَيْ: الْعَلَامَةُ الَّتِي يُعْرَفُ بِهَا صَلَاحُ الثَّمَرَةِ الَّذِي عَلَّقَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ ﷺ جَوَازَ بَيْعِهَا فِي غَيْرِ النَّخْلِ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الشَّجَرِ؛ فَبُدُوُّ الصَّلَاحِ فِي الْعِنَبِ: أَنْ يَتَمَّوَّهَ حُلْوًا؛ لِقَوْلِ أَنَسٍ: "نَهَى
Dan tanda tampaknya kebaikan pada selain kurma, yaitu: tanda yang dengannya diketahui kebaikan buah yang Nabi ﷺ mengaitkan kebolehan menjualnya pada selain kurma, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan pohon; maka tampaknya kebaikan pada anggur adalah menjadi manis; karena perkataan Anas: "Nabi melarang
نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ،
Nabi ﷺ melarang menjual anggur sampai menghitam", diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya terpercaya,
وَعَلَامَةُ بُدُوِّ الصَّلَاحِ فِي بَقِيَّةِ الثِّمَارِ كَالتُّفَّاحِ وَالْبِطِّيخِ وَالرُّمَّانِ وَالْمِشْمِشِ وَالْخَوْخِ وَالْجَوْزِ وَنَحْوِ ذَلِكَ: أَنْ يَبْدُوَ فِيهِ النُّضْجُ وَيَطِيبَ أَكْلُهُ؛
dan tanda-tanda awal kematangan pada buah-buahan lainnya seperti apel, semangka, delima, aprikot, persik, kenari, dan sejenisnya adalah: tampak padanya kematangan dan enaknya dimakan;
لِأَنَّهُ ﵊: "نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تَطِيبَ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَفِي لَفْظٍ: "حَتَّى يَطِيبَ أَكْلُهُ"،
karena Nabi ﷺ: "melarang menjual buah-buahan sampai matang", disepakati, dan dalam satu lafal: "sampai enaknya dimakan",
وَبُدُوُّ الصَّلَاحِ فِي نَحْوِ قِثَّاءٍ أَنْ يُؤْكَلَ عَادَةً،
dan awal kematangan pada mentimun dan sejenisnya adalah biasanya dimakan,
وَعَلَامَةُ بُدُوِّ الصَّلَاحِ فِي الْحَبِّ أَنْ يَشْتَدَّ وَيَبْيَضَّ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ جَعَلَ اشْتِدَادَ الْحَبِّ غَايَةً لِصِحَّةِ بَيْعِهِ.
dan tanda awal kematangan pada biji-bijian adalah mengeras dan memutih; karena Nabi ﷺ menjadikan mengerasnya biji-bijian sebagai batas akhir untuk sahnya penjualan.
بَابٌ فِيمَا يَتْبَعُ الْمَبِيعَ وَمَا لَا يَتْبَعُهُ
بَابٌ فِيمَا يَتْبَعُ الْمَبِيعَ وَمَا لَا يَتْبَعُهُ
Bab tentang apa yang mengikuti barang yang dijual dan apa yang tidak mengikutinya
هُنَاكَ أَشْيَاءٌ تَدْخُلُ تَبَعَ الْمَبِيعِ، فَتَكُونُ لِلْمُشْتَرِي؛ مَا لَمْ يَسْتَثْنِهَا الْبَائِعُ، مِنْ ذَلِكَ:
Ada hal-hal yang termasuk dalam penjualan, sehingga menjadi milik pembeli; kecuali jika penjual mengecualikannya, di antaranya:
مَنْ بَاعَ عَبْدًا أَوْ دَابَّةً؛ تَبِعَ الْمَبِيعَ مَا عَلَى الْعَبْدِ مِنْ ثِيَابِ الْعَادَةِ، وَمَا عَلَى الدَّابَّةِ مِنَ اللِّجَامِ وَالْمَقْوَدِ وَالنَّعْلِ؛ فَيَدْخُلُ مَا ذُكِرَ فِي مُطْلَقِ الْبَيْعِ؛ لِجَرَيَانِ الْعَادَةِ بِهِ، وَمَا لَمْ تَجْرِ الْعَادَةُ بِتَبَعِيَّتِهِ لِلْمَبِيعِ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ حَاجَةِ الْمَبِيعِ؛ كَمَالِ الْعَبْدِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ ثِيَابِ الْجَمَالِ؛ فَهَذَا لَا يَتْبَعُ الْمَبِيعَ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ بَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ؛ فَمَالُهُ لِبَائِعِهِ؛ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ"، رَوَاهُ مُسْلِمٌ؛ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَالَ الْعَبْدِ لَا يَدْخُلُ مَعَهُ فِي الْبَيْعِ إِذَا بِيعَ؛ لِأَنَّ الْبَيْعَ إِنَّمَا يَقَعُ عَلَى الْعَبْدِ، وَالْمَالُ زَائِدٌ عَنْهُ؛ فَهُوَ كَمَا لَوْ كَانَ لَهُ عَبْدَانِ، فَبَاعَ أَحَدَهُمَا، وَلِأَنَّ الْعَبْدَ وَمَا لَهُ لِسَيِّدِهِ، فَإِذَا بَاعَ الْعَبْدَ بَقِيَ الْمَالُ.
Barangsiapa menjual seorang budak atau hewan; maka yang mengikuti penjualan adalah pakaian yang biasa dipakai budak, dan tali kekang, tali kendali, dan sepatu kuda yang ada pada hewan; maka apa yang disebutkan termasuk dalam penjualan secara mutlak; karena itu sudah menjadi kebiasaan, sedangkan apa yang tidak menjadi kebiasaan untuk mengikuti penjualan dan bukan kebutuhan barang yang dijual; seperti harta budak dan pakaian keindahannya; maka ini tidak mengikuti penjualan; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa menjual seorang budak dan dia memiliki harta; maka hartanya milik penjualnya; kecuali jika pembeli mensyaratkannya", diriwayatkan oleh Muslim; ini menunjukkan bahwa harta budak tidak termasuk bersamanya dalam penjualan jika dia dijual; karena penjualan hanya terjadi pada budak, sedangkan harta adalah tambahan darinya; maka itu seperti jika dia memiliki dua budak, lalu dia menjual salah satunya, dan karena budak dan apa yang dimilikinya adalah milik tuannya, maka jika dia menjual budak, harta tetap ada.
فَإِذَا اشْتَرَطَ الْمُشْتَرِي دُخُولَ الْمَالِ الَّذِي مَعَ الْعَبْدِ فِي الْبَيْعِ؛ دَخَلَ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ".
Jika pembeli mensyaratkan masuknya harta yang ada pada budak dalam penjualan; maka itu termasuk; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "kecuali jika pembeli mensyaratkannya".
بَابٌ فِي أَحْكَامِ السَّلَمِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ السَّلَمِ
Bab tentang hukum-hukum as-Salam
السَّلَمُ أَوِ السَّلَفُ: هُوَ تَعْجِيلُ الثَّمَنِ، وَتَأْجِيلُ الْمُثْمَنِ، وَيُعَرِّفُهُ الْفُقَهَاءُ ﵏ بِأَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى مَوْصُوفٍ فِي الذِّمَّةِ مُؤَجَّلٍ بِثَمَنٍ مَقْبُوضٍ فِي مَجْلِسِ الْعَقْدِ.
As-Salam atau as-Salaf adalah mempercepat pembayaran harga dan menunda penyerahan barang. Para fuqaha mendefinisikannya sebagai akad atas sesuatu yang disifati dalam tanggungan yang ditangguhkan dengan harga yang diterima di majelis akad.
وَهَذَا النَّوْعُ مِنَ التَّعَامُلِ جَائِزٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ.
Jenis transaksi ini diperbolehkan berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma'.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ﴾ .
Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya."
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ﵄: "أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُونَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِي كِتَابِهِ وَأَذِنَ فِيهِ"، ثُمَّ قَرَأَ الْآيَةَ.
Ibnu Abbas ﵄ berkata: "Aku bersaksi bahwa as-Salaf yang dijamin hingga batas waktu tertentu telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan diizinkan." Kemudian ia membaca ayat tersebut.
وَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ ﷺ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ؛ قَالَ: "مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ" وَفِي لَفْظٍ: "فِي ثَمَرٍ"؛ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فَدَلَّ هَذَا
Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah dan mereka melakukan as-Salaf pada buah-buahan selama setahun, dua tahun, dan tiga tahun; beliau bersabda: "Barangsiapa melakukan as-Salaf dalam sesuatu" dan dalam lafaz lain: "dalam buah-buahan"; maka hendaklah ia melakukan as-Salaf dalam takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, hingga batas waktu yang diketahui", muttafaq 'alaih. Ini menunjukkan
الحَدِيثُ عَلَى جَوَازِ السَّلَمِ بِهَذِهِ الشُّرُوطِ.
Hadits tentang kebolehan as-salam dengan syarat-syarat ini.
وَقَدْ حَكَى ابْنُ المُنْذِرِ وَغَيْرُهُ إِجْمَاعَ العُلَمَاءِ عَلَى جَوَازِهِ.
Ibnu al-Mundzir dan yang lainnya telah menceritakan ijma' para ulama atas kebolehannya.
وَحَاجَةُ النَّاسِ دَاعِيَةٌ إِلَيْهِ؛ لِأَنَّ أَحَدَ المُتَعَاقِدَيْنِ يَرْتَفِقُ بِتَعْجِيلِ الثَّمَنِ وَالآخَرُ يَرْتَفِقُ بِرُخْصِ الثَّمَنِ.
Kebutuhan manusia mendorong untuk melakukannya; karena salah satu dari dua pihak yang berakad mendapat manfaat dengan disegerakannya harga, dan yang lain mendapat manfaat dengan murahnya harga.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ السَّلَمِ شُرُوطٌ خَاصَّةٌ زَائِدَةٌ عَلَى شُرُوطِ البَيْعِ:
Disyaratkan untuk sahnya as-salam syarat-syarat khusus yang melebihi syarat-syarat jual beli:
الشَّرْطُ الأَوَّلُ: انْضِبَاطُ صِفَةِ السِّلْعَةِ المُسْلَمِ فِيهَا؛ لِأَنَّ مَا لَا يُمْكِنُ ضَبْطُ صِفَاتِهِ مُخْتَلِفٌ كَثِيرًا، فَيُفْضِي إِلَى المُنَازَعَةِ بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ؛ فَلَا يَصِحُّ السَّلَمُ فِيمَا تَخْتَلِفُ صِفَاتُهُ؛ كَالبُقُولِ، وَالجُلُودِ، وَالأَوَانِي المُخْتَلِفَةِ، وَالجَوَاهِرِ.
Syarat pertama: Terkendalikannya sifat barang yang dipesan; karena apa yang tidak mungkin dikendalikan sifat-sifatnya sangat berbeda-beda, sehingga mengarah pada perselisihan antara kedua belah pihak; maka tidak sah as-salam pada apa yang berbeda sifat-sifatnya; seperti sayuran, kulit, wadah yang berbeda-beda, dan permata.
الشَّرْطُ الثَّانِي: ذِكْرُ جِنْسِ المُسْلَمِ فِيهِ وَنَوْعِهِ فَالجِنْسُ كَالبُرِّ، وَالنَّوْعُ كَالسَّلْمُونِيِّ مَثَلًا، وَهُوَ مِنْ نَوْعِ البُرِّ.
Syarat kedua: Menyebutkan jenis barang yang dipesan dan macamnya. Jenis seperti gandum, dan macam seperti gandum salmuuni misalnya, dan itu termasuk jenis gandum.
الشَّرْطُ الثَّالِثُ: ذِكْرُ قَدْرِ المُسْلَمِ فِيهِ بِكَيْلٍ أَوْ وَزْنٍ أَوْ ذَرْعٍ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ؛ فَلْيُسْلِفْ فِيكَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّهُ إِذَا جُهِلَ مِقْدَارُ المُسْلَمِ فِيهِ؛ تَعَذَّرَ الاسْتِيفَاءُ.
Syarat ketiga: Menyebutkan ukuran barang yang dipesan dengan takaran, timbangan, atau ukuran panjang; karena sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa memesan sesuatu; maka hendaklah ia memesan dalam takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, hingga batas waktu yang diketahui", muttafaq 'alaih. Dan karena jika ukuran barang yang dipesan tidak diketahui; maka sulit untuk memenuhinya.
الشَّرْطُ الرَّابِعُ: ذِكْرُ أَجَلٍ مَعْلُومٍ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ"، وَقَوْلِهِ: ﴿إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ﴾،
Syarat keempat: Menyebutkan batas waktu yang diketahui; karena sabda Nabi ﷺ: "hingga batas waktu yang diketahui", dan firman-Nya: "Apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya."
فَدَلَّتِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ وَالْحَدِيثُ الشَّرِيفُ عَلَى اشْتِرَاطِ التَّأْجِيلِ فِي السَّلَمِ، وَتَحْدِيدِ الْأَجَلِ بِحَدٍّ يَعْلَمُهُ الطَّرَفَانِ.
Ayat yang mulia dan hadits yang mulia menunjukkan persyaratan penangguhan dalam akad salam, dan penentuan batas waktu yang diketahui oleh kedua belah pihak.
الشَّرْطُ الْخَامِسُ: أَنْ يُوجَدَ الْمُسْلَمُ فِيهِ غَالِبًا فِي وَقْتِ حُلُولِ أَجَلِهِ؛ لِيُمْكِنَ تَسْلِيمُهُ فِي وَقْتِهِ، فَإِنْ كَانَ الْمُسْلَمُ فِيهِ لَا يُوجَدُ فِي وَقْتِ الْحُلُولِ؛ لَمْ يَصِحَّ السَّلَمُ؛ كَمَا لَوْ أَسْلَمَ فِي رُطَبٍ وَعِنَبٍ إِلَى الشِّتَاءِ.
Syarat kelima: Bahwa al-muslam fīhi (objek akad salam) umumnya ada pada saat jatuh tempo; agar memungkinkan penyerahannya pada waktunya. Jika al-muslam fīhi tidak ada pada saat jatuh tempo; maka akad salam tidak sah; seperti jika melakukan akad salam pada kurma matang dan anggur hingga musim dingin.
الشَّرْطُ السَّادِسُ: أَنْ يُقْبَضَ الثَّمَنُ تَامًّا مَعْلُومَ الْمِقْدَارِ فِي مَجْلِسِ الْعَقْدِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ؛ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ ... " الْحَدِيثَ، أَيْ: فَلْيُعْطِ.
Syarat keenam: Bahwa harga diterima secara penuh dengan jumlah yang diketahui dalam majelis akad; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa yang memberi pinjaman untuk sesuatu; maka hendaklah ia memberi pinjaman dalam takaran yang diketahui ..." hadits, yaitu: hendaklah ia memberi.
قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ ﵀: "لِأَنَّهُ لَا يَقَعُ اسْمُ السَّلَفِ فِيهِ حَتَّى يُعْطِيَهُ مَا أَسْلَفَهُ قَبْلَ أَنْ يُفَارِقَ مَنْ أَسْلَفَهُ، وَلِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَقْبِضِ الثَّمَنَ فِي الْمَجْلِسِ؛ صَارَ بَيْعَ دَيْنٍ بِدَيْنٍ وَهَذَا لَا يَجُوزُ".
Imam Syafi'i ﵀ berkata: "Karena tidak terjadi nama salaf (pinjaman) padanya hingga ia memberikan apa yang ia pinjamkan sebelum berpisah dari orang yang ia pinjami, dan karena jika ia tidak menerima harga dalam majelis; maka menjadi jual beli utang dengan utang dan ini tidak boleh".
الشَّرْطُ السَّابِعُ: أَنْ يَكُونَ الْمُسْلَمُ فِيهِ غَيْرَ مُعَيَّنٍ، بَلْ يَكُونُ دَيْنًا فِي الذِّمَّةِ؛ فَلَا يَصِحُّ السَّلَمُ فِي دَارٍ وَشَجَرَةٍ؛ لِأَنَّ الْمُعَيَّنَ قَدْ يَتْلَفُ قَبْلَ تَسْلِيمِهِ، فَيَفُوتُ الْمَقْصُودُ، وَيَكُونُ الْوَفَاءُ وَتَسْلِيمُ السِّلْعَةِ الْمُسْلَمِ فِيهَا فِي مَكَانِ الْعَقْدِ إِنْ كَانَ يَصْلُحُ لِذَلِكَ، فَإِنْ كَانَ لَا يَصْلُحُ، كَمَا لَوْ عَقَدَا فِي بَرٍّ أَوْ بَحْرٍ؛ فَلَا بُدَّ مِنْ ذِكْرِ مَكَانِ الْوَفَاءِ، وَحَيْثُ تَرَاضَيَا عَلَى مَكَانِ التَّسْلِيمِ؛ جَازَ ذَلِكَ، وَإِنِ اخْتَلَفَا؛ رَجَعْنَا إِلَى مَحَلِّ الْعَقْدِ حَيْثُ كَانَ يَصْلُحُ لِذَلِكَ كَمَا سَبَقَ.
Syarat ketujuh: Bahwa al-muslam fīhi tidak ditentukan, melainkan menjadi utang dalam tanggungan; maka tidak sah akad salam pada rumah dan pohon; karena yang ditentukan mungkin rusak sebelum penyerahannya, sehingga tidak tercapai tujuannya. Pemenuhan dan penyerahan barang yang dipesan dalam akad salam dilakukan di tempat akad jika layak untuk itu. Jika tidak layak, seperti jika keduanya melakukan akad di darat atau laut; maka harus menyebutkan tempat pemenuhan. Jika keduanya ridha atas tempat penyerahan; maka itu boleh. Jika keduanya berselisih; kita kembali ke tempat akad jika layak untuk itu seperti yang telah lalu.
وَمِنْ أَحْكَامِ السَّلَمِ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ السِّلْعَةِ الْمُسْلَمِ فِيهَا قَبْلَ
Di antara hukum-hukum akad salam: Bahwa tidak boleh menjual barang yang dipesan dalam akad salam sebelum
قَبْضِهَا؛ لِنَهْيِ النَّبِيِّ ﷺ عَنْ بَيْعِ الطَّعَامِ حَتَّى يَقْبِضَهُ، وَلَا تَصِحُّ الْحَوَالَةُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْحَوَالَةَ لَا تَصِحُّ إِلَّا عَلَى دَيْنٍ مُسْتَقِرٍّ، وَالسَّلَمُ عُرْضَةٌ لِلْفَسْخِ.
Mengambilnya; karena larangan Nabi ﷺ menjual makanan sampai dia menerimanya, dan pengalihan hutang (الْحَوَالَة) tidak sah atasnya; karena pengalihan hutang hanya sah atas hutang yang tetap, sedangkan akad سَلَم rentan untuk dibatalkan.
وَمِنْ أَحْكَامِ السَّلَمِ: أَنَّهُ إِذَا تَعَذَّرَ وُجُودُ الْمُسْلَمِ فِيهِ وَقْتَ الْحُلُولِ؛ كَمَا لَوْ أَسْلَمَ فِي ثَمَرَةٍ، فَلَمْ تَحْمِلِ الشَّجَرُ تِلْكَ السَّنَةَ؛ فَلِرَبِّ السَّلَمِ الصَّبْرُ إِلَى أَنْ يُوجَدَ الْمُسَلَّمُ فِيهِ فَيُطَالِبُ بِهِ، أَوِ الْفَسْخُ وَيُطَالِبُ بِرَأْسِ مَالِهِ؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ إِذَا زَالَ وَجَبَ رَدُّ الثَّمَنِ، فَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ تَالِفًا؛ رَدَّ بَدَلَهُ إِلَيْهِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Dan di antara hukum-hukum akad سَلَم: bahwa jika barang yang dipesan (الْمُسْلَمُ فِيهِ) tidak dapat ditemukan pada saat jatuh tempo; seperti jika seseorang memesan buah, lalu pohon tidak berbuah pada tahun itu; maka pemilik akad سَلَم boleh bersabar sampai barang yang dipesan ditemukan lalu menuntutnya, atau membatalkan dan menuntut modalnya; karena jika akad batal maka harga wajib dikembalikan, jika harga telah rusak; maka dikembalikan penggantinya kepadanya, dan Allah lebih mengetahui.
وَإِبَاحَةُ هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ مِنْ يُسْرِ هَذِهِ الشَّرِيعَةِ الْإِسْلَامِيَّةِ وَسَمَاحَتِهَا؛ لِأَنَّ فِي هَذِهِ الْمُعَامَلَةِ تَيْسِيرًا عَلَى النَّاسِ وَتَحْقِيقًا لِمَصَالِحِهِمْ، مَعَ خُلُوِّهَا مِنَ الرِّبَا وَسَائِرِ الْمَحْذُورَاتِ؛ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ عَلَى تَيْسِيرِهِ.
Dan dibolehkannya transaksi ini adalah bagian dari kemudahan dan toleransi syariat Islam ini; karena dalam transaksi ini terdapat kemudahan bagi manusia dan perwujudan kemaslahatan mereka, dengan terbebas dari riba dan seluruh hal-hal yang dilarang; maka segala puji bagi Allah atas kemudahan-Nya.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْقَرْضِ
أَبْوَابٌ
Pintu-pintu
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْقَرْضِ
Bab tentang hukum-hukum pinjaman
الْقَرْضُ لُغَةً: الْقَطْعُ؛ لِأَنَّ الْمُقْرِضَ يَقْطَعُ شَيْئًا مِنْ مَالِهِ يُعْطِيهِ لِلْمُقْتَرِضِ،
Qardh secara bahasa berarti memotong, karena pemberi pinjaman memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada peminjam.
وَتَعْرِيفُهُ شَرْعًا: أَنَّهُ دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَهُ.
Definisinya secara syariat adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya.
وَهُوَ مِنْ بَابِ الْإِرْفَاقِ وَقَدْ سَمَّاهُ النَّبِيُّ ﷺ مَنِيحَةً؛ لِأَنَّهُ يَنْتَفِعُ بِهِ الْمُقْتَرِضُ، ثُمَّ يُعِيدُهُ إِلَى الْمُقْرِضِ.
Ini termasuk bab berbuat baik. Nabi ﷺ menyebutnya sebagai pemberian, karena peminjam memanfaatkannya kemudian mengembalikannya kepada pemberi pinjaman.
وَالْإِقْرَاضُ مُسْتَحَبٌّ وَفِيهِ أَجْرٌ عَظِيمٌ؛ قَالَ ﷺ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلَّا كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ.
Memberi pinjaman itu dianjurkan dan di dalamnya terdapat pahala yang besar. Nabi ﷺ bersabda, "Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim lainnya dua kali kecuali seperti bersedekah satu kali." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ الْقَرْضَ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَقْتَرِضُ إِلَّا مُحْتَاجٌ، وَفِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ: "مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا؛ نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ".
Ada yang mengatakan bahwa pinjaman itu lebih utama daripada sedekah, karena seseorang tidak meminjam kecuali karena membutuhkan. Dalam hadits shahih disebutkan, "Barangsiapa melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang muslim, maka Allah akan melapangkan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat."
فَالْقَرْضُ فِعْلُ مَعْرُوفٍ، وَفِيهِ تَفْرِيجٌ لِلضَّائِقَةِ عَنِ الْمُسْلِمِ، وَقَضَاءٌ لِحَاجَتِهِ.
Pinjaman adalah perbuatan baik, dan di dalamnya terdapat keringanan dari kesulitan bagi seorang Muslim, dan pemenuhan kebutuhannya.
وَلَيْسَ الِاقْتِرَاضُ مِنَ الْمَسْأَلَةِ الْمَكْرُوهَةِ؛ فَقَدِ اقْتَرَضَ النَّبِيُّ ﷺ.
Meminjam bukanlah perkara yang makruh; Nabi ﷺ pernah meminjam.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْقَرْضِ أَنْ يَكُونَ الْمُقْرِضُ مِمَّنْ يَصِحُّ تَبَرُّعُهُ؛ فَلَا يَجُوزُ لِوَلِيِّ الْيَتِيمِ مَثَلًا أَنْ يُقْرِضَ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ، وَكَذَلِكَ يُشْتَرَطُ مَعْرِفَةُ قَدْرِ الْمَالِ الْمَدْفُوعِ فِي الْقَرْضِ، وَمَعْرِفَةُ صِفَتِهِ؛ لِيَتَمَكَّنَ مِنْ رَدِّ بَدَلِهِ إِلَى صَاحِبِهِ؛ فَالْقَرْضُ يُصْبِحُ دَيْنًا فِي ذِمَّةِ الْمُقْتَرِضِ، يَجِبُ عَلَيْهِ رَدُّهُ إِلَى صَاحِبِهِ عِنْدَمَا يَتَمَكَّنُ مِنْ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ تَأْخِيرٍ.
Disyaratkan untuk keabsahan pinjaman bahwa pemberi pinjaman adalah orang yang sah untuk menyumbang; misalnya, tidak diperbolehkan bagi wali anak yatim untuk meminjamkan dari harta anak yatim, dan juga disyaratkan untuk mengetahui jumlah uang yang dibayarkan dalam pinjaman, dan mengetahui sifatnya; agar dapat mengembalikan penggantinya kepada pemiliknya; pinjaman menjadi utang dalam tanggungan peminjam, yang wajib dikembalikan kepada pemiliknya ketika ia mampu melakukannya tanpa penundaan.
وَيَحْرُمُ عَلَى الْمُقْرِضِ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَى الْمُقْتَرِضِ زِيَادَةً فِي الْقَرْضِ؛ فَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إِذَا شَرَطَ عَلَيْهِ زِيَادَةً، فَأَخَذَهَا؛ فَهُوَ رِبًا؛ فَمَا تَفْعَلُهُ الْبُنُوكُ الْيَوْمَ مِنَ الْإِقْرَاضِ بِالْفَائِدَةِ رِبًا صَرِيحٌ، سَوَاءٌ كَانَ قَرْضًا اسْتِهْلَاكِيًّا أَوْ إِنْمَائِيًّا كَمَا يُسَمُّونَهُ؛ فَلَا يَجُوزُ لِلْمُقْرِضِ سَوَاءٌ كَانَ بَنْكًا أَوْ فَرْدًا أَوْ شَرِكَةً أَنْ يَأْخُذَ زِيَادَةً فِي الْقَرْضِ مُشْتَرَطَةً، بِأَيِّ اسْمٍ سُمِّيَتْ هَذِهِ الزِّيَادَةُ، وَسَوَاءٌ سُمِّيَتْ هَذِهِ الزِّيَادَةُ رِبْحًا أَوْ فَائِدَةً أَوْ هَدِيَّةً أَوْ سُكْنَ دَارٍ أَوْ رُكُوبَ سَيَّارَةٍ، مَا دَامَ أَنَّ هَذِهِ الزِّيَادَةَ أَوْ هَذِهِ الْهَدِيَّةَ أَوْ هَذِهِ الْمَنْفَعَةَ جَاءَتْ عَنْ طَرِيقِ الْمُشَارَطَةِ،
Haram bagi pemberi pinjaman untuk mensyaratkan kepada peminjam tambahan dalam pinjaman; para ulama telah sepakat bahwa jika ia mensyaratkan tambahan kepadanya, lalu mengambilnya; maka itu adalah riba; apa yang dilakukan oleh bank-bank saat ini berupa pinjaman berbunga adalah riba yang jelas, baik itu pinjaman konsumtif atau produktif seperti yang mereka sebut; tidak boleh bagi pemberi pinjaman, baik itu bank, individu, atau perusahaan, untuk mengambil tambahan dalam pinjaman yang disyaratkan, dengan nama apa pun tambahan ini dinamakan, dan baik tambahan ini dinamakan keuntungan, bunga, hadiah, tempat tinggal di rumah, atau naik mobil, selama tambahan ini atau hadiah ini atau manfaat ini datang melalui persyaratan,
وَفِي الحَدِيثِ: "كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا؛ فَهُوَ رِبًا"، وَفِي الحَدِيثِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعًا: "إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا، فَأَهْدَى إِلَيْهِ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ؛ فَلَا يَرْكَبْهَا، وَلَا يَقْبَلْهُ؛ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ"، رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ، وَلَهُ شَوَاهِدُ كَثِيرَةٌ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلَامٍ ﵁؛ أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ، فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ؛ فَلَا تَأْخُذْهُ؛ فَإِنَّهُ رِبًا"، وَهَذَا لَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ؛ فَلَا يَجُوزُ لِمُقْرِضٍ قَبُولُ هَدِيَّةٍ وَلَا غَيْرِهَا مِنَ المَنَافِعِ مِنَ المُقْتَرِضِ إِذَا كَانَ هَذَا بِسَبَبِ القَرْضِ؛ لِلنَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ، وَلِأَنَّ القَرْضَ إِنَّمَا هُوَ عَقْدُ إِرْفَاقٍ بِالمُحْتَاجِ، وَقُرْبَةٌ إِلَى اللهِ؛ فَإِذَا شَرَطَ فِيهِ الزِّيَادَةَ أَوْ تَحَرَّاهَا وَقَصَدَهَا وَتَطَلَّعَ إِلَيْهَا؛ فَقَدْ أَخْرَجَ القَرْضَ عَنْ مَوْضُوعِهِ الَّذِي هُوَ التَّقَرُّبُ إِلَى اللهِ بِدَفْعِ حَاجَةِ المُقْتَرِضِ إِلَى الرِّبْحِ مِنَ المُقْتَرِضِ؛ فَلَا يَصِيرُ قَرْضًا.
Dalam hadits disebutkan: "Setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba", dan dalam hadits dari Anas secara marfu': "Jika salah seorang dari kalian meminjamkan pinjaman, lalu si peminjam memberinya hadiah atau membawanya di atas kendaraan, maka janganlah ia menaikinya dan jangan menerimanya, kecuali jika hal itu telah terjadi di antara keduanya sebelum itu", diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan hadits ini memiliki banyak syahid (hadits pendukung). Telah tetap dari Abdullah bin Salam ﵁, bahwa ia berkata: "Jika engkau memiliki hak atas seseorang, lalu ia menghadiahkan kepadamu satu muatan jerami, maka janganlah engkau mengambilnya, karena itu adalah riba", dan ini memiliki hukum marfu'. Maka tidak boleh bagi pemberi pinjaman untuk menerima hadiah atau manfaat lainnya dari peminjam jika hal itu disebabkan oleh pinjaman, karena adanya larangan tentang hal itu, dan karena pinjaman hanyalah akad untuk menolong orang yang membutuhkan dan mendekatkan diri kepada Allah. Jika disyaratkan adanya tambahan padanya atau ia menginginkannya dan bermaksud kepadanya serta mengharapkannya, maka sungguh ia telah mengeluarkan pinjaman dari tempatnya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan memenuhi kebutuhan peminjam, kepada mengambil keuntungan dari peminjam, sehingga tidak lagi menjadi pinjaman.
فَيَجِبُ عَلَى المُسْلِمِ أَنْ يَنْتَبِهَ لِذَلِكَ وَيَحْذَرَ مِنْهُ وَيُخْلِصَ النِّيَّةَ فِي القَرْضِ وَفِي غَيْرِهِ مِنَ الأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ؛ فَإِنَّ القَرْضَ لَيْسَ القَصْدُ مِنْهُ النَّمَاءَ الحِسِّيَّ، وَإِنَّمَا القَصْدُ مِنْهُ النَّمَاءَ المَعْنَوِيَّ، وَهُوَ التَّقَرُّبُ إِلَى اللهِ؛ بِدَفْعِ حَاجَةِ المُحْتَاجِ، وَاسْتِرْجَاعُ رَأْسِ المَالِ، فَإِذَا كَانَ هَذَا هُوَ القَصْدُ فِي القَرْضِ؛ فَإِنَّ اللهَ يُنْزِلُ فِي المَالِ البَرَكَةَ وَالنَّمَاءَ الطَّيِّبَ.
Maka wajib bagi seorang Muslim untuk memperhatikan hal itu, waspada terhadapnya, dan mengikhlaskan niat dalam memberikan pinjaman dan amalan saleh lainnya. Karena tujuan dari pinjaman bukanlah untuk mendapatkan pertumbuhan materi, melainkan untuk mendapatkan pertumbuhan maknawi, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan dan mengambil kembali modal. Jika ini adalah tujuan dalam memberikan pinjaman, maka Allah akan menurunkan keberkahan dan pertumbuhan yang baik pada harta tersebut.
هَذَا؛ وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ الزِّيَادَةَ المَمْنُوعَ أَخْذُهَا فِي القَرْضِ هِيَ الزِّيَادَةُ المَشْرُوطَةُ؛ كَأَنْ يَقُولَ: أُقْرِضُكَ كَذَا وَكَذَا بِشَرْطِ أَنْ تَرُدَّ عَلَيَّ المَالَ
Ini; dan perlu diketahui bahwa tambahan yang dilarang untuk diambil dalam pinjaman adalah tambahan yang disyaratkan, seperti seseorang berkata, "Aku meminjamkan kepadamu sekian dan sekian dengan syarat engkau mengembalikan harta kepadaku"
بِزِيَادَةِ كَذَا وَكَذَا، أَوْ أَنْ تُسْكِنَنِي دَارَكَ أَوْ دُكَّانَكَ، أَوْ تُهْدِيَ إِلَيَّ كَذَا وَكَذَا، أَوْ لَا يَكُونُ هُنَاكَ شَرْطٌ مَلْفُوظٌ بِهِ، وَلَكِنْ هُنَاكَ قَصْدٌ لِلزِّيَادَةِ وَتَطَلُّعٌ إِلَيْهَا؛ فَهَذَا هُوَ الْمَمْنُوعُ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ.
Dengan menambahkan ini dan itu, atau Anda menempatkan saya di rumah atau toko Anda, atau Anda memberikan kepada saya ini dan itu, atau tidak ada syarat yang diucapkan, tetapi ada niat untuk penambahan dan berharap untuk itu; maka inilah yang dilarang dan dicegah.
أَمَّا لَوْ بَذَلَ الْمُقْتَرِضُ الزِّيَادَةَ مِنْ ذَاتِ نَفْسِهِ، وَبِدَافِعٍ مِنْهُ، بِدُونِ اشْتِرَاطٍ مِنَ الْمُقْرِضِ، أَوْ تَطَلُّعٍ وَقَصْدٍ؛ فَلَا مَانِعَ مِنْ أَخْذِ الزِّيَادَةِ حِينَئِذٍ؛ لِأَنَّ هَذَا يُعْتَبَرُ مِنْ حُسْنِ الْقَضَاءِ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ اسْتَسْلَفَ بَكْرًا فَرَدَّ خَيْرًا مِنْهُ، وَقَالَ: "خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً"، وَهَذَا مِنْ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ الْمَحْمُودَةِ عُرْفًا وَشَرْعًا، وَلَا يَدْخُلُ فِي الْقَرْضِ الَّذِي يَجُرُّ نَفْعًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ مَشْرُوطًا فِي الْقَرْضِ مِنَ الْمُقْرِضِ وَلَا مُتَوَاطَأً عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ تَبَرُّعٌ مِنَ الْمُسْتَقْرِضِ.
Namun, jika peminjam menawarkan tambahan dari dirinya sendiri, dan dengan motivasi darinya, tanpa persyaratan dari pemberi pinjaman, atau harapan dan niat; maka tidak ada larangan untuk mengambil tambahan pada saat itu; karena ini dianggap sebagai pembayaran yang baik, dan karena Nabi ﷺ meminjam seekor unta muda dan mengembalikan yang lebih baik darinya, dan berkata: "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar", dan ini termasuk akhlak mulia yang terpuji secara adat dan syariat, dan tidak termasuk dalam pinjaman yang menarik manfaat; karena itu tidak disyaratkan dalam pinjaman dari pemberi pinjaman dan tidak ada kesepakatan atasnya, melainkan itu adalah sumbangan dari peminjam.
وَكَذَلِكَ إِذَا بَذَلَ الْمُقْتَرِضُ لِلْمُقْرِضِ نَفْعًا مُعْتَادًا بَيْنَهُمَا قَبْلَ الْقَرْضِ؛ بِأَنْ كَانَ مِنْ عَادَةِ الْمُقْتَرِضِ بَذْلَ هَذَا النَّفْعِ، وَلَمْ يَكُنِ الدَّافِعُ إِلَيْهِ هُوَ الْقَرْضَ؛ فَلَا مَانِعَ مِنْ قَبُولِهِ؛ لِانْتِفَاءِ الْمَحْذُورِ.
Demikian pula jika peminjam menawarkan kepada pemberi pinjaman manfaat yang biasa di antara mereka sebelum pinjaman; dengan kebiasaan peminjam untuk menawarkan manfaat ini, dan pendorongnya bukanlah pinjaman; maka tidak ada larangan untuk menerimanya; karena tidak adanya larangan.
ثُمَّ إِنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُقْتَرِضِ الِاهْتِمَامُ بِأَدَاءِ مَا عَلَيْهِ مِنْ دَيْنِ الْقَرْضِ وَرَدِّهِ إِلَى صَاحِبِهِ؛ مِنْ غَيْرِ مُمَاطَلَةٍ وَلَا تَأْخِيرٍ حِينَمَا يَقْدِرُ عَلَى الْوَفَاءِ؛ لِقَوْلِ اللهِ تَعَالَى: ﴿هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ﴾ .
Kemudian, peminjam harus memperhatikan untuk membayar hutang pinjaman yang menjadi kewajibannya dan mengembalikannya kepada pemiliknya; tanpa penundaan atau penundaan ketika ia mampu memenuhinya; karena firman Allah Ta'ala: "Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan".
وَبَعْضُ النَّاسِ يَتَسَاهَلُ فِي الْحُقُوقِ عَامَّةً، وَفِي شَأْنِ الدُّيُونِ خَاصَّةً، وَهَذِهِ خَصْلَةٌ ذَمِيمَةٌ، جَعَلَتْ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ يُحْجِمُونَ عَنْ بَذْلِ الْقُرُوضِ وَالتَّوْسِعَةِ عَلَى الْمُحْتَاجِينَ،
Dan beberapa orang menganggap remeh hak-hak secara umum, dan dalam masalah utang secara khusus, dan ini adalah sifat yang tercela, yang membuat banyak orang menahan diri dari memberikan pinjaman dan melapangkan orang-orang yang membutuhkan,
مِمَّا قَدْ يُلْجِئُ الْمُحْتَاجَ إِلَى الذَّهَابِ إِلَى بُنُوكِ الرِّبَا وَالتَّعَامُلِ مَعَهَا بِمَا حَرَّمَ اللهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجِدُ مَنْ يُقْرِضُهُ قَرْضًا حَسَنًا، حَتَّى ضَاعَ الْمَعْرُوفُ بَيْنَ النَّاسِ.
yang mungkin memaksa orang yang membutuhkan untuk pergi ke bank-bank riba dan bertransaksi dengannya dengan apa yang diharamkan Allah; karena dia tidak menemukan orang yang meminjamkannya pinjaman yang baik, sampai kebaikan hilang di antara manusia.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الرَّهْنِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الرَّهْنِ
Bab tentang hukum-hukum gadai
الرَّهْنُ لُغَةً: يُرَادُ بِهِ الثُّبُوتُ وَالدَّوَامُ، يُقَالُ: مَاءٌ رَاهِنٌ؛ أَيْ: رَاكِدٌ. وَالرَّهْنُ شَرْعًا: تَوْثِقَةُ دَيْنٍ بِعَيْنٍ يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْهَا أَوْ مِنْ ثَمَنِهَا؛ أَيْ: جَعْلُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ وَثِيقَةً بِدَيْنٍ.
Gadai secara bahasa: yang dimaksud dengannya adalah ketetapan dan keabadian, dikatakan: air yang diam; yaitu: yang tergenang. Gadai secara syariat: menjadikan utang terjamin dengan suatu barang yang dapat dilunasi darinya atau dari harganya; yaitu: menjadikan barang yang bernilai sebagai jaminan utang.
وَالرَّهْنُ جَائِزٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ.
Gadai diperbolehkan berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma'.
قَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ﴾ .
Allah Ta'ala berfirman: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)."
وَقَدْ تُوُفِّيَ النَّبِيُّ ﷺ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ.
Nabi ﷺ wafat sementara baju besinya digadaikan.
وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ الرَّهْنِ فِي السَّفَرِ، وَالْجُمْهُورُ أَجَازُوهُ أَيْضًا فِي الْحَضَرِ.
Para ulama sepakat tentang diperbolehkannya gadai dalam perjalanan, dan mayoritas ulama juga memperbolehkannya saat menetap.
وَالْحِكْمَةُ فِي مَشْرُوعِيَّتِهِ: حِفْظُ الْأَمْوَالِ، وَالسَّلَامَةُ مِنَ الضَّيَاعِ.
Hikmah disyariatkannya: menjaga harta, dan keselamatan dari kehilangan.
وَقَدْ أَمَرَ اللهُ بِتَوْثِيقِ الدَّيْنِ بِالْكِتَابِ؛ قَالَ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ﴾ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ﴾ .
Dan Allah telah memerintahkan untuk mendokumentasikan utang dengan tulisan; Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya" hingga firman-Nya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)".
وَهَذَا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ بِعِبَادِهِ، حَيْثُ يُرْشِدُهُمْ إِلَى مَا فِيهِ خَيْرُهُمْ.
Ini adalah bentuk rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya, di mana Dia membimbing mereka kepada apa yang baik bagi mereka.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الرَّهْنِ مَعْرِفَةُ قَدْرِهِ وَجِنْسِهِ وَصِفَتِهِ، وَأَنْ يَكُونَ الرَّاهِنُ جَائِزَ التَّصَرُّفِ، مَالِكًا لِلْمَرْهُونِ، أَوْ مَأْذُونًا لَهُ فِيهِ.
Disyaratkan untuk keabsahan rahn (gadai) mengetahui ukuran, jenis, dan sifatnya, serta penggadai harus memiliki kewenangan bertindak, pemilik barang yang digadaikan, atau diizinkan untuk itu.
وَيَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَرْهَنَ مَالَ نَفْسِهِ عَلَى دَيْنِ غَيْرِهِ.
Seseorang boleh menggadaikan hartanya sendiri untuk utang orang lain.
وَيُشْتَرَطُ فِي الْعَيْنِ الْمَرْهُونَةِ أَنْ تَكُونَ مِمَّا يَصِحُّ بَيْعُهُ؛ لِيَتَمَكَّنَ مِنَ الِاسْتِيفَاءِ مِنَ الرَّهْنِ.
Disyaratkan pada barang yang digadaikan bahwa ia adalah barang yang sah untuk dijual; agar dapat memenuhi pembayaran dari gadai tersebut.
وَيَصِحُّ اشْتِرَاطُ الرَّهْنِ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ، وَيَصِحُّ بَعْدَ الْعَقْدِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ﴾؛ فَجَعَلَهُ اللهُ سُبْحَانَهُ بَدَلًا مِنَ الْكِتَابَةِ، وَالْكِتَابَةُ إِنَّمَا تَكُونُ بَعْدَ وُجُوبِ الْحَقِّ.
Mensyaratkan gadai dalam inti akad adalah sah, dan sah pula setelah akad; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)"; Allah subhanahu menjadikannya sebagai pengganti dari penulisan, dan penulisan hanya terjadi setelah kewajiban hak.
وَالرَّهْنُ يَلْزَمُ مِنْ جَانِبِ الرَّاهِنِ فَقَطْ؛ لِأَنَّ الْحَظَّ فِيهِ لِغَيْرِهِ، فَلَزِمَ مِنْ جِهَتِهِ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْ جَانِبِ الْمُرْتَهِنِ؛ فَلَهُ فَسْخُهُ؛ لِأَنَّ الْحَظَّ فِيهِ لَهُ وَحْدَهُ.
Gadai hanya mengikat dari pihak penggadai saja; karena keuntungannya untuk orang lain, maka ia wajib dari pihaknya, dan tidak wajib dari pihak penerima gadai; ia berhak membatalkannya; karena keuntungannya hanya untuknya sendiri.
وَيَجُوزُ أَنْ يَرْهَنَ نَصِيبَهُ مِنْ غَيْرِ مُشْتَرَكَةٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَ غَيْرِهِ؛ لِأَنَّهُ يَجُوزُ بَيْعُ نَصِيبِهِ عِنْدَ حُلُولِ الدَّيْنِ، وَيُوفِي مِنْهُ الدَّيْنَ.
Boleh menggadaikan bagiannya dari harta yang tidak berserikat antara dirinya dan orang lain; karena diperbolehkan menjual bagiannya ketika jatuh tempo utang, dan melunasi utang darinya.
وَيَجُوزُ رَهْنُ الْمَبِيعِ عَلَى ثَمَنِهِ؛ لِأَنَّ ثَمَنَهُ دَيْنٌ فِي الذِّمَّةِ، وَالْمَبِيعُ مِلْكٌ لِلْمُشْتَرِي؛ فَجَازَ رَهْنُهُ بِهِ، فَإِذَا اشْتَرَى دَارًا أَوْ سَيَّارَةً مَثَلًا بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ أَوْ حَالٍّ لَمْ يُقْبَضْ؛ فَلَهُ رَهْنُهَا حَتَّى يُسَدِّدَ لَهُ الثَّمَنَ.
Diperbolehkan menggadaikan barang yang dijual untuk harganya; karena harganya adalah hutang dalam tanggungan, dan barang yang dijual adalah milik pembeli; maka boleh menggadaikannya, jika seseorang membeli rumah atau mobil misalnya dengan harga yang ditangguhkan atau tunai yang belum diterima; maka dia boleh menggadaikannya sampai dia melunasi harganya.
وَلَا يَنْفُذُ تَصَرُّفُ أَحَدِ الطَّرَفَيْنِ الْمُرْتَهِنِ وَالرَّاهِنِ فِي الْعَيْنِ الْمَرْهُونَةِ إِلَّا بِإِذْنِ الطَّرَفِ الْآخَرِ؛ لِأَنَّهُ إِذَا تَصَرَّفَ فِيهَا بِغَيْرِ إِذْنِهِ؛ فَوَّتَ عَلَيْهِ حَقَّهُ؛ لِأَنَّ تَصَرُّفَ الرَّاهِنِ يُبْطِلُ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ فِي التَّوْثِيقِ، وَتَصَرُّفَ الْمُرْتَهِنِ تَصَرُّفٌ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ.
Tindakan salah satu pihak, penerima gadai dan penggadai, pada barang yang digadaikan tidak berlaku kecuali dengan izin pihak lain; karena jika dia bertindak tanpa izinnya; maka dia telah menghilangkan haknya; karena tindakan penggadai membatalkan hak penerima gadai dalam jaminan, dan tindakan penerima gadai adalah tindakan pada milik orang lain.
أَمَّا الِانْتِفَاعُ بِالرَّهْنِ؛ فَحَسْبَمَا يَتَّفِقَانِ عَلَيْهِ: فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى تَأْجِيرِهِ أَوْ غَيْرِهِ؛ جَازَ، وَإِنْ لَمْ يَتَّفِقَا؛ بَقِيَ مُعَطَّلًا حَتَّى يُفَكَّ الرَّهْنُ.
Adapun pemanfaatan barang gadai; maka sesuai dengan apa yang mereka sepakati: jika mereka sepakat untuk menyewakannya atau lainnya; maka boleh, dan jika mereka tidak sepakat; maka tetap tidak digunakan sampai gadai ditebus.
وَيُمَكَّنُ الرَّاهِنُ مِنْ عَمَلِ مَا فِيهِ إِصْلَاحٌ لِلرَّهْنِ؛ كَسَقْيِ الشَّجَرِ، وَتَلْقِيحِهِ وَمُدَاوَاتِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مَصْلَحَةٌ لِلرَّهْنِ.
Penggadai diberi kesempatan untuk melakukan apa yang memperbaiki barang gadai; seperti menyiram pohon, menyerbuki dan mengobatinya; karena itu adalah kemaslahatan bagi barang gadai.
وَنَمَاءُ الرَّهْنِ الْمُتَّصِلُ كَالسِّمَنِ وَتَعَلُّمِ الصَّنْعَةِ، وَنَمَاؤُهُ الْمُنْفَصِلُ كَالْوَلَدِ وَالثَّمَرَةِ وَالصُّوفِ وَكَسْبِهِ: مُلْحَقٌ بِهِ، يَكُونُ رَهْنًا مَعَهُ، وَيُبَاعُ مَعَهُ لِوَفَاءِ الدَّيْنِ، وَكَذَا سَائِرُ غَلَّاتِهِ؛ لِأَنَّهَا تَابِعَةٌ لَهُ، وَكَذَا لَوْ جُنِيَ عَلَيْهِ؛ فَأَرْشُ الْجِنَايَةِ يُلْحَقُ بِالرَّهْنِ؛ لِأَنَّهُ بَدَلُ جُزْءٍ مِنْهُ.
Pertumbuhan barang gadai yang menyatu seperti lemak dan belajar kerajinan, dan pertumbuhannya yang terpisah seperti anak, buah, bulu dan hasilnya: dilampirkan padanya, menjadi gadai bersamanya, dan dijual bersamanya untuk melunasi hutang, demikian pula seluruh hasilnya; karena itu mengikutinya, demikian pula jika terjadi kejahatan terhadapnya; maka denda kejahatan dilampirkan pada barang gadai; karena itu adalah pengganti sebagiannya.
وَمُؤْنَةُ الرَّهْنِ مِنْ طَعَامِهِ وَعَلَفِ الدَّوَابِّ وَعِمَارَتِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ عَلَى الرَّاهِنِ؛ لِحَدِيثِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: "لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ؛ لَهُ غُنْمُهُ، وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ"، رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَقَالَ: "إِسْنَادُهُ حَسَنٌ صَحِيحٌ"، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ مِلْكُ
Biaya barang gadai dari makanannya, pakan hewan, pembangunannya dan lainnya menjadi tanggungan penggadai; berdasarkan hadits Sa'id bin Al-Musayyib dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: "Gadai tidak terlepas dari pemiliknya yang menggadaikannya; dia mendapatkan keuntungannya, dan dia menanggung kerugiannya", diriwayatkan oleh Asy-Syafi'i dan Ad-Daruquthni, dan dia berkata: "Sanadnya hasan shahih", dan karena barang gadai adalah milik
الرَّاهِنُ؛ فَكَانَ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ. وَعَلَى الرَّاهِنِ أَيْضًا أُجْرَةُ الْمَخْزَنِ الَّذِي يُودَعُ فِيهِ الْمَالُ الْمَرْهُونُ وَأُجْرَةُ حِرَاسَتِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَدْخُلُ ضِمْنَ الْإِنْفَاقِ عَلَيْهِ، وَكَذَا أُجْرَةُ رَعْيِ الْمَاشِيَةِ الْمَرْهُونَةِ.
Pemilik barang gadai; maka dia bertanggung jawab atas biaya perawatannya. Pemilik barang gadai juga bertanggung jawab atas biaya penyimpanan barang gadai dan biaya penjagaannya; karena itu termasuk dalam pengeluaran untuk barang gadai tersebut, demikian juga biaya penggembalaan hewan ternak yang digadaikan.
وَإِنْ تَلِفَ بَعْضُ الرَّهْنِ وَبَقِيَ بَعْضُهُ؛ فَالْبَاقِي رَهْنٌ بِجَمِيعِ الدَّيْنِ؛ لِأَنَّ الدَّيْنَ كُلَّهُ مُتَعَلِّقٌ جَمِيعُ أَجْزَاءِ الرَّهْنِ، فَإِذَا تَلِفَ الْبَعْضُ؛ بَقِيَ الْبَعْضُ الْآخَرُ رَهْنًا بِجَمِيعِ الدَّيْنِ.
Jika sebagian barang gadai rusak dan sebagian lagi masih ada; maka sisanya tetap menjadi jaminan atas seluruh hutang; karena seluruh hutang terkait dengan seluruh bagian dari barang gadai, jika sebagian rusak; maka sebagian yang lain tetap menjadi jaminan atas seluruh hutang.
وَإِنْ وَفَّى بَعْضَ الدَّيْنِ؛ لَمْ يَنْفَكَّ شَيْءٌ مِنَ الرَّهْنِ حَتَّى يُسَدِّدَهُ كُلَّهُ؛ فَلَا يَنْفَكُّ مِنْهُ شَيْءٌ حَتَّى يُؤَدِّيَ جَمِيعَ الدَّيْنِ.
Jika dia melunasi sebagian hutang; maka tidak ada bagian dari barang gadai yang terlepas sampai dia melunasi seluruhnya; sehingga tidak ada bagian darinya yang terlepas sampai dia membayar seluruh hutang.
وَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ الَّذِي بِهِ رَهْنٌ وَجَبَ عَلَى الْمَدِينِ تَسْدِيدُهُ كَالدَّيْنِ الَّذِي لَا رَهْنَ بِهِ؛ لِأَنَّ هَذَا مُقْتَضَى الْعَقْدِ بَيْنَهُمَا، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ﴾، فَإِنْ امْتَنَعَ عَنِ الْوَفَاءِ؛ صَارَ مُمَاطِلًا، وَحِينَئِذٍ يُجْبِرُهُ الْحَاكِمُ عَلَى وَفَاءِ الدَّيْنِ، فَإِنْ امْتَنَعَ؛ حَبَسَهُ وَعَزَّرَهُ حَتَّى يُوفِيَ مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ مِنْ عِنْدِهِ، أَوْ يَبِيعَ الرَّهْنَ وَيُسَدِّدَ مِنْ قِيمَتِهِ، فَإِنْ امْتَنَعَ؛ فَإِنَّ، الْحَاكِمَ يَبِيعُ الرَّهْنَ، وَيُوفِي الدَّيْنَ مِنْ ثَمَنِهِ؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ وَجَبَ عَلَى الْمَدِينِ، فَقَامَ الْحَاكِمُ مَقَامَهُ عِنْدَ امْتِنَاعِهِ، وَلِأَنَّ الرَّهْنَ وَثِيقَةٌ لِلدَّيْنِ لِيُبَاعَ عِنْدَ حُلُولِهِ، وَإِنْ فَضَلَ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْءٌ عَنِ الدَّيْنِ؛ فَهُوَ لِمَالِكِهِ، يُرَدُّ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مَالُهُ، وَإِنْ بَقِيَ مِنَ الدَّيْنِ شَيْءٌ لَمْ يُغَطِّهِ ثَمَنُ الرَّهْنِ؛ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ الرَّاهِنِ، يَجِبُ عَلَيْهِ تَسْدِيدُهُ.
Apabila hutang yang dijamin dengan gadai telah jatuh tempo, maka wajib bagi orang yang berhutang untuk melunasinya seperti hutang yang tidak ada jaminannya; karena ini adalah konsekuensi dari akad di antara mereka berdua, Allah Ta'ala berfirman: "Hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya", jika dia menolak untuk membayar; maka dia menjadi orang yang menunda-nunda, dan saat itu hakim memaksanya untuk melunasi hutang, jika dia menolak; maka hakim memenjarakannya dan menghukumnya sampai dia melunasi hutang yang menjadi kewajibannya dari hartanya sendiri, atau menjual barang gadai dan melunasi dari nilainya, jika dia menolak; maka, hakim menjual barang gadai, dan melunasi hutang dari harganya; karena itu adalah hak yang wajib atas orang yang berhutang, maka hakim menggantikan posisinya ketika dia menolak, dan karena gadai adalah jaminan untuk hutang agar dijual ketika jatuh tempo, jika ada kelebihan dari harganya setelah melunasi hutang; maka itu milik pemiliknya, dikembalikan kepadanya; karena itu adalah hartanya, dan jika masih tersisa hutang yang tidak tertutup oleh harga gadai; maka itu menjadi tanggungan pemberi gadai, wajib baginya untuk melunasinya.
وَمِنْ أَحْكَامِ الرَّهْنِ أَنَّهُ إِذَا كَانَ حَيَوَانًا يَحْتَاجُ إِلَى نَفَقَةٍ، وَكَانَ فِي قَبْضَةِ الْمُرْتَهِنِ؛ فَإِنَّ الشَّارِعَ الْحَكِيمَ رَخَّصَ لَهُ أَنْ يَرْكَبَهُ وَيُنْفِقَ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ يَصْلُحُ لِلرُّكُوبِ، وَيَحْلُبَهُ وَيُنْفِقَ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ يَصْلُحُ لِلْحَلْبِ، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ"، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ؛ أَيْ: وَيَجِبُ عَلَى الَّذِي يَرْكَبُ الظَّهْرَ وَيَشْرَبُ اللَّبَنَ النَّفَقَةُ فِي مُقَابَلَةِ انْتِفَاعِهِ، وَمَا زَادَ عَمَّا يُقَابِلُ النَّفَقَةَ مِنَ الْمَنْفَعَتَيْنِ يَكُونُ لِمَالِكِهِ.
Dan di antara hukum-hukum gadai adalah jika barang yang digadaikan berupa hewan yang membutuhkan biaya perawatan, dan berada dalam penguasaan penerima gadai; maka Pembuat syariat Yang Mahabijaksana memberikan keringanan baginya untuk menungganginya dan membiayainya jika layak untuk ditunggangi, dan memerahnya serta membiayainya jika layak untuk diperah, Nabi ﷺ bersabda: "Punggung hewan tunggangan boleh ditunggangi dengan membiayainya jika digadaikan, dan susu hewan perahan boleh diminum dengan membiayainya jika digadaikan, dan orang yang menunggangi serta meminum wajib membiayainya", diriwayatkan oleh al-Bukhari; yakni: wajib bagi orang yang menunggangi punggung hewan dan meminum susunya untuk membiayainya sebagai ganti pemanfaatannya, dan kelebihan dari dua manfaat yang sebanding dengan biayanya menjadi milik pemiliknya.
قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "دَلَّ الْحَدِيثُ وَقَوَاعِدُ الشَّرِيعَةِ وَأُصُولُهَا عَلَى أَنَّ الْحَيَوَانَ الْمَرْهُونَ مُحْتَرَمٌ فِي نَفْسِهِ لِحَقِّ اللهِ تَعَالَى، وَلِلْمَالِكِ فِيهِ حَقُّ الْمِلْكِ، وَلِلْمُرْتَهِنِ حَقُّ الْوَثِيقَةِ، فَإِذَا كَانَ بِيَدِهِ، فَلَمْ يَحْلُبْهُ؛ ذَهَبَ نَفْعُهُ بَاطِلًا، فَكَانَ مُقْتَضَى الْعَدْلِ وَالْقِيَاسِ وَمَصْلَحَةِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ وَالْحَيَوَانِ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْمُرْتَهِنُ مَنْفَعَةَ الرُّكُوبِ وَالْحَلْبِ وَيُعَوِّضَ عَنْهُمَا بِالنَّفَقَةِ، فَإِذَا اسْتَوْفَى الْمُرْتَهِنُ مَنْفَعَتَهُ، وَعَوَّضَ عَنْهَا نَفَقَةً، كَانَ فِي هَذَا جَمْعٌ بَيْنَ الْمَصْلَحَتَيْنِ وَبَيْنَ الْحَقَّيْنِ" انْتَهَى.
Imam Ibnul Qayyim ﵀ berkata: "Hadits ini serta kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip syariat menunjukkan bahwa hewan yang digadaikan harus dihormati karena hak Allah Ta'ala, pemiliknya memiliki hak kepemilikan atasnya, dan penerima gadai memiliki hak jaminan, jika berada di tangannya, lalu ia tidak memerahnya; maka manfaatnya akan hilang sia-sia, maka konsekuensi keadilan, qiyas, dan kemaslahatan pemberi gadai, penerima gadai, serta hewan tersebut adalah penerima gadai mengambil manfaat tunggangannya dan perahannya serta memberi kompensasi dengan biaya perawatan, jika penerima gadai telah mengambil manfaatnya, dan memberi kompensasi biaya perawatan, maka dalam hal ini terdapat penggabungan antara dua kemaslahatan dan dua hak" selesai.
قَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ ﵏:
Sebagian ulama fiqih ﵏ berkata:
"الرَّهْنُ قِسْمَانِ: مَا يَحْتَاجُ إِلَى مُؤْنَةٍ، وَمَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى مُؤْنَةٍ.
"Gadai terbagi menjadi dua: yang membutuhkan biaya perawatan, dan yang tidak membutuhkan biaya perawatan.
وَمَا يَحْتَاجُ إِلَى مُؤْنَةٍ نَوْعَانِ: حَيَوَانٌ مَرْكُوبٌ وَمَحْلُوبٌ؛ تَقَدَّمَ حُكْمُهُ.
Yang membutuhkan biaya perawatan ada dua jenis: hewan tunggangan dan perahan; hukumnya telah dijelaskan sebelumnya.
مَا لَيْسَ بِمَرْكُوبٍ وَلَا مَحْلُوبٍ؛ كَالْعَبْدِ وَالْأَمَةِ؛ فَهَذَا النَّوْعُ لَا يَجُوزُ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ إِلَّا بِإِذْنِ
Yang bukan hewan tunggangan dan perahan; seperti budak laki-laki dan perempuan; jenis ini tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima gadai kecuali dengan izin
مَالِكُهُ، فَإِذَا أَذِنَ لَهُ مَالِكُهُ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ وَيَنْتَفِعَ بِهِ فِي مُقَابَلَةِ ذَلِكَ؛ جَازَ؛ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مُعَاوَضَةٌ.
Pemiliknya, jika pemiliknya mengizinkannya untuk membelanjakan dan memanfaatkannya sebagai imbalan atas hal tersebut; maka diperbolehkan; karena itu adalah sejenis pertukaran.
وَالْقِسْمُ الثَّانِي: مَا لَا يَحْتَاجُ إِلَى مُؤْنَةٍ؛ كَالدَّارِ وَالْمَتَاعِ وَنَحْوِهِ، وَهَذَا النَّوْعُ لَا يَجُوزُ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ؛ إِلَّا بِإِذْنِ الرَّاهِنِ أَيْضًا؛
Bagian kedua: apa yang tidak membutuhkan biaya; seperti rumah, perabotan, dan sejenisnya, dan jenis ini tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima gadai; kecuali dengan izin penggadai juga;
إِلَّا إِنْ كَانَ الرَّهْنُ بِدَيْنِ قَرْضٍ؛ فَلَا يَجُوزُ لِلْمُرْضِ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ كَمَا سَبَقَ؛ لِئَلَّا يَكُونَ قَرْضًا جَرَّ نَفْعًا، فَيَكُونُ مِنَ الرِّبَا".
kecuali jika gadai tersebut adalah utang pinjaman; maka tidak boleh bagi pemberi pinjaman untuk memanfaatkannya seperti yang telah disebutkan sebelumnya; agar tidak menjadi pinjaman yang mendatangkan manfaat, sehingga menjadi riba".
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الضَّمَانِ
وَمِنَ التَّوْثِيقَاتِ الشَّرْعِيَّةِ لِلدُّيُونِ الضَّمَانُ، وَهُوَ مَأْخُوذٌ مِنَ الضَّمْنِ؛ لِأَنَّ ذِمَّةَ الضَّامِنِ صَارَتْ فِي ضَمْنِ ذِمَّةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ، وَقِيلَ: مُشْتَقٌّ مِنَ التَّضَمُّنِ؛ لِأَنَّ ذِمَّةَ الضَّمَانِ تَتَضَمَّنُ الْحَقَّ الْمَضْمُونَ، وَقِيلَ: مُشْتَقٌّ مِنَ الضَّمِّ؛ لِضَمِّ ذِمَّةِ الضَّامِنِ إِلَى ذِمَّةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ فِي الْتِزَامِ الْحَقِّ فَيَثْبُتُ الْحَقُّ فِي ذِمَّتَيْهِمَا جَمِيعًا.
Di antara jaminan syar'i untuk utang adalah ḍamān, yang diambil dari kata ḍamn; karena tanggungan penjamin (ḍāmin) menjadi bagian dari tanggungan orang yang dijamin (maḍmūn 'anhu). Ada yang mengatakan: berasal dari kata taḍammun; karena tanggungan ḍamān mencakup hak yang dijamin. Ada juga yang mengatakan: berasal dari kata ḍamm; karena menggabungkan tanggungan penjamin dengan tanggungan orang yang dijamin dalam menetapkan hak, sehingga hak tersebut menjadi kewajiban keduanya.
وَمَعْنَى الضَّمَانِ شَرْعًا: الْتِزَامُ مَا وَجَبَ عَلَى غَيْرِهِ، مَعَ بَقَائِهِ عَلَى مَضْمُونٍ عَنْهُ، وَالْتِزَامُ مَا قَدْ يَجِبُ أَيْضًا؛ كَأَنْ يَقُولَ: مَا أَعْطَيْتَ فُلَانًا؛ فَهُوَ عَلَيَّ.
Makna ḍamān secara syariat adalah: menetapkan kewajiban yang ada pada orang lain, dengan tetap menjadi tanggungan orang yang dijamin, dan menetapkan kewajiban yang mungkin juga ada; seperti seseorang berkata: "Apa yang engkau berikan kepada si fulan, maka itu menjadi tanggunganku."
وَالضَّمَانُ جَائِزٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ:
Ḍamān diperbolehkan berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma':
قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ﴾؛ أَيْ: ضَامِنٌ.
Allah Ta'ala berfirman: "Dan bagi siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." Artinya: penjamin.
وَرَوَى الْإِمَامُ التِّرْمِذِيُّ مَرْفُوعًا: "الزَّعِيمُ غَارِمٌ" أَيْ ضَامِنٌ
Imam Tirmidzi meriwayatkan secara marfū': "Az-za'īm (penjamin) adalah orang yang menanggung." Artinya: penjamin.
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ الضَّمَانِ فِي الْجُمْلَةِ.
Para ulama telah sepakat tentang kebolehan jaminan secara umum.
وَالْمَصْلَحَةُ تَقْتَضِي ذَلِكَ، بَلْ قَدْ تَدْعُو الْحَاجَةُ وَالضَّرُورَةُ إِلَيْهِ، وَهُوَ مِنَ التَّعَاوُنِ عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى، وَمِنْ قَضَاءِ حَاجَةِ الْمُسْلِمِ، وَتَنْفِيسِ كُرْبَتِهِ.
Kemaslahatan menuntut hal itu, bahkan terkadang kebutuhan dan keadaan darurat mengharuskannya. Ia termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, memenuhi kebutuhan seorang Muslim, dan meringankan kesulitannya.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّتِهِ: أَنْ يَكُونَ الضَّامِنُ جَائِزَ التَّصَرُّفِ؛ لِأَنَّهُ تَحَمُّلُ مَالٍ؛ فَلَا يَصِحُّ مِنْ صَغِيرٍ وَلَا سَفِيهٍ مَحْجُورٍ عَلَيْهِ، وَيُشْتَرَطُ رِضَاهُ أَيْضًا، فَإِنْ أُكْرِهَ عَلَى الضَّمَانِ؛ لَمْ يَصِحَّ لِأَنَّ الضَّمَانَ تَبَرُّعٌ بِالْتِزَامِ الْحَقِّ، فَاعْتُبِرَ لَهُ الرِّضَى كَالتَّبَرُّعِ بِالْأَمْوَالِ.
Disyaratkan untuk sahnya: bahwa penjamin adalah orang yang diperbolehkan bertindak hukum; karena ia menanggung harta; maka tidak sah dari anak kecil dan orang bodoh yang dilarang bertindak hukum. Juga disyaratkan keridhaannya, jika ia dipaksa untuk menjamin; maka tidak sah karena jaminan adalah pemberian sukarela dengan mewajibkan hak, maka dianggap baginya keridhaan seperti pemberian sukarela dengan harta.
وَالضَّمَانُ عَقْدٌ يُقْصَدُ بِهِ نَفْعُ الْمَضْمُونِ وَإِعَانَتُهُ؛ فَلَا يَجُوزُ أَخْذُ الْعِوَضِ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ أَخْذَ الْعِوَضِ عَلَيْهِ، وَلِأَنَّ أَخْذَ الْعِوَضِ عَلَى الضَّمَانِ يَكُونُ كَالْقَرْضِ الَّذِي جَرَّ نَفْعًا؛ فَالضَّمَانُ يَلْزَمُ أَدَاءَ الدَّيْنِ عَنِ الْمَضْمُونِ عِنْدَ مُطَالَبَتِهِ بِذَلِكَ، فَإِذَا أَدَّاهُ لِلْمَضْمُونِ لَهُ؛ فَإِنَّهُ سَيَسْتَرِدُّهُ مِنَ الْمَضْمُونِ عَنْهُ عَلَى صِفَةِ الْقَرْضِ، فَيَكُونُ قَرْضًا جَرَّ نَفْعًا، فَيَجِبُ الِابْتِعَادُ عَنْ مِثْلِ هَذَا، وَأَنْ يَكُونَ الضَّمَانُ مَقْصُودًا بِهِ التَّعَاوُنُ وَالْإِرْفَاقُ، لَا الِاسْتِغْلَالُ وَإِرْهَاقُ الْمُحْتَاجِ.
Jaminan adalah akad yang dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada yang dijamin dan membantunya; maka tidak boleh mengambil imbalan atasnya, karena mengambil imbalan atasnya, dan karena mengambil imbalan atas jaminan itu seperti pinjaman yang mendatangkan manfaat; maka jaminan itu mewajibkan membayar utang orang yang dijamin ketika ia dituntut untuk itu, jika ia membayarnya kepada pihak yang dijamin; maka ia akan mengambilnya kembali dari orang yang dijamin dengan sifat pinjaman, maka itu menjadi pinjaman yang mendatangkan manfaat, maka wajib menjauhkan diri dari yang seperti ini, dan hendaknya jaminan itu dimaksudkan untuk tolong-menolong dan meringankan, bukan untuk mengeksploitasi dan membebani orang yang membutuhkan.
وَيَصِحُّ الضَّمَانُ بِلَفْظِ: أَنَا ضَمِينٌ، أَوْ: أَنَا قَبِيلٌ، أَوْ: أَنَا حَمِيلٌ، أَوْ: أَنَا زَعِيمٌ، وَبِلَفْظِ: تَحَمَّلْتُ دَيْنَكَ، أَوْ: ضَمِنْتُهُ، أَوْ: هُوَ عِنْدِي، وَبِكُلِّ لَفْظٍ يُؤَدِّي مَعْنَى الضَّمَانِ؛ لِأَنَّ الشَّارِعَ لَمْ يَحُدَّ ذَلِكَ بِعِبَارَةٍ مُعَيَّنَةٍ، فَيُرْجَعُ فِيهِ إِلَى الْعُرْفِ.
Jaminan sah dengan lafaz: Aku penjamin, atau: Aku penanggung, atau: Aku pemikul, atau: Aku penanggung jawab, dan dengan lafaz: Aku menanggung utangmu, atau: Aku menjaminnya, atau: Ia ada padaku, dan dengan setiap lafaz yang menunjukkan makna jaminan; karena Pembuat syariat tidak membatasi hal itu dengan ungkapan tertentu, maka dalam hal itu dikembalikan kepada 'urf (kebiasaan).
وَلِصَاحِبِ الْحَقِّ أَنْ يُطَالِبَ مَنْ شَاءَ مِنَ الضَّامِنِ أَوِ الْمَضْمُونِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُ ثَابِتٌ فِي ذِمَّتِهِمَا؛ فَمَلَكَ مُطَالَبَةَ مَنْ شَاءَ مِنْهُمَا، وَلِقَوْلِهِ ﷺ:
Pemilik hak boleh menuntut siapa yang ia kehendaki dari penjamin atau orang yang dijamin; karena haknya tetap dalam tanggungan keduanya; maka ia memiliki tuntutan kepada siapa yang ia kehendaki dari keduanya, dan karena sabdanya ﷺ:
«الزَّعِيمُ غَارِمٌ»، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، الزَّعِيمُ هُوَ الضَّامِنُ، وَالْغَارِمُ مَعْنَاهُ الَّذِي يُؤَدِّي شَيْئًا لَزِمَهُ، وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ.
"Pemimpin adalah penjamin", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan dihasankan, pemimpin adalah penjamin, dan gharim artinya orang yang menunaikan sesuatu yang wajib baginya, dan ini adalah pendapat jumhur.
وَذَهَبَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّ صَاحِبَ الْحَقِّ لَا يَجُوزُ لَهُ مُطَالَبَةُ الضَّامِنِ؛ إِلَّا إِذَا تَعَذَّرَتْ مُطَالَبَةُ الْمَضْمُونِ عَنْهُ؛ لِأَنَّ الضَّمَانَ فَرْعٌ، وَلَا يُصَارُ إِلَيْهِ إِلَّا إِذَا تَعَذَّرَ الْأَصْلُ، لِأَنَّ الضَّمَانَ تَوْثِيقٌ لِلْحَقِّ كَالرَّهْنِ لَا يُسْتَوْفَى مِنْهُ الْحَقُّ إِلَّا عِنْدَ تَعَذُّرِ الِاسْتِيفَاءِ مِنَ الرَّاهِنِ، وَلِأَنَّ مُطَالَبَةَ الضَّامِنِ مَعَ وُجُودِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ وَيُسْرَتِهِ فِيهَا اسْتِقْبَاحٌ مِنَ النَّاسِ؛ لِأَنَّ الْمَعْهُودَ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ لَا يُطَالَبُ الضَّامِنُ إِلَّا عِنْدَ تَعَذُّرِ مُطَالَبَةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ أَوْ عَجْزِهِ عَنِ التَّسْدِيدِ، هَذَا هُوَ الْمُتَعَارَفُ عِنْدَ النَّاسِ. هَذَا مَعْنَى مَا ذَكَرَهُ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ، وَقَالَ: «هَذَا الْقَوْلُ فِي الْقُوَّةِ كَمَا تَرَى».
Sebagian ulama berpendapat bahwa pemilik hak tidak boleh menuntut penjamin; kecuali jika tidak mungkin menuntut orang yang dijamin; karena jaminan adalah cabang, dan tidak boleh beralih kepadanya kecuali jika asalnya tidak mungkin, karena jaminan adalah penguat hak seperti gadai, hak tidak dipenuhi darinya kecuali ketika tidak mungkin memenuhinya dari penggadai, dan karena menuntut penjamin dengan adanya orang yang dijamin dan kemudahannya di dalamnya adalah sesuatu yang buruk dari manusia; karena yang biasa di antara mereka adalah bahwa penjamin tidak dituntut kecuali ketika tidak mungkin menuntut orang yang dijamin atau ketidakmampuannya untuk membayar, ini adalah kebiasaan di antara manusia. Ini adalah makna dari apa yang disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim, dan dia berkata: "Pendapat ini kuat seperti yang kamu lihat."
وَمِنْ مَسَائِلِ الضَّمَانِ أَنَّ ذِمَّةَ الضَّامِنِ لَا تَبْرَأُ إِلَّا إِذَا بَرِئَتْ ذِمَّةُ الْمَضْمُونِ عَنْهُ مِنَ الدَّيْنِ بِإِبْرَاءٍ أَوْ قَضَاءٍ؛ لِأَنَّ ذِمَّةَ الضَّامِنِ فَرْعٌ عَنْ ذِمَّةِ الْمَضْمُونِ وَتَبَعٌ لَهَا، وَلِأَنَّ الضَّمَانَ وَثِيقَةٌ، فَإِذَا بَرِئَ الْأَصْلُ؛ زَالَتِ الْوَثِيقَةُ؛ كَالرَّهْنِ.
Di antara masalah jaminan adalah bahwa tanggungan penjamin tidak lepas kecuali jika tanggungan orang yang dijamin telah lepas dari utang dengan pembebasan atau pelunasan; karena tanggungan penjamin adalah cabang dari tanggungan orang yang dijamin dan mengikutinya, dan karena jaminan adalah penguat, jika asal telah lepas; maka hilanglah penguat; seperti gadai.
وَمِنْ مَسَائِلِ الضَّمَانِ أَنَّهُ يَجُوزُ تَعَدُّدُ الضَّامِنِينَ، فَيَجُوزُ أَنْ يَضْمَنَ الْحَقَّ اثْنَانِ فَأَكْثَرُ، سَوَاءٌ ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا جَمِيعَهُ أَوْ جُزْءًا مِنْهُ، وَلَا يَبْرَأُ أَحَدٌ مِنْهُمْ إِلَّا بِبَرَاءَةِ الْآخَرِ، وَيَبْرَؤُونَ جَمِيعًا بِبَرَاءَةِ الْمَضْمُونِ عَنْهُ.
Di antara masalah jaminan adalah bolehnya ada banyak penjamin, maka boleh bagi dua orang atau lebih untuk menjamin hak, baik setiap orang dari mereka menjamin seluruhnya atau sebagiannya, dan salah satu dari mereka tidak lepas kecuali dengan lepasnya yang lain, dan mereka semua lepas dengan lepasnya orang yang dijamin.
وَمِنْ مَسَائِلِ الضَّمَانِ أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ فِي صِحَّتِهِ مَعْرِفَةُ الضَّامِنِ لِلْمَضْمُونِ عَنْهُ، كَأَنْ يَقُولَ: مَنْ اسْتَدَانَ مِنْكَ؛ فَأَنَا ضَمِينٌ، وَلَا يُشْتَرَطُ مَعْرِفَةُ الضَّامِنِ لِلْمَضْمُونِ لَهُ؛ لَا يُشْتَرَطُ رِضَى الْمَضْمُونِ لَهُ وَالْمَضْمُونِ عَنْهُ؛ فَلَا يُشْتَرَطُ مَعْرِفَتُهُمَا.
Dan di antara masalah ḍamān adalah bahwa tidak disyaratkan dalam keabsahannya pengetahuan ḍāmin (penjamin) terhadap maḍmūn 'anhu (orang yang dijamin), seperti jika ia berkata: "Siapa yang berutang kepadamu, maka aku adalah penjaminnya", dan tidak disyaratkan pengetahuan ḍāmin terhadap maḍmūn lahu (orang yang dijamin untuknya); tidak disyaratkan kerelaan maḍmūn lahu dan maḍmūn 'anhu; maka tidak disyaratkan pengetahuan keduanya.
وَمِنْ مَسَائِلِ الضَّمَانِ أَنَّهُ يَصِحُّ ضَمَانُ الْمَعْلُومِ وَضَمَانُ الْمَجْهُولِ إِذَا كَانَ يَؤُولُ إِلَى الْعِلْمِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ﴾؛ لِأَنَّ حِمْلَ الْبَعِيرِ غَيْرُ مَعْلُومٍ؛ لَكِنَّهُ يَؤُولُ إِلَى الْعِلْمِ، فَدَلَّتِ الْآيَةُ عَلَى جَوَازِهِ.
Dan di antara masalah ḍamān adalah bahwa sah ḍamān (jaminan) terhadap sesuatu yang diketahui dan ḍamān terhadap sesuatu yang tidak diketahui jika akan mengarah kepada pengetahuan; berdasarkan firman Allah Ta'ālā: "Dan bagi siapa yang membawanya akan memperoleh bawaan unta, dan aku menjamin terhadapnya"; karena bawaan unta tidak diketahui; tetapi hal itu akan mengarah kepada pengetahuan, maka ayat tersebut menunjukkan kebolehannya.
وَمِنْ مَسَائِلِ الضَّمَانِ أَنَّهُ يَصِحُّ عُهْدَةُ الْمَبِيعِ الْعُهْدَةُ هِيَ الدَّرْكُ؛ بِأَنْ يَضْمَنَ الثَّمَنَ إِذَا ظَهَرَ الْمَبِيعُ مُسْتَحَقًّا لِغَيْرِ الْبَائِعِ.
Dan di antara masalah ḍamān adalah bahwa sah 'uhdah (jaminan) terhadap barang yang dijual. Al-'Uhdah adalah ad-dark (tanggung jawab); dengan menjamin harga jika ternyata barang yang dijual adalah hak orang lain selain penjual.
وَمِنْ مَسَائِلِ الضَّمَانِ أَنَّهُ يَجُوزُ ضَمَانُ مَا يَجِبُ عَلَى الشَّخْصِ؛ كَأَنْ يَضْمَنَ مَا يَلْزَمُ مِنْ دَيْنٍ وَنَحْوِهِ.
Dan di antara masalah ḍamān adalah bahwa boleh menjamin apa yang wajib atas seseorang; seperti menjamin hutang yang harus dibayar dan semisalnya.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْكَفَالَةِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْكَفَالَةِ
Bab tentang hukum-hukum kafalah (jaminan)
الْكَفَالَةُ هِيَ الْتِزَامُ إِحْضَارِ مَنْ عَلَيْهِ حَقٌّ مَالِيٌّ لِرَبِّهِ.
Kafalah adalah komitmen untuk menghadirkan orang yang memiliki hak finansial kepada pemiliknya.
فَالْعَقْدُ فِي الْكَفَالَةِ وَاقِعٌ عَلَى بَدَنِ الْمَكْفُولِ، بِبَدَنِ مَنْ عَلَيْهِ حَدٌّ؛ لِأَنَّ الْكَفَالَةَ اسْتِيثَاقٌ، وَالْحُدُودُ مَبْنَاهَا عَلَى الدَّرْءِ بِالشُّبُهَاتِ؛ فَلَا يَدْخُلُ فِيهَا الِاسْتِيثَاقُ، وَلَا تَصِحُّ الْكَفَالَةُ بِبَدَنِ مَنْ عَلَيْهِ قِصَاصٌ؛ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ اسْتِيفَاؤُهُ مِنْ غَيْرِ الْجَانِي، وَلَا يَجُوزُ اسْتِيفَاؤُهُ مِنَ الْكَفِيلِ إِذَا تَعَذَّرَ عَلَيْهِ إِحْضَارُ الْمَكْفُولِ.
Kontrak dalam kafalah berlaku pada badan orang yang dijamin, dengan badan orang yang memiliki had; karena kafalah adalah jaminan, dan hudud didasarkan pada penolakan dengan syubhat; maka jaminan tidak termasuk di dalamnya, dan kafalah tidak sah dengan badan orang yang memiliki qisas; karena tidak mungkin dilaksanakan dari selain pelaku, dan tidak boleh dilaksanakan dari kafil jika tidak mampu menghadirkan makful.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْكَفَالَةِ أَنْ تَكُونَ بِرِضَى الْكَفِيلِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ الْحَقُّ ابْتِدَاءً إِلَّا بِرِضَاهُ.
Dan disyaratkan untuk sahnya kafalah bahwa ia dilakukan dengan kerelaan kafil; karena hak tidak wajib baginya pada awalnya kecuali dengan kerelaannya.
وَيَبْرَأُ الْكَفِيلُ بِمَوْتِ الْمَكْفُولِ الْمُتَعَذِّرِ إِحْضَارُهُ، وَيَبْرَأُ كَذَلِكَ بِتَسْلِيمِ الْمَكْفُولِ نَفِيهِ لِرَبِّ الْحَقِّ فِي مَحَلِّ التَّسْلِيمِ وَأَجَلِهِ؛ لِأَنَّهُ أَتَى بِمَا يَلْزَمُ الْكَفِيلَ، وَإِذَا تَعَذَّرَ إِحْضَارُ الْمَكْفُولِ مَعَ حَيَاتِهِ أَوْ غَابَ وَمَضَى زَمَنٌ يُمْكِنُ إِحْضَارُهُ فِيهِ؛ فَإِنَّ الْكَفِيلَ يَضْمَنُ مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ؛ لِعُمُومِ قَوْلِهِ ﷺ:
Dan kafil bebas dengan kematian makful yang tidak mungkin dihadirkan, dan ia juga bebas dengan menyerahkan makful kepada pemilik hak di tempat penyerahan dan pada waktunya; karena ia telah melakukan apa yang wajib bagi kafil, dan jika tidak mungkin menghadirkan makful saat ia hidup atau ia tidak hadir dan telah berlalu waktu yang memungkinkan untuk menghadirkannya; maka kafil menjamin utang yang ada padanya; karena keumuman sabdanya ﷺ:
"الزَّعِيمُ غَارِمٌ".
"Pemimpin adalah penanggung jawab".
وَمِنْ مَسَائِلِ الْكَفَالَةِ: أَنَّهُ يَجُوزُ ضَمَانُ مَعْرِفَةِ الشَّخْصِ، كَمَا لَوْ جَاءَ إِنْسَانٌ لِيَسْتَدِينَ مِنْ إِنْسَانٍ، فَقَالَ: أَنَا لَا أَعْرِفُكَ فَلَا أُعْطِيكَ.
Dan di antara permasalahan kafalah: bahwa boleh menjamin pengenalan seseorang, seperti jika seseorang datang untuk meminjam dari orang lain, lalu ia berkata: aku tidak mengenalmu maka aku tidak akan memberimu.
فَقَالَ شَخْصٌ آخَرُ: أَنَا أَضْمَنُ لَكَ مَعْرِفَتَهُ؛ أَيْ: أُعَرِّفُكَ مَنْ هُوَ وَأَيْنَ هُوَ؛ فَإِنَّهُ يَلْزَمُ بِإِحْضَارِهِ إِذَا غَابَ، وَلَا يَكْفِي أَنْ يَذْكُرَ اسْمَهُ وَمَكَانَهُ، فَإِنْ عَجَزَ عَنْ إِحْضَارِهِ مَعَ حَيَاتِهِ؛ ضَمِنَ مَا عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ هُوَ الَّذِي دَفَعَ الدَّائِنَ أَنْ يُعْطِيَهُ مَالَهُ بِتَكَفُّلِهِ لِمَعْرِفَتِهِ، فَكَأَنَّهُ قَالَ: ضَمِنْتُ لَكَ حُضُورَ مَتَى أَرَدْتَ، فَصَارَ ذَلِكَ كَمَا لَوْ قَالَ: تَكَفَّلْتُ لَكَ بِبَدَنِهِ.
Lalu orang lain berkata: aku menjamin bagimu pengenalan tentangnya; yaitu: aku memberitahumu siapa dia dan di mana dia; maka ia wajib menghadirkannya jika ia tidak ada, dan tidak cukup hanya menyebutkan nama dan tempatnya, jika ia tidak mampu menghadirkannya saat ia masih hidup; ia menjamin apa yang menjadi tanggungannya; karena dialah yang mendorong pemberi utang untuk memberikan hartanya dengan menjamin perkenalannya, seakan-akan ia berkata: aku menjamin bagimu kehadirannya kapan pun kamu mau, maka hal itu menjadi seperti seandainya ia berkata: aku menjamin bagimu dirinya.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْحَوَالَةِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْحَوَالَةِ
Bab tentang hukum-hukum hawalah
الْحَوَالَةُ لُغَهً: مُشْتَقَّةٌ مِنَ التَّحَوُّلِ؛ لِأَنَّهَا تُحَوِّلُ الدَّيْنَ مِنْ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ أُخْرَى، وَمِنْ ثَمَّ عَرَّفَهَا الْفُقَهَاءُ بِأَنَّهَا نَقْلُ دَيْنٍ مِنْ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ أُخْرَى.
Hawalah secara bahasa: berasal dari kata tahawwul (perpindahan); karena hawalah memindahkan utang dari satu tanggungan ke tanggungan lainnya, oleh karena itu para fuqaha mendefinisikannya sebagai pemindahan utang dari satu tanggungan ke tanggungan lainnya.
وَهِيَ ثَابِتَةٌ بِدَلِيلِ السُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ:
Hawalah ditetapkan berdasarkan dalil dari sunnah dan ijma':
قَالَ ﷺ: "إِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ؛ فَلْيَتْبَعْ"، وَفِي لَفْظٍ: "مَنْ أُحِيلَ بِحَقِّهِ عَلَى مَلِيءٍ؛ فَلْيَحْتَلْ".
Nabi ﷺ bersabda: "Jika salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang mampu; maka ikutilah", dan dalam lafaz lain: "Barangsiapa yang dialihkan haknya kepada orang yang mampu; maka terimalah".
قَدْ حَكَى غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْإِجْمَاعَ عَلَى ثُبُوتِهَا.
Lebih dari satu ulama telah menyebutkan adanya ijma' atas penetapannya.
وَفِيهَا إِرْفَاقٌ بَيْنَ النَّاسِ، وَتَسْهِيلٌ لِسُبُلِ مُعَامَلَاتِهِمْ، وَتَسَامُحٌ، وَتَعَاوُنٌ عَلَى قَضَاءِ حَاجَاتِهِمْ، وَتَسْدِيدُ دُيُونِهِمْ، وَتَوْفِيرُ رَاحَتِهِمْ.
Di dalamnya terdapat kemudahan di antara manusia, mempermudah jalan muamalah mereka, toleransi, saling membantu dalam memenuhi kebutuhan mereka, melunasi utang mereka, dan memberikan kenyamanan bagi mereka.
وَقَدْ ظَنَّ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّ الْحَوَالَةَ عَلَى غَيْرِ وَفْقِ الْقِيَاسِ؛ لِأَنَّهَا بَيْعُ دَيْنٍ بِدَيْنٍ، وَبَيْعُ الدَّيْنِ بِالدَّيْنِ مَمْنُوعٌ، لَكِنَّهُ جَازَ فِي الْحَوَالَةِ عَلَى غَيْرِ وَفْقِ
Sebagian orang mengira bahwa hawalah tidak sesuai dengan qiyas; karena ia adalah menjual utang dengan utang, dan menjual utang dengan utang adalah terlarang, tetapi ia dibolehkan dalam hawalah tidak sesuai dengan
الْقِيَاسُ، وَقَدْ رَدَّ هَذَا الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ، وَبَيَّنَ أَنَّهَا جَارِيَةٌ عَلَى وَفْقِ الْقِيَاسِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ جِنْسِ إِيفَاءِ الْحَقِّ، لَا مِنْ جِنْسِ الْبَيْعِ.
Qiyas, dan ini telah ditolak oleh Al-'Allamah Ibnu Al-Qayyim, dan ia menjelaskan bahwa hal itu sesuai dengan qiyas; karena ia termasuk jenis pemenuhan hak, bukan jenis jual beli.
قَالَ: "وَإِنْ كَانَتْ بَيْعَ دَيْنٍ بِدَيْنٍ؛ فَلَمْ يَنْهَ الشَّارِعُ عَنْ ذَلِكَ، بَلْ قَوَاعِدُ الشَّرْعِ تَقْتَضِي جَوَازَهُ؛ فَإِنَّهَا اقْتَضَتْ نَقْلَ الدَّيْنِ وَتَحْوِيلَهُ مِنْ ذِمَّةِ الْمُحِيلِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ" انْتَهَى.
Ia berkata: "Meskipun itu adalah menjual utang dengan utang; Syari' tidak melarang hal itu, bahkan kaidah-kaidah syariat mengharuskan kebolehannya; karena ia mengharuskan pemindahan utang dan pengalihannya dari tanggungan muhil (yang mengalihkan) kepada tanggungan muhal 'alaih (yang dialihkan kepadanya)." Selesai.
وَلَا تَصِحُّ الْحَوَالَةُ إِلَّا بِشُرُوطٍ:
Hawalah tidak sah kecuali dengan syarat-syarat:
الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ تَكُونَ عَلَى دَيْنٍ مُسْتَقِرٍّ فِي ذِمَّةِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ مُقْتَضَاهَا إِلْزَامُ الْمُحَالِ عَلَيْهِ بِالدَّيْنِ، وَإِذَا كَانَ هَذَا الدَّيْنُ غَيْرَ مُسْتَقِرٍّ؛ فَهُوَ عُرْضَةٌ لِلسُّقُوطِ؛ فَلَا تَثْبُتُ الْحَوَالَةُ عَلَيْهِ؛ فَلَا تَصِحُّ الْحَوَالَةُ عَلَى ثَمَنِ مَبِيعٍ فِي مُدَّةِ الْخِيَارِ، وَلَا تَصِحُّ الْحَوَالَةُ مِنَ الِابْنِ عَلَى أَبِيهِ إِلَّا بِرِضَاهُ.
Syarat pertama: Hawalah harus atas utang yang tetap dalam tanggungan muhal 'alaih; karena konsekuensinya adalah mewajibkan muhal 'alaih untuk membayar utang, dan jika utang ini tidak tetap; maka ia rentan untuk gugur; sehingga hawalah tidak berlaku padanya; maka tidak sah hawalah atas harga barang yang dijual dalam masa khiyar, dan tidak sah hawalah dari anak kepada ayahnya kecuali dengan persetujuannya.
الشَّرْطُ الثَّانِي: اتِّفَاقُ الدَّيْنَيْنِ الْمُحَالِ بِهِ وَالْمُحَالِ عَلَيْهِ؛ أَيْ: تَمَاثُلُهُمَا فِي الْجِنْسِ؛ كَدَرَاهِمَ، وَتَمَاثُلُهُمَا فِي الْوَصْفِ؛ كَأَنْ يُحِيلَ بِدَرَاهِمَ مَضْرُوبَةٍ عَلَى دَارِهِمَ مَضْرُوبَةٍ، وَنُقُودٍ سُعُودِيَّةٍ مَثَلًا عَلَى نُقُودٍ سُعُودِيَّةٍ مِثْلِهَا، وَتَمَاثُلُهُمَا فِي الْوَقْتِ؛ أَيْ: فِي الْحُلُولِ وَالتَّأْجِيلِ، فَلَوْ كَانَ أَحَدُ الدَّيْنَيْنِ حَالًّا وَالْآخَرُ مُؤَجَّلًا، أَنْ أَحَدُهُمَا يَحِلُّ بَعْدَ شَهْرٍ وَالْآخَرُ يَحِلُّ بَعْدَ شَهْرَيْنِ؛ لَمْ تَصِحَّ الْحَوَالَةُ، وَتَمَاثُلُ الدَّيْنَيْنِ فِي الْمِقْدَارِ؛ فَلَا تَصِحُّ الْحَوَالَةُ بِمِئَةٍ مَثَلًا عَلَى تِسْعِينَ رِيَالًا؛ لِأَنَّهَا عَقْدُ إِرْفَاقٍ؛ كَالْقَرْضِ، فَلَوْ جَازَ التَّفَاضُلُ فِيهَا؛ لَخَرَجَتْ عَنْ مَوْضُوعِهَا وَهُوَ الْإِرْفَاقُ إِلَى طَلَبِ الزِّيَادَةِ بِهَا، وَهَذَا لَا يَجُوزُ كَمَا
Syarat kedua: Kesamaan antara utang yang dialihkan (muhal bih) dan utang yang dialihkan kepadanya (muhal 'alaih); yaitu: kesamaan dalam jenis; seperti dirham, kesamaan dalam sifat; seperti mengalihkan dirham yang dicetak kepada dirham yang dicetak, dan mata uang Saudi misalnya kepada mata uang Saudi yang serupa, kesamaan dalam waktu; yaitu: dalam hal jatuh tempo dan penangguhan, jika salah satu dari dua utang itu kontan dan yang lainnya ditangguhkan, bahwa salah satunya jatuh tempo setelah satu bulan dan yang lainnya jatuh tempo setelah dua bulan; maka hawalah tidak sah, dan kesamaan dua utang dalam jumlah; maka tidak sah hawalah dengan seratus misalnya atas sembilan puluh riyal; karena ia adalah akad kebaikan; seperti pinjaman, jika diperbolehkan perbedaan di dalamnya; maka ia akan keluar dari tujuannya yaitu kebaikan kepada meminta tambahan dengannya, dan ini tidak boleh sebagaimana
لَا يَجُوزُ فِي الْقَرْضِ، لَكِنْ لَوْ أَحَالَ بِبَعْضِ مَا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ، أَوْ أَحَالَ عَلَى بَعْضِ مَا لَهُ مِنَ الدَّيْنِ؛ جَازَ ذَلِكَ، وَيَبْقَى الزَّائِدُ بِحَالِهِ لِصَاحِبِهِ.
Tidak diperbolehkan dalam pinjaman, tetapi jika seseorang mengalihkan sebagian utangnya, atau mengalihkan kepada sebagian piutangnya; maka itu diperbolehkan, dan kelebihan tetap menjadi milik pemiliknya.
الشَّرْطُ الثَّالِثُ: رِضَى الْمُحِيلِ؛ لِأَنَّ الْحَقَّ عَلَيْهِ؛ فَلَا يَلْزَمُهُ أَنْ يُسَدِّدَهُ عَنْ طَرِيقِ الْحَوَالَةِ، وَلَا يُشْتَرَطُ رِضَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ؛ كَمَا لَا يُشْتَرَطُ أَيْضًا رِضَى الْمُحْتَالِ إِذَا أُحِيلَ عَلَى مَلِيءٍ غَيْرِ مُمَاطِلٍ، بَلْ يُجْبَرُ عَلَى قَبُولِ الْحَوَالَةِ، وَمُطَالَبَةِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ بِحَقِّهِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ؛ فَلْيَتْبَعْ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَفِي لَفْظٍ: "مَنْ أُحِيلَ عَلَى مَلِيءٍ، فَلْيَحْتَلْ"؛ أَيْ: لِيَقْبَلِ الْحَوَالَةَ، وَالْمَلِيءُ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى الْوَفَاءِ، الَّذِي لَا يُعْرَفُ بِمُمَاطَلَةٍ، فَإِنْ كَانَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ غَيْرَ مَلِيءٍ؛ لَمْ يَلْزَمِ الْمُحَالَ قَبُولَ الْحَوَالَةِ عَلَيْهِ؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الضَّرَرِ عَلَيْهِ.
Syarat ketiga: kerelaan muhil (yang mengalihkan); karena hak ada padanya; maka ia tidak wajib melunasinya melalui hiwalah, dan tidak disyaratkan kerelaan muhal 'alaih (yang dialihkan kepadanya); sebagaimana juga tidak disyaratkan kerelaan muhtal (yang menerima pengalihan) jika dialihkan kepada orang yang mampu dan tidak menunda-nunda, bahkan ia dipaksa untuk menerima hiwalah, dan menuntut haknya dari muhal 'alaih; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Menunda pembayaran bagi orang kaya adalah kezaliman, dan jika salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang mampu; maka ikutilah", muttafaq 'alaih, dan dalam lafaz lain: "Barangsiapa yang dialihkan kepada orang yang mampu, maka terimalah hiwalah"; yaitu: hendaklah ia menerima hiwalah, dan orang yang mampu adalah yang mampu memenuhi, yang tidak dikenal suka menunda-nunda, jika muhal 'alaih tidak mampu; maka muhtal tidak wajib menerima hiwalah kepadanya; karena adanya kerugian baginya dalam hal itu.
وَبِهَذِهِ الْمُنَاسَبَةِ؛ فَالنَّصِيحَةُ لِمَنْ عَلَيْهِمْ حُقُوقٌ لِلنَّاسِ وَعِنْدَهُمُ الْمَقْدِرَةُ عَلَى تَسْدِيدِهَا أَنْ يُبَادِرُوا بِإِبْرَاءِ ذِمَمِهِمْ بِأَدَائِهَا لِأَصْحَابِهَا أَوْ لِمَنْ أُحِيلَ عَلَيْهِمْ بِهَا، وَأَنْ لَا يُلَطِّخُوا سُمْعَتَهُمْ بِالْمُمَاطَلَةِ وَالْمُرَاوَغَةِ؛ فَكَثِيرًا مَا نَسْمَعُ التَّظَلُّمَاتِ مِنْ أَصْحَابِ الْحُقُوقِ بِسَبَبِ تَأْخِيرِ حُقُوقِهِمْ وَتَسَاهُلِ الْمَدِينِينَ بِتَسْدِيدِهَا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ، كَمَا أَنَّنَا كَثِيرًا مَا نَسْمَعُ مُمَاطَلَةَ الْأَغْنِيَاءِ بِتَسْدِيدِ الْحَوَالَاتِ الْمُوَجَّهَةِ إِلَيْهِمْ، وَإِتْعَابَ الْمُحَالِينَ، حَتَّى أَصْبَحَتِ الْحَوَالَةُ شَبَحًا مُخِيفًا، يَنْفِرُ مِنْهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ؛ بِسَبَبِ ظُلْمِ النَّاسِ.
Dalam kesempatan ini; nasihat bagi mereka yang memiliki hak-hak orang lain dan memiliki kemampuan untuk melunasinya adalah agar mereka segera membebaskan tanggungan mereka dengan menunaikannya kepada pemiliknya atau kepada orang yang dialihkan kepadanya, dan agar mereka tidak mencoreng reputasi mereka dengan penundaan dan pengelakan; karena kita sering mendengar keluhan dari pemilik hak-hak karena penundaan hak-hak mereka dan kelalaian para penghutang dalam melunasinya tanpa alasan syar'i, sebagaimana kita juga sering mendengar penundaan orang-orang kaya dalam melunasi hiwalah yang diarahkan kepada mereka, dan menyusahkan para muhtal, hingga hiwalah menjadi hantu yang menakutkan, yang dijauhi oleh banyak orang; karena kezaliman manusia.
وَإِذَا صَحَّتِ الْحَوَالَةُ؛ بِأَنِ اجْتَمَعَتْ شُرُوطُهَا الْمَذْكُورَةُ؛ فَإِنَّ الْحَقَّ يَنْتَقِلُ بِهَا مِنْ ذِمَّةِ الْمُحِيلِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُحَالِ عَلَيْهِ، وَتَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمُحِيلِ مِنْ هَذَا الْحَقِّ؛ لِأَنَّ مَعْنَاهَا تَحْوِيلُ الْحَقِّ مِنْ ذِمَّةٍ،
Dan jika ḥawālah itu sah; dengan terkumpulnya syarat-syarat yang disebutkan; maka hak itu berpindah dengannya dari tanggungan muḥīl kepada tanggungan muḥāl 'alaih, dan lepaslah tanggungan muḥīl dari hak ini; karena maknanya adalah memindahkan hak dari satu tanggungan,
فَلَا يَسُوغُ لِلْمُحَالِ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الْمُحِيلِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُ انْتَقَلَ إِلَى غَيْرِهِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَصْرِفَ وَجْهَتَهُ وَطَالِبَتَهُ إِلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ، فَيَسْتَوْفِي مِنْهُ أَوْ يَصْطَلِحَ مَعَهُ عَلَى أَيِّ شَكْلٍ فِي نَوْعِيَّةِ الِاسْتِيفَاءِ؛
maka tidak boleh bagi muḥāl untuk kembali kepada muḥīl; karena haknya telah berpindah kepada yang lain, maka ia harus mengalihkan arah dan tuntutannya kepada muḥāl 'alaih, lalu ia memenuhinya darinya atau berdamai dengannya dalam bentuk apa pun dalam jenis pemenuhan;
فَالْحَوَالَةُ الشَّرْعِيَّةُ وَفَاءٌ صَحِيحٌ وَطَرِيقٌ مَشْرُوعٌ، وَفِيهَا تَيْسِيرٌ عَلَى النَّاسِ إِذَا اسْتُغِلَّتْ اسْتِغْلَالًا صَحِيحًا وَاسْتُعْمِلَتْ اسْتِعْمَالًا حَسَنًا وَلَمْ يَكُنْ فِيهَا مُخَادَعَةٌ وَلَا مُرَاوَغَةٌ.
Maka ḥawālah yang sesuai syariat adalah pemenuhan yang sah dan cara yang disyariatkan, dan di dalamnya terdapat kemudahan bagi manusia jika dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang benar dan digunakan dengan penggunaan yang baik dan tidak ada penipuan atau tipu daya di dalamnya.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْوَكَالَةِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْوَكَالَةِ
Bab tentang hukum-hukum wakalah
الْوَكَالَةُ بِفَتْحِ الْوَاوِ وَكَسْرِهَا: التَّفْوِيضُ، تَقُولُ: وَكَّلْتُ أَمْرِي إِلَى اللهِ؛ أَيْ: فَوَّضْتُهُ إِلَيْهِ، وَاصْطِلَاحًا: اسْتِنَابَةُ جَائِزِ التَّصَرُّفِ مِثْلَهُ فِيمَا تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ.
Wakalah dengan fathah pada huruf waw dan kasrah pada huruf waw: pendelegasian, Anda berkata: Saya mewakilkan urusanku kepada Allah; yaitu: saya menyerahkannya kepada-Nya, dan secara istilah: penggantian orang yang boleh bertindak seperti dirinya dalam hal yang dapat diwakilkan.
وَهِيَ جَائِزَةٌ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ.
Dan wakalah diperbolehkan berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma'.
قَالَ تَعَالَى: ﴿فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا﴾ .
Allah Ta'ala berfirman: "Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini", dan Allah Ta'ala berfirman: "Dia (Yusuf) berkata, 'Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir)'", dan Allah Ta'ala berfirman: "dan orang-orang yang bekerja (untuk zakat)".
وَوَكَّلَ ﷺ عُرْوَةَ بْنَ الْجَعْدِ فِي شِرَاءِ الشَّاةِ، وَأَبَا رَافِعٍ تَزْوِيجَهُ ﷺ مَيْمُونَةَ، وَكَانَ يَبْعَثُ عُمَّالَهُ الزَّكَاةَ.
Dan Nabi ﷺ mewakilkan Urwah bin Al-Ja'd dalam membeli kambing, dan Abu Rafi' dalam pernikahan beliau ﷺ dengan Maimunah, dan beliau mengutus para pekerjanya untuk (mengumpulkan) zakat.
ذَكَرَ المُوَفَّقُ وَغَيْرُهُ إِجْمَاعَ الأُمَّةِ عَلَى جَوَازِ الوَكَالَةِ فِي الجُمْلَةِ، وَالحَاجَةُ دَاعِيَةٌ إِلَيْهَا، إِذْ لَا يُمْكِنُ كُلَّ أَحَدٍ فِعْلَ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ بِنَفْسِهِ.
Al-Muwaffaq dan lainnya menyebutkan ijma' umat tentang kebolehan wakalah secara umum, dan kebutuhan mendorong kepadanya, karena tidak mungkin setiap orang melakukan apa yang dibutuhkannya sendiri.
مَا تَنْعَقِدُ بِهِ الوَكَالَةُ:
Apa yang mengikat wakalah:
تَنْعَقِدُ الوَكَالَةُ بِكُلِّ قَوْلٍ يَدُلُّ عَلَى الإِذْنِ؛ كَ: افْعَلْ كَذَا، أَوْ أَذِنْتُ لَكَ فِي فِعْلِ كَذَا.
Wakalah terikat dengan setiap perkataan yang menunjukkan izin; seperti: lakukan ini, atau saya izinkan kamu melakukan ini.
وَيَصِحُّ القَبُولُ عَلَى الفَوْرِ وَعَلَى التَّرَخِّي بِكُلِّ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ يَدُلُّ عَلَى القَبُولِ؛ لِأَنَّ قَبُولَ وُكَلَائِهِ ﷺ كَانَ مُتَرَاخِيًا عَنْ تَوْكِيلِهِ إِيَّاهُمْ.
Dan sah menerima secara langsung atau ditunda dengan setiap perkataan atau perbuatan yang menunjukkan penerimaan; karena penerimaan para wakil Nabi ﷺ tertunda dari penunjukan beliau kepada mereka.
وَتَصِحُّ الوَكَالَةُ مُؤَقَّتَةً وَمُعَلَّقَةً بِشَرْطٍ؛ كَأَنْ يَقُولَ: أَنْتَ وَكِيلِي شَهْرًا، وَكَقَوْلِهِ: إِذَا تَمَّتْ إِجَازَةُ دَارِي؛ فَبِعْهَا.
Dan sah wakalah yang dibatasi waktu dan digantungkan pada syarat; seperti jika dia berkata: kamu wakilku selama sebulan, dan seperti perkataannya: jika sewa rumahku selesai; maka juallah.
وَيُعْتَبَرُ تَعْيِينُ الوَكِيلِ؛ فَلَا تَنْعَقِدُ بِقَوْلِهِ: وَكَّلْتُ أَحَدَ هَذَيْنِ، أَوْ بِتَوْكِيلِ مَنْ لَا يَعْرِفُهُ.
Dan dianggap menentukan wakil; maka tidak sah dengan perkataannya: saya mewakilkan salah satu dari dua orang ini, atau dengan mewakilkan orang yang tidak dikenalnya.
مَا يَصِحُّ التَّوْكِيلُ فِيهِ:
Apa yang sah diwakilkan:
يَصِحُّ التَّوْكِيلُ فِي كُلِّ مَا تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ مِنْ حُقُوقِ الآدَمِيِّينَ مِنَ العُقُودِ وَالفُسُوخِ؛ فَالعُقُودُ مِثْلُ البَيْعِ وَالشِّرَاءِ وَالإِجَارَةِ وَالقَرْضِ وَالمُضَارَبَةِ، وَالفُسُوخُ كَالطَّلَاقِ وَالخُلْعِ وَالعِتْقِ وَالإِقَالَةِ، وَتَصِحُّ الوَكَالَةُ فِي كُلِّ مَا تَدْخُلُهُ النِّيَابَهُ مِنْ حُقُوقِ اللهِ مِنَ العِبَادَاتِ؛
Sah mewakilkan dalam segala sesuatu yang dapat diwakilkan dari hak-hak manusia berupa akad dan pembatalan; akad seperti jual beli, sewa menyewa, pinjaman, dan mudharabah, dan pembatalan seperti talak, khulu', memerdekakan budak, dan iqalah, dan sah wakalah dalam segala sesuatu yang dapat diwakilkan dari hak-hak Allah berupa ibadah;
كَتَفْرِيقِ الصَّدَقَةِ، وَإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ، وَالنَّذْرِ، وَالْكَفَّارَةِ، وَالْحَجِّ، وَالْعُمْرَةِ؛ لِوُرُودِ الْأَدِلَّةِ بِذَلِكَ.
Seperti membagikan sedekah, mengeluarkan zakat, nazar, kafarat, haji, dan umrah; karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan hal itu.
وَأَمَّا مَا لَا تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ مِنْ حُقُوقِ اللهِ تَعَالَى؛ فَلَا يَصِحُّ التَّوْكِيلُ فِيهِ، هُوَ الْعِبَادَاتُ الْبَدَنِيَّةُ؛ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالطَّهَارَةِ مِنَ الْحَدَثِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَتَعَلَّقُ بِبَدَنِ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ.
Adapun apa yang tidak dapat diwakilkan dari hak-hak Allah Ta'ala; maka tidak sah mewakilkannya, yaitu ibadah-ibadah fisik; seperti shalat, puasa, dan bersuci dari hadats; karena hal itu terkait dengan fisik orang yang berkewajiban melakukannya.
وَتَصِحُّ الْوَكَالَةُ فِي إِثْبَاتِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَائِهَا؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ؛ فَارْجُمْهَا"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dan sah mewakilkan dalam menetapkan dan melaksanakan hukuman hudud; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Pergilah wahai Unais kepada istri orang ini, jika dia mengaku; maka rajamlah dia", muttafaq 'alaih.
وَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُوَكِّلَ فِيمَا وُكِّلَ فِيهِ؛ إِلَّا فِي مَسَائِلَ، وَهِيَ:
Dan wakil tidak boleh mewakilkan apa yang diwakilkan kepadanya; kecuali dalam beberapa masalah, yaitu:
الْأُولَى: إِذَا أَجَازَ لَهُ الْمُوَكِّلُ ذَلِكَ؛ بِأَنْ يَقُولَ: وَكِّلْ إِذَا شِئْتَ، أَوْ يَقُولَ: اصْنَعْ مَا شِئْتَ.
Pertama: Jika pemberi kuasa mengizinkannya; dengan mengatakan: "Wakilkanlah jika kamu mau", atau mengatakan: "Lakukanlah apa yang kamu mau".
الثَّانِيَةُ: إِذَا كَانَ الْعَمَلُ الْمُوَكَّلُ فِيهِ لَا يَتَوَلَّاهُ مِثْلُهُ؛ لِكَوْنِهِ مِنْ أَشْرَافِ النَّاسِ الْمُتَرَفِّعِينَ عَنْ مِثْلِ ذَلِكَ الْعَمَلِ.
Kedua: Jika pekerjaan yang diwakilkan tidak biasa dilakukan oleh orang sepertinya; karena dia termasuk orang-orang terhormat yang enggan melakukan pekerjaan seperti itu.
الثَّالِثَةُ: إِذَا عَجَزَ عَنِ الْعَمَلِ الَّذِي وُكِّلَ فِيهِ.
Ketiga: Jika dia tidak mampu melakukan pekerjaan yang diwakilkan kepadanya.
الرَّابِعَةُ: إِذَا كَانَ لَا يُحْسِنُ الْعَمَلَ الَّذِي وُكِّلَ فِيهِ.
Keempat: Jika dia tidak menguasai pekerjaan yang diwakilkan kepadanya.
وَفِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُوَكِّلَ إِلَّا أَمِينًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فِي تَوْكِيلِ مَنْ لَيْسَ بِأَمِينٍ.
Dan dalam keadaan-keadaan ini, dia tidak boleh mewakilkan kecuali kepada orang yang amanah; karena dia tidak diizinkan untuk mewakilkan kepada orang yang tidak amanah.
وَالْوَكَالَةُ عَقْدٌ جَائِزٌ مِنَ الطَّرَفَيْنِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ جِهَةِ الْمُوَكِّلِ إِذْنٌ،
Dan wakalah adalah akad yang boleh dari kedua belah pihak; karena dari sisi pemberi kuasa, ia adalah izin,
وَمِنْ جِهَةِ الْوَكِيلِ بَذْلُ نَفْعٍ، وَكِلَاهُمَا غَيْرُ لَازِمٍ؛ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَسْخُهَا فِي أَيِّ وَقْتٍ شَاءَ.
Dan dari sisi wakil, memberikan manfaat, dan keduanya tidak wajib; maka masing-masing dari keduanya dapat membatalkannya kapan saja ia mau.
مُبْطِلَاتُ الْوَكَالَةِ:
Hal-hal yang membatalkan wakalah:
تَبْطُلُ الْوَكَالَةُ بِفَسْخِ أَحَدِهِمَا أَوْ مَوْتِهِ أَوْ جُنُونِهِ الْمُطْبِقِ؛ لِأَنَّ الْوَكَالَةَ تَعْتَمِدُ الْحَيَاةَ وَالْعَقْلَ، فَإِذَا انْتَفَيَا؛ انْتَفَتْ صِحَّتُهَا، وَتَبْطُلُ بِعَزْلِ الْمُوَكِّلِ لِلْوَكِيلِ، وَتَبْطُلُ بِالْحَجْرِ عَلَى السَّفِيهِ وَكِيلًا كَانَ أَوْ مُوَكِّلًا؛ لِزَوَالِ أَهْلِيَّةِ التَّصَرُّفِ.
Wakalah batal dengan pembatalan salah satu pihak, kematiannya, atau kegilaannya yang parah; karena wakalah bergantung pada kehidupan dan akal, jika keduanya hilang, maka keabsahannya pun hilang. Wakalah juga batal dengan pemecatan wakil oleh muwakkil, dan batal dengan pengampuan terhadap orang yang bodoh, baik ia wakil atau muwakkil; karena hilangnya kelayakan untuk bertindak.
مَا يَجُوزُ فِيهِ التَّوْكِيلُ وَالتَّوَكُّلُ:
Hal-hal yang boleh diwakilkan dan menerima perwakilan:
وَمَنْ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي شَيْءٍ؛ فَلَهُ التَّوْكِيلُ وَالتَّوَكُّلُ فِيهِ، وَمَنْ لَا يَصِحُّ تَصَرُّفُهُ بِنَفْسِهِ؛ فَنَائِبُهُ أَوْلَى.
Barangsiapa memiliki kewenangan untuk bertindak dalam sesuatu, maka ia boleh mewakilkan dan menerima perwakilan dalam hal itu. Dan barangsiapa tindakannya tidak sah dengan dirinya sendiri, maka wakilnya lebih utama.
وَمَنْ وَكَّلَ فِي بَيْعٍ أَوْ شِرَاءٍ؛ لَمْ يَبِعْ وَلَمْ يَشْتَرِ مِنْ نَفْسِهِ؛ لِأَنَّ الْعُرْفَ فِي الْبَيْعِ بَيْعُ الرَّجُلِ مِنْ غَيْرِهِ، وَلِأَنَّهُ تَلْحَقُهُ تُهْمَةٌ، وَكَذَا لَا يَصِحُّ بَيْعُهُ وَشِرَاؤُهُ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَزَوْجَتِهِ وَسَائِرِ مَنْ لَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مُتَّهَمٌ فِي حَقِّهِمْ كَتُهْمَتِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ.
Barangsiapa mewakilkan dalam jual beli, maka ia tidak boleh menjual atau membeli dari dirinya sendiri; karena kebiasaan dalam jual beli adalah seseorang menjual kepada orang lain, dan karena ia akan dicurigai. Demikian pula, tidak sah jual beli darinya kepada anaknya, orang tuanya, istrinya, dan semua orang yang kesaksiannya tidak diterima untuknya; karena ia dicurigai dalam hak mereka seperti kecurigaan terhadap dirinya sendiri.
مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمُوَكِّلِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِالْوَكِيلِ مِنَ التَّصَرُّفَاتِ:
Tindakan-tindakan yang terkait dengan muwakkil dan yang terkait dengan wakil:
يَتَعَلَّقُ بِالْمُوَكِّلِ حُقُوقُ الْعَقْدِ مِنْ تَسْلِيمِ الثَّمَنِ وَقَبْضِ الْمَبِيعِ وَالرَّدِّ بِالْعَيْبِ وَضَمَانِ الدَّرَكِ، وَالْوَكِيلُ فِي الْبَيْعِ يُسَلِّمُ الْمَبِيعَ وَلَا يَسْتَلِمُ الثَّمَنَ بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُوَكِّلِ أَوْ قَرِينَةٍ تَدُلُّ عَلَى الْإِذْنِ؛ كَمَا لَوْ بَاعَهُ فِي مَحَلٍّ يَضِيعُ فِيهِ الثَّمَنُ لَوْ لَمْ
Hak-hak akad terkait dengan muwakkil, seperti menyerahkan harga, menerima barang yang dijual, mengembalikan karena cacat, dan jaminan pembelaan. Wakil dalam jual beli menyerahkan barang yang dijual dan tidak menerima harga tanpa izin muwakkil atau indikasi yang menunjukkan izin; seperti jika ia menjualnya di tempat di mana harga akan hilang jika tidak
يَقْبِضُهُ، وَالْوَكِيلُ فِي الشِّرَاءِ يُسَلِّمُ الثَّمَنَ؛ لِأَنَّهُ مِنْ تَتِمَّتِهِ وَحُقُوقِهِ، وَالْوَكِيلُ فِي الْخُصُومَةِ لَا يَقْبِضُ، وَالْوَكِيلُ فِي الْقَبْضِ يُخَاصِمُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَوَصَّلُ إِلَيْهِ إِلَّا بِهَا.
Dia menerimanya, dan agen dalam pembelian menyerahkan harga; karena itu adalah bagian dari kelengkapan dan hak-haknya, dan agen dalam perselisihan tidak menerima, dan agen dalam penerimaan bersengketa; karena tidak dapat mencapainya kecuali dengannya.
مَا يَلْزَمُ الْوَكِيلَ ضَمَانُهُ وَمَا لَا يَلْزَمُهُ:
Apa yang harus dijamin oleh agen dan apa yang tidak harus:
الْوَكِيلُ أَمِينٌ لَا يَضْمَنُ مَا تَلِفَ بِيَدِهِ مِنْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ وَلَا تَعَدٍّ، فَإِنْ فَرَّطَ أَوْ تَعَدَّى أَوْ طُلِبَ مِنْهُ الْمَالُ فَامْتَنَعَ مِنْ دَفْعِهِ لِغَيْرِ عُذْرٍ؛ ضَمِنَ.
Agen adalah orang yang dapat dipercaya, dia tidak menjamin apa yang rusak di tangannya tanpa kelalaian atau pelanggaran, jika dia lalai atau melanggar atau diminta uang darinya dan dia menolak untuk membayarnya tanpa alasan; dia menjamin.
وَيُقْبَلُ قَوْلُ الْوَكِيلِ فِيمَا وُكِّلَ فِيهِ مِنْ بَيْعٍ وَإِجَارَةٍ أَنَّهُ قَبَضَ الثَّمَنَ وَالْأُجْرَةَ وَتَلِفَا بِيَدِهِ، وَيُقْبَلُ قَوْلُهُ فِي الثَّمَنِ وَالْأُجْرَةِ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Perkataan agen diterima dalam apa yang dia wakilkan dari penjualan dan penyewaan bahwa dia telah menerima harga dan sewa dan keduanya rusak di tangannya, dan perkataannya diterima dalam harga dan sewa, dan Allah yang lebih tahu.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْحَجْرِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الحَجْرِ
Bab tentang hukum-hukum pengampuan (الحَجْر)
إِنَّ الإِسْلَامَ جَاءَ لِحِفْظِ الأَمْوَالِ وَحِفْظِ حُقُوقِ النَّاسِ، وَلِذَلِكَ شَرَعَ الحَجْرَ عَلَى مَنْ يَسْتَحِقُّهُ؛ حِفَاظًا عَلَى أَمْوَالِ النَّاسِ وَحُقُوقِهِمْ..
Sesungguhnya Islam datang untuk menjaga harta dan menjaga hak-hak manusia, oleh karena itu Islam mensyariatkan pengampuan (الحَجْر) atas orang yang berhak mendapatkannya, demi menjaga harta dan hak-hak manusia..
وَالحَجْرُ لُغَةً: المَنْعُ، وَمِنْهُ سُمِّيَ الحَرَامُ حَجْرًا؛ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْهُ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَيَقُولُونَ حِجْرًا مَحْجُورًا﴾؛ أَيْ: حَرَامًا مُحَرَّمًا.
الحَجْر secara bahasa berarti larangan, dari kata ini pula sesuatu yang haram disebut حَجْر karena ia terlarang. Allah Ta'ala berfirman: "Dan mereka berkata: '(Ini adalah) suatu yang diharamkan.'" Yaitu: haram dan diharamkan.
وَسُمِّيَ أَيْضًا العَقْلُ حِجْرًا، قَالَ تَعَالَى: ﴿هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ﴾، أَيْ: عَقْلٍ؛ لِأَنَّ العَقْلَ يَمْنَعُ صَاحِبَهُ مِنْ تَعَاطِي مَا يَقْبُحُ وَتَضُرُّ عَاقِبَتُهُ.
Akal juga disebut حِجْر, Allah Ta'ala berfirman: "Adakah dalam yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal?" Yaitu: berakal. Karena akal mencegah pemiliknya dari melakukan perbuatan buruk yang akibatnya membahayakan.
وَمَعْنَى الحَجْرِ فِي الشَّرْعِ: مَنْعُ إِنْسَانٍ مِنْ تَصَرُّفِهِ فِي مَالِهِ.
Makna الحَجْر dalam syariat adalah: melarang seseorang untuk bertindak terhadap hartanya.
وَدَلِيلُهُ مِنَ القُرْآنِ الكَرِيمِ: قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُم﴾ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ﴾، فَدَلَّتِ الآيَتَانِ عَلَى الحَجْرِ عَلَى السَّفِيهِ وَاليَتِيمِ فِي مَالِهِ؛ لِئَلَّا يُفْسِدَهُ وَيُضَيِّعَهُ، وَأَنَّهُ لَا يُدْفَعُ إِلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ تَحْقِيقِ رُشْدِهِ فِيهِ.
Dalilnya dari Al-Qur'an: firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu" hingga firman-Nya: "Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya." Kedua ayat ini menunjukkan adanya pengampuan (الحَجْر) atas orang yang kurang akal dan anak yatim terhadap hartanya agar tidak merusaknya dan menyia-nyiakannya, dan bahwa harta itu tidak diserahkan kepadanya kecuali setelah terbukti kecerdasannya dalam mengelola harta.
وَقَدْ حَجَرَ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى بَعْضِ الصَّحَابَةِ لِأَجْلِ قَضَاءِ مَا عَلَيْهِ مِنَ الدُّيُونِ.
Nabi ﷺ telah melarang beberapa sahabat untuk melunasi hutang-hutang mereka.
وَالْحَجْرُ نَوْعَانِ:
Dan الحجر ada dua jenis:
النَّوْعُ الْأَوَّلُ: حَجْرٌ عَلَى الْإِنْسَانِ لِأَجْلِ حَظِّ غَيْرِهِ؛ كَالْحَجْرِ عَلَى الْمُفْلِسِ لِحَظِّ الْغُرَمَاءِ، وَالْحَجْرِ عَلَى الْمَرِيضِ بِالْوَصِيَّةِ بِمَا زَادَ عَلَى ثُلُثٍ لِحَظِّ الْوَرَثَةِ.
Jenis pertama: الحجر pada seseorang demi kepentingan orang lain; seperti الحجر pada orang yang bangkrut demi kepentingan para kreditor, dan الحجر pada orang yang sakit dengan wasiat yang melebihi sepertiga demi kepentingan ahli waris.
النَّوْعُ الثَّانِي: حَجْرٌ عَلَى الْإِنْسَانِ لِأَجْلِ مَصْلَحَتِهِ هُوَ؛ لِئَلَّا يُضَيِّعَ مَالَهُ وَيُفْسِدَهُ؛ كَالْحَجْرِ عَلَى الصَّغِيرِ وَالسَّفِيهِ وَالْمَجْنُونِ؛ بِدَلِيلِ قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ﴾، قِيلَ: الْمُرَادُ الْأَوْلَادُ وَالنِّسَاءُ، فَلَا يُعْطِيهِمْ مَالَهُ تَبْذِيرًا، وَقِيلَ: الْمُرَادُ السُّفَهَاءُ وَالصِّغَارُ وَالْمَجَانِينُ، لَا يُعْطَوْنَ أَمْوَالَهُمْ، لِئَلَّا يُفْسِدُوهَا، وَأَضَافَهَا إِلَى الْمُخَاطَبِينَ؛ لِأَنَّهُمُ النَّاظِرُونَ عَلَيْهَا وَالْحَافِظُونَ لَهَا.
Jenis kedua: الحجر pada seseorang demi kepentingannya sendiri; agar tidak menyia-nyiakan dan merusak hartanya; seperti الحجر pada anak kecil, orang bodoh, dan orang gila; berdasarkan firman Allah Ta'ala: ﴿وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ﴾, dikatakan: yang dimaksud adalah anak-anak dan wanita, maka jangan memberikan harta mereka secara boros, dan dikatakan: yang dimaksud adalah orang-orang bodoh, anak-anak kecil, dan orang-orang gila, mereka tidak diberikan harta mereka, agar tidak merusaknya, dan menyandarkannya kepada orang-orang yang diajak bicara; karena merekalah yang mengawasi dan menjaganya.
النَّوْعُ الْأَوَّلُ: عَلَى الْإِنْسَانِ لِحَظِّ غَيْرِهِ:
Jenis pertama: pada seseorang demi kepentingan orang lain:
وَالْمُرَادُ هُنَا الْحَجْرُ عَلَى الْمُفْلِسِ هُوَ مَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ حَالٌّ لَا يَتَّسِعُ لَهُ مَالُهُ الْمَوْجُودُ، فَيُمْنَعُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ؛ لِئَلَّا يَضُرَّ بِأَصْحَابِ الدُّيُونِ.
Dan yang dimaksud di sini adalah الحجر pada orang yang bangkrut, yaitu orang yang memiliki hutang yang jatuh tempo yang tidak cukup dengan harta yang dimilikinya, maka dia dilarang untuk menggunakan hartanya; agar tidak merugikan para pemilik hutang.
أَمَّا الْمَدِينُ الْمُعْسِرُ الَّذِي عَلَى وَفَاءِ شَيْءٍ مِنْ دَيْنِهِ؛ فَإِنَّهُ لَا يُطَالَبُ بِهِ، وَيَجِبُ إِنْظَارُهُ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ﴾ .
Adapun orang yang berhutang yang kesulitan untuk membayar sebagian hutangnya; maka dia tidak dituntut untuk membayarnya, dan wajib diberi penangguhan; berdasarkan firman Allah Ta'ala: ﴿وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ﴾.
وَفِي فَضْلِ إِنْظَارِ الْمُعْسِرِ يَقُولُ النَّبِيُّ ﷺ: "مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُظِلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ؛ فَلْيُيَسِّرْ عَلَى مُعْسِرٍ".
Dalam keutamaan memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan, Nabi ﷺ bersabda: "Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dalam naungan-Nya, maka hendaklah ia memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan".
وَأَفْضَلُ مِنَ الْإِنْظَارِ إِبْرَاءُ الْمُعْسِرِ مِنْ دَيْنِهِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُم﴾ .
Dan yang lebih utama daripada penangguhan adalah membebaskan orang yang kesulitan dari utangnya, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu."
أَمَّا مَنْ لَهُ قُدْرَةٌ عَلَى وَفَاءِ دَيْنِهِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ الْحَجْرُ عَلَيْهِ؛ لِعَدَمِ الْحَاجَةِ إِلَى ذَلِكَ، لَكِنْ يُؤْمَرُ بِوَفَاءِ دُيُونِهِ إِذَا طَالَبَ الْغُرَمَاءُ بِذَلِكَ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ"؛ أَيْ: مَطْلُ الْقَادِرِ عَلَى وَفَاءِ دَيْنِهِ ظُلْمٌ؛ لِأَنَّهُ مَنَعَ أَدَاءَ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ أَدَاؤُهُ مِنْ حُقُوقِ النَّاسِ، فَإِنِ امْتَنَعَ مِنْ تَسْدِيدِ دُيُونِهِ؛ فَإِنَّهُ يُسْجَنُ.
Adapun orang yang memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya, maka tidak boleh melarangnya karena tidak ada kebutuhan untuk itu. Namun, ia diperintahkan untuk melunasi utang-utangnya jika para pemberi utang menuntut hal itu, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Penundaan (pembayaran utang) oleh orang kaya adalah kezaliman", yaitu penundaan oleh orang yang mampu melunasi utangnya adalah kezaliman karena ia mencegah penunaian hak-hak manusia yang wajib atasnya. Jika ia menolak melunasi utang-utangnya, maka ia dipenjarakan.
قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَمَنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى وَفَاءِ دَيْنِهِ، وَامْتَنَعَ؛ أُجْبِرَ عَلَى وَفَائِهِ بِالضَّرْبِ وَالْحَبْسِ، نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْأَئِمَّةُ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِمْ"، قَالَ: "وَلَا أَعْلَمُ فِيهِ نِزَاعًا" انْتَهَى.
Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Barangsiapa yang mampu melunasi utangnya namun menolak, maka ia dipaksa untuk melunasinya dengan pemukulan dan pemenjaraan. Para imam dari kalangan mazhab Maliki, Syafi'i, Ahmad, dan lainnya telah menjelaskan hal itu." Beliau berkata: "Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini." Selesai.
وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَيُّ الْوَاجِدِ ظُلْمٌ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ"، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُمَا، وَعِرْضُهُ: شَكْوَاهُ، وَعُقُوبَتُهُ: حَبْسُهُ، فَالْمُمَاطِلُ بِقَضَاءِ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْحَقِّ يَسْتَحِقُّ الْعُقُوبَةَ بِالْحَبْسِ وَالتَّعْزِيرِ، وَيُكَرَّرُ عَلَيْهِ
Nabi ﷺ telah bersabda: "Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah kezaliman yang menghalalkan pencemaran nama baiknya dan hukumannya." Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Yang dimaksud dengan pencemaran nama baiknya adalah pengaduannya, dan hukumannya adalah penjaranya. Maka orang yang menunda-nunda pembayaran hak yang menjadi kewajibannya berhak mendapatkan hukuman penjara dan ta'zir, dan itu diulangi atasnya.
ذَلِكَ حَتَّى يُوفِيَ مَا عَلَيْهِ، فَإِنْ أَصَرَّ عَلَى الْمُمَاطَلَةِ؛ فَإِنَّ الْحَاكِمَ يَتَدَخَّلُ فَيَبِيعُ مَالَهُ وَيُسَدِّدُ مِنْهُ دُيُونَهُ؛ لِأَنَّ الْحَاكِمَ يَقُومُ مَقَامَ الْمُمْتَنِعِ، وَلِأَجْلِ إِزَالَةِ الضَّرَرِ عَنِ الدَّائِنِينَ، وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ".
Itu sampai dia membayar apa yang menjadi kewajibannya. Jika dia bersikeras menunda-nunda, maka hakim akan campur tangan dengan menjual hartanya dan melunasi utang-utangnya dari hasil penjualan tersebut. Karena hakim bertindak sebagai pengganti orang yang menolak membayar, dan untuk menghilangkan kerugian dari para kreditur. Nabi ﷺ bersabda: "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain".
وَمِمَّا مَرَّ يَتَّضِحُ أَنَّ الْمَدِينَ لَهُ حَالَتَانِ:
Dari apa yang telah lalu, jelaslah bahwa orang yang berhutang memiliki dua keadaan:
الْحَالَةُ الْأُولَى: أَنْ يَكُونَ الدَّيْنُ مُؤَجَّلًا عَلَيْهِ؛ فَهَذَا لَا يُطَالَبُ بِالدَّيْنِ حَتَّى يَحِلَّ، وَلَا يَلْزَمُهُ أَدَاؤُهُ قَبْلَ حُلُولِهِ، وَإِذَا كَانَ مَا لَدَيْهِ مِنَ الْمَالِ أَقَلَّ مِمَّا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ الْمُؤَجَّلِ؛ فَإِنَّهُ لَا يُحْجَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ، وَلَا يُمْنَعُ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ.
Keadaan pertama: jika utang itu ditangguhkan atasnya; maka dia tidak dituntut untuk membayar utang sampai jatuh tempo, dan dia tidak wajib melunasinya sebelum jatuh tempo. Jika harta yang dimilikinya lebih sedikit dari utang yang ditangguhkan atasnya; maka dia tidak dilarang karena itu, dan tidak dilarang untuk menggunakan hartanya.
الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ الدَّيْنُ حَالًّا؛ فَلِلْمَدِينِ حِينَئِذٍ حَالَتَانِ:
Keadaan kedua: jika utangnya telah jatuh tempo; maka orang yang berhutang memiliki dua keadaan:
الْأُولَى: أَنْ يَكُونَ مَالُهُ أَكْثَرَ مِنَ الدَّيْنِ الَّذِي عَلَيْهِ؛ فَهَذَا لَا يُحْجَرُ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ، وَلَكِنْ يُؤْمَرُ بِوَفَاءِ الدَّيْنِ إِذَا طَالَبَ بِذَلِكَ دَائِنُهُ، فَإِنِ امْتَنَعَ؛ حُبِسَ وَعُزِّرَ حَتَّى يُوفِيَ دَيْنَهُ، فَإِنْ صَبَرَ عَلَى الْحَبْسِ وَالتَّعْزِيرِ، وَامْتَنَعَ مِنْ تَسْدِيدِ الدَّيْنِ؛ فَإِنَّ الْحَاكِمَ يَتَدَخَّلُ وَيُوفِي دَيْنَهُ مِنْ مَالِهِ وَيَبِيعُ مَا يَحْتَاجُ إِلَى بَيْعٍ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ.
Pertama: jika hartanya lebih banyak dari utang yang dia miliki; maka dia tidak dilarang menggunakan hartanya, tetapi diperintahkan untuk melunasi utang jika krediturnya menuntut hal itu. Jika dia menolak; maka dia dipenjara dan dihukum sampai melunasi utangnya. Jika dia bersabar atas penjara dan hukuman, dan menolak melunasi utang; maka hakim akan campur tangan dan melunasi utangnya dari hartanya dan menjual apa yang perlu dijual untuk itu.
الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ مَالُهُ أَقَلَّ مِمَّا عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ الْحَالِّ؛ فَهَذَا يُحْجَرُ عَلَيْهِ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهِ إِذَا طَالَبَ غُرَمَاؤُهُ بِذَلِكَ؛ لِئَلَّا يَضُرَّهُمْ؛ لِحَدِيثِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ ﵁: "أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ حَجَرَ عَلَى مُعَاذٍ وَبَاعَ مَالَهُ"، رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ. وَقَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ: "إِنَّهُ حَدِيثٌ ثَابِتٌ".
Kedua: jika hartanya lebih sedikit dari utang yang jatuh tempo atasnya; maka dia dilarang menggunakan hartanya jika para krediturnya menuntut hal itu; agar tidak merugikan mereka; berdasarkan hadits Ka'b bin Malik ﵁: "Bahwa Rasulullah ﷺ melarang Mu'adz dan menjual hartanya", diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Hakim dan dia menshahihkannya. Ibnu Ash-Shalah berkata: "Itu adalah hadits yang tetap".
وَإِذَا حُجِرَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ؛ فَإِنَّهُ يُعْلَنُ عَنْهُ، وَظَهَرَ لِلنَّاسِ أَنَّهُ مَحْجُورٌ عَلَيْهِ؛ لِئَلَّا يَغْتَرُّوا بِهِ وَيَتَعَامَلُوا مَعَهُ، فَتَضِيعَ أَمْوَالُهُمْ.
Dan jika dia dilarang dalam keadaan ini; maka itu diumumkan, dan menjadi jelas bagi orang-orang bahwa dia dilarang; agar mereka tidak tertipu olehnya dan bertransaksi dengannya, sehingga harta mereka hilang.
وَيَتَعَلَّقُ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ أَرْبَعَةُ أَحْكَامٍ:
Dan terkait dengan larangan terhadapnya ada empat hukum:
الْحُكْمُ الْأَوَّلُ: أَنَّهُ يَتَعَلَّقُ حَقُّ الْغُرَمَاءِ بِمَالِهِ الْمَوْجُودِ قَبْلَ الْحَجْرِ، وَبِمَالِهِ الْحَادِثِ بَعْدَ الْحَجْرِ؛ بِإِرْثٍ أَوْ أَرْشِ جِنَايَةٍ أَوْ هِبَةٍ أَوْ وَصِيَّةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، فَيَلْحَقُهُ الْحَجْرُ كَالْمَوْجُودِ قَبْلَ الْحَجْرِ؛ فَلَا يَنْفُذُ تَصَرُّفُ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ بَعْدَ الْحَجْرِ بِأَيِّ نَوْعٍ مِنْ أَنْوَاعِ التَّصَرُّفِ، وَلَا يَصِحُّ إِقْرَارُهُ لِأَحَدٍ عَلَى شَيْءٍ مِنْ مَالِهِ؛ لِأَنَّ حُقُوقَ الْغُرَمَاءِ مُتَعَلِّقَةٌ بِأَعْيَانِهِ، فَلَمْ يُقْبَلِ الْإِقْرَارُ عَلَيْهِ، وَحَتَّى قَبْلَ الْحَجْرِ عَلَيْهِ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهِ تَصَرُّفًا يُضِرُّ بِغُرَمَائِهِ.
Hukum pertama: bahwa hak para kreditor terkait dengan hartanya yang ada sebelum pelarangan, dan dengan hartanya yang baru setelah pelarangan; dengan warisan, denda kejahatan, hibah, wasiat, atau selain itu, maka pelarangan itu menyusulnya seperti yang ada sebelum pelarangan; maka tindakan orang yang dilarang terhadap hartanya setelah pelarangan tidak berlaku dengan jenis apa pun dari jenis-jenis tindakan, dan pengakuannya kepada seseorang atas sesuatu dari hartanya tidak sah; karena hak-hak para kreditor terkait dengan barang-barangnya, maka pengakuan atasnya tidak diterima, dan bahkan sebelum pelarangan terhadapnya, haram baginya untuk bertindak pada hartanya dengan tindakan yang membahayakan para kreditornya.
قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "إِذَا اسْتَغْرَقَتِ الدُّيُونُ مَالَهُ؛ لَمْ يَصِحَّ تَبَرُّعُهُ بِمَا يُضِرُّ بِأَرْبَابِ الدُّيُونِ، سَوَاءٌ حَجَرَ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ أَوْلَمْ يَحْجُرْ عَلَيْهِ، هَذَا مَذْهَبُ مَالِكٍ وَاخْتِيَارُ شَيْخِنَا [يُرِيدُ شَيْخَ الْإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَةَ ﵀]، قَالَ: "وَهُوَ الصَّحِيحُ، وَهُوَ الَّذِي لَا يَلِيقُ بِأُصُولِ الْمَذْهَبِ غَيْرُهُ، بَلْ هُوَ مُقْتَضَى أُصُولِ الشَّرْعِ وَقَوَاعِدِهِ؛ لِأَنَّ حَقَّ الْغُرَمَاءِ قَدْ تَعَلَّقَ بِمَالِهِ، وَلِهَذَا يَحْجُرُ الْحَاكِمُ عَلَيْهِ، وَلَوْلَا تَعَلُّقُ حَقِّ الْغُرَمَاءِ بِمَالِهِ؛ لَمْ يَسَعِ الْحَاكِمَ الْحَجْرُ عَلَيْهِ، فَصَارَ كَالْمَرِيضِ مَرَضَ الْمَوْتِ، وَفِي تَمْكِينِ هَذَا الْمَدِينِ مِنَ التَّبَرُّعِ إِبْطَالُ حُقُوقِ الْغُرَمَاءِ، وَالشَّرِيعَةُ لَا تَأْتِي بِمِثْلِ هَذَا؛ فَإِنَّمَا جَاءَتْ بِحِفْظِ حُقُوقِ أَرْبَابِ الْحُقُوقِ بِكُلِّ طَرِيقٍ وَسَدِّ الطَّرِيقِ الْمُفْضِيَةِ إِلَى إِضَاعَتِهَا" انْتَهَى كَلَامُهُ ﵀.
Imam Ibnu Al-Qayyim ﵀ berkata: "Jika utang-utang meliputi hartanya; maka tidak sah baginya bersedekah dengan apa yang membahayakan pemilik utang, baik hakim melarangnya atau tidak melarangnya, ini adalah mazhab Malik dan pilihan syaikh kami [yang dimaksud adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀], dia berkata: "Dan itu adalah yang benar, dan itulah yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip mazhab selainnya, bahkan itu adalah tuntutan prinsip-prinsip syariat dan kaidah-kaidahnya; karena hak para kreditor telah terkait dengan hartanya, dan karena itu hakim melarangnya, dan seandainya bukan karena keterkaitan hak para kreditor dengan hartanya; niscaya hakim tidak mampu melarangnya, maka dia menjadi seperti orang yang sakit menjelang kematian, dan dalam memberi kesempatan kepada orang yang berutang ini untuk bersedekah terdapat pembatalan hak-hak para kreditor, dan syariat tidak datang dengan seperti ini; karena syariat datang dengan menjaga hak-hak para pemilik hak dengan setiap cara dan menutup jalan yang mengarah pada penyia-nyiaannya" selesai perkataannya ﵀.
الحُكْمُ الثَّانِي: أَنَّ مَنْ وَجَدَ عَيْنَ مَالِهِ الَّذِي بَاعَهُ عَلَيْهِ أَوْ أَقْرَضَهُ إِيَّاهُ أَوْ أَجَّرَهُ إِيَّاهُ قَبْلَ الحَجْرِ عَلَيْهِ؛ فَلَهُ أَنْ يَرْجِعَ بِهِ وَيَسْحَبَهُ مِنْ عِنْدِ المُفْلِسِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَنْ أَدْرَكَ مَتَاعَهُ عِنْدَ إِنْسَانٍ أَفْلَسَ؛ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Hukum kedua: bahwa siapa pun yang menemukan barang miliknya yang telah ia jual, pinjamkan, atau sewakan kepada seseorang sebelum orang tersebut dinyatakan pailit, maka ia berhak untuk mengambil kembali barang tersebut dari orang yang pailit itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Barangsiapa menemukan barangnya pada seseorang yang pailit, maka ia lebih berhak atas barang tersebut", hadits ini disepakati.
وَقَدْ ذَكَرَ الفُقَهَاءُ ﵏ أَنَّهُ يُشْتَرَطُ لِرُجُوعِ مَنْ وَجَدَ مَالَهُ عِنْدَ المُفْلِسِ المَحْجُورِ عَلَيْهِ سِتَّةُ شُرُوطٍ:
Para ulama ﵏ telah menyebutkan bahwa ada enam syarat bagi seseorang yang menemukan hartanya pada orang yang pailit dan dilarang mengelola hartanya untuk dapat mengambil kembali hartanya:
الشَّرْطُ الأَوَّلُ: كَوْنُ المُفْلِسِ حَيًّا إِلَى أَنْ يَأْخُذَ مَالَهُ مِنْهُ؛ لِمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ؛ أَنَّهُ ﷺ قَالَ: "فَإِنْ مَاتَ؛ فَصَاحِبُ المَتَاعِ أُسْوَةُ الغُرَمَاءِ".
Syarat pertama: orang yang pailit masih hidup sampai pemilik barang mengambil barangnya darinya. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Dawud bahwa Nabi ﷺ bersabda: "Jika ia meninggal dunia, maka pemilik barang sama dengan para kreditur lainnya".
الشَّرْطُ الثَّانِي: بَقَاءُ ثَمَنِهَا كُلِّهِ فِي ذِمَّةِ المُفْلِسِ، فَإِنْ قَبَضَ صَاحِبُ المَتَاعِ شَيْئًا مِنْ ثَمَنِهِ؛ لَمْ يَسْتَحِقَّ الرُّجُوعَ بِهِ.
Syarat kedua: harga barang tersebut masih utuh dalam tanggungan orang yang pailit. Jika pemilik barang telah menerima sebagian dari harganya, maka ia tidak berhak untuk mengambil kembali barangnya.
الشَّرْطُ الثَّالِثُ: بَقَاءُ العَيْنِ كُلِّهَا فِي مِلْكِ المُفْلِسِ، فَإِنْ وَجَدَ بَعْضَهَا فَقَطْ؛ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَجِدْ عَيْنَ مَالِهِ، وَإِنَّمَا وَجَدَ بَعْضَهَا.
Syarat ketiga: barang tersebut masih utuh dalam kepemilikan orang yang pailit. Jika ia hanya menemukan sebagiannya saja, maka ia tidak berhak mengambilnya kembali, karena ia tidak menemukan barangnya secara utuh, melainkan hanya sebagiannya.
الشَّرْطُ الرَّابِعُ: تَكُونُ السِّلْعَةُ بِحَالِهَا، لَمْ يَتَغَيَّرْ شَيْءٌ مِنْ صِفَاتِهَا.
Syarat keempat: barang tersebut masih dalam keadaan semula, tidak ada perubahan pada sifat-sifatnya.
الشَّرْطُ الخَامِسُ: كَوْنُ السِّلْعَةِ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا حَقُّ الغَيْرِ؛ بِأَنْ لَا يَكُونَ المُفْلِسُ قَدْ رَهَنَهَا وَنَحْوَ ذَلِكَ.
Syarat kelima: barang tersebut tidak terkait dengan hak orang lain, seperti orang yang pailit tidak menggadaikannya dan semisalnya.
الشَّرْطُ السَّادِسُ: كَوْنُ السِّلْعَةِ لَمْ تَزِدْ زِيَادَةً مُتَّصِلَةً كَالسِّمَنِ، فَإِذَا تَوَافَرَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ؛ جَازَ لِصَاحِبِ السِّلْعَةِ أَنْ يَسْحَبَهَا إِذَا ظَهَرَ إِفْلَاسُ مَنْ هِيَ عِنْدَهُ؛ لِلْحَدِيثِ السَّابِقِ.
Syarat keenam: barang tersebut tidak bertambah dengan pertambahan yang menyatu, seperti lemak. Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka pemilik barang boleh mengambilnya kembali jika terlihat kepailitan orang yang memilikinya, berdasarkan hadits sebelumnya.
الحُكْمُ الثَّالِثُ: انْقِطَاعُ المُطَالَبَةِ عَنْهُ بَعْدَ الحَجْرِ عَلَيْهِ إِلَى أَنْ يَنْفَكَّ عَنْهُ الحَجْرُ، فَمَنْ بَاعَهُ أَوْ أَقْرَضَهُ شَيْئًا خِلَالَ هَذِهِ الفَتْرَةِ؛ طَالَبَهُ بِهِ بَعْدَ فَكِّ الحَجْرِ عَنْهُ.
Hukum ketiga: Terputusnya tuntutan terhadapnya setelah penahanan sampai penahanan itu dicabut darinya. Barangsiapa yang menjual atau meminjamkan sesuatu kepadanya selama periode ini; ia dapat menuntutnya setelah penahanan dicabut darinya.
الحُكْمُ الرَّابِعُ: أَنَّ الحَاكِمَ يَبِيعُ مَالَهُ، وَيَقْسِمُ ثَمَنَهُ بِقَدْرِ دُيُونِ غُرَمَائِهِ الحَالَّةِ؛ لِأَنَّ هَذَا هُوَ المَقْصُودُ مِنَ الحَجْرِ عَلَيْهِ، وَفِي تَأْخِيرِ ذَلِكَ مَطْلٌ وَظُلْمٌ لَهُمْ، وَيَتْرُكُ الحَاكِمُ لِلْمُفْلِسِ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مِنْ مَسْكَنٍ وَمُؤْنَةٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ.
Hukum keempat: Hakim menjual hartanya dan membagi harganya sesuai dengan hutang-hutang kreditornya yang jatuh tempo; karena inilah tujuan dari penahanannya, dan menunda hal itu merupakan penundaan dan kezaliman bagi mereka. Hakim meninggalkan untuk orang yang bangkrut apa yang dia butuhkan dari tempat tinggal, biaya hidup, dan sejenisnya.
أَمَّا الدَّيْنُ المُؤَجَّلُ؛ فَلَا يَحِلُّ بِالْإِفْلَاسِ، وَلَا يُزَاحِمُ الدُّيُونَ الحَالَّةَ؛ لِأَنَّ الْأَجَلَ حَقٌّ لِلْمُفْلِسِ، فَلَا يَسْقُطُ؛ كَسَائِرِ حُقُوقِهِ، وَيَبْقَى فِي ذِمَّةِ المُفْلِسِ، ثُمَّ بَعْدَ تَوْزِيعِ مَالِهِ عَلَى أَصْحَابِ الدُّيُونِ الحَالَّةِ، فَإِنْ سَدَّدَهَا وَلَمْ يَبْقَ مِنْهَا شَيْءٌ؛ انْفَكَّ عَنْهُ الحَجْرُ بِلَا حُكْمِ الحَاكِمِ؛ لِزَوَالِ مُوجِبِهِ، وَإِنْ بَقِيَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ دُيُونِهِ الحَالَّةِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَنْفَكُّ عَنْهُ الحَجْرُ؛ إِلَّا بِحُكْمِ الحَاكِمِ؛ لِأَنَّهُ هُوَ الَّذِي حَكَمَ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ؛ فَهُوَ الَّذِي يَحْكُمُ بِفَكِّ الحَجْرِ عَنْهُ.
Adapun hutang yang ditangguhkan; itu tidak jatuh tempo karena kebangkrutan, dan tidak bersaing dengan hutang-hutang yang jatuh tempo; karena penangguhan adalah hak orang yang bangkrut, maka itu tidak gugur; seperti hak-haknya yang lain, dan tetap menjadi tanggungan orang yang bangkrut. Kemudian, setelah pembagian hartanya kepada pemilik hutang yang jatuh tempo, jika dia melunasinya dan tidak tersisa darinya sesuatu pun; maka penahanan terhadapnya dicabut tanpa keputusan hakim; karena hilangnya penyebabnya. Jika masih tersisa sesuatu dari hutang-hutangnya yang jatuh tempo; maka penahanan tidak dicabut darinya; kecuali dengan keputusan hakim; karena dialah yang memutuskan untuk menahannya; maka dialah yang memutuskan untuk mencabut penahanan darinya.
النَّوْعُ الثَّانِي مِنْ أَنْوَاعِ الحَجْرِ:
Jenis kedua dari jenis-jenis penahanan:
وَهُوَ الحَجْرُ عَلَى الْإِنْسَانِ لِحَظِّ نَفْسِهِ بِحِفْظِ مَالِهِ وَتَوْفِيرِهِ لَهُ؛ لِأَنَّ هَذَا الدِّينَ دِينُ الرَّحْمَةِ، الَّذِي لَمْ يَتْرُكْ شَيْئًا فِيهِ مَصْلَحَةٌ إِلَّا حَثَّ عَلَى تَعَاطِيهِ، وَلَا شَيْئًا فِيهِ مَضَرَّةٌ، إِلَّا حَذَّرَ مِنْهُ، وَمِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ أَفْسَحَ المَجَالَ لِلْإِنْسَانِ الَّذِي فِيهِ أَهْلِيَّةٌ لِلتَّصَرُّفِ وَمُزَاوَلَةِ التِّجَارَةِ فِي حُدُودِ المُبَاحِ الكَسْبِ
Yaitu penahanan terhadap manusia demi kepentingan dirinya sendiri dengan menjaga hartanya dan menyediakannya untuknya; karena agama ini adalah agama kasih sayang, yang tidak meninggalkan sesuatu yang mengandung kemaslahatan kecuali mendorong untuk melakukannya, dan tidak meninggalkan sesuatu yang mengandung kemudaratan, kecuali memperingatkan darinya. Di antaranya adalah bahwa agama ini memberi ruang yang luas bagi manusia yang memiliki kelayakan untuk bertindak dan melakukan perdagangan dalam batas-batas yang diperbolehkan untuk mencari nafkah.
الطَّيِّبُ؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْمَصْلَحَةِ الَّتِي تَعُودُ عَلَى الْفَرْدِ وَالْجَمَاعَةِ، أَمَّا إِذَا كَانَ الْإِنْسَانُ غَيْرَ مُؤَهَّلٍ لِطَلَبِ الْكَسْبِ وَمُزَاوَلَةِ التِّجَارَةِ؛ لِصِغَرِ سِنِّهِ أَوْ سَفَهِهِ أَوْ فَقْدَانِ عَقْلِهِ؛ فَإِنَّ الْإِسْلَامَ يَمْنَعُهُ مِنَ التَّصَرُّفِ، وَيُقِيمُ وَصِيًّا يَحْفَظُ لَهُ مَالَهُ وَيُنَمِّيهِ، حَتَّى يَزُولَ عَنْهُ الْمَانِعُ ثُمَّ يُسَلِّمُ مَالَهُ مُوَفَّرًا إِلَيْهِ.
Yang baik; karena di dalamnya terdapat kemaslahatan yang kembali kepada individu dan masyarakat. Adapun jika seseorang tidak memenuhi syarat untuk mencari penghasilan dan menjalankan perdagangan; karena usianya yang masih kecil, bodoh, atau kehilangan akalnya; maka Islam melarangnya untuk bertindak, dan mengangkat seorang wali yang menjaga hartanya dan mengembangkannya, hingga hilang darinya penghalang kemudian menyerahkan hartanya secara utuh kepadanya.
قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا﴾ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ﴾ .
Allah Ta'ala berfirman: "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan" hingga firman-Nya Ta'ala: "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya".
ذَلِكُمْ هُوَ مَا يُسَمَّى بِالْحَجْرِ عَلَى الْإِنْسَانِ لِحَظِّ نَفْسِهِ؛ لِأَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي ذَلِكَ تَعُودُ عَلَيْهِ.
Itulah yang disebut dengan pengampuan terhadap manusia demi kebaikan dirinya sendiri; karena kemaslahatan dalam hal itu kembali kepadanya.
وَهَذَا النَّوْعُ مِنَ الْحَجْرِ يَعُمُّ الذِّمَّةَ وَالْمَالَ؛ فَلَا يَتَصَرَّفُ مَنِ انْطَبَقَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ بِبَيْعٍ وَلَا تَبَرُّعٍ وَلَا غَيْرِهِمَا، وَلَا يَتَحَمَّلُ فِي ذِمَّتِهِ دَيْنًا أَوْ ضَمَانًا أَوْ كَفَالَةً وَنَحْوَهَا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُفْضِي إِلَى ضَيَاعِ أَمْوَالِ النَّاسِ.
Dan jenis pengampuan ini mencakup tanggungan dan harta; maka orang yang termasuk dalam kategori ini tidak boleh bertindak pada hartanya dengan jual beli, hibah, atau lainnya, dan tidak menanggung hutang, jaminan, atau tanggungan dan sejenisnya dalam tanggungannya; karena hal itu akan menyebabkan hilangnya harta orang lain.
وَلَا يَصِحُّ تَصَرُّفُ غَيْرِ السُّفَهَاءِ مَعَهُمْ؛ بِأَنْ يُعْطِيَهُمْ مَالَهُ بَيْعًا أَوْ قَرْضًا أَوْ وَدِيعَةً أَوْ عَارِيَةً، وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ؛ فَإِنَّهُ يَسْتَرِدُّ مَا أَعْطَاهُمْ إِنْ وَجَدَهُ بَاقِيًا بِعَيْنِهِ، فَإِنْ تَلِفَ فِي أَيْدِيهِمْ أَوْ أَتْلَفُوهُ؛ فَإِنَّهُ يَذْهَبُ هَدَرًا، لَا يَلْزَمُهُمْ ضَمَانُهُ؛ لِأَنَّهُ فَرَّطَ بِتَسْلِيطِهِمْ عَلَيْهِ وَتَقْدِيمِهِ إِلَيْهِمْ بِرِضَاهُ وَاخْتِيَارِهِ.
Dan tidak sah tindakan selain orang-orang bodoh dengan mereka; dengan memberikan hartanya kepada mereka dengan cara jual beli, pinjaman, titipan, atau pinjaman. Barangsiapa yang melakukan hal itu; maka ia mengambil kembali apa yang ia berikan kepada mereka jika ia mendapatinya masih ada. Jika rusak di tangan mereka atau mereka merusaknya; maka itu akan hilang sia-sia, mereka tidak wajib menggantinya; karena ia telah lalai dengan memberi kuasa kepada mereka atasnya dan menyerahkannya kepada mereka dengan ridha dan pilihannya.
أَمَّا لَوْ تَعَدَّى الْمَحْجُورُ عَلَيْهِ "لِصِغَرٍ وَنَحْوِهِ" عَلَى نَفْسٍ أَوْ مَالٍ بِجِنَايَةٍ؛ فَإِنَّهُ يَضْمَنُ، وَيَتَحَمَّلُ مَا تَرَتَّبَ عَلَى جِنَايَتِهِ مِنْ غَرَامَةٍ، لِأَنَّ الْمَجْنِيَّ
Adapun jika orang yang di bawah pengampuan "karena kecil dan sejenisnya" melakukan pelanggaran terhadap jiwa atau harta dengan tindak pidana; maka ia menanggung, dan memikul denda yang diakibatkan oleh tindak pidananya, karena orang yang terluka
عَلَيْهِ لَمْ يَفْرِضْ وَلَمْ يَأْذَنْ لَهُمْ بِذَلِكَ، وَالْقَاعِدَةُ الْفِقْهِيَّةُ تَقُولُ: إِنَّ ضَمَانَ الْإِتْلَافِ يَسْتَوِي فِي الْأَهْلِ وَغَيْرِهِ.
Oleh karena itu, Dia tidak mewajibkan dan tidak mengizinkan mereka untuk melakukan hal itu, dan kaidah fikih mengatakan: Bahwa jaminan kerusakan itu sama, baik pada keluarga maupun selainnya.
قَالَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "يَضْمَنُ الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ وَالنَّائِمُ مَا أَتْلَفُوهُ مِنَ الْأَمْوَالِ، وَهَذَا مِنَ الشَّرَائِعِ الْعَامَّةِ الَّتِي لَا تَتِمُّ مَصَالِحُ الْأُمَّةِ إِلَّا بِهَا، لَوْ لَمْ يَضْمَنُوا جِنَايَاتِ أَيْدِيهِمْ؛ لَأَتْلَفَ بَعْضُهُمْ أَمْوَالَ بَعْضٍ، وَدَاعِي الْخَطَأِ وَعَدَمِ الْقَصْدِ".
Al-Allamah Ibnu Al-Qayyim ﵀ berkata: "Anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur bertanggung jawab atas harta yang mereka rusak, dan ini termasuk syariat umum yang kemaslahatan umat tidak akan sempurna kecuali dengannya, seandainya mereka tidak menjamin kejahatan tangan-tangan mereka; niscaya sebagian mereka akan merusak harta sebagian yang lain, dan pendorong kesalahan dan ketiadaan maksud".
وَيَزُولُ الْحَجْرُ عَنِ الصَّغِيرِ بِأَمْرَيْنِ:
Dan pengampuan atas anak kecil hilang dengan dua perkara:
الْأَمْرُ الْأَوَّلُ: بُلُوغُهُ سِنَّ الرُّشْدِ.
Perkara pertama: Mencapai usia kedewasaan.
وَيُعْرَفُ ذَلِكَ بِعَلَامَاتٍ:
Dan hal itu diketahui dengan tanda-tanda:
الْأُولَى: إِنْزَالُهُ الْمَنِيَّ يَقَظَةً أَوْ مَنَامًا، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا﴾، وَالْحُلُمُ هُوَ أَنْ يَرَى الطِّفْلُ فِي مَنَامِهِ مَا يُنْزِلُ بِهِ الْمَنِيَّ الدَّافِقَ.
Pertama: Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga atau tidur, Allah Ta'ala berfirman: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin", dan mimpi basah adalah ketika anak melihat dalam tidurnya sesuatu yang menyebabkan keluarnya mani yang memancar.
الثَّانِيَةُ: إِنْبَاتُ الشَّعْرِ الْخَشِنِ حَوْلَ قُبُلِهِ.
Kedua: Tumbuhnya rambut kasar di sekitar kemaluannya.
الثَّالِثَةُ: بُلُوغُهُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَهً، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ ﵄: "عُرِضْتُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ يَوْمَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِي"، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَمَعْنَى أَجَازَنِي؛ أَيْ: أَمْضَانِي لِلْخُرُوجِ لِلْقِتَالِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ بُلُوغَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً مِنَ الْوِلَادَةِ يَكُونُ بُلُوغًا، وَفِي رِوَايَةٍ فِي تَعْلِيلِ مَنْعِهِ فِي
Ketiga: Mencapai usia lima belas tahun, Abdullah bin Umar ﵄ berkata: "Aku dihadapkan kepada Nabi ﷺ pada hari Uhud dan aku berusia empat belas tahun, maka beliau tidak mengizinkanku, dan aku dihadapkan kepadanya pada hari Khandaq dan aku berusia lima belas tahun, maka beliau mengizinkanku", muttafaq 'alaih, dan makna beliau mengizinkanku; yaitu: beliau membolehkanku untuk keluar berperang, maka ini menunjukkan bahwa mencapai usia lima belas tahun dari kelahiran adalah baligh, dan dalam sebuah riwayat tentang alasan pelarangannya pada
العَرْضَةُ الأُولَى: " قَالَ: وَلَمْ يَرَنِي بَلَغْتُ".
Tanda pertama: "Dia berkata: Dan dia tidak melihatku telah mencapai (usia baligh)".
الرَّابِعَةُ: وَتَزِيدُ الجَارِيَةُ عَلَى الذَّكَرِ عَلَامَةً رَابِعَةً تَدُلُّ عَلَى بُلُوغِهَا، وَهِيَ الحَيْضُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ"، رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ.
Keempat: Anak perempuan memiliki tanda keempat yang menunjukkan kedewasaannya, yaitu haid; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Allah tidak menerima shalat wanita yang sedang haid kecuali dengan khimar", diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dia menghasankannya.
الأَمْرُ الثَّانِي مِنَ البُلُوغِ: الرُّشْدُ، وَهُوَ الصَّلَاحُ فِي المَالِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ﴾ .
Perkara kedua dari kedewasaan: Kecerdasan, yaitu kebaikan dalam harta; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya".
وَيُعْرَفُ رُشْدُهُ بِأَنْ يُمْتَحَنَ، فَيُمْنَحَ شَيْئًا مِنَ التَّصَرُّفِ، فَإِذَا تَصَرَّفَ مِرَارًا، فَلَمْ يُغْبَنْ غَبْنًا فَاحِشًا، وَلَمْ يُبَذِّلْ مَالَهُ فِي حَرَامٍ أَوْ فِيمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ؛ فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى رُشْدِهِ.
Kecerdasannya diketahui dengan cara diuji, lalu diberi sesuatu untuk dikelola. Jika dia mengelolanya berulang kali, dan tidak tertipu dengan tipuan yang besar, tidak menghamburkan hartanya dalam perkara haram atau sesuatu yang tidak bermanfaat; maka ini adalah bukti kecerdasannya.
وَيَزُولُ الحَجْرُ عَنِ المَجْنُونِ بِأَمْرَيْنِ:
Pembatasan terhadap orang gila dihilangkan dengan dua hal:
الأَوَّلُ: زَوَالُ الجُنُونِ وَرُجُوعُ العَقْلِ إِلَيْهِ.
Pertama: Hilangnya kegilaan dan kembalinya akal kepadanya.
وَالثَّانِي: أَنْ يَكُونَ رَشِيدًا كَمَا سَبَقَ فِي حَقِّ الصَّغِيرِ إِذَا بَلَغَ.
Kedua: Dia menjadi cerdas seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada hak anak kecil ketika mencapai usia baligh.
وَيَزُولُ عَنِ السَّفِيهِ: بِزَوَالِ السَّفَهِ وَاتِّصَافِهِ بِالرُّشْدِ فِي تَصَرُّفَاتِهِ المَالِيَّةِ.
Dan hilang dari orang yang dungu: dengan hilangnya kedunguan dan disifati dengan kecerdasan dalam pengelolaan keuangannya.
وَيَتَوَلَّى مَالَ كُلٍّ مِنْ هَؤُلَاءِ الثَّلَاثَةِ الصَّبِيِّ وَالمَجْنُونِ وَالسَّفِيهِ حَالَ الحَجْرِ أَبُوهُ إِذَا كَانَ عَدْلًا رَشِيدًا؛ لِكَمَالِ شَفَقَتِهِ، ثُمَّ مِنْ بَعْدِ الأَبِ وَصِيَّةُ؛ لِأَنَّهُ نَائِبُهُ، فَأَشْبَهَ وَكِيلَهُ فِي حَالِ الحَيَاةِ.
Yang mengelola harta ketiga orang ini yaitu anak kecil, orang gila, dan orang dungu pada saat pembatasan adalah ayahnya jika dia adil dan cerdas; karena kesempurnaan kasih sayangnya, kemudian setelah ayah adalah orang yang diwasiatkan; karena dia adalah wakilnya, maka menyerupai wakilnya dalam keadaan hidup.
وَيَجِبُ عَلَى مَن يَتَوَلَّى أَمْوَالَهُم مِمَّن ذُكِرَ أَن يَتَصَرَّفَ لَهُم بِالأَحْظَ لَهُمْ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ﴾؛ أَيْ: لَا تَتَصَرَّفُوا فِي مَالِ الْيَتِيمِ إِلَّا بِمَا فِيهِ مَصْلَحَةٌ وَتَنْمِيَةٌ لَهُ، وَالْآيَةُ الْكَرِيمَةُ وَإِن كَانَتْ نَصَّتْ عَلَى مَالِ الْيَتِيمِ؛ فَإِنَّهَا تَتَنَاوَلُ مَالَ السَّفِيهِ بِالْقِيَاسِ عَلَى مَالِ الْيَتِيمِ.
Dan wajib bagi siapa saja yang mengurus harta mereka yang disebutkan untuk bertindak dengan cara yang paling menguntungkan bagi mereka; berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik"; artinya: janganlah kamu mengelola harta anak yatim kecuali dengan cara yang mengandung kemaslahatan dan pengembangan baginya. Dan meskipun ayat yang mulia ini secara tekstual menyebutkan harta anak yatim, namun ia juga mencakup harta orang yang kurang akal (safih) dengan menganalogikannya kepada harta anak yatim.
وَعَلَى وَلِيِّ مَالِ الْيَتِيمِ وَنَحْوِهِ الْمُحَافَظَةُ عَلَيْهِ، وَعَدَمُ إِهْمَالِهِ وَالْمُخَاطَرَةُ بِهِ أَوْ أَكْلُهُ ظُلْمًا، قَالَ تَعَالَى ﴿إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا﴾ .
Dan wali harta anak yatim dan sejenisnya wajib menjaganya, tidak mengabaikannya, mempertaruhkannya, atau memakannya secara zalim. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."
وَقَدْ وَعَظَ اللهُ أَوْلِيَاءَ الْيَتَامَى بِأَن يَتَذَكَّرُوا حَالَةَ أَوْلَادِهِمْ لَوْ كَانُوا تَحْتَ وِلَايَةِ غَيْرِهِمْ؛ فَكَمَا يُحِبُّونَ أَن يُحْسِنَ إِلَى أَوْلَادِهِمْ؛ فَلْيُحْسِنُوا هُمْ إِلَى أَوْلَادِ غَيْرِهِم مِنَ الْيَتَامَى إِذَا كَانُوا تَحْتَ وِلَا يَتِهِمْ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا﴾ .
Dan Allah telah menasihati para wali anak yatim agar mengingat keadaan anak-anak mereka seandainya mereka berada di bawah perwalian orang lain; sebagaimana mereka ingin agar anak-anak mereka diperlakukan dengan baik, maka hendaklah mereka berbuat baik kepada anak-anak yatim orang lain jika mereka berada di bawah perwalian mereka. Allah Ta'ala berfirman, "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar."
وَلَمَّا كَانَ هَؤُلَاءِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِفْظَ أَمْوَالِهِمْ وَتَصْرِيفَهَا بِمَا يُنَمِّيهَا لَهُمْ؛ أَقَامَ اللهُ عَلَيْهِمْ أَوْلِيَاءَ يَتَوَلَّوْنَ عَنْهُم ذَلِكَ، وَيَنْظُرُونَ فِي مَصَالِحِهِمْ، وَأَعْطَى هَؤُلَاءِ الْأَوْلِيَاءَ تَوْجِيهَاتٍ يَسِيرُونَ عَلَيْهَا حَالَ وِلَا يَتِهِمْ عَلَى هَؤُلَاءِ، فَنَهَى الْأَوْلِيَاءَ عَنْ إِعْطَاءِ الْقُصَّارِ أَمْوَالَهُمْ وَتَمْكِينِهِم مِنْهَا؛ لِئَلَّا يُفْسِدُوهَا أَوْيُضَيِّعُوهَا.
Dan karena mereka tidak mampu menjaga harta mereka dan mengelolanya dengan cara yang mengembangkannya bagi mereka, maka Allah mengangkat para wali atas mereka yang mengurus hal itu untuk mereka dan memperhatikan kemaslahatan mereka. Allah memberikan arahan kepada para wali ini yang mereka ikuti saat menjadi wali atas mereka. Allah melarang para wali memberikan harta kepada orang-orang yang belum dewasa dan memberi mereka kuasa atasnya, agar mereka tidak merusaknya atau menyia-nyiakannya.
قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا﴾ .
Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan."
قَالَ الحَافِظُ ابْنُ كَثِيرٍ ﵀: "يَنْهَى اللهُ ﷾ عَنْ تَمْكِينِ السُّفَهَاءِ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي الأَمْوَالِ الَّتِي جَعَلَهَا اللهُ لِلنَّاسِ قِيَامًا؛ أَيْ: تَقُومُ بِهَا مَعَايِشُهُمْ مِنَ التِّجَارَاتِ وَغَيْرِهَا، وَمِنْ هُنَا يُؤْخَذُ الحَجْرُ عَلَى السُّفَهَاءِ" انْتَهَى.
Al-Hafizh Ibnu Katsir ﵀ berkata: "Allah ﷾ melarang memberi kuasa kepada orang-orang bodoh untuk mengelola harta yang Allah jadikan sebagai penopang kehidupan manusia; yaitu: yang dengannya mereka menjalani kehidupan mereka dari perdagangan dan lainnya, dan dari sini diambil aturan untuk melarang orang-orang bodoh (mengelola harta)." Selesai.
وَكَمَا نَهَى اللهُ عَنْ تَمْكِينِ هَؤُلَاءِ القَصَّارِ مِنْ أَمْوَالِهِمْ، وَجَعَلَهَا تَحْتَ وِلَايَةِ أَهْلِ النَّظَرِ وَالإِصْلَاحِ؛ فَإِنَّهُ ﷾ يُحَذِّرُ هَؤُلَاءِ الأَوْلِيَاءَ مِنَ التَّصَرُّفِ فِيهَا؛ إِلَّا بِمَا يُصْلِحُهَا وَيُنْمِيهَا، فَيَقُولُ سُبْحَانَهُ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ﴾؛ أَيْ: لَا تَتَصَرَّفُوا فِي مَالِ الْيَتِيمِ إِلَّا بِمَا فِيهِ غُبْطَةٌ وَمَصْلَحَةٌ لِلْيَتِيمِ.
Dan sebagaimana Allah melarang memberi kuasa kepada orang-orang yang kurang akal ini atas harta mereka, dan menjadikannya di bawah perwalian orang-orang yang berpandangan dan memperbaiki; maka sesungguhnya Dia ﷾ memperingatkan para wali ini dari mengelolanya; kecuali dengan apa yang memperbaikinya dan menumbuhkannya, maka Dia ﷾ berfirman: ﴿Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa﴾; yaitu: janganlah kalian mengelola harta anak yatim kecuali dengan apa yang membawa keuntungan dan maslahat bagi anak yatim.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ﵄؛ قَالَ: "لَمَّا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى قَوْلَهُ ﴿وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ﴾، وَقَوْلَهُ: ﴿إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا﴾؛ انْطَلَقَ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ يَتِيمٌ، فَعَزَلَ طَعَامَهُ عَنْ طَعَامِهِ، وَشَرَابَهُ عَنْ شَرَابِهِ، فَجَعَلَ يَفْضُلُ الشَّيْءُ، فَيَحْبِسُ لَهُ حَتَّى يَأْكُلَهُ أَوْ يَفْسُدَ، فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ، فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ ﷺ، فَأَنْزَلَ اللهُ: ﴿وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ﴾ "؛ قَالَ: "فَخَلَطُوا طَعَامَهُمْ بِطَعَامِهِمْ، وَشَرَابَهُمْ بِشَرَابِهِمْ".
Dari Ibnu Abbas ﵄; dia berkata: "Ketika Allah ﷻ menurunkan firman-Nya ﴿Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat)﴾, dan firman-Nya: ﴿Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)﴾; maka pergilah orang yang memiliki anak yatim, lalu dia memisahkan makanannya dari makanannya, dan minumannya dari minumannya, lalu dia menyisakan sesuatu, maka dia menahannya untuknya sampai dia memakannya atau rusak, maka hal itu terasa berat bagi mereka, lalu mereka menyebutkan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka Allah ﷻ menurunkan: ﴿Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu"﴾ "; dia berkata: "Maka mereka mencampurkan makanan mereka dengan makanan mereka, dan minuman mereka dengan minuman mereka".
وَمِنَ الإِحْسَانِ فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى: إِشْغَالُهَا فِي الِاتِّجَارِ طَلَبًا لِلرِّبْحِ وَالنُّمُوِّ، فَلِوَلِيِّهِ الِاتِّجَارُ بِهِ، وَلَهُ دَفْعُهُ لِمَنْ يَتَّجِرُ بِهِ مُضَارَبَةً؛ لِأَنَّ عَائِشَةَ
Dan termasuk berbuat baik pada harta anak-anak yatim: menyibukkannya dalam perniagaan untuk mencari keuntungan dan pertumbuhan, maka walinya boleh berdagang dengannya, dan dia boleh menyerahkannya kepada orang yang berdagang dengannya secara mudarabah; karena Aisyah
﵂ أَبْضَعْتُ مَالَ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ ﵃، وَقَالَ عُمَرُ ﵁: "اتَّجِرُوا بِأَمْوَالِ الْيَتَامَى كَيْلَا تَأْكُلُهَا الصَّدَقَةُ".
﵂ Aku menginvestasikan harta Muhammad bin Abu Bakr ﵃, dan Umar ﵁ berkata: "Berdaganglah dengan harta anak-anak yatim agar tidak dimakan oleh sedekah".
كَمَا أَنَّ وَلِيَّ الْيَتِيمِ يُنْفِقُ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ.
Demikian pula, wali anak yatim membelanjakan untuknya dari hartanya secara ma'ruf.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "وَيُسْتَحَبُّ إِكْرَامُ الْيَتِيمِ وَإِدْخَالُ السُّرُورِ عَلَيْهِ وَدَفْعُ الْإِهَانَةِ عَنْهُ؛ فَجَبْرُ قَلْبِهِ مِنْ أَعْظَمِ مَصَالِحِهِ" انتهى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Dianjurkan untuk menghormati anak yatim, membuatnya bahagia, dan menjauhkannya dari penghinaan; karena menghibur hatinya termasuk maslahat terbesarnya" selesai.
وَلِوَلِيِّ الْيَتِيمِ شِرَاءُ الْأُضْحِيَةِ لَهُ مِنْ مَالِهِ إِذَا كَانَ الْيَتِيمُ مُوسِرًا؛ لِأَنَّهُ يَوْمُ سُرُورٍ وَفَرَحٍ، وَلِوَلِيِّهِ أَيْضًا تَعْلِيمُهُ بِالْآخِرَةِ مِنْ مَالِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ مَصَالِحِهِ.
Wali anak yatim boleh membeli hewan kurban untuknya dari hartanya jika anak yatim itu kaya; karena itu adalah hari kegembiraan dan kebahagiaan. Walinya juga boleh mengajarinya tentang akhirat dari hartanya; karena itu termasuk maslahatnya.
وَإِذَا كَانَ وَلِيُّ الْيَتِيمِ فَقِيرًا؛ فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ قَدْرَ أُجْرَتِهِ لِقَاءَ مَا يُقَدِّمُهُ مِنْ خِدْمَةٍ لِمَالِهِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ﴾؛ أَيْ: وَمَنْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى النَّفَقَةِ وَهُوَ يَحْفَظُ مَالَ الْيَتِيمِ وَيَتَعَاهَدُهُ؛ ﴿فَلْيَأْكُلْ﴾ مِنْهُ ﴿بِالْمَعْرُوفِ﴾ .
Jika wali anak yatim itu miskin; maka ia boleh makan dari harta anak yatim sesuai upahnya atas pelayanan yang ia berikan untuk hartanya. Allah Ta'ala berfirman: ﴿Dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut cara yang patut﴾; yaitu: barangsiapa yang membutuhkan nafkah dan ia menjaga harta anak yatim serta merawatnya; ﴿maka bolehlah ia makan﴾ darinya ﴿menurut cara yang patut﴾.
قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ كَثِيرٍ: "نَزَلَتْ فِي وَالِي الْيَتِيمِ الَّذِي يَقُومُ عَلَيْهِ وَيُصْلِحُهُ إِذَا كَانَ مُحْتَاجًا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ، وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
Imam Ibnu Katsir berkata: "Ayat ini turun berkenaan dengan wali anak yatim yang mengurusnya dan memperbaikinya jika ia membutuhkan untuk makan darinya. Dari Aisyah, ia berkata: Ayat ini diturunkan
فِي وَالِي الْيَتِيمِ: ﴿وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ﴾ بِقَدْرِ قِيَامِهِ عَلَيْهِ".
Mengenai wali anak yatim: "Dan barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut" sesuai dengan kadar pengasuhannya terhadap anak yatim itu.
قَالَ الْفُقَهَاءُ: لَهُ أَنْ يَأْخُذَ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ أَجْرَهُ مِثْلَهُ أَوْ قَدْرَ حَاجَتِهِ، رُوِيَ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي يَتِيمًا عِنْدَهُ مَالٌ وَلَيْسَ لِي مَالٌ؛ أَآكُلُ مِنْ مَالِهِ؟ قَالَ: " كُلْ بِالْمَعْرُوفِ غَيْرَ مُسْرِفٍ ".
Para fuqaha berkata: Dia boleh mengambil yang paling sedikit di antara dua hal, yaitu upah yang setara atau sesuai dengan kebutuhannya. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Aku memiliki anak yatim yang mempunyai harta, sedangkan aku tidak memiliki harta. Bolehkah aku makan dari hartanya?" Beliau bersabda, "Makanlah dengan cara yang baik, tidak berlebihan."
أَمَّا مَا زَادَ عَنْ هَذَا الْحَدِّ الَّذِي رَخَّصَ اللَّهُ فِيهِ؛ فَلَا يَجُوزُ أَكْلُهُ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ؛ فَقَدْ تَوَعَّدَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِأَشَدِّ الْوَعِيدِ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا﴾، وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا﴾؛ أَيْ: إِنَّ أَكْلَكُمْ أَمْوَالَهُمْ مَعَ أَمْوَالِكُمْ إِثْمٌ عَظِيمٌ وَخَطَأٌ كَبِيرٌ فَاجْتَنِبُوهُ.
Adapun yang melebihi batas yang telah diizinkan oleh Allah ini, maka tidak boleh memakannya dari harta anak yatim. Allah telah mengancam dengan ancaman yang sangat keras terhadap hal itu. Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa". Allah Ta'ala juga berfirman, "Dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya (tindakan memakan harta mereka) itu adalah dosa yang besar". Artinya, sesungguhnya memakan harta mereka bersama hartamu adalah dosa besar dan kesalahan besar, maka jauhilah.
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا﴾ .
Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)".
قَالَ الْإِمَامُ ابْنُ كَثِيرٍ: "أَيْ: إِذَا أَكَلُوا أَمْوَالَ الْيَتَامَى بِلَا سَبَبٍ؛ فَإِنَّمَا يَأْكُلُونَ نَارًا تَتَأَجَّجُ فِي بُطُونِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".
Imam Ibnu Katsir berkata, "Yaitu, jika mereka memakan harta anak-anak yatim tanpa alasan yang dibenarkan, maka sebenarnya mereka memakan api yang akan berkobar dalam perut mereka pada hari Kiamat."
وَفِي "الصَّحِيحَيْنِ" عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "اجْتَنِبُوا
Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Jauhilah
"السَّبْعُ الْمُوبِقَاتُ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ! وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: "الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ".
"Tujuh dosa besar yang membinasakan". Ditanyakan: Wahai Rasulullah! Apa saja ketujuh dosa itu? Beliau menjawab: "Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina terhadap wanita-wanita mukmin yang memelihara kehormatan dan yang lengah".
ثُمَّ إِنَّهُ سُبْحَانَهُ أَمَرَ بِدَفْعِ أَمْوَالِ الْيَتَامَى إِلَيْهِمْ عِنْدَمَا يَزُولُ عَنْهُمُ الْيُتْمُ وَيَتَأَهَّلُونَ لِلتَّصَرُّفِ فِيهَا عَلَى السَّدَادِ مُوَفَّرَةً كَامِلَةً، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُم﴾، وَقَالَ: ﴿حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا﴾؛
Kemudian sesungguhnya Allah Subhanahu memerintahkan untuk menyerahkan harta anak-anak yatim kepada mereka ketika status keyatiman mereka telah hilang dan mereka telah mampu untuk mengelolanya dengan baik, secara utuh dan lengkap. Allah Ta'ala berfirman: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka", dan Dia berfirman: "Hingga apabila mereka telah cukup umur untuk menikah, maka jika kamu telah mengetahui adanya kedewasaan pada mereka, maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas."
أَيْ: وَكَفَى بِاللهِ مُحَاسِبًا وَشَاهِدًا وَرَقِيبًا عَلَى الْأَوْلِيَاءِ فِي حَالِ نَظَرِهِمْ لِلْأَيْتَامِ وَحَالِ تَسْلِيمِهِمْ لِأَمْوَالِهِمْ هَلْ هِيَ كَامِلَةٌ مُوَفَّرَةٌ أَوْ مَنْقُوصَةٌ مَبْخُوسَةٌ.
Yakni: dan cukuplah Allah sebagai penghitung, saksi, dan pengawas atas para wali dalam hal pengawasan mereka terhadap anak-anak yatim dan dalam hal penyerahan harta mereka, apakah harta itu utuh dan lengkap ataukah berkurang dan terdzalimi.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الصُّلْحِ
أَبْوَابٌ
Bab-bab
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الصُّلْحِ
Bab tentang hukum-hukum perdamaian
الصُّلْحُ فِي اللُّغَةِ: قَطْعُ الْمُنَازَعَةِ، وَمَعْنَاهُ فِي الشَّرْعِ: أَنَّهُ مُعَاقَدَةٌ يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى إِصْلَاحٍ بَيْنَ مُتَخَاصِمِينَ.
Ash-Shulh secara bahasa berarti memutus perselisihan, dan maknanya secara syariat adalah suatu perjanjian yang dengannya dapat mewujudkan perdamaian di antara dua pihak yang berselisih.
وَهُوَ مِنْ أَكْبَرِ الْعُقُودِ فَائِدَةً، وَلِذَلِكَ حَسُنَ فِيهِ اسْتِعْمَالُ شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ إِذَا دَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَى ذَلِكَ.
Dan ia termasuk akad yang paling besar manfaatnya, oleh karena itu diperbolehkan menggunakan sedikit kebohongan di dalamnya jika terdapat kebutuhan untuk itu.
وَالدَّلِيلُ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الصُّلْحِ: الْكِتَابُ، وَالسُّنَّةُ، وَالْإِجْمَاعُ:
Dan dalil atas disyariatkannya ash-shulh adalah Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma':
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَالصُّلْحُ خَيْرٌ﴾، وَقَالَ ﴿وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا﴾ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾ .
Allah Ta'ala berfirman: "Dan perdamaian itu lebih baik", dan Dia berfirman "Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya" sampai firman-Nya: "Maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil".
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا﴾ .
Dan Allah Ta'ala berfirman: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar".
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ﴾ .
Dan Allah Ta'ala berfirman: "Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu".
قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ؛ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ
Nabi ﷺ bersabda: "Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan
حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا"، صَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَكَانَ ﷺ يَقُومُ بِالْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ.
"haram atau mengharamkan yang halal", disahihkan oleh Tirmidzi, dan Nabi ﷺ melakukan perdamaian di antara manusia.
وَالصُّلْحُ الْجَائِزُ هُوَ الَّذِي أَمَرَ اللهُ بِهِ وَرَسُولُهُ، وَهُوَ مَا يُقْصَدُ بِهِ رِضَى اللهِ تَعَالَى ثُمَّ رِضَى الْخَصْمَيْنِ.
Dan perdamaian yang diperbolehkan adalah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu yang dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Allah Ta'ala kemudian ridha kedua pihak yang berselisih.
وَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مَنْ يَقُومُ بِالْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ عَالِمًا بِالْوَقَائِعِ، عَارِفًا بِالْوَاجِبِ، قَاصِدًا لِلْعَدْلِ، وَدَرَجَةُ الْمُصْلِحِ بَيْنَ النَّاسِ أَفْضَلُ مِنْ دَرَجَةِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ، أَمَّا إِذَا خَلَا الصُّلْحُ مِنَ الْعَدْلِ؛ صَارَ ظُلْمًا وَهَضْمًا لِلْحَقِّ، كَأَنْ يُصْلِحَ بَيْنَ قَادِرٍ ظَالِمٍ وَضَعِيفٍ مَظْلُومٍ بِمَا يَرْضَى بِهِ الْقَادِرُ وَيُمَكِّنُهُ مِنَ الظُّلْمِ وَيَهْضِمُ بِهِ حَقَّ الضَّعِيفِ وَلَا يُمَكِّنُهُ مِنْ أَخْذِ حَقِّهِ، وَالصُّلْحُ إِنَّمَا يَكُونُ فِي حُقُوقِ الْمَخْلُوقِينَ الَّتِي لِبَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ مِمَّا يَقْبَلُ الْإِسْقَامَ وَالْمُعَاوَضَةَ، أَمَّا حُقُوقُ اللهِ تَعَالَى؛ كَالْحُدُودِ وَالزَّكَاةِ؛ مَدْخَلَ لِلصُّلْحِ فِيهَا؛ لِأَنَّ الصُّلْحَ فِيهَا هُوَ أَدَاؤُهَا كَامِلَةً.
Dan orang yang melakukan perdamaian di antara manusia harus mengetahui peristiwa-peristiwa, memahami kewajiban, dan bertujuan untuk keadilan. Derajat orang yang mendamaikan di antara manusia lebih utama daripada derajat orang yang berpuasa dan shalat malam. Adapun jika perdamaian kosong dari keadilan, maka ia menjadi kezaliman dan pengurangan hak, seperti mendamaikan antara orang yang kuat dan zalim dengan orang yang lemah dan terzalimi dengan apa yang diridhai oleh orang yang kuat dan memungkinkannya berbuat zalim serta mengurangi hak orang yang lemah dan tidak memungkinkannya mengambil haknya. Perdamaian itu hanya terjadi pada hak-hak makhluk yang dimiliki sebagian atas sebagian lainnya yang dapat dihapus dan diganti. Adapun hak-hak Allah Ta'ala, seperti hudud dan zakat, maka tidak ada tempat untuk perdamaian di dalamnya, karena perdamaian di dalamnya adalah menunaikannya secara sempurna.
وَالصُّلْحُ بَيْنَ النَّاسِ يَتَنَاوَلُ خَمْسَةَ أَنْوَاعٍ:
Perdamaian di antara manusia mencakup lima jenis:
النَّوْعُ الْأَوَّلُ: الصُّلْحُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ أَهْلِ الْحَرْبِ.
Jenis pertama: Perdamaian antara kaum muslimin yang berperang.
النَّوْعُ الثَّانِي: صُلْحٌ بَيْنَ أَهْلِ الْعَدْلِ وَأَهْلِ الْبَغْيِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
Jenis kedua: Perdamaian antara ahli keadilan dan ahli kezaliman dari kaum muslimin.
النَّوْعُ الثَّالِثُ: صُلْحٌ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ إِذَا خِيفَ الشِّقَاقُ بَيْنَهُمَا.
Jenis ketiga: perdamaian antara suami istri jika dikhawatirkan terjadi perselisihan di antara mereka.
النَّوْعُ الرَّابِعُ: إِصْلَاحٌ بَيْنَ مُتَخَاصِمَيْنِ فِي غَيْرِ الْمَالِ.
Jenis keempat: perdamaian antara dua pihak yang berselisih dalam hal selain harta.
النَّوْعُ الْخَامِسُ: إِصْلَاحٌ بَيْنَ مُتَخَاصِمَيْنِ فِي الْأَمْوَالِ، وَهُوَ الْمُرَادُ هُنَا.
Jenis kelima: perdamaian antara dua pihak yang berselisih dalam masalah harta, dan inilah yang dimaksud di sini.
وَهَذَا النَّوْعُ مِنَ الصُّلْحِ يَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ:
Jenis perdamaian ini terbagi menjadi dua bagian:
الْأَوَّلُ: صُلْحٌ عَنْ إِقْرَارٍ.
Pertama: perdamaian berdasarkan pengakuan.
وَالثَّانِي: صُلْحٌ عَنْ إِنْكَارٍ.
Kedua: perdamaian berdasarkan pengingkaran.
١وَالصُّلْحُ عَنِ الْإِقْرَارِ نَوْعَانِ:
1Dan perdamaian berdasarkan pengakuan ada dua jenis:
نَوْعٌ يَقَعُ عَلَى جِنْسِ الْحَقِّ، وَنَوْعٌ يَقَعُ عَلَى غَيْرِ جِنْسِهِ.
Jenis yang terjadi pada jenis hak yang sama, dan jenis yang terjadi pada selain jenisnya.
فَالَّذِي يَقَعُ عَلَى جِنْسِهِ مِثْلُ مَا إِذَا أَقَرَّ لَهُ بِدَيْنٍ مَعْلُومٍ أَوْ بِعَيْنٍ مَالِيَّةٍ فِي يَدِهِ، فَصَالَحَهُ عَلَى أَخْذِ بَعْضِ الدَّيْنِ وَإِسْقَاطِ بَقِيَّتِهِ، أَوْ عَلَى هِبَةِ بَعْضِ الْعَيْنِ وَأَخْذِ الْبَعْضِ الْآخَرِ.
Yang terjadi pada jenisnya seperti jika seseorang mengakui hutang yang diketahui atau harta tertentu yang ada padanya, lalu ia berdamai dengan mengambil sebagian hutang dan menggugurkan sisanya, atau dengan menghibahkan sebagian harta dan mengambil sebagian lainnya.
وَهَذَا النَّوْعُ مِنَ الصُّلْحِ يَصِحُّ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَشْرُوطًا فِي الْإِقْرَارِ، كَأَنْ يَقُولَ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ: أُقِرُّ لَكَ بِشَرْطِ أَنْ تُعْطِيَنِي أَوْ تُعَوِّضَنِي كَذَا، أَوْ يَقُولَ صَاحِبُ الْحَقِّ: أَبْرَأْتُكَ أَوْ وَهَبْتُكَ بِشَرْطِ أَنْ تُعْطِيَنِي كَذَا، فَإِنَّ هَذَا الصُّلْحَ مَشْرُوطًا عَلَى نَحْوِ مَا ذَكَرْنَا؛ لَمْ لِأَنَّ صَاحِبَ الْحَقِّ لَهُ الْمُطَالَبَةُ بِجَمِيعِ الْحَقِّ.
Jenis perdamaian ini sah jika tidak disyaratkan dalam pengakuan, seperti jika orang yang menanggung hak berkata: Aku mengakui untukmu dengan syarat engkau memberiku atau menggantiku dengan ini, atau pemilik hak berkata: Aku membebaskanmu atau menghibahkanmu dengan syarat engkau memberiku ini, maka perdamaian ini bersyarat seperti yang kami sebutkan; karena pemilik hak berhak menuntut seluruh haknya.
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ هَذَا النَّوْعِ مِنَ الصُّلْحِ أَيْضًا: أَنْ لَا يَمْنَعَهُ حَقَّهُ بِدُونِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ أَكْلٌ لِمَالِ الْغَيْرِ بِالْبَاطِلِ، وَهُوَ مُحَرَّمٌ، وَلِأَنَّ مَنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ يَجِبُ دَفْعُهُ لِصَاحِبِهِ بِدُونِ قَيْدٍ وَلَا شَرْطٍ.
Dan disyaratkan juga untuk sahnya jenis perdamaian ini: bahwa ia tidak mencegah haknya tanpanya; karena itu adalah memakan harta orang lain dengan batil, dan itu diharamkan, dan karena orang yang menanggung hak wajib menyerahkannya kepada pemiliknya tanpa batasan dan syarat.
وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا لِهَذَا النَّوْعِ مِنَ الصُّلْحِ: أَنْ يَكُونَ صَاحِبُ الْحَقِّ مِمَّنْ يَصِحُّ تَبَرُّعُهُ، فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَصِحُّ تَبَرُّعُهُ؛ لَمْ يَصِحَّ؛ كَمَا لَوْ كَانَ
Dan disyaratkan juga untuk jenis perdamaian ini: bahwa pemilik hak adalah orang yang sah melakukan tabarru' (pemberian sukarela), jika ia termasuk orang yang tidak sah melakukan tabarru'; maka tidak sah; seperti jika ia
وَلِيَا لِمَالِ يَتِيمٍ أَوْ مَجْنُونٍ؛ لِأَنَّ هَذَا تَبَرُّعٌ، وَهُوَ لَا يَمْلِكُهُ.
Wali harta anak yatim atau orang gila; karena ini adalah sumbangan, dan dia tidak memilikinya.
وَالْحَاصِلُ؛ أَنَّهُ يَجُوزُ الْمُصَالَحَةُ عَنِ الْحَقِّ الثَّابِتِ بِشَيْءٍ مِنْ جِنْسِهِ، شَرِيطَةَ أَنْ لَا يَمْتَنِعَ مِنْ عَلَيْهِ الْحَقُّ مِنْ أَدَائِهِ بِدُونِ هَذَا الصُّلْحِ، وَشَرِيطَةَ أَنْ يَكُونَ صَاحِبُ الْحَقِّ مِمَّنْ يَصِحُّ تَبَرُّعُهُ، فَإِذَا تَوَفَّرَ ذَلِكَ؛ جَازَتْ هَذِهِ الْمُصَالَحَةُ؛ لِأَنَّهَا تَكُونُ حِينَئِذٍ مِنْ بَابِ التَّبَرُّعِ، وَالْإِنْسَانُ لَا يُمْنَعُ مِنْ إِسْقَاطِ بَعْضِ حَقِّهِ؛ كَمَا لَا يُمْنَعُ مِنِ اسْتِيفَائِهِ كُلَّهُ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَلَّمَ غُرَمَاءَ جَابِرٍ ﵁ لِيَضَعُوا عَنْهُ.
Kesimpulannya; bahwa diperbolehkan berdamai atas hak yang tetap dengan sesuatu dari jenisnya, dengan syarat bahwa orang yang memiliki hak tidak menolak untuk menunaikannya tanpa perdamaian ini, dan dengan syarat bahwa pemilik hak adalah orang yang sah untuk menyumbang, jika itu tersedia; maka perdamaian ini diperbolehkan; karena itu kemudian menjadi bagian dari sumbangan, dan seseorang tidak dilarang untuk menggugurkan sebagian haknya; sebagaimana dia tidak dilarang untuk memenuhi semuanya, dan karena Nabi ﷺ berbicara kepada para kreditor Jabir ﵁ untuk melepaskannya.
النَّوْعُ الثَّانِي مِنْ نَوْعَيِ الصُّلْحِ عَنِ الْإِقْرَارِ: أَنْ يُصَالِحَ عَنِ الْحَقِّ بِغَيْرِ جِنْسِهِ؛ كَمَا لَوِ اعْتَرَفَ لَهُ بِدَيْنٍ أَوْ عَيْنٍ، ثُمَّ تَصَالَحَا عَلَى أَنْ يَأْخُذَ عَنْ ذَلِكَ عِوَضًا مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ، فَإِنْ صَالَحَهُ عَنْ نَقْدٍ بِنَقْدٍ آخَرَ مِنْ جِنْسِهِ؛ فَهَذَا صَرْفٌ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الصَّرْفِ، وَإِنْ صَالَحَ عَنِ النَّقْدِ بِغَيْرِ نَقْدٍ؛ اعْتُبِرَ ذَلِكَ بَيْعًا تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْبَيْعِ، وَإِنْ صَالَحَ عَنْهُ بِمَنْفَعَةٍ كَسُكْنَى دَارِهِ؛ اعْتُبِرَ ذَلِكَ إِجَارَةً تَجْرِي عَلَيْهَا أَحْكَامُ الْأُجْرَةِ، وَإِنْ صَالَحَهُ عَنْ غَيْرِ النَّقْدِ بِمَالٍ آخَرَ؛ فَهُوَ بَيْعٌ.
Jenis kedua dari dua jenis perdamaian atas pengakuan: bahwa dia berdamai atas hak dengan selain jenisnya; seperti jika dia mengakui hutang atau barang kepadanya, kemudian mereka berdamai atas dasar bahwa dia mengambil kompensasi untuk itu dari selain jenisnya, jika dia berdamai dengannya atas uang tunai dengan uang tunai lainnya dari jenisnya; maka ini adalah pertukaran yang berlaku ketentuan pertukaran, dan jika dia berdamai atas uang tunai dengan selain uang tunai; itu dianggap sebagai penjualan yang tunduk pada ketentuan penjualan, dan jika dia berdamai dengannya dengan manfaat seperti menempati rumahnya; itu dianggap sebagai sewa yang tunduk pada ketentuan sewa, dan jika dia berdamai dengannya atas selain uang tunai dengan harta lainnya; itu adalah penjualan.
٢ الصُّلْحُ عَنْ إِنْكَارٍ، وَمَعْنَاهُ: أَنْ يَدَّعِيَ شَخْصٌ عَلَى آخَرَ بِعَيْنٍ
2 Perdamaian atas pengingkaran, dan maknanya: bahwa seseorang mengklaim atas yang lain dengan barang
لَهُ عِنْدَهُ، أَوْ بِدَيْنٍ فِي ذِمَّتِهِ لَهُ، فَيَسْكُتُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَهُوَ يَجْهَلُ الْمُدَّعَى بِهِ، ثُمَّ يُصَالِحُ الْمُدَّعَى عَنْ دَعْوَاهُ بِمَالٍ حَالٍّ أَوْ مُؤَجَّلٍ، فَيَصِحُّ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ؛ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: "حَسَنٌ صَحِيحٌ"، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ.
Dia memiliki sesuatu padanya, atau hutang yang menjadi tanggungannya, lalu terdakwa diam dan dia tidak mengetahui apa yang didakwakan, kemudian penggugat berdamai dengannya atas gugatannya dengan harta yang ada atau ditangguhkan, maka hal itu sah dalam keadaan ini menurut pendapat mayoritas ahli ilmu; berdasarkan sabda Nabi ﷺ: "Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin; kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal, atau menghalalkan yang haram", diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dan dia berkata: "Hasan shahih", dan dishahihkan oleh Al-Hakim.
وَقَدْ كَتَبَ بِهَذَا الْحَدِيثِ عُمَرُ إِلَى أَبِي مُوسَى ﵄، فَصَلُحَ الِاحْتِجَاجُ بِهِ لِهَذِهِ الِاعْتِبَارَاتِ.
Umar telah menulis hadits ini kepada Abu Musa ﵄, maka menjadi sah berhujjah dengannya karena pertimbangan-pertimbangan ini.
وَفَائِدَةُ هَذَا النَّوْعِ مِنَ الصُّلْحِ لِلْمُدَّعَى عَلَيْهِ: أَنَّهُ يَفْتَدِي بِهِ نَفْسَهُ مِنَ الدَّعْوَى وَالْيَمِينِ، وَفَائِدَتُهُ لِلْمُدَّعِي إِرَاحَتُهُ مِنْ تَكْلِيفِ إِقَامَةِ الْبَيِّنَةِ وَتَفَادِي تَأْخِيرِ حَقِّهِ الَّذِي يَدَّعِيهِ.
Manfaat jenis perdamaian ini bagi terdakwa: bahwa dia menebus dirinya dari gugatan dan sumpah, dan manfaatnya bagi penggugat adalah melepaskannya dari beban mendirikan bukti dan menghindari penundaan haknya yang dia klaim.
وَالصُّلْحُ عَنِ الْإِنْكَارِ يَكُونُ فِي حَقِّ حُكْمِ الْبَيْعِ؛ لِأَنَّهُ يَعْتَقِدَةُ عِوَضًا عَنْ مَالِهِ، فَلَزِمَهُ حُكْمُ اعْتِقَادِهِ، فَكَأَنَّ الْمُدَّعِي عَلَيْهِ اشْتَرَاهُ مِنْهُ، فَتَدْخُلُهُ أَحْكَامُ الْبَيْعِ مِنْ جِهَتِهِ؛ كَالرَّدِّ بِالْعَيْبِ، وَالْأَخْذِ بِالشُّفْعَةِ إِذَا كَانَ مِمَّا تَدْخُلُهُ الشُّفْعَةُ.
Perdamaian atas pengingkaran terjadi dalam hak hukum jual beli; karena dia menganggapnya sebagai ganti dari hartanya, maka dia harus mematuhi hukum keyakinannya, seolah-olah terdakwa membelinya darinya, maka memasukkan hukum-hukum jual beli dari sisinya; seperti pengembalian karena cacat, dan pengambilan dengan syuf'ah jika itu termasuk yang dapat dimasuki syuf'ah.
وَحُكْمُ هَذَا الصُّلْحِ فِي حَقِّ الْمُدَّعِي عَلَيْهِ: أَنَّهُ إِبْرَاءٌ عَنِ الدَّعْوَى؛ لِأَنَّهُ دَفَعَ الْمَالَ افْتِدَاءً لِيَمِينِهِ وَإِزَالَةً لِلضَّرَرِ عَنْهُ وَقَطْعًا لِلْخُصُومَةِ وَصِيَانَةً لِنَفْسِهِ عَنِ التَّبَذُّلِ وَالْمُخَاصَمَاتِ؛ لِأَنَّ ذَوِي النُّفُوسِ الشَّرِيفَةِ يَأْنَفُونَ مِنْ ذَلِكَ،
Hukum perdamaian ini dalam hak terdakwa: bahwa itu adalah pembebasan dari gugatan; karena dia membayar harta sebagai penebusan sumpahnya dan menghilangkan bahaya darinya dan memutus perselisihan dan menjaga dirinya dari kehinaan dan perselisihan; karena orang-orang yang memiliki jiwa yang mulia enggan melakukan hal itu,
وَيَصْعُبُ عَلَيْهِمْ، فَيَدْفَعُونَ الْمَالَ لِلْإِبْرَاءِ مِنْ ذَلِكَ، فَلَوْ وَجَدَ فِيمَا صَالَحَ بِهِ عَيْبًا؛ لَمْ يَسْتَحِقَّ رَدَّهُ بِهِ، وَلَا يُؤْخَذُ بِالشُّفْعَةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَعْتَقِدُهُ عِوَضًا عَنْ شَيْءٍ،
Dan itu sulit bagi mereka, sehingga mereka membayar uang untuk membebaskan diri dari itu. Jika dia menemukan cacat dalam apa yang dia damaikan dengannya, dia tidak berhak mengembalikannya, dan tidak diambil dengan syuf'ah, karena dia tidak menganggapnya sebagai ganti dari sesuatu.
وَإِنْ كَذَبَ أَحَدُ الْمُتَصَالِحَيْنِ فِي الصُّلْحِ عَنِ الْإِنْكَارِ؛ كَأَنْ يَكْذِبَ الْمُدَّعِي، فَيَدَّعِي شَيْئًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ، أَوْ يَكْذِبَ الْمُنْكِرُ فِي إِنْكَارِهِ مَا ادُّعِيَ بِهِ عَلَيْهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ عَلَيْهِ، وَيَعْلَمُ بِكَذِبِ الْمُنْكِرِ فِي إِنْكَارِهِ، إِذَا حَصَلَ شَيْءٌ مِنْ هَذَا الْكَذِبِ مِنْ جَانِبِ الْمُدَّعِي أَوِ الْمُنْكِرِ؛ فَالصُّلْحُ بَاطِلٌ فِي حَقِّ الْكَاذِبِ مِنْهُمَا بَاطِنًا؛ لِأَنَّهُ عَالِمٌ بِالْحَقِّ، قَادِرٌ عَلَى إِيصَالِهِ لِمُسْتَحِقِّهِ، وَغَيْرُ مُعْتَقِدٍ أَنَّهُ مُحِقٌّ فِي تَصَرُّفِهِ؛ فَمَا أَخَذَهُ بِمُوجِبِ هَذَا الصُّلْحِ حَرَامٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ أَخَذَهُ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا، لَا عِوَضًا عَنْ حَقٍّ يَعْلَمُهُ،
Jika salah satu dari dua pihak yang berdamai berdusta dalam perdamaian atas pengingkaran, seperti pendakwa berdusta dengan mengklaim sesuatu yang dia tahu bukan miliknya, atau pihak yang mengingkari berdusta dalam pengingkarannya terhadap apa yang didakwakan atasnya padahal dia tahu itu atasnya, dan dia tahu kedustaan pihak yang mengingkari dalam pengingkarannya. Jika terjadi sesuatu dari kebohongan ini dari pihak pendakwa atau pihak yang mengingkari, maka perdamaian itu batal secara batin pada hak pihak yang berdusta di antara mereka, karena dia mengetahui kebenaran, mampu menyampaikannya kepada yang berhak, dan tidak meyakini bahwa dia benar dalam tindakannya. Maka apa yang dia ambil berdasarkan perdamaian ini haram baginya, karena dia mengambilnya secara zalim dan melampaui batas, bukan sebagai ganti dari hak yang dia ketahui.
وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ﴾، وَإِنْ كَانَ هَذَا الصُّلْحُ فِيمَا يَظْهَرُ لِلنَّاسِ صَحِيحٌ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ بَاطِنَ الْحَالِ، وَلَكِنَّ ذَلِكَ لَا يُغَيِّرُ مِنَ الْحَقِيقَةِ شَيْئًا عِنْدَ مَنْ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ؛ فَعَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَبْتَعِدَ عَنْ مِثْلِ هَذَا التَّصَرُّفِ السَّيِّئِ وَالِاحْتِيَالِ الْبَاطِلِ.
Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil." Meskipun perdamaian ini tampak sah bagi manusia, karena mereka tidak mengetahui keadaan batin, tetapi hal itu tidak mengubah sedikitpun hakikat di sisi Dzat yang tidak ada sesuatu pun tersembunyi bagi-Nya di bumi maupun di langit. Maka seorang Muslim harus menjauhi tindakan buruk dan tipu daya yang batil seperti ini.
وَمِنْ مَسَائِلِ الصُّلْحِ عَنِ الْإِنْكَارِ: أَنَّهُ صَالَحَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَجْنَبِيٌّ بِغَيْرِ إِذْنِهِ؛ صَحَّ الصُّلْحُ فِي ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْأَجْنَبِيَّ يَقْصِدُ بِذَلِكَ إِبْرَاءَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَقَطْعَ الْخُصُومَةِ عَنْهُ؛ فَهُوَ كَمَا لَوْ عَنْهُ دَيْنَهُ، لَكِنْ لَا يُطَالِبُهُ بِشَيْءٍ مِمَّا دَفَعَ؛ لِأَنَّهُ لَا يَسْتَحِقُّ الرُّجُوعَ عَلَيْهِ بِهِ؛ لِأَنَّهُ مُتَبَرِّعٌ.
Di antara masalah perdamaian atas pengingkaran adalah: jika orang lain (bukan pihak yang bersengketa) mengadakan perdamaian atas pihak yang mengingkari tanpa izinnya, maka perdamaian itu sah, karena orang lain itu bermaksud membebaskan pihak yang didakwa dan memutus perselisihan darinya. Ini seperti seandainya dia menanggung utangnya, tetapi dia tidak menuntut sesuatu pun dari apa yang dia bayarkan, karena dia tidak berhak meminta kembali darinya, karena dia adalah orang yang berderma.
وَيَصِحُّ الصُّلْحُ عَنِ الْحَقِّ الْمَجْهُولِ، سَوَاءٌ كَانَ لِكُلٍّ مِنْهُمَا عَلَى الْآخَرِ أَوْ كَانَ لِأَحَدِهِمَا، إِذَا كَانَ هَذَا الْمَجْهُولُ يَتَعَذَّرُ عِلْمُهُ؛ كَحِسَابٍ
Perdamaian atas hak yang tidak diketahui adalah sah, baik itu untuk masing-masing dari keduanya atas yang lain atau untuk salah satunya, jika yang tidak diketahui ini sulit untuk diketahui, seperti perhitungan
بَيْنَهُمَا مَضَى عَلَيْهِ زَمَنٌ طَوِيلٌ، وَلَا عِلْمَ لِكُلٍّ مِنْهُمَا عَمَّا عَلَيْهِ لِصَاحِبِهِ؛ لِقَوْلِ ﷺ لِرَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا فِي مَوَارِيثَ دَرَسَتْ بَيْنَهُمَا: "اسْتَهِمَا، وَتَوَاخَيَا الْحَقَّ، وَلْيُحَلِّلْ أَحَدُكُمَا صَاحِبَهُ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ.
Waktu yang lama telah berlalu di antara mereka berdua, dan masing-masing tidak mengetahui apa yang menjadi hak saudaranya; karena sabda Nabi ﷺ kepada dua orang yang berselisih tentang warisan yang telah lama di antara mereka: "Berundilah, dan bersaudaralah dalam kebenaran, dan hendaklah salah seorang dari kalian menghalalkan saudaranya", diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya.
وَلِأَنَّهُ إِسْقَاطُ حَقٍّ، فَصَحَّ فِي الْمَجْهُولِ لِلْحَاجَةِ، وَلِئَلَّا يُفْضِيَ إِلَى ضَيَاعِ الْمَالِ أَوْ بَقَاءِ شُغْلِ الذِّمَّةِ، وَأَمْرُهُ ﷺ بِتَحْلِيلِ كُلٍّ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ يَدُلُّ عَلَى أَخْذِ الْحِيطَةِ لِبَرَاءَةِ الذِّمَّةِ وَعَلَى عَظِيمِ حَقِّ الْمَخْلُوقِ.
Dan karena itu adalah pembebasan hak, maka sah dalam hal yang tidak diketahui karena kebutuhan, dan agar tidak menyebabkan hilangnya harta atau tetapnya tanggungan, dan perintahnya ﷺ agar masing-masing menghalalkan saudaranya menunjukkan untuk mengambil kehati-hatian demi bebasnya tanggungan dan atas besarnya hak makhluk.
وَيَصِحُّ الصُّلْحُ عَنِ الْقِصَاصِ بِالدِّيَةِ الْمُحَدَّدَةِ شَرْعًا أَوْ قَلَّ أَوْ كَثُرَ، وَلِأَنَّ الْمَالَ غَيْرُ مُتَعَيِّنٍ؛ فَلَا يَقَعُ الْعِوَضُ فِي مُقَابِلَتِهِ.
Dan sah perdamaian dari qisas dengan diyat yang ditentukan secara syar'i atau sedikit atau banyak, dan karena harta tidak tertentu; maka tidak terjadi penggantian dalam perbandingannya.
وَلَا يَصِحُّ الصُّلْحُ عَنِ الْحُدُودِ؛ لِأَنَّهَا شُرِعَتْ لِلزَّجْرِ، وَلِأَنَّهَا حَقٌّ لِلَّهِ تَعَالَى وَحَقٌّ لِلْمُجْتَمَعِ؛ فَالصُّلْحُ عَنْهَا يُبْطِلُهَا، وَيَحْرِمُ الْمُجْتَمَعَ مِنْ فَائِدَتِهَا، وَيَفْسَحُ الْمَجَالَ لِلْمُفْسِدِينَ وَالْعَابِثِينَ.
Dan tidak sah perdamaian dari hudud; karena ia disyariatkan untuk pencegahan, dan karena ia adalah hak Allah Ta'ala dan hak masyarakat; maka perdamaian darinya membatalkannya, dan mengharamkan masyarakat dari manfaatnya, dan memberi peluang bagi para perusak dan para pengacau.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْجِوَارِ وَالطُّرُقَاتِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الْجِوَارِ وَالطُّرُقَاتِ
Bab tentang hukum-hukum bertetangga dan jalan-jalan
تَنَاوَلَ الْفُقَهَاءُ أَحْكَامَ الْجِوَارِ وَأَحْكَامَ الطُّرُقَاتِ؛ لِمَا لِهَذَا الْمَوْضُوعِ مِنَ الْأَهَمِّيَّةِ الْبَالِغَةِ:
Para ahli fikih membahas hukum-hukum bertetangga dan hukum-hukum jalan; karena pentingnya topik ini:
فَقَدْ تَعْرِضُ مَشَاكِلُ بَيْنَ الْجِيرَانِ يَجِبُ حَلُّهَا وَحَسْمُهُ؛ لِئَلَّا تُفْضِيَ إِلَى النِّزَاعِ وَالْعَدَاوَةِ، وَحَلُّهَا يَكُونُ بِطُرُقٍ:
Mungkin timbul masalah di antara para tetangga yang harus diselesaikan dan diputuskan; agar tidak mengarah pada perselisihan dan permusuhan, dan penyelesaiannya dilakukan dengan cara:
مِنْهَا: إِجْرَاءُ الصُّلْحِ بَيْنَهُمْ بِمَا يُحَقِّقُ الْعَدْلَ وَالْمَصْلَحَةَ.
Di antaranya: mengadakan perdamaian di antara mereka dengan cara yang mewujudkan keadilan dan kemaslahatan.
وَمِنْ ذَلِكَ: لَوِ احْتَاجَ الْجَارُ إِلَى إِجْرَاءِ الْمَاءِ مَعَ أَرْضِ جَارِهِ أَوْ سَطْحِهِ وَتَصَالَحَا عَلَى ذَلِكَ بِعِوَضٍ؛ جَازَ هَذَا الصُّلْحُ؛ لِدَعَاءِ الْحَاجَةِ إِلَى ذَلِكَ، ثُمَّ إِنْ كَانَ هَذَا الْعِوَضُ فِي مُقَابِلِ الِانْتِفَاعِ مَعَ بَقَاءِ مِلْكِ صَاحِبِ الْأَرْضِ أَوِ السَّطْحِ عَلَيْهِ؛ فَهَذَا الْعَقْدُ يُعْتَبَرُ إِجَارَةً، وَإِنْ كَانَ مَعَ زَوَالِ الْمِلْكِ؛ اعْتُبِرَ بَيْعًا.
Dan di antaranya: jika tetangga membutuhkan untuk mengalirkan air melalui tanah atau atap tetangganya dan mereka berdamai atas hal itu dengan kompensasi; maka perdamaian ini diperbolehkan; karena adanya kebutuhan untuk itu, kemudian jika kompensasi ini sebagai imbalan pemanfaatan dengan tetap menjadi milik pemilik tanah atau atap; maka akad ini dianggap sewa-menyewa, dan jika disertai hilangnya kepemilikan; dianggap jual beli.
وَإِذَا احْتَاجَ إِلَى مَمَرٍّ فِي مِلْكِ جَارِهِ، وَبَذَلَهُ لَهُ عَنْ طَرِيقِ الْبَيْعِ أَوْ عَنْ طَرِيقِ الصُّلْحِ؛ جَازَ هَذَا؛ لِدَعَاءِ الْحَاجَةِ إِلَيْهِ،
Dan jika dia membutuhkan jalan di properti tetangganya, dan tetangganya menawarkannya kepadanya melalui jual beli atau melalui perdamaian; maka ini diperbolehkan; karena adanya kebutuhan untuk itu,
وَلَا يَنْبَغِي لِلْمَالِكِ أَنْ يَسْتَغِلَّ حَاجَةَ جَارِهِ فَيُرْهِقَهُ بِبَذْلِ الْعِوَضِ أَوْ يَمْتَنِعَ مِنْ اسْتِخْدَامِ هَذَا الْمَمَرِّ فَيُحْرِجَ جَارَهُ وَيَحُولَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَصْلَحَتِهِ، وَإِذَا امْتَدَّ غُصْنٌ مِنْ شَجَرَتِهِ فِي هَوَاءِ جَارِهِ أَوْ فِي قَرَارِ مِلْكِهِ؛ وَجَبَ عَلَى مَالِكِ الْغُصْنِ إِزَالَتَهُ: إِمَّا بِقَطْعِهِ أَوْ لَيِّهِ إِلَى نَاحِيَةٍ أُخْرَى؛ لِيُخْلِيَ مِلْكَ الْغَيْرِ، فَإِنْ أَبَى مَالِكُ الْغُصْنِ أَنْ يَعْمَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ؛ فَلِصَاحِبِ الْهَوَاءِ أَوِ الْقَرَارِ أَنْ يَدْفَعَ ضَرَرَهُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْإِجْرَاءَاتِ؛ لِأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ الصَّائِلِ، فَيَدْفَعُهُ بِأَسْهَلِ مَا يُمْكِنُ، وَإِنْ تَصَالَحَا عَلَى بَقَاءِ الْغُصْنِ؛ جَازَ ذَلِكَ، سَوَاءٌ كَانَ بِعِوَضٍ عَلَى الصَّحِيحِ، أَوْ عَلَى أَنَّ ثَمَرَتَهُ بَيْنَهُمَا.
Pemilik tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan tetangganya dengan membebaninya untuk memberikan kompensasi atau menahan diri dari menggunakan jalan ini, sehingga menyulitkan tetangganya dan menghalangi antara dia dan kepentingannya. Jika cabang dari pohonnya memanjang ke udara tetangganya atau ke dalam propertinya, pemilik cabang wajib menghilangkannya: baik dengan memotongnya atau menekuknya ke arah lain; untuk mengosongkan properti orang lain. Jika pemilik cabang menolak untuk melakukan sesuatu dari itu, maka pemilik udara atau properti berhak menolak kerugiannya dengan salah satu tindakan ini; karena itu seperti penyerang, maka dia menolaknya dengan cara termudah yang mungkin. Jika mereka berdamai atas keberadaan cabang, itu diperbolehkan, baik dengan kompensasi yang benar, atau dengan buahnya di antara mereka berdua.
حُكْمُ الْعِرْقِ إِذَا حَصَلَ فِي أَرْضِ الْجَارِ حُكْمُ الْغُصْنِ عَلَى مَا مَرَّ بَيَانُهُ.
Hukum akar jika terjadi di tanah tetangga adalah hukum cabang seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْدِثَ الْإِنْسَانُ فِي مِلْكِهِ مَا يَضُرُّ بِجَارِهِ؛ كَحَمَّامٍ أَوْ مَخْبَزٍ.
Seseorang tidak boleh membuat sesuatu di propertinya yang membahayakan tetangganya; seperti kamar mandi atau toko roti.
أَوْ مَطْبَخٍ أَوْ مَقْهًى يَتَعَدَّى ضَرَرُهُ، أَوْ مَصْنَعٍ يُقْلِقُ جَارَهُ حَرَكَاتُهُ وَأَصْوَاتُهُ، أَوْ فَتْحِ نَوَافِذَ تُطِلُّ عَلَى بَيْتِ جَارِهِ.
Atau dapur atau kafe yang bahayanya melampaui batas, atau pabrik yang gerakan dan suaranya mengganggu tetangganya, atau membuka jendela yang menghadap ke rumah tetangganya.
وَإِذَا كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ جَارِهِ جِدَارٌ مُشْتَرَكٌ؛ حَرُمَ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِفَتْحِ طَاقٍ أَوْ غَرْزِ وَتَدٍ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ وَضْعُ الْخَشَبِ عَلَى الْجِدَارِ الْمُشْتَرَكِ أَوِ الْخَاصِّ بِالْجَارِ إِلَّا عِنْدَ الضَّرُورَةِ، وَإِذَا لَمْ يُمْكِنْهُ التَّسْقِيفُ إِلَّا بِهِ، وَكَانَ الْجِدَارُ يَتَحَمَّلُ وَضْعَ الْخَشَبِ؛ فَحِينَئِذٍ يُمْكِنُ مِنْ وَضْعِ الْخَشَبِ؛ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁ يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ: "لَا يَمْنَعَنَّ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَضَعَ خَشَبَهُ عَلَى جِدَارِهِ"، ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: "مَا لِي أَرَاكُمْ عَنْهَا مُعْرِضِينَ؟ وَاللَّهِ لَأَرْمِيَنَّ بِهَا بَيْنَ أَكْتَافِكُمْ"، مُتَّفَقٌ
Jika di antara dia dan tetangganya ada dinding bersama, maka haram baginya untuk memanfaatkannya dengan membuka jendela atau menancapkan pasak kecuali dengan izinnya. Dia tidak boleh meletakkan kayu di atas dinding bersama atau khusus milik tetangga kecuali jika diperlukan. Jika dia tidak dapat memasang atap kecuali dengannya, dan dinding itu dapat menahan penempatan kayu, maka pada saat itu dimungkinkan untuk meletakkan kayu; karena hadits Abu Hurairah ﵁ yang dia riwayatkan kepada Nabi ﷺ: "Janganlah seorang tetangga melarang tetangganya untuk meletakkan kayunya di atas dindingnya", kemudian Abu Hurairah berkata: "Ada apa dengan kalian, aku melihat kalian berpaling darinya? Demi Allah, aku pasti akan melemparkannya di antara pundak kalian", muttafaq 'alaih.
عَلَيْهِ، فَدَلَّ هَذَا الحَدِيثُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْجَارِ أَنْ يَمْنَعَ جَارَهُ مِنْ وَضْعِ الخَشَبِ فِي جِدَارِهِ، وَيُجْبِرُهُ الحَاكِمُ إِذَا امْتَنَعَ؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ ثَابِتٌ لِجَارِهِ بِحُكْمِ الجِوَارِ.
Oleh karena itu, hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh bagi seorang tetangga untuk melarang tetangganya meletakkan kayu di dindingnya, dan hakim akan memaksanya jika dia menolak; karena itu adalah hak yang ditetapkan untuk tetangganya berdasarkan hukum bertetangga.
هَذَا بَعْضُ مَا يَتَعَلَّقُ بِالجِوَارِ مِنْ أَحْكَامٍ.
Ini adalah beberapa hukum yang berkaitan dengan bertetangga.
أَمَّا مَا يَتَعَلَّقُ فِي الطُّرُقَاتِ:
Adapun yang berkaitan dengan jalan:
فَلَا يَجُوزُ مُضَايَقَةُ المُسْلِمِينَ فِي طُرُقَاتِهِمْ، بَلْ يَجِبُ إِفْسَاحُ الطَّرِيقِ، وَإِمَاطَةُ الأَذَى عَنْهُ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ؛ كَمَا أَخْبَرَ بِذَلِكَ النَّبِيُّ ﷺ.
Tidak boleh menyempitkan jalan kaum muslimin, bahkan wajib melapangkan jalan dan menyingkirkan gangguan darinya; karena itu termasuk keimanan; sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi ﷺ.
يَجُوزُ أَنْ يُحْدِثَ فِي مِلْكِهِ مَا يُضَايِقُ الطَّرِيقَ؛ كَأَنْ يَبْنِيَ فَوْقَ الطَّرِقِ سَقْفًا يَمْنَعُ مُرُورَ الرُّكْبَانِ وَالأَحْمَالِ، أَوْ يَبْنِيَ دَكَّةً لِلْجُلُوسِ عَلَيْهَا.
Boleh membuat sesuatu di propertinya yang menyempitkan jalan; seperti membangun atap di atas jalan yang menghalangi lewatnya para pengendara dan barang-barang, atau membangun bangku untuk duduk di atasnya.
لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَتَّخِذَ مَوْقِفًا لِدَابَّتِهِ أَوْ سَيَّارَتِهِ بِطَرِيقِ المَارَّةِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُضَيِّقُ الطَّرِيقَ، أَوْ يُسَبِّبُ الحَوَادِثَ.
Tidak boleh baginya untuk mengambil tempat berhenti untuk hewan tunggangannya atau mobilnya di jalan yang dilalui orang; karena itu menyempitkan jalan, atau menyebabkan kecelakaan.
وَقَالَ شَيْخُ الإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ﵀: "لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يُخْرِجَ شَيْئًا فِي طَرِيقِ المُسْلِمِينَ مِنْ أَجْزَاءِ البِنَاءِ، حَتَّى إِنَّهُ يُنْهَى عَنْ تَجْصِيصِ الحَائِطِ؛ إِلَّا أَنْ يُدْخِلَ رَبُّ الحَائِطِ مِنْهُ فِي حَدِّهِ بِقَدْرِ غِلَظِهِ ... " انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﵀ berkata: "Tidak boleh bagi siapa pun untuk mengeluarkan sesuatu di jalan kaum muslimin dari bagian-bagian bangunan, bahkan dilarang untuk melapisi dinding dengan gipsum; kecuali pemilik dinding memasukkan sebagian darinya ke dalam batasnya sesuai dengan ketebalannya..." Selesai.
وَيُمْنَعُ فِي الطَّرِيقِ الغَرْسُ وَالبِنَاءُ وَالحَفْرُ وَوَضْعُ الحَطَبِ وَالذَّبْحُ فِيهَا وَطَرْحُ القُمَامَةِ وَالرَّمَادِ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِمَّا فِيهِ ضَرَرٌ عَلَى المَارَّةِ.
Dan dilarang di jalan penanaman, pembangunan, penggalian, penempatan kayu bakar, penyembelihan di dalamnya, pembuangan sampah dan abu, serta hal lainnya yang membahayakan pejalan kaki.
وَيَجِبُ عَلَى الْمَسْئُولِينَ عَنْ تَنْظِيمِ الْبَلَدِ مِنْ رِجَالِ الْبَلَدِيَّاتِ مَنْعُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ وَمُعَاقَبَةُ الْمُخَالِفِينَ بِمَا يَرْدَعُهُمْ، وَقَدْ كَثُرَ التَّسَاهُلُ فِي هَذَا الْأَمْرِ الْمُهِمِّ، فَصَارَ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ يَحْتَجِزُونَ الطُّرُقَاتِ لِمَصَالِحِهِمُ الْخَاصَّةِ، يُوقِفُونَ فِيهِ سَيَّارَاتِهِمْ، وَيَضَعُونَ فِيهَا الْأَحْجَارَ وَالْحَدِيدَ وَالْإِسْمِنْتَ لِبِنَايَاتِهِمْ، وَيَحْفِرُونَ فِيهَا الْحُفَرَ، وَغَيْرَ ذَلِكَ،
Dan para pejabat yang bertanggung jawab atas pengaturan negara dari pejabat kota harus mencegah hal-hal ini dan menghukum para pelanggar dengan cara yang mencegah mereka, dan telah banyak kelonggaran dalam masalah penting ini, sehingga banyak orang menahan jalan untuk kepentingan pribadi mereka, mereka memarkirkan mobil mereka di sana, dan meletakkan batu, besi, dan semen untuk bangunan mereka, dan menggali lubang di sana, dan lain-lain,
وَالْبَعْضُ الْآخَرُ مِنَ النَّاسِ يُلْقِي الْأَذَى فِي الْأَسْوَاقِ مِنَ الْفَضَلَاتِ وَالنَّجَاسَاتِ وَالْقُمَامَاتِ، غَيْرَ مُبَالِينَ بِمُضَارَّةِ الْمُسْلِمِينَ، وَهَذَا كُلُّهُ مِمَّا حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا﴾،
Dan sebagian orang lain membuang kotoran di pasar-pasar dari limbah, najis, dan sampah, tanpa memperhatikan kerugian bagi umat Islam, dan semua ini adalah apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata."
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ"، وَقَالَ ﷺ: "الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً: أَعْلَاهَا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ".... إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي تَحُثُّ عَلَى احْتِرَامِ حُقُوقِ الْمُسْلِمِينَ وَالِامْتِنَاعِ مِنْ أَذِيَّتِهِمْ، وَمِنْ أَعْظَمِ أَذِيَّةِ الْمُسْلِمِينَ مُضَايَقَتُهُمْ فِي طُرُقَاتِهِمْ وَإِلْقَاءُ الْعَرَاقِيلِ فِيهَا.
Dan Nabi ﷺ bersabda: "Muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya", dan beliau ﷺ bersabda: "Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang: yang paling tinggi adalah perkataan: Laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman".... hingga hadits-hadits lainnya yang mendorong untuk menghormati hak-hak kaum muslimin dan menahan diri dari menyakiti mereka, dan di antara gangguan terbesar bagi kaum muslimin adalah menyempitkan mereka di jalan-jalan mereka dan melemparkan rintangan di dalamnya.
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الشُّفْعَةِ
بَابٌ فِي أَحْكَامِ الشُّفْعَةِ
Bab tentang hukum-hukum syuf'ah
تَعْرِيفُ الشُّفْعَةِ لُغَةً: الشُّفْعَةُ بِإِسْكَانِ الْفَاءِ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الشَّفْعِ، وَهُوَ الزَّوْجُ؛ لِأَنَّ الشَّفِيعَ بِالشُّفْعَةِ بِضَمِّ الْمَبِيعِ إِلَى مِلْكِهِ الَّذِي كَانَ مُنْفَرِدًا.
Definisi syuf'ah secara bahasa: Syuf'ah dengan mengiskankan huruf fa' diambil dari kata syaf', yaitu pasangan; karena syafi' (orang yang berhak syuf'ah) dengan syuf'ah menggabungkan barang yang dijual ke dalam kepemilikannya yang sebelumnya sendirian.
وَالشُّفْعَةُ ثَابِتَةٌ بِالسُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ، شَرَعَهَا اللهُ تَعَالَى: سَدًّا لِذَرِيعَةِ الْمَفْسَدَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالشَّرِكَةِ.
Syuf'ah ditetapkan berdasarkan sunnah yang shahih, Allah Ta'ala mensyariatkannya untuk menutup jalan kerusakan yang terkait dengan persekutuan.
قَالَ الْإِمَامُ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْقَيِّمِ ﵀: "وَمِنْ مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ وَعَدْلِهَا وَقِيَامِهَا بِمَصَالِحِ الْعِبَادِ إِتْيَانِهَا بِالشُّفْعَةِ؛ فَإِنَّ حِكْمَةَ الشَّارِعِ اقْتَضَتْ رَفْعَ الضَّرَرِ عَنِ الْمُكَلَّفِينَ مَهْمَا أَمْكَنَ، وَلَمَّا كَانَتِ الشَّرِكَةُ مَنْشَأَ الضَّرَرِ فِي الْغَالِبِ؛ رَفَعَ هَذَا الضَّرَرَ بِالْقِسْمَةِ تَارَةً وَبِالشُّفْعَةِ تَارَةً، فَإِذَا أَرَادَ بَيْعَ نَصِيبِهِ وَأَخْذَ عِوَضِهِ؛ كَانَ شَرِيكُهُ أَحَقَّ بِهِ مِنَ الْأَجْنَبِيِّ، وَيَزُولُ عَنْهُ ضَرَرُ الشَّرِكَةِ، وَلَا يَتَضَرَّرُ الْبَائِعُ؛ لِأَنَّهُ يَصِلُ إِلَى حَقِّهِ مِنَ الثَّمَنِ، وَكَانَتْ مِنْ أَعْظَمِ الْعَدْلِ وَأَحْسَنِ الْأَحْكَامِ الْمُطَابِقَةِ لِلْعُقُولِ وَالْفِطَرِ وَمَصَالِحِ الْعِبَادِ".
Imam Al-'Allamah Ibnu Al-Qayyim ﵀ berkata: "Di antara kebaikan syariat, keadilannya, dan penegakannya terhadap kemaslahatan hamba adalah penetapannya terhadap syuf'ah; karena hikmah Pembuat Syariat menuntut untuk menghilangkan mudarat dari orang-orang mukallaf semaksimal mungkin, dan karena persekutuan pada umumnya menjadi sumber mudarat; maka Dia menghilangkan mudarat ini dengan pembagian terkadang dan dengan syuf'ah terkadang, maka jika seseorang ingin menjual bagiannya dan mengambil kompensasinya; maka mitranya lebih berhak atasnya daripada orang asing, dan mudarat persekutuan akan hilang darinya, dan penjual tidak dirugikan; karena ia mendapatkan haknya dari harga, dan itu termasuk keadilan terbesar dan hukum terbaik yang sesuai dengan akal, fitrah, dan kemaslahatan hamba."
وَمِنْ هُنَا يُعْلَمُ أَنَّ التَّحَيُّلَ لِإِسْقَاطِ الشُّفْعَةِ مُنَاقِضٌ لِهَذَا الْمَعْنَى الَّذِي قَصَدَهُ الشَّارِعُ، وَمُضَادٌّ لَهُ.
Dari sini diketahui bahwa tipu daya untuk menggugurkan syuf'ah bertentangan dengan makna yang dimaksudkan oleh Syari' dan berlawanan dengannya.
وَكَانَتِ الشُّفْعَةُ مَعْرُوفَةً عِنْدَ الْعَرَبِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، كَانَ الرَّجُلُ إِذَا أَرَادَ بَيْعَ مَنْزِلٍ أَوْ حَائِطِهِ؛ أَتَاهُ الْجَارُ وَالشَّرِيكُ وَالصَّاحِبُ إِلَيْهِ فِيمَا بَاعَهُ، فَيَشْفَعُهُ، وَيَجْعَلُهُ أَوْلَى رَجُلٍ بِهِ، فَسُمِّيَتِ الشُّفْعَةُ، وَسُمِّيَ طَالِبُهَا شَافِعًا.
Syuf'ah telah dikenal di kalangan orang Arab pada masa Jahiliyah. Jika seseorang ingin menjual rumah atau kebunnya, tetangga, mitra, dan temannya akan datang kepadanya untuk membeli apa yang dijualnya, lalu dia memberikan hak syuf'ah dan menjadikannya orang yang paling berhak atasnya. Maka hal itu dinamakan syuf'ah, dan orang yang memintanya disebut syafi'.
وَالشُّفْعَةُ فِي عُرْفِ الْفُقَهَاءِ: اسْتِحْقَاقُ الشَّرِيكِ انْتِزَاعَ حِصَّةِ شَرِيكِهِ مِمَّنِ انْتَقَلَتْ إِلَيْهِ بِعِوَضٍ مَالِيٍّ، فَيَأْخُذُ الشَّفِيعُ نَصِيبَ شَرِيكِهِ الْبَائِعِ بِثَمَنِهِ الَّذِي اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الْعَقْدُ فِي الْبَاطِنِ.
Syuf'ah menurut istilah para fuqaha adalah hak seorang mitra untuk mengambil bagian mitranya dari orang yang telah membelinya dengan imbalan harta, sehingga syafi' mengambil bagian mitranya yang menjual dengan harga yang telah disepakati dalam akad secara tersembunyi.
فَيَجِبُ عَلَى الْمُشْتَرِي أَنْ يُسَلِّمَ الشِّقْصَ الْمَشْفُوعَ فِيهِ إِلَى الشَّافِعِ بِالثَّمَنِ الَّذِي تَرَاضَيَا عَلَيْهِ فِي الْبَاطِنِ؛ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُّ عَنْ جَابِرٍ ﵁: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَضَى بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ، فَإِذَا وَقَعَتِ الْحُدُودُ وَصُرِفَتِ الطُّرُقُ؛ فَلَا شُفْعَةَ".
Pembeli wajib menyerahkan bagian yang diminta syuf'ah kepada syafi' dengan harga yang telah disepakati secara tersembunyi, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bukhari dari Jabir ﵁: "Bahwa Nabi ﷺ memutuskan syuf'ah pada setiap yang belum dibagi. Jika batas-batas telah ditetapkan dan jalan-jalan telah dialihkan, maka tidak ada syuf'ah."
فَفِي الْحَدِيثِ دَلِيلٌ عَلَى إِثْبَاتِ الشُّفْعَةِ لِلشَّرِيكِ، وَأَنَّهَا لَا تَجِبُ إِلَّا فِي الْأَرْضِ وَالْعَقَارِ دُونَ غَيْرِهِمَا مِنَ الْعُرُوضِ وَالْأَمْتِعَةِ وَالْحَيَوَانِ وَنَحْوِهَا.
Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menetapkan syuf'ah bagi mitra, dan bahwa syuf'ah hanya wajib pada tanah dan properti, bukan pada selain keduanya seperti barang dagangan, perabotan, hewan, dan sejenisnya.
وَقَالَ ﷺ: "لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ"، فَدَلَّ الْحَدِيثُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يَعْرِضَ عَلَى شَرِيكِهِ.
Nabi ﷺ bersabda, "Tidak halal baginya untuk menjual sampai dia meminta izin kepada mitranya." Hadits ini menunjukkan bahwa tidak halal baginya untuk menjual sampai dia menawarkannya kepada mitranya.
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: "حَرَّمَ عَلَى الشَّرِيكِ أَنْ يَبِيعَ نَصِيبَهُ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ،
Ibnu Al-Qayyim berkata, "Dia mengharamkan mitra untuk menjual bagiannya sampai dia meminta izin kepada mitranya."
فَإِنْ بَاعَ وَلَمْ يُؤْذِنْهُ؛ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ، وَإِنْ أَذِنَ فِي الْبَيْعِ وَقَالَ: لَا غَرَضَ لِي فِيهِ؛ لَمْ يَكُنْ لَهُ الطَّلَبُ بَعْدَ الْبَيْعِ، وَهَذَا مُقْتَضَى حُكْمِ الشَّرْعِ، وَلَا مُعَارِضَ لَهُ بِوَجْهٍ، وَهُوَ الصَّوَابُ الْمَقْطُوعُ بِهِ" انْتَهَى.
Jika dia menjual dan tidak memberitahunya; maka dia lebih berhak atasnya, dan jika dia mengizinkan penjualan dan berkata: Saya tidak memiliki kepentingan di dalamnya; maka dia tidak berhak menuntut setelah penjualan, dan ini adalah konsekuensi dari hukum syariat, dan tidak ada yang menentangnya dengan cara apa pun, dan ini adalah kebenaran yang pasti" selesai.
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ بْنُ الْقَيِّمِ مِنْ أَنَّ الشُّفْعَةَ تَسْقُطُ بِإِسْقَاطِ صَاحِبِهَا لَهَا قَبْلَ الْبَيْعِ هُوَ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي الْمَسْأَلَةِ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ: أَنَّهَا لَا تَسْقُطُ بِذَلِكَ، وَلَا يَكُونُ مُجَرَّدُ الْإِذْنِ بِالْبَيْعِ مُبْطِلًا لَهَا، وَاللهُ أَعْلَمُ.
Apa yang dikatakan Ibnu Al-Qayyim bahwa hak syuf'ah gugur dengan pengguguran pemiliknya sebelum penjualan adalah salah satu dari dua pendapat dalam masalah ini, dan pendapat kedua yang merupakan pendapat mayoritas ulama: bahwa hak syuf'ah tidak gugur dengan itu, dan sekadar izin untuk menjual tidak membatalkannya, dan Allah yang lebih mengetahui.
وَالشُّفْعَةُ حَقٌّ شَرْعِيٌّ، يَجِبُ احْتِرَامُهُ، وَيَحْرُمُ التَّحَيُّلُ لِإِسْقَاطِهِ؛ لِأَنَّ الشُّفْعَةَ شُرِعَتْ لِدَفْعِ الضَّرَرِ عَنِ الشَّرِيكِ، فَإِذَا تَحَيَّلَ لِإِسْقَاطِهَا؛ لَحِقَهُ الضَّرَرُ، وَكَانَ تَعَدِّيًا عَلَى حَقِّهِ الْمَشْرُوعِ، قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ﵀: "لَا يَجُوزُ شَيْءٌ مِنَ الْحِيَلِ فِي إِبْطَالِهَا وَلَا إِبْطَالِ حَقِّ مُسْلِمٍ"، وَقَدْ قَالَ ﷺ: "لَا تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُودُ فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ".
Hak syuf'ah adalah hak yang sah menurut syariat, wajib dihormati, dan haram melakukan tipu daya untuk menggugurkannya; karena syuf'ah disyariatkan untuk menolak kerugian dari mitra, jika dia melakukan tipu daya untuk menggugurkannya; maka dia akan mengalami kerugian, dan itu adalah pelanggaran terhadap haknya yang sah, Imam Ahmad ﵀ berkata: "Tidak boleh ada tipu daya apa pun dalam membatalkannya atau membatalkan hak seorang Muslim", dan Nabi ﷺ telah bersabda: "Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan orang-orang Yahudi sehingga kalian menghalalkan apa yang diharamkan Allah dengan tipu daya yang paling rendah".
وَمِنَ الْحِيَلِ الَّتِي تُفْعَلُ لِإِسْقَاطِ الشُّفْعَةِ أَنْ يُظْهِرَ أَنَّهُ وَهَبَ نَصِيبَهُ لِآخَرَ، وَهُوَ فِي الْحَقِيقَةِ قَدْ بَاعَهُ عَلَيْهِ، وَمِنَ الْحِيَلِ لِإِسْقَاطِ الشُّفْعَةِ أَنْ يَرْفَعَ الثَّمَنَ فِي الظَّاهِرِ حَتَّى لَا يَتَمَكَّنَ الشَّرِيكُ مِنْ دَفْعِهِ.
Di antara tipu daya yang dilakukan untuk menggugurkan hak syuf'ah adalah dengan menampakkan bahwa dia menghibahkan bagiannya kepada orang lain, padahal sebenarnya dia telah menjualnya kepadanya, dan di antara tipu daya untuk menggugurkan hak syuf'ah adalah dengan menaikkan harga secara lahiriah sehingga mitra tidak mampu membayarnya.
قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: "وَمَا وُجِدَ مِنَ التَّصَرُّفَاتِ لِأَجْلِ الِاحْتِيَالِ عَلَى إِسْقَاطِ الشُّفْعَةِ؛ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَلَا تُغَيِّرُ حَقَائِقَ الْعُقُودِ بِتَغْيِيرِ الْعِبَارَةِ" انْتَهَى.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Apa pun tindakan yang dilakukan untuk menipu agar dapat menggugurkan hak syuf'ah, maka itu batil. Hakikat akad tidak berubah dengan berubahnya ungkapan." Selesai.
وَمَوْضُوعُ الشُّفْعَةِ هُوَ الْأَرْضُ الَّتِي لَمْ تَجْرِ قِسْمَتُهَا، وَيَتْبَعُهَا مَا فِيهَا مِنْ غِرَاسٍ وَبِنَاءٍ، فَإِنْ جَرَتْ قِسْمَةُ الْأَرْضِ، لَكِنْ بَقِيَ مَرَافِقٌ مُشْتَرَكَةٌ بَيْنَ الْجِيرَانِ؛ كَالطَّرِيقِ وَالْمَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ؛ فَالشُّفْعَةُ بَاقِيَةٌ فِي أَصَحِّ قَوْلَيِ الْعُلَمَاءِ؛ لِمَفْهُومِ قَوْلِهِ ﷺ: "فَإِذَا وَقَعَتِ الْحُدُودُ وَصُرِفَتِ الطُّرُقُ؛ فَلَا شُفْعَةَ"؛ إِذْ مَفْهُومُهُ أَنَّهُ إِذَا وَقَعَتِ الْحُدُودُ وَلَمْ تُصْرَفِ الطُّرُقُ أَنَّ الشُّفْعَةَ بَاقِيَةٌ.
Objek syuf'ah adalah tanah yang belum dibagi, dan mengikutsertakan apa yang ada di dalamnya berupa tanaman dan bangunan. Jika tanah telah dibagi, tetapi masih ada fasilitas bersama di antara para tetangga, seperti jalan, air, dan sejenisnya, maka hak syuf'ah tetap ada menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat ulama. Hal ini berdasarkan pemahaman dari sabda Nabi ﷺ: "Jika batas-batas telah ditetapkan dan jalan-jalan telah dialihkan, maka tidak ada hak syuf'ah." Karena pemahaman darinya adalah jika batas-batas telah ditetapkan tetapi jalan-jalan belum dialihkan, maka hak syuf'ah tetap ada.
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: "وَهُوَ أَصَحُّ الْأَقْوَالِ فِي شُفْعَةِ الْجِوَارِ، وَمَذْهَبُ أَهْلِ الْبَصْرَةِ، وَأَحَدُ الْوَجْهَيْنِ فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ، وَاخْتِيَارُ الشَّيْخِ" انْتَهَى.
Ibnu Qayyim berkata: "Ini adalah pendapat yang paling sahih mengenai hak syuf'ah tetangga, dan merupakan mazhab penduduk Bashrah, serta salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad, dan pilihan Syaikh (Ibnu Taimiyah)." Selesai.
وَقَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ: "تَثْبُتُ شُفْعَةُ الْجِوَارِ مَعَ الشَّرِكَةِ فِي حَقٍّ مِنْ حُقُوقِ الْمِلْكِ مِنْ طَرِيقٍ وَمَاءٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ، نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ، وَاخْتَارَهُ ابْنُ عَقِيلٍ وَأَبُو مُحَمَّدٍ وَغَيْرُهُمَا، وَقَالَ الْحَارِثِيُّ: "هَذَا الَّذِي يَتَعَيَّنُ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ، وَفِيهِ جَمْعٌ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ، وَذَلِكَ أَنَّ الْجِوَارَ لَا يَكُونُ مُقْتَضِيًا لِلشُّفْعَةِ إِلَّا مَعَ اتِّحَادِ الطَّرِيقِ وَنَحْوِهِ. لِأَنَّ شَرْعِيَّةَ الشُّفْعَةِ لِدَفْعِ الضَّرَرِ، وَالضَّرَرُ إِنَّمَا يَحْصُلُ فِي الْأَغْلَبِ مَعَ الْمُخَالَطَةِ فِي الشَّيْءِ الْمَمْلُوكِ أَوْ فِي طَرِيقٍ وَنَحْوِهِ" انْتَهَى.
Syaikh Taqiyuddin berkata: "Hak syuf'ah tetangga berlaku jika disertai keikutsertaan dalam salah satu hak kepemilikan, seperti jalan, air, dan sejenisnya. Ahmad telah menashkan hal ini, dan Ibnu Aqil, Abu Muhammad, serta selain mereka memilihnya. Al-Haritsi berkata: 'Inilah pendapat yang harus dipegang, dan di dalamnya terdapat penggabungan antara hadits-hadits. Hal itu karena ketetanggaan tidak menjadi alasan adanya hak syuf'ah kecuali jika disertai kesamaan jalan dan sejenisnya. Sebab, pensyariatan hak syuf'ah adalah untuk menolak mudharat (kerugian), dan mudharat itu biasanya terjadi jika ada percampuran dalam sesuatu yang dimiliki atau dalam jalan dan sejenisnya.'" Selesai.
وَالشُّفْعَةُ إِنَّمَا تَثْبُتُ بِالْمُطَالَبَةِ بِهَا فَوْرَ عِلْمِهِ بِالْبَيْعِ، فَإِنْ لَمْ يَطْلُبْهَا
Hak syuf'ah hanya berlaku dengan menuntutnya segera setelah mengetahui adanya jual beli. Jika dia tidak menuntutnya
وَقْتَ عِلْمِهِ بِالْبَيْعِ؛ سَقَطَتْ، فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِالْبَيْعِ؛ فَهُوَ عَلَى شُفْعَتِهِ، وَلَوْ مَضَى عِدَّةُ سِنِينَ.
Pada saat dia mengetahui tentang penjualan; hak syuf'ah-nya gugur, tetapi jika dia tidak mengetahui tentang penjualan; maka dia tetap memiliki hak syuf'ah-nya, meskipun telah berlalu beberapa tahun.
قَالَ ابْنُ هُبَيْرَةَ: "اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ إِذَا كَانَ غَائِبًا؛ فَلَهُ إِذَا قَدِمَ الْمُطَالَبَةُ بِالشُّفْعَةِ".
Ibnu Hubairah berkata: "Mereka sepakat bahwa jika dia tidak hadir; maka dia berhak menuntut hak syuf'ah ketika dia datang".
وَتَثْبُتُ الشُّفْعَةُ لِلشُّرَكَاءِ عَلَى قَدْرِ مِلْكِهِمْ؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ يُسْتَفَادُ بِسَبَبِ الْمِلْكِ، فَكَانَتْ عَلَى قَدْرِ الْأَمْلَاكِ
Hak syuf'ah ditetapkan bagi para mitra sesuai dengan proporsi kepemilikan mereka; karena itu adalah hak yang diperoleh karena kepemilikan, maka itu sesuai dengan proporsi kepemilikan
فَإِنْ تَنَازَلَ عَنْهَا أَحَدُ الشُّرَكَاءِ؛ أَخَذَ الْآخَرُ الْكُلَّ، أَوْ تَرَكَ الْكُلَّ؛ لِأَنَّ فِي أَخْذِ الْبَعْضِ إِضْرَارًا بِالْمُشْتَرِي، وَالضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ.
jika salah satu mitra melepaskan haknya; maka yang lain mengambil semuanya, atau meninggalkan semuanya; karena mengambil sebagian akan merugikan pembeli, dan kerugian tidak dapat dihilangkan dengan kerugian.